DAFTAR PUSTAKA
Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991
Astuti, Endang Kusumah, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis, Semarang, 2003
Azrul, Azwar, Kriteria Malpraktek Dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya, 1996
Fuady, Munir, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Guwandi, J, Pengantar Ilmu Hukum dan Bio-etika, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2009
---, Hukum Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004
---, Sekitar Gugatan Malpraktik Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
Hanafiah, Yusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999
Haryani, Safitri, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan
Pasien, Diadit Media, Jakarta, 2005
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007
Isfandyarie, Anny, Malpraktek dan Resiko Medik: Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005
Kerbala, Husein, Segi-segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Komala, Veronica, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989
---, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik: Persetujuan Dalam
Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002
---, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Asas-asas dan
Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
---, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan
Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
Muhammad, Kartono, Hak Pasien untuk Mengetahui Cara Penyembuhan Dalam Rumah Sakit, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Saleh, Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta
Soekanto, Soerjono, Kontrak Terapeutik antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital (Februari, 1987)
---, Aspek Hukum Kesehatan, Indonesia-Hill-Co, Jakarta, 1989
Soewono, Hendrojono, Malpraktek Dokter, Srikandi, Surabaya, 2007
Syahrizal, Danda, Senja Nilasari, Undang-undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta
Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sodarto, Semarang, 1990
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365K/PID/2012
A. Pertanggujawaban Pidana
Pertatanggungjawaban pidana baru dapat dimintakan pada pelaku dari suatu tindak
pidana apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:46
Sudarto menyatakan bahwa kesalahan terdiri dari atas beberapa unsur, yaitu; 1. Kesalahan
Dipidanannya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan
seseorang pelaku memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana, untuk pemidanaan masih perlu
adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah.
Asas Tiada pemidanaan tanpa kesalahan yang menyatakan bahwa seseorang tidak
mungkin dijatuhkan pidana tanpa sebelumnya dapat dibuktikan adanya kesalahan. Asas ini
tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Indonesia atau dalam peraturan lain,
namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan, akan bertentangan dengan rasa keadilan
apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.
47
46
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sodarto, Semarang, 1990, hal. 85 47
Ibid, hal. 91
a.Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit atau
b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culva), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
c. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari :
a. Kesengajaan
Dalam Memorie van Toelichting (MVT) Menteri kehakiman sewaktu mengajukan
Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia tahun 1915), dijelaskan: “sengaja” diartikan: dengan sadar dari kehendak
melakukan suatu kejahatan tertentu. Jadi dapat dikatakan, bahwa sengaja berarti
menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang
apa yang dilakukan itu. Misalnya seorang ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada
anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya tersebut.48
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian sengaja, yaitu teori kehendak dan
teori pengetahuan atau membayangkan.49
48
Ibid,hal.102
49
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1987, hal.171-176
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak
untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A
mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B, A adalah sengaja apabila A
benar-benar menghendaki kematian B. Menurut toeri pengetahuan atau pembayangkan, manusia
tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan,
mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila suatu akibat
yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan
dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si
pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Dari kedua tersebut di atas Moelyatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau
teori bayangan, dengan alasan: Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi
pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai
pengetahuan tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja
dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, makksud atau tujuan, hal mana
berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.
Konsekwensinya ialah bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh
terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa pebuatan itu sesuai dengan motifnya untuk
berbuat dan tujuan hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada
hubungan kausal dalam batin terdakwa.
Dalam perkembangannya kemudia, secara teoritis bentuk kesalahan berupa
kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
b. Kealpaan
Yang dimaksud dengan kealpaan atau kelalaian adalah seseorang tidak bermaksud
melanggar larangan undang-undang, tapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai,
teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang
mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang
Mengenai kealpaan ini, Moelyatno mengutif dari Smidt yang merupakan keterangan
resmi dari pihak pembentuk WVS sebagai berikut: 50
Moelyatno berkesimpulan bahwa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan.
Akan tetapi dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi
bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan,
kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang
obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keadaan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wetharus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut, dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam bati sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.
51
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada ketentuan tentang arti
kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya
cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”. Dari Pasal
44, Moelyato menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai
dengan hukum dan yang melawan hukum;
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi.
Memorie van Toelichting (Memori penjelasan KUHP) secara negatif menyebutkan
mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab, antara lain: Tidak ada kemampuan
bertanggung jawab pada si pembuat:
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat
mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang
b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat perbuatannya. 53
Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan merupakan alasan yang menyangkut
pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum pidana)
dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan
si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam
KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggung jawab), Pasal 49 ayat 2 )noorweer exces),
Pasal 51 ayat 2 (dengan itikad baik melakukan perintah jabatan yang sah). 3. Tidak ada alasan pemaaf
54
53
Sudarto, Op.Cit, hal.94 54
Ibid, hal.139
1. Kronologi
Siska Makatey alias Juliana Fransiska Makatey pada tanggal 9 April 2010 hendak
melahirkan dibawa ke Puskesmas Bahu, karena kekurangan alat pada tanggal 10 April
dirujuk ke Rumah Sakit Kandao Malalayang, Manado untuk menjalani proses persalinan.
Pada pukul 22.00 WITA Siska Makate dipindahkan dari ruangan persalinan ke Ruang
operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandouw untuk dilakukan operasi cito sescio
sesaria oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa
II), dr. Hendy Siagian(Terdakwa III) dan Anita Lengkong. Dalam operasi tersebut dr Hendry
Simanjuntak bertindak sebagai asisten operator I dan dr Hendi Siagian sebagai asisten
operator II. dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian bertugan untuk membantu dan
memperjelas lapangan operasi yang di lakukan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani sebagai
pelaksana operasi/operator operasi. Sebelum operasi dilaksanakan dr. Hendy Siagian
menyerahkan surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi
pada Siska Makate untuk ditandatangani. Penanda tanganan ini disaksikan oleh dr Dewa Ayu
Sasiary Prawani dari jarak kurang lebih 7 meter. Berdasakan persetujuan tersebut dr Dewa
Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi
terhadap Siska Makatey
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada
rahim korban kemudia bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi
diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sapai tidak terdapat pendarahan lagi
dan dibersikan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit. Sebelum
operasi cito sescio sesaria dilakukandr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak
kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri
korban dan tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rotgen
dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban
dianestesi sedikit tinggi yaitu 160/70.
Setelah selesai operasi dilakukan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani melapor pada Najoan
Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa
nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x permenit dan saat itu Najoan Nan Waraouw
menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG terhadap diri korban
selanjutnya dijawab oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan adalah
Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan Najoan Nan Waraouw mengatakan
bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x permenit bukan Ventrikel Tachy Kardi
(denut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung). Berdasarkan
keterangan dr Erwin Didion Kristanto, SH,Sp.F bahwa pada saat masuk RSU Prof. Dr. R.G.
Kandauw keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
Para Terdakwa sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito sescio sesaria
terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan
saat pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk
kedalam bilik kanan jantung yang menghambat dara masuk ke paru-paru sehingga terjadi
kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagaglan fungsi jantung.
Akibat dari perbuatan terdakwa, korban Siska Makatey meninggal dunia dan
berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandauw yang
ditanda tangani oleh dr. Johannis F. Mallo menyatakan bahwa:
2. Lama kematian si korban tidak apat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh
korban setelah kematian (Thanatologi) sebagian besar penilaian, terhambat dengan adanya
pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat dinyatakan korban meninggal
dalam hari pertama setelah melahirkan.
3. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban:
a. Pada pasal satu angka romawi ayat empar (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan
tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan
b. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga
adalah kekerasan tajam sesuai dengan tindakan medik dalam operasi persalinan
c. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan
tanda perawatan medis sewaktu korban hidup
d. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda
perawatan pengawetan jenazah
e. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah
baik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka
pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi
kompilasi dari persalinan itu sendiri
f. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung
yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru
dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan surat dakwaan Nomor. Reg.Perk:
Prawani(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III), dengan susunan dakwaan sebagai berikut;
Kesatu:
Primer: Perbutan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359
KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) Ke- 1 KUHP;
Subsidair: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359
KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
Kedua: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Jo Pasal 55
ayat (1) ke- 1 KUHP;
Ketiga:
Primer : Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263
ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
Subsidair: Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263
ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut umum dengan surat tuntutan No.Reg.
Per:PDM-43/M.ndo/Ep.1/09/2010 tanggal 9 Agustus 2011, meminta agar Majelis Hakim dapat
memutuskan sebagai berikut;
a. Menyatakan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy
Siagian, terbukti secara sh dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana
b. Menjatuhkan hukuman terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak,
dr. Hendy Siagian, dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan
4. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado adalah sebagai berikut;
1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU/-V/2007 terhadap uji materiil
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tanggal 19 Juni
2007, menurut majelis hakim dakwaan alternatif kedua yang diajukan oleh Jaksa penuntut
Umum bahwa para terdakwa melanggar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran sudah bukan merupakan tindak pidana sehingga dengan
demikian para terdakwa harus dibebasakan pula dari dakwaan alternatif kedua.
2. Oleh karena para terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternatif kedua maka Majelis Hakim
mempertimbangkan dakwaan alternatif ketiga primer perbutan para terdakwa
sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 263 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP
3. Karena unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum
maka unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi dan para terdakwa haruslah dibebaskan
dari dakwaan alternatif ketiga primer yaitu melanggar Pasal 263 ayat (1) Jo Pasal 55 ayar
(1)ke-1 KUHP
4. Selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternatif ketiga subsidair
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat
(1) ke- 1 KUHP
5. Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dalam dakwaan alternatif ketiga primer,
anestesi tertanggal 10 April tersebut tidak dapat dikatakan palsu dan harus dinyatakan
tidak terbukti telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif ketiga
subsidair yaitu melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan
para terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternatif ketiga subsidair
6. Berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka menurut Majelis
Hakim para terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu;
dakwaan kesatu primair melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP, dakwaan kedua Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dakwaan ketiga primair Pasal 263
ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP
7. Dikarenakan para terdakwa dinyatakan dibebaskan dan semua dakwaan Jaksa Penuntut
Umum, maka nama baik terdakwa haruslah dipulihkan dalam kedudukan, kemampuan,
harkat serta martabatnya.
4. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Manado
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado pada sidang hari Kamis 22 September,
melalui Putusan Nomor 90/PID.B/2011/PN. MDO memutuskan sebagi berikut:
1. Menyatakan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy
Siagian, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dalam dakwaan Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer
subsidair;
2. Membebaskan terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr.
3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukandan harkat serta
martabanya.
5. Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Manado, dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor
90/PID.B/2011/PN.MDO Tanggal 22 September 2011, mengadili sendiri:
1. Menyatakan para terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain.
2. Menjatuhkan pidana para terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwaI), dr. Hendry
Simanjuntak (terdakwa II), dan dr. Hendy Siagian (terdakwa III) dengan pidana penjara
masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menilai bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Manado telah salah menerapkan hukum karena seharusnta Majelis hakim
dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti
yang sah yaitu keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan terdakwa,
diperoleh fakta bahwa:
1. Berdasarkan keterangan saksi dr. Hermanus Jakobus Lalenoh, SpAn bahwa jawaban kosul
terhadap surat konsul yang dikirim oleh bahagian kebidanan kepada bagian anestasi
tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan
dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena itu adalah operasi darurat maka mohon
2. Berdasarkan keterangan dari saksi Prof.Dr. Najoan Nan Warouw SpOG bahwa terdakwa I
mengatakan operasi terhadap pasien/korban telah selesai dilakukan dan pada saat operasi
dilakukan yaitu sejak sayatan didnding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam,
selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh)x
permenit,saturasi oksigen hanya berkisar 85 % sampai dengan 87 %, setelah operasi
selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/korban adalah 180 (seratus delapan puluh) x
permenit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/periksa jantung
yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apak sudah dilakukan
pemeriksanan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung serta
jawaban terdawa I sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa
pada penderita terjadi Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi
menyatakan bahwa itu bukan Ventrikel Tachy Kardi, jika denyut nadi sudah diatas 160 x
permenit tetapi Fibrilasi yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut
dan pasti pasien akan meninggal. Sejak Terdakwa I mengawasi korban pada pukul 09.00
WITA sampai dengan pukul 18.000 WITA tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I
hanya pemeriksaan tambahan dengan USG dan sebagai tindakan medis yang telah
dilakukan tidak dimasukkan kedalam rekaman medis dan terdakwa i sebagai ketua residen
yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam
medis termasuk terdakwa I tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah
dilakukan terhadap korban.
Berdasarkan keterangan-keterangan saksi dan saksi ahli, Mahkamah Agung memberi
1. Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar
hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekaman medis No. 041969 yang
telah dibacakan oleh saksi ahli dr. Erwin Gidio Kristanto, SH,SpF, bahwa pada saat
korban masuk Rumah Sakit Umum Prof.Dr. R.D. Kandou, keadaam umum korban adalah
lemah dan status penyakit korban adalah berat
2. Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan,
para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan
yang dapat terjadi terhadap diri korban
3. Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang
kemudian terkadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk keparu-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan
selanjutnya mengakibatkan kegagalab fungsi jantung
4. Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska
Makatey sesuai surat keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R.D. Kandou.
B. Analisis Kasus
1. Kesalahan
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian secara
bersama-sama turut serta melakukan perbuatan yang mengakibatkan meninggalnya Makatey
(korban). Pasal 55 ayat 1 KUHP. Keturut sertaan para pelaku telah memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan agar penyertaan tersebut dapat dikatakan ikut serta:55
55
Loebby Logman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1995, hal. 67
Dalam turut serta melakukan, para peserta menyadari akan dilakukannya tindak pidana.
Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama melakukan tindak pidana. Kesadaran tersebut
tidak perlu harus jauh sebelum dilakukannya tindak pidana tersebut
2. kerjasama dalam tindak pidana harus secara fisik
Semua peserta dalam turut serta melakukan harus sama-sama secara fisik melaksanakan
tindak pidana tersebut. Hoge Raad berpendapat bahwa tidak perlu semua peserta dalam
turut serta melakukan harus memenuhi semua unsur tindak pidana yang dilakukan. Hal
yang terpenting menurut Hoge Raad adalah dipenuhinya syarat-syarat bentuk penyertaan
turut serta melakukan.
Perbuatandr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy
Siagiansecara bersama sama telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP; Barangsiapa
karena salahnya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-selama-lamanya satu tahun”.
Kesalahan yang dilakukan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak
dan dr. Hendy Siagian telah melakukan kealpaan yang menyebabkan korban meninggal
dalam melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban yang bernama Siska Makatey,
dalam kesalahan tersebut maka dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tidak pernah menyampaikan
kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk
kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut
dilakukan terhadap diri korban dan para terdakwa sebagai dokter yang melakukan operasi
Cito Secsio Sesaria ini, dalam kasus ini terdapat kesalahan-kesalahan seperti tidak
melakukannya pemeriksaan jantung, foto rontgen, dada dan pemeriksaan penunjang lainnya,
menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang
lebih pukul 20:10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh,
Sp. An. pada prinsipnya bagian anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan
bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakannya pembedahan dengan anestesi resiko
tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan bisa terjadi,
tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai
dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga kebidanan
dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per detik dan pada
saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani jika
telah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung)
terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil
pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan
Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x bukan Ventrikel
Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung.
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melakukan pembiusan terhadap korban Siska
Makatey, belum mengetahui bahwa korban Siska Makatey tidak melakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang
lainnya, dan selain itu juga dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani belum menyampaikan kepada
keluarga korban bahwa tentang kemungkinan-kemungkinan ini bisa menyebabkan kematian,
bedasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion
Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah
berat.
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian telah
lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga
terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan
selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Para terdakwa lalai untuk melakukan suatu tindakan atau untuk tidak melakukan
suatu tindakan tertentu terhadap pasien dan kondisi yang tertentu. Para terdakwa telah
melakukan penyimpangan kewajiban, para terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan
tindakan kedokteran yang telah dilakukan terdakwa terhadap korban, Para terdakwa telah
menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata, yaitu terdapatnya tindakan
kedokteran dari para terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak
tidak terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak
korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat
Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, kemudian sejak
diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang
tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medik yang dilakukan, pemasangan infus
dengan jenis obat yang tidak deketahui oleh para terdakwa sampai dengan dikeluarkannya
resep dokter secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapat koordinasi
yang baik dalam tim melakukan tindakan medik.
Akibat perbuatan dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr.
Rumah Sakit Umum Prof.Dr.R.D.kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal
26 April 2010 dan di tandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH.SpF.DFM yang
menyatakan bahwa:
-Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan;
- Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses perubahan pada tubuh
korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya
pengawetan jenazah.
- Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama
setelah melahirkan;
- Tanda kekerasan yang temukan pada pemeriksaan korban :
- Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah
balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada
korban terjadi pada pemberian cairan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari
persalinan itu sendiri.
- Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
menyatakan bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai
hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang:
a. Diagnosa dan tata cara tindakan medik;
b. Tujuan tindakkan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan laain dan resikonya;
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, setelah itu dilakukan kepada pasien barulah si
pasien diminta persetujuannya untuk dilakukan tindakan medik.56
Surat persetujuan tindakan medis sebagaimana diatur dalam Pasal 45
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tidak pernah dimintakan para terdakwa pada korban maupun
keluarganya. Surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi
untuk ditanda tangani korban berbeda dengan tanda tangan korban yang ada di Kartu Tanda Para terdakwa sama sekali tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban
tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk dari tindakan medik yang akan dilaksanakan.
Para terdakwa lalai untuk melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung,
foto rotgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya sebelum operasi cito secsio sesaria
dilakukan. Pemeriksaan jantung korban dilaksanakan setelah operasi selesai dilakukan,
itupun dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani melapor kepada Najoan Nan Waraou
sebagai konsultas jaga kebidanan dan penyakit kandungan, hasil pemerikasaan nadi korban
180 (seratus delapan puluh) x permenit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraou menanyakan
kepada dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani kika dilakukan pemriksaan jantung/EKG terhadap diri
korban, selanjutnya di jawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani tentang hasil pemeriksaan
adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraou
menyatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel
Tachy Kardi tetapi fibrilasi (kelainan irama jantung) dan saksi Najoan Nan Waraou
mengatakan bahwa kondisi pasien/korban jelek dan pasti meninggal. Karena terjadi
kegagalan yang akut disebabkan karena emboli (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu
bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, trombus dan komponen-komponen lainnya) .
56
penduduk dan Kartu Askes. Ternyata dari hasil Pemeriksaan Laboratorium Kriminal, surat
persetujuan tindakan medik tersebut merupakan tanda tangan karangan (palsu).
Perbuatandr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy
Siagiansecara bersama sama telah memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP; Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.
2. Kemampuan bertanggungjawab
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani,dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian mampu
bertanggung jawab, karena para terdakwa tidak termasuk dalam keadaan jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.
Para terdakwa mampu untuk membede-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk
dan mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyapan tentang baik dan buruknya
perbuatan.
3. Tidak ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa seseorang tidak
boleh dicela menurut hukum, dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi di sini ada
alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah;
1. Pasal 44 KUHP
(1) Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berybah akal tidak boleh dihukum
memerintahkan menempatkan dia dirumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa
(3) Yang ditentukan dalam ayat yang diats ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
R. Soesilo memberi penjelsan terhadap Pasal 44 KUHP ini, sebagi berikut:57
Untuk adanya melapaui batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai
berikut:
Yang dimaksud akal disini adalah kekuatan pikiran, daya pikir, kecerdasan. Siapa yang
dianganggap sebagai kurang sempurna akalnya itu misalnya idioot, imbicil, buta-tuli dan bisu
mulai lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena
cacat-cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai anak-anak. Sakit berobah akalnya,
misalnya; sakit gila, manie, hysterrie, epilepsie, malancholie dan bermacam-macam penyakit
jiwa lainnya. Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minum-minuman keras pada
umumnya tidak dipandang masuk golongan orang tersebut sebelumnya, kecuali jika dapat
dibuktikan, bahwa mabuknya itu demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali.
2. Pasal 49 ayat 2 (Noorweer Exces)
“ Tidak dipidana sesorang yang malapaui batas pembelaan yang diperlukan, jika
perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang
disebabkan oleh serangan itu”
58
57
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-KomentarnyaLengkap
Pasal demi Pasal, Politia, Bogor, 1980, hal.51-51
58
Sudardo, Op.Cit, hal 151
1. Kelapauan batas pembelaan yang diperlukan
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat
3. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disbabkan karena adanya serangan dengan kata lain,
antara gegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal.
Yang mengakibatkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan,
misalnya karena sifat mudah tersinggung. Yang perlu diperhatikan bahwa serangan itu
dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Jadi yang dimaksud Noorweer Exces adalah cara pembelaan diri yang melampaui batas
keperluan pembelaan, sedangkan apa yang dimaksud dengan melampaui batas keperluan
pembelaan itu. Pembelaan merupakan Noorweer apabila pembelaan itu, kecuali ditujukan
kepada pembelaan badan, kehormatan, harta benda harus bersifat:
1. Perlu: dikatakan perlu apabila tidak ada jalan yang mungkin untuk menghindari
serangan itu
2. Keharusan: yang dimaksud keharusan adalah harus ada yang diancam dan kepentingan
hukum yang dilanggar karena pembelaan.
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan berdasarkan perintah yang tidak sah tidak
dihukum, apabila orang tersebut memenudi syarat-syarat: Jika perintah yang tidak sah itu,
dikiranya perintah yang sah atau secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah san
dan perintah itu harus terletak pada lingkungan kekuasaan yang diperintah.
3. Pasal 51 ayat 2 Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
“ Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebasakan dari
hukum, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa
perintah itu seakan-akan diberika kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah
Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang.
Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi perbuatannya tidak
dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat:
1. Jika ia mengira dengan itidak baik bahwa perintah itu sah
2. Perintah itu terletak dalam lingkup wewenang dari orang yang diperintah.
Dalam Kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendri Simanjuntak dan dr. Hendy
Siagian sebagai pelaku secara bersama-sama melakukan tindakan medik operasi Caesar yang
mengakibatkan Siska Makatey meninggal dunia. Pada diri pelaku tidak terdapat alasan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan hasil dari pembahasan, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang malpraktik telah banyak menjadi korban dalam
malpraktek ini, seperti korban yang bernama Siska Makatey dalam operasi Cito Secsio
Sesaria harus meninggal karena akibat kelalaian dokter yang menyebabkan korban tersebut
meninggal, dan dalam kejadian itu juga dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian telah melakukan tindakan malpraktek, dalam kejadian
tersebut ketiga dokter tersebut melakukan tindak pidana melakukan kelalaian yang
menyebabkan seseorang meninggal, dalam kejadian tersebut dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
tidak memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) seharusnya dalam melakukan tindakan medis seperti
operasi seorang dokter harus mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani telah melanggar kode etik kedokteran yang dimana telah melakukan tindakan
operasi Cito Secsio Sesaria tanpa adanya Surat Ijin Praktek (SIP). Masalah
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Rumah Sakit yang menanggung akibat
dari tindakan dari dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dokter-dokter lainnya, dan begitu pula
dengan dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani yang menanggung akibat darp perbuatannya telah
menghilangkan nyawa seseorang dalam melakukan tindakan medis yang menyebabkan
pasien tersebut meninggal, dan dr.Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan
dr, Hendy Siagian telah menerima hukuman dari Mahkamah Agung adalah hukuman penjara
selama 10 bulan penjara akibat perbuatannya telah melalaikan pasien dalam tindakan medis
melakukan tindakan medis tanpa adanya Surat Ijin Praktek (SIP) dan sudah melanggar kode
etik kedokteran.
2 Dalam pertimbangan hukum dalam menjatuhkan terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani,
dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian dalam kasus malpraktek dalam melakukan
tindakan medis yang mengakibatkan korban Siska Makatey meninggal duniadan akibat dari
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang mati, diancam dengan pidana paling lama
5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun kejadian tersebut banyak orang tidak
yakin dengan dokter yang telah melakukan malpraktek mereka tidak yakin dengan dokter
tersebut. Dengan ini banyak sekali ketakutan akan masyarakat akan kasus malpraktek yang
dialami oleh orang yang sakit tersebut dan banyak keluarga yang takut dengan kehilangan
anggota keluarganya akibat kejadian tersebut dan mereka semakin takut dengan dokter yang
telah melakukan tindakan malpraktek.
3. Dalam kasus malpraktek ini, banyak sekali yang dirugikan seperti anggota keluarga,
Rumah Sakit yang bersangkutan, anggota keluarag dokter yang menjadi terdakwa dalam
kasus malpraktek, dan orang-orang yang melakukan pengobatan dengan dokter tersebut,
dengan kasus tersebut maka seorang dokter akan menanggung pidana yang akan dijatuhkan
kepadanya dan sanksi-sanksi dari kode etik kedokteran yang membuatnya semakin berat
karena telah melakukan tindakan kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan orang mati dan
tidak adanya Surat Ijin Praktek (SIP) dengan itu.
Dengan kasus malpraktek yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
tentang Praktek Kedokteran , melanggar kode etik kedokteran, dan melakukan pemalsuan
tanda tangan korban Siska Makatey.
B. Saran
Bedasarkan kesimpulan diatas, dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut :
1.Pencegahan dari kejadian yang menimpa keluarga korban Siska Makatey perlu adanya
komunikasi antara dokter dengan pasien ataupun dokter dengan keluarga pasien tentang apa
tindakan-tindakan dokter yang selanjutnya demi kesembuhan pasien tersebut dan adanya pula
pendekatan antara dokter dengan pasien yang akan merawat paseinnya
2. Dengan kejadian ini dokter harus mempunyai Surat Ijin praktek (SIP) untuk melakuka
tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter yang bersangkutan dan melakukan
tindakan-tindakan lain seperti tindakan operasi dan lain sebagainya, dengan mempunyai
Surat Ijin Praktek (SIP) , jika tidak mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) maka hak untuk
melakukan tindakan medis terhadap seorang pasien tidak berhak dalam mengurus pasien atau
melakukan tindakan-tindakan seperti operasi dan lain sebagainya.
Kejadian malpraktek ini seharusnya cepat dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena
seharusnya membantu dalam memberantas kasus malpraktek jangan kasus ini semakin
kemana- mana dan supaya tidak ada lagi anggota keluarganya tidak menjadi korban kasus
malpraktek ini.
Dalam kasus ini pasien harus tahu apa yang dilakukan oleh dokter yang sedang mengobati
pasien tersebut dan dokter tersebut dapat dipercaya oleh pasien atau keluarga pasien dalam
melakukan pengobatan terhadap pasien.
Jika menimbulkan kecurigaan dalam diri pasien baik dari kondisi atau pun dari kesehatannya
BAB II
SYARAT-SYARAT MALPRAKTIK MEDIS YANG DILAKUKAN DOKTER
A. Hubungan Pasien Dengan Dokter
Hubungan antara pasien dan dokter merupakan hubungan kepercayaan, kepercayaan
merupakan salah satu dasar pasien berhubungan dengan dokter, yakni dokter tersebut dapat
dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya. Pada umumnya seseorang tidak akan
datang kepada dokter yang ia tidak percaya akan kemampuan dokter yang mengobatinya. Hal
ini disebabkan pasien sendiri sebagai orang awam terhadap ilmu kedokteran yang tidak
mengetahui penyakit yang dideritanya, sehingga ia sangat membutuhkan orang yang dapat
dipercaya akan mampu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan pasien inilah yang
mengakibatkan kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien, disamping faktor
keawaman pasien terhadap profesi dokter dan faktor adanya sikap solidaritas antar teman
sejawat, serta adanya sikap isolatif terhadap profesi lain.14
Dengan berkembangannya ilmu pengetahuan kesehatan dan perkembangan
masyarakat, maka hubungan yang bersifat timpang atau tidak seimbangini secara
perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena: 15
1. Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran;
2. Adanya kecendrungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien. Dengan demikian terlihat hubungan doter dengan pasien tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial-yuridis dan ekonomis.
14
Husein Kerbala, Segi-Segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1993, hal. 37
15
Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan
pasien, baik dibidang medis, sosiologis maupun antropologis sebagaimana dikutti oleh
Veronica Komalawati menyatakan sebagai berikut:16
d. Kisc dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan
menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang diberikan dokter kepada
pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik
dokter (praktik indevidual atau praktik bersaa), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan
kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak
yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang
pasif dan lemah
b. Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien
merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien
c. Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap
perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan
kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya
sangat diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali
ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada
dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter
umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis.
16
kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang
dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya.
e. Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara dokter dan
pasiennya, yaitu hubungan antar orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan
prototip hubungan antara orang dewasa.
Veronica Komalawati mengutip pendapat Thiroux mengatakan bahwa ada tiga
pandangan yang seharusnya antara dokter dan pasien, yaitu:17
3. Reciprocal atau collegial, pasien dan keluarganya adalah anggota inti dalam kelompok,
sedangkan dokter, juru rawat dan profisional kesehatan lainnya bekerja sama untuk
melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Dalam pandangan ini, kemampuan
profosional dokter dilihat sesuai dengan ilmu dan keterampilannya, dalam hal ini terutama 1. Paternalisme, dokter harus berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya.
Hal ini disebabkan karena dokter mempunyai pengetahuan yang superior tentang
pengobatan, sedangkan pasien tidak memiliki pengetahuan demikian sehingga harus
mempercayai dokter dan tidak boleh campur tangan dalam pengobatan yang
dianjurkannya. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan
pengobatan pasien termasuk informasi yang diberikan harus seluruhnya berada dalam
tangan dokter dan asisten profesional.
2. Indevidualisme, pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Dalam
pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien,
termasuk mengenai pemberian informasi kesehatannya berada dalam tangan pasien karena
sepenuhnya pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri.
17
mengenai hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang setiap prosudur yang harus
didasarkan persetujuan setelah diberi informasi secukupnya. Oleh karena itu, keputusan
yang diambil mengenai perawatan dan pengobatan harus bersifat reciprocal (menyangkut
memberi dan menerima)dan collegial (menyangkut suatu pendekatan kelompok atau tim
yang setiap anggotanya mempunyai masukan yang sama).
Hubungan antar dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni: pola
hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam
hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak
sederajat dengan pasien sebagai pengguna/penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan
dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima jasa
pelayanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan sederajat.
Dalam hubungannya dengan hal ini Soejono Soekanto, mengemukakan pendapatnya
yang mengatakan bahwa: hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan
hubungan hukum keperdataan, dimana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan
penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit
pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat.18
Hubungan dokter dengan pasiennya disebut dengan transaksi terapeutik atau kontrak
terapeutik yaitu suatu transaksi untuk mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk
menyembuhkan penyakit pasien. Sebagai suatu kontrak atau perikatan maka transaksi
terapeutik itu umumnya bersifat inspanningsverbintenis yaitu suat perikatan
18
dimanaprestasinya berupa suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh, tanpa tidak
mendasarkan pada hasil sebagai prestasinya. 19
Pada dasarnya hubungan dokter dan pasiendalamtransaksi terapeutik itu bertumpu
pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas
informasi.20
Transaksi terapeutikyang dilakukukan antara dokter dan pasien bertujuan untuk; Antara dokter dan pasien tim hak dan kewajiban secara timpal balik, apabila hak
dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah saling bersepakat untuk
mengadakan transaksi, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama yang merasa
dirugikan menggugat.
21
Tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki keadaan pasien, atau agar
kesehatan pasien lebih baik lagi dari sebelumnya, maka penggunaan metode giagnostik
atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindari. Pemberian bantuan atau
pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari suatu tugas
pemberi pelayanan medik yang didasarkan pada ketelitian dan sikap hati-hati. 1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit
Pemberi pelayanan medik berkewajiban untuk memberikan bantuan medik yang dibatasi
oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat mencegah atau
menghentikan proses penyakit yang bersangkutan. Tujuan bertindak untuk
menyembuhkan menjadi rasa percaya diri sendiri yang dimiliki manusia menjadi optimal.
2. Meringankan penderitaan
19
Husein Kerbala, , Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 37-38
20
Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya,1984, hal. 69
21
3. Mendampingi Pasien
Kegiatan mendampingu pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan untuk
menyembuhkan pasien. Di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan yang menyatakan
bahwa kegiatan yang didasaarkan keahlian secara teknis merupakan kewajiban yang lebih
penting daripada kegiatan untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendapingi
pasien.
Transaksi terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu ;22
Secara yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah
kewenangan seseorang untuk mengkatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. 1. Sepakat mereka mengikat diri
Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilapan, atau
paksaan, atau penipuan. Sepakat itu dilihat dari rumusan aslinya yang berbunyi persetijuan
(toestemming) dari mereka yang mengikat dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian
minimal harus ada dua subyek hukum yang dapat menyatakan kehendak untuk mengikat
diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua belah pihak itu bersesuaian,
dalam ari kehendak pihak yang satu mengisi kehendak pihak lainnnya secara bertimbal
balik. Adanya cara menyatakan persesuaian kehendak itu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Oleh karena itu sebenanya yang
dimaksud dengan sepakat adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian
didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disaratkan adanya
persesuaian kehendak dari kedua belah pihak.
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
22
Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata
bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang
tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang
yang dinyatakan tidak cakap yaitu oranng yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang dibuatny perjanjian tertentu. Didasarkan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri,
sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan Kata lain
ketidak wenangan hanya menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, dan orang yang dinyatakan tidak berwenang adalah orang yang secara umum
cakap untuk bertindak. Berarti orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah orang yang
mempunyai wewenang hukum, karena orang yang mempunyai wenang hukum adalah
orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak tetapi pada peristiwa tertentu tidak
dapat melaksanakan tindakkan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu
secara sah. Didalam transaksi terapiutik, pihak penerima pelayanan medik terdiri dari
orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap bertindak
memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak dibawah umum tetapi telah dianggap
dewasa atau matang, dan anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua
atau walinya.
3. Suatu hal tertentu
Pasal 1333 ayat 1 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai
pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Pasal 1333 ayat 2
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Di samping itu Pasal 1337
KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketentuan umum.
Bila dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah sesuai
yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut
hanya dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang
didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Jika dokter tidak dapat
menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang
akan dilakukannya maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal dalam undang-undang tidak dijelaskan secara tegas. Akan tetapi
hal ini dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337
KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab,
atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu, tidak mempunyai kekuatan. Dari
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu
perjanjian dengan suatu sebab yang halal, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan
suatu sebab yang palsu atau terlarang. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu
sebab adalah dilarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak
dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Bila
alasan apapun merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan
melalui pembedahan terhadap penderita penyakit terminal dengan tujuan penelitian
tarapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang palsu.
Kesepakatan untuk melakukan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien baru
dapat dilakukan apabila sebelumnya ada persetujuan tindakan medik dari si pasien.
Persetujuan medik atau Informed Consentyang diberikan setelah pasien yang bersangkutan
diberi informasi. Informed Consent pada hakekatnya adalah persetujuan atas dasar informasi,
merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri didalam praktek doketer.
Informasi yang harus diberikan dokter adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu
informasi yang adekuat tertang perlunya tindakan midik yang bersangkutan dan resiko yang
dapat ditimbulkannya.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 585/1989 mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pelasanaan Informed Consent, berisi antara lain:
1. Kewajiban tenaga kesehatan memberikan informasi baik diminta maupun tidak diminta,
diberikan secara edukuat tentang perlunya tindakan medik dan resiko yang dapat
ditimbulkannya, diberikan secara lisan dan cara penyampaian informasi harus disesuaikan
dengan kondisi dan situasi pasien.
2. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang
akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik, informasi cukup diberikan secara
lisan, informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali dokter menilai akan
merugikan pasien dan informasi tersebut dengan persetujuan pasien akan diberikan
3. Pemberian informasi adalah dokter yang bersangkutan, dalam hal berhalangan dapat
diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dan tanggungjawab dari dokter yang
bersangkutan, dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi. Untuk tindakan
operasi harus dokter yang memberikan informasi, untuk bukan tindakan operasi sebaiknya
oleh dokter yang bersangkutan, tetapi dapat juga oleh perawat/paramedik.
4. Jika perluasan operasi dapat diprediksi, maka informasi harus diberikan sebelumnya, dalah
hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka demi menyelamatkan jiwa pasien dapat
dilaksanakan tindakan medik dan setelah dilaksankan tindakan, dokter yang bersangkutan
harus memberitahukan kepada pasien atau keluarganya.
5. Yang berhak memberi persetujuan, adalah mereka yang dalam keadaan sadar dan sehat
mental, telah berumur 21 tahun/ telah menikah, bagi mereka yang telah berusia 21 tahun
tetapi berada dibawah pengampuan maka persetuan diberikan oleh wali/pengampu, bagi
mereka yang dibawah umur (belum berusia 21 tahun) diberikan oleh orang tua/wali/
keluarga yang terdekat atau induk semang.
6. Bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pengsan dan tidak didampingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik memerlukan tindakan segera,tidak diperlukan persetujuan.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dalam :
Pasal 45: (1) Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosa dan tata cara tindakan medik; b. tujuan tindakan medik yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberi persetujuan
Pasal 52: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3
b. meminta pendapat dokter lain.
Pemberian informasi ini merupakan pekerjaan/tugas dokter yang cukup sulit karena
dalam pemberian informasi itu dokter harus menghadapi berbagai macam pasien dengan
kepribadian, sifat dan sikap yang berbeda. Sementara tujuan dari penyampaian informasi itu
harus tercapai, dalam arti pasien dapat memahami pokok-pokok dari informaasi. Diantara
faktor-faktor subyektif pasien yang turut mempengaruhi dalam proses penyampaian
informasi adalah:23
Menghadapi pasien yang persepsi negatif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan dimana
dokter digambarkan sebagai sosok yang menakutkan dan selalu memegang jarum suntik,
maka selengkap apapun informasi dari tindakan invasif dan operatif yang akan diambil a. Tingkat pendidikan
Bagi pasien yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas akan menanyakan perihal
penyakitnya sampai kepada hal yang terkecil. Keingintauan pasien seperti ini sangat besar
sekali terhadap keadaan kesehatan, penyakit serta tindakan-tindakan medis yang akan
diterapkan oleh dokter. Sebaliknya bagi pasien yang berpendidikan rendah dan kurang
dapat memahami penjelasan dan informasi medis dokter akan selalu menerima dan
menyetujui tindakan apapun yang akan dilakukan dokter.
b. Persepsi pasien terhadap dokter dan alat-alat kedokteran.
oleh dokter maka pasien ini tidak akan pernah menyetujuinya. Sedangkan pasien yang
mempunyai persepsi positif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan akan memilik sikap
wajar dalam meminta informasi serta menyetujui/tidak menyetujui tindakan medis yang
akan diambil oleh dokter.
c. Persepsi pasien terhadap penyakit
Bagi pasien yang mempunyai persepsi/ anggapan bahwa penyakit yang dideritanya ini
cepat atau lambat akan membawa kepada kematian, cenderung akan menyetujui
tindakan-tindakan invasif dan operatif yang mempunyai resiko besar sekalipun seperti pembedahan.
Informasi dari dokter kepada pasien ini akan penyakit dan terapi ringan yang dapat
dilaksanakan, tidak akan hanya mempengaruhi sikap pasien untuk memutuskan tindakan
operatif yang radikal tersebut. Sementara bagi pasien yang selalu memandang penyakitnya
itu dengan sebelah mata dan meremehkan paadahal menuurut penilaian dokter, penyakit
itu sudah pada stadium parah, tidak akan pernah menyetujui tindakan operatif maupun
tindakan invasif lainnya seperti pembedahan.
Fungsi infomasi bagi pasien adalah sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan
(consent) yang akan ia berikan kepada dokter.Sehingga apabila informasi yang diberikan
dokter itu kurang memadai atau dokter tidak memberikan informasi sama sekali, maka pasien
tidak akan mempunyai landasan yang cukup untuk memutuskan memberi atau tidak memberi
persetujuan kepada dokter. Informasi bagi pasien juga berfungsi sebagai perlindungan atas
hak pasien untuk menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk
Azrul Azwar mengemukakan ada lima hal yang pentingnya infomed consent bagi
dokter, kelima hal tersebut adalah:24
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan di sini adalah sebagai akibat dari lancqarnya
tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan kompilasi serta sepatnya proses 1. Dapat membatu kelancaran tindakan kedokteran
Dengan menyampaikan informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan,
resiko dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin baik antara
dokter dan pasien. Sementara pasienpun akan menentukan hal yang terbaik dengan
landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar
dijalankani oleh kedua belah pihak karena keduanya telah memahami kegunaan semua
tindakan medis itu.
2. Dapat menguangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi.
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberikan dampak yang baik dalam
komunikasi dokter pasien terutama dalam menetapkan terapi. Seumpamanya dokter belum
menyuntik pasien dengan panisilin, bertanya apakah pasien alergi terhadap panisilin ? Bila
pasien memang alergi maka akibat/resiko yang besar terjadi anafilaktik shock dapat
dihindari.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagian akibat adanya pengetahuan dan
pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan,
maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
24
pemulihan dan penyembuhan penyakit. Keadaan seperti ini jelas akan menguntungkan
pihak dokter.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum.
Perlindungan yang dimaksud adalah apabila di satu pihak, tindakan dokter yang dilakukan
memang tidak menimbulkan masalah apa pun, dam di lain pihak, kalaupun kebetulan
sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau komplikasi, sama
sekali tak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalaha tindakan. Timbulnya
masalah tersebut semata-mata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari
setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan kedokteran
yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi.
Fred Amen mengutip pendapat Leenen, mengatakan bahwa informasi seorang dokter
kepada pasien berupa penjelasan perihal:25
25
Fred Ameln, Op. Cit, hal. 45
1. Diagnosa adalah hasil pemeriksaan dokter terhadap pasien tentang kemungkinan jenis
penyakit yang diderita pasien.
2. Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi ialah cara pengobatan atau terapi yang
terbaik dan menguntungkan bagi penyembuhan penyakit pasien. Dan cara pengobatan ini
adalah beberapa alternatif dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing
3. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter ialah cara kerja dari terapi yang akan
diterapkan, apakah harus melalui pembedahan, pembiusan total dan lainnya; dan
pengaaman terapi yang akan dilaksanakan itu, apakah menurut pengalaman terapi itu lebih
besar kemungkinan berhasilnya atau gagalnya informasi ini juga penting bagi pasien