• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENDISTRIBUSIAN OBAT-OBATAN TANPA KEAHLIAN DAN KEWENANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENDISTRIBUSIAN OBAT-OBATAN TANPA KEAHLIAN DAN KEWENANGAN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

RIA MELINDA

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENDISTRIBUSIAN OBAT-OBATAN

TANPA KEAHLIAN DAN KEWENANGAN

Oleh RIA MELINDA

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa kemanusiaan, maka berpengaruh pada prilaku yang negatif. Salah satu kejahatan yang sering terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi, yaitu menjual obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam keselamatan konsumen. Meskipun pengaturan mengenai pendistribusian obat-obatan sudah dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun kejahatan di bidang farmasi ini terus terjadi. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan? (2) Faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penanggulangan distributor obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat?

(2)

RIA MELINDA

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obat tanpa keahlian dan kewenangan melalui upaya non penal yaitu (a) Terhadap distributor obat di toko-toko obat, harus diberikan sosialisasi oleh BPOM mengenai ketentuan pendistribusian yang baik sesuai aturan yang berlaku, (b) Masyarakat yang mengetahui ada distributor obat yang menyalahi tugasnya harus segera melaporkan kepada aparat yang berwenang yaitu kepolisian dan BPOM, (c) Razia-razia terhadap toko-toko obat yang di lakukan oleh BPOM bekerja sama dengan kepolisian secara rutin dan merata ke semua toko obat untuk mencegah adanya distributor obat yang menyalahi aturan. Melalui upaya penal yaitu (a) Tindakan penyitaan obat-obat keras yang di jual di toko obat tanpa keahlian dan kewenangan oleh distributor, (b) Pemberian pidana yang berat terhadap distributor obat-obat keras Tanpa Keahlian dan Kewenangan sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Faktor penghambat dalam penanggulangan kejahatan terhadap distributor yang mendistribusikan obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan yaitu (a) Faktor penegak hukum yang jumlah lah nya terbatas dalam pembagian tugas, serta tidak semua aparat penegak hukum melakukan tugas secara professional sehingga penegakan hukum kurang dapat diselenggarakan dengan baik, (b) Faktor masyarakat yang masih kurang aktif sebagai pelapor atau mengadukan adanya distributor obat-obat keras yang dapat mengancam keselamatan konsumen, (c) Faktor kebudayaan dalam masyarakat yang masih memegang pemikiran bahwa upaya penyembuhan terhadap diri yang terserang penyakit dapat dilakukan dengan membeli obat di toko obat tanpa harus menggunakan resep dokter.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa kemanusiaan, maka berpengaruh pada prilaku yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang berkembang tersebut menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan bahkan kerugian materil maupun immateril bagi masyarakat. Salah satu kejahatan yang sering terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi, yaitu obat-obatan.

Mengingat pentingnya Obat dalam memenuhi kebutuhan penyembuhan kesehatan masyarakat, maka sebaiknya konsumen lebih teliti dalam memilih obat. Dan memahami bahwa tidak semua obat dapat di konsumsi secara bebas, karena ada beberapa obat yang memang memerlukan resep dokter untuk bisa mengkonsumsinya, yaitu obat keras.

Pengertian Obat dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

(4)

dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan.

Meskipun pengaturan mengenai pendistribusian obat-obatan sudah dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Namun kejahatan di bidang farmasi ini terus terjadi. Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM mengawasi distribusi peredaran obat-obatan, menemukan banyak kasus penjualan obat keras di toko-toko obat yang dalam hal ini penjualan obat keras tanpa keahlian dan kewenangan.

Obat-obatan yang dijual di apotik biasanya berasal dari distributor obat yang memang menyediakan obat hasil produksi perusahaan farmasi (Pharmaceutical company). Apotik mempunyai izin resmi dari dinas kesehatan setempat dan dibawah pengawasan seorang apoteker, sehingga obat yang didapatkan dari apotik bisa kita jamin kualitas dan keasliannya. Selain di apotik, obat juga bisa didapatkan melalui toko obat.

Toko obat yang banyak kita temui sekarang ini, menjual bermacam-macam produk kesehatan. seperti obat sakit kepala, obat demam, dan obat-obat lainnya yang seharusnya menyembuhkan penyakit yang diderita konsumen. Namun, sering ditemukan obat-obat keras yang memang dapat di konsumsi masyarakat harus melalui resep dokter. Karena di takutkan terjadi pemakaian obat yang dapat mengancam keselamatan konsumen.

Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu:

(5)

Ketentuan pidana di atur dalam Pasal 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu:

“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Contoh kasus mengenai pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan atas nama Liani binti Djon Naga Nata telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan nomor putusan 445/PID B/2011/PN.TK yaitu mengedarkan atau mendistribusikan obat keras tanpa keahlian dan kewenangan di toko nya berupa Ponstan FCT 500, Mexon Tab, Antalgin 500 mg Corosa, Ciprofloxacin 500 mg tab. (Pra riset di Pengadilan Negeri kelas 1A Tanjung Karang).

Suatu perbuatan yang dapat mengancam keselamatan konsumen atau menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang. Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-undang yang bertugas mengedarkan obat dan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer.

Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah, sangat perlu bagi perlindungan konsumen.

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:

1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(6)

3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Hak-hak konsumen yang di atur dalam ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Namun, Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya sesuai pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Upaya penegakan hukum di masyarakat dapat mengurangi kejahatan-kejahatan yang sedang terjadi, dengan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku dan meningkatkan upaya penanggulangan kejahatan pendistribusian Obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan.

Kebijakan Hukum pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat Undang-Undang tetapi juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan Undang-Undang (Barda Nawawi Arief, 2002).

(7)

berkaitan dengan beberapa faktor yang mempengaruhi maksimalisasi dan efektivitas hukum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor perundang-undangan, faktor penegak hukum dan faktor kesadaran hukum (Soerjono Soekanto, 1983).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis tentang

“Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Pendistribusian Obat

-Obatan tanpa keahlian dan Kewenangan”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan?

2. Faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penanggulangan distributor obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat?

2. Ruang Lingkup

(8)

Bidang ilmu yang digunakan adalah hukum pidana, yaitu analisis kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan. 2. Ruang lingkup bidang bahasan

Ruang lingkup kajian bahasan tersebut meliputi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perundang-undang mengenai kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan di wilayah Lampung tahun 2010-2011.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian

obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan.

2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi penghambat dari penegakan hukum pidana terhadap distributor obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

(9)

perkembangan Hukum Pidana mengenai peranan hukum pidana terhadap pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam keselamatan konsumen.

b. Kegunaan Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam penanggulangan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasar nya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1981: 116).

Pengertian kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ini sering dikenal dengan beberapa istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”

Pengertian kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Sudarto dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2002: 24) adalah:

(10)

2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bias digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Pengertian kebijakan hukum pidana atau “penal policy” menurut Marc Ancel secara singkat dapat dinyatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.

Kebijakan hukum pidana atau “Strafrechtspolitiek” menurut A. Mulder adalah garis kebijakan untuk menentukan:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Definisi Mulder bertolak dari pengertian system hukum pidana menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa yang terorganisir memiliki system hukum pidana yang terdiri dari:

1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. Suatu prosedur hukum pidana;

3. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

(11)

Penegakan hukum pidana dilakukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan hukum pidana menurut teori yang dikemukakan oleh G.P Hoefnagel yaitu penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat melalui jalur “non-penal” yang menitik beratkan sifat “preventif”

(pencegahan) sebelum kejahatan terjadi dan melalui jalur “penal” (hukum pidana) yang menitik beratkan sifat “represif” (pemberantasan) setelah kejahatan terjadi (Barda Nawawi Arif, 2002: 42)

Hukum merupakan alat yang sangat ampuh dalam mengatasi masalah-masalah kejahatan ditengah masyarakat. Tujuan penegakan hukum pidana adalah untuk mengamankan agar hukum dapat diselenggarakan dengan baik untuk mengayomi serta bertugas melindungi tertib Negara Pancasila, dimana keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan dengan menanggulangi perbuatan yang merintangi tujuan hukum dengan memberikan sanksi-sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan melihat pada ketentuan dalam Undang-Undang 7 tahun 1963 tentang Farmasi. Serta akan membahas mengenai BPOM yang mengawasi penjualan obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang saat ini banyak beredar di masyarakat dan para aparat penegak hukum yang berperan dalam penegakan hukum dalam upaya penanggulangan kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat.

(12)

a. Faktor perundang-undangan, substansi hukum

Bahwa semakin memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sulit menegakkannya. Secara umum bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofi.

b. Faktor Penegak Hukum

Bahwa faktor penegak hukum ini menentukan proses penegakan hukum yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum tersebut. Adapun pihak-pihak ini yang langsung berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap pendistribusian obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan konsumen.

c. Faktor kesadaran hukum

Bahwa ini merupakan bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum dan kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu, sedangkan kesadaran masyarakat yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penegakan hukum itu (Soerjono Soekanto, 1983: 5)

Pembagian ketiga faktor ini dapat di kaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dan kebijakan kriminal dengan melihat dari teori yang dikemukakan oleh G.P Hoefnagel sebenarnya terletak pada faktor yang mempengaruhinya (Soerjono Soekanto, 1983: 5) yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri.

2. Faktor penegak, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

(13)

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, karena merupakan esensi dari penegakan hukum guna menanggulangi kejahatan pendistribusian obat-obat tanpa keahlian dan kewenangan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep khususnya yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1981: 124)

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya (Poerwadarminta, 1995: 37).

b. Kebijakan Hukum pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang (Barda Nawawi Arief, 2002).

(14)

c. Distributor adalah setiap orang perseroan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999).

d. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Pasal 1 Ayat (8) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

e. Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soerjono Soekanto, 2003: 92).

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka perlu disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, Penentuan Populasi dan Sampel, Pengumpulan dan Pengolahan Data, Analisis Data dan Sistematika Penulisan.

(15)

Bab ini berisikan tentang pemahaman terhadap pengertian yang berhubungan dengan pembahasan yaitu obat-obatan, dasar hukum dalam mekanisme peredaran obat-obatan berdasarkan peraturan dalam bidang Kesehatan, Farmasi, Perlindungan Konsumen, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang terdiri dari pendekatan masalah, Sumber dan Jenis Data, Populasi dan Sampel, Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data, serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan hasil dari permasalahan yang telah dirumuskan dan memuat tentang analisis kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan.

V. PENUTUP

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pelaku Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu

strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dan demikian juga dalam Wvs Hindia

Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yaitustraf, baar dan feit.Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002: 67).

Tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang menyebabkan orang tersebut menanggung pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kartini Kartono, 2001: 127).

Pelaku tindak pidana dalam hal ini telah disebutkan siapa yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yaitu:

Ayat (1) ke.1. Mereka yang melakukan, menyuruh dan yang turut serta melakukan perbuatan. ke.2. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan

(17)

Secara Yuridis formal, tindakan kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-Undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang harus di hindari, dan barang siapa yang melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara dicantumkan dalam Undang-Undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Mengingat hal tersebut maka setiap warga masyarakat secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang seperti: kepolisian, kejaksaan, kehakiman atau pengadilan, lembaga masyarakat dan lain-lain menanggulangi setiap kejahatan atau kriminal sejauh mungkin.

Setiap kejahatan yang di lakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku kriminal akan diberikan sanksi hukum atau akibat berupa pidana atau pemidanaan.

Pasal 304 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena perjanjian, dihukum

penjara”.

(18)

yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya di mengerti sebagai perilaku manusia yang mencangkup dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya oleh Undang-Undang dan di ancam dengan sanksi pidana.

Ilmu hukum pidana menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang positif maupun negatif untuk dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan itu harus memenuhi rumusan Undang-Undang

Setiap perbuatan manusia baik yang positif maupun negatif untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus memenuhi apa yang dirumuskan oleh Undang-Undang.

b. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum

Perbuatan manusia yang telah memenuhi rumusan Undang-Undang pidana tidak dapat dipidana, karena tidak bersifat melawan hukum

Berdasarkan uraian di atas kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan adalah tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang karena melakukan distribusi obat tanpa keahlian dan kewenangan dimana tindakan itu dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya karena telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu:

(19)

Ketentuan pidana di atur dalam Pasal 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu:

“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

B. Pengertian Obat-obatan

1. Definisi Obat yang ada di Indonesia

a. Obat Paten Adalah obat baru yang ditemukan berdasarkan riset dan pengembangan, diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu dan dilindungi hak patennya selama nomimal 20 tahun.

b. Obat Generik Adalah obat yang dapat diproduksi dan dijual setelah masa paten suatu obat inovator habis. Obat Generik adalah obat yg dipasarkan berdasarkan nama bahan aktifnya. Sejatinya obat generik mempunyai standar keamanan, kualitas dan efikasi (BA/BE) yang sama dengan obat inovator. Program pemerintah: Obat Generik Berlogo (OGB)

c. Obat Generik Bermerek Di Indonesia obat generik bermerek adalah obat generik yang dipasarkan dengan menggunakan merek dagang tertentu.

2. Macam-macam obat

(20)

b. Obat bebas terbatas yaitu obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas terbatas termasuk obat keras dimana pada setiap takaran yang digunakan diberi batas dan pada kemasan ditandai dengan lingkaran hitam mengelilingi bulatan berwarna biru serta sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5 November 1975 ada tanda peringatan P. No.1 sampai P.No.6 dan harus ditandai dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan alamat produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan serta kontraindikasi.

c. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf “K” di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain) Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

d. Obat Narkotika dan Psikotropika

(21)

melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

1. Bahan Berbahaya dalam Obat

Pengawasan obat dan makanan menentukan zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI No. 00386/C/SK/II/1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika, yaitu:

a. Jingga K1 (C.I.Pigment Orange 5, D&C Orange No. 17); b. Merah K3 (C.I.Pigment Red 53,D&C Red No.8);

c. Merah K4 (C.I.Pigment Red 53:1,D&C Red No.9);

d. Merah K10 (RhodamineB, D&C Red No.9,C.I.Food Red 15); e. Merah K11.

4. Ketentuan mengenai pedagang eceran sasuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1331/MENKES/SK/X/2002 antara lain:

a. Pedagang eceran obat menjual obat-obat bebas dan obat-obatan bebas terbatas dalam bungkusan dari pabrik yang membuatnya secara eceran.

b. Pedagang eceran obat harus menjaga obat-obat yang dijual bermutu baik dan berasal dari pabrik-pabrik farmasi atau pedagang besar farmasi yang mendapat izin dari Menteri Kesehatan.

c. Setiap pedagang eceran obat wajib mempekerjakan seorang asisten apoteker sebagai penanggung jawab teknis farmasi.

(22)

Peraturan pemeriksaan dan pengawasan produksi dan distribusi obat dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 950/ph/65/b yaitu:

a. Pabrik adalah farmasi yang membuat obat, apotek yang meracik obat. b. Importir adalah importer obat dan bahan obat.

c. Pedagang adalah pedagang besar farmasi (selanjutnya disebut PBF) apotek yang menjual obat, pedagang eceran farmasi dan“drugistery”.

d. Hukuman dilapangan administratif adalah pencabutan Izin/Pengakuan oleh Departemen Kesehatan.

Mengenai Kewajiban distributor dalam peredaran obat-obatan di masyarakat yaitu:

a. Menyalurkan obat murni dan bermutu tinggi berasal dari pabrik farmasi/importer farmasi/pedagang besar farmasi/apotek yang telah mendapat izin/pengakuan dari Departemen Kesehatan.

b. Menyalurkan obat setelah diketahui obat tersebut secara pasti dijual/dibuat menurut ketentuan-ketentuan yang ada.

c. Distributor tidak diperkenankan mengedarkan obat atau bahan obat yang tidak jelas asal-usulnya.

Distributor sebagai pihak yang menyalurkan barang atau jasa memiliki kewajiban lainnya dalam hubungan dengan konsumen, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kewajiban pelaku usaha adalah:

(23)

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Dasar hukum Peredaran Obat-obatan Secara Umum

Peredaran obat-obatan di masyarakat memerlukan peraturan yang harus di patuhi untuk menjamin keamanan dan mutu obat tersebut, yaitu:

1. UU NO. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dimaksud sebagai landasan bagi berbagai peraturan mengenai sistem pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Undang-Undang ini mencakup pengaturan berbagai hal pokok tentang kesehatan, antara lain:

(24)

kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial;

2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta didalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan;

3. Tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta mengerakan peran serta masyarakat; 4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan

melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan;

6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang NO. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495), pengertian sediaan farmasi, pengamanan sediaan farmasi, dan ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam beberapa pasal, yaitu:

Pasal 1 ayat (9)

(25)

Pasal 6

Pemerintah bertugas mengatur, membina, mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.

Pasal 39

Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan.

Pasal 41

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.

Pasal 63

Ayat (1) Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(26)

Ayat (1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :

a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);

b. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1); c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

d. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1); e. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2);

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063):

Pasal 1 ayat (4)

sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.

Pasal 1 ayat (8)

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

Pasal 98

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

(27)

ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 99

ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.

ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.

Pasal 100

ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.

Pasal 102

ayat (1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.

ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.

ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 106

(28)

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

Dalam pasal 3 mengatur tentang peredaran obat di masyarakat, diantaranya:

Usaha-usaha untuk keperluan rakyat akan perbekalan kesehatan dibidang farmasi, adalah sebagai berikut:

(29)

b. Usaha-usaha penyelidikan (penelitian) oleh Lembaga Farmasi Nasional, Universitas-universitas dan lain-lain.

c. Usaha-usaha pengawasan oleh Pemerintah, Pusat maupun Daerah.

2. Peraturan-Peraturan, Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan Keputusan BPOM

a. Surat Kep. Men. Kes. No. 245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan dan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi.

b. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Dep.Kes. RI No. 00386/C/SK/II/1990 tentang Perubahan Lampiran Per.Men.Kes Np. 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.

c. PerMenKes No. 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi

d. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Pedagang Besar Farmasi.

e. Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.34.03747 Tahun 2001 tentang Persyaratan Tambahan Izin Usaha Industri farmasi.

h. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1331/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas PerMenKes No. 167/KAB/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran Obat.

(30)

j. KepMenKes No. 639/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman Umum Pengadaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar Tahun 2003

D. Fungsi dan Tugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga

belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat.

Pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan perlindungan kepada konsumen. Indonesia telah membentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembaga-lembaga pemerintah nondepartemen.

(31)

dengan masih banyaknya ditemui obat dan makanan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan masih beredar di masyarakat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat BPOM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia dan memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

1. Fungsi BPOM

Badan Pengawas Obat dan Makanan memiliki fungsi dalam peredaran obat-obatan antara lain: a. Mengatur, regulasi, dan standarisasi peredaran obat-obatan dan makanan di masyarakat. b. Isensi dan sertifikat industri dibidang farmasi berdasarkan cara produksi yang baik.

c. Evaluasi produk obat dan makanan sebelum diizinkan beredar yang diharapkan obat-obatan dan makanan yang beredar sudah benar-benar tidak membahayakan konsumen.

d. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum.

e. Pre-audit dan paska-audit iklan dan promosi produk obat dan makanan untuk dapat terus mengawasi peredaran obat dan makanan agar tidak terjadi kerugian yang dapat dirasakan oleh konsumen karena pemahaman akan iklan yang kurang oleh masyarakat.

f. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan yang beredar dimasyarakat.

(32)

2. Tugas BPOM :

a. Mengawasi peredaran obat dan makanan di Daerah Tingkat I Propinsi yang sejajar dengan Departemen Kesehatan di Tingkat Daerah.

b. Memberikan Perlindungan hukum kepada konsumen agar konsumen merasa aman mengkonsumsi obat-obatan dan makanan yang bredar dipasaran.

c. Memberikan teguran keras terhadap produsen dan distributor yang mengedarkan obat-obatan dan makanan tersebut dapat mengancam keselamatan konsumen.

d. Menegakan hukum pidana dengan cara memberikan sanksi terhadap produsen atau distributor yang membuat atau mengedarkan obat-obatan dan makanan yang dapat mengancam keselamatan konsumen.

E. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang hidup dalam masyarakat. Yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu perkembangan hukum khususnya hukum pidana perlu ditingkatkan dan diupayakan secara terpadu.

Kebijakan di sini mengandung arti bahwa setiap tahap kebijakan, memenuhi:

1. Formulasi, atau perumusan hukum pidana yang merupakan kebijakan legislatif, meliputi tujuan pidana, sanksi pidana, subjek, pertanggungjawaban.

(33)

3. Eksekusi, atau pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kebijakan eksekutif atau administratif, meliputi penempatan dan pembinaan (Barda Nawawi Arief, 2000: 3).

Kebijakan kriminal menurut Sudarto dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2002: 1) adalah:

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil sari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Kebijakan hukum pidana menurut Sudarto dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2002: 24) adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi

pada suatu saat.

2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bias digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

(34)

pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana).

Menurut G.P Hoefnagels (Barda Nawawi arief, 2002: 42) tentang usaha penanggulangan tindak

pidana atau biasa dikenal dengan istilah “Politik Kriminal”(criminal policy), dinyatakan bahwa politik kriminal meliputi:

1. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application) 2. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punishment)

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing Views Of Society On Crime and Punisment/mass media)

Pada butir (1) menitik beratkan pada sifat represif (pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi termasuk dalam sarana penal, sedangkan pada butir (2) dan (3) menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi dikelompokan dalam sarana non penal.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan hukum

Penegakan hukum dan kebijakan kriminal merupakan suatu system yang menyangkut suatu penyerasia antara nilai dan segala usaha yang rasional dengan kaidah serta perilaku nyata manusia untuk menanggulangi kejahatan. Penegakan hukum terhadap pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan terdiri dari tiga faktor:

a. Faktor perundang-undangan, substansi hukum

(35)

b. Faktor Penegak Hukum

Bahwa faktor penegak hukum ini menentukan proses penegakan hukum yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum tersebut. Adapun pihak-pihak ini yang langsung berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap pendistribusian obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan konsumen.

c. Faktor kesadaran hukum

Bahwa ini merupakan bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum dan kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu, sedangkan kesadaran masyarakat yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penegakan hukum itu (Soerjono Soekanto, 1983: 5)

Pembagian ketiga faktor ini dapat di kaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dan kebijakan kriminal dengan melihat dari teori yang dikemukakan oleh G.P Hoefnagel sebenarnya terletak pada faktor yang mempengaruhinya (Soerjono Soekanto, 1983: 5) yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri.

2. Faktor penegak, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, menurut Soerjono Soekanto (1984: 52) yaitu:

1. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu suatu pendekatan dari sudut hukum yang berpedoman pada peraturan-peraturan, teori-teori, azas-azas, serta bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah yang di bahas melalui penelusuran kepustakaan.

2. Pendekatan secara yuridis empiris yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pendapat dari para akademisi hukum pidana terhadap pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan konsumen yang dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung dilapangan tentang bagaimana penanggulangan terhadap peredaran obat-obatan tersebut yang dapat mengancam kesehatan konsumen, pendekatan di atas, diharapkan dapat memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan mendalam terhadap permasalahan yang di bahas di skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

(37)

1. Data primer adalah data yang di peroleh secara langsung dari lapangan berupa keterangan-keterangan dan informasi dari responden secara langsung yang di dapat melalui wawancara dan observasi lapangan mengenai pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan.

2. Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu sudah dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang lain di luar peneliti yang berupa dokumen, laporan-laporan yang ada hubungannya dengan penelitian ini, terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat berupa undang-undang, dokumen, yurisprudensi yang berasal dari ketentuan yang terdapat dalam :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

2. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang secara tidak langsung dapat memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer, antara lain:

a. Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.34.03747 Tahun 2001 tentang Persyaratan Tambahan Izin Usaha Industri farmasi.

(38)

3. Bahan hukum tersier, berupa bahan bacaan lain yang sifatnya karya ilmiah, Buku-buku, Kamus, Majalah, Koran, Artikel dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah Jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang akan diteliti. Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil populasi yaitu BPOM Bandar Lampung, Polda Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi untuk mewakili populasi. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi untuk mencapai tujuan, maka sampel dalam penelitian ini yaitu:

1. Pegawai BPOM Bandar Lampung = 1 Orang

2. Polda bagian penyidikan di Bandar Lampung = 1 Orang 3. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 Orang

4. Hakim PN Kelas 1A Tanjung Karang = 1 Orang

5. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 Orang +

Jumlah = 6 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

(39)

Berdasarkan jenis data di atas, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan suatu penelitian dimana peneliti secara langsung terjun ke lapangan untuk mendapatkan data dan keterangan keterangan yang diperlukan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data melalui studi lapangan adalah dengan melakukan wawancara.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan pengumpulan bahan-bahan kepustakaan yang berupa buku-buku literatur, peraturan perundangundangan, makalah, dan bahan kepustakaan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti agar mendapatkan gambaran dan pengertian secara teoritis.

c. Studi Dokumen

Studi pokok dokumen yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan peredaran dan perizinan obat-obatan.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editingyaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan, apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

(40)

c. Evaluating yaitu memeriksa atas kelengkapan data, kejelasan yang relevan terhadap pokok bahasan.

E. Analisis Data

Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diidentifikasi (Masri Singaribun dan Sofyan Affendi, 1985; 213).

(41)

1

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu :

1. Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obat tanpa keahlian dan kewenangan dilakukan melalui upaya non penal dan upaya penal. Melalui upaya non penal yaitu :

a. Terhadap distributor obat di toko-toko obat, harus diberikan sosialisasi oleh BPOM mengenai ketentuan pendistribusian yang baik sesuai aturan yang berlaku.

b. Masyarakat yang mengetahui ada distributor obat yang menyalahi tugasnya harus segera melaporkan kepada aparat yang berwenang yaitu kepolisian dan BPOM.

c. Razia-razia terhadap toko-toko obat yang di lakukan oleh BPOM bekerja sama dengan kepolisian secara rutin dan merata ke semua toko obat untuk mencegah adanya distributor obat yang menyalahi aturan.

Melalui upaya penal yaitu:

a. Tindakan penyitaan obat-obat keras yang di jual di toko obat tanpa keahlian dan kewenangan oleh distributor.

(42)

2

2. Ada 2 (dua) faktor yang jadi penghambat dalam penanggulangan kejahatan terhadap distributor yang mendistribusikan obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan yaitu :

a. Faktor penegak hukum yang jumlah lah nya terbatas dalam pembagian tugas, serta tidak semua aparat penegak hukum melakukan tugas secara professional sehingga penegakan hukum kurang dapat diselenggarakan dengan baik.

b. Faktor masyarakat yang masih kurang aktif sebagai pelapor atau mengadukan adanya distributor obat-obat keras yang dapat mengancam keselamatan konsumen.

c. Faktor Kebudayaan masyarakat yang masih memegang pemikiran bahwa upaya penyembuhan terhadap diri yang terserang penyakit dapat dilakukan dengan membeli obat di toko obat tanpa harus menggunakan resep dokter.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan wawancara penulis dengan beberapa narasumber, maka penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Perlu ditingkatkan lagi pengawasan terhadap distributor obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan.

(43)

3

(44)

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENDISTRIBUSIAN OBAT-OBATAN TANPA KEAHLIAN

DAN KEWENANGAN

oleh

Ria Melinda

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung; Citra AdityaBhakti.

Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Grafindo, Jakarta; Grafindo.

Hamzah, Andi. 1986.Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta; Ghalia Indonesia.

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Soekanto, Soerjono dan Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Ed. 1, Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika.

________________. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung; Citra AdityaBhakti.

CST.Kansil. 1991.Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia. Jakarta; Rineka Cipta Mandiriabadi, Ikrar. 2004. Himpunan Peraturan Kesehatan. Jakarta; Sinar

Grafika.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika.

________________. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia.

Tan Hoan Jan, et.al.2002.obat-obat penting “khasiat penggunaan dan efek sampingnya”. Jakarta; Media Computindo.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kep. Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan DepKes RI No. 00386/C/SK/II/1990 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tentang Ketentuan Obat bebas

Kep. MenKes. Nomor: 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedagang Eceran Kep. Menkes No. 639/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman umum pengadaan

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Singarimbuan, Masri dan Sofian Effendi. 1885. Metode Penelitian Survey. Jakarta; LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung; Citra AdityaBhakti.

Soekanto, Soerjono dan Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Ed. 1, Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika.

________________. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42)

(49)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana ………...15

B. Pengertian Obat-obatan... 18

C. Dasar hukum Peredaran Obat-obatan Secara Umum... 23

D. Fungsi dan Tugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan... 30

E. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan ... 33

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan hukum ... 35

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 37

B. Sumber dan Jenis Data... 38

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

(50)

IV. HASIL PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 42 B. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan Peredaran Obat-Obatan yang Tidak Memiliki Izin Edar……….44 C. Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan Pendistribusian

Obat-Obat Tanpa Keahlian dan Kewenangan ...54 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

(51)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ………

Penguji Utama :Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. ...

2. Pejabat Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(52)

Judul Skripsi : ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN

KEJAHATAN PENDISTRIBUSIAN OBAT-OBATAN TANPA KEAHLIAN DAN

KEWENANGAN Nama Mahasiswa :

Ria Melinda

No. Pokok Mahasiswa : 0812011071

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1.Komisi pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP. 19631217 198803 2 003 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(53)

MOTTO

Tidaklah seorang mukmin mengalami kelelahan,

penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan atau

kerisauan melainkan Allah akan menghapus

dosa-dosanya dengan peristiwa itu

(HR. Muslim, Tarmidzi, Ahmad)

Kesuksesan akan tercapai bila kita percaya dan berani

untuk mewujudkannya

The best thing in your life depend on your choise

(54)

PERSEMBAHAN

Puji Syukur kupanjatkan kepada ALLAH SWT, Tuhan Semesta Alam untuk setiap nafas yang kuhirup, detak jantung yang berdegup dan darah yang mengalir

dalam hidupku ini. Karena karunia-Mu dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya ini kepada keluarga ku semoga menjadi sebuah

kebanggaan

Papa Drs. Ramdani (Alm) dan Mama Rukini tercinta yang selalu menyelipakan namaku dalam doanya, terima kasih untuk semua curahan kasih sayang yang tiada

henti-hentinya demi kebahagiaan dan keberhasilanku serta bimbingan dan nasihat yang membuatku semakin dewasa.

Kakak-kakak ku tersayang Merry Lisa Stiawati, S.E.,M.H., dan Dewi Oktaria, S.E., yang selalu memberikan motivasi, inspirasi dan doa yang tulus.

Serta

(55)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 5 Mei 1990, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Drs. Ramdani dan Ibu Rukini.

Penulis mengawali pendidikannya di TK PTPN 10 dan tamat pada tahun 1996, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 3 Way Halim Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2002, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas YP Unila Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2008. Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana.

(56)

SANWACANA

Puji Syukur kehadirat Allah,SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Pendistribusian Obat-obatan Tanpa Keahlian Dan Kewenangan”

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, petunjuk, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan, dan kritik yang membangun kepada Penulis.

3. Ibu Amnawati, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan bantuannya selama Penulis menempuh masa studi.

(57)

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi dengan penuh perhatian dan kesabaran. 6. Ibu Rini Fathanah, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan, dan

kritik yang membangun kepada Penulis.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan ilmu, khusunya ilmu hukum kepada Penulis.

8. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik, terkhusus Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah banyak membantu Penulis demi kelancaran skripsi ini, terimakasih atas bantuannya. 9. Teristimewa Papa Drs. Ramdani (Alm) dan Mama Rukini, kupersembahkan karya kecil

ini sebagai tanda baktiku, terimakasih yang tiada terkira atas doa, limpahan kasih sayang yang telah diberikan sampai saat ini.

10. Kakak-kakak ku, Merry Lisa Stiawati, S.E.,M.H. dan Andrio Putra Gunawan, S.P., Dewi Oktaria, S.E., yang dengan kesetiannya memberikan semangat serta doa yang tak pernah pudar.

11. Keponakanku tersayang Azka izza Gunawan yang memberi keceriaan dan semangat kepada penulis.

12. Sahabat-sahabat terbaik dari awal perkuliahan; Ressy, Ratih, Riani, Winni, Windy, Widia, Thrisya, Feli penulis ucapkan terimakasih atas dukungan, semangat dan doanya, serta Arsyasepta Prawidika, S.H., terimakasih atas motivasi, doa yang dipanjatkan dan kebersamaan selama ini baik suka dan duka yang tidak akan terlupakan.

(58)

14. Semua Pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materiil selama menempuh studi.

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

wajib pajak, sanksi perpajakan, pelayanan fiskus, dan sikap rasional berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP

Adapun multimedia yang dikembangkan memenuhi karakteristik: (1) Tidak bergantung pada kehadiran guru sehingga guru berubah fungsi dari sumber belajar satu-satunya

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul “

Ibu dari bayi yang meninggal pada periode perinatal mengalami penderitaan, karena selama kehamilan mereka telah mulai merasa nyaman dan dekat dengan janin

LAPORAN PENELITIAN PEMAKAIAN SARANA MULTIMEDIA SEBAGAI ..... ADLN Perpustakaan

Dengan menerapkan sistem modern negara bangsa seperti yang dikenal saat ini, ketetapan dan penetapan hukum Islam dalam proses legislasi tidak lagi akan

Program pembuatan website ini dibuat dengan menggunakan PHP, dan MySQL Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah mengenai cara pembuatan dari mulai menentukan

(elaborasi).. Siswa menentukan barang yang dibeli dengan memperhatikan uang yang dimiliki oleh kelompok. Guru membimbing siswa dalam menentukan barang-barang yang