• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) melalui proses nitrasi serta uji aktivitas sebagai antiinflamasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) melalui proses nitrasi serta uji aktivitas sebagai antiinflamasi"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Modifikasi Struktur Senyawa Etil

p-

metoksisinamat (EPMS)

Melalui Proses Nitrasi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

SKRIPSI

NUR KHAYATI PUTRI INDRIYANI

NIM : 1111102000126

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Modifikasi Struktur Senyawa Etil

p-

metoksisinamat

(EPMS) Melalui Proses Nitrasi Serta Uji Aktivitas

Sebagai Antiinflamasi

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

NUR KHAYATI PUTRI INDRIYANI

NIM : 1111102000126

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Nama : Nur Khayati Putri Indriyani Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi :

Telah dilakukan modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS)

dalam rangka mengeksplorasi pengaruh penambahan gugus fungsi tertentu

terhadap aktivitas antiinflamasi EPMS. Modifikasi struktur dilakukan dengan

menambahkan gugus nitro pada area aromatis EPMS. Reaksi modifikasi

dilakukan dengan menghidrolisis bentuk ester EPMS menjadi asam

p-metoksisinamat (APMS), selanjutnya APMS direaksikan dengan asam nitrat

menggunakan irradiasi microwave. Hasil nitrasi selanjutnya diubah lagi menjadi

bentuk ester dengan mereaksikan dengan etanol dengan bantuan irradiasi

microwave untuk menghasilkan senyawa etil 4-metoksi 6-nitro sinamat (rendemen

11,36%). Aktivitas antiinflamasi senyawa etil p-metoksisinamat dan 4-metoksi

6-nitro sinamat diujikan dengan menggunakan metode inhibisi denaturasi Bovine

Serum Albumin (BSA). Hasil uji anti denaturasi BSA mengindikasikan bahwa

tidak terjadi perbedaan berarti aktivitas antiinflamasi kedua senyawa etil

p-metoksisinamat etil dan 4-metoksi 6-nitro sinamat. Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan gugus NO pada senyawa etil p-metoksisinamat tidak mempengaruhi

aktivitas antiinflamasinya

Kata kunci : etil p-metoksisinamat, hidrolisis, nitrasi, esterifikasi, antiinflamasi Bovine Serum Albumin.

(7)

ABSTRACT

Name : Nur Khayati Putri Indriyani

Major : Pharmacy

Title :

Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) functional group has been modified to

explore effect of addition specific functional group on the anti-inflammatory

activity of EPMC. Structural modification was conducted by adding NO

functional group on the aromatic area of EPMC. Modification was carried out

through hidrolysis of the ester form of EPMC to become p-methoxycinnamic acid

(PMCA). After that, APMS was reacted with nitric acid using an irradiation

microwave. The nitration result was then modified again into the ester form by

reacting it with ethanol and using the irradiation microwave to produce ethyl

4-methoxy 6-nitro cinnamate (yield 11.36%). The anti-inflammatory activity of

ethyl p-methoxycicinnamate and 4-methoxy 6-nitro cinnamate was tested using

the inhibition denaturation of Bovine Serum Albumin (BSA) method. The result

indicated that there was no significant difference of the activity of of EPMC and

ethyl 4-methoxy 6-nitro cinnamate. This result showed that addition of NO group

on EPMC structure did not affect anti-inflammatory activity of EPMC

Keywords: ethyl p-methoxycinnamate, hydrolysis, nitration, esterification, ati-inflammatory, Bovine Serum Albumin,

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa

mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat (EPMS) Melalui Proses Nitrasi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memenuhi ujian akhir

guna mendapatkan gelar Sarjani Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai

kesulitan dan berbagai halangan lainnya, sehingga penulis tidak terlepas dari doa,

bantuan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc.,Ph.D.,Apt sebagai pembimbing I dan Ibu Ofa

Suzanti Betha, M.Si., Apt sebagai pembimbing II yang telah memberikan

ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan pikiran selama penelitian dan penulisan

skripsi.

2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan “Beasiswa Santri Berprestasi” selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Puteri Amelia, M.Farm.,Apt selaku pembimbing akademik yang telah

(9)

6. Kedua orang tua tercinta, Abdul Khamid dan Sulastri yang selalu ikhlas

memberikan dukungan moral, material, nasehat-nasehat, serta lantunan doa

yang tiada pernah putus disetiap tasbih dan sujudnya setiap waktu.

7. Adik Linda Putri Apriliani yang selalu memberikan semangat ketika

melihatnya dan mendengar suara indahnya.

8. Ganjar basuki yang selalu memberikan semangat di saat suka dan duka

selama perkuliahan dan juga penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan

bimbingan dan bantuan selama mnempuh pendidikan di Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Teman-teman farmasi 2011 khususnya farmasi “Beng-Beng” yang telah menjadi kepingan memori yang berharga di Ibu kota. Tanpa mereka, cerita

perjalanan mencari ilmu ini tidak lengkap.

11. Teman-teman seperjuangan CSS MORA yang selalu ada untuk memberikan

semnagat dan motivasi.

12. Teman-teman seperjuangan BSA : Reza, Ali, Nova, Indah, Ajiz, Sutar, dan

Mida serta teman-teman di lab PHA dengan semangat juang yang tinggi

terimaksih atas segala bantuannya.

13. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah

SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, ibarat tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, saran dan

kritik yang bersifat membangun sangat penulis nantikan. Dan semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, April 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PESETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

2.6.2 Spektrofotometri ... 14

a. Spektrofotometri IR ... 14

b. Spektrofotometri UV Vis ... 15

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik ... 16

2.7 Inflamasi ... 17

2.7.1 Pengertian Inflamasi ... 17

2.7.2 Mekanisme Terjadinya Inflamasi ... 18

2.7.3 Obat Antiinflamasi ... 20

2.7.4 Uji Antiinflamasi ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.1.1 Tempat Penelitian ... 23

3.1.2 Waktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 23

(12)

3.2.1 Bahan ... 23

3.3 Prosedur Penelitian ... 24

3.3.1 Modifikasi Senyawa EPMS ... 24

3.3.2 Pemisahan dengan Kromatografi Kolom (Fraksinasi) ... 25

3.3.3 Identifikasi Senyawa ... 25

3.3.4 Preparasi ... 26

3.3.5 Uji In vitro Antiinflamasi ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Modifikasi Struktur Etil p-metoksisinamat ... 28

4.1.1 Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ... 29

4.1.2 Reaksi Nitrasi APMS ... 30

4.1.3 Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ... 32

4.2 Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi ... 33

4.2.1 Senyawa Hasil Hidrolisis ... 34

4.2.2 Senyawa Nitrasi APMS ... 35

4.2.3 Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ... 37

4.3 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan struktur ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Senyawa Turunan Sinamat ... 4

Gambar 2.2 Biosintesis Etil p-metoksisinamat ... 5

Gambar 2.3 Prinsip Reaksi Hidrolisis ... 5

Gambar 2.4 Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester ... 6

Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa ... 7

Gambar 2.6 Prinsip Substitusi Elektrofilik pada Aromatis ... 7

Gambar 2.7 Mekanisme Nitrasi Aromatik ... 8

Gambar 2.8 Reaksi Umum Esterifikasi ... 9

Gambar 2.9 Skema Kromatografi Lapis Tipis ... 12

Gambar 2.10 Alur Mediator Berasal dari As. Arakidonat & Tempat Kerja obat .. 19

Gambar 4.1 KLT senyawa hasil hidrolisis ... 29

Gambar 4.2 mekanisme hidrolisis EPMS ... 30

Gambar 4.3 Reaksi Nitrasi APMS ... 31

Gambar 4.4 KLT senyawa hasil nitrasi ... 31

Gambar 4.5 Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ... 32

Gambar 4.6 Hasil KLT senyawa teresterifikasi ... 33

Gambar 4.7 KLT Senyawa dengan Heksan : Etil asetat perbandingan 4:1 ... 34

Gambar 4.8 KLT Senyawa Hidrolisis EPMS dengan heksan :etil asetat (9:1) ... 34

Gambar 4.9 Struktur senyawa Asam p-metoksisinamat ... 35

Gambar 4.10 Kromatogram senyawa hasil nitrasi ... 36

Gambar 4.11 Senyawa Etil p-metoksisinamat ... 39

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kerangka Penelitian... 49

Lampiran 2 : Skema Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi... 50

Lampiran 3 : Identifikasi Etil p-metoksisinamat ... 51

Lampiran 4 : Gambar senyawa ... 56

Lampiran 5 : Spektrum GCMS senyawa hasil nitrasi APMS ... 57

Lampiran 6 : Spektrum GCMS hasil hidrolisis ... 58

Lampiran 7 : Spektrum IR hasil esterifikasi ... 59

Lampiran 8 : Spektrum GCMS hasil esterifikasi ... 60

Lampiran 9 : Spektrum H1NMR dan 13C NMR hasil esterifikasi ... 61

Lampiran 10 : Hasil Perhitungan Uji Antiinflamasi ... 66

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu senyawa dari bahan alam telah memberikan

peranan yang penting dalam bidang kesehatan baik dengan tujuan untuk

menjaga kesesehatan ataupun untuk menyembuhkan penyakit. Senyawa dari

bahan alam dapat digunakan langsung sebagai obat atau dapat menjadi

senyawa model untuk dikembangkan menjadi senyawa obat yang lebih

potensial.

Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah merupakan senyawa utama

yang terdapat pada kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam jumlah yang

relatif besar (80,05%). EPMS telah dilaporkan memiliki aktivitas analgesik

antiinflamasi dengan mekanisme kerja secara non selektif menghambat

COX-1/2, dengam masing-masing nilai IC50 1,12µM dan 0,83µM (Ridtidid

et al., 2008; Umar et al.,2012). EPMS mudah diisolasi dan merupakan

senyawa yang sangat potensial sebagai bahan dasar sintesa untuk turunan

sinamat karena mempunyai gugus fungsi reaktif seperti olefin dan ester

yang mudah di transformasikan menjadi gugus fungsi yang lain (Surbakti,

2008, Taufikurohmah, T., dkk,2008).

Dari berbagai penelitian, epidemiologi, dan studi klinis menunjukkan

bahwa obat antiinflamasi non steroid (AINS) khususnya yang selektif

terhadap COX-2 mempunyai prospek yang menjanjikan sebagai agen

antikanker (Thun, 2002). Oleh karena itu, desain dan sintesis obat

antiinflamasi khususnya golongan AINS banyak mengambil perhatian ahli

kimia medisinal, khususnya dekade terakhir ini. Obat AINS digunakan

sangat luas dalam pengobatan dan masuk dalam kategori obat OTC (Over

the counter). Maka dilakukan banyak sekali modifikasi pada AINS seperti

memberikan elaborasi konjugat gugus tertentu sesuai tujuan khusus seperti

meningkatkan kelarutan dalam air, pelepasan NO, pelepasan hidrogen

sulfat, aktivitas antioksidan, penghambatan antikolinergik dan

(16)

Dewasa ini telah banyak dikembangkan desain modifikasi senyawa

antiinflamasi dengan penambahan gugus NO. Alasan di balik

pengembangan kelas obat ini adalah bahwa gugus NO dapat

mempertahankan aliran darah mukosa lambung dan mencegah kepatuhan

leukosit pada endotel vaskular sirkulasi splanknikus (salah satu peristiwa

paling awal setelah pemberian AINS) sehingga dapat melawan efek

merugikan dari COX-1 dan cedera mukosa tidak terjadi (Halen et al, 2009).

Dalam rangka mengeksplorasi hubungan struktur aktivitas senyawa

etil-para metoksisinamat sebagai agen antiinflamasi, maka perlu untuk

dilakukan penelitian untuk menguji pengaruh penambahan gugus NO pada

EPMS terhadap aktivitas antiinflamasinya. Penambahan gugus NO pada

EPMS dilakukan dengan cara mengubah EPMS menjadi bentuk asamnya,

selanjutnya asam p-metoksi sinamat di nitrasi dengan menggunakan HNO3,

dan selankutnya bnetuk asam yang telah ternitrasi di esterifikasi kembali

dengan merekasikan dengan etanol. Uji antiinflmasi dilakukan secara in

vitro menggunakan metoda antidenaturasi Bovine Serum Albumin (BSA)

Pengujian ini dipilih karena mudah, sampel yang dibutuhkan untuk menguji

dalam jumlah yang sedikit, waktu analisa cepat, dan merupakan uji

(17)

1.2 Rumusan masalah

a. Apakah senyawa etil p-metoksisinamat dapat dimodifikasi menjadi

turunan senyawa yang mengandung gugus nitro melalui proses hidrolisis

etil p-metoksisinamat menjadi asam p-metoksisinamat, kemudian di

nitrasi menggunakan asam nitrat selanjutnya di re-esterifikasi?

b. Bagaimana hubungan struktur dan aktivitas terhadap anti inflamasi

setelah dimodifikasi pada senyawa etil para metoksisinamat?

1.3 Tujuan Penelitian

a.Melakukan modifikasi senyawa etil para metoksisinamat dengan

penambahan gugus nitro pada etil p-metoksisinamat.

b.Menguji aktivitas antiinflamasi senyawa etil para metoksisinamat yang

telah dimodifikasi melalui proses nitrasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Mendapatkan senyawa turunan etil p-metoksisinamat yang

mengandung gugus nitro yang diharapkan dapat memberikan informasi baru

mengenai hubungan struktur aktivitas senyawa etil p-metoksisinamat

sebagai agen antiinflamasi.

1.5 Hipotesis

Penambahan gugus nitro pada senyawa Etil p-metoksisinamat akan

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Senyawa etil p-metoksisinamat

Etil p-metoksisinamat termasuk turunan asam sinamat, dimana asam

sinamat adalah turunan senyawa phenil propanoad. Senyawa-senyawa yang

termasuk turunan sinamat adalah para hidroksi sinamat..

Gambar 2.1 (7), 3,4-dihidroksisinamat (8), dan 3,4,5 trimetoksisinamat (9)

Etil p-metoksisinamat termasuk kedalam senyawa ester yang

mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan

juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga

dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai

variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air, dan heksana

(Taufikhurohmah,2008).

Senyawa-senyawa turunan sinamat ditemukan secara luas di alam,

dalam tumbuhan tinggi, terutama sekali turunan p-hidroksisinamat.

Senyawa-senyawa ini biasanya terikat dalam bentuk ester atau glikosidanya,

dan beberapa diantaranya telah diketahui memiliki aktivitas biologis yang

(19)

Gambar 2.2 Biosintesis Etil p-metoksisinamat

2.2 Hidrolisis

Secara general, hidrolisis dodefinisikan sebagai transformasi kimia

dimana molekul organik berupa RX akan bereaksi dengan air

menghasilkan sebuah struktur dengan ikatan kovalen OH seperti

dijelaskan pada gambar 2.3. hidrolisis adalah contoh dari kelas reaksi

terbesar dalam reaksi kimia disebut sebagai reaksi perpindahan nukleofilik

dimana nukleofil menyerang atom elektrofilik. Proses hidrolitik mencakup

beberapa jenis mekanisme reaksi yang dapat didefinisikan oleh jenis pusat

reaksi dimana terjadi hidrolisis. Mekanisme reaksi yang paling sering

ditemui substitusi nukleofilik baik secara langsung maupun tidak langsung

(20)

Reaksi hidrolisis dapat terjadi dengan katalis basa atau asam.

Mekanisme reaksi hidrolisis sendiri dikelompokkan berdasarkan tipe

reaksi dasar seperti substitusi nukleofilik, gugus fungsi yang

ditransformasikan dengan reaksi substitusi nukleofilik, substitusi asil

nukleofilik, gugus fungsi yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi

asil nukleofilik. Hidrolisis untuk turunan asam karboksilat masuk kedalam

kategori terakhir yakni gugus fungsi yang ditransformasikan dengan

reaksi substitusi asil nukleofilik. Mekanisme hidrolisis pada gambar 2.4

diinisiasi oleh protonasi pada karbonil oksigen. Protonasi menyebabkan

keadaan terpolarisasi pada gugus karbonil melepaskan elektron dari

karbon sehingga bersifat lebih elektrofilik dan akan menerima

penambahan nukleofilik dari air (Larson dan Weber, 1994).

Hidrolisis ester dengan katalis basa melalui mekanisme

penambahan nukleofilik OH (gambar 2.5) secara langsung kepada gugus

karbonil. Hidrolisis ester berkatalis basa terjadi karena ion OH merupakan

(21)

2.3 Nitrasi

Nitrasi adalah salah satu reaksi organik yang banyak dipelajari

baik secara aromatis maupun alifatik. Nitrasi dapat dilakukan dengan

berbagai metode seperti heterolitik (elektrofilik dan nukleofilik) dan nitrasi

radikal. Nitrasi aromatik biasanya merupakan elektrofilik dan untuk nitrasi

alifatik adalah radikal bebas. Senyawa nitroaromatik biasa digunakan

sebagai senyawa intermediet dalam sintesis plastik, insektisida, bahan

peledak, dan juga farmasetik. Sedangkan untuk nitroalifatik biasa

digunakan sebagai pelarut dan hasil sintesis dalam sintesis organik (Olah,

1982).

Gambar 2.6 Prinsip Substitusi Elektrofilik pada Aromatis

Reaksi nitrasi berlangsung dengan penggantian satu atau lebih gugus

nitro (-NO2) menjadi molekul yang reaktif. Gugus nitro akan menyerang

(22)

nitrogen membentuk nitramin dan bila menyerang oksigen membentuk

nitrat ester. Pada proses masuknnya gugus (-NO2) kedalam senyawa dapat

terjadi dengan menggantikan kedudukan beberapa atom atau gugus yang

ada dalam senyawa. Umumnya nitrasi yang banyak dijumpai adalah nitrasi

(-NO2) menggantikasi ataom H (Yulianto, 2010).

Nitrating agent adalah reaktan elektrofilik, dimana reaksi akan terjadi

pada atom karbon dari cincin aromatik yang mempunyai kepadatan elektron

terbesar. Gugus (-NO2) yang masuk dapat membentuk posisi ortho, meta,

dan para. Jumlah isomer pada produk tergantung pada substituen ini.

Substituen meta menyebabkan kepadatan elektron lebih besar dibandingkan

substituen ortho dan para, sehingga yield produk nitrasi akan didominasi

isomer meta (Yulianto, 2010).

Mekanisme nitrasi aromatik yang mengikuti prinsip substitusi

elektrofilik dengan berbagai step sehingga menghasilkan suatu senyawa

nitro aromatik dijelaskan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.7 Mekanisme Nitrasi Aromatik

2.4 Esterifikasi

Ester asam karboksilat adalah suatu senyawa yang mengandung

(23)

Reaksi inilah yang disebut dengan reaksi esterifikasi. Esterifikasi

menggunakan katalis asam dan merupakan reaksi yang reversibel.

Gambar 2.8 reaksi umum esterifikasi

Laju esterifikasi asam karboksilat bergantung terutama pada halangan

sterik dalam alkohol dan asam karboksilatnya.

Reaksi esterifikasi bersifat reversible. Untuk memperoleh rendemen

yang tinggi dari reaksi esterifikasi, kesetimbangan harus digeser ke arah sisi

ester. Satu tehnik untuk mencapai ini adalah menggunakan salah satu zat

pereaksi secara berlebihan (Fessenden, 1986).

2.5 Perkembangan NO-AINS

Salah satu pengembangan yang sangat menjanjikan dalam

modifikasi struktur AINS dewasa ini adalah dengan penambahan gugus

donor NO yang memiliki tujuan untuk mempertahankan aliran darah

(24)

sirkulasi splanknikus (salah satu peristiwa paling awal setelah pemberian

AINS) sehingga dapat melawan efek merugikan dari COX-1 dan cedera

mukosa tidak terjadi (Halen et al., 2009).

Perbandingan antara aspirin dan 3-(nitroxymethyl) phenyl

2-acetoxybenzoate (NCX-4016) secara kuantitatif (basis mol) menunjukkan

bahwa NCX-4016 menunjukkan potensi antiinflamasi yang lebih besar

(Al-swayeh, 2000).

Dan efek pelepasan NO pada NCX-4016 tidak mengiritasi atau

menimbulkan tukak peptik (Takeuchi, 1998). Selain pada aspirin,

modifikasi struktur senyawa antiinflamasi dengan penambahan NO juga

dilakukan pada naproxen, ibuprofen, flurbiprofen, dan ketoprofen (Halen et

al., 2009).

2.6 Identifikasi

2.6.1 Kromatografi

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat

terlarut oleh suatu proses migrasi deferensial dinamis dalam sistem

yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu di antaranya bergerak

secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat

itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan

dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul

atau kerapatan muatan ion. Deangan demikian, masing-masing zat

dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik

(Departemen Kesehatan, 1995).

Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut

terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam),

yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat

terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang

tereluasi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut

dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk

cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak

(25)

diaktifkan, silika gel, dan resin penukar ion, atau dapat bertindak

melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan

fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan cairan pada suatu

penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Departemen

Kesehatan,1995).

Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis

kualitatif dan kuantitatif yang digunakan dalam penetapan kadar

dan pengujian Farmakope Indonesia adalah Kromatografi Kolom,

Kromatografi Gas, Kromatografi Kertas, Kromatografi Lapis Tipis,

dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Kromatografi kertas dan

kromatografi lapis tipis umumnya lebih bermanfaat untuk tujuan

identifikasi, karena mudah dan sederhana. Kromatografi kolom

memberikan pilihan fase diam yang lebih luas dan berguna untuk

pemisahan masing-masing senyawa secara kuantitatif dari suatu

campuran (Departemen Kesehatan,1995).

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan

fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan

berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat

gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa

larutan ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau

lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan

pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama

perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang

tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirunni’mah, 2013).

Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi

lapis tipis adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis obat

dilaboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi

kecil untuk perlengkapan dan menggunakan waktu yang singkat

(26)

cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu

yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi,

kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl

Egon dalam Khoirunni’mah, 2013).

Totolkan Larutan uji dan Larutan baku, menurut cara yang

tertera pada masing-masing monografi dengan jarak antara lebih

kurang 1,5 cm dan lebih kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan

biarkan mengering (tepi bawah lempeng adalah bagian lempeng

yang pertama kali dilalui oleh alat membuat lapisan pada waktu

melapiskan zat penjerap). Ketika bekerja dengan lempeng, gangguan

fisik harus terhindarkan dari zat penjerap (Departemen kesehatan,

1995).

Gambar 2.9 Skema kromatografi Lapis Tipis

Beri tanda pada jarak 10 cm hingga 15 cm diatas titik

penotolan. Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat

penotolan terletak di sebelah bawah, dan masukkan rak ke dalam

bejana kromatografi. Pelarut dalam bejana harus mencapai tepi

bawah lapisan penjerap, tetapi titik penotolan jangan sampai

terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya, dan biarkan sistem

hingga pelarut merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan,

umumnya diperlukan waktu lebih kurang 15 menit hingga 1 jam.

Keluarkan lempeng dari bejana ,buat tanda batas rambat pelarut,

(27)

cahaya ultraviolet gelombang pendek (254nm) dan kemudian dengan

cahaya ultraviolet gelombang panjang (366 nm). Ukur dan catat

jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat panjang gelombang

untuk tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf untuk bercak

utama. Jika diperlukan, semprot bercak dengan pereaksi yang

ditentukan, amati dan bandingkan kromatogram zat uji dengan

kromatogram baku pembanding (Departemen kesehatan, 1995).

b. Kromatografi Kolom

Alat-alat yang diperlukan untuk kromatografi kolom sangat

sederhana, terdiri dari tabung kromatografi dan sebuah batang

pemampat yang diperlukan untuk memadatkan wol kaca atau kapas

pada dasar tabung jika diperlukan, serta untuk memadatkan zat

penjerap atau campuran zat penjerap dan air secara merata di dalam

tabung. Kadang-kadang digunakan cakram kaca berpori yang

melekat pada dasar tabung untuk menyangga isinya. Tabung

berbentuk silinder dan terbuat dari kaca, kecuali bila dalam

monografi, disebutkan terbuat dari bahan lain. Sebuah tabung

mengalir dengan diameter yang lebih kecil untuk mengeluarkan

cairan yang menyatu dengan tabung atau disambung melalui suatu

sambungan anti bocor pada ujung bawah tabung utama (Departemen

kesehatan, 1995).

Ukuran kolom bervariasi; kolom yang umum digunakan

dalam analisis farmasi mempunyai diameter dalam antara 150 mm

hingga 400 mm, tidak termasuk tabung pengalir. Tabung pengalir,

umumnya berdiameter dalam antara 3 mm hingga 6mm, dapat

dilengkapi dengan sebuah kran untuk mengatur laju aliran pelarut

yang melalui kolom dengan teliti. Batang pemampat merupakan

suatu batang silinder, melekat kuat pada sebuah tangkai yang terbuat

dari plastik, kaca, baja tahan karat, atau aluminium, kecuali bila

dinyatakan lain dalam monografi. Tangkai batang pemampat

(28)

panjang minimal 5 cm melebihi panjang efektif kolom, batang

mempunyai diameter lebih kurang 1 mm lebih kecil dari diameter

dalam kolom (Departemen kesehatan, 1995).

Zat penjerap atau fase diam (bisa berupa aluminium oksida

yang telah diaktifkan, silika gel, tanah diatome terkalsinasi, atau

tanah silika yang dimurnikan untuk kromatografi) dalam keadaan

kering atau dalam campuran dengan air, dimampatkan kedalam

tabung kromatografi kaca atau kuarsa. Zat uji yang dilarutkan

dalam sejumlah kecil pelarut, dituangkan kedalam kolom dan

dibiarkan mengalir kedalam zat penjerap. Zat berkhasiat diadsorpsi

dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penjerap berupa pita sempit

pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut lebih

lanjut melalui kolom, oleh gaya gravitasi atau denga

memberikantekanan, masing-masing zat bergerak turun dalam kolom

dengan kecepatan tertentu, sehingga terjadi pemisahan dan diperoleh

kromatogram (Departemen Kesehatan,1995).

2.6.2 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi

antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat

kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi

meliputi spektrofotometri serapan ultraviolet, cahaya tampak,

inframerah dan serapan atom (Departemen Kesehatan,1995).

a. Spektrofotometri IR

Spektrofotometri Infra Merah merupakan alat untuk merekam

spektrum didaerah inframerah yang terdiri dari suatu sistem optik

dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik di daerah

4000 cm-1 hingga 625 cm-1 (lebih kurang 2,5 πm hingga 16 πm) dan suatu metode untuk mengukur perbandingan intensitas

(29)

IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi (Departemen

Kesehatan, 1995).

Hampir semua senyawa yang memiliki ikatan kovalen, baik

organik maupun anorganik, menyerap berbagai frekuensi radiasi

elektromagnetik diwilayah inframerah dari spektrum

elektromagnetik. Wilayah ini terletak pada panjang gelombang yang

berkisar dari sekitar 400 sampai 800 nm (Pavia et al.2008).

b. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi

antara radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang

sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom

dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa

molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi

cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul

tersebut. Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan

tereksitasi pada suatu daerah frekuensi yang sesuai dengan cahaya

ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Roth et al., 1994).

Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm

sampai 880 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu

spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380

nm), spektrum Vis (Visible) bagian sinar tampak (380-780 nm).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada

hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang

ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorbsi dengan tebalnya

cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap.

Hubungan tersebut dinyatakan dalam Hukum Lambert-Beer

(Sastroamidjojo, 1985) :

A = a . b . c

Keterangan :

(a) Daya Serap

(30)

(c) Konsentrasi larutan

(A) Serapan

Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

1. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang

meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang

untuk beroperasi.

2. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan

pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang

dipancarkan oleh sumber cahaya.

3. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).

4. Suatu detektor, yang berupa transduser yang merubah energi

cahaya menjadi suatu isyarat listrik.

5. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang merubah energi

cahaya menjadi suatu isyarat listrk.

6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik

yang ditangkap.

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Resonansi magnetik nuklir (NMR) adalah metode

spektroskopi yang bahkan lebih penting bagi ahli kimia organik dari

spektroskopi inframerah. Banyak inti dapat dipelajari dengan teknik

NMR, tapi hidrogen dan karbon yang paling umum tersedia. Jika

spektroskopi inframerah (IR) digunakan untuk mengidentifikasi

gugus fungsi, NMR memberikan informasi mengenai jumlah atom

magnetis yang berbeda dari jenis yang dipelajari.

NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang

berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi mengenai

sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing-masing jenis.

Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon. Kombinasi

IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan secara benar

(31)

Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai

berikut (Willard et al., 1988) :

 Magnet untuk memisahkan energi spin nuklir.

 Paling tidak terdapat dua saluran frekuensi radio, satu untuk stabilisasi medan/frekuensi dan satu untuk memberikan frekuensi

radio untuk energi penyinaran. Yang ketiga dapat digunakan

untuk masing-masing inti yang akan dipisahkan.

 Probe sampel yang mengandung kumparan untuk kopling

sampel dengan bidang frekuensi radio.

 Detektor untuk memproses sinyal NMR.

 Generator (Sweep Generator) untuk menyapu bersih baik medan

magnet maupun frekuensi radio melalui frekuensi resonansi

sampel.

 Rekorder untuk menampillkan spektrum.

2.7 Inflamasi

2.7.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vascular

yang terjadi karena rangsangan eksogen dan endogen. Inflamasi

merupakan respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen

mikrobiologis, yang berupaya untuk menonaktifkan atau

menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang

merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi

biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan tapi

kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin

jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga

dapat berakibat fatal (Sen et al, 2010).

Kemerahan, suhu yang meningkat, pembengkakan, nyeri, dan

hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat

(32)

infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi kekebalan tubuh dan luka

fisik (Sen et al, 2010).

2.7.2 Mekanisme Terjadinya Inflamasi

Terjadinya inflamasiadalah reaksi setempat dari jaaringan atau

sel terhadap suatu rangsang atau cedera, terjadinya rangsangan untuk

dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan menstimulasi terjadinya

perubahan jaringan pada reaksi radang tersbut, diantaranya

histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin, dan protaglandin.

Histamin bertanggung jawab pada perubahan yang paling awal yaitu

menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan

vasokontriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler, hal ini

menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena

aliran darah yang lambat, seldarah merah akan mengguumpal,

akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Semakin lambat aliran

darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh

darah. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan

keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan.

Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit,

vasodilatasi,meningkatkan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab

radang. Prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan

(33)

Gambar 2.10 Alur Mediator yang Berasal dari Asam Arakidonat dan Tempat Kerja Obat

Prosesinflamasi dimulai dari stimulus yang akan

mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel

maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang

Rangsangan

Gangguan pada membran sel Fosfolipase

(34)

diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat

tersebut bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya

siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam

arakidonat kedalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan

endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrin,

protaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin

dan leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan

(Katzung, 1998).

2.7.3 Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki

aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat

dicapai melalui berbagai cara yaitu menghambat pelepasan

prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan

mekanime kerjanya, obat-obatan antiinflamasi terbagi dalam

golongan steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat

pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya dan golongan non

steroid yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi

siklooksigenase yang berperan pada biosintesis protaglandin

(Setyarini, 2009).

Obat-obat antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa

nyeri dan inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin dan

metabolisme asam arakidonat dengan cara penghambatan

siklooksigenase dan lipooksigenase pada kaskade inflamasi.

Penekanan prostaglandin sebagai mediator inflamasi pada jaringan

menyebabkan kurangnya rasa nyeri dan pembengkakan sehingga

fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).

2.7.4 Uji Antiinflamasi

Inflamasi merupakan respon imun tubuh yang secara umum

terjadi karena adanya stimulus. Hal itu bisa dikarenakan oleh bakteri,

(35)

ketika sistem kekebalan tubuh berjuang melawan sesuatu dan

terkadang memunculkan efek berbahaya (IQWiQ,2010). Untuk itu

dikembangkanlah obat antiinflamasi untuk mengatasi efek

berbahaya dari proses inflamasi yang ada di dalam tubuh.

Dari berbagai penelitian, epidemiologi dan studi klinis

menunjukkan bahwa AINS khususnya yang selektif terhadap COX-2

mempunyai prospek yang menjanjikan sebagai agen antikanker

(Thun,2002). Oleh karena itu, desain dan sintesis obat antiinflamasi

khususnya golongan AINS banyak mengambil perhatian ahli kimia

medisinal, khususnya pada dekade terakhir ini. Obat AINS

digunakan sangat luas dalam pengobatan dan masuk dalam kategori

obat OTC (over the counter). Maka dilakukan banyak sekali

modifikasi pada AINS seperti memberikan elaborasi konjugat gugus

tertentu sesuai tujuan khusus seperti meningkatkan kelarutan dalam

air, pelepasan hidrogen sulfida, aktivitas antioksidan, penghambatan

antikolinergik dan antikolinesterase dan spesifikasi site target

(Qandil, 2012).

Beberapa metode in vitro dapat digunakan dalam mengetahui

potensi atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia

dan preparat herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain

adalah pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan

respirasi), penghambatan denaturasi protein, stabilisas membran

eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi

trombosit (Oyedapo et al., 2010).

Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa dilakukan

dengan melihat efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit

khusus uji skrining siklooksigenase (Umar et al., 2012).

Dalam pengembangan AINS, prinsip denaturasi dalam uji

antiinflamasi sering digunakan seperti pada uji antiinflamasi dengan

albumin telur (Chandra, 2012) dan uji dengan bovine serum albumin

(BSA) (Williams et al.,2008). Denaturasi protein pada jaringan

(36)

dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan

denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu

agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan

bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et

al.,2012).

Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam

flufenamik dan asam salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah

denaturasi BSA yang dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5.

Selain itu beberapa ekstrak dan komponen murni tumbuhan seperti

ekstrak Boehmeria jamaicensis (Urb), fenil propanoid, eugenol,

polisulfid, dibenzil trisulfid dapat menghambat denaturasi BSA,

memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan merupakan kandidat obat

antiinflamasi. Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat

denaturasi dengan persen inhibisi >20% maka dianggap memiliki

aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat

Penelitian mengenai modifikasi struktur kimia dari senyawa etil

p-metoksisinamat (EPMS) serta pengujian terhadap aktivitas sebagai

antiinflamasi dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia,

Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, dan Laboratorium

Kimia Obat Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan

April 2015.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Spektrofotometri H-NMR dan C-NMR (500 MHz, JEOL),

Spektrofotometer UV-Vis (HITACHI), Sprektrofotometri IR, Gas

spektrofotometri, evaporator (SB-1000 Eyela), digital water bath (SB-100

Eyela), lemari pendingin, inkubator (France etuves), plat aluminium TLC

silica gel 60 F254 (Merck), oven, timbangan analitik, penangas, statif,

mangkok atau baskom plastik, labu reaksi, corong, erlenmeyer, gelas piala,

rak, tabung reaksi, chamber KLT, termometer, blender, pipet eppendrof,

mikropipet, batang pengaduk, pinset, magnetik stirer, kertas saring, kapas,

aluminium foil, vial uji, botol, pH indikator, microwave.

3.2.2 Bahan

Senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS), Na Diklofenak (Sigma

aldrich), asam sulfat pekat, asam nitrat 65%, HCl 15%, NaOH, silika gel

(38)

bahan pembantu lain : Aquadest, etil asetat, n-heksan, methanol,etanol p.a

dan TBS (Tris Buffer Saline).

3.3 Prosedur penelitian

3.3.1 Modifikasi Senyawa EPMS

a. Hidrolisis etil p-metoksisinamat

Sebanyak 1,5 gram NaOH (0,0375 mol) dilarutkan dengan etanol

pro analisis dalam gelas kimia dengan pengadukan menggunakan

magnetik stirer. Kemudian ditambahkan senyawa EPMS sebanyak 5 gram

(0,024 mol) ke dalamnya dan suhu dijaga pada 600C dan reaksi

berlangsung selama 3 jam. Pengecekan reaksi dilakukan menggunakan

KLT. Hasil reaksi di filtrasi, filtrat yang di dapat ditambahkan HCl 15%

hingga mencapai pH 4 dan menghasilkan serbuk berwarna putih. Residu

berupa senyawa hasil hidrolisis kemudian di keringkan (Mufidah,2014

yang dimodifikasi). Hasil reaksi di monitor dengan KLT

b. Nitrasi Hasil hidrolisis

Sebanyak 2,5 gram APMS (0,014) ditambahkan kedalam 10 mL

asam nitrat 65% (0,22 mol) dalam suhu -150C dengan cara

mereaksikannya didalam gelas kimia yang berisi es. Kemudian di iradiasi

menggunakan microwave pada 450 W selama 2 menit. Setelah iradiasi,

campuran reaksi di tuangkan kedalam akuades dingin kemudian di filtrasi,

maka akan di dapatkan padatan berwarna kuning (Bose et al, 2006).

c. Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi

500 mg senyawa hasil nitrasi dilarutkan kedalam etanol sebanyak 50

mL di dalam erlenmeyer tertutup menggunakan magnetik stirer dan

dipanaskan sampai senyawa larut didalamnya. Tambahkan asam sulfat

pekat (0,2 mL, 4 mmol). Campuran reaksi kemudian diletakkan dalam

waterbath (yaitu gelas kimia yang berisi air) lalu diiradiasi dalam

microwave oven biasa dengan kekuatan 300 W selama 30 menit. Hasil

reaksi di filtrasi menggunakan etil asetat dan akuades. Didapatkan padatan

(39)

3.3.2 Pemisahan dengan Kromatografi Kolom (Fraksinasi)

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan

kromatografi kolom yang mengacu pada metode yang digunakan oleh

Waters (1985). Silika gel 60 digunakan sebagai fase diam. Sedangkan fase

gerak yang digunakan menggunakan sistem fase gerak dengan polaritas

bertingkat. Masing-masing fraksi yang telah dipisahkan, dimonitor

profilnya melalui KLT menggunakan KLT Silica gel 60 F254 (E-merck)

metoksisinamat maupun hasil modifikasi, kemudian diidentifikasi

warna, bentuk, dan juga bau yang dihasilkan.

b. Pengukuran titik leleh

Senyawa yang didapat dari hasil modifikasi kemudian diidentifikasi titik lelehnya menggunakan alat melting point dengan merk “melting point SMP 10”.

c. Identifikasi senyawa menggunakan FTIR

Sedikit sampel padat (kira-kira 1-2 mg), kemudian ditambahkan

bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) dan diaduk hingga rata. Kemudian

sampel (pelet KBr yang terbentuk) diambil dan kemudian ditempatkan

dalam tempat sampel pada alat spektrofotometri inframerah untuk

dianalisis (hidayati,2012).

d. Identifikasi senyawa menggunakan GCMS

Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x

0,25 µm); suhu awal 700C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 2850C

dengan kecepatan 200C/min selama 20 menit. Suhu MSD 2850C.

Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning

dilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550

(40)

e. Identifikasi Senyawa menggunakan H-NMR dan C-NMR

Sedikit sampel padat (kira-kira 10 mg), kemudian dilarutkan dalam

pelarut kloroform bebas proton (untuk NMR), setelah dilarutkan

kemudian dimasukkan kedalam tabung khusus NMR untuk dianalisis.

3.3.4 Preparasi

a) Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi

1. Larutan TBS (Tris Buffer Saline) pH 6,3

Sebanyak 1,21 g Tris base dan 8,7 g NaCl dilarutkan dalam

1000 mL akuades. Kemudian pH di adjust sampai sampai 6,3

menggunakan asam asetat glasial (Mohan, 2003).

2. Penyiapan variant konsentrasi Na Diklofenak sebagai kontrol positif.

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm Na diklofenak

dengan pelarut metanol. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi

1000, 100, 10, dan 1 ppm.

3. Penyiapan variant konsentrasi senyawa hasil modifikasi (sampel)

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm baik senyawa

hasil modifikasi dengan pelarut metanol. Kemudian dilakukan

pengenceran menjadi 1000, 100, 10, dan 1 ppm..

4. Pembuatan BSA 0,2% (w/v)

Sebanyak 0,2 gr BSA dilarutkan dalam TBS 100 ml (Williams et

al.,2008).

3.3.5 Uji In vitro Antiinflamasi (Williams, et al.,2008)

Pengujian aktivitas senyawa hasil modifikasi terhadap denaturasi BSA:

a. Pembuatan larutan uji

Larutan uji (5 mL) terdiri dari larutan 50 µL larutan sampel

yang kemudian di tambah dengan BSA hingga volume 5 mL sehingga

didapatkan variant konsentrasi menjadi 100; 10; 1; 0,1 dan 0,01 ppm.

b. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Larutan kontrol negatif 1 (5 mL) terdiri dari 50 µL metanol yang

(41)

c. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Larutan kontrol positif (5 mL) terdiri dari 50 µL larutan natrium

diklofenak yang kemudian ditambah dengan BSA hingga volume

mencapai 5 mL sehingga didapatkan variant konsentrasi menjadi 100;

10; 1; 0,1 dan 0,01 ppm.

Setiap larutan diatas dipanaskan selama 5 menit pada suhu 720 – 730 C. Lalu didiamkan selama 25 menit pada suhu ruang dan diukur turbiditasnya dengan

spektrofotometri Uv-Vis (HITACHI) pada panjang gelombang 660 nm.

Persentase inhibisi dari denaturasi atau presipitasi BSA dikalkulasikan

dengan rumus berikut :

% inhibisi =

Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam flufenamik dan asam

salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang dipanaskan

pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat

denaturasi dengan persen inhibisi >20% maka dianggap memiliki aktivitas

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi senyawa etil para-metoksisinamat

yang diisolasi dari tanaman kencur melalui proses nitrasi gugus fungsi reaktif

yang dimiliki yaitu gugus aromatis, olefin dan ester. Tujuan modifikasi dilakukan

adalah untuk melihat pengaruh penambahan suatu gugus nitro pada senyawa etil

para metoksisinamat terhadap aktivitas antiinflamasinya. Uji antiinflamasi

dilakukan secara invitro dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA)

dengan prinsip inhibisi denaturasi protein.

4.1 Modifikasi Struktur etil p-metoksisinamat

Gugus fungsi NO dalam struktur senyawa antiinflamasi telah

diketahui berperan dalam mempertahankan aliran darah mukosa lambung

dan mencegah kepatuhan leukosit pada endotel vaskular sirkulasi

splanknikus (salah satu peristiwa paling awal setelah pemberian AINS)

sehingga dapat melawan efek merugikan dari COX-1 dan cedera mukosa

tidak terjadi (Halen et al, 2009). Menurut Umar et al (2012) etil

p-metoksisinamat (EPMS) memiliki aktivitas anagesik antiinflamasi dengan

mekanisme kerja secara non selektif menghambat COX-1/2. Berdasarkan

hal tersebut, dalam rangka meningkatkan aktivitas antiinflamasi dari EPMS,

maka dipandang perlu untuk ditambahkan gugus NO pada posisi aromatis

dari senyawa EPMS sebagai upaya untuk meningkatkan efikasi aktivitas

antiinflamasi EPMS

Pada percobaan pendahuluan, reaksi nitrasi langsung pada EPMS

dapat menghasilkan beberapa senyawa EPMS yang ternitrasi yang memiliki

kepolaran yang sama sehingga pada proses pemisahan senyawa tersebut

menjadi sulit untuk dilakukan. Untuk itu, perlu dilakukan alternatif metoda

yaitu merubah EPMS menjadi bentuk asam p-metoksisinamat (APMS),

yang selanjutnya APMS dinitrasi dengan mereaksikan dengan HNO3. Hasil

nitrasi selanjutnya diubah lagi menjadi bentuk esternya melalui proses

(43)

4.1.1 Reaksi hidrolisis etil p-metoksisinamat

Reaksi hidrolisis dilakukan dengan NaOH sebagai katalis basa dan

etanol p.a sebagai pelarut. Mekanisme reaksi hidrolisis diinisiasi oleh

protonasi pada karbonil oksigen. Protonasi menyebabkan keadaan

terpolarisasi pada gugus karbonil melepaskan proton dari karbon sehingga

bersifat lebih elektrofilik dan akan menerima penambahan nukleofilik OH

(Larson dan Weber, 1994).

Pada reaksi ini, NaOH 1,5 gram (0,0375 mol) sebagai katalis

dilarutkan kedalam etanol p.a kemudian ditambahkan dengan EPMS

sebanyak 5 gram (0,024 mol). Campuran selanjutnya dipanaskan pada suhu

600C selama 3 jam sampai terbentuknya serbuk berwarna putih. Hasil reaksi

dimonitor setiap selang waktu 15 menit sampai terbentuknya spot yang

mengindikadikan EPMS telah berubah menjadi APMS seperti yang terlihat

pada gambar 4.1. Setelah proses reaksi selesai, hasil reaksi dicuci dengan

menggunakan akuades. Filtrat yang diperoleh memiliki pH 13 kemudian di

tambahkan HCl 15% sampai dengan pH 4, hal ini bertujuan untuk mengikat

Na+ sehingga terbentuklah endapan putih berupa hasil hidrolisis (Mufidah,

2014).

Residu yang di dapat kembali dicuci dengan akuades untuk

menghilangkan garam yang terbentuk kemudian residu di keringkan. Residu

yang di dapatkan berwarna putih (lihat lampiran 5). Mekanisme reaksi

hidrolisis etil p-metoksisinamat dapat dilihat pada gambar 4.2

Gambar 4.1 KLT senyawa hasil hidrolisis

Etil p-metoksisinamat

(44)

Gambar 4.2 mekanisme hidrolisis EPMS

Persen rendemen dari reaksi hidrolisis yaitu :

% rendemen :

x 100 % = 85.744 %

4.1.2 Reaksi Nitrasi APMS (Asam p-metoksisinamat)

Nitrasi adalah salah satu reaksi organik yang banyak dipelajari

baik secara aromatis maupun alifatik. Nitrasi dapat dilakukan dengan

berbagai metode seperti heterolitik (elektrofilik dan nukleofilik) dan nitrasi

radikal (Olah, 1982). Reaksi ini dilakukan dengan asam nitrat sebagai

Nitrating agent dan H2SO4 sebagai katalis. Reaksi ini ditujukan untuk

mengganti gugus H pada benzen menjadi gugus lain (nitro). Sehingga terjadi

penambahan gugus nitro pada benzen pada senyawa hasil hidrolisis etil

p-metoksisinamat (Yulianto, 2010)

Metode yang digunakan untuk reaksi ini yaitu dengan Cold

Microwave. Keuntungan dari metode ini adalah memiliki waktu reaksi yang

cepat dalam hitungan menit. Hal penting yang harus diperhatikan adalah

preparasi pencampuran antara senyawa sampel dengan reagen yaitu asam

nitrat harus dilakukan pada suhu dingin (Bose, 2006). Suhu menjadi faktor

(45)

Gambar 4.3 Reaksi Nitrasi hasil hidrolisis

Pada reaksi nitrasi ini, senyawa APMS sebanyak 2,5 gram (0,014

mol) di tambahkan dengan 10 mL asam nitrat 65% (0,22 mol) dalam suhu

-150C dengan cara mereaksikannya didalam erlenmeyer yang berisi es dan

segera dimasukkan kedalam microwave 450 watt selama 2 menit.

Langsung setelah reaksi selesai, campuran reaksi dituangkan kedalam

akuades kemudian disaring dan diambil filtratnya. Didapatkan filtrat

padatan berwarna kuning sebanyak 2,066 gram. Hasil KLT reaksi nitrasi

dapat dilihat pada gambar 4.4..

Gambar 4.4 KLT Senyawa Hasil Nitrasi

Hasil Nitrasi

APMS Hasil Nitrasi

(46)

4.1.3 Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi

Ester asam karboksilat adalah suatu senyawa yang mengandung

gugus –COOR dengan R dapat berbentuk alkil maupun aril. Suatu ester dapat dibentuk dengan mereaksikan asam karboksilat dengan alkohol.

Reaksi inilah yang disebut dengan reaksi esterifikasi. Esterifikasi

menggunakan katalis asam dan merupakan reaksi yang reversibel.

Untuk memperoleh rendemen yang tinggi dari reaksi esterifikasi,

kesetimbangan harus digeser ke arah sisi ester. Satu tehnik untuk

mencapai ini adalah menggunakan salah satu zat pereaksi secara

berlebihan (Fessenden, 1986). Reaksi ini dilakukan dengan melarutkan

senyawa hasil nitrasi dan dengan penambahan asam asetat sebagai katalis.

Gambar 4.5 Esterifikasi senyawa hasil nitrasi

Pada reaksi esterifikasi ini, dilakukan dengan melarutkan 500 mg

senyawa hasil nitrasi dengan etanol sebanyak 50 mL dan dengan katalis

asam sulfat pekat (0,2 mL, 4 mmol) didalam waterbath (gelas kimia berisi

air) kemudian di iradiasi dengan microwave pada 300 watt selama 30

menit. Setelah reaksi selesai, dilakukan partisi menggunakan etil asetat dan

akuades untuk memisahkan senyawa hasil esterifikasi dengan asam yang

masih tersisa. Filtrat yang didapat dipisahkan menggunakan kromatografi

kolom dengan dimulai dari eluen heksan 100% dan heksan : etil asetat

(90:10). Sehingga didapatkan kristal berwarna kuning. Lalu dilakukan

pengecekan menggunakan KLT setiap hasil dari kromatografi kolom.

(47)

Gambar 4.6 hasil KLT senyawa teresterifikasi

Hasil senyawa teresterifikasi, didapatkan persen rendemen yaitu :

% rendemen =

4.2 Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi

Identifikasi senyawa hasil modifikasi dimulai dengan

membandingkan nilai Rf seluruh senyawa yang di KLT menggunakan eluen

heksan: etil asetat dengan perbandingan 4:1(Lihat gambar 4.7). Nilai Rf

yang di dapat adalah sebagai berikut :

 Etil p-metoksisinamat = 0,558

 Senyawa Hasil hidrolisis = 0,081

 Senyawa Nitrasi = 0,205

 Senyawa nitrasi yang teresterifikasi = 0,307

Berdasarkan nilai Rf dapat diketahui tingkat kepolaran dari senyawa

modifikasi. Nilai Rf etil p-metoksisinamat memiliki nilai tertinggi dimana

ini menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki polaritas rendah. Pada

senyawa hasil hidrolisis, nilai Rf nya lebih kecil sehingga dengan

pengurangan atom C pada gugus ester dapat meningkatkan polaritas

senyawa. Selanjutnya untuk senyawa hasil nitrasi memiliki nilai Rf 0,205

lebih tinggi dari nilai Rf hasil hidrolisis, sehingga hal ini menunjukkan

(48)

hidrolisis. Pada senyawa esterifikasi hasil nitrasi menunjukkan polaritas

yang lebih rendah dibandingkan dengan polaritas hasil nitrasi.

Gambar 4.7 hasil KLT senyawa dengan eluen heksan : etil asetat (4:1)

Gambar 4.8 KLTsenyawa hidrolisis EPMS dengan Heksan : Etil asetat perbandingan 9:1

4.2.1 Senyawa Hasil Hidrolisis Etil p-metoksisinamat

Senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat memiliki karakteristik

seperti berikut :

 Warna : Putih

 Bau : tidak ada bau

 Bentuk : serbuk

Pengukuran titik leleh menggunakan alat melting point “smp 10” didapatkan rentang titik pada senyawa hasil hidrolisis yaitu 172-1740C.

Analisa senyawa hasil hidrolisis ini dilakukan dengan menggunakan

GCMS dan di cocokan dengan hasil dari Mufidah (2014) baik itu nilai Rf,

titik leleh dan hasil GCMS pada senyawa hasil hidrolisis. Dari interpretasi

(49)

GCMS menunjukkan bahwa senyawa hasil hidrolisis muncul pada waktu

retensi 9,649 yang memiliki berat molekul 178,0 dengan fragmentasi massa

pada 161; 133; 117; 89; dan 63 (Lihat Lampiran 6). adapun fragmentasi

yang terjadi pada senyawa hasil hidrolisis adalah sebagai berikut :

Dari data titik leleh, nilai Rf dan GCMS, ternyata hasil yang diperoleh

sama seperti yang dilakukan oleh Mufidah (2014). Sehingga senyawa hasil

hidrolisis etil p-metoksisinamat adalah Asam p-metoksisinamat.

Gambar 4.9 struktur senyawa asam p-metoksisinamat

4.2.2 Senyawa Nitrasi hasil hidrolisis

Elusidasi senyawa hasil nitrasi menggunakan analisa GCMS. Dari

data kromatogram GCMS dari nitrasi senyawa hasil hidrolisis, terlihat pada

gambar 4.10 menunjukan bahwa muncul beberapa data kromatogram dari

beberapa senyawa, dimana salah satunya adalah senyawa dengan waktu

(50)

224; 207; 177; 147; 102; dan 77. Adapun fragmentasi pada senyawa ini

adalah sebagai berikut :

Gambar 4.10 hasil kromatogram senyawa hasil nitrasi

Berdasarkan interpretasi GCMS dimana berat molekul apms (178)

bertambah 46 (-NO2) menunjukkan bahwa reaksi nitrasi ini telah berhasil

(51)

4.2.3 Esterifikasi Senyawa hasil Nitrasi

Senyawa hasil esterifikasi hasil nitrasi memiliki karakteristik sebagai

berikut :

 Warna : kuning

 Bau : tidak ada bau

 Bentuk : kristal

Pengukuran titik leleh dilakukan dengan menggunakan melting point “smp 10”, sehingga didapatkan rentang titik leleh 101-1050C.

Penafsiran spektrum IR senyawa esterifikasi hasil nitrasi dari hasil

bilangan gelombang absorbansi gugus fungsi yang spesifik ditunjukkan

pada Tabel 4.1. (Lampiran 7). Ditemukan pita serapan pada bilangan

C-O pada pita serapan v 1334,80 – 1316,47 cm-1, serapan dari kedua gugus tadi menunjukkan terdapatnya ester. Dan diperkuat dengan munculnya pita

serapan pada bilangan gelombang v 2300-2000 cm-1. Lalu terdapatnya

gugus nitro pada posisi aromatik dapat ditunjukkan dengan adanya pita

(52)

Tabel 4.1 Daftar daerah spektrum IR senyawa esterifikasi hasil nitrasi

Ikatan Daerah Absorbansi (v, cm-1)

C=O 1690,68 – 1679,11

C-O 1334,80 -1316,47

C-H aril 3065,02 – 3031,26

C=C aril 1640,53 – 1604,84

C-H alifatik 2974,36 – 2882,74

C-O aril 1261,50 – 1220,03

Ester (COOR) 2300-2000

Aromatik posisi para 825,57

Nitro aromatik 1570 – 1300

Hal ini menunjukkan bahwa reaksi esterifikasi ini telah berhasil

dilakukan dimana ditunjukkan dengan munculnya gugus nitro aromatik

pada spektrum IR.

Analisa selanjutnya dilakukan dengan menggunakan GCMS.

Interpretasi GCMS menunjukkan bahwa senyawa ini muncul pada waktu

retensi 11,960 yang memiliki berat molekul 251 dengan fragmentasi massa

pada 251; 206; 178; 161; 134; 103; dan 77 (Lihat Lampiran 8). Adapun

(53)

Data analisa spektrum IR dan interpretasi GCMS dikonfirmasi

Gambar 4.11 senyawa Etil p-metoksisinamat

Tabel 4.2 Data Pergeseran kimia (δ) Spektrum 1

H NMR dan 13C NMR

senyawa EPMS dan senyawa hasil esterifikasi (CDCl3, 500 MHz)

(54)

Interpretasi NMR pada penelitian ini di bandingkan dengan hasil interpretasi

NMR pada senyawa etil p-metoksisinamat pada penelitian Mufidah (2014) dan

Hasali (2013). Spektrum H1NMR memberikan sinyal pada pergeseran kimia 1,32

ppm (3H) berbentuk triplet dan juga muncul pada 4,25 ppm (2H) berbentuk

quartet. Pada sinyal ini, terbentuk lebih downfield hal ini dikarenakan adanya

ikatan dengan oksigen. Spektrum H1NMR memberikan sinyal pada pergeseran

kimia 3,98 ppm (3H) dan muncul dengan bentuk singlet. Sinyal ini lebih ke arah

downfield karena berikatan dengan oksigen (-OCH3, metoksi). Pergeseran kimia

6,37 ppm (1H) berbentuk doublet memiliki hubungan dengan puncak pada

pergeseran kimia 7,59 ppm (1H) yang berbentuk doublet, dengan rentang nilai

konstanta kopling yang sama yaitu 15,6 Hz. Bentuk dari sinyal ini adalah olefin

dengan proton berkonfigurasi trans. Kemudian pada pergeseran kimia 7,11 ppm

(1H), 7,67 ppm (1H) dan 7,99 ppm (1H) merupakan proton-proton dari benzen

yang tersubstitusi. Pola sinyal pada pergeseran kimia 7,67 ppm menunjukkan

bahwa 1 proton terkopling secara ortho dengan 1 proton pada sinyal 7,11 ppm

dengan nilai konstanta kopling yaitu 9,1 Hz. Dan terkopling secara metha dengan

1 proton pada sinyal 7,99 ppm dengan nilai konstanta kopling yaitu 1,95 ppm.

Dari data interpretasi IR, GCMS, dan H1 NMR dan 13C NMR, senyawa hasil

esterfifikasi hasil nitrasi asam p-metoksisinamat adalah Etil 4-metoksi 6-Nitro

sinamat.

(55)

4.3 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas

Senyawa Hasil Modifikasi

Banyak sekali masalah yang terjadi berkaitan dengan penggunaan

hewan percobaan pada penelitian dalam bidang farmakologi, yaitu seperti

masalah kode etik dan kurang rasional pengguaan metode tersebut apabila

terdapat metode lain yang dapat digunakan (Chatterjee et al., 2012). Pada

penelitian ini, uji aktivitas antiinflamasi invitro dengan prinsip penghambatan

denaturasi protein (William et al., 2008) dipilih untuk melakukan skrining

awal antiinflamasi pada senyawa hasil modifikasi.

Penghambatan denaturasi protein, yang merupakan mekanisme utama

AINS sebagaimana yang dinyatakan oleh Mizushima (1964) sebelum

ditemukannya efek inhibisi pada siklooksigenase oleh Vane (1971),

mempunyai peran penting sebagai antirematik oleh AINS (Umapathy et al.,

2010).

Uji aktivitas antiinflamasi dilakukan pada 1 senyawa akhir yang

didapat melalui reaksi esterifikasi yaitu senyawa etil 4-metoksi 6-nitro

sinamat, senyawa etil p-metoksisinamat dan na diklofenak sebagai standard.

Pada uji inhibisi denaturasi BSA dengan rentang konsentrasi uji

50-0,035 ppm dapat memberikan % inhibisi >20% dianggap memiliki aktivitas

sebagai antiinflamasi (William et al., 2008). Natrium diklofenak aktif dalam

memberikan aktivitas sebagai antiinflamasi dimulai dari konsentrasi 10 ppm

dengan persen inhibisi 30,38 % dan pada konsentrasi 100 ppm dapat

(56)

Gambar

Gambar 2.2 Biosintesis Etil p-metoksisinamat
Gambar 2.6  Prinsip Substitusi Elektrofilik pada Aromatis
Gambar 2.7 Mekanisme Nitrasi Aromatik
Gambar 2.8 reaksi umum esterifikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Reaksi kondensasi aldol menggunakan basa NaOH dalam air yang akan merubah senyawa etil metil keton menjadi ion enolat sehingga bereaksi pada gugus karbonil

Tujuan dari penelitian ini adalah memodifikasi struktur senyawa etil p -metoksisinamat (EPMS) dengan mengganti gugus ester menjadi gugus amida menggunakan daya dan

Pada pengujian kali ini juga mendapatkan hasil yang sama dimana senyawa Asam p- metoksisinamat sama sekali tidak memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, terlihat dari

Namun, selain untuk mempersingkat waktu, terdapat berbagai keunggulan bila sintesis dilakukan dengan menggunakan microwave yaitu seperti efisiensi energi, rendemen

Telah dilakukan studi hubungan kuantitatif struktur aktivitas (HKSA) antiinflamasi dari 10 senyawa turunan asam sinamat dengan pendekatan Hansch berdasarkan

Judul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel..

Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu

Keywords: Kaempferia galanga L., acute toxicity, ethyl p-methoxycinnamate, LD50 PENDAHULUAN Penelitian-penelitian terhadap kandungan dari rimpang kencur telah banyak dilakukan antara