• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi indeks kerentanan lingkungan pulau pulau kecil kasus pulau Kasu Kota Batam, Pulau Barrang Lompo Kota Makasar, dan Pulau Saonek Kabupaten Raja Ampat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi indeks kerentanan lingkungan pulau pulau kecil kasus pulau Kasu Kota Batam, Pulau Barrang Lompo Kota Makasar, dan Pulau Saonek Kabupaten Raja Ampat"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat

AMIRUDDIN TAHIR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi FORMULASI INDEKS

KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL: Kasus Pulau Kasu-Kota

Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja

Ampat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.

Bogor,

Juni

2010

(3)

AMIRUDDIN TAHIR. Formulation of Environmental Vulnerability Index for Small

Islands: Case of Kasu Island-Batam, Barrang Lompo Island-Makasar, and Saonek

Island-Raja Ampat. Under supervisor by MENNOFATRIA BOER, SETYO BUDI

SUSILO, and INDRA JAYA.

Indonesian archipelago consist of strings of island, large and small. Small

islands, in particularly, are vulnerable to the impact of global warming and sea level

rise. The vulnerability of assessment of small islands is important and critical

sustainable small island management. The present research aims to formulate the

environmental vulnerability index for small islands, to analize the parameters of

environmental vulnerability, to simulate and to predict the vulnerability dynamic of

continue existance of small islands, to predict small islands inundation, and to

develop the adaptation strategies for small islands. The assessment was carried out

on three different small island that are Kasu Island located in Batam, Barrang

Lompo Island located in Makasar, and Saonek Island located in Raja Ampat to

formulate its index of vulnerablity. To support the assessment, data were collected

through direct observation and measurement of various parameters such as

elevation, coral reef, mangrove and sea grass. In addition depth interview was

carried out to collect the social economic data. The principle of data analysis is by

mean of transformation of quantitative and qualitative data into scoring value to

produce the small island vulnerability index. The results showed that vulnerability

index for Kasu Island is 2.44 (low), Barrang Lompo Island is 7.67 (moderate), and

Saonek Island is 6.18 (moderate); coastal inundation until 2100 reach 84 % the land

area for Barrang Lompo Island, 39 % for Saonek Island and 10.50 % for Kasu

Island. The suggested adaptation strategies are conservation of 50 % of coastal

habitat, sea wall construction and resettlement.

(4)

Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan

Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER,

SETYO BUDI SUSILO, dan INDRA JAYA

Perubahan iklim global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil merupakan salah satu

daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Kerentanan merupakan

salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan

pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam

Small Island Development State

memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil.

Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana sebagian besar pulaunya

adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan

lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah (1) memformulasikan model indeks

kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, (2) menganalisis parameter kerentanan

lingkungan pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut; (3) menghitung

indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan

kerentanan lingkungan pada masa yang akan datang; (4) memperkirakan perendaman

daratan pulau akibat kenaikan muka laut; dan (5) merancang strategi adaptasi

berdasarkan karakteristik lingkungan pulau-pulau kecil.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan dan pengumpulan data

sekunder. Analisis data terdiri dari (1) analisis ekosistem dan sumberdaya

pulau-pulau kecil. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi

ekosistem dan sumberdaya pesisir di pulau-pulau kecil; (2) analisis karakteristik fisik

dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik

fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kelerengan pulau, dan

karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada

di pulau-pulau kecil; (3) analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi

pantai. Analisis ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka

laut; dan (4) analisis kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Hasil yang didapatkan

dari analisis ini adalah informasi terkait dengan dinamika kerentanan lingkungan

pulau-pulau kecil. Setelah dilakukan

overlay

terhadap hasil analisis didapatkan

keluaran dari penelitian berupa indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan

strategi adaptasi pulau-pulau kecil. Untuk menentukan parameter kerentanan

lingkungan digunakan pendekatan VSD (

vulnerability scoping diagram),

dimana

terdapat 17 parameter yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu kenaikan muka laut,

erosi pantai, tinggi gelombang, rata-rata tunggang pasang, kejadian tsunami,

pertumbuhan dan kepadatan penduduk, elevasi dan slope, tipologi pantai, penggunaan

lahan, tipologi pemukiman penduduk, habitat pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem

terumbu karang, padang lamun dan konservasi laut.

(5)

lamun

.

Nilai indeks kerentanan lingkungan saat ini memiliki perbedaan antara ketiga

pulau, dimana kerentanan lingkungan tertinggi adalah Pulau Barrang Lompo sebesar

7.67 (kerentanan sedang), Pulau Saonek sebesar 6.18 (kerentanan sedang) dan Pulau

Kasu sebesar 2.44 (kerentanan rendah)

Perilaku parameter kerentanan lingkungan yang akan berubah dalam 2 tahun

ke depan adalah kenaikan muka laut untuk ketiga pulau, penurunan kualitas terumbu

karang untuk Pulau Barrang Lompo dan dampak terhadap pemukiman untuk Pulau

Kasu. Simulasi kerentanan lingkungan dengan dua skenario (pengelolaan skenario 1

dan skenario 2) menunjukkan bahwa perubahan kerentanan lingkungan dapat

diperlambat untuk ketiga pulau. Skenario pengelolaan yang disarankan adalah

meningkatkan kapasitas adaptif dan menurunkan tingkat sensitivitas pulau. Hasil

simulasi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil memperlihatkan bahwa sampai

tahun 2100 terjadi beberapa kemungkinan yaitu (1) pengelolaan skenario 1 untuk

Pulau Kasu hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2060, (2) pengelolaan

skenario 1 untuk Pulau Barrang Lompo memperlambat perubahan kerentanan dari

tinggi (2027) ke kerentanan sangat tinggi pada tahun 2074, (3) pengelolaan skenario 1

untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun 2041, (4)

pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Kasu memperlambat perubahan kerentanan dari

kerentanan rendah menjadi kerentanan sedang pada tahun 2032, (5) pengelolaan

skenario 2 untuk Pulau Barrang Lompo akan mencapai kerentanan tinggi pada tahun

2039, (6) pengelolaan skenario 2 untuk Pulau Saonek hanya akan mencapai

kerentanan tinggi pada tahun 2064.

Dampak kenaikan muka laut khususnya kemungkinan terjadinya perendaman

daratan pulau, akan terjadi di ketiga pulau. Dampak terbesar akan dialami oleh Pulau

Barrang Lompo dan Saonek. Hal ini disebabkan karena kedua pulau ini memiliki

proporsi luas daratan pulau yang memiliki ketinggian kurang dari 100 cm cukup

besar. Berdasarkan hasil penilaian parameter kerentanan, perhitungan indeks

kerentanan, simulasi dinamika kerentanan, dan rancangan strategi adaptasi dapat

disimpulkan bahwa ketiga pulau memiliki perbedaan tingkat kerentanan lingkungan.

Strategi adaptasi yang dapat dikembangkan untuk ketiga pulau adalah strategi

yang bersifat reaktif. Strategi tersebut adalah (1) strategi adaptasi jangka pendek

dengan penetapan kawasan laut sebesar 30 % dari luas habitat pesisir untuk ketiga

pulau baik untuk ekosistem mangrove maupun terumbu karang; (2) strategi jangka

menengah dilakukan dengan meningkatkan proporsi kawasan konservasi laut menjadi

50 % dan pembangunan bangunan pelindung pantai; dan (3) strategi jangka panjang

dilakukan dengan menata pemukiman baik melalui pembangunan rumah panggung

maupun dengan merelokasi pemukiman penduduk ke tempat yang lebih aman (lebih

tinggi).

(6)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB

(7)

Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat

AMIRUDDIN TAHIR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota

Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat

Nama :

Amiruddin

Tahir

Nomor Pokok

:

C 262 070 091

Program Studi

:

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Ketua

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc

Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc

Anggota

Anggota

Diketahui,

Ketua

Program

Studi

Dekan

Sekolah

Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat disusun. Tema yang dipilih dalam

penelitian ini adalah kerentanan, dengan judul Formulasi Indeks Kerentanan

Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang

Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima

kasih terhadap pihak-pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan

kepada penulis hingga penyelesaian studi ini, sebagai berikut:

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Komisi, Prof. Dr. Ir.

Setyo Budi Susilo, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc selaku Anggota

Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan

Disertasi ini.

2.

Bapak Dr. Ir. Luky Adrainto MSc, Dr. Ir. Fredinan Yulianda MSc. dan Dr. Ir.

Ario Damar MS yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian kualifikasi dan

ujian tertutup.

3.

Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,

DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.

4.

Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, secara khusus

kepada staf pengajar dan staf akademik Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

- Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

5.

Kepala Kampung Pulau Saonek, Lurah Pulau Barrang Lompo dan Lurah Pulau

Kasu yang telah memfasilitasi penulis selama pelaksanaan penelitian di

lapangan.

6.

Rekan-rekan mahasiswa SPL angkatan 2007 atas kerjasama dan dukungannya.

7.

Bapak Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, dan Prof.

Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah banyak membimbing penulis

selama berkerja di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)

-Institut Pertanian Bogor.

8.

Rekan-rekan di PT. Afisco, PKSPL-IPB, dan PT. Coastmar Lestari dan P4L.

9.

Seluruh anggota Keluarga Besar Muhammad Dasuki (alm.) dan Keluarga Besar

Tahir (alm), atas dukungan dan bantuan serta doa yang ikhlas sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat khusus kepada penulis.

Bogor, Juni 2010

(10)

Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 15 Mei 1968 dari Ayah Tahir dan

Ibunda Fatimang. Penulis merupakan putra kelima dari 10 bersaudara.

Tahun 1989, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, dan setahun

berikutnya penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan pada

Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Tahun 1993, penulis menyelesaikan

pendidikan sarjana pada Fakultas Perikanan IPB. Tahun 1999 penulis melanjutkan

pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 2007 Penulis menjadi

mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pengalaman kerja penulis adalah staf peneliti pada Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Anggota Team Pembelajaran Pada

Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (

Coastal Resources Management

Project-USAID).

Staf pada Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L)

dan PT. Coastmar Lestari. Saat ini, penulis bekerja sebagai tenaga ahli pada PT.

Aquatic Fisheries Consultant (AFISCO). Beberapa pelatihan yang pernah penulis

ikuti antara lain

Sustainable Use Coastal and Marine Resources

(SUCOMAR) yang

diselenggarakan oleh InWent, Germany di Bremen (2004), Blended training of

sustainable of coastal and marine resources management

di Vietnam (2007).

(11)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup

1.

Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc

2.

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc

(12)

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran ... 9

1.6. Hipotesis ... 11

1.7. Kebaharuan (Novelty) ... 12

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Pengertian Pulau dan Pulau-Pulau Kecil ... 15

2.2. Tipe Pulau-Pulau Kecil ... 16

2.2.1. Pulau Datar ... 16

2.2.2. Pulau Berbukit ... 17

2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu ... 20

2.4. Kerentanan Pulau-Pulau Kecil ... 23

2.4.1. Konsep Kerentanan ... 24

2.4.2. Kerentanan Lingkungan ... 29

2.4.3. Dinamika Kerentanan ... 31

2.4.4. Kuantifikasi Kerentanan ... 31

2.4.5. Indeks Kerentanan ... 36

2.5. Kenaikan Muka Laut ... 37

2.5.1. Proses Kenaikan Muka Laut ... 37

2.5.2. Dampak Kenaikan Muka Laut ... 38

2.6. Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK ... 40

3. METODOLOGI ... 44

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 44

3.2. Tahapan Penelitian ... 46

3.3. Diagram Pelingkupan Kerentanan ... 47

3.3.1. Exposure (Ketersingkapan) ... 48

3.3.2. Sensitivity (Sensitivitas) ... 51

3.3.3. Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) ... 53

3.3.4. Penentuan Skala dan Bobot Parameter Kerentanan ... 55

3.4. Pengumpulan Data ... 57

3.5. Analisis Data ... 59

3.5.1. Analisis Ekosistem Pesisir ... 59

3.5.2. Analisis Karakteristik Geofisik Pulau-Pulau Kecil ... 61

(13)

3.7. Penentuan Bobot ... 63

4. HASIL PENELITIAN ... 66

4.1 Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil ... 66

4.1.1. Indeks Kerentanan Saat ini ... 66

4.1.2. Proyeksi Kerentanan Pulau-Pulau Kecil ... 69

4.1.3. Penentuan Bobot Parameter Kerentanan ... 70

4.2 Karakteristik Geofisik ... 72

4.2.1. Pulau Kasu ... 72

4.2.2. Pulau Barrang Lompo ... 76

4.2.3. Pulau Saonek ... 79

4.3 Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir ... 83

4.3.1. Pulau Kasu ... 83

4.3.2. Pulau Barrang Lompo ... 86

4.3.3. Pulau Saonek ... 88

4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya ... 91

4.4.1. Pulau Kasu ... 91

4.4.2. Pulau Barrang Lompo ... 92

4.4.3. Pulau Saonek ... 93

4.5 Penilaian Parameter Kerentanan ... 95

4.5.1. Exposure (Keterbukaan/Ketersingkapan) ... 96

4.5.2. Sensitivity (Sensitivitas) ... 97

4.5.3. Adaptive Capacity (Kapasitas Adaptif) ... 98

4.6 Perhitungan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 100

4.6.1. Kerentanan Saat Ini ... 100

4.6.2. Dinamika Kerentanan ... 102

4.7 Proyeksi Perubahan Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 104 4.7.1. Pulau Kasu ... 104

4.7.2. Pulau Barrang Lompo ... 106

4.7.3. Pulau Saonek ... 107

4.8. Perkiraan Laju Perendaman Daratan Pulau ... 108

4.8.1. Pulau Kasu ... 108

4.8.2. Pulau Barrang Lompo ... 111

4.8.3. Pulau Saonek ... 114

5. PEMBAHASAN ... 117

5.1 Analisis Model Indeks Kerentanan Lingkungan ... 117

5.2 Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan ... 118

5.2.1. Analisis Parameter Ketersingkapan/Keterbukaan (Exposure) ... 118

5.2.2. Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity) ... 119

5.2.3. Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity) ... 122

5.3 Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan ... 126

5.3.1. Pulau Kasu ... 128

5.3.2. Pulau Barrang Lompo ... 130

(14)

5.5 Rancangan Strategi Adaptasi ... 134

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 140

6.1. Simpulan ... 140

6.2. Saran ... 141

DAFTAR PUSTAKA ... 142

(15)

Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan ... 12

Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam ... 19

Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir ... 20

Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan ... 25

Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan ... 26

Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim ... 27

Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ... 30

Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut ... 40

Tabel 9. Karakteristik umum P. Kasu, Barrang Lompo dan Saonek ... 45

Tabel 10. Beberapa contoh penentuan skala ... 55

Tabel 11. Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulua-pulau kecil untuk dimensi esxposure dan sensitivity ... 56

Tabel 12. Sistem penskalaan dan scoring tingkat adaptive capacity pulau-pulau kecil ... 57

Tabel 13. Teknik pengumpulan data ... 58

Tabel 14. Kriteria persentasi penutupan karang hidup ... 59

Tabel 15. Kriteria baku kerusakan mangrove ... 60

Tabel 16. Kategori penutupan lamun ... 60

Tabel 17. Random Consistency (RC) ... 65

Tabel 18. Bobot parameter kerentanan pulau-pulau kecil ... 71

Tabel 19. Nilai skor masing-masing parameter kerentanan pulau-pulau kecil . 96 Tabel 20. Karakteristik spesifik masing-masing pulau ... 102

Tabel 21. Perbandingan 2 model indeks kerentanan pulau-pulau kecil ... 118

Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu ... 129

Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo ... 130

Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek ... 132

(16)

Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003) ... 9

Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan Mcleod 2002) ... 11

Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 14

Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura, 1999) ... 22

Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil (Preston dan Stafford-Smith 2009) ... 31

Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi ... 32

Gambar 7. Lokasi penelitian (Pulau Kasu-Kota Batam) ... 44

Gambar 8. Lokasi penelitian (Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar) ... 45

Gambar 9. Lokasi penelitian (Pulau Saonek-Raja Ampat) ... 45

Gambar 10. Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pulau-pulau kecil .... 46

Gambar 11. Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pulau-pulau kecil ... 47

Gambar 12. Diagram pelingkupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pulau-pulau kecil (Adopsi dari Polsky 2007) ... 48

Gambar 13. Alogoritma penyusunan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 62

Gambar 14. Peta ketinggian daratan Pulau Kasu ... 74

Gambar 15. Peta kemiringan Pulau Kasu ... 75

Gambar 16. Peta ketinggian Pulau Barrang Lompo ... 77

Gambar 17. Peta kemiringan Pulau Barrang Lompo ... 78

Gambar 18. Peta ketinggian Pulau Saonek ... 81

Gambar 19. Peta kemiringan Pulau Saonek ... 82

Gambar 20. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Kasu ... 85

Gambar 21. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Barrang Lompo ... 87

Gambar 22. Habitat pesisir dan penggunaan lahan Pulau Saonek ... 90

Gambar 23. Perbandingan nilai parameter exposure ketiga lokasi penelitian . 97 Gambar 24. Perbandingan nilai parameter sensitivity ketiga lokasi penelitian 98 Gambar 25. Perbandingan nilai parameter adaptive capacity ketiga lokasi penelitian ... 99

(17)

Gambar 28. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Barrang Lompo ... 107 Gambar 29. Proyeksi kerentanan lingkungan Pulau Saonek ... 108 Gambar 30. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2020 ... 109 Gambar 31. Perkiraan perendaman Pulau Kasu pada tahun 2040, 2060,

2080, dan 2100 ... 110 Gambar 32. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2020 . 112 Gambar 33. Perkiraan perendaman Pulau Barrang Lompo pada tahun 2040,

2060, 2080, dan 2100 ... 113 Gambar 34. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2020 ... 115 Gambar 35. Perkiraan perendaman Pulau Saonek pada tahun 2040, 2060,

2080, dan 2100 ... 116 Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian

(pulau-pulau kecil) ... 125 Gambar 37. Algoritma kajian kerentanan pulau-pulau kecil ... 127 Gambar 38. Peran ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang

meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil ... 137 Gambar 39. Manfaat keanekaragaman hayati terhadap proses dan fungsi

(18)

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan

pulau-pulau kecil ... 152

Lampiran 2. Penurunan rumus dinamika indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil ... 154

Lampiran 3a. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi ketersingkapan (exposure) ... 156

Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi sensitivitas (sensitivity) ... 157

Lampiran 3b. Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan dimensi adaptif (adaptive capacity) ... 158

Lampiran 4. Rekapitulasi data penelitian ... 159

Lampiran 5. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Kasu ... 161

Lampiran 6. Hasil proyeksi nilai kerentanan Pulau Barrang Lompo ... 164

(19)

Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001). Salah satu hal yang akan berubah adalah akselerasi terhadap kenaikan muka laut yang akan menimbulkan dampak lanjutan seperti perendaman/penggenangan pesisir/pulau-pulau kecil (coastal inundation), peningkatan banjir, erosi pantai, intrusi air laut dan perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999). Selain itu, perkembangan daerah pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang cepat pada pusat-pusat perkotaan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu hal yang akan mengalami perubahan secara fundamental karena perubahan iklim (Nicholls 1995).

Pemanasan global juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyakat pesisir. Pemanasan global dan perubahan iklim akan mempengaruhi ketahanan pangan, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan. Pemanasan global berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Kenaikan suhu permukaan laut berdampak terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang. Fenomena pemutihan karang karena kenaikan suhu permukaan laut diprakirakan akan berdampak terhadap sumberdaya perikanan yang memiliki habitat ekosistem terumbu karang. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

(20)

ditunjukkan oleh pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Umumnya, pulau-pulau kecil yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut adalah pulau yang memiliki daratan rendah (low-lying). Untuk merespon fenomena ini, kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut dan pengembangan strategi adaptasi menjadi sangat penting. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 1992. Dalam konteks kerentanan pulau-pulau kecil, Lewis (2009) menyatakan bahwa kerentanan sudah merupakan karakteristik dari pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil sebagai tempat/lokasi yang sangat kecil, menyebabkan seluruh kegiatan di pulau tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut.

Sekitar 7 persen area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah pulau-pulau kecil di dunia, dimana Indonesia memiliki tidak kurang dari 10 000 pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990). Kawasan pulau-pulau kecil dikenal sebagai kawasan yang memiliki kekayaan sumberdaya cukup besar, seperti kekayaan ekosistem, kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Pulau-pulau kecil memiliki ekosistem produktif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kawasan pulau-pulau kecil juga menyediakan sumberdaya ikan dan berbagai kekayaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan seperti energi kelautan. Selain itu, pulau-pulau kecil juga menyediakan layanan jasa lingkungan, seperti penyedia nilai-nilai estetika, nilai-nilai sosial, pelindung keanekaragaman hayati dan pelindung atau penghalang bagi daratan dari bencana alam seperti tsunami, gelombang dan badai.

(21)

kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung (daya dukung lingkungan) kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, pilihan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut. Letak atau lokasi pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan bahkan terpencil (remote) juga menjadi kendala dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari karakter ini adalah biaya transportasi dan komunikasi menjadi sangat mahal dan menyebabkan pembangunan pulau-pulau kecil sulit mencapai skala ekonomi (economical scale) yang optimal.

Karakteristik pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas, menyebabkan pulau-pulau kecil menjadi salah satu kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Kerentanan (vulnerability) merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam SIDS (Small Island Development State) memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Mengingat pentingnya kajian kerentanan ini, maka kajian kerentanan di negara-negara anggota SIDS ini didorong dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada tahun 1994 yang menyebutkan bahwa negara-negara kepulauan kecil dalam rangka kerjasama di tingkat nasional, regional dan kerjasama dengan lembaga internasional dan pusat-pusat penelitian, secara kontinyu bekerja untuk mengembangkan indeks kerentanan lingkungan dan indeks lainnya yang menggambarkan status dari negara-negara kepulauan.

(22)

pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Mimura, 1999). Hal ini berarti bahwa hasil kajian kerentanan hendaknya memberikan kontribusi bagi perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Kajian kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil dan pesisir mengacu pada indikator yang dikembangkan oleh SOPAC (1999) tentang kerentanan lingkungan (environmental vulnerability idex) dan Gornitz (1992) tentang kerentanan pesisir (coastal vulnerability index). Penelitian kerentanan lingkungan yang mengacu pada Konsep SOPAC (1999) telah dilakukan Kaly dan Pratt (2002), Gowrie (2003), dan Turvey (2007). Selain itu juga terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan kerentanan pesisir (coastal vulnerability index) seperti yang dilakukan oleh Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al. (2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008).

Seiring dengan perkembangan isu perubahan iklim dan pemanasan global, konsep kerentanan kemudian banyak mendapatkan perhatian dari banyak peneliti. Konsep kerentanan tersebut mengintegrasikan aspek atau dimensi ketersingkan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity) (Turner et al. 2003; Fussel and Klein 2005; Metzger et al. (2006); UNU-EHS 2006). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, konsep ini lebih aplikatif dalam rangka membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini mengacu kepada konsep yang diuraikan di atas, dalam rangka mengembangkan model indeks kerentanan baru yang dapat diaplikasikan untuk menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.

(23)

selanjutnya dapat digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Banyak pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Posisi pulau-pulau kecil yang remote merupakan faktor penyebab kerentanan pulau-pulau kecil. Belum lagi berbagai keterbatasan pulau-pulau kecil dalam hal ketersediaan lahan, kemampuan ekonomi turut menjadi faktor yang berperan terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Keberadaan dan kelangsungan sebuah ekosistem pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil (Mimura 1999), dimana kerentanan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi sistem pulau-pulau kecil akan menentukan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) akan memberikan kontribusi terhadap upaya pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan.

(24)

dari letak pulau-pulau kecil terhadap keterbukaan (perairan) yang dikaitkan dengan kerentanan pulau-pulau kecil.

Karakteristik perairan Indonesia memiliki perbedaan antara perairan di wilayah bagian barat, bagian tengah dan timur. Perbedaan ini berimplikasi terhadap kemungkinan kisaran kenaikan muka laut, hal ini terlihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (in press) di Pulau Lombok dan Susandi (2008) di pesisir Sumatera Selatan. Perbedaan karakteristik pulau kecil juga akan menentukan perbedaan kerentanan antara satu pulau kecil dengan pulau kecil lainnya. Pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau datar berbeda dengan pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau berbukit. Hal ini sebagaimana diutarakan Campbell (2006) dalam mengkaji implikasi tipe pulau dengan gangguan alam di kawasan Pasifik. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki tipologi pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas. Karakteristik pulau lainnya yang diperkirakan akan menentukan kerentanan pulau kecil adalah seperti yang dikaji Asriningrum (2009), dimana pulau-pulau kecil memiliki korelasi yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.

(25)

menyesuaikan kondisi dan permasalahan spesifik dari suatu pulau kecil terkait dengan dampak dari kenaikan muka laut. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:

• Bagaimana model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang mampu memperlihatkan peran ekosistem pesisir dalam mengurangi laju kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

• Bagaimana kerentanan pulau-pulau kecil terkait dengan perubahan iklim dan kenaikan muka laut.

• Seberapa besar kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia terhadap kenaikan muka laut dan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kenaikan muka laut. • Seberapa besar dampak kenaikan muka laut terhadap daratan pulau-pulau

kecil.

• Upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptif guna menurunkan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dan adaptasi terhadap kenaikan muka laut.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil terhadap kenaikan muka laut dan gangguan alam seperti tsunami. Sedangkan tujuan spesifik penelitian adalah:

1. Memformulasikan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. 2. Menganalisis parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

3. Menduga indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa yang akan datang melalui verifikasi model indeks kerentanan lingkungan pada tiga pulau kecil.

4. Menduga perendaman daratan pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka laut. 5. Merancang strategi adaptasi berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

kerentanan, kerentanan pulau kecil dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan. Masing-masing jenis kerentanan ini memiliki atribut dan tujuan yang berbeda-beda dalam melihat kerentanan suatu pulau-pulau kecil. Penelitian kerentanan pulau-pulau kecil ini merujuk kepada kerentanan lingkungan, yaitu kerentanan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan baik aspek geofisik, biologi/ekologi maupun manusia. Aspek geofisik yang dikaji seperti kenaikan muka laut, kejadian tsunami, dan karakteristik fisik dari daratan pulau. Aspek biologi/ekologi mencakup kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil. Adapun aspek manusia mencakup demografi, aktivitas pemanfataan lahan pulau-pulau kecil dan pemukiman penduduk.

Kajian spesifik kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, juga memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang digunakan. Salah satu konsep yang digunakan dalam kajian kerentanan terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut adalah seperti yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003). Konsep kajian kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), menyajikan pendekatan kajian yang fleksibel, dimana cakupan kajian kerentanan dapat mencakup wilayah yang sangat luas ataupun lingkup yang sempit (lingkup global, regional dan lokal). Perbedaan kedua konsep tersebut di atas adalah terletak pada lingkup kajian, dimana konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) lebih fokus kepada kerentanan karena perubahan iklim (climate change) sedangkan konsep yang dikemukakan Turner et al. (2003) mencakup aspek yang lebih luas, tidak terbatas pada perubahan iklim. Namun demikian, kedua konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan merupakan fungsi dari ketersingkapan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity).

(27)

pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan sistem yang terdapat di suatu pulau kecil. Seberapa besar pengaruh ini sangat ditentukan oleh tingkat keterbukaan/ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Dengan mengacu pada konsep kerentanan tersebut di atas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003)

1.5. Kerangka Pemikiran

(28)

penurunan kemampuan sistem pulau-pulau dalam menopang kelangsung hidup sistem pulau dan masyarakat yang ada di pulau tersebut. Selain kenaikan muka laut, kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga diperparah oleh berbagai fenomena alam lain seperti tsunami, badai, dan sebagainya.

Untuk mengantisipasi dampak yang lebih parah dari kenaikan muka laut terhadap keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil, banyak negara telah mengembangkan atau menggalakkan kajian kerentanan, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Penelitian ini memformulasikan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, yang kemudian melakukan verifikasi terhadap model kerentanan yang dibangun pada tiga pulau kecil yang memiliki karakteristik yang berbeda baik dari aspek geografis, ekosistem maupun kondisi sosial masyarakatnya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa lingkup penelitian ini mengacu pada konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003), yang mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity.

(29)

kerentanan. Kedelapan tahapan tersebut, merupakan langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dengan melakukan modifikasi dan menggabungkan kedua konsep metodologi tersebut, maka secara diagramatik kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pikir kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan McLeod 2002)

1.6. Hipotesis

(30)

antara ketiga pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini membandingkan tingkat kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil tersebut. Perbedaan kerentanan lingkungan ketiga pulau ini berimplikasi pada konsep pengelolaan yang perlu dikembangkan untuk tetap mempertahankan eksistensi dan proses pembangunan secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil.

1.7 Kebaharuan (Novelty)

Kajian kerentanan sudah dimulai sejak tahun 1970. Kajian kerentanan yang banyak dilakukan saat ini mencakup aspek yang lebih luas dibandingkan kajian kerentanan sebelumnya (Lewis 2009). Namun demikian, kajian kerentanan ini lebih banyak fokus pada aspek sosial ekonomi, yang secara geografi memiliki karakteristik yang spesifik (Atkins, 1998). Indeks kerentanan ekonomi diantaranya dikembangkan Briguglio (1995, 1997), The Commonwealth Secretariat (Wells 1996, 1997); Pantin (1997), Atkins et al. (1998), the Caribbean Development Bank (Crowards 1999), dan Adrianto dan Matsuda (2004).

(31)
[image:31.612.126.521.95.290.2]

Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan Konsep Kajian

Kerentanan Peneliti Tinjauan

SOPAC (1999)

Kaly UL dan Pratt C (2002) Penelitian ini baru mampu menghitung indeks kerentanan sesaat

Gowrie MN (2003)

Gornitz (1992) Pendleton EA et al. (2004) • Penelitian ini hanya menyajikan kerentanan sesaat.

• Penelitian ini tidak

mengintegrasikan ekosistem pesisir (habitat pesisir) sebagai suatu ekosistem yang mampu mengurangi kerentanan pesisir/PPK. DKP (2008) memasukkan terumbu karang dan mangrove sebagai parameter penghitungan kerentanan Boruff BJ et al. (2005)

Doukakis (2005) Rao et al. (2008)

Departemen Kelautan dan Perikanan (2008)

(32)
[image:32.612.131.501.87.308.2]

Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan pulau-pulau kecil

(33)

Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan masing-masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian pulau. Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau cenderung kepada masalah ukuran pulau (Granger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang) (seperti pulau tropis, temperate atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off), berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit).

Pengertian pulau berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea) 1982 adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas permukaan laut pada saat pasang tertinggi, memiliki kemampuan menghidupi penduduknya atau kehidupan ekonominya dan memiliki dimensi ekonomi yang lebih kecil dari ekonomi kontinental. Pengertian pulau sebagaimana yang diutarakan dalam UNCLOSS 1982 di atas memiliki beberapa kata kunci, yaitu (1) lahan daratan, (2) terbentuk secara alamiah, (3) dikelilingi oleh air/lautan, (4) selalu di atas permukaan pada saat pasang, dan (5) memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya. Ukuran pulau tersebut bervariasi mulai dari pulau yang hanya beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Berdasarkan ukurannya, pulau dapat dibedakan menjadi pulau besar, pulau kecil dan pulau sangat kecil (Bengen dan Retaubun 2006).

(34)

antara 1.0 - 1.20 juta orang. Pulau kecil pada awalnya dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10 000 km2 dengan jumlah penduduk 500 000 orang, batasan yang sama juga digunakan Hess (1990) dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200 000 orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum 5 000 km2 (Bengen dan Retraubun 2006). Lillis (1993) menggunakan kriteria tambahan seperti area permukaan pulau, GNP (gross nasional product) dan ukuran populasi untuk menentukan sistem pulau di kawasan Pasifik menjadi pulau kecil, pulau sangat kecil dan pulau mikro.

Batasan pulau-pulau kecil yang dianut Indonesia selama ini belum ada yang baku. Batasan pulau kecil yang baku baru ditetapkan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Batasan pulau kecil yang dianut adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Implikasi dari penentuan batasan pulau kecil ini bagi pengelolaan pulau-pulau berkelanjutan adalah dibatasinya peruntukan lahan dan perairan pulau-pulau kecil pada beberapa kegiatan pemanfaatan saja. Pemanfaatan pulau-pulau kecil Indonesia diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan/atau peternakan.

2.2 Tipe Pulau-pulau Kecil

Pulau-pulau kecil yang ada di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya berdasarkan tipe dan asal pembentukan pulau atau berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut (Bengen dan Retraubun 2006). Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi menjadi pulau datar dan pulau berbukit, sebagai berikut:

2.2.1 Pulau Datar

(35)

massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Jenis-jenis pulau datar adalah sebagai berikut:

1. Pulau Atol: Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya

pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik dan adanya pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol yang cukup terkenal di Indonesia adalah pulau-pulau yang terdapat di gugus pulau di Takabone Rate.

2. Pulau Karang: Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik

berumur kuarter. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang. Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat subur dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga memiliki sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan manusia. Contoh-contoh pulau karang terdapat di wilayah Maluku.

3. Pulau Aluvium: Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang

biasanya terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau-pulau di pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta di Kalimantan merupakan tipe pulau endapan atau pulau aluvium.

2.2.2. Pulau Berbukit

Pulau berbukit adalah pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas muka laut yang relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m di atas pemukaan laut. Pulau-pulau yang tergolong pulau berbukit adalah pulau tektonik, pulau vulkanik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran.

1. Pulau Tektonik: Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses

(36)

2. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari

kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate).

3. Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh

terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda.

4. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang

stabil secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung.

5. Pulau Genesis campuran: Pulau genesis campuran adalah pulau yang

(37)
[image:37.612.103.518.256.681.2]

Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil adalah kawasan Pasifik. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam, ketersingkapan dan sebagainya. Hubungan antara tipe pulau dengan implikasi terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam

No. Tipe Pulau Implikasi Terhadap Bahaya Gangguan Alam

1. Pulau Kontinental • Sangat luas

• Memiliki elevasi tinggi • Keanekaragaman tinggi • Ketersediaan tanah yang cukup

untuk kegiatan pertanian • Sistem aliran sungai dataran

• Berada pada daerah subduksi dan mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik • Masalah banjir merupakan

masalah yang utama di pulau ini

2. Pulau Vulkanik

• Memiliki slope yang curam • Ada penghalang karang

• Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental

• Memiliki sistem aliran sungai dataran yang lebih kecil dibandingkan kontinental

• Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir

• Karena ukurannya besar pulau ini tidak terekspose terhadap badai trofis

3. Pulau Atol

• Lahan daratan sangat terbatas • Elevasi sangat rendah

• Tidak tersedia air permukaan

• Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang

• Sangat terbatas sumberdaya alam • Air permukaan merupakan

masalah utama 4. Pulau Karang Terangkat

Slope outer curam • Pesisir dataran sempit • Tidak ada air permukaan • Tidak ada atau sangat minim

tanah pertanian

• Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai

• Air permukaan terbatas

Sumber: Campbell (2006).

(38)

karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir. Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau vulkanik dan pulau karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik dan pulau karang sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir Ekosistem

Laut

Tipe pulau kecil

Tektonik Vulkanik Karang

Mangrove tumbuh lebih baik pada pantai landai dan datar yang lebih terlindung

tumbuh pada sisi pulau yang datar dan terlindung

sulit tumbuh

Terumbu karang tumbuh lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik

tumbuh lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka

Lamun tumbuh lebih baik pada daerah yang lebih terlindung

tumbuh pada sisi pulau yang terlindung

sulit tumbuh

Sumber : Asriningrum (2009)

2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu

(39)

sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Jika merujuk kepada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12 mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah pesisir (UU No. 27/2007). Namun jika pengertian wilayah pesisir dirujuk kepada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di laut (intrusi air laut) dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses di darat (sedimentasi), maka batas wilayah pesisir di pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil. Pendekatan ICM pada pulau-pulau kecil lebih jauh dibahas Calado et al. (2007). Karakteristik pulau (termasuk pulau kecil) yang dikelilingi perairan/lautan, luasannya (wilayah daratannya) yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau kecil sebagai sebuah sistem tertutup (Calado et al. 2007), hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun kebutuhan teknologi. Calado et al. (2007) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle (1985) menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil.

(40)

keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil merupakan persinggungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan (terrestrial ecosystem) dan lingkungan perairan (marine environment).

[image:40.612.110.494.326.683.2]

Hubungan lebih lanjut antara kerentanan dan keberlanjutan dari suatu sistem pulau-pulau kecil digambarkan Mimura (1999). Adanya faktor eksternal akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sistem internal pulau-pulau kecil yang digambarkan sebagai interaksi sistem pulau-pulau kecil. Interaksi yang terjadi dalam sistem pulau-pulau kecil selanjutnya akan mempengaruhi kerentanan dan resiliensi dari pulau-pulau kecil tersebut. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi kedua komponen tersebut akan menentukan tingkat resiliensi dan kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil (Gambar 4).

Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura 1999)

Manusia

Ekonomi Tekanan  Internal  (Internall Stresses) 

Sumberdaya  alam

Kelembagaan  Sosial budaya 

Infrastruktur 

 Tekanan Luar (External Stresses)

Komponen Sistem Resiliensi

Komponen Sistem  Kerentanan

Kemampuan Keberlanjutan       

(41)

Bagi negara-negara kepulauan, pendekatan sistem pengelolaan pulau sebagai suatu pendekatan multidisiplin, mekanisme keterpaduan dan menawarkan suatu strategi pengelolaan adaptif untuk mengatasi isu-isu konflik pemanfaatan sumberdaya dan menyediakan sebuah kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan, yang berorientasi untuk mengontrol dampak akibat intervensi manusia terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Efektifitas pendekatan ini sangat tergantung pada kerangka kelembagaan dan kerangka hukum yang mengkoordinasikan seluruh sektor baik publik maupun swasta dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

2.4. Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut.

(42)

Tompkins et al. (2005) juga menyatakan hal yang sama bahwa pulau-pulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut.

Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulau-pulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore (Brookfield 1990).

Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Menurut Farrel (1991) permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut.

2.4.1. Konsep Kerentanan

(43)
[image:43.612.102.508.211.708.2]

cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 4 disajikan beberapa pengertian kerentanan.

Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan

Nama Tahun Pengertian

Timmerman 1981 Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik.

Susman et al. 1983 Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda

dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial

Kates et al. 1985 Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau

reaksi terhadap kondisi yang kurang baik UN Department

of Humanitarian Affairs

1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam

Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Watts dan

Bohle

1993 Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan

Blaikie et al. 1994 Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang

terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam

Bohle et al. 1994 Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia

yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan

Dow dan Downing

1995 Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi

Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian

Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim

Adger dan Kelly

(44)

Nama Tahun Pengertian Karsperson et

al.

2001 Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan

Liechenko and O’Brien

2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi Sumber : Disadur dari Ford (2002)

[image:44.612.115.514.450.694.2]

Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang dapat dirusak. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan

Synonym Antonym

Inggris Indonesia Inggris Indonesia

weak lemah strong kuat

powerless sangat lemah powerfull sangat kuat insecure tidak terjamin secure terjamin

passive pasif active aktif

expose terbuka covered tertutup

unprotected tidak terlindung protected terlindung

unstable tidak stabil stable stabil

risk beresiko safety aman

constrained/limited terbatas free/unlimited tidak terbatas

fragile rapuh robust tegap

small sempit large luas

(45)

Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4 (empat) tahapan, yaitu dimulai dengan kajian dampak (impact assessment), kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment first-generation), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment scond-generation), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment) (Fussel dan Klein 2006). Kajian kerentanan generasi pertama dicirikan oleh adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah. Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar penilaian potensi kapasitas adaptif pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006). Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dan karakteristik setiap tahapan perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Kajian dampak Kajian Kerentanan Kajian Kebi-jakan Adaptasi Generasi

Pertama Generasi kedua

Fokus utama kebijakan Kebijakan mitigasi Kebijakan mitigasi Alokasi sumberdaya Kebijakan adaptasi

Pendekatan analisis Positif Positif Positif Normatif

Hasil utama Dampak

potensi Adaptasi awal (pre-adaptation) Adaptasi akhir (post-adaptation) Rekomendasi strategi adaptasi

Waktu Jangka

panjang

Jangka panjang Sedang-jangka panjang

Pendek – jangka panjang

Skala ruang Nasional ke

global

Nasional ke global

Lokal ke global Lokal ke nasional

Pertimbangan iklim, non-iklim dan adaptasi

Kecil Parsial Penuh Penuh

Integrasi antara ilmu sosial dan alam

Rendah Rendah ke sedang Sedang ke

tinggi

Tinggi

Keterlibatan stakeholder

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sumber : Fussel dan Klein (2006)

[image:45.612.94.522.415.648.2]
(46)

iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Adapun Karperson et al. (2003) dan Turner et al. (2003) menyebutkan bahwa kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut (IPCC-CZMS 1992).

Faktor geografi juga merupakan salah satu penyebab kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Secara geografi pulau-pulau kecil dapat memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gangguan alam, atau karena letaknya yang tidak strategis, sehingga pulau-pulau kecil memiliki kerentanan lokasi. Karena posisi pulau-pulau kecil juga dapat meningkatkan kerentanan karena berada pada zona seperti topan dan daerah tercemar. Kerentanan pulau-pulau kecil karena posisi/letak disebut sebagai kerentanan ruang (vulnerability of space) (Turvey 2007). Kajian kerentanan ruang dimaksudkan untuk mengetahui mengapa suatu lokasi pulau-pulau kecil lebih rentan dari lokasi lainnya. Istilah ruang ini memiliki makna geografi seperti lokasi, ukuran dari pulau-pulau kecil, lingkungan fisik dimana manusia hidup, biofisik, interaksi sistem ekonomi dan politik.

(47)

ketersingkapan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul.

2.4.2. Kerentanan Lingkungan

Pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi Briguglio (2003). Ada beberapa alasan kerentanan lingkungan bagi pulau-pulau kecil, yaitu (1) keterbatasan asimilasi dan daya dukung, akan berimplikasi pada permasalahan pengelolaan limbah, persediaan air dan yang menyangkut ukuran teritori pulau-pulau kecil; (2) memiliki wilayah pesisir yang cukup luas (dibandingkan dengan luas daratan) membuat pulau kecil mudah tergerus erosi; (3) ekosistem yang rapuh, karena daya tahan terhadap pengaruh luar temasuk kekayaan hayati di dalamnya; (4) mudahnya terkena dampak bencana alam, termasuk gempa, gunung meletus, angin badai, banjir, gelombang pasang dan bentuk lain, tergantung pada kondisi pulau; (5) luasnya proporsi tanah yang akan terkena dampak akibat pengaruh pemanasan global, termasuk naiknya muka air laut sehingga akan banyak proporsi wilayah daratan yang akan hilang; dan (6) dampak yang signifikan akibat perkembangan ekonomi, termasuk penurunan produksi pertanian dan sumberdaya alam.

Kerentanan pulau-pulau kecil meliputi kerentanan lingkungan (environmental vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) lingkungan termasuk di dalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan di setiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan dengan secara luas dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas di seluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (SOPAC 2005).

(48)

adalah perubahan iklim yang berimplikasi terhadap kenaikan muka laut dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil. Proses regional adalah pengaruh pencemaran yang berasal dari kota-kota yang berkembang pesat yang letaknya tidak jauh dari pulau-pulau kecil. Proses lokal adalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya yang terjadi di pulau-pulau kecil sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Selain itu, kerentanan pulau-pulau kecil juga dapat disebabkan karena karakteristik pulau-pulau kecil itu sendiri, seperti sifat insularitas pulau dan sifat remoteness pulau. Kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh keterbukaan pulau terhadap alam, degradasi lingkungan yang dialami pulau-pulau kecil, dan kemampuan resiliensi pulau-pulau kecil.

[image:48.612.106.512.429.630.2]

Kerentanan lingkungan akan mempengaruhi sistem lingkungan yang selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan pembangunan di pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun merupakan ekosistem yang memiliki peran dalam menopang sistem keberlanjutan pulau-pulau kecil. Moberg dan Folk (1999) mengidentifikasi peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa (Tabel 7). Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa

dalam pengelolaan pulau-pulau kecil

Barang Peran ekologi

Sumberdaya

pulih Batu karang Jasa fisik

Jasa Biologi Jasa biogeokimia Dalam ekosistem Antar ekosistem Makanan laut Batu karang,

pasir untuk bahan bangunan Pelindung pantai/erosi Memelihara habitat Mendukung bioekologi melalui interkoneksi Fiksasi nitrogen Bahan mentah untuk obat Bahan mentah untuk semen Membentuk daratan Memelihara biodiversity dan genetik Ekspor produksi organik dan plankton Contr

Gambar

Tabel 1.  Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan
Gambar 3.  Ilustrasi perubahan kerentanan pulau-pulau kecil
Tabel 2.  Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam
Gambar 4.  Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait