RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013
TESIS
Oleh
RUSDIANA HARAHAP 117032152/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUSDIANA HARAHAP 117032152/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Rusdiana Harahap Nomor Induk Mahasiswa : 117032152
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Dr. Juanita, S.E, M.Kes)
Ketua Anggota
(Drs. Tukiman, M.K.M)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah Diuji
pada Tanggal : 24 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M
2. Dra. Syarifah, M.S
PERNYATAAN
RESPON BIDAN PTT TERHADAP PROGRAM JAMPERSAL DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2013
ABSTRAK
Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis respon bidan PTT terhadap program jampersal di Kabupaten Langkat dan diharapkan bermanfaat bagi bidan PTT itu sendiri.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat pada bulan Januari sampai Juni 2013 dengan jumlah informan 11 orang. Data diperoleh melalui proses wawancara terbuka dan mendalam (indepth interview) sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program EZ test.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa respon bidan PTT di Kabupaten Langkat terhadap jampersal adalah tidak begitu baik, hal ini terlihat dari pengetahuan para informan yang masih rendah, sikap dan persepsi mereka yang cenderung negative atau tidak menyukai program tersebut serta dalam pelaksanaannya para bidan PTT tetap meminta jasa kepada para pasien serta masih mengarang laporan data untuk pengklaiman.
Bagi Pengelola Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk mensosialisasikan program jampersal secara lebih terbuka kepada para bidan serta mengontrol proses pelaksanaannya di lapangan.
ABSTRACT
The achievement of health status is characterized by the decrease of Infant Mortality Rate, Maternal Mortality Rate, the prevalences of undernourishment and poor nutrition and the improvement of life expectancy. Various efforts have been done to minimize maternal mortality rate and infant mortality rate and the latest breakthrough initiated in 2011 is Jaminan Persalinan (Delivery Insurance) was used to improve the access of community to pregnancy health service, delivery, postpartum including the postpartum family planning, and newborn care service by health workers whose expenses were borne by the government.The purpose of this study was to analyze the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District.
This descriptive qualitative study was conducted in Langkat District from January to July 2013. The data for this study were obtained through indept-interview with 11 informants and the data obtained were processed and analyzed through EZ test program.
The result of interviews showed that the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District was not so good. This condition was clearly seen from the low level knowledge of the informants and the negative attituide and perception of the informants. In the implementation of Jampersal (Delivery Insurance) program, the midwives under temporary employee status still asked for some fees from the patients and made up the data reports for claiming.
The management of Langkat District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) is suggested to more openly socialize the Jampersal program to the midwives and to control the process of this Jampersal program implementation in the field.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat kesehatan lahir dan batin, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul Respon Bidan PTT terhadap Program Jampersal di Kabupaten Langkat Tahun 2013.
Penyusunan tesis ini diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
5. Drs. Tukiman, M.K.M selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini
6. Dra. Syarifah, M.S selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.
7. Siti Khadijah, S.K.M, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.
8. Seluruh dosen minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, semoga ilmu pengetahuan yang diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT.
9. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, Bapak dr. H. Gunawan, M.Kes yang telah memberikan izin penelitian serta dukungan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
10.Rekan – rekan Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Kepala Puskesmas Se-Kabupaten Langkat beserta staf yang telah bersedia memberikan informasi dan data sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
12. Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Muhammad Thamrin Hasibuan, MBA dan Hj. Norma br Surbakti serta seluruh Saudara dan Saudari ku yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat untuk penyelesaian pendidikan ini
13.Seluruh rekan – rekan seperjuangan di S2 IKM Peminatan PKIP Angkatan 2011 atas segala dukungan, motivasi dan kebersamaannya
14.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penyusunan tesis ini.
Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT meridhai kita semua.
Medan, Oktober 2013 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Rusdiana Harahap, lahir di Tangkahan Durian pada tanggal 17 November 1983, beragama Islam, merupakan anak ke 8 dari 9 bersaudara dengan nama ayah H. Abdul Halim Is Harahap dan Ibu Hj. Siti Hawa Hasibuan. Mempunyai 2 orang anak yakni Aqila Balqis Anfadin Hasibuan, Allysa Meyrusfa Hasibuan dan Ameera Norin Afdina Hasibuan dari suami yang bernama Muhammad Faisal Hasibuan, S.K.M , anak dari H. Muhammad Thamrin Hasibuan, MBA dan Hj. Norma br Surbakti, S.K.M. Penulis tinggal dan menetap di Jalan Tanjung Pura Dusun Kedondong Barat Desa Jentera Stabat No. 40 Kecamatan Wampu Stabat Lama Kabupaten Langkat.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 14
1.3 Tujuan Penelitian... 14
1.4 Manfaat Penelitian ... 14
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 16
2.1. Respons ... 16
2.1.1 Defenisi Respons ... 16
2.1.2 Domain Perilaku ... 17
2.2 Persepsi ... 22
2.2.1 Defenisi Persepsi ... 22
2.2.2 Aspek Persepsi ... 24
2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 25
2.2.4 Proses Terbentuknya Persepsi ... 27
2.3.1 Pengertian Bidan ... 29
2.3.2 Bidan di Komunitas ... 30
2.3.3 Sasaran Bidan di Komunitas ... 32
2.3.4 Tujuan Bidan di Komunitas ... 32
2.3.5 Hak dan Kewajiban Bidan... 33
2.3.6 Pelayanan Kebidanan ... 38
2.4. Kebijakan Kesehatan ... 39
2.4.1. Defenisi Kebijakan Kesehatan ... 39
2.4.2. Segitiga Kebijakan Kesehatan ... 40
2.4.3. Implementasi Kebijakan Kesehatan... 42
2.4 Jaminan Persalinan (Jampersal) ... 44
2.4.1 Defenisi Jampersal ... 44
2.4.2 Tujuan Jampersal ... 45
2.4.3 Sasaran Jampersal ... 45
2.4.4 Manfaat Jampersal ... 46
2.4.5 Kebijakan Operasional Jampersal... 47
2.4.6 Ruang Lingkup Pelayanan Jampersal ... 49
2.4.7 Ketentuan Pendanaan ... 51
2.4.8 Besaran Tarif Pelayanan ... 52
2.4.9 Pencairan Klaim ... 53
2.4.9 Indikator Keberhasilan ... 53
2.4.10 Pemantauan dan Evaluasi ... 54
2.5. Kerangka Pikir ... 54
BAB 3. METODE PENELITIAN... 56
3.1 Jenis Penelitian ... 56
3.2.1 Lokasi ... 56
3.2.2 Waktu Penelitian ... 56
3.3 Pemilihan Informan ... 56
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 58
3.4.1 Data Primer... 58
3.4.2 Data Sekunder ... 58
3.5 Metode Pengolahan Dan Analisa Data ... 59
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 60
4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Langkat ... 60
4.1.2. Pertumbuhan Penduduk... 64
4.1.3. Agama ... 66
4.1.4. Sarana Kesehatan ... 66
4.1.5. Situasi Derajat Kesehatan ... 72
4.2. Hasil Penelitian ... 81
4.2.1. Karakteristik Informan ... 81
4.2.2. Pengetahuan Informan ... 83
4.2.3.Sikap Bidan terhadap Program Jampersal ... 92
4.2.4. Persepsi Bidan terhadap Program Jampersal ... 93
4.2.5. Pelaksanaan Jampersal Oleh Bidan ... 96
4.3. Bidan Praktek Swasta ... 101
4.4. Pengelola Jampersal (Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan Bidan Koordinator) ... 105
BAB 5. PEMBAHASAN ... 112
5.1. Pengetahuan ... 112
5.1.1. Pengertian dan Tujuan Jampersal ... 117
5.1.3. Syarat Peserta agar Mendapatkan Pelayanan Jampersal ... 122
5.1.4. Pendanaan dan Jumlah Jasa yang Diterima Bidan Per Pasien TiapLayanan ... 123
5.2. Sumber Informasi ... 125
5.3. Sikap ... 126
5.4. Persepsi ... 128
5.5. Pelaksanaan Jampersal ... 134
5.6. Keberhasilan Program Jampersal ... 146
BAB 6. KESIMPULAN ... 148
6.1. Kesimpulan ... 148
6.2. Saran ... 151
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
2.1 Besar Tarif Pelayanan Jampersal ... 51
4.1. Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 61
4.2. Jumlah Desa/Kelurahan Per Puskesmas di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 62
4.3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur ... 65
4.4. Jarak Puskesmas ke Stabat di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 67
4.5. Jumlah Bidan PTT Per Puskesmas di Kabupaten Langkat ... 68
4.6 Jumlah Posyandu Per Puskesmas di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 70
4.7. AKI, AKB dan Angka Kematian Balita di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 73
4.8. Jumlah Kunjungan K1 dan K4 Pada Ibu Hamil di Kabupaten Langkat Tahun 2013 ... 75
4.9. Jumlah Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ... 78
4.10. Jumlah Ibu Nifas yang Mendapat Pelayanan Kesehatan ... 79
4.11. Karakteristik Informan ... 81
4.12. Matriks Pengetahuan tentang Pengertian dan Tujuan Jampersal ... 83
4.14. Matriks Pengetahuan Mengenai Pendanaan pada Tiap Pelayanan
Jampersal ... 86
4.15. Matriks Pengetahuan Tentang Syarat – Syarat Peserta Agar Dapat Pelayanan Jampersal ... 87
4.16. Matriks Jumlah Dana yang diterima Bidan PTT per Pasien Setiap Mendapatkan Pelayanan ... 88
4.17. Matriks Jumlah Dana yang diterima Bidan PTT per Pasien Sebelum Ada Jampersal ... 89
4.18. Matriks Pemberi Informasi tentang Jampersal Kepada Bidan ... 91
4.19. Matriks Sikap Bidan terhadap Program Jampersal ... 92
4.20. Matriks Persepsi Bidan terhadap Program Jampersal ... 93
4.21. Matriks Kendala Bidan terhadap Program Jampersal ... 95
4.22. Matriks Proses Pelaksanaan Jampersal oleh Bidan ... 96
4.23. Matriks Tempat Bidan Melakukan Pelayanan Jampersal ... 99
4.24. Matriks Penggunaan Informed Consent dalam Memberikan Pelayanan Jampersal ... 100
4.25. Pengetahuan BPS tentang Jampersal... 101
4.26. Sikap BPS terhadap Program Jampersal ... 103
4.27. Persepsi BPS terhadap Program Jampersal ... 104
4.28. Pelaksanan Jampersal oleh BPS ... 104
4.29. Pengetahuan Pengelola tentang Jampersal ... 105
4.30. Pendapat dan Sikap Pengelola terhadap Program Jampersal ... 107
4.31. Sosialisasi dan Pelaksanaan Jampersal di Lapangan ... 107
4.32. Matriks Kendala Jampersal dan Cara Mengatasinya di Lapangan ... 109
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 54 1.2. Grafik Angka Kematian Ibu, Bayi dan Balita Tahun 2008 – 2012
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 153
2. Surat Izin Penelitian ... 156
3. Surat Balasan Penelitian ... 157
ABSTRAK
Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis respon bidan PTT terhadap program jampersal di Kabupaten Langkat dan diharapkan bermanfaat bagi bidan PTT itu sendiri.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat pada bulan Januari sampai Juni 2013 dengan jumlah informan 11 orang. Data diperoleh melalui proses wawancara terbuka dan mendalam (indepth interview) sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program EZ test.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa respon bidan PTT di Kabupaten Langkat terhadap jampersal adalah tidak begitu baik, hal ini terlihat dari pengetahuan para informan yang masih rendah, sikap dan persepsi mereka yang cenderung negative atau tidak menyukai program tersebut serta dalam pelaksanaannya para bidan PTT tetap meminta jasa kepada para pasien serta masih mengarang laporan data untuk pengklaiman.
Bagi Pengelola Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk mensosialisasikan program jampersal secara lebih terbuka kepada para bidan serta mengontrol proses pelaksanaannya di lapangan.
ABSTRACT
The achievement of health status is characterized by the decrease of Infant Mortality Rate, Maternal Mortality Rate, the prevalences of undernourishment and poor nutrition and the improvement of life expectancy. Various efforts have been done to minimize maternal mortality rate and infant mortality rate and the latest breakthrough initiated in 2011 is Jaminan Persalinan (Delivery Insurance) was used to improve the access of community to pregnancy health service, delivery, postpartum including the postpartum family planning, and newborn care service by health workers whose expenses were borne by the government.The purpose of this study was to analyze the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District.
This descriptive qualitative study was conducted in Langkat District from January to July 2013. The data for this study were obtained through indept-interview with 11 informants and the data obtained were processed and analyzed through EZ test program.
The result of interviews showed that the response of the midwives under temporary employee status to the delivery insurance program in Langkat District was not so good. This condition was clearly seen from the low level knowledge of the informants and the negative attituide and perception of the informants. In the implementation of Jampersal (Delivery Insurance) program, the midwives under temporary employee status still asked for some fees from the patients and made up the data reports for claiming.
The management of Langkat District Health Service and Puskesmas (Community Health Center) is suggested to more openly socialize the Jampersal program to the midwives and to control the process of this Jampersal program implementation in the field.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk sekaligus indikator keberhasilan program pembangunan.Kesehatan berimplikasi pada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya (Dinkes Sumut, 2008)
Sehat selain sebagai salah satu hak dasar manusia, juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) bersama faktor pendidikan dan ekonomi menjadi ukuran untuk menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah, sehingga dengan memaksimalkan pelayanan kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Dinkes Sumut, 2008)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lebih dini lagi adalah untuk menurunkan angka kematian bayi/balita. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang baik selain dengan penyediaan berbagai fasilitas kesehatan, juga melalui penyuluhan kesehatan agar masyarakat dapat berperilaku hidup sehat. Adapun upaya untuk menilai keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan salah satunya adalah berdasarkan situasi derajat kesehatan. Oleh karena itu derajat kesehatan merupakan keharusan guna menilai hasil pelaksanaan program kesehatan yang dijalankan. Guna menilai keberhasilan pembangunan kesehatan maupun sebagai dasar dalam menyusun rencana untuk masa yang akan datang mutlak diperlukan analisa situasi derajat kesehatan tersebut (Depkes RI, 2012)
kenyataan SDKI memprediksikan pada tahun 2015 penurunan AKI hanya bisa mencapai 161/100.000 KH yang berarti di khawatirkan target MDGs tidak akan tercapai. Hal ini berarti menggunakan perhitungan apapun AKI tetap tinggi (Depkes RI, 2012)
Sumatera Utara pada tahun 2007 jumlah AKI mencapai 231/100.000 KH dan terus meningkat menjadi 249/100.000 KH pada tahun 2010. Tingkat kematian bayi juga tidak mengalami penurunan yakni 14/1000 KH pada tahun 2007 dan 22/1000 pada tahun 2010. Untuk Kabupaten Langkat sendiri jumlah kematian ibu semakin meningkat di tahun 2011 yakni 60,64/100.000 KH pada tahun 2008, 83,02/100.000 KH pada tahun 2010 dan 112,49/100.000 KH pada tahun 2011. Jumlah kematian bayi yakni 6,20/1000 KH pada tahun 2010 dan menurun sedikit 6,02/1000 KH pada tahun 2011 (Dinkes Langkat, 2011). Total kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 berkisar 11.534 kematian. Sumatera Utara berada pada peringkat keenam (6) sebagai penyumbang angka kematian di Indonesia yakni sekitar 3,6 % setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Banten dan Jawa Timur (SDKI, 2010).
pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 82,2%. MDGs menargetkan pada tahun 2015 pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 90%. Sementara dukun terlatih dapat dijadikan relasi bidan dalam menolong persalinan atau sebagai pendamping bidan saja (Riskesda, 2010).
Menurut hasi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SDKI) tahun 2010, penyebab kematian ibu hampir 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Lima puluh persen (50%) kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (27%) dan eklampsi (23%), sedangkan yang lain disebabkan oleh infeksi, abortus dan komplikasi persalinan lainnya. Resiko tingginya kematian ibu juga akibat adanya faktor keterlambatan yang menjadi penyebab tidak langsung kematian. Ada tiga resiko keterlambatan yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk, terlambat sampai ke fasilitas kesehatan dan terlambat memperoleh pelayanan memadai oleh tenaga kesehatan. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang kurang baik (gender) dan latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik serta kebijakan juga merupakan faktor penentu angka kematian (Riskesda, 2010).
1579 buah dan Perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) berjumlah 378 di rumah sakit. Namun kelihatannya tidak juga mencapai hasil yang maksimal untuk menurunkan AKI dan AKB (Riskesda, 2010).
Menurut SDKI 2010, cakupan K1, K4 dan persalinan normal di Indonesia belum mencapai hasil yang memuaskan sesuai dengan target. Propinsi Sumatera Utara cakupan K1 hanya mencapai 88%, K4 51,5% dan persalinan normal 87,4%, sementara target yang ingin di capai adalah 90%. Hal ini menandakan bahwa masyarakat atau ibu hamil khususnya belum maksimal menggunakan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ada.
Upaya terobosan terkini yang digulirkan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan atau ansuransi kesehatan. Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2012).
Berbeda dengan program Jamkesmas yang kepesertaannya ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan kriteria miskin, peserta program Jampersal cukup mendaftar ke puskesmas dan jaringannya, atau bidan praktik swasta yang sudah menjalin kerjasama untuk melayani peserta Jampersal. Syaratnya dengan menunjukkan identitas diri dan membuat pernyataan tidak mempunyai jaminan atau asuransi persalinan. Ibu hamil yang menjadi peserta Jampersal berhak memperoleh pelayanan jaminan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan atau ante natal care (ANC) disertai konseling KB dengan frekuensi empat kali, pertolongan persalinan, pelayanan bayi baru lahir, pelayanan nifas dengan frekuensi empat kali dan pelayanan KB pasca persalinan (Dinkes Jember, 2011).
Dari aspek ketepatan program dan sasaran, memperlihatkan bahwa program Jampersal terbukti berkontribusi dalam peningkatan cakupan kunjungan antenatal pertama (K1), kunjungan antenatal minimal 4 kali (K4), dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn). Melalui progam ini pada tahun 2012 pemerintah menjamin pembiayaan persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapat layanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan masa neonatal di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2011).
Pada kenyataannya, meskipun program ini cukup baik, masih ada juga ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilan dan bersalin ke fasilitas kesehatan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kunjungan K1 dan K4 ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya program jampersal dari pemerintah. Padahal program ini telah dipromosikan melalui media baik elektronik maupun media massa, bahkan sosialisasi telah dilakukan dengan bantuan ibu PKK dan para kader namun ternyata program ini belum juga sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Sebenarnya tidak sulit untuk mengikuti program jampersal, hanya butuh Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. Program ini tidak berbatas tempat tetapi pelayanan memang harus berjenjang, yaitu melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar dulu sebelum ke tingkat lanjutan, kecuali dalam kasus gawat darurat. Untuk bidan yang bernaung di dalam instansi pemerintah (bidan desa) bahkan memiliki kelebihan pelayanan selain yang tersebut di atas, yaitu askes dan jamkesmas. Tentunya dengan beberapa ketentuan yang berlaku, dan ibu hamil bisa dipersilahkan untuk memilih (Dinkes Sumut, 2012).
menikmati program ini yakni yang dekat dengan rumah sakit saja sementara akses untuk mencapai tempat tersebut cukup jauh, selain itu meskipun dikatakan gratis tetap saja pasien harus membayar obat (Trisnantoro, 2012)
Tidak jauh berbeda dengan Purwitasari 2012 dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa sebagian besar bidan (67%) memiliki pengetahuan yang baik tentang program Jampersal namun (54%) memiliki sikap negatif terhadap program Jampersal. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata meskipun pengetahuan mereka baik namun sebenarnya mereka belum bisa menerima program ini (Purwitasari, 2012).
Bidan swasta yang praktik di wilayah Kota Malang, Jawa Timur, masih banyak yang enggan melayani persalinan yang menggunakan jaminan persalinan atau jampersal, karena nilai subsidinya jauh dari biaya normal yakni hanya Rp. 600.000,-. Di Manokwari didapati IBI sebagai organisasi bidan ternyata belum pernah mendengar tentang program Jampersal, hal ini menandakan bahwa sosialisasi program ini memang benar-benar belum berjalan dengan baik (Dinas Kesehatan Malang dan Manokwari, 2012).
Banyaknya terdengar kabar bahwa uang jasa tidak dibayar secara rutin dan jumlahnya sedikit juga menjadi alasan mengapa para bidan menolak mengikuti program ini. Hal tersebut menjadi wajar, sebab biasanya para bidan yang membuka praktek dan melayani persalinan, menerima bayaran secara cash (tunai) dari pasien, namun kini dapat menunggu sampai berbulan-bulan pelayanan mereka baru mendapatkan pembayaran, dikhawatirkan keterlambatan tersebut akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat (Kemenkes, 2012).
Banyaknya permasalahan yang muncul di daerah oleh karena rendahnya jumlah klaim, maka pada tahun 2011 Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan baru tentang petunjuk tekhnis jaminan persalinan untuk tahun 2012 berisi tentang penambahan jumlah pembayaran untuk persalinan yang awalnya Rp. 350.000,- menjadi Rp. 500.000,-, kemudian tarif ANC dan PNC yang awalnya hanya Rp. 10.000,- menjadi Rp. 20.000,- per sekali kunjungan dimana frekwensi kunjungan yang di tanggung adalah sebanyak 4 kali (Dinkes Sumut, 2012).
karena program ini belum tersosialisasi secara merata Dinas Kesehatan harus mengembalikan dana sebesar 3 Milyar pada pemerintah dari 9 Milyar yang diterima. Sesuai dengan target yang dinginkan, Pencapaian K1 mencapai 97,84 dan K4 91,50% dari 22.452 orang ibu hamil, serta pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 96.61% namun tetap disayangkan ternyata AKI meningkat pada tahun tersebut yakni mencapai 112, 49/100.000 KH padahal pada tahun 2010 hanya mencapai 83,02/100.000 KH (Dinkes Langkat, 2012).
Pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat menerima dana sebesar 13 Milyar untuk program jampersal. Dana ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya hanya sosialisasi ke seluruh puskesmas saja yang terpenuhi, sementara untuk BPS/Klinik Bersalin tidak mengalami penambahan sampai akhir Desember 2012 kemarin.
Tidak diketahui secara pasti mengapa BPS/Klinik Bersalin enggan mengikuti program ini, namun dari pihak pengelola program mengatakan bahwa alasan mereka tidak mengikuti program ini terjadi karena rendahnya dan lamanya pencairan klaim, banyaknya persyaratan dan proses yang harus dibuat atau dilakukan serta kemampuan yang terbatas dari pihak pimpinan BPS/Klinik Bersalin. Hal ini bisa diterima oleh pihak pengelola karena memang sebenarnya hal tersebut adalah merupakan kendala dari program Jampersal (Dinkes Langkat, 2012).
AKI juga mengalami peningkatan yang cukup besar yakni sekitar 35 orang. (Dinkes Langkat, 2012).
Selain BPS/Klinik Bersalin, Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah salah satu fasilitator program jampersal. Jumlah bidan PTT mencapai 540 orang, yang tersebar di 277 desa baik terpencil maupun biasa di seluruh Kabupaten Langkat. Desa-desa ini berada di bawah naungan 30 puskesmas (9 puskesmas Ponek dan 21 puskesmas Poned) di 23 kecamatan. Mereka merupakan ujung tombak dan diwajibkan oleh dinas kesehatan untuk melaksanakan jampersal di masyarakat. Mereka telah digaji oleh pemerintah pusat dan ditugaskan untuk menetap di desa karena telah dianggap memiliki keterampilan dan mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan di masyarakat. Namun dalam pelaksanaan program jampersal tidak ada perbedaan prosedur dan pendanaan bagi para bidan PTT meskipun telah menerima gaji setiap bulannya. Meraka tetap berhak mendapatkan klaim sesuai dengan pendanaan yang telah ditentukan dalam petunjuk tekhnis jampersal. Jika terdapat perbedaan hanya pada perjanjian kesepakatan saja, bila BPS/Klinik bersalin langsung membuat surat kesepakatan atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas kesehatan namun bila bidan PTT, PKS telah dilakukan melalui puskesmas dan segala bentuk kerja bidan adalah tanggung jawab puskesmas.
bahwa mereka sendiri juga tidak begitu tahu mengenai Jampersal, yang mereka lakukan hanya meminta KTP ibu hamil dan kemudian menyerahkannya kepada petugas puskesmas biasanya bidan koordinator. Padahal bila dikaji secara benar seharusnya bidan menyerahkan klaim beserta bukti (KTP, kunjungan ANC, INC, PNC, partograf dan surat keterangan lahir). Mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu menahu tentang hal tersebut yang penting bila sudah memberi KTP maka klaim akan dicairkan nantinya. Hal ini bisa saja terjadi oleh karena sosialisasi yang kurang baik oleh pihak terkait dan tidak diberikannya buku panduan atau petunjuk tekhnis mengenai jampersal untuk para bidan di lapangan.
persalinan harus ke puskesmas yang sesuai dengan KTP setempat, padahal sebenarnya tempat tinggal mereka lebih dekat kepada puskesmas lain yang bersebelahan dengan tempat tinggal, hal ini tentunya tidak sesuai dengan hak ibu hamil yang boleh memilih kemana tepat bersalin dan siapa penolong persalinannya. Hal ini juga yang terkadang membuat bidan bingung dengan apa yang harus mereka lakukan, menerima atau menolak pasien, padahal seharusnya mereka harus menerima pasien dari mana pun asalnya. Tidak diketahui secara pasti mengapa hal ini bisa terjadi namun disinyalir karena kepala puskesmas takut jumlah klaim sedikit dan menguntungkan puskesmas lain.
Meskipun jumlah klaim yang ditetapkan hanya untuk biaya jasa pertolongan persalinan saja, tetapi tetap saja bidan merasa enggan karena harus menggunakan Informed Consent berupa persetujuan dari pihak ibu dan keluarga untuk meminta dana tambahan, yang tentunya lebih merepotkan dan terkesan mengelabui pasien serta sering menjadi bahan sasaran hukum bagi orang-orang yang mengambil keuntungan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berada di lingkungan masyarakat, sementara secara dominan diketahui bahwa bidan adalah tenaga yang kurang mengerti dan malas berhubungan dengan hukum.
menggandakan jumlah pasien dengan meminta KTP ibu yang sebenarnya tidak hamil atau bersalin.
Berdasarkan masalah diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui secara lebih dalam bagaimana sebenarnya respons bidan PTT dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.
1.2.Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana respons bidan dalam pemberian pelayanan pada pelaksanaan program jampersal di Kabupaten Langkat tahun 2013.
1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respons bidan dari bentuk perilaku tertutup dan perilaku terbuka dalam pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten Langkat
1.4.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian sebagai berikut :
2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan sebagai alat monitoring dan evaluasi kegiatan program jampersal.
3. Manfaat bagi Bidan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi bidan untuk mengikuti program Jampersal.
4. Manfaat bagi Peneliti
Peneliti dapat menerapkan ilmu / teori pada waktu kuliah yang digunakan untuk penelitian ini dan menambah wawasan serta pengetahuan bagi peneliti tentang bagaimana sebenarnya persepsi bidan terhadap program Jampersal.
5. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Respon
2.1.1. Definisi Respon
Perilaku menurut Skinner (1938) adalah merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (Respon). Respon terbagi atas dua jenis yakni : 1. Respondent respons (respondent behavior) yaitu respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan / eliciting stimuli tertentu. Eliciting stimuli menimbulkan respons yang bersifat relative tetap, misalnya cahaya yang kuat akan menyebabkan mata tertutup. Pada umumnya perangsangan – perangsangan yang demikian akan mendahului respon yang ditimbulkan. Respondent respon mencakup emosi respons (emotional behavior). Emotional behavior timbul karena hal yang kurang mengenakkan organism yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih atau sakit, muka merah karena marah. Sebaliknya hal – hal yang mengenakkan dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya tertawa.
memperoleh hadiah maka ia akan menjadi lebih giat dan lebih baik melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain responsnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yakni :
1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)
Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain (unobservable behavior), misalnya seorang ibu tahu pentingnya memeriksakan kehamilan kemudian dia bertanya pada tetangganya dimana tempat untuk memeriksakan kehamilan (pengetahuan dan sikap).
2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang lain.
2.1.2. Domain Perilaku
merupakan hasil bersama antara faktor eksternal dan internal. Benyamin Bloom (1908) membedakan prilaku atas 3 (tiga) domain yakni kognitif (cipta), afektif (rasa) dan psikomotor (karsa).
Berdasarkan pembagian domain ini, kemudian dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku yaitu :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda – beda. Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, mengingat kembali termasuk recall terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (Comprehension)
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.
d. Analisis (Analysis)
Analisis diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu bentuk keseluruhannya yang baru.
f. Evaluasi (Evaluating)
Evaluasi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2. Sikap (Attitude)
tertentu. Dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) akan tetapi merupakan reaksi tertutup.
Allport (1954) membagi sikap menjadi 3 komponen yakni :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung didalamnya factor emosi) orang tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
Ketiga komponen tersebut secara bersama – sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Berdasarkan intensitasnya sikap dibagi atas 4 (empat) tingkatan yaitu :
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
b. Menanggapi (Responding)
c. Menghargai (Valuing) diartikan sebagai pemberian nilai yang positif terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi dan menganjurkan orang lain merespons.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab atas apa yang diyakini subjek. Seseorang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinan dan berani megambil resiko atas pilihan sikapnya tersebut.
3. Tindakan
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan misalnya fasilitas dan dukungan. Menurut kualitasnya tindakan dapat dibagi atas 3 tingkatan yakni :
a. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tingkat pertama
b. Praktik Terpimpin (Guide Response)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan urutan yang benar tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. c. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)
d. Adopsi (Adoption)
Adalah suatu tindakan yang telah berkembang dengan baik, artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah dilakukan modifikasi agar lebih berkualitas tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.2. Persepsi
2.2.1. Definisi Persepsi
Persepsi adalah proses dimana sensasi yang datang dan diterima manusia melalui panca indera (system sensorik) dipilah dan dipilih, kemudian di atur dan akhirnya diinterpetasikan atau proses dimana seseorang menyeleksi dan mengorganisasikan dan menginterpretasi stimulus yang diterima panca indera ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh (Simamora, 2004).
Menurut Gibson tahun 2003, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu.Sarwono (2000) mengatakan bahwa persepsi melibatkan alat indra dan proses kognisi yaitu menerima stimulus, mengorganisasi stimulus serta menafsirkan stimulus dengan proses tersebut akan mempengaruhi perilaku dan sikap individu.
Menurut Leavitt (1997) individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan/mengganggu.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan penilaian individu yang muncul akibat adanya yang dirasakan oleh indera sebagai bentuk pengalaman yang dialami oleh individu sendiri sehingga ia dapat memutuskan sesuatu atas apa yang dirasakannya tersebut.
2.2.2. Aspek Persepsi
Aspek persepsi menurut McDowwell & Newel (1996), yaitu: 1. Kognisi
Aspek kognisi merupakan aspek yang melibatkan cara berpikir, mengenali, memaknai suatu stimulus yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Hurlock (1999) menambahkan bahwa aspek kognitif didasarkan atas konsep suatu informasi, aspek kognitif ini juga didasarkan pada pengalaman pribadi dan apa yang dipelajari.
2. Afeksi
2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi
Robbin (2003) menyatakan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan persepsi. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi
Merupakan faktor yang terdapat dalam individu yang mempersepsikan. Misalnya kebutuhan, suasana hati, pendidikan, pengalaman masa lalu, sosial ekonomi dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu.
2. Karakteristik target yang dipersepsi
Target tidak dilihat sebagai suatu yang terpisah, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal-hal yang dipersepsi dapat memengaruhi persepsi seseorang.
3. Konteks situasi terjadinya persepsi
Waktu dipersepsinya suatu kejadian dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.
Sementara Thoha (2007) menyebutkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh : 1. Psikologis
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis.
2. Keluarga
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam memengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini.
David Krech dan Ricard Crutcfield menambahkan faktor-faktor yang menentukan persepsi menjadi dua yaitu :
1. Faktor Fungsional
Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, jenis kelamin dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor fungsional yang menentukan persepsi adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.
2. Faktor Struktural
Faktor struktural adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik terhadap efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Faktor-faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor yang terpisah tetapi memandangnya dalam hubungan keseluruhan.
Rahmat (2005) menambahkan tiga faktor personal yang memengaruhi persepsi adalah:
2. Motivasi, motivasi individu terhadap suatu informasi akan memengeruhi persepsinya. Seseorang yang memiliki motivasi dan harapan yang tinggi terhadap sesuatu, cenderung akan memiliki persepsi yang positif terhadap objek tersebut. 3. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk
mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar kepribadian seseorang yang extrovert dan berhati halus cenderung akan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap sesuatu.
2.2.4. Proses Terbentuknya Persepsi
Proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari pengalaman penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pemikiran, pemahaman, pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya (Robbins, 2003). Myers (1992) mengemukakan bahwa persepsi terjadi dalam tiga tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan lainnya, yaitu :
1. Pemilihan
Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan yang lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari enam prinsip :
1. Intensitas atau kuatnya suatu stimulus, suara keras di dalam ruangan yang sepi atau cahaya yang sangat tajam biasanya mengarahkan perhatian.
2. Ukuran, sesuatu yang besar akan lebih menarik perhatian.
4. Pengulangan, stimulus yang diulang lebih menarik perhatian daripada yang sesekali saja.
5. Gerakan, perhatian individu akan lebih tertarik kepada objek yang bergerak untuk dilihat daripada objek yang sama tapi diam.
6. Dikenal dan sesuatu yang baru. Objek baru yang berada di lingkungan yang lebih dikenal akan lebih menarik perhatian.
Faktor-faktor eksternal yang memengaruhi persepsi :
a. Faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di luar dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung, tetapi tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama, maka tidak setiap individu mampu mempersepsikan dengan baik.
b. Faktor psikologis, meliputi motivasi dan pengalaman belajar masa lalu. Motivasi dan pengalaman belajar masa lalu setiap individu berbeda. Sehingga individu cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan kebutuhan, motivasi dan minatnya.
2. Pengorganisasian
3. Interpretasi
Dalam interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek atau stimulus. Selain itu, interpretasi juga terjadi apa yang disebut dengan proses mengalami lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat sama seperti yang dilihat individu melalui konsensus validitas dan perbandingan.
2.3. Bidan
2.3.1. Pengertian Bidan
Menurut International Confederation Of Midwives (ICM) tahun 2005 bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan (Depkes RI, 2006)
seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan (Depkes RI, 2006)
kedudukannya sebagai ujung tombak dalam upaya meningkatkan sumber daya menusia melalui kemampuannya untuk melakukan pengawasan, pertolongan, dan pengawasan neonatus dan pada persalinan ibu postpartum . Defenisi serupa juga dikemukan oleh Moeloek bahwa bidan merupakan profesi dan tenaga lini terdepan dalam pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat diperlukan dalam wahana kesejahteraan ibu dan anak di komunitas maupun dalam wahana politik.
2.3.2. Bidan di Komunitas
Kebidanan adalah seni dan praktek yang mengkombinasikan keilmiahan, filosofi dan pendekatan pada manusia sebagai syarat atau ketetapan dalam pemeliharaan kesehatan wanita dan proses reproduksinya yang normal, termasuk kelahiran bayi yang mengikutsertakan keluarga dan atau orang yang berarti lainnya (Lang,1979).
Kebidanan komunitas adalah konsep dasar bidan dalam melayani keluarga dan masyarakat. Kebidanan komunitas adalah upaya memberikan asuhan kebidanan pada masyarakat baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang terfokus pada pelayan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), kesehatan reproduksi termasuk usia wanita adiyuswa secara paripurna. Pelayanan kebidanan komunitas adalah upaya yang dilakukan bidan untuk pemecahan terhadap masalah kesehatan ibu dan anak balita didalam keluarga dan masyarakat.
mengacu pada pelayanan di masyarakat dikarenakan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat.
Maternal Infant Care (MIC) adalah program yang dirintis oleh beberapa negara dimulai pada tahun 1960-an, merupakan asuhan komprehensif yang efektif yang mengacu pada asuhan pada masyarakat berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak dari mulai kehamilan sampai dengan perawatan bayi di rumah.
Pada tahun 1807 (pemerintahan Hindia Belanda), pertolongan persalinan dilakukan oleh dukun. Tahun 1951 didirikan sekolah bidan bagi wanita pribumi di Batavia, kemudian Kursus Tambahan Bidan (KTB) di masyarakat Yogyakarta (1953) dan berkembang di daerah lain. Seiring dengan pelatihan ini dibukalah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), bidan sebagai penanggung jawab memberikan pelayanan antenatal care, postnatal care, pemeriksaan bayi dan gizi, intranatal di rumah, kunjungan rumah pasca salin. Tahun 1952 diadakan pelatihan secara formal untuk kualitas persalinan. Tahun1967 KTB ditutup, BKIA terintegrasi dengan Puskesmas.
Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung (meliputi pelayanan KIA-KB) dan di luar gedung (meliputi pelayanan kesehatan keluarga dan posyandu yang mencakup pemeriksaan kehamilan, KB, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan). Pada tahun 1990 pelayanan ini telah diberikan secara merata pada semua masyarakat.
menekankan pada Reproduksi Health memperluas garapan bidan antara lain Safe Motherhood, KB, PMS, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi orang tua.
2.3.3. Sasaran Bidan di Komunitas
Sasaran pelayanan kebidanan komunitas meliputi bayi baru lahir, prasekolah dan balita, remaja, dewasa, masa reproduksi (hamil, bersalin, nifas, KB), interval, klimakterium yang berada didalam keluarga dan masyarakat. Sasaran pelayanan kebidanan komunitas adalah individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat, sakit maupun yang mempunyai masalah kesehatan secara umum.
2.3.4. Tujuan Bidan di Komunitas
Tujuan pelayanan kebidanan komunitas adalah meningkatnya kesehatan ibu dan anak balita didalam keluarga sehingga terwujud keluarga sehat dan sejahtera didalam komuniti.
Agar dapat diterima oleh masyarakat setidaknya seorang bidan harus mempunyai profil sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan intelektual yang luas berkaitan dengan kebidanan, kesehatan masyarakat dan pengetahuan sosial.
2. Terampil dalam teknik kebidanan.
3. Menguasai teknik pemecahan masalah kesehatan dan prioritas pemecahan masalah kesehatan.
5. Luwes dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. 6. Memiliki kemampuan komunikasi yang bagus (komunikatif). 7. Memiliki kemampuan berorganisasi.
8. Memiliki kemampuan bekerjasama dengan orang lain. 9. Mempunyai penampilan yang menarik.
10.Mau dan banyak belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman.
11.Berkeinginan untuk selalu meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. 12.Berpikir kritis dan logis.
13.Mau membagikan ilmu kepada orang lain.
Ada beberapa strategi umum dalam melaksanakan asuhan kebidanan komunitas:
a) Pendekatan pada masyarakat. b) Pemasaran sosial.
c) Menginformasikan pelayanan kebidanan tingkat dasar dan rujukan.
d) Mengikutsertakan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan serta pelaksanaan program kesehatan masyarakat.
2.3.5. Hak dan Kewajiban Bidan
yaitu ketentuan kententuan apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat.
Ukuran pelayanan kebidanan yang bermutu adalah : 1. Ketersediaan pelayanan kebidanan (available) 2. Kewajaran pelayanan kebidanan (appropriate) 3. Kesinambungan pelayanan kebidanan (continue) 4. Penerima jasa pelayanan kebidanan (acceptable) 5. Ketercapaian pelayanan kebidanan (accesible) 6. Keterjangkauan pelayanan kebidanan (affordable) 7. Efesiensi pelayanan kebidanan (effecent)
8. Mutu pelayanan kebidanan (quality)
Mutu pelayanan kebidanan berorientasi pada penerapan kode etik dan standar pelayanan kebidanan serta kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kebidanan. Dari dua dimensi mutu pelayanan kebidanan tersebut, tujuan akhirnya adalah kepuasan pasien yang dilayani oleh bidan.
Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien. 1. Hak Bidan
1. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan.
3. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundang - undangan dan kode etik profesi. 4. Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan
oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
5. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
6. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
7. Bidan berhak mendapatkan kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai. 2. Kewajiban Bidan
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
c. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
d. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai - nilai yang berlaku di masyarakat.
e. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
f. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan – tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
b. Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
c. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipadukan sehubungan kepentingan klien.
3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
a. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya
a. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinyadengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
b. Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkankemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
a. Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
b. Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan - ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
7. Penutup
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari - hari senantiasa menghayati dan mengamalkan kode etik bidan indonesia.
2.3.6. Pelayanan Kebidanan
Layanan kebidanan dapat dibedakan menjadi :
1. Layanan kebidanan primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.
2. Layanan kebidanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.
3. Layanan kebidanan rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan kesistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya
Kemajuan sosial ekonomi merupakan parameter yang amat penting dalam pelayanan kebidanan. Parameter tersebut antara lain :
1. Perbaikan status gizi ibu dan bayi
2. Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan
3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dan kematian neonatal 4. Cakupan penanganan resiko tinggi
5. Meningkatnya cakupan pemeriksaan antenatal
2.4.Kebijakan Kesehatan
2.4.1. Definisi Kebijakan Kesehatan
lingkungan, pendidikan atau perdagangan.Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan pemerintah pusat atau daerah, perusahaan multinasional atau daerah, sekolah atau rumah sakit. Orang-orang ini kadang disebut pula sebagai elit kebijakan, satu kelompok khusus dari para pembuat kebijakan yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan sering memiliki hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi yang sama atau berbeda.
Kebijakan adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak. Kegagalan untuk membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan (Thomas Dye, 2001)
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan dimaksudkan untuk merangkum segala arah tindakan yang memengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik atau pemerintah dan sektor swasta.
2.4.2. Segitiga Kebijakan Kesehatan
Segitiga Kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks antara Content, Contex, Process dan Actors.
a. Content
• sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik yang dibuat oleh lembaga dan pejabat pemerintah.
Standar content :
• Pernyataan tujuan, mengapa kebijakan tsb dibuat dan apa dampak yang diharapkan
• Ruang lingkup; menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan
• Durasi waktu yang efektif, mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan
b. Context
• Lingkungan atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian
• Serangkaian keadaan yang berkaiatan dengan proses dan isi, yang mengacu pada faktor-faktor sistemik;
• Faktor situasional : bersifat sementara atau tidak permanen namun memiliki dampak terhadap kebijakan,
• Faktor global yang menyebabkan ketergantungan dan transfer kebjakan antar negara, contoh : pertemuan internasioanal bidang kesehatan
c. Process
• Mengacu pada cara-cara memprakarsai, mengembangkan atau memformulasikan, menegosiasikan, mengkomunikasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan
d. Actors
• Para stakeholders : sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima komunitas wartawan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat.
• Para stakehaolders memberi respon yang berbeda terhadap suatu kebijakan • Merupakan kunci dalam kerangka analisis kebijakan.
• Pembuatan kebijakan tidak murni proses yang rasional namun merupakan proses yang berulang-ulang dan dipengaruhi oleh kepentingan dari para aktor kebijakan.
2.4.3. Implementasi Kebijakan Kesehatan
a. Faktor penentu keberhasilan implementasi • Logika kebijakan itu sendiri
• Kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber • Manajemen yang baik
• Lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan b. Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variable yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. c. Prasarat keberhasilan implementasi :
1. Tiadanya hambatan eksternal
3. Good policy
4. Hubungan ketergantungan yang minimum 5. Pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan 6. Tugas ditetapkan dengan urutan yang tepat 7. Komunikasi dan koordinasi lancar
8. Ada dukungan otoritas d. Kegagalan implementasi
1. Bad policy : perumusannya asal-asalan, kondisi internal belum siap, kondisi eksternal tak memungkinkan dan sebagainya
2. Bad implementation : pelaksana tak memahami juklak, terjadi implementation gap dan sebagainya
3. Bad Luck
2.5.Jaminan Persalinan (Jampersal) 2.5.1. Definisi Jampersal
Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan yang digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pascapersalinan dan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah.
tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 631/MENKES/PER/III/2011. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 2562/MENKES/PER/XII/2012 tentang Petunjuk Tekhnis Jampersal bahwa dalam menurunkan angka kematian ibu dan mempercepat pencapaian MDG’s telah ditetapkan bahwa setiap ibu yang melahirkan baiaya persalinannya ditanggung oleh pemerintah melalui jampersal.
2.5.2. Tujuan Jampersal
Secara umum tujuan Jampersal adalah Menjamin akses pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Secara khusus tujuan Jampersal dapat di jabarkan sebagai berikut :
1. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan.
2. Meningkatnya cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan. 3. Meningkatnya cakupan pelayanan KB pasca persalinan.
4. Meningkatnya cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir.
5. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
2.5.3. Sasaran 1. Ibu hamil 2. Ibu bersalin
Sasaran yang dimaksud adalah ibu – ibu yang berhak mendapat pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan, persalinan dan nifas baik normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah kematian ibu dan bayi dalam proses persalinan.
2.5.4. Manfaat Jampersal 1. Bagi Masyarakat
1. Biaya pelayanan dijamin Pemerintah
2. Ibu hamil akan mendapatkan pelayanan antenatal 4 kali sesuai standar oleh tenaga kesehatan
3. Ibu bersalin akan mendapat pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
4. Ibu nifas akan mendapat pelayanan nifas 3 kali sesuai standar oleh tenaga kesehatan, termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan
5. Ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang mempunyai masalah kesehatan akan ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan yang lebih mampu (Puskesmas, Puskesmas mampu PONED, RS)
2. Bagi Tenaga Kesehatan
a. Mendukung program Pemerintah dalam rangka menurunkan AKI, AKB, dan meningkatkan cakupan KB
c. Peluang bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan jumlah klien yang ditangani
d. Adanya kepastian mekanisme rujukan sehingga kasus dapat ditangani dan dirujuk lebih dini
e. Peluang bagi bidan di desa untuk meningkatkan kemitraan dengan dukun beranak
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Melaksanakan program Pemerintah dalam rangka meningkatkan cakupan, menurunkan AKI dan AKB
b. Peluang untuk meningkatkan kemitraan dengan fasilitas kesehatan swasta c. Peluang untuk memperkuat 67ystem pencatatan dan pelaporan program
KIA dan KB
d. Peluang untuk memperbaiki 67ystem rujukan kegawatdaruratan 67ystem67ic dan neonatal.
2.5.5. Kebijakan Operasional Jampersal
a. Pengelolaan Jaminan Persalinan dilakukan pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas
c. Peserta Program Jaminan Persalinan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan untuk pelayanan persalinan
d. Peserta Jaminan Persalinan dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota
e. Pelaksanaan pelayanan Jaminan Persalinan mengacu pada standar pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
f. Pembayaran atas pelayanan jaminan persalinan dilakukan dengan cara klaim oleh fasilitas kesehatan. Untuk persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan jaringannya) dan fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota.
g. Pada daerah lintas batas, fasilitas kesehatan yang melayani ibu hamil/persalinan dari luar wilayahnya, tetap melakukan klaim kepada Tim Pengelola/Dinas Kesehatan setempat dan bukan pada daerah asal ibu hamil tersebut.
h. Fasilitas kesehatan seperti Bidan Praktik, Klinik Bersalin, Dokter praktik yang berkeinginan ikut serta dalam program ini melakukan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Tim Pengelola setempat, dimana yang bersangkutan dikeluarkan izin praktiknya.
j. Pelayanan Jaminan Persalinan diberikan secara terstruktur berjenjangberdasarkan sistem rujukan
k. Tim Pengelola Pusat dapat melakukan realokasi dana antar kabupaten/kota, disesuaikan dengan penyerapan dan kebutuhan daerah serta disesuaikan dengan ketersediaan dana yang ada secara nasional.
3. Ruang Lingkup Pelayanan Jampersal 1. Pelayanan Tingkat Pertama
a. Diberikan oleh tenaga kesehatan berkompeten dan berwenang
b. Diberikan di Puskesmas dan Puskesmas mampu PONED serta jaringannya termasuk Polindes/Poskesdes, dan fasilitas kesehatan swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS)
c. Jenis pelayanan:
1. Pemeriksaan kehamilan 4 kali 2. Persalinan normal
3. Pelayanan nifas normal 3 kali, termasuk KB pasca persalinan 4. Pelayanan bayi baru lahir normal
Tambahan untuk Puskesmas mampu PONED: 5. Pemeriksaan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi 6. Pelayanan pasca keguguran
7. Persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar 8. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi dasar
<