ABSTRAK
HUBUNGAN KUALITAS AIR TERHADAP TERJADINYA HARMFUL ALGAL BLOOMS (HABs) DI LINGKUNGAN KARAMBA JARING
APUNG (KJA) PANTAI RINGGUNG
OLEH
AGUS SOLIHIN
Kualitas air merupakan faktor penentu keberhasilan proses budidaya perikanan, khususnya budidaya di karamba jaring apung (KJA). Sebaliknya, kondisi kualitas air yang tidak stabil akan memberikan dampak buruk bagi ekosistem perairan. Salah satu dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah terjadinya ledakan fitoplankton berbahaya (HABs) dengan karakteristik berbahaya karna sifat
“toxsic” dan “anoxius” yang ada pada fitoplankton itu sendiri Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis keterkaitan antara kualitas air terhadap kemunculan fitoplankton berbahaya (HABs) dengan menggunakan Canonical Corelation Analysis (CCA) dan analisis regresi. Kualitas air penelitian meliputi kecerahan, kedalaman, DO, salinitas, pH, NO2, NO3, NH3, PO4 serta fitoplankton berbahaya (HABs) yang diperoleh saat penelitian. Hasil penelitian diperoleh 30 jenis fitoplankton, dengan 14 jenis diantaranya fitoplankton (HABs) spesifik beracun (toxsic). Kelimpahan fitoplankton secara keseluruhan didominasi oleh Choclodinium, Trichodesmium Erythraeum, Nitzschia Lanceolata dan Pseudo Nitzschia, dimana Choclodinium merupakan fitoplankton dengan kelimpahan tertinggi dengan kepadatan 63.739 sel/l. Kualitas air yang meliputi kecerahan, DO, pH, NO2, NO3, dan PO4 menunjukkan hubungan erat terhadap kelimpahan fitoplankton berbahaya (HABs). Kelimpahan masing-masing fitoplankton dominan secara spesifik mempunyai kecenderungan terhadap unsur hara tertentu, meliputi NO2, NO3, NH3 dan PO4. Kelimpahan Cochlodinium dominanditentukan oleh NH3 dan PO4; T. Erythraeum ditentukan oleh NO2 dan NO3; serta Nitzschia lanceolata dan Pseudo N ditentukan oleh NO3.
ABSTRACT
THE RELATION OF WATER QUALITY TOWARD THE EMERGENCE OF HARMFUL ALGAL BLOOMS (HABs) IN FISH FLOATING NET (KJA)
AT RINGGUNG MARINE hazardous characteristics due to the nature of "toxsic" and "anoxius" which is in phytoplankton itself. The main objective of this study was to analyze the relationship between the abundance of water quality toward harmful phytoplankton (HABs) using Canonical Correlation Analysis (CCA) and regression analysis. The quality of Water was being researche, included brightness, depth, DO, salinity, pH, NO2, NO3, NH3, PO4 and certain phytoplanktons (HABs) were obtained during the study. The results of the study showed that there were 30 types of phytoplankton found by with 14 types grouped in the specific type of toxic phytoplankton (toxsic). The abundance of overall phytoplanktons dominated by Choclodinium, Trichodesmium Erythraeum, Nitzschia lanceolata and Pseudo N, where Choclodinium an abundance of phytoplankton with the highest density of 63.739 cells/l. The quality of Water included brightness, DO, pH, NO2, NO3 and PO4 showed a close relationship to the harmful phytoplankton abundance (HABs). The abundance of each dominant phytoplankton specifically have a tendency towards certain nutrients ,including NO2, NO3, NH3 and PO4. Cochlodinium dominant abundance determined by NH3 and PO4; T. Erythraeum determined by NO2 and NO3; Nitzschia lanceolata and Pseudo N is determined by NO3.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum
menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya
perikanan tidak sekedar air (H2O), karena air mengandung banyak ion-ion unsur
yang kemudian menentukan apakah lingkungan tersebut cocok untuk kegiatan
budidaya. Suatu perairan dikatakan baik apabila mengandung banyak nutrien atau
unsur hara yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam air terutama
fitoplankton. Sebagai produsen primer, fitoplankton dapat melakukan proses
fotosintesis untuk mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik dengan
bantuan sinar matahari. Hasil fotosintesis dari produsen akan digunakan bagi
fitoplankton itu sendiri dan oleh organisme lain.
Keberadaan fitoplankton di suatu perairan selain memberikan dampak
positif, disatu sisi juga memberikan dampak negatif bagi ekosistem perairan.
Peningkatan populasi fitoplankton secara berlebihan yang diikuti dengan
keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menyebabkan ledakan populasi alga
berbahaya yang dikenal dengan Harmful Algal Blooms (HABs) (Agustina, 2005).
Menurut Muawwanah dkk (2008), (HABs) adalah suatu fenomena blooming
Fenomena HABs dan peningkatan kadar nutrien “eutrofikasi” di perairan,
adalah dua hal yang saling berhubungan. Tingginya nutrien di perairan menjadi
salah satu faktor pemicu terjadinya ledakan fitoplankton berbahaya (HABs) yang
dapat mengakibatkan ketidak seimbangan ekosistem perairan. Pemberian pakan
dan masukan limbah organik pada kegiatan budidaya, merupakan penyumbang
terbesar peningkatan nutrien di perairan. Salah satunya adalah kegiatan budidaya
di karamba jaring apung (KJA). Menurut Rokhim (2009), hal yang sangat penting
untuk dipahami dalam sistem budidaya adalah harus terdapatnya keseimbangan
antara organisme dan unsur hara (kimia) perairan.
Pantai Ringgung merupakan sentral budidaya perikanan karamba jaring
apung (KJA) di Provinsi Lampung. Budidaya perikanan di KJA ini, terfokus pada
kegiatan pembesaran. Pemberian pakan secara rutin merupakan kegiatan utama
untuk mendukung pembesaran ikan budidaya, baik berupa ikan runcah, atau pun
pakan berupa pelet. Namun, tidak semua pakan yang diberikan dimakan oleh ikan
budidaya. Akibatnya, tidak sedikit sisa pakan yang tidak termakan dan juga feses
ikan mengalami menumpukan di dasar perairan sekitaran KJA Pantai Ringgung.
Perkembangan unit karamba jaring apung (KJA) di Pantai Ringgung yang
kurang terkendali banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
perairan. Dampak negatif ini timbul akibat kurang diperhatikannya prinsip-prinsip
teknologi dalam budidaya ikan dengan sistem karamba jaring apung (Nastiti dkk,
2001). Menurut Garno (2000), kegiatan budidaya ikan dalam KJA merupakan
penyumbang limbah domestik terbesar, yaitu sekitar 80%. Pemberian pakan
fitoplankton dan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut pada malam hari
Ghufran dan Andi (2007).
Ledakan fitoplankton berbahaya (HABs), tidak terlepas dari faktor fisika air
(suhu dan kecerahan) yang juga berperan dalam meningkatkan kelimpahan
fitoplankton HABs di perairan. Menurut Maso dan Garces (2006), faktor utama
penyebab terjadinya HABs di perairan laut diantaranya adalah faktor suhu,
kecerahan, salinitas, dan nitrat. Hal ini didukung oleh pernyataan Sutomo (2005)
bahwa salinitas, pH, zat hara, suhu, kecerahan dan sumber karbon berpengaruh
pada pertumbuhan fitoplankton.
1.2. Perumusan Masalah
Meningkatnya pengembangan Karamba Jaring Apung (KJA) di Pantai
Ringgung memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian
masyarakat di sekitar Pantai Ringgung. Namun hal ini juga menimbulkan dampak
negatif. Pembangunan KJA di Pantai Ringgung, cenderung mengabaikan
menejemen budidaya, akibatnya dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan
itu sendiri. Kegiatan budidaya di KJA saat ini, kurang dalam memperhatikan
bagaimana pentingnya menejemen dalam pembudidayaan, sehingga perlu ada
pengkajian khusus untuk mengetahui hubungan kualitas air terhadap potensi
ledakan populasi alga berbahaya (Harmful Algal Blooms).
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi lingkungan
budidaya (kualitas air) KJA Pantai Ringgung yang berpotensi memicu terjadinya
HABs. Identifikasi dilakukan dari beberapa objek pengamatan, diantaranya: Suhu,
DO, kecerahan, pH, salinitas, fosfat, nitrat, nitrit dan amonia serta jenis
air ini sangat penting karena parameter fisika dan kimia air mempengaruhi
keberadaan organisme yang hidup di perairan tersebut, yang dalam hal ini adalah
perairan di sekitar KJA Pantai Ringgung.
Gambar 1. Kerangka pikir rumusan masalah
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kualitas air di sekitaran lokasi karamba jaring apung (KJA)
Pantai Ringgung.
2. Mengetahui kelimpahan fitoplankton yang potensial berbahaya (HABs) di
Pantai Ringgung.
3. Menganalisis hubungan kualitas air yang mengakibatkan terjadinya Harmful
Algal Blooms (HABs) di Pantai Ringgung.
I.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
parameter kualitas lingkungan (perairan) yang baik untuk dijadikan lokasi
budidaya ikan pada karamba jaring apung (KJA). Sehingga upaya perbaikan hasil
I.5. Hipotesis
H0 (r=0): Tidak ada pengaruh kualitas air terhadap kelimpahan fitoplankton
berbahaya (HABs) di Pantai Ringgung.
H1 (r≠0): Terdapat pengaruh kualitas air terhadap kelimpahan fitoplankton
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kualitas Air
Fitoplankton dalam pertumbuhan dan kehidupannya sangat dipengaruhi
oleh lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton di perairan akan bervariasi
tergantung dari kondisi kualitas perairan yang ada. Kualitas air yang
mempengaruhi kehidupan fitoplankton ini dapat di kelompokkan menjadi
faktor fisik dan kimia (Efendi, 2003). Faktor fisik yang diukur terdiri dari suhu,
kedalaman dan kecerahan. Sedangkan faktor kimia yang diukur meliputi
derajat keasaman (pH), salinitas, DO (Dissolved Oxygen/oksigen terlarut) serta
nutrien (fosfat, amonia, nitrit dan nitrat).
Informasi tentang parameter fisika–kimia air perlu dikemukakan untuk
digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat produktifitas perairan.
Pengukuran kondisi kualitas air ini dilakukan pada waktu yang sama dengan
pengambilan sampel fitoplankton. Secara singkat kriteria kualitas air untuk
lokasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) dapat dilihat
Tabel 1. Kisaran nilai optimal dari parameter kualitas air sebagai tempat budidaya perikanan karamba jaring apung (KJA)
NO Parameter Sangat
Cahaya adalah sumber energi dasar bagi pertumbuhan organisme
autotrop terutama fitoplankton yang pada gilirannya mensuplai makanan bagi
seluruh kehidupan di perairan. Salah satu ukuran kualitas suatu ekosistem
adalah terselenggaranya proses produksi atau produktivitas primer yang
mempersyaratkan adanya cahaya untuk keberlangsungannya (Sunarto dkk,
2003). Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme
makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka
makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada
kedalaman air tertentu, (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Bentuk-bentuk
biru (Romimohtarto, 2003) dan kecerahan perairan yang di perbolehkan dalam
budidaya perikanan berkisar antara 5-10 meter (Wibisono, 2005).
Produktivitas primer fitoplankton pada lapisan air di permukaan relatif
rendah dibandingkan dengan kedalaman 4m. Demikian juga pada kedalaman
7m, 11m, dan 14m. Produktivitas primer rata-rata tertinggi diperoleh dari
kedalaman 4m. Hal ini menunjukkan bahwa fitoplankton memiliki tingkat
„kesukaan’ terhadap cahaya yang sedang (Sunarto dkk, 2003).
2.1.2. Suhu Perairan
Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota laut,
peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga
mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta
meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2) (Junaidi, 2012). Suhu sangat
berpengaruh terhadap kadar oksigen. Oksigen berbanding terbalik dengan suhu.
Artinya, bila suhu tinggi maka oksigen akan berkurang (Ghufron dan Andi,
2007). Temperatur di atas atau di bawah ambang batas dapat menyebabkan
stres pada organisme budidaya. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan laju
metabolisme meningkat dengan demikian membutuhkan kandungan oksigen
yang lebih tinggi. Beberapa kelarutan gas dalam air termasuk oksigen
berkurang apabila suhu meningkat. Kisaran suhu yang baik untuk usaha
budidaya adalah 28–32 °C. (Frits et al, 2013; Pangkey, 2008 ). Menurut Adnan
2.1.3. DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di
laut dan indikator kesuburan perairan (Simanjuntak, 2012). Oksigen merupakan
faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi
kebutuhan biota perairan, maka segala aktivitas biota akan terhambat (Ghufron
dan Andi, 2007). Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan
efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan
pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar
yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Sumber utama
oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan dari proses
fotosintetis fitoplankton (Simanjuntak, 2012).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk
hidup di dalam air maupun hewan teresterial. Penyebab utama berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang
banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hadick dan
Supriyatna, 1998). Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan
kadar minimum terjadi pada pagi hari. Kondisi oksigen terlarut di permukaan
perairan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di lapisan tengah perairan
(Simanjuntak, 2012). Menurut Akbar (2001), kandungan oksigen terlarut untuk
menunjang usaha budidaya adalah 5–8 mg/l. Oksigen di bawah 5 mg/L dapat
menurunkan daya atau kemauan makan dan pertumbuhan ikan yang dipelihara.
Kelarutan oksigen di bawah 3 mg/L dapat menyebabkan ikan mengalami stres,
sedangkan pada kandungan oksigen di bawah 2 mg/L menyebabkan kematian
2.1.4. Salinitas
Salinitas merupakan faktor penting bagi penyebaran organisme perairan
laut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Lokasi perairan
lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas
hingga membentuk lapisan homogen mencapai kira-kira setebal 50-70 meter
atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Selain suhu, salinitas juga
berpengaruh terhadap kelarutan oksigen. Semakin tinggi salinitas maka
semakin rendah kelarutan oksigen (Ghufron dan Andi, 2007). Keputusan
MENLH No.51 Tahun 2004, menyebutkan bahwa baku mutu salinitas yang
layak untuk kehidupan biota laut adalah 25-30 ppt. Khusus untuk budidaya
perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan sesuai dengan jenis ikan yang akan
dibudidaya. Hal ini disebabkan ikan tertentu membutuh salinitas tertentu
(Junaidi, 2012)
2.1.5. pH
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di
dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion
H. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam
larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol
per liter) pada suhu tertentu (Richard dkk, 2013). Besaran pH berkisar antara 0–
14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam sedangkan nilai
lebih besar dari 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH dengan nilai 7
disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Nilai pH pada
pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di
kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S.
pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan
terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan
demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air
mengandung garam CaCO3 (Cholik dkk, 2005).
2.1.6. Fosfat
Fosfat (PO4) merupakan salah satu unsur hara yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme. Keberadaan siklus P
(fosfor) di alam sangat singkat dan mudah mengendap dalam sedimen dan
dalam bentuk organik yang berada pada mikro organisme (Indah, 2010).
Keberadaan fosfat secara belebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen
(nitrat, nitrit dan amonia) dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di
perairan (alga bloom). Alga yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada
permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan
cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan.
Pada saat perairan cukup mengandung fosfat, alga mengakumulasi fosfor di
dalam sel melebihi kebutuhannya (Hendrawati dkk, 2007).
Secara vertikal, kadar fosfat di lapisan dekat dasar perairan cenderung
lebih tinggi bila dibandingkan dengan di lapisan permukaan. Hal ini lumrah
terjadi karena biasanya dasar perairan selalu kaya akan zat hara, selain berasal
dari dasar perairan itu sendiri, juga dari sumbangan dekomposisi detritus dan
Adapun tingginya zat hara fosfat di permukaan memungkinkan karena
mudahnya lapisan dasar teraduk oleh energi pasang surut dan gelombang di
areal tersebut (Arif, 2007). Keputusan MENLH No.51 Tahun 2004, disebutkan
bahwa baku mutu konsentrasi maksimum fosfat yang layak untuk kehidupan
biota laut adalah 0,015 mg/L. Kadar fosfat cenderung meningkat dengan
bertambahnya kedalaman laut (Edward dan Tarigan, 2003)
2.1.7. Nitrat
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. (Hendrawati dkk, 2007).
Konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih rendah dibandingkan di
lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di lapisan permukaan lebih banyak
dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton (Fonny dan Prayitno, 2011).
Berdasarkan baku mutu air laut, kadar nitrat yang sesuai untuk biota laut
berdasarkan Keputusan MENLH no. 51 tahun 2004 kadar nitrat sebesar 0,008
mg/l. Sedangkan Menurut Boney (1982) kandungan nitrat pada perairan yang
normal berkisar antara 0,1-0,36 mg/l.
2.1.8. Amonia
Amonia (NH3) dalam perairan berasal dari hasil ekskresi hewan akuatik
dan juga merupakan hasil akhir dari perombakan protein oleh bakteri
heterotrofik. Menurut Wetzel (1983), meskipun amonia merupakan hasil
ekskresi utama dari hewan akuatik, tetapi jumlah ini kecil jika dibandingakan
dengan amonia yang berasal dari hasil akhir prombakan protein yang berasal
dari sisa pakan. Sisa pakan yang tidak terkonsumsi mengandung senyawa
semakin meningkat (Boyd, 1991). Meningkatnya senyawa Amonia ini, akan
meningkatkan pertumbuhan dan kepadatan fitoplankton. Kepadatan
fitoplankton yang tinggi menimbulkan peristiwa ledakan populasi
("blooming"), yang diikuti oleh kematian masal fitoplankton itu sendiri
(Hendrawati dkk, 2007). Hal ini dapat mengakibatkan kondisi perairan semakin
buruk sehingga dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit pada ikan
budidaya.
2.1.9. Nitrit
Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat serta antara
nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan
denitrifikasi (Effendi, 2003). Oleh karena itu konsentrasi nitrit tergantung pada
jumlah amonia. Semakin tinggi jumlah amonia, maka konsentrasi nitrit dalam
perairan semakin meningkat. Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah
yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil dari pada nitrat
karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.
2.2. HABs (Harmfull Algal Blooms)
HABs adalah istilah yang digunakan pada pertumbuhan mikroalga
(plankton) yang melimpah, di laut atau di perairan payau yang dapat
menyebabkan kematian masal ikan. HABs kini menjadi istilah yang digunakan
di dunia internasional yang merupakan singkatan dari Harmful Algal Blooms.
Menurut Praseno dan Sugestiningsih (2000), HABs merupakan istilah untuk
Fenomena ledakan fitoplankton pada umumnya ditandai dengan
berubahnya warna air laut yang biasa dikenal dengan sebutan Red tide atau
pasang merah. Namun dalam perkembangannya ternyata tidak selamanya
ledakan plankton berwarna merah, tetapi perairan dapat berubah menjadi
warna dari biru-hijau, merah kecoklatan, hijau, atau kuning-hijau, tergantung
pada pada pigmen yang dikandungnya (Nontji, 2006). Ledakan fitoplankton
(HABs) mengakibatkan kualitas air menjadi rendah yang diikuti rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol. Hal ini dapat berakibat
pada beberapa hal, antara lain: (1) Kematian masal ikan-ikan di laut; (2)
Terjadinya kontaminasi sea food; (3) Problem kesehatan masyarakat
(keracunan) dan (4) perubahan struktur komunitas ekosistem. Fenomena
peningkatan populasi fitoplankton semata-mata adalah fenomena alami, dan
tidak selalu menimbulkan efek yang berbahaya. Namun, bila yang terjadi
adalah peningkatan populasi fitoplankton berbahaya, maka perlu diantisipasi
kemungkinan terjadinya salah satu kombinasi dari keempat hal tersebut
(Makmur, 2009).
Menurut Wiadnyana (1996), terdapat tiga kelompok mikroalga
berbahaya yang merupakan fitoplankton mikroskopik terdiri dari:
1. Tipe yang membahayakan biota laut, akibat terjadinya penurunan oksigen
terlarut atau disebut ”anoxious”.
2. Tipe yang membahayakan biota laut, karena dapat menghasilkan racun
(spesifik beracun) ”toxsic” pada umumnya berasal dari kelompok
3. Tipe yang membahayakan biota laut, karena merusak dan menyumbat sistem
pernafasan (rusaknya ingsang).
Tabel 2. Jenis dan sifat toksin fitoplankton potensial penyebab HABs
Jenis Sifat dan jenis toksin Sumber
DIATOM/
BACILLARIOPHYCEAE
Cerataulina bergonii
Anoxius, deplesi O2,mucus
production Brusle' (1995)
Nitzschia lanceolata ASP Romimohtarto & Juwana (2001)
Pseudo-nitzchia Domoic acid (ASP)
Ceratium furca Anoxius, deplesi O2 Brusle' (1995); Sidharta (2005)
Ceratium tripos Anoxius, deplesi O2 Brusle' (1995); Sidharta (2005)
Dinophysis homunculus Ocadoic acid (DSP)
Brusle' (1995); Sidharta (2005); Panggabean (2006)
Gonyaulax apiculata Saxitoxin Brusle' (1995), Wiadnyana (1997)
Gymnodinium
Brevetoxin (NSP);
Saxitoxin (PSP) Sidharta (2005); Panggabean (2006)
Noctiluca scintilans Anoxius, deplesi O2
Brusle' (1995); Romimohtarto & Juwana (2001),Wiadnyana (1997)
Prorocentrum lima DSP, ciguatoxin (CFP) Sidharta (2005))
Choclodinium
kerusakan atau gangguan
jaringan epitel insang Kim et al. (2002)
Pirodinium bahamense Saxitoxin (PSP) Sidharta (2005), Wiadnyana (1997)
Protoperidinium Anoxius, deplesi O2 Sidharta (2005), Wiadnyana (1997)
Ket : Amnesic Shelfish Poisoning (ASP); Paraliytic Shelfish Poisoning (PSP); Diarrhetic Shelfish Poisoning (DSP)
Keberadaan fitoplankton HABs umumya sangat beracun dan mematikan.
Sehingga terjadinya ledakan fitoplankton yang “abnormal” patut diwaspadai.
Menurut Panggabean (1994) fitoplankton yang mengalami ledakan populasi,
jenis penyakit yang ditimbulkan berbeda-beda, diantaranya: Paralytic Shellfish
Poisoning (PSP), Ciguatera Fish Poisoning (CFP), Diarrheic Shellfish
Poisonig (DSP), amnesic shellfish poisoning (ASP) dan Neurotoxin Shellfish
Poisoning (NSP). Informasi tentang dampak dari racun fitoplankton (HABs)
Tabel 3. Daftar penyakit yang ditimbulkan oleh HABs (Nontji, 2006)
Jenis penyakit Gangguan yang
ditimbulkan
Diare Okadacid acid Dinophysis sp.
CFP (Ciguatera Fish
Serangan pada saraf Brevetoxin Karenia brevis
ASP (Amnesic Shellfish
Fitoplankton umumnya memiliki kelimpahan tinggi di perairan sekitaran
muara sungai. Hal ini disebabkan oleh proses penyuburan akibat masuknya
nutrien dari daratan yang dialirkan oleh sungai ke laut. Fitoplankton juga
umumnya lebih padat di perairan dekat dengan pantai dan makin berkurang ke
arah laut lepas. Selain itu umunya penyebarannya tidak merata dan hidup
berkelompok (Nontji, 2007).
Kelas Dinophyceae (Dinoflagellata) mendominasi komunitas
fitoplankton di perairan sub tropis dan tropis. Terdapat 1.000-5.000 spesies
dinoflagellata yang menempati lingkungan laut dan air tawar, tetapi sebagian
besar (lebih dari 90%) hidup dilaut. Genera yang mewakili kelas ini umumnya
meliputi Ceratium, Gonyaulax, Gymnodinium dan Gyrodinium. Ketika terjadi
blooming, dengan kapadatan mencapai 5 x 105 sampai 2 x 106 sel/liter, racun
yang tertumpuk akan mematikan ikan, kerang-kerangan dan organisme lain.
adalah faktor suhu, salinitas dan nitrat (Maso dan Garces, 2006). Hal ini
didukung oleh pernyataan Sutomo (2005) bahwa salinitas, pH, zat hara, suhu,
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2013 di Perairan
Pantai Ringgung Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi
Lampung. Lokasi penelitian dikelompokkan dalam 3 stasiun yaitu stasiun 1 di
perairan yang terdapat banyak KJA, stasiun 2 tidak terdapat KJA dan stasiun 3
lokasi yang terdapat sedikit KJA. Kemudian untuk sampel air dan fitoplankton
diidentifikasi di Laboratorium Kualitas Air Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut (BBPBL) Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran
Provinsi Lampung.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk kegiatan sampling fitoplankton
dan pengamatan kualitas air pada penelitian ini disajikan pada (Tabel 4)
Tabel.4. Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan penelitian
No Alat/Metode Parameter Objek pengamatan Keterangan
1 Termometer 13 Mikroskop Fitoplankton Laboratorium 14 Sedwick rafter Fitoplankton Laboratorium
3.3. Prosedur Penelitian
Penelitian di lapangan terdapat dua kegiatan utama yaitu, pengambilan
sampel air dan pengambilan sampel fitoplankton. Pengambilan sampel air
menggunakan tabung/botol air, yang sudah dirancang khusus oleh Divisi
Kualitas Air BBPBL. Pada botol air diikat dengan tali sepanjang 20-30 meter
(panjang menyesuaikan dengan kedalaman perairan). Bagian bawah botol air
terdapat pemberat yang dikaitkan agar botol dapat ditenggelamkan. Botol air
ini merupakan alat sederhana yang digunakan oleh Divisi Kualitas Air BBPBL
untuk pengambilan sampel air di Pantai Ringgung. Sampel air kemudian
dianalisis di Laboratorium Kualitas Air BBPBL, dengan prosedur yang sudah
distandarkan (Lampiran 8). Parameter kualitas air yang dianalisis meliputi pH,
NO3, NO2, NH3 dan PO4. Metode analisis sampel air menggunakan metode
Kegiatan kedua yang dilakukan adalah pengambilan sampel fitoplankton.
Pengambilan sampel fitoplankton menggunakan plankton net no 20 dengan
metode vertikal, yaitu penarikan plankton net dari dasar perairan menuju ke
permukaan. Metode ini dimaksudkan agar penarikan sampel plankton dapat
mewakili fitoplankton pada berbagai kedalaman. Selanjutnya, plankton net
dibilas dan diusap agar plankton yang ada dapat masuk kedalam botol
penampung pada bagian ujung plankton net. Botol di ujung plankton net
dilepaskan untuk dipindahkan ke dalam botol film yang telah disediakan
dengan kondisi botol film yang sudah diberi label (nomor, kode lokasi dan
waktu sampling). Masing-masing sampel fitoplankton pada botol film
kemudian diawetkan dengan memasukkan 3-5 tetes formalin 4% dan
ditambahkan 5 tetes CuSO4 (Wardhana, 1997). Sampel yang sudah tersedia
pada botol film kemudian diidentifikasi di Laboratorium Kualitas Air BBPBL.
Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan metode per satuan volum
menggunakan Sedgwick Rafter Counting Cell (SRCC).
Fitoplankton berbahaya pada penelitian ini diperoleh dengan memilah
jenis-jenis fitoplankton menurut Wiadnyana (1996); fitoplankton spesifik
beracun “toxic” dan fitoplankton “anoxius”. Kemudian identifikasi disesuaikan
dengan sumber pustaka Brusle (1995) dan beberapa sumber informasi lain
seperti: Romimohtarto dan Juwana (2001), Kotaki (2003), Sidharta (2005) dan
3.4. Pengolahan Data
Data hasil pengamatan yang didapatkan, akan dideskripsikan berupa data
kelimpahan fitoplankton dan data kualitas air, kemudian di analisis untuk
mengetahui hubungan dan pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat
yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
3.4.1. Kelimpahan Plankton
Penentuan kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan rumus
Simpson (Dianthani, 2003), sebagai berikut:
Perolehan data tentang kualitas air dan kelimpahan fitoplankton,
dilakukan analisis kuantitatif menggunakan Canonical Corelation
Analysis (CCA) untuk mengetahui korelasi kualitas air dengan
kelimpahan fitoplankton berbahaya. Sedangkan analisis regresi
digunakan untuk mengetahui kuat atau lemahnya pengaruh kualitas
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Kualitas air yang meliputi kecerahan, DO, pH, NO3, dan PO4 secara
bersama-sama memberikan pengaruh kuat terhadap kelimpahan
fitoplankton berbahaya (HABs).
2. Fitoplankton (HABs) dominan yang ditemukan selama penelitian adalah
Cochlodinium, T. erythraeum, Nitzschia lanceolata dan Pseudo
nitzschia, dengan kelimpahan tertinggi didominasi oleh Cochlodinium
dan T. Erythraeum. Masing-masing fitoplankton dominan mempunyai
kecenderungan terhadap unsur hara tertentu yang meliputi NO2, NO3,
NH3 dan PO4. Kelimpahan Cochlodinium dominan ditentukan oleh NH3
danPO4; T. Erythraeum ditentukan oleh NO2 dan NO3; serta Nitzschia
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat disampaikan yaitu:
1. Pada penelitian selanjutnya akan semakin baik jika mendalami kadar
masing-masing variabel lingkungan (kualitas air) yang sangat sesuai
produktivitas lingkungan perairan KJA, baik variabel fisika ataupun
kimia. Sehingga aktivitas budidaya di lokasi KJA Pantai Ringgung dapat
diketahui batasan-batasan yang diperbolehkan dalam memberikan
perlakuan di lingkungan budidaya perikanan KJA.
2. Perlu adanya pendalaman faktor arah angin (arus) setiap pekannya di
Perairan Ringgung. Sehingga dapat diketahui distribusi fitoplankton
yang dibawa oleh arus. Hal ini dimaksudkan agar para pembudidaya
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN... i
PRAKATA... ii
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL …….……….... v
DAFTAR GAMBAR …….………....... vi
DAFTAR LAMPIRAN... vii
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ………. 1
I.2. Perumusan Masalah... 3
I.3.Tujuan Penelitian ……….. 4
I.4. Manfaat Penelitian... 4
I.5. Hipotesis ………... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kualitas Air ………...………... 6
2.1.1. Intensitas Cahaya... 7
2.1.3. Suhu Perairan ………... 8
2.1.1. DO (Oksigen Terlarut)... 9
2.1.4. Salinitas... 10
2.1.5. pH... 10
2.1.6. Fosfat... 11
2.1.7. Nitrat... 12
2.1.8. Amonia... 12
2.1.9. Nitrit... 13
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat... 18
3.2. Alat dan Bahan... 18
3.3. Prosedur Penelitian... 19
3.4. Pengolahan Data... 21
3.4.1. Kelimpahan Plankton... 21
3.4.2 Analisis CCA dan Regresi... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 22
4.1.2. Kelimpahan Fitoplankton... 24
4.2. Pembahasan... 27
4.2.1.Analisis Canonical... 28
4.2.1.Analisis Regresional... 35
4.2.2.Hubungan Unsur Hara Terhadap Kelimpahan Fitoplankton Dominan... 35
4.2.3.Hubungan Unsur Hara Terhadap Choclodinium... 36
4.2.4.Hubungan Unsur Hara Terhadap Trichodesmium erythraeum... 38
4.2.5.Hubungan Unsur Hara Terhadap Nitzschia lanceolata dan Pseudo-nitzchia... 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 44
B. Saran... 45
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, F. 2005. Studi Fitoplankton Yang Berpotensi Menyebabkan Red Tide Di Pantai Timur Surabaya. Tugas Akhir program Studi Biologi, ITS Surabaya.
Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek dan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Prosiding Lokakarya Nasional. RISTEK-DKP-BPPT. Jakarta.
Alianto., Enan M., Adiwilaga., dan Ario, D. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton Dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara Dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten. Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, XV(1): 21-26.
Arif, D.S. 2007. Kandungan Zat Hara Fosfat Pada Musim Barat Dan Musim Timur Di Teluk Hurun Lampung. Jurnal Teknologi Lingkungan. VIII (3): 207-210.
Boney, A.D. 1982. New Studies in Biology Phytoplankton. Edward Arnold Pub. Ltd. London. 118 pp.
Boyd, C.E. (1991), Water quality and Aeration in Shrimp Farming. Auburn University, Alabama. Brimingham Publishing Co,Birmingham, Alabama.
Brusle’ J. 1995. The Impact of Harmful Algal Blooms on Finfish. Mortality, Pathology and Toxicology. Prepignan cedex. France. 65pp.
Cholik, F., Jagadraya, A.G., Poernomo, R.P., dan Jauji, A. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa DepanBangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara dan Taman Akuarium Air Tawar. Jakarta. 415 hal.
Dianthani, D. 2003. Identifikasi Jenis Plankton di Perairan Muara Badak, Kalimantan Timur. Bogor: Makalah Falsafah Sains (PPs 702).
Edward., dan M.S. Tarigan. 2003. Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kadar Fosfat Dan Nitrat Di Laut Banda. Jurnal Oseanografi, VII(2): 82-89.
Ferianita, F.M., Herman H., L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Seminar Nasional MIPA 2005. FMIPA-Universitas Indonesia, 24–26 November 2005. Jakarta.
Frits, T., Ockstan, K., Robert, R. 2013. Studi Parameter Fisika Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan, Kabupaten Minahasa. Jurnal Budidaya Perairan, I (2): 8-19.
Garno, Y.S. 2000. Daya Tahan Beberapa Organisme Air Pada Pencemar Limbah Deterjen. Jurnal Teknologi Lingkungan: 212 – 218.
Ghufron, M.H.K., dan Andi Baso T. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.
Fonny J.L.R dan S.B.Prayitno. 2011. Kajian Zat Hara Fosfat, Nitrit, Nitrat dan Silikat di Perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan, XVI (3): 135-142.
Hadick, W., dan Supriatna J. 1988. Pengembangan Udang Galah dalam Hatchery dan Budidaya. Kanisius. Yogyakarta.
Hardjojo, B,. dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Edisi Kesatu, Modul 1-6. Universitas Terbuka. Jakarta.
Hasani, Q., E.Mulyana., Adi W., N.T.M. Pratiwi. 2012. Hubungan antara Fenomena Harmfull Algal Blooms (HABs) Dengan Unsur Hara di Perairan Sekitar Lokasi Budidaya Perikanan Kabupaten Pesawaran Teluk Lampung.Makara Journal of Science, XVI (3): 183-191.
Hendrawati., Tri H. P., Nuni N. R. 2007. Analisis Kadar Phosfat dan N-Nitrogen (Amonia, Nitrat, Nitrit) pada Tambak Air Payau akibat Rembesan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Jurnal Kelautan dan Perikanan, (8): 135-143.
Hutagalung, H.P. dan Rozak, A. 1997. Metode Analisis Air Laut,Sedimen dan Biota. Jakarta. (Buku 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. 182 hal.
Indah, L.S. 2010. Kelimpahan Bakteri Fosfat Di Padang Lamun Teluk Banten. Jurnal Oseanologi dan Limnologi, XXXVI (1): 21-35.
Izzati, M. 2011. Perubahan Kandungan Ammonia, Nitrit dan Nitrat Dalam Air Tambak Pada Model Budidaya Udang Windu Dengan Rumput Laut Sargassum plagyophyllum dan Ekstraknya. Bioma, XIII(2): 80-84.
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Kim, D.O.T., Muramatsu, T., Matsuyama, Y., Honjo, T. 2002. Possible factors responsible for toxicityof Cochlodinium polykrikoides, a red tide
phytoplankton. Comp Biochem Physiol C Toxicol Pharmacol. Aug:132(4): 415-23.
Kotaki, Y.2003. Production of domoic acid by diverse spesies of pennate diatoms. Fisheries science suppl. I (68): 525-528.kungan perairan laut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah VI: 240-245. Kerjasama Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN dan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK. Jakarta.
Lagus, A.,Suomela, J.,Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H., and Sipura, J. 2004. Species-Specific Differences in Phytoplankton Responses to N and P Enrichment and the N:P Ration in The Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Research, XXVI(7): 779-798.
Makmur, M. 2009. Pengaruh Upwelling Terhadap Ledakan Alga (Blooming Algae) Di Lingkungan Perairan Laut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah: 240-245.
Maso, M., and Garces, E. 2006. Harmful Microalgae Blooms (HAB); Problematic And Conditions That Induce Them. Marine Pollution Bulletin: (53) 620–630.
Muawanah., A. Pitoyo., N. Sari., dan T. Haryono. 2008. Tingkat Sanitasi Kerang Anadara sp. di Teluk Hurun Lampung.
http://www/rcaprpb.com/userfiles/files/bltavol5no2_2006/pertelukhurunpdf [26 Agustus’14].
Muchtar, M. 2012. Distribusi Zat Hara Fosfat, Nitrat Dan Silikat Di Perairan
Kepulauan Natuna. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, IV (2): 304-317.
Nastiti, A.S.,Krismono., dan Katamihardja E.S. 2001. Dampak Budidaya Ikan Dalam Jaring Apung Terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Jakarta VII(2): 22–30
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (pusat penelitian oseanografi). Jakarta.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara (Edisi revisi). Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nurfadillah. 2012. Komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perikanan, I(2): 93-98.
Nybakken, J.W.1992. Suatu Pendekatan Ekologis. Tejemahan dari marine biology: An Ecological Approach. Alih Bahasa : M.Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen dan M.Hutomo. Gramedia, Jakarta. 459 hal.
Pangkey, H. 2008. Aquaculture Development on The Islands of Tidore City. Jurnal Perikanan dan Kelautan, IV (2): 27-34.
Panggabean, L.M.G. 2006. Toksin Alam Dari Mikroalgae. Jurnal Oceana. XXXI (3): 1-2
Praseno, D.P., dan Sugestiningsih. 2000. Retaid di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi-LIPI. Jakarta. 82 hal.
Richard, M., Sipriana S. T., Yoppy, M. 2013. Analisis kualitas fisika kimia air di areal budidaya ikan Danau Tondano Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Budidaya Perairan, I (2): 29-37.
Rokhim, K. 2009. Analisa Kelimpahan Fitoplankton dan Ketersediaan Nutrien (Nitrat dan Fosfat) Di Perairan KecamatanKwanyar Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kelautan, II(2): 7-16.
Romimohtarto, K., dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut (ilmu pengetahuan tentang biota laut). Penerbit Djambatan. Jakarta.
Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut. www.fao.org/docrep/field/003 (26 Agustus 2014).
Saiwei, C. and L. Hongying. 2004. Distribution of dissolved inorganik phosphat in Nansha Islands Sea Area, South China Sea. Marine Science Bulletin, VI(1): 32-37.
Sandra, K., 2012. Studi Kelimpahan Diatom dan Konsentrasi Nitrat Pada Saat Pasang dan Surut di Perairan Pantai Sekitar Kawasan Depo Pertamina Tanjung Uban Kepulauan Riau. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Sediadi, A. 2004. Dominasi Cyanobacteria Pada Musim Peralihan Di Perairan Laut Banda Dan Sekitarnya. Makara Sains, VIII (1): 1-14.
Shidarta, B.R. 2005. The current status of resaerch on harmfull algal blooms (HAB) in Indonesia. Journal of Coastal Development, VI (2): 73-85.
Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Cv Alfabeta. Bandung.
Sunarto., Sri A., Herman H. 2003. Efisiensi Pemanfaatan Energi Cahaya Matahari oleh Fitoplankton dalam Proses Fotosintesis. Jurnal Akuatika, II (2): 1-9. Suryanto, A.M. 2011. Kelimpahan Dan Komposisi Fitoplankton Di Waduk Selorejo
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Jurnal Kelautan, IV(2 ): 34-39.
Sutomo. 2005. Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp dan Chaetoceros gracilis) dan Pengaruh Kepadatan Awal Tehadap
Pertumbuhan C.gracilis. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 15 hal.
Wardhana, Wisnu. 1997. Teknik Sampling, Pengawetan dan Analisis Plankton. [Jurnal] Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second edition.Saunders College Publishing, Toronto.
Wiadnyana, N. N., dan D. P. Praseno. 1997. Dampak Munculnya Spesies Red Tide Terhadap Perikanan Di Indonesia.Terubuk. XXIII (69): 15-25.
Wiadnyana, N. N. 1996. Mikroalga Berbahaya Di Perairan Indonesia. Oseanologi dan Limnologi Di Indonesia. (29):15-28.
Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Widyorini, N., dan Ruswahyuni. 2008. Sebaran Unsur Hara Terhadap Struktur Komunitas Plankton Di Pantai Bandengan Dan Pulau Panjang, Jepara. Jurnal Saintek Perikanan, III (2): 23-26.
Wihartoyo. 1994. Budidaya Makro Alga di BBL Lampung. Makalah Budidaya (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB.Bogor. 65 hal.
MOTO
“Setiap manusia tidak terlepas dari
permasalahan..
Seorang berjiwa besar tidak sibuk dengan
permasalahannya sendiri, namun Ia
dituntut untuk ikut menyelesaikan
permasalahan orang lain.
”
Hanya ada 2 cara Pandang dalam hidup setiap manusia.
Cara pandang POSITIF & cara pandang NEGATIF.
Cara pandang POSITIF pada akhirnya akan berujung
KEBAHAGIAAN dan KETENANGAN.
Sedangkan
Cara pandang NEGATIF akan berujung KESENGSARAAN
dan KESEMPITAN HATI.
Jangan berputus asa dengan Rahmat Allah, karna
Menghaturkan rasa syukur kepada Allah SWT beserta
Solawat dan salam kepada Rasullah Muhammad SAW,
ku persembahkan karya sederhanaku ini untuk
AGAMA dan BANGSA serta
Kedua orang tua ku (Djohansyah dan Rumiah), Neneku
tercinta, paman2, Bibi2, Abang dan adik-adikku tercinta
serta kerabat dan sahabat yang memberikan semangat
,,Sehingga menjadi alasan bagiku sampai saat ini untuk terus
semangat dan terus melangkah dalam perjuangan, Semoga
Allah memberikan kemuliaan terhadap semuanya..
...Ku sampaikan cinta yang mendalam karna Allah....
Dan kupersembahkan untuk Almamater tercinta
Semoga karya ini menjadi ilmu yang memberikan banyak
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 30 Agustus 1989.
Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara
pasangan Bapak Djohansyah dan Ibu Rumiah. Pendidikan
Taman kanak-kanak di TK Aisiyah Kecamatan Kota
Agung Barat, Kabupaten Tanggamus; Sekolah Dasar di
SD Negeri 2 Negara Batin Kecamatan Kota Agung Barat, Kabupaten Tanggamus,
pendidikan SD selesai tahun 2002. Kemudian Pendidikan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005 dan
dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2008 di
SMA Negeri 7 Bandar Lampung. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai
mahasiswa di Fakultas Pertanian (FP) Jurusan Budidaya Perairan, melalui tes
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) perguruan Tinggi Negeri
Universitas Lampung.
Penulis melaksanakan praktik umum (PU) pada bulan Januari-Februari 2012 yang
berjudul “pembenihan ikan nila nirwana (Oreochromis niloticus)” di Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPT-BPAT)
(Korkab) KKN mahasiswa Unila di Pesawaran.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa
Budidaya Perairan (HIDRILA) FP, periode 2009-2010 dan 2010-2011. Penulis
juga aktif sebagai pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Studi Islam (FOSI)
FP periode 2009-2010 dan 2010-2011. Periode 2011-2012 penulis aktif sebagai
pengurus di Bina Rohani Islam Mahasiswa (BIROHMAH) Unila. Penulis juga
aktif di organisasi kedaerahan Ikatan Mahassiwa dan Pemuda Tanggamus
(IMAMTA) sebagai ketua umum periode 2012-2013. Selain aktif berorganisasi,
penulis juga aktif membantu dosen dalam kegiatan belajar mengajar saat menjadi
SANWACANA
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT semata yang maha pengasih lagi maha
penyayang, berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulispun dibantu oleh banyak pihak mulai dari motivasi bimbingan hingga doa
yang tulus ikhlas diberikan. Namun keterbatasan penulis untuk membalasnya,
hanya doa dan ucapan terimakasih yang murni kepada :
1. Bapak Qadar Hasani, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing I yang membimbing dan mengarahkan.
2. Bapak Herman Yulianto, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing II yang mengarahkan dan memberi masukan.
3. Bapak Eko Efendi, S.T.,M.Si. selaku pembahas/penguji untuk masukan dan saran yang membangun kepada penulis untuk lebih baik.
4. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan. 5. Bapak Ir. Suparmono, M.T.A. selaku pembimbing akademik (PA).
6. Seluruh dosen dan staff administrasi (Mas Bambang, Buk Ismi dan Mba
Nanda) Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
7. Ibu Mu’awwanah atas waktu dan ilmu yang diberikan.
8. Mas Wahyu dan mas Tri yang telah meluangkan tenaga, waktu sebagai
(Alm), Fredi, Hendra, Lagen (Dedo), Nasyir, Nani, Rudi, Resto, Suhendra,
Yusuf (Ucup), Nindri, Nur’ani, Novita, Manja, Lisa, Selpi, Septi, Nadisa,
Ria, Ica, Okta, Qorie, Rinda, Rosdinar, Eva, Yayu, Romaria dan Susi. Serta
teman-teman seperjuangan skripsi Ade Irawan, Ajeng, dan Uus.
10. Para guru dan keluarga ku tercinta atas doa dan motivasinya.
11. Tim Bodrex atas perjuangan dan kebersamaannya.
12. Bapak Ir. Hantoni Hasan, dan Suprihatin Ali atas ilmu dan pembinaannya
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah
membalas kebaikan semuanya.
Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis