Wulandari
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
WULANDARI. Optimation of Brownies Formula Based on Banten Taro Flour (Xanthosoma undipes K. Koch) as A Source of Dietary Fiber. Under direction of BUDI SETIAWAN and WINDA HALIZA.
The aim of the study was formula optimation of brownies made of banten taro (Xanthosoma undipes K. Koch) and commercial corn starch using simplex lattice mixture design of Response Surface Methodology (RSM). This formulation used Design Expert 8.0.4 Trial. The range of the components are 70-100% banten taro flour and 0-30% commercial corn starch. Results showed that the optimum formula was obtained from 86% banten taro flour and 14% commercial corn starch. The chemical composition of this brownies have high value of dietary fiber (16.04% of ALG for each serving size). The overall sensory properties were good acceptance from the panelists, scored 6.7 out of 9.0.
Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Pangan Sumber Serat. Dibimbing oleh : BUDI SETIAWAN dan WINDA HALIZA
Berbagai penelitian epidemiologis telah membuktikan peranan fisiologis serat makanan terhadap sistem pencernaan manusia. Namun konsumsi serat masyarakat Indonesia masih tergolong kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk pelabelan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan konsumsi serat, salah satunya dengan memperkaya kandungan serat pada makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat.
Talas merupakan bahan pangan lokal yang cukup populer di Indonesia. Namun, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pengolahan talas menyebabkan pemanfaatan talas masih kurang. Talas banten merupakan jenis talas yang memiliki kandungan serat tertinggi (Nurapriani 2010). Tepung talas berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk makanan, salah satunya brownies panggang. Brownies panggang merupakan makanan yang populer dan bayak digemari masyarakat pada berbagai golongan usia. Selain itu, brownies merupakan produk bakery yang bertekstur agak bantat, tidak memerlukan tepung bergluten tinggi, sehingga berpeluang untuk dimodifikasi.
Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh formula brownies berbasis tepung talas asal Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) yang optimal dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Tujuan khususnya adalah: (1) mempelajari proses pembuatan tepung talas banten, (2) mempelajari sifat kimia tepung talas banten, (3) memformulasikan tepung talas asal banten untuk pembuatan brownies, (4) mengetahui profil tekstur, kandungan serat pangan, dan tingkat kesukaan panelis dari setiap formula brownies (5) menentukan formula brownies berbasis tepung talas asal banten yang optimal dengan RSM (6) mengetahui sifat fisikokimia formula brownies terpilih, dan (7) menentukan takaran saji brownies tepung talas banten terpilih.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Agustus sampai Desember 2010. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pembuatan tepung talas banten, formulasi tepung talas banten dan maizena, analisis sifat fisik dan kimia, serta organoleptik brownies berbagai formula tepung talas banten, optimasi brownies tepung talas banten, validasi, dan penentuan takaran saji brownies tepung talas banten terpilih. Kisaran setiap komponen yaitu 70-100% tepung talas banten dan 0-30% maizena. Hasil formulasi dengan simplex lattice mixture design pada Design Expert 8.0.4 Trial diperoleh delapan formula tepung talas banten-maizena, yakni secara berturut-turut 70%-30% (F1), 70%-30% (F2), 77,5%-22,5% (F3), 85%-15% (F4), 85%-15% (F5), 92,5%-7,5% (F6), 100%-0% (F7), dan 100%-0% (F8). Seluruh formula tersebut digunakan dalam pembuatan brownies. Selanjutnya seluruh brownies tersebut dianalisis profil tekstur, total serat pangan, dan sifat organoleptiknya. Seluruh hasil analisis tersebut digunakan untuk proses optimasi. Formula komposisi tepung talas dan maizena terpilih divalidasi dan dihitung takaran sajinya.
Analysis). Parameter yang digunakan dalam uji ini antara lain kekerasan (hardness), elastisitas (springiness), kelekatan (adhesiveness), kekompakan (cohesiveness), kerapuhan (fractubility), dan kekenyalan (chewiness). Uji ragam menunjukkan adanya perbedaan nilai hardness cycle 1 dan 2, springiness, fractubility, dan chewiness yang nyata (p<0,05) antar formula.
Kisaran kandungan total serat pangan brownies formulasi adalah antara 9,64-12,29%. Seluruh brownies yang dibuat dengan tepung talas banten memiliki kandungan serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan brownies kontrol. Brownies yang memiliki kandungan serat tertinggi adalah brownies F7 yakni, brownies dengan 100% tepung talas. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan total serat pangan yang nyata (p<0,05) antar formula.
Hasil uji organoleptik menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan brownies yang nyata (p<0,05) antar formula. Hasil uji mutu hedonik brownies tepung talas banten menunjukkan bahwa brownies yang paling disukai memiliki karakteristik warna agak coklat gelap, rasa agak manis, aroma agak harum, dan tekstur agak lembut.
Seluruh parameter yang memiliki nilai yang berbeda nyata antar formula digunakan sebagai batasan dalam proses optimasi. Batas hasil analisis tekstur ditetapkan berdasarkan profil tekstur brownies kontrol. Batas total serat dan uji hedonik adalah maximize. Hal ini ditujukan agar produk hasil optimasi memiliki kadar serat setinggi mungkin dan paling disukai oleh panelis. Nilai desirability tertinggi menjadi dasar pemilihan formula terpilih, yaitu formula dengan komposisi tepung talas banten 86% dan tepung maizena 14%. Hasil validasi menunjukkan hasil analisis tekstur, total serat, dan uji hedonik tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yang dihasilkan program DX trial 8.0.4 pada optimasi. Hal ini menunjukkan bahwa optimasi formula brownies tepung talas banten dengan menggunakan metode RSM sesuai dengan hasil analisis sebenarnya.
WULANDARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Nama : Wulandari
NIM : I14060727
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Winda Haliza, STP. M.Si
NIP.19621218 198703 1 001 NIP.19780706 200501 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1 001
pertama dari pasangan Bapak Bambang Riadi dan Ibu Sudiarti. Pendidikan
Sekolah Dasar diselesaikan di SDN Pulogebang 04 Pagi tahun 2000, pendidikan
Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 172 Jakarta pada tahun
2003, dan pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMAN 12 Jakarta
tahun 2006.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun
2006. Setelah mengikuti masa perkuliahan tingkat persiapan bersama (TPB),
penulis masuk mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia dengan minor Perkembangan Anak. Selama masa perkuliahan, penulis
aktif di Organisasi HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) IPB pada tahun
2007-2009. Selama perkuliahan penulis juga memperoleh beasiswa yakni
beasiswa SPP++ dan beasiswa BKM. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di daerah Sukawening, Bogor dengan judul “Penerapan 3S (Sehat Perilaku, Sehat Lingkungan, dan Sehat Konsumsi) sebagai Upaya
Percepatan Perwujudan Desa Siaga” didanai oleh LPPM IPB. Penulis juga melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta
pada tahun 2010.
Penulis aktif dalam penulisan karya ilmiah. Tahun 2008 dan 2009 penulis
berhasil mendapatkan dana dari DIKTI dalam program kreativitas mahasiswa
kewirausahaan dengan judul secara berturut-turut “Cookies dan Cake Bekatul sebagai Upaya Menciptakan Peluang Usaha Baru dan Mengatasi Hiperkolesterolemia” dan “Cassava Vruitpao, Cemilan Sehat Berbasis Pangan Lokal sebagai Upaya Kampanye Konsumsi Sayur dan Buah”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulisan skripsi berjudul “Optimasi Formula Brownies Berbasis Tepung Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Pangan Sumber Serat” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan buah hasil usaha dan doa dari suatu proses yang penuh dengan tantangan. Selama proses penyusunan skripsi
ini, banyak hal yang bisa penulis dapatkan dan pelajari untuk bekal di kemudian
hari. Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak.
Penulis sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Winda Haliza, STP. M.Si selaku
pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan membimbing
penulis dalam penyelesaian skripsi
2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan-masukan berharga dalam perbaikan skripsi ini
3. Mama, papa, dan adik tercinta atas kasih sayang dan dukungan tiada
henti yang diberikan selama ini
4. Tim peneliti talas banten di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Bogor tahun 2010
5. Teman-teman peneliti talas banten (Dian Novita dan Eka Marliana), tak
berani membayangkan jika harus melalui proses ini tanpa kalian
6. Para Teknisi dan Laboran Balai Besar Pasca Panen dan Laboratorium
Gizi Masyarakat atas bantuan yang diberikan selama penelitian
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari berbagai pihak.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Januari 2011
DAFTAR ISI
Pembuatan Tepung Talas Banten... 13
Formulasi Tepung………... 15
Pembuatan Brownies ………... 15
Analisis Sifat Fisik, Kimia, dan Organoleptik Brownies... 16
Penentuan Takaran Saji ………... 16
Pengolahan dan Analisis Data... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tepung Talas Banten... ... 17
Profil Tekstur Brownies Tepung Talas Banten... ... 19
Total Serat Brownies Tepung Talas Banten... ... 24
Sifat Organoleptik Brownies Tepung Talas Banten... ... 25
Warna …... 25
Rasa……... 27
Aroma………... 28
Tekstur………... 29
Keseluruhan……... 30
Formula Tepung Talas dan Maizena Optimal dalam Pembuatan Brownies………... 31
Validasi Formula Brownies Optimal ….………... 32
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 35
Saran... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
1 Komposisi kimia talas banten (Xanthosoma undipes). ... . 5
2 Adequate Intakes (AI) serat per hari menurut jenis kelamin dan usia ... . 8
3 Formula tepung talas dan maizena ... . 15
4 Komposisi kimia tepung talas banten ... . 18
5 Profil tekstur brownies tepung talas banten………... 19
6 Kandungan total serat brownies tepung talas banten... 24
7 Solusi optimasi brownies tepung talas banten ... 32
8 Validasi nilai uji hedonik keseluruhan dan serat pangan formula terpilih... 33
9 Komposisi kimia brownies formula terpilih... 33
1 Diagram alir pembuatan tepung talas... ... 6
2 Proses pembuatan tepung talas banten... 14
3 Proses pembuatan brownies tepung talas banten ... 15
4 Talas banten dengan dengan umur panen 10 bulan ... 17
5 Tepung talas banten... ... 17
6 Model hardness cycle 1 (a) dan hardness cycle 2 (b) brownies tepung talas banten ……… 20
7 Model springiness brownies tepung talas banten... 21
8 Model adhesiveness brownies tepung talas banten... ... 21
9 Model cohesiveness brownies tepung talas banten ... 22
10 Model fractubility brownies tepung talas banten………. 23
11 Model chewiness brownies tepung talas banten... ... 23
12 Model total serat brownies tepung talas banten... 25
13 Nilai rataan kesukaan warna brownies tepung talas banten... ... 26
14 Model kesukaan warna brownies tepung talas banten... ... 26
15 Nilai rataan kesukaan rasa brownies tepung talas banten ... 27
16 Model kesukaan rasa brownies tepung talas banten ... 27
17 Nilai rataan aroma brownies tepung talas banten... ... 28
18 Model kesukaan aroma brownies tepung talas banten... ... 28
19 Nilai rataan tekstur brownies tepung talas banten ... 29
20 Model kesukaan tekstur brownies tepung talas banten ... 29
21 Nilai rataan kesukan terhadap keseluruhan brownies tepung talas banten………... 30
22 Model kesukaan terhadap keseluruhan brownies tepung talas banten... 31
1 Anaisis kimia tepung dan talas banten ... . 40
2 Perhitungan jumlah energi ... . 45
3 Formulir uji hedonik ... . 46
4 Formulir uji mutu hedonik ... . 47
5 Hasil uji ragam (ANOVA) profil tekstur brownies tepung talas banten dengan Design Expert Trial 8.0.4 ... . 48
6 Hasil uji ragam (ANOVA) total serat brownies tepung talas banten dengan Design Expert Trial 8.0.4 ... . 51
7 Hasil uji ragam (ANOVA) hedonik brownies tepung talas banten dengan Design Expert Trial 8.0.4 ... . 52
8 Hasil ANOVA mutu hedonik brownies………... ... . 54
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Serat pangan sempat diabaikan sebagai faktor penting dalam gizi
manusia. Namun belakangan ini, berbagai penelitian epidemiologis telah
membuktikan peranan fisiologis serat pangan terhadap sistem pencernaan
manusia. Kurangnya konsumsi serat pangan menjadi salah satu faktor penyebab
beberapa penyakit seperti jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, dan
hiperlipidemia (Astawan 1998; Sulastri et al. 2005).
Serat pangan diidentifikasi oleh Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Jepang sebagai salah satu zat yang dianggap dapat
meningkatkan kesehatan. Namun, berbagai penelitian menunjukkan konsumsi
serat masyarakat Indonesia masih tergolong kurang dari Angka Kecukupan Gizi
untuk pelabelan di Indonesia, yakni 25 gram per 2000 kkal (Sulastri et al. 2005; Mahyar 2010). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan konsumsi
serat, salah satunya dengan memperkaya kandungan serat pada makanan yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki potensi di sektor
pertanian yang cukup besar. Berbagai komoditas pertanian memiliki kelayakan
yang cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia, salah satunya umbi-umbian.
Umbi-umbian merupakan bahan pangan yang memiliki rasa yang unik dan
kandungan gizi yang baik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai
sumber pangan alternatif. Talas merupakan jenis umbi-umbian yang memiiki
potensi besar sebagai sumber bahan pangan.
Talas merupakan bahan pangan yang cukup populer di Indonesia.
Pengolahan umbi talas sebagai bahan pangan di Indonesia masih tergolong
sederhana. Umumnya talas hanya dimanfaatkan sebatas umbi segarnya saja
yang diolah dengan cara direbus, disayur, digoreng, dan dibuat keripik. Menurut
Ridal (2003), talas memiliki kandungan pati yang tinggi yakni 68,25%bk sehingga
berpotensi dijadikan sebagai bahan baku tepung-tepungan.
Talas terbagi ke dalam berbagai varietas. Nurapriani (2010) menjelaskan
bahwa talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan jenis talas yang tepungnya memiliki kandungan serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan jenis
talas lainnya seperti talas mentega. Selain itu, talas yang dikenal juga sebagai
cm dengan berat 42 kg dan ukuran lingkar luar 50 cm. Talas jenis tersebut
banyak tumbuh di daerah Banten dan sedang digalakkan budidayanya oleh
pemerintah setempat dalam rangka mendukung ketahanan pangan dengan
mengangkat potensi tanaman lokal.
Tepung talas berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk
makanan, salah satunya brownies panggang. Brownies panggang merupakan
makanan yang populer dan banyak digemari masyarakat pada berbagai
golongan usia, termasuk anak usia sekolah. Brownies merupakan produk
rerotian (bakery) yang termasuk ke dalam kategori cake. Produk bakery meliputi roti, cookies, dan cake merupakan produk yang banyak dikonsumsi (Bakke dan Vickers 2007). Brownies banyak disajikan dalam acara-acara pertemuan karena
proses pengolahannya yang praktis. Selain itu, brownies merupakan produk
bakery yang bertekstur agak bantat, tidak memerlukan tepung bergluten tinggi, sehingga berpeluang untuk dimodifikasi.
Muntikah (2010) menjelaskan bahwa substitusi tepung terigu dengan
tepung nonterigu pada makanan semi basah akan menghasilkan testur yang
keras dan bantat. Maizena merupakan salah satu bahan yang dapat
meningkatkan elastisitas dan melembutkan cake (Martinus 2008)
Saat ini penelitian mengenai penggunaan tepung talas banten dalam
pembuatan produk makanan masih jarang dilakukan. Dengan demikian
diperlukan upaya pengembangan tepung talas banten untuk bahan baku produk
makanan seperti brownies pada penelitian ini, sehingga dapat diketahui sifat
kimia, dan tingkat kesukaan panelis terhadap produk brownies ini.
Tujuan Penelitian Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh formula brownies
berbasis tepung talas banten (Xanthosoma undipes K. Koch) yang optimal dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM).
Tujuan khusus
1. Mempelajari proses pembuatan tepung talas banten
2. Mempelajari sifat kimia tepung talas banten
3. Memformulasikan tepung talas banten untuk pembuatan brownies
4. Mengetahui profil tekstur, kandungan serat pangan, dan tingkat kesukaan
5. Menentukan formula brownies berbasis tepung talas banten yang optimal
dengan RSM
6. Mengetahui sifat fisikokimia brownies berbasis tepung talas banten
terpilih
7. Menentukan takaran saji brownies berbasis tepung talas banten terpilih
Kegunaan
Bagi masyarakat penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan daya guna
tepung talas banten sebagai upaya diversifikasi pangan dan peningkatan
konsumsi serat. Bagi pihak industri penelitian ini memberikan informasi untuk
mengembangkan pemanfaatan tepung talas banten pada berbagai macam
produk pangan yang saat ini belum banyak beredar di masyarakat. Bagi
akademisi penelitian ini memberikan informasi karakteristik tepung talas banten
TINJAUAN PUSTAKA
Talas dan Produk Turunannya
Talas merupakan tumbuhan berumbi yang tersebar dalam tiga genus,
yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia, dari family Araceae. Di Indonesia, talas tersebar dalam berbagai varietas yang dibedakan berdasarkan
morfologinya. Perbedaan varietas berpengaruh pada besar umbi, warna umbi,
daun, dan pelepah daun. Perbedaan varietas juga dapat dilihat pada umur
panen, rasa gatal dan komposisi kimianya (Ali 1996).
Talas merupakan tanaman yang umbinya banyak mengandung air
(Rukmana 1998). Tanaman tersebut merupakan tanaman umbi-umbian yang
dapat mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu. Bentuk umbi talas
lonjong sampai agak membulat.
Kay (1973) menyatakan bahwa talas tumbuh baik di daerah tropis
maupun subtropis. Talas dapat tumbuh dengan baik pada daerah kering dan
basah sebab talas tidak memerlukan pengairan dalam pertumbuhannya. Menurut
Soesarsono (1976), umbi talas dapat dipanen setelah berumur 6-18 bulan,
tergantung pada varietasnya.
Talas telah lama dikenal dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh
masyarakat Indonesia. Hampir seluruh bagian tanaman talas dapat dikonsumsi.
Umbi, helaian daun, dan tangkai daun talas dapat dimakan bila dimasak terlebih
dahulu. Di Jawa, umbi talas biasa dikukus atau direbus untuk dihaluskan atau
diiris tipis dan digoreng. Akar dan daun mudanya diolah menjadi sayur.
Talas banten (Xanthosoma undipes) dikenal dengan nama "beneng", merupakan singkatan dari besar dan koneng yang artinya berukuran besar dan
berwarna kuning. Talas yang berasal dari Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten ini sedang diupayakan untuk dijadikan salah satu komoditi bahan pangan
pokok di Provinsi Banten selain komoditi beras dan umbi-umbian yang lain.
Penanaman dan pengelolaan talas tersebut telah dikembangkan oleh warga
kelompok tani setempat. Talas tersebut diolah menjadi berbagai bentuk seperti
keripik, kue dan bahan dasar pangan lainnya (Anonim 2010).
Talas beneng memiliki karakteristik yang berbeda dengan talas dari
daerah lainnya. Talas ini tumbuh liar di lereng gunung, memiliki batang yang
besar dan panjang serta pada bagian akarnya terdapat umbi-umbi kecil (kimpul)
yang bergerombol. Selain kimpul, bagian utama yang dapat dimakan adalah
Talas beneng memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai
sumber pangan lokal. Umbi beneng muncul diatas permukaan tanah, talas lain,
terpendam. Panjangnya bisa mencapai 1,2-1,5 m dengan bobot 35-40 kg pada
umur 2 tahun. Lingkar umbi mencapai 45-55 cm. Begitu kulit dikupas, tampak
warna umbi kuning menyala. Umbi itu dihasilkan dari pohon setinggi 2-2,5 m
dengan daun raksasa sebesar 1 meter (Yajri 2010). Komposisi kimia talas banten
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia talas banten (Xanthosoma undipes K. Koch)
Komposisi
Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara
penggilingan atau penepungan. Menurut Winarno (1997) tepung merupakan
produk yang memiliki kadar air rendah. Kadar air yang rendah berperan penting
terhadap keawetan bahan pangan. Jumlah kandungan air bahan pangan
dipengaruhi oleh sifat dan jenis atau asal bahan, perlakuan yang telah dialami
bahan pangan, kelembaban udara tempat penyimpanan, dan jenis pengemasan.
Cara yang paling umum dilakukan untuk menurunkan kadar air adalah dengan
pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering biasa.
Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara,
tergantung dari jenis umbi-umbian yang digunakan (Lingga 1986). Menurut
Onwueme (1978) talas dapat dikupas, dikeringkan, dan kemudian dihaluskan
menjadi tepung. Dalam skala komersil, tepung dibuat dengan mengupas,
mengiris, dan mencuci umbi dengan air untuk menghilangkan getah. Irisan-irisan
tersebut kemudian direndam dengan air selama satu malam, dicuci kembali,
kemudian direndam dalam 0,25% asam sulfat selama tiga jam. Setelah diblansir
dalam rebusan air selama 4-5 menit, irisan-irisan tersebut dikeringkan pada suhu
Lingga (1986) menjelaskan proses pembuatan tepung talas diawali
dengan pencucian dan pengupasan umbi segar. Setelah itu umbi diiris tipis dan
direndam dengan air. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses
pengeringan, sedangkan perendaman dimaksudkan untuk memberikan efek
membersihkan. Selanjutnya dilakukan pengeringan pada suhu 50-60o C, yaitu pada saat kadar air mencapai 12%. Proses ini dilakukan selama 6 jam dan
biasanya umbi yang dikeringkan dibolak-balik agar umbi kering merata. Hasil
pengeringan kemudian digiling dan diayak agar ukuran tepung yang dihasilkan
seragam. Bagan alir pembuatan tepung talas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung talas (Mayasari 2010).
Tepung talas dapat diolah menjadi aneka produk yang meliputi produk
kering, produk semi basah, dan basah. Tepung talas juga dapat dikompositkan
dengan tepung lain untuk memperbaiki sifat-sifatnya atau memperkaya
kandungan gizinya. Sebagai contoh, tepung talas yang dikompositkan dengan Umbi talas
Pengupasan
Pencucian dengan air
Penyawutan dengan ketebalan 0,1 mm
Pencucian dengan air
Perendaman 3 jam dengan air hangat
Pengeringan 50-60oC dengan cabinet drier, 6-12 jam
Penggilingan 100 mesh
Tepung
tepung pisang dan kacang hijau (perbandingan 50:30:20) lalu diolah menjadi
breakfast meal memiliki nilai gizi yang cukup lengkap untuk sarapan (Tegar 2010). Tepung talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet karena daya
mengikat airnya tinggi (Winarno 1997).
Maizena (Pati Jagung)
Maizena (pati jagung) merupakan salah satu produk yang dikembangkan
dari tanaman jagung. Proses pembuatan pati jagung terdiri atas beberapa tahap.
Tahap pertama jagung pipil dibersihkan dari kotoran dan benda asing.
Selanjutnya jagung direndam dalam air hangat selama 50 jam hingga biji jagung
membesar dua kali lipat dan kadar air naik menjadi 15-45%. Biji jagung tersebut
kemudian digiling untuk meghilangkan kulit dan memecah ikatan antara lembaga
(germ), dan inti jagung. Selanjutnya dilakukan pemisahan pati dan gluten. Kemudian pati tersebut dicuci untuk memurnikan pati (mengurangi serat dan
protein). Langkah terahir adalah pati dikeringkan dan dikemas (Sianipar 2007).
Maizena mempunyai kemampuan untuk mengikat air sehingga akan
meningkatkan viskositas atau kekentalan. Maizena banyak dimanfaatkan dalam
pembuatan kue dan makanan kering. Penggunaan maizena akan meningkatkan
sifat tekstural bahan makanan, disamping meningkatkan nilai gizinya. Maizena
jarang digunakan sebagai bahan utama pada pembuatan cake tetapi selalu menjadi bahan pembantu untuk mendapatkan tekstur sempurna. Pada
pembuatan cake, maizena adalah bahan pembantu untuk melembutkan. Penggunaanya berkisar 10% sampai dengan 20% dari bahan tepung terigunya,
sebab bila terlalu banyak cake akan mudah berjamur atau tidak awet (Bahlawan 2005). Maizena juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pengental, misalnya
pada saus dan puding.
Serat Pangan
Secara umum serat pangan didefinisikan sebagai bagian dari sel
tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia,
sehingga tidak dapat diserap melalui usus halus (Astawan 1991). Serat pangan
total terdiri dari komponen serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Serat
pangan larut air merupakan serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau
panas. Contoh serat pangan larut antara lain gum, pektin, dan sebagian
hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman. Serat pangan tidak
dingin. Contoh serat pangan tidak larut antara lain selulosa, lignin, sebagian
besar hemiselulosa, dan lilin tanaman (Muchtadi 2000).
Sebagian besar serat pangan yang terdapat di dalam makanan
bersumber dari pangan nabati. Serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai
jenis buah-buahan, sayuran, serealia, umbi-umbian, dan lain-lain. Proporsi dari
berbagai komponen serat pangan di setiap bahan pangan bervariasi. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperi spesies, bagian tanaman yang
dikonsumsi, dan kematangan (Muchtadi 2000).
Sizer dan Whitney (2000) menjelaskan bahwa Adequate Intakes (AI) serat per hari berbeda menurut jenis kelamin dan usia. Namun, angka kecukupan
konsumsi serat yang terdapat pada Acuan Label Gizi (ALG) di Indonesia adalah
25 gram/2000 kkal (Karmini dan Briawan 2004).
Tabel 2 Adequate Intakes (AI) serat per hari menurut jenis kelamin dan usia
Jenis
Sumber : Sizer dan Whitney (2000)
Astawan (1991) menjelaskan bahwa makanan kaya serat memiliki
beberapa keuntungan bagi kesehatan. Diet tinggi serat dapat menurunkan
kebutuhan insulin pada penderita diabetes dan menurunkan konsentrasi
kolesterol serum dari penderita giperkolesterolemik. Diet yang disuplementasi
serat dapat menurunkan risiko atherosklerosis dan beberapa kanker tertentu.
Selain itu, serat juga dapat meningkatkan perasaan kenyang.
Konsumsi serat yang berlebih dapat berdampak negatif bagi kesehatan,
itu, penggunaan serat yang berlebih ke dalam bahan pangan dapat
menyebabkan diare dan flatulensi.
Brownies
Brownies merupakan salah satu jenis cake yang berwarna coklat kehitaman. Ada dua macam brownies, yakni brownies oven dan brownies kukus.
Sama seperti cake, struktur brownies ketika dipotong terlihat keseragaman pori remah, berwarna menarik, dan jika dimakan terasa lembut, lembab, dan
menghasilkan citarasa yang baik (Sunaryo 1985 di dalam Sulistiyo 2006).
Brownies bertekstur padat (agak bantat) dibandingkan dengan cake sehingga tidak membutuhkan pengembangan gluten sebagaimana cake. Bahan penyusun utamanya yaitu telur, lemak, gula, dan terigu. Bahan tambahannya antara lain
emulsifier dan pengembang (Sulistiyo 2006).
Telur sebagai bahan utama penyusun brownies berfungsi sebagai
pengganti air, pembentuk struktur, pelembut, pengikat udara (aerasi), dan
pendistribusi adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, aroma, dan rasa.
Kuning telur mengandung lesitin yang memiliki daya pengemulsi, sedangkan
putih telur membentuk tekstur yang lebih ringan (Berenbaum 2003 dalam Febrial
2009).
Lemak dalam pembuatan brownies berfungsi melembutkan tekstur
membentuk citarasa, memacu pengembangan, membantu aerasi, emulsifikasi
adonan, dan meningkatkan nilai gizi. Lemak yang biasa digunakan adalah
mentega dan margarin. Margarin adalah lemak plastis yang dibuat dari proses
hidrogenasi parsial minyak nabati (Hariyadi et al. 2000 dalam Febrial 2009). Gula sebagai bahan penyusun brownies berfungsi memberikan rasa
manis, membentuk struktur, tekstur, dan keempukan, mengikat air, dan menjaga
kelembaban. (Berenbaum 2003 dalam Febrial 2009). Selain itu, gula juga
berfungsi sebagai pengawet karena dapat mengurangi aw bahan pangan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al. 1981).
Tepung yang umum digunakan dalam pembuatan brownies adalah
tepung terigu lunak (Subarna 1996). Alasan penggunaan tepung tersebut adalah
untuk membentuk adonan yang lebih lembut (Matz 1992). Di dalam adonan,
tepung berfungsi sebagai pembentuk struktur dan tekstur brownies, pengikat
bahan-bahan lain dan pendistribusi bahan-bahan lain secara merata, serta
Seperti cake pada umumnya, pembuatan brownies terdiri atas beberapa tahap, yakni mixing, depositing, baking, cooling, dan packaging. Ada beberapa metode mixing, seperti sugar batter method, flour batter method, single stage mixing method, dan lainnya. Pada sugar batter method, shortening, gula, dan beberapa bahan kering dikocok dengan kecepatan rendah atau sedang hingga
tercampur merata dan mengembang. Kememudian ditambahkan telur, susu, dan
tepung. Pada flour batter method, tepung dan shortening dikocok dalam satu wadah. Di saat yang bersamaan, telur dan gula dikocok dengan kecepatan
sedang di wadah terpisah. Selanjutnya kedua adonan dicampur menjadi satu.
Pada single stage mixing, semua bahan dicampur dalam satu wadah, dan dikocok secara bersamaan hingga homogen (Tireki 2007) .
Selain metode-metode mixing di atas, ada beberapa metode mixing lainnya. Ada metode dimana gula dan air dikocok dengan kecepatan sedang
kemudian ditambahkan pegemulsi, tepung, susu, shortening, telur, dan baking powder. Metode lainnya adalah telur dikocok dengan kecepatan sedang hingga mengembang. Kemudian ditambahkan gula dan tepung, dikocok dengan
kecepatan rendah. Selanjutnya lemak ditambahkan di tahap akhir pengocokan
(Tireki 2007).
Tahap selanjutnya adalah penuangan adonan ke dalam loyang. Adonan
yang sudah tertata di loyang harus segera dimasukan ke dalam oven. Hal ini
ditujukan untuk mencegah gelembung udara naik ke permukaan.
Pemanggangan merupakan faktor penentu kualitas cake yang paling penting. Proses pemanggangan yang tidak tepat dapat merusak efek dari faktor
lainnya, seperti formulasi yang tepat, bahan baku yang baik, dan pengocokan
yang baik. Suhu pemanggangan yang tidak tepat dapat merusak warna
permukaan, keseragaman remah, dan volume cake (Tireki 2007).
Response Surface Methodoloy (RSM)
Response Surface Methodology (RSM) merupakan sebuah metode statisik yang digunakan oleh peneliti sebagai alat untuk mencari solusi optimal
dari beberapa tipe masalah tertentu yang berkaitan dengan proses ilmiah. Aplikasi tersebut digunakan dalam penelitian industri khususnya pada situasi
dimana sejumlah besar variabel di suatu sistem mempengaruhi beberapa feature di sistem tersebut. Feature tersebut sering disebut dengan istilah respon.
Teknik optimasi pada RSM memiliki beberapa kegunaan, yaitu dapat
respon (peubah tak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa
respon mendekati kondisi optimal. Selain itu, teknik tersebut dapat menentukan
bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan
faktor-faktor pada tingkat tertentu. Kegunaan lainnya adalah dapat menentukan
tingkat faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan
(Giovani 1983 dalam Hadiningsih 2004).
Pada metode RSM, terdapat beberapa tipe rancangan statistik, salah
satunya adalah mixture design techniques.Mixture design techniques digunakan untuk menemukan formulasi yang optimal untuk suatu produk (Anonim 2005).
Ada dua kriteria dalam memilih mixture design, antara lain total komponen-komponen yang ditambahkan tetap, sehingga bila persentase salah satu
komponen naik, maka persentase komponen lainnya turun. Kriteria lainnya
adalah respon yang dihasilkan merupakan suatu fungsi dari proporsi
komponen-komponen yang ditambahkan.
Ada dua pilihan dalam mixture design yaitu simplex design dan non simplex design. Simplex design digunakan jika selang komponen-komponen yang digunakan sama. Jika selang komponen-komponen yang digunakan berbeda digunakan non simplex design, yaitu D-optimal (Anonim 2005).
Ada beberapa program yang dapat digunakan dalam mengaplikasikan
RSM, salah satunya adalah Design Expert (DX). Program Design Expert menyediakan rancangan percobaan dengan lebih dari 99 blok (ulangan), 21
faktor dan 512 run. Faktor adalah variabel yang mempengaruhi proses optimasi, sedangkan run adalah formula yang dapat dihasilkan. Dalam menentukan model matematika yang cocok untuk optimasi, program ini memberikan rekomendasi
berdasarkan nilai F2 dan R2 terbaik dari data respon yang telah diukur dan dimasukkan ke dalam rancangan percobaan. Ada lima model matematika dalam
program ini, yakni mean, linier (persamaan garis lurus), kuadratik (persamaan
kuadrat), kubik dan spesial kubik (persamaan pangkat tiga).
Pada proses optimasi menggunakan program DX terdapat 4 tahap, yakni
merancang percobaan, mengukur respon (parameter yang akan dioptimasi) dan
memasukkan datanya ke dalam rancangan percobaan, analisa data dan
rekomendasi formula optimal. Pada tahap merancang percobaan, ditentukan
faktor yang mempengaruhi produk beserta rentang nilai setiap komponen
sehingga dihasilkan beberapa formula yang direkomendasikan untuk dicoba dan
dalam program DX. Selanjutnya ditentukan respon yang akan dioptimasi beserta
tujuannya. Ada empat pilihan tujuan untuk setiap respon, yakni dimaksimalkan,
diminimalkan, berada dalam rentang nilai tertentu, dan tepat pada nilai tertentu.
Kemudian program secara otomatis akan melakukan optimasi berdasarkan data
dan tujuan yang dimasukkan, sehingga diperoleh rekomendasi solusi yang paling
optimal (Anonim 2005).
Pada program DX, terdapat nilai solution desirability, yakni nilai desirability untuk solusi optimal yang direkomendasikan. Nilai tersebut berkisar dari 0,0 hingga 1,0. Kegiatan optimasi bila dilihat dari aspek numerik merupakan
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember 2010.
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat, yakni Bangsal Penepungan dan
Bangsal Roti Balai Besar Pasca Panen serta Laboratorium Analisis Kimia dan
Laboratorium Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan brownies adalah talas
banten/beneng yang berasal dari Banten dengan umur panen 10 bulan dan pati
jagung (maizena) komersial dengan merek dagang Maizenaku produksi PT
Honig. Bahan pembantu pembuatan brownies antara lain telur ayam negeri,
margarin, gula pasir, dan dark cooking chocolate. Bahan kimia yang digunakan untuk proses perendaman umbi talas banten adalah NaCl 10%. Bahan yag
digunakan untuk analisis sifat kimia antara lain NaOH, HCl, selenium mix, H2SO4 pekat, aseton, etanol, enzim termamyl, pepsin, pankreatin, n-heksan, aquades.
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan brownies antara lain
timbangan digital, mixer, oven, panci, loyang, dan baskom. Peralatan untuk pembuatan tepung talas adalah pisau, ember, alat pengaduk, dan cabinet drier. Alat untuk analisis kimia antara lain oven, desikator, tanur, labu lemak, labu
kjedahl, erlenmeyer, pH meter, dan kertas saring whatman 41. Alat untuk analisis
profil tekstur brownies adalah texture analyzer Brookfield Texture CT3 LFRA.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yakni pembuatan tepung
talas banten, formulasi tepung talas banten dan maizena, pembuatan brownies
panggang, analisis sifat fisik, sifat kimia, dan sifat organoleptik brownies berbagai
formula tepung talas banten, optimasi brownies tepung talas banten, validasi,
dan penentuan takaran saji brownies tepung talas banten terpilih.
Pembuatan Tepung Talas Banten
Umbi talas yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah umbi talas
banten yang berusia 10 bulan. Tepung talas dibuat dalam beberapa langkah.
Langkah pertama talas dikupas untuk menghilangkan bagian yang tidak dapat
dimakan. Kemudian talas dipotong dan dicuci untuk menghilangkan getah.
Talas kemudian direndam pada larutan garam 10% selama satu jam. Langkah
selanjutnya adalah perendaman talas di dalam air selama tiga jam. Setelah itu,
talas ditiriskan dan ditata pada loyang untuk selanjutnya dikeringkan di dalam
cabinet drier hingga menjadi keripik. Keripik talas kemudian digiling dan diayak hingga diperoleh tapung talas dengan ukuran 100 mesh. Proses pembuatan
tepung talas banten dijelaskan pada Gambar 2. Tepung talas banten yang
dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui sifat kimianya. Sifat
kimia tepung talas banten yang dianalisis antara lain kadar air, abu, lemak,
protein, karbohidrat, pati, amilosa, amilopektin, dan total serat pangan. Metode
analisis kimia tepung talas banten terlampir (Lampiran 1).
Gambar 2 Proses pembuatan tepung talas banten (Mayasari 2010, dengan modifikasi).
Umbi talas
Pengupasan
Pencucian dengan air
Penyawutan dengan ketebalan 0,1 mm
Pencucian dengan air
Perendaman 3 jam dengan air
Pengeringan 50-60oC dengan cabinet drier, 6-12 jam
Penggilingan 100 mesh
Tepung
Formulasi Tepung
Formulasi tepung dilakukan berdasarkan metode RSM (Response Surface Methodology). Formulasi tepung menggunakan campuran tepung talas banten (x1) dengan kisaran 70-100% dan tepung maizena (x2) dengan kisaran
0-30%. Total komponen pada setiap formula adalah 100%. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mixture simplex lattice design. Setelah diproses, diperoleh delapan kombinasi formula (Tabel 3).
Tabel 3 Formula tepung talas dan maizena
Formula Tepung Talas Banten (%)
Tepung Maizena (%)
F1 70 30
F2 70 30
F3 77,5 22.5
F4 85 15
F5 85 15
F6 92,5 7,5
F7 100 0
F8 100 0
Pembuatan Brownies Panggang
Seluruh formula tepung talas banten dan maizena digunakan dalam
pembuatan brownies. Brownies yang dibuat dalam penelitian ini adalah brownies
panggang. Proses pembuatan brownies panggang dimodifikasi dari metode yang
dilakukan oleh Sutomo (2007), dimana tepung terigu diganti dengan tepung talas
dan maizena. Pembuatan brownies tersebut ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses pembuatan brownies tepung talas banten (Sutomo 2007). 3 butir telur dikocok selama 5 menit dengan mixer
Dimasukkan 120 g tepung +150 g tepung gula, diaduk
Dimasukkan 200 g margarin + 200 g coklat yang sudah dilelehkan, diaduk
Dimasukkan ke dalam loyang
Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Brownies
Analisis fisik yang dilakukan adalah analisis profil tekstur brownies
dengan Brokfield Texture Analyzer. Uji yang digunakan adalah TPA (Texture Profile Analysis), dengan probe TA 25/1000, kecepatan uji 1 mm/s dan trigger load 5,0 g. Parameter yang diukur antara lain kekerasan (hardness), elatisitas (springiness), kelekatan (adhesiveness), kekompakan (cohesiveness), kerapuhan (fractubility), dan kekenyalan (chewiness). Analisis kimia yang dilakukan adalah total serat pangan.
Penilaian organoleptik dilakukan dengan uji hedonik dan mutu hedonik.
Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan
produk. Panelis yang digunakan sebanyak 30 orang. Penilaian uji hedonik
menggunakan skala garis dengan nilai terendah 1 (amat sangat tidak suka) dan
nilai tertinggi 9 (amat sangat suka).
Skala yang digunakan untuk uji mutu hedonik terdiri atas penilaian untuk
rasa, aroma, warna dan tekstur. Skala penilaian rasa mulai dari amat sangat
pahit (1) sampai amat sangat manis (9). Skala penilaian aroma mulai dari amat
sangat bau (1) sampai amat sangat harum (9). Skala penilaian warna mulai dari
amat sangat coklat pucat (1) sampai amat sangat coklat gelap (9). Sementara
penilaian skala tekstur memiliki skala amat sagat kasar (1) hingga amat sangat
lembut (9).
Penentuan Takaran Saji
Dilakukan analisis sifat kimia brownies dengan formula tepung talas
optimal, meliputi kadar air, protein, lemak, abu, karbohidrat, dan total serat
pangan. Setelah itu, dilakukan perhitungan jumlah energi brownies tersebut.
Data tersebut selanjutnya digunakan untuk penentuan takaran saji brownies
untuk golongan umum.
Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil analisis fisik, kimia, dan organoleptik ditabulasi menggunakan
Microsoft Excel 2010 for Windows. Selanjutnya data analisis fisik, kimia, dan uji hedonik diolah menggunakan Design Expert 8.0.4 trial (DX 8 trial). Dilakukan proses optimasi dengan tahap pemilihan ordo, pemilihan model, dan uji ragam.
Parameter yang signifikan selanjutnya digunakan sebagai batasan dalam proses
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tepung Talas BantenTalas yang digunakan dalam penelitian ini adalah talas banten
(Xanthosoma undipes K. Koch) berusia 10 bulan (Gambar 4). Mayasari (2010) menjelaskan bahwa kandungan oksalat talas banten mencapai 61.783,73 ppm.
Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan kandungan oksalat talas
bogor, yakni 8.578,28 ppm. Oleh karena itu, dalam pembuatan tepung talas
banten dilakukan proses perendaman dengan larutan garam 10% selama satu
jam. Hal ini ditujukan untuk mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh kristal
kalsium oksalat yang terdapat pada talas. Di dalam air, NaCl akan terionisasi dan
berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat yang larut dalam
air dan endapan kalsium diklorida. Proses tersebut menurut Mayasari (2010)
dapat mereduksi 96,83% oksalat. Tepung talas banten yang dihasilkan
ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 4 Talas banten dengan dengan umur panen 10 bulan (bertanda panah).
Gambar 5 Tepung talas banten.
Air merupakan komponen penting dalam berbagai makanan. Pada
umumnya keawetan bahan pangan berhubungan dengan kandungan airnya
(Winarno, Fardiaz, Fardiaz 1980). Penghilangan air dari suatu bahan pangan
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga meningkatkan umur
simpan bahan pangan tersebut (Belitz 1999). Kadar air tepung talas banten
sebesar 7,07% (Tabel 4). Kandungan air tepung talas tersebut sudah memenuhi
mencegah pertumbuhan kapang (Winarno dan Jenie 1974, diacu dalam Honestin
2007).
Tabel 4 Komposisi kimia tepung talas banten
Komposisi Kimia
Kandungan abu merupakan komponen yang berisi mineral yang tertinggal
setelah bahan dibakar hingga bebas dari karbon. Kandungan abu tepung talas
banten lebih rendah dibandingkan dengan kandungan abu talas banten (Tabel
4). Hal ini diduga akibat terlarutnya mineral selama proses perendaman. Selain
itu, diduga hal tersebut juga dikarenakan terurainya ikatan antara mineral dengan
oksalat pada saat proses perendaman dengan NaCl.
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,
karena zat ini berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun
(bahan pembangun jaringan-jaringan baru), dan pengatur (Winarno 1992). Kadar
protein tepung talas lebih tinggi dibandingkan kadar protein talas segar. Hal ini
diduga karena adanya berkurangnya kadar air tepung talas selama proses
pengeringan. Winarno, Fardiaz, dan Fardiaz (1980) menjelaskan bahwa
berkurangnya kadar air akibat proses pengeringan dapat meningkatkan
konsentrasi senyawa-senyawa tertentu yang terdapat dalam bahan pangan.
Tepung talas banten memiliki kadar protein 6,74% (Tabel 4), sehingga tepung
tersebut termasuk ke dalam tepung berprotein rendah. Tepung berprotein rendah
baik digunakan untuk pembuatan kue nonfermentasi (Martinus 2008).
Kandungan pati tepung talas banten cukup tinggi, yakni 81,06% (Tabel 4).
Kandungan pati tepung talas banten lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan pati talas banten. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar air
Profil Tekstur Brownies Tepung Talas Banten
Tekstur brownies dianalisis dengan menggunakan alat Brokfield Texture
Analyzer. Uji yang digunakan adalah TPA (Texture Profile Analysis). TPA merupakan uji yang didesain untuk mensimulasikan proses menggigit dan
mengunyah di dalam mulut (Cauvain 2004). Parameter yang digunakan dalam uji
ini antara lain kekerasan (hardness), elastisitas (springiness), kelekatan (adhesiveness), kekompakan (cohesiveness), kerapuhan (fractubility), dan kekenyalan (chewiness). Profil tekstur brownies formulasi dan kontrol ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Profil tekstur brownies tepung talas banten
Formula Hardness
Keterangan : Komposisi F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, dan F8 dapat dilihat pada Tabel 3.
Kekerasan (hardness) umumnya digunakan untuk mendeskripsikan ketidakhalusan remah kue (Cauvain 2004). Nilai hardness merupakan jumlah gaya yang dibutuhkan untuk mencapai puncak pada saat kompresi. Nilai
(a)
(b)
Gambar 6 Model hardness cycle 1 (a) dan hardness cycle 2 (b) brownies tepung talas banten.
Nilai hardness brownies formulasi lebih tinggi dibandingkan dengan brownies kontrol (Tabel 5). Hal ini berarti brownies tepung talas banten lebih
keras dibandingkan dengan brownies kontrol. Gambar 6a dan b menunjukkan
bahwa semakin banyak tepung talas banten dan semakin sedikit tepung maizena
yang ditambahkan, brownies yang dihasilkan cenderung semakin keras. Hasil uji
ragam menunjukkan bahwa nilai hardness cycle 1 dan hardness cycle 2 berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
Elastisitas (springiness) merupakan tinggi yang dapat dicapai oleh suatu makanan di antara gigitan pertama dan kedua. Springiness brownies tepung formulasi lebih rendah dibandingkan dengan brownies kontrol (Tabel 5). Hal
tersebut berarti brownies tepung talas banten lebih tidak elastis dibandingkan
dengan brownies kontrol.
Gambar 7 Model springiness brownies tepung talas banten.
Nilai model springiness yang diperoleh adalah quadratic dengan nilai R2 sebesar 0,7100 (Gambar 7). Nilai springiness menggambarkan kemampuan produk untuk dapat kembali ke posisi awal setelah kompresi pertama hingga saat
kompresi kedua akan dimulai. Hasil uji ragam menunjukkan ada perbedaan nilai
springiness yang nyata (p<0,05) antar formula.
Kelekatan (adhesiveness) merupakan daya yang dibutuhkan untuk menarik makanan dari permukaannya. Nilai adhesiveness brownies dengan 100% tepung talas banten sama dengan brownies kontrol, sedangkan formula
lainnya memiliki nilai adhesiveness yang lebih tinggi (Tabel 5).
Gambar 8 Model adhesiveness brownies tepung talas banten.
Model adhesiveness brownies tepung talas banten adalah linear (Gambar 8). Semakin banyak tepung talas banten dan semakin sedikit tepung maizena
yang digunakan, adhesiveness brownies semakin rendah. Hasil uji ragam menunjukkan tidak ada perbedaan nilai adhesiveness yang nyata pada selang kepercayaan 95%.
Kekompakan (cohesiveness) merupakan indikasi dari kekuatan ikatan internal yang membentuk makanan. Nilai cohesiveness brownies formulasi lebih rendah dibandingkan dengan brownies kontrol (Tabel 5).
Gambar 9 Model cohesiveness brownies tepung talas banten.
Model cohesiveness brownies tepung talas banten adalah linear (Gambar 9). Semakin banyak tepung talas banten dan semakin sedikit tepung maizena
yang digunakan, semakin tinggi cohesiveness brownies. Hasil uji ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95%.
Kerapuhan (fractubility) mengindikasikan kerapuhan suatu makanan. Nilai fractubility brownies formula lebih tinggi dibandingkan dengan brownies kontrol. Model fractubility brownies tepung talas banten adalah quadratic dengan nilai R2 0,8933 (Gambar 10). Model fractubility di atas menunjukkan bahwa semakin banyak tepung talas banten dan semakin sedikit tepung maizena yang diberikan,
brownies yang dihasilkan cenderung lebih tidak rapuh. Hasil uji ragam
Gambar 10 Model fractubility brownies tepung talas banten.
Kekenyalan (chewiness) mengindikasikan energi yang dibutuhkan untuk mengunyah suatu makanan padat menjadi suatu bentuk yang siap untuk ditelan.
Nilai chewiness brownies formula lebih tinggi dibandingkan dengan brownies
kontrol (Tabel 5). Model chewiness brownies tepung talas banten adalah linear dengan nilai R2 sebesar 0,7767 (Gambar 11). Model chewiness brownies tepung talas banten menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tepung talas banten
yang digunakan dalam brownies, semakin tinggi nilai chewiness brownies tersebut. Hasil uji ragam menunjukkan adanya perbedaan nilai chewiness yang nyata (p<0,05) antar formula.
Gambar 11 Model chewiness brownies tepung talas banten.
Pada produk bakery, penggantian tepung terigu dengan tepung yang memiliki kandungan serat lebih tinggi dapat menghasilkan tekstur yang lebih
padat (Haavisto 2008). Kandungan serat talas banten cukup tinggi. Kapasitas
mengikat air serat pada produk bakery dapat meningkatkan nilai chewiness produk tersebut (Hazen 2010).
Total Serat Brownies Tepung Talas Banten
Serat pangan merupakan komponen dari bahan pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan manusia, namun masih dapat
dihidrolisis dengan asam atau basa (Muchtadi 2001). Kadar serat pangan
dihitung secara enzimatis. Pada metode enzimatis kadar serat dianalisis dengan
menggunakan enzim-enzim yang secara fisiologis terdapat dalam sistem
pencernaan manusia, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih diaplikasikan.
Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk analisis serat pangan dengan metode
tersebut lebih sedikit, sebab dapat menganalisis kandungan serat larut dan tidak
larut dalam satu prosedur (Muhtadi 2000).
Seluruh brownies yang dibuat dengan tepung hasil formulasi memiliki
kandungan serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan brownies kontrol.
Semakin tinggi tepung talas banten yang digunakan dalam pembuatan brownies,
semakin tinggi pula kandungan total serat pangan brownies tersebut. Brownies
yang memiliki kandungan serat tertinggi adalah brownies F7 yakni, brownies
dengan 100% tepung talas. Hasil analisis kandungan serat pangan seluruh
brownies formulasi ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kandungan total serat pangan brownies tepung talas banten
semakin tinggi total serat pangan brownies tersebut. Hal ini dikarenakan
kandungan serat tepung talas banten lebih tinggi dibandingkan dengan tepung
maizena. Hasil uji ragam menunjukkan adanya perbedaan total serat pangan
yang nyata (p<0,05) antar formula.
Gambar 12 Model total serat brownies tepung talas banten.
Sifat Organoleptik Brownies Tepung Talas Banten
Uji organoleptik hedonik dan mutu hedonik dilakukan pada seluruh
formula. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis,
sedangkan uji mutu hedonik dilakukan untuk mengetahui karakteristik produk
(Elias et al. 1989). Panelis yang dilibatkan dalam uji tersebut adaah 30 orang panelis semi terlatih.
Warna
Kesan pertama yang didapat dari suatu produk adalah warna. Warna
merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan terhadap
suatu produk oleh konsumen. Hasil uji organoleptik terhadap warna brownies
ditampilkan pada Gambar 13.
Gambar 13 Nilai rataan kesukaan warna brownies tepung talas banten.
Rataan nilai kesukaan terhadap warna produk adalah 6,1-6,6. Secara
deskriptif nilai tersebut berada pada kisaran agak suka. Warna produk yang
paling disukai adalah produk F4, yaitu produk dengan komposisi tepung
talas-maizena sebesar 85%-15%.
Gambar 14 Model kesukaan warna brownies tepung talas banten.
Model kesukaan terhadap warna brownies tepung talas banten adalah
quartic dengan nilai R2 sebesar 0,9673 (Gambar 14). Uji ragam menunjukkan adanya perbedaan warna yang nyata (p<0,05) di antara formula.
Hasil rataan nilai mutu hedonik terhadap warna produk adalah antara
6,5-7,2. Secara deskriptif nilai tersebut berarti agak coklat gelap sampai coklat gelap.
Rataan nilai mutu hedonik terhadap warna untuk produk F4 adalah 7,1. Hal
Rasa
Rasa dapat dideteksi oleh indera pengecap. Agar suatu senyawa dapat
dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga
dapat mengadakan hubungan mikrovillus dan impuls yang terbentuk dikirim
melalui saraf ke pusat syaraf (Winarno 1997). Rasa merupakan faktor yang
paling penting dalam keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau
menolak suatu makanan.
Rataan nilai kesukaan terhadap rasa produk berkisar antara 6,1-6,8
(Gambar 15). Secara deskriptif nilai ini berarti agak suka. Produk yang paling
disukai adalah produk F5, yakni produk dengan komposisi tepung talas-maizena
sebesar 85%-15%.
Gambar 15 Nilai rataan kesukaan rasa brownies tepung talas banten.`
Gambar 16 Model kesukaan rasa brownies tepung talas banten.
Model kesukaan terhadap rasa brownies tepung talas banten adalah
adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) pada nilai kesukaan panelis terhadap
produk.
Rataan nilai uji mutu hedonik untuk rasa brownies adalah 6,1-6,6. Secara
deskriptif nilai tersebut berarti agak manis. Produk F5 memiliki nilai rataan mutu
organoleptik terhadap rasa sebesar 6,6.
Aroma
Suatu senyawa dapat diketahui aromanya jika senyawa tersebut volatil.
(Trout, Tobias, dan Bodyfelt 1988). Rataan nilai kesukaan terhadap aroma
produk berada di antara 5,5-6,9, yakni pada kisaran kesukaan yang secara
deskriptif berarti biasa sampai agak suka (Gambar 17). Aroma yang paling
disukai adalah aroma produk F6, yaitu produk dengan komposisi tepung
talas-maizena sebesar 92,5%-7,5%.
Gambar 17 Nilai rataan kesukaan aroma brownies tepung talas banten.
Gambar 18 Model kesukaan aroma brownies tepung talas banten.
Model kesukaan terhadap aroma brownies tepung talas banten adalah
quartic dengan nilai R2 sebesar 0,9605 (Gambar 18). Uji ragam menunjukkan adanya perbedaan aroma yang nyata (p<0,05) antar formula.
Rataan nilai uji mutu hedonik terhadap aroma brownies adalah 5,7-6,3.
Secara deskriptif nilai tersebut berada pada kisaran biasa (bau tidak, harum pun
tidak) sampai agak harum. Aroma produk yang paling disukai (F6) adalah agak
harum.
Tekstur
Rataan nilai kesukaan terhadap tekstur brownies tepung talas banten
adalah 6,07-6,5 (Gambar 19). Secara deskriptif nilai tersebut berada pada
kisaran agak suka. Tekstur seluruh brownies formulasi lebih disukai dari pada
tekstur brownies kontrol. Tekstur produk yang paling disukai adalah tekstur
produk F5, yakni produk dengan komposisi tepung talas-maizena 85%.
Gambar 19 Nilai rataan tekstur brownies tepung talas banten.
Gambar 20 Model kesukaan tekstur brownies tepung talas banten.
Model kesukaan terhadap tekstur brownies tepung talas banten adalah
quartic dengan nilai R2 sebesar 0,9641 (Gambar 20). Uji ragam menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap tekstur yang nyata (p<0,05) antar formula.
Rataan nilai uji mutu hedonik untuk tekstur brownies bernilai 5,7-6,6. Nilai
tersebut secara deskriptif berarti biasa (kasar tidak, lembut pun tidak) sampai
dengan agak lembut. Tekstur produk yang paling disukai bernilai 6,6, hal ini
berarti produk tersebut bertekstur agak lembut.
Keseluruhan
Rataan nilai kesukaan keseluruhan brownies formulasi adalah 6,0-6,8
(Gambar 21). Secara deskriptif nilai tersebut berarti agak suka. Secara
keseluruhan brownies F3 lebih kurang disukai dari pada brownies kontrol. Produk
yang paling disukai secara keseluruhan adalah produk F5 dan F6, yakni produk
dengan komposisi tepung talas-maizena 85%-15% dan 92,5%-7,5%.
Gambar 21 Nilai rataan kesukan keseluruhan brownies tepung talas banten.
Model kesukaan terhadap keseluruhan brownies tepung talas banten
adalah quartic dengan nilai R2 sebesar 0,9382 (Gambar 22). Uji ragam menunjukkan adanya perbedaan tampilan keseluruhan yang nyata (p<0,05)
Gambar 22 Model kesukaan keseluruhan brownies tepung talas banten.
Rataan nilai uji mutu hedonik terhadap keseluruhan brownies adalah
5,9-6,7. Secara deskriptif nilai tersebut berada pada kisaran biasa (enak tidak, tidak
enak pun tidak) sampai agak enak. Kedua produk yang paling disukai pada
aspek keseluruhan bernilai agak enak.
Formula Tepung Talas dan Maizena Optimal dalam Pembuatan Brownies Tahap akhir dari RSM adalah optimasi dengan batasan-batasan sebagai
syarat guna menghasilkan solusi formua terpilih. Variabel respon yang digunakan
adalah variabel respon yang memiliki nilai yang berbeda nyata antar formula.
Ada beberapa variabel respon yang digunakan sebagai batasan optimasi, yakni
hasil analisis tekstur (hardness, springiness, fractubility, dan chewiness), total serat pangan produk, dan hasil uji hedonik (warna, rasa, aroma, tekstur, dan
keseluruhan).
Setiap variabel respon ditetapkan nilai tujuan yang ingin dicapai dalam
optimasi. Batas hasil analisis tekstur ditetapkan berdasarkan profil tekstur kontrol.
Hal tersebut ditujukan agar produk hasil optimasi memiliki profil tekstur yang tidak
jauh berbeda dengan kontrol (brownies dengan 100% tepung terigu). Nilai
hardness cycle 1, hardness cycle 2, fractubility, dan chewiness brownies kontrol lebih rendah dibandingkan dengan brownies hasil formulasi. Namun, nilai
Batas total serat pangan dan uji hedonik adalah maximize. Hal ini ditujukan agar produk hasil optimasi memiliki kadar serat dan nilai kesukaan
setinggi mungkin. Kriteria ini ditetapkan pada optimasi numerik yang ada pada
RSM.
Nilai variabel respon analisis tekstur, total serat, dan uji hedonik yang
didapat dari semua formula dimasukkan ke dalam program Design Expert trial. Selanjutnya variabel-variabel tersebut diolah hingga diperoleh beberapa solusi
formula komposisi tepung talas-maizena terpilih dengan target optimasi yang
diinginkan.
Nilai target optimasi yang dapat dicapai disebut sebagai desirability. Desirability memiliki nilai 0 sampai 1,0. Optimasi merupakan proses untuk memperoleh nilai desirability maksimum dengan mempertimbangkan semua fungsi tujuan.
Design Expert 8.0.4 Trial merekomendasikan tiga formula terpilih, yaitu F1, F2, F3 dengan nilai desirability masing-masing secara berturut-turut 0,812, 0,603, dan 0,276 (Tabel 7). Formula optimal merupakan formula yang memiliki
nilai desirability tertinggi, yaitu formula dengan komposisi tepung talas 86% dan tepung maizena 14%.
Tabel 7 Solusi optimasi brownies tepung talas banten
No. Tepung Talas
Banten (%)
Tepung
Maizena (%) Desirability
1 86,233 13,767 0,812
2 70,000 30,000 0,603
3 100,000 0,000 0,276
Validasi Formula Brownies Optimal
Setelah mendapatkan prediksi formula terpilih dan nilai setiap variabel
respon, dilakukan validasi untuk mengetahui nilai analisis tekstur, total serat, dan
uji hedonik yang aktual. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai
prediksi solusi terpilih dalam optimasi. Hasil perbandingan tersebut dapat dilihat
Tabel 8 Validasi nilai uji hedonik keseluruhan dan serat pangan formula terpilih
Respon Nilai Prediksi Nilai
Aktual
Min Max Mean
Hardness cycle 1 1110.38 2822.24 2035,5 1710,5
Hardness cycle 2 927.29 2489.21 1773,7 1517
Springiness 5.17 8.51 6,8 5,54
Fractubility 1110.38 2822.24 2035,5 1710,5
Chewiness 48.38 86.31 68,6 48,38
Uji hedonik terhadap keseluruhan 6.38 7.14 6,8 6,7
Hasil validasi menunjukkan hasil analisis tekstur, total serat pangan, dan
uji hedonik terdapat dalam range nilai minimum dan maksimum serta tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yang dihasilkan program DX trial pada optimasi. Hal ini menunjukkan bahwa optimasi brownies tepung talas banten
dengan menggunakan metode RSM sesuai dengan hasil analisis sebenarnya.
Tabel 9 Komposisi kimia brownies formula terpilih
Komposisi Kimia Jumlah
Brownies tepung talas banten terpilih merupakan makanan semi basah. Winarno,
Fardiaz, dan Fardiaz (1980) menjelaskan bahwa makanan semi basah
merupakan suatu makanan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi tetapi
juga tidak terlalu rendah yaitu kira-kira 15-50 persen.
Kadar serat pangan total terdiri dari serat pangan larut air dan serat
pangan tidak larut air. Brownies formula terpilih mengandung serat pangan tidak
larut air yang lebih tinggi dibandingkan dengan serat pangan larut airnya (Tabel
volume feses, sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan
mudah. Fungsi serat pangan tidak larut air lainnya adalah mengatasi masalah
pencernaan sehingga dapat mengurangi risiko wasir, divertikulosis, dan kanker
kolon (Muchtadi 2001).
Gambar 23 Takaran saji brownies berbasis tepung talas yang optimal.
Brownies merupakan produk bakeri yang biasa dikonsumsi sebagai
makanan selingan. Makanan selingan memberikan kontribusi 10% dari total
kebutuhan energi sehari. Angka Label Gizi untuk energi bagi golongan umum
adalah 2000 kkal. Setiap 100 gram brownies terpilih (100% tepung talas)
mengandung 476 kkal, sehingga untuk memperoleh 200 kkal dibutuhkan 42
gram brownies terpilih (Gambar 23). Komposisi kandungan gizi brownies terpilih
per takaran saji dapat diliihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kandungan gizi brownies terpilih per takaran saji
Kandungan Gizi Jumlah
Energi 200 kkal
Protein 1,96 gram
Lemak 12,03 gram
Karbohidrat 21,01 gram
Serat pangan 4,01 gram
Jumlah serat pangan total per takaran saji brownies terpilih sebesar 4.01
gram. Kebutuhan serat sehari untuk umum menurut Angka Label Gizi untuk
pelabelan adalah sebanyak 25 gram/2000 kkal. Hal tersebut berarti brownies
formula terpilih memberikan kontribusi serat pangan sebesar 16,04 persen dari
total kebutuhan sehari golongan umum. produk yang mengandung 10-20 persen
suatu zat gizi tertentu dari total kebutuhan sehari dikatakan sebagai produk
sumber zat gizi tersebut (Karmini dan Briawan 2004). Hal ini berarti bahwa