Hubungan Intensitas Pencahayaan dengan Keluhan Kelelahan Mata Karyawan Pengguna Komputer di Satuan Kerja Penataan
Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
No Responden :
Unit Kerja :
Identitas Responden
1. Nama :
2. Jenis Kelamin : (Laki-laki / Perempuan)*
3. Umur : tahun
4. Masa Kerja : tahun
*) coret yang tidak perlu
Petunjuk Pengisian :
1. Berikan tanda checklist ( ) pada salah satu jawaban untuk setiap pertanyaan (penilaian ini bersifat subjektif).
2. Penilaian Keluhan Kelelahan Mata berdasarkan Visual Fatigue Index (VFI)
a. Tidak Pernah = Tidak pernah mengalami keluhan
b. Kadang-kadang = Keluhan 1-2 kali/minggu
c. Sering = Keluhan 3-4 kali/minggu
No Pertanyaan
1 Apakah mata Anda kabur jika melihat atau tidak fokus sewaktu bekerja mengguna- kan komputer
2 Apakah mata Anda terasa lelah jika membaca
3 Apakah mata Anda sering berkedip-kedip saat membaca 4 Apakah jika bekerja pada
komputer membuat kepala Anda sakit (dalam waktu singkat)
5 Apakah Anda terasa lelah jika Anda bekerja pada komputer 6 Apakah Anda kehilangan
konsentrasi ketika membaca di komputer
9 Apakah baris yang Anda baca pernah terlewatkan atau terulang lagi ketika Anda malam hari daripada pagi hari 12 Ketika mulai mengeprint dan
membaca tulisannya sebentar apakah mata Anda kabur 13 Apakah sewaktu bekerja
14 Apakah saat bekerja dengan komputer jarak monitor dengan mata < 40 cm
15 Apakah Anda sering lupa mengingat apa yang anda baca
16 Sewaktu menggunakan komputer apakah layar monitor lebih tinggi dari 19 Apakah Anda sering/pernah
mengalami nyeri pada leher, mengistirahatkan mata Anda setelah satu jam bekerja 22 Apakah Anda merasa kedua
mata Anda tidak berfungsi dengan baik
Pertanyaan Pendukung
1. Berapa lama anda bekerja menggunakan komputer dalam satu hari kerja? a. ≤ 4 jam
b. > 4 jam
2. Apakah setiap satu jam pemakaian komputer Anda melakukan relaksasi mata? (tidak berada di depan layar komputer/mengalihkan pandangan)
a. Ya b. Tidak
DENAH RUANG KERJA & PENGUKURAN INTENSITAS PENCAHAYAAN LOKAL
Ruang I : Ruang Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan
Ruang II : Ruang Konsultan Individual dan Perpustakaan
DENAH PENGUKURAN INTENSITAS PENCAHAYAAN UMUM RUANG II
3,5 m
6,5 m
Keterangan :
LAMPIRAN 4
LAMPIRAN 5
LAMPIRAN 6
LAMPIRAN 7
MASTER DATA
Keterangan :
MK : Masa kerja dalam bentuk kategori (1 = < 5 tahun ; 2 = ≥ 5 tahun)
LK : Lama kerja menggunakan komputer dalam bentuk kategori (1 = ≤ 4 jam ; 2 = > 4 jam)
DIM : Durasi istirahat mata dalam bentuk kategori (1 = < 15 menit ; 2 = ≥ 15 menit)
IP : Intensitas pencahayaan dalam bentuk kategori (1 = baik ≥ 300 lux) ; 2 = buruk < 300 lux)
Jenis Kelamin Karyawan OUTPUT HASIL UJI UNIVARIAT DAN BIVARIAT
Intensitas Pencahayaan Setempat * Keluhan Kelelahan Mata Crosstabulation
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Keterangan : Terdapat 3 sel yang memiliki nilai expected (E) kurang dari 5 sehingga
syarat uji Chi-square tidak terpenuhi, maka dipakai uji alternatifnya untuk tabel 2x2 yaitu uji Exact Fisher.
Chi-Square Tests
Computed only for a 2x2 table a.
3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is . 36.
Gambar 1. Ruang Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan
Gambar 3. Pengukuran Intensitas Pencahayaan Lokal
Gambar 5. Tirai vertical blind di Ruang Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Aryanti. 2006. Hubungan antara Intensitas Penerangan dan Suhu Udara
dengan Kelelahan Mata Karyawan pada Bagian Administrasi di PT. Hutama Karya Wilayah IV Semarang. Skripsi. Semarang :
FakultasKesehatan Masyarakat UNES. http://uppm.fk.unes.ac.id. Diakses tanggal 8 Januari 2016.
Cahyono.2005. Informasi Biologi Mata dan
Penglihatan.http://www.medicastore.com//. Diakses tanggal 8 Januari
2016.
Chiuloto, K. 2011. Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja dan Radiasi Non
Peng-Ion terhadap Kelelahan Mata pada Karyawan Biro Perjalanan di Kota Medan. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya (Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan). 1981. Penerangan Alami Siang Hari
dari BangunanEdisi III. Jakarta.
Fayrina, Andri. 2012. Analisis Tingkat Pencahayan dan Keluhan Kelelahan
Mata pada Pekerja di Area Produksi Pelumas Jakarta PT. Pertamina (Persero) Tahun 2012. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat
UniversitasIndonesia.http://lib.ui.ac.id/file?...Andri%20Fayrina%20Ramad hani.pdf. Diakses tanggal 10 Januari 2016.
Firasati, R.N. 2012.Hubungan Intensitas Penerangan dengan Kelelahan Mata
pada Tenaga Kerja Bagian Recing PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta. Skripsi. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret. http://dgilib.uns.ac.id..=Hubungan-Intensitas-Penerangan-Dengan-Kelelahan-Mata...-Surakarta. Diakses tanggal 10 Januari 2016.
Firmansyah, Fathoni. 2010. Pengaruh Intensitas Penerangan terhadap
Kelelahan Mata Pada Tenaga Kerja Di Bagian Pengepakan PT.IKAPHARMINDO PUTRAMAS Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. http://eprints.uns.ac.id/122/1.pdf. Diakses tanggal 15 Januari 2016.
Haeny, Noer. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan
Mata. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hanum, Iis. 2008. Efektivitas Penggunaan Screen pada Monitor Komputer
untuk Mengurangi Kelelahan Mata Pekerja Call Centre di PT. Indosat NSR Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7048/1.pdf. Diakses
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Kurmasela Grace.P, Saerang.J.SM., Rares Laya. 2013. Hubungan Waktu
Penggunaan Laptop dengan Keluhan Penglihatan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Jurnal e-Biomedik.
Vol. 1, No. 1 : 291-299.
Kurniawidjaja, Meily.L. 2012. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press. Jakarta.
Lasabon, D. J. 2013. Pengaruh Pencahayaan dan Masa Kerja Berdasarkan
Waktu Kerja Terhadap Kelelahan Mata pada Pengerajin Sulaman Kerawang pada UKM “Naga Mas” di Kecamatan Telaga Jaya Kabupaten Gorontalo Tahun 2013. Skripsi. Jurusan Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo.http://siat.ung.ac.id. Diakses tanggal 10 Januari 2016.
Maryamah, S. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan
Kelelahan Mata pada Pengguna Komputer di Bagian Outbound Call Grha Telkom BSD (Bumi Serpong Damai) Tahun 2011. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/SITI%20MARYAMAH.pdf. Diakses tanggal 9 Januari 2016.
Muhaimin, M.T. 2001. Teknologi Pencahayaan. Penerbit Refika Aditama. Bandung.
Murtopo dan Sarimurni. 2005. Pengaruh Radiasi Layar Komputer terhadap
Kemampuan Daya Akomodasi Mata Mahasiswa Pengguna Komputer di Universitas Muhamadiyah Surakarta. Jurnal Penelitian Sains &
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/.../6.%20.pdf. Diakses tanggal 8 Januari 2016.
Neufert, Ernst. 1996. Data Arsitek Jilid I. Penterjemah Sunarto Tjahjadi. Penerbit Erlangga
Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Nourmayanti, Dian. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan
Kelelahan Mata pada Pekerja Pengguna Komputer di Coorporate Costumer Care Center (C4) PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Tahun 2009. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/pdf. Diakses tanggal 10 Januari 2016.
Nugroho, Hengki. D. E. 2009. Pengaruh Intensitas Penerangan Terhadap
Kelelahan Mata Pada Tenaga Kerja Di Laboratorium PT. Polypet Karyapersada Cilegon. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta.http://eprints.undip.ac.id/6968/1/3522.pdf. Diakses tanggal 10 Januari 2016.
Padmanaba, C.Gd.R. 2006. Pengaruh Penerangan Dalam Ruang Terhadap
Produktivitas Kerja Mahasiswa Desain Interior, Program Studi Desain Interior FSRD. Institut Seni Indonesia Denpasar.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Penterjemah Sri Yuliani Handoyo. Penerbit PT.Gramedia. Jakarta
Roestijawati, Nendyah. 2007. Sindrom Dry Eye Pada Pengguna Visual Display
Terminal (VDT). Cermin Dunia Kedokteran Kesehatan Kerja Vol.34
No.1/154.
Sakdiah, S. 2008. Gambaran Tingkat Pencahayaan dengan Keluhan Subjektif
Kelelahan Mata pada Karyawan di Rumah Sakit Ananda Bekasi.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.http://ib.ui.ac.id/file?file=digital/122867-S-5564.pdf. Diakses tanggal 8 Januari 2016.
Santosa, Adi. 2006. Pencahayaan pada Interior Rumah Sakit: Studi Kasus
Ruang Rawat Inap Utama Gedung Lukas, Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Majalah Dimensi Interior, Vol.4, No.2, Desember 2006:
49-56. http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.phpDepartmentID=INT. Diakses tanggal 15 Januari 2016.
Standar Nasional Indonesia. 2001. Tata Cara Perancangan Sistem
Standar Nasional Indonesia.2004. Pengukuran Intensitas Penerangan di
Tempat Kerja. SNI 16-7062-2004.
Suhardi, B. 2008.Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Industri Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Suma’mur, PK. 2009. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Penerbit CV.Sagung Seto. Jakarta.
Sunandar, A. 2011.Pengendalian Intensitas Penerangan dengan Penambahan
Daya Lampu untuk Mengurangi Kelelahan Mata Pegawai Kantor di Kecamatan JJ, Karanganyar. Skripsi. Surakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret. https://dglib.uns.ac.id/dokumen/download/pdf. Diakses tanggal 9 Januari 2016.
Suptandar, J.Pamudji. 1999. Disain Interior Pengantar Merencana Interior
Untuk Mahasiswa Disain Dan Arsitektur. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Suptandar, J.P.; Rubiharto,A.K.; Astuti, S.P.; Rahayuningsih, H. 2006. Sistem
Pencahayaan Pada Desain Interior. Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta.
Tarwaka; Bakri, S.H.A; Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan,
Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Universitas Islam
Batik. Surakarta.
Tarwoto; Aryani, R; Wartonah. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa
Keperawatan. Penerbit Trans Info Media. Jakarta.
Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Himpunan Perundang-Undangan K3.
Wibiyanti, P.I. 2008. Kajian Pencahayaan pada Industri Kecil Pakaian Jadi
dan Pembuatan Tas di Perkampungan Industri Kecil Penggilingan Tahun 2008. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan metode
penelitian survei analitik. Survei analitik adalah penelitian yang diarahkan untuk
menganalisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko dengan
faktor efek, dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian dimana observasi,
pengukuran dan pengumpulan data dilakukan sekaligus pada suatu saat
(Notoatmodjo, 2010).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada karyawan pengguna komputer di Satuan
Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara dengan
alasan :
1. Belum pernah dilakukannya penelitian tentang hubungan intensitas
pencahayaan dengan keluhan kelelahan mata karyawan pengguna komputer di
Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara.
2. Adanya kemudahan dan dukungan dari pihak Satuan Kerja Penataan
Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan
3.2.2 Waktu Penelitian
Adapun penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret-April 2016.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi karyawan pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan
Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara sebanyak 25 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh populasi karyawan pengguna komputer
di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara
sebanyak 25 orang.
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh peneliti.
Data diperoleh dengan melakukan pengukuran intensitas pencahayaan oleh
petugas Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja Medan dengan menggunakan
Luxmeter pada ruangan kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara. Penilaian keluhan kelelahan mata
berdasarkan kuesioner Visual Fatigue Index (VFI) yang dimodifikasi oleh
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data dalam bentuk jadi yang dikumpulkan dan diolah
oleh pihak lain. Data diperoleh dari perusahaan berupa gambaran umum
perusahaan, struktur organisasi dan data pendukung lainnya.
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional
3.5.1 Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel
independen yang berupa intensitas pencahayaan serta variabel dependen berupa
keluhan kelelahan mata.
3.5.2 Defenisi Operasional
1. Intensitas Pencahayaan
Intensitas pencahayaan merupakan tingkat pencahayaan yang
memungkinkan pekerja dapat melihat objek dengan jelas.
2. Keluhan Kelelahan Mata
Keluhan kelelahan mata merupakan tingkat kelelahan mata yang dirasakan
oleh karyawan setelah bekerja dengan menggunakan komputer
berdasarkan kuesioner Visual Fatigue Index (VFI).
3.6 Metode Pengukuran
Aspek pengukuran adalah mengukur intensitas pencahayaan dan keluhan
kelelahan mata pada karyawan pengguna komputer. Untuk dapat mengetahuinya
dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat serta wawancara dengan
1. Intensitas Pencahayaan
Pengukuran besarnya intensitas pencahayaan dilakukan dengan
menggunakan alat Luxmeter. Pengukuran pencahayaan dilakukan secara umum
dan lokal (pada meja kerja karyawan). Pencahayaan umum dan lokal diukur pada
titik yang telah ditentukan sesuai ukuran ruangan kerja (SNI 16-7062-2004
tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja). Setiap responden
akan mendapat hasil pengukuran intensitas pencahayaan kemudian dicatat
hasilnya.
Alat Ukur : Luxmeter
Metode Analisis : SNI 16-7062-2004
Spesifikasi Alat : Digital Luxmeter Merk HAGNER ECI SN 55 225 (UJI 6)
Kalibrasi alat dilakukan dengan tingkat akurasi ± 3 % di
laboratorium B.Hagner AB di Solna, Swedia pada 02
September 2015 (Mtk5P02900-K03).
Gambar 3.1 Luxmeter Digital HAGNER ECI SN 55 255
Hasil Pengukuran :
a. Pencahayaan baik (memenuhi standar ) = ≥ 300 lux
b. Pencahayaan buruk (tidak memenuhi standar ) = < 300 lux.
Prosedur Pengukuran :
1. Tahap Persiapan
Dalam penelitian pengukuran dilakukan oleh petugas Balai Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Medan. Alat dihidupkan dengan cara membuka bagian
penutup Luxmeter.
2. Penentuan Titik Pengukuran
a. Penerangan setempat: objek kerja, berupa meja kerja maupun peralatan.
Bila merupakan meja kerja, pengukuran dapat dilakukan di atas meja yang
ada.
b. Penerangan lokal: titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan
pada setiap jarak tertentu setinggi satu meter dari lantai. Jarak tertentu
tersebut dibedakan berdasarkan luas ruangan sebagai berikut:
1) Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi: titik potong garis
horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1 meter.
2) Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi: titik
potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak
setiap 3 meter.
3) Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: titik potong horizontal
3. Persyaratan pengukuran
a. Pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan
dilakukan.
b. Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi
pekerjaan.
4. Tata cara
a. Hidupkan Luxmeter yang telah dikalibrasi dengan membuka penutup
sensor.
b. Petugas menentukan titik pengukuran pencahayaan umum menggunakan
Laser Distance Meter (FLUKE 424D) dengan hasil :
Gambar 3.2 Laser Distance Meter (FLUKE 424D)
Sumber : Dokumentasi Pribadi
1. Ruang Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan
Luas ruangan : 11,5 m x 6,5 m = 75 m2
Titik pengukuran umum : 11 titik
2. Ruang Konsultan Individual dan Perpustakaan
Luas ruangan : 6,5 m x 3,5 m = 23 m2
Titik pengukuran umum : 7 titik
Titik pengukuran lokal : 10 titik
c. Bawa alat ke tempat titik pengukuran yang telah ditentukan, baik untuk
pengukuran intensitas penerangan umum atau lokal.
d. Baca hasil pengukuran pada layar luxmeter setelah menunggu beberapa
saat sehingga didapat nilai angka yang stabil. Setelah melakukan
pengukuran pada satu titik, tutup sensor menggunakan telapak tangan
untuk mengembalikan ke angka nol. Setelah angka dilayar telah
menunjukan angka nol, lakukan pengukuran pada titik lainnya.
e. Catat hasil pengukuran pada lembar hasil (kemudian dilakukan
pengolahan hasil pengukuran oleh petugas dengan mempertimbangkan
faktor koreksi alat).
f. Matikan luxmeter setelah selesai dilakukan pengukuran.
2. Keluhan Kelelahan Mata
Pengukuran variabel kelelahan mata dengan menggunakan kuesioner
Visual Fatigue Index (VFI) yang terdiri dari 22 pertanyaan dengan alternatif
jawaban Tidak Pernah (skor 1), Kadang-kadang (skor 2), Sering (skor 3) dan
Kemudian dilakukan perhitungan VFI yaitu:
VFI = Total of answer for each perator
Total of higher coeficient of occurence for each ailment
Keterangan:
Total of answer for each operator : Jumlah skor total yang diperoleh setiap
responden.
Total of higher coeficient of occurence for each ailment : Jumlah skor maksimal
dari 22 pertanyaan
(22 x 4 = 88).
Hasil Pengukuran:
a. Ya (mengalami kelelahan mata) = VFI ≥ 0,4
b. Tidak (tidak mengalami kelelahan mata) = VFI < 0,4
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
3.7 Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh, dianalisis melalui proses pengolahan data yang
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Editing, penyuntingan data dilakukan untuk menghindari kesalahan atau
kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.
2. Coding, pemberian kode atau scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan
entry data.
3. Entry data, data yang telah diberi kode tersebut kemudian dimasukkan dalam
program komputer untuk selanjutnya akan diolah.
4. Analysis, data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan analisis
univariat dan analisis bivariat.
3.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian yang disajikan dalam bentuk distribusi dan
persentase dari tiap variabel.
3.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Variabel independen dan dependen pada penelitian
ini merupakan data numerik yang diubah menjadi data kategorik. Berdasarkan hal
tersebut maka uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji alternatif
Uji bivariat dilakukan dengan interval kepercayaan (IK) 95%. Analisa data
dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan α (0,05). Ho diterima
jika p>α berarti tidak ada hubungan dan Ho ditolak jika p<α berarti ada hubungan.
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum dan Lokasi Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara
Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera
Utara merupakan struktural di bawah Direktorat Jenderal Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Satuan Kerja Penataan
Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan perencanaan
teknis, penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan, gedung, pengelolaan
rumah negara, penataan bangunan dan lingkungan khusus, serta penyusunan
standarisasi dan penguatan kelembagaan.
Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera
Utara berkantor di gedung Pusat Informasi Pengembangan Permukiman
Bangunan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jl. Williem Iskandar No. 9
Kenangan Baru, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
4.1.2 Struktur dan Fungsi Direktorat Jenderal Cipta Karya
Direktorat Jenderal Cipta Karya merupakan bagian stuktural di
Kementerian Pekerjan Umum dan Perumahan Rakyat terdiri dari beberapa bagian,
Gambar 4.1 Struktur Direktorat Jenderal Cipta Karya
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 536,
Direktorat Jenderal Cipta Karya menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan kebijakan, program dan anggaran serta evaluasi kinerja
pembangunan bidang Cipta Karya.
b. Pembinaan teknis dan penyusunan NSPM untuk air minum, air limbah,
persampahan, drainase, teriminal, apsar dan fasos-fasum lainnya.
c. Fasilitas pembangunan dan pengelolaan infrastruktur permukiman perkotaan
d. Pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasi air minum dan sanitasi
melalui kerjasama pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Serta standarisasi
bidang permukiman, air minum, penyehatan lingkungan permukiman dan tata
bangunan.
e. Penyediaan infrastruktur PU bagi pengembangan kawasan perumahan rakyat.
f. Fasilitasi pembangunan rumah susun dalam rangka peremajaan kawasan.
g. Penyediaan infrastruktur permukiman untuk kawasan kumuh/nelayan,
pedesaan, daerah perbatasan, kawasan terpencil dan pulau-pulau kecil.
h. Penyediaan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin dan rawan air.
i. Pembinaan teknis dan pengawasan pembangunan bangunan gedung dan
pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.
j. Penanggulangan darurat dan perbaikan kerusakan infrastrukturpermukiman
akibat bencana alam dan kerusuhan sosial.
k. Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal dan permberdayaan
kapasitas kelembagaan dan SDM bidang Cipta Karya.
4.1.3 Visi dan Misi Pembangunan Bidang Cipta Karya
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Cipta Karya
melalui Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera
Utara memiliki visi dan misi Pembangunan Bidang Cipta Karya, yaitu :
a. Visi
Terwujudnya permukiman perkotaan dan pedesaan yang layak huni, produktif
dan berkelanjutan melalui penyediaan infrastruktur yang handal dalam
pengembangan penyehatan lingkungan permukiman dan penataan bangunan
dan lingkungan.
b. Misi
1. Meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur)
permukiman di perkotaan dan perdesaan dalam rangka mengembangkan
permukiman yang layak huni, berkeadilan sosial, sejahtera, berbudaya,
produktif, aman, tentram dan berkelanjutan untuk memperkuat
pengembangan wilayah.
2. Mewujudkan kemandirian daerah melalui peningkatan kapasitas
pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan
pembangunan infrastruktur permukiman, termasuk pengembangan sistem
pembiayaan dan pola investasinya.
3. Melaksanakan pembinaan penataan kawasan perkotaan dan perdesaan serta
pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang memenuhi standar
keselamatan dan keamanan bangunan.
4. Menyediakan infrastruktur permukiman bagi kawasan kumuh/nelayan,
daerah perbatasan, kawasan terpencil, pulau-pulau kecil terluar dan daerah
tertinggal, serta air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin dan rawan
air.
5. Memperbaiki kerusakan infrastruktur permukiman dan penanggulangan
6. Mewujudkan organisasi yang efisien, tata laksana yang efektif dan SDM
yang profesional, serta pengembangan NSPM dengan menerapkan prinsip
Good Governance.
4.1.4 Struktur Organisasi Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara
Kuasa Pengguna Anggaran Barang (KPA/B)
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Jenis Kelamin Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Karyawan Pengguna Komputer Berdasarkan Jenis Kelamin di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Jenis Kelamin Jumlah %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa karyawan pengguna komputer paling
banyak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (60,0%) dan berjenis
kelamin perempuan sebanyak 10 orang (40,0%).
4.2.2 Umur Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan umur dapat dilihat
pada tabel berikut :
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa karyawan pengguna komputer paling
banyak berumur ≥ 30 tahun sebanyak 13 orang (52,0%) dan berumur < 30 tahun
sebanyak 12 orang (48,0%).
4.2.3 Masa Kerja Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan masa kerja dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3 Distribusi Karyawan Pengguna Komputer Berdasarkan Masa Kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Masa Kerja (tahun) Jumlah %
kerja < 5 tahun sebanyak 12 orang (48,0%).
4.2.4 Lama Kerja Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan lama kerja
menggunakan komputer dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4 Distribusi Karyawan Pengguna Komputer Berdasarkan Lama Kerja Menggunakan Komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Sumatera Utara Tahun 2016
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa karyawan pengguna komputer
mayoritas bekerja dengan menggunakan komputer selama > 4 jam sebanyak 21
orang (84,0%) dan sisanya bekerja di depan komputer selama ≤ 4 jam sebanyak 4
orang (16,0%).
4.2.5 Durasi Istirahat Mata Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan lama durasi istirahat
mata dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.5 Distribusi Karyawan Pengguna Komputer Berdasarkan Durasi Istirahat Mata di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Durasi Istirahat (menit) Jumlah %
< 15
(52,0%) dan durasi istirahat mata < 15 menit sebanyak 12 orang (48,0%).
4.2.6 Intensitas Pencahayaan Ruang Kerja
a. Intensitas Pencahayaan Umum
Tabel 4.6 Distribusi Intensitas Pencahayaan Umum Ruang Kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa intensitas pencahayaan umum pada 2
unit ruang kerja menunjukkan intensitas pencahayaan di kedua ruangan tersebut
(100%) bernilai < 300 lux dikategorikan pencahayaan buruk (tidak memenuhi
standar).
b. Intensitas Pencahayaan Lokal
Tabel 4.7 Distribusi Intensitas Pencahayaan Lokal Ruang Kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Intensitas Pencahayaan (lux) Jumlah %
< 300
mayoritas bernilai < 300 lux sebanyak 22 titik (88,0%) dan intensitas pencahayaan
≥ 300 lux sebanyak 3 titik (12,0%).
4.2.7 Keluhan Kelelahan Mata Karyawan Pengguna Komputer
Distribusi karyawan pengguna komputer berdasarkan keluhan kelelahan
mata dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.8 Distribusi Karyawan Pengguna Komputer Berdasarkan Keluhan Kelelahan Mata di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Keluhan Kelelahan Mata Jumlah %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa karyawan pengguna komputer yang
mengalami keluhan kelelahan mata sebanyak 22 orang (88,0%) dan yang tidak
mengalami keluhan kelelahan mata sebanyak 3 orang (12,0%).
4.3 Hasil Uji Bivariat
Berdasarkan hasil pengukuran intensitas pencahayaan umum dan lokal
pada ruang kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi
Sumatera Utara serta hasil kuesioner, dilakukan uji alternatif Exact Fisher untuk
melihat apakah ada hubungan intensitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan
mata karyawan pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016.
Hubungan intensitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan mata
karyawan pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan
Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9 Hasil Uji Exact Fisher Intensitas Pencahayaan dengan Keluhan Kelelahan Mata Karyawan Pengguna Komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Intensitas Pencahayaan Setempat
Keluhan Kelelahan Mata Jumlah Sig.
Berdasarkan tabel hasil pengukuran diatas dapat dilihat bahwa karyawan
pengguna komputer yang bekerja dengan intensitas pencahayaan baik (≥300 lux)
sebanyak 3 orang (12,0%) terdiri dari 1 orang (4,0%) mengalami kelelahan mata
dan 2 orang (8,0%) tidak mengalami kelelahan. Sedangkan karyawan yang
bekerja pada intensitas pencahayaan buruk (<300 lux) sebanyak 22 orang (88,0%)
terdiri dari 21 orang (84,0%) mengalami kelelahan dan 1 orang (4,0%) tidak
mengalami kelelahan.
Pada hasil uji Exact Fisher antara intensitas pencahayaan dengan keluhan
kelelahan mata didapatkan nilai p = 0,029 dimana p < 0,05 artinya ada hubungan
bermakna antara intensitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan mata karyawan
pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi
Berdasarkan hasil pengukuran intensitas pencahayaan umum pada 2 unit
ruang kerja di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi
Sumatera Utara didapatkan hasil bahwa pencahayaan di kedua ruangan tersebut
dikategorikan buruk (tidak memenuhi standar) dengan intensitas < 300 lux.
Ruang kerja Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan memiliki
intensitas 140 lux serta Ruang Konsultan Individual dan Perpustakaan memiliki
intensitas 209 lux. Nilai tersebut berada jauh dari standar pencahayaan sesuai
Kepmenkes No. 1405 Tahun 2002 yaitu sebesar 300 lux. Hal ini dikarenakan pada
ruang kerja tersebut hanya memanfaatkan sumber cahaya alami yang masuk
melalui jendela di sekeliling ruangan. Ruangan menggunakan tirai vertical blind
berwarna coklat muda (bilah-bilah vertical bisa dibuka secara horizontal
menjadikan fungsi pengaturan cahaya ruangan bekerja secara baik dan bisa diatur
sesuai kebutuhan).
Sumber pencahayaan buatan yang bersumber dari lampu hanya digunakan
ketika cuaca mendung atau pada saat menjelang sore hari. Lampu yang digunakan
merupakan lampu berjenis TL (Tube Lamp) dengan cahaya lampu berwarna putih.
Cahaya putih (cool light) memberikan efek dingin dan sejuk. Namun, warna putih
membuat benda-benda tampak pucat. Selain itu suasana yang terbentuk pun
konsentrasi tetap stabil sehingga sering dipakai pada ruang kerja (Istiawan dan
Kencana, 2006).
Pencahayaan buatan pada ruangan ini berasal dari lampu yang dipasang
dengan posisi armatur menjorok ke dalam plafon sehingga cahaya yang jatuh ke
objek kerja terhalang oleh armatur (tidak maksimal). Armatur berfungsi sebagai
penopang alat penerangan, selain itu juga berfungsi untuk menyebarkan dan
membiaskan cahaya yang berasal dari alat penerangan.
Pencahayaan menggunakan sistem pencahayaan semi langsung, 60%
sampai 90% cahaya diarahkan ke bidang kerja (tidak ada tunneling effect di atas
lampu) dengan arah pencahayaan down light (pencahayaan ke bawah) berfungsi
memberikan pencahayaan secara merata. Arah pencahayaan ini berasal dari atas
dengan tujuan untuk memberikan cahaya pada objek di bawahnya. Lampu yang
digunakan biasanya berasal dari lampu yang dipasang di langit-langit rumah
dengan posisi rumah lampu masuk ke dalam (Istiawan dan Kencana, 2006).
Dinding ruangan ini dicat berwarna putih sehingga memberikan kesan lapang dan
bersih serta mendukung pantulan cahaya menyebar ke seluruh ruangan.
Berdasarkan hasil pengukuran intensitas pencahayaan lokal di kedua
ruangan dengan total 25 titik pengukuran objek kerja (komputer dan meja kerja)
didapatkan hasil sebanyak 22 titik (88,0%) dengan pencahayaan buruk (tidak
memenuhi standar) dan hanya 3 titik (12,0%) yang memiliki pencahayaan baik
(memenuhi standar). Ketiga titik tersebut memiliki pencahayaan lokal yang baik
dikarenakan posisi meja kerja yang berada dekat dengan jendela (tirai vertical
daripada objek kerja yang letaknya jauh dari jendela. Pada salah satu titik
pengukuran (meja nomor 7) intensitas pencahayaan mencapai 665 lux. Meskipun
pencahayaan sudah memenuhi standar, namun kondisi pencahayaan tersebut dapat
berisiko menyebabkan kelelahan mata karena menyebabkan kesilauan, sehingga
diperlukan pengaturan cahaya yang masuk dengan mengatur tirai vertical blind.
Pada hasil penelitian didapatkan hasil dari total 25 karyawan pengguna
komputer, sebanyak 22 orang (88,0%) mengalami keluhan kelelahan mata. Hal ini
disebabkan penggunaan komputer secara terus menerus dalam waktu yang lama
dan diperparah oleh kondisi pencahayaan yang tidak sesuai kebutuhan sehingga
mata mengalami kelelahan. Karyawan yang bekerja dengan pencahayaan baik
sebanyak 3 orang (12,0%), terdiri dari 1 orang (4,0%) mengalami keluhan
kelelahan mata dan 2 orang (8,0%) tidak mengalami kelelahan. Meskipun kondisi
pencahayaan sudah baik, masih terdapat karyawan yang mengalami kelelahan
mata. Karyawan tersebut memiliki riwayat kelainan refraksi mata berupa rabun
jauh (miopia). Saat bekerja karyawan tersebut menggunakan kacamata sehingga
kondisi mata dianggap normal karena telah melakukan penyesuaian. Namun,
berdasarkan skor Visual Fatigue Index (VFI) karyawan tersebut mengeluhkan
kelelahan mata yang bisa saja disebabkan faktor lain (bias) bukan karena faktor
pencahayaan.
Karyawan yang bekerja dengan kondisi pencahayaan buruk sebanyak 22
orang (88,0%) terdiri dari 21 orang (84,%) yang mengalami kelelahan mata dan 1
orang (4,0%) tidak mengalami kelelahan mata. Meskipun pencahayaan buruk,
tersebut baru bekerja secara menetap di depan komputer selama satu tahun
terakhir sehingga tingkat paparan masih rendah. Selain itu, karyawan tersebut
bekerja di depan komputer < 4 jam dalam sehari dikarenakan terkadang
beraktivitas di luar ruangan sehingga risiko mengalami kelelahan mata lebih
rendah. Menurut Padmanaba (2006), kuntitas, kualitas dan distribusi cahaya dapat
mempengaruhi kelelahan mata. Distribusi cahaya yang kurang baik di lingkungan
kerja dapat menyebabkan kelelahan mata
Hasil uji statistik bivariat menunjukkan P value sebesar 0,029 yang berarti
ada hubungan yang bermakna antara intensitas pencahayaan dengan keluhan
kelelahan mata karyawan pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan
dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016. Secara keseluruhan
terdapat 22 orang karyawan (88,0%) yang mengalami keluhan kelelahan mata.
Menurut Sakdiah (2008) pencahayaan yang tidak memadai pada pekerjaan yang
memerlukan ketelitian akan menimbulkan dampak yang sangat terasa pada mata,
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada karyawan
pengguna komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2016 dapat disimpulkan :
1. Hasil pengukuran intensitas pencahayaan umum pada 2 unit ruang kerja di
Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara,
yaitu ruang Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan (140 lux) serta ruang
Konsultan Individual dan Perpustakaan (209 lux) menunjukkan bahwa kedua
ruangan tersebut memiliki pencahayaan buruk (< 300 lux).
2. Hasil pengukuran intensitas pencahayaan lokal pada 25 titik objek kerja
karyawan menunjukkan hasil sebanyak 22 titik (88,0%) memiliki pencahayaan
buruk (<300 lux).
3. Hasil penelitian pada 25 orang karyawan pengguna komputer di Satuan Kerja
Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Sumatera Utara sebanyak 22
orang (88,0%) mengalami kelelahan mata.
4. Hasil statistik (p value = 0,029 < 0,05) ada hubungan yang bermakna antara
intensitas pencahayaan dengan keluhan kelelahan mata karyawan pengguna
komputer di Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi
6.2 Saran
1. Bagi perusahaan seharusnya memberikan penerangan di ruangan kerja
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk meningkatkan kualitas
pencahayaan di ruang kerja dapat dilakukan dengan cara :
a. Gunakan armatur lampu berbentuk raster (sejajar) sehingga jumlah
cahaya lampu yang jatuh ke objek kerja maksimal.
b. Nyalakan lampu ruangan pada saat siang hari.
c. Gunakan tirai vertical blind berwarna putih.
2. Bagi karyawan, lakukan relaksasi mata minimal 5-10 menit setiap satu jam
penggunaan komputer untuk memotong rantai kelelahan sehingga akan
2.1 Pencahayaan
2.1.1 Pengertian Pencahayaan
Cahaya merupakan satu bagian berbagai jenis gelombang elektromagnetis
yang terbang ke angkasa dimana gelombang tersebut memiliki panjang dan
frekuensi tertentu yang nilainya dapat dibedakan dari energi cahaya lainnya dalam
spektrum elektromagnetisnya (Suhardi, 2008).
Menurut Kepmenkes No. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, pencahayaan adalah jumlah
penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
secara efektif. Pencahayaan memiliki satuan lux (lm/m²), dimana lm adalah
lumens dan m² adalah satuan dari luas permukaan.
Penerangan merupakan salah satu faktor fisik yang sangat penting untuk
mendapatkan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, juga mempunyai kaitan
erat dengan produktivitas. Dengan penerangan yang cukup pada objek penglihatan
akan membantu tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaannya dengan mudah
dan cepat. Cukup tidaknya intensitas penerangan secara objektif disesuaikan
dengan macam pekerjaan, tergantung pula ketajaman penglihatan pekerja yang
2.1.2 Sumber Pencahayaan
Secara umum sumber pencahayaan dibedakan menjadi dua, yaitu
pencahayaan alamiah dan pencahayaan buatan.
1) Pencahayaan Alamiah
Pencahayaan alamiah adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber
cahaya alami berupa cahaya matahari dengan intensitas bervariasi menurut
waktu, musim dan tempat. Menurut Tarwaka (2010) yang dikutip Sunandar
(2011) banyaknya sinar matahari yang dapat mencapai ruangan tempat kerja
tergantung pada jumlah dan arah sinar matahari, keadaan mendung yang dapat
menutup sinar matahari, letak lokasi gedung terhadap gedung lainnya,
lingkungan sekitarnya dan musim itu sendiri. Selain hal tersebut, kondisi
pencahayaan alami juga dipengaruhi oleh ukuran, orientasi dan kebersihan
jendela. Untuk mendapatkan cahaya matahari harus memperhatikan letak dan
lebar jendela. Luas jendela untuk penerangan alami sekitar 20% luas lantai
ruangan (Aryanti, 2006).
2) Pencahayaan Buatan
Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber cahaya
lain selain cahaya alami. Menurut Tarwaka (2010) yang dikutip Sunandar
(2011) menyebutkan bahwa sumber pencahayaan buatan yang utama adalah
bersumber dari energi listrik. Jumlah cahaya, warna cahaya itu sendiri dan
warna objek kerja berbeda-beda tergantung dari jenis sumber cahaya listrik
Menurut Wibiyanti (2008) fungsi pokok pencahayaan buatan di
lingkungan kerja baik yang diterapkan secara tersendiri maupun yang
dikombinasikan dengan pencahayaan alami adalah sebagai berikut :
a. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan penghuni melihat secara detail
serta terlaksannya tugas serta kegiatan visual secara mudah dan tepat.
b. Memungkinkan penghuni untuk berjalan dan bergerak secara mudah dan
aman.
c. Tidak menimbulkan pertambahan suhu udara yang berlebihan pada tempat
kerja.
d. Memberikan pencahayaan dengan intensitas yang tetap menyebar secara
merata, tidak berkedip, tidak menyilaukan dan tidak menimbulkan bayangan.
e. Meningkatkan lingkungan visual yang nyaman dan meningkatkan prestasi.
Dalam penggunaan penerangan listrik harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yakni sebagai berikut :
a. Penerangan listrik harus cukup intensitasnya sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan.
b. Penerangan listrik tidak boleh menimbulkan pertambahan suhu udara di
tempat kerja yang berlebihan. Jika hal itu terjadi, maka diusahakan suhu dapat
turun, misalnya dengan ventilasi, kipas angin dan lain-lain.
c. Sumber cahaya listrik harus memberikan penerangan dengan intensitas yang
tepat, menyebar, merata, tidak berkedip, tidak menyilaukan, serta tidak
Jenis-jenis lampu yang digunakan dalam pencahayaan buatan, antara lain :
a. Golongan Lampu Pijar (incandescence/bulb/bohlam)
Lampu pijar tergolong lampu listrik generasi awal yang masih digunakan
hingga saat ini. Jenis lampu pijar terdiri dari lampu filamen karbon, lampu
wolfram dan lampu halogen. Bola lampu pijar dibuat hampa udara atau berisi gas
mulia (Muhaimin, 2001). Pada umumnya lampu pijar memiliki cahaya berwarna
kekuningan yang menimbulkan suasana hangat, romantis dan akrab. Intensitas
cahaya pada lampu pijar lebih kecil dibandingkan lampu neon. Artinya, pada daya
(watt) yang sama, lampu neon menghasilkan cahaya lebih terang daripada lampu
pijar (Istiawan dan Kencana, 2006).
b. Golongan Lampu Berpendar (fluorescence/neon/TL)
Lampu ini umumnya disebut lampu neon. Pada dunia industri lampu ini
lebih dikenal dengan sebutan lampu TL. Cahaya lampu neon biasa berwarna
putih. Cahaya putih (cool light) memberikan efek dingin dan sejuk. Cahaya yang
dipancarkan lampu neon lebih terang dibanding lampu pijar dan halogen karena
lampu ini punya efficacy lebih tinggi dari lampu pijar (Istiawan dan Kencana,
2006).
2.1.3 Tipe Pencahayaan
Berdasarkan standar penerangan buatan di dalam gedung yang ditetapkan
oleh Departemen Pekerjaan Umum (1981) tipe pencahayaan dibedakan atas tiga
1) Pencahayaan Umum
Pencahayaan umum adalah pencahayaan secara umum dengan memperhatikan
karakteristik dan bentuk fisik ruangan, tingkat pencahayaan yang diinginkan
dan instalasi yang dipergunakan. Pencahayaan umum harus menghasilkan
iluminasi yang merata pada bidang kerja dan pencahayaan ini cocok untuk
ruangan yang tidak dipergunakan untuk melakukan tugas visual khusus.
2) Pencahayaan Terarah
Pencahayaan terarah berfungsi menyinari suatu tempat atau aktivitas tertentu
atau objek seni atau koleksi berharga lainnya. Sistem ini cocok untuk pameran
atau penonjolan suatu objek karena akan tampak lebih jelas.
3) Pencahayaan Setempat
Pencahayaan setempat lebih mengkonsentrasikan cahaya pada tempat tertentu,
misalnya tempat kerja memerlukan tugas visual dan tipe ini sangat bermanfaat
bagi pekerja dengan aktivitas pekerjaan sebagai berikut :
a. Pekerja yang melakukan pekerjaan teliti.
b. Pekerjaan yang mengamati bentuk dan benda yang memerlukan cahaya dari
arah tertentu.
c. Menunjang tugas visual yang pada mulanya tidak direncanakan untuk ruang
tersebut.
Berdasarkan SNI 03-6575-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem
Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung, sistem pencahayaan dapat
1) Sistem Pencahayaan Merata
Sistem ini memberikan tingkat pencahayaan yang merata di seluruh ruangan
digunakan jika tugas visual yang dilakukan diseluruh tempat dalam ruangan
memerlukan tingkat pencahayaan yang sama. Tingkat pencahayaan yang
merata diperoleh dengan memasang armatur secara merata langsung maupun
tidak langsung di seluruh langit-langit.
2) Sistem Pencahayaan Setempat
Sistem ini memberikan tingkat pencahayaan pada bidang kerja yang tidak
merata. Di tempat yang diperlukan untuk melakukan tugas visual yang
memerlukan tingkat pencahayaan yang tinggi, diberikan cahaya yang lebih
banyak dibandingkan dengan sekitarnya. Hal ini diperoleh dengan
mengkonsentrasikan penempatan armatur pada langit-langit di atas tempat
tersebut.
3) Sistem Pencahayaan Gabungan Merata dan Setempat
Sistem pencahayaan gabungan didapatkan dengan menambah sistem
pencahayaan setempat pada sistem pencahayaan merata, dengan armatur yang
dipasang di dekat tugas visual. Sistem pencahayaan gabungan dianjurkan
digunakan untuk :
a. Tugas visual yang memerlukan tingkat pencahayaan yang tinggi.
b. Memperlihatkan bentuk dan tekstur yang memerlukan cahaya datang dari
c. Pencahayaan merata terhalang, sehingga tidak dapat sampai pada tempat
yang terhalang tersebut.
d. Tingkat pencahayaan yang lebih tinggi diperlukan untuk orang tua atau
yang kemampuan penglihatannya sudah berkurang.
Gambar 2.1 Tipe Pencahayaan Gambar 2.2 Tipe Pencahayaan Gambar 2.3 Tipe Pencahayaan Merata Setempat Gabungan
Sumber: Artikel tentang Pencahayaan (repository.usu.ac.id)
2.1.4 Sistem Pencahayaan Tempat Kerja
Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek yang
dikerjakannnya secara jelas, tepat dan tanpa upaya yang tidak perlu (Suma’mur,
2009). Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan perencanaan sistem
pencahayaan di tempat kerja agar aktivitas kerja optimal serta meningkatkan
produktivitas.
Klasifikasi sistem pencahayaan dari sumber cahaya menurut Illuminating
Engineering Society (IES), antara lain:
1) Pencahayaan Tidak Langsung (Indirect Lighting)
Pada pencahayaan tidak langsung langit-langit merupakan sumber cahaya
bayangan. Pada sistem ini 90% hingga 100% cahaya dipancarkan ke
langit-langit ruangan sehingga yang dimanfaatkan pada bidang kerja adalah cahaya
pantulan. Pancaran cahaya pada penerangan tidak langsung dapat pula
dipantulkan pada dinding sehingga cahaya yang sampai pada permukaan
bidang kerja adalah pantulan dari cahaya dinding. Sistem ini menjadi tidak
efektif jika cahaya yang sampai ke langit-langit merupakan cahaya pantulan
dari bidang lain. Pencahayaan tipe ini diperlukan pada ruang gambar,
perkantoran, rumah sakit dan perhotelan.
Gambar 2.4 Pencahayaan Tidak Langsung
Sumber: Muhaimin (2001)
2) Pencahayaan Semi Tidak Langsung (Semi Indirect Lighting)
Distribusi cahaya pada pencahayaan ini mirip dengan distribusi pencahayaan
tidak langsung tetapi lebih efisisen dan kuat penerangannya lebih tinggi. Pada
sistem ini 60% hingga 90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas, selebihnya dipantulkan ke bagian bawah. Pada sistem ini masalah
bayangan tidak ada serta kesilauan dapat dikurangi. Pencahayaan jenis ini
diperlukan pada ruangan yang memerlukan modeling shadow, seperti toko
Gambar 2.5 Pencahayaan Semi Tidak Langsung
Sumber: Muhaimin (2001)
3) Pencahayaan Menyebar / Difus (General Diffus Lighting)
Pada pencahayaan difus distribusi cahaya ke atas dan kebawah relatif merata
sehingga termasuk sistem direct-indirect lighting. Pada sistem ini 40% hingga
60% cahaya diarahkan pada benda yang perlu disinari, sedangkan sisanya
dipantulkan ke langit-langit dan dinding. Pada sistem ini masalah bayangan
dan kesilauan masih ditemui. Pencahayaan difus menghasilkan cahaya teduh
dengan bayangan lebih jelas dibandingkan dengan bayangan yang dihasilkan
pencahayaan tidak langsung dan pencahayaan semi tidak langsung.
Penggunaan pencahayaan difus umumnya diperlukan pada tempat ibadah.
Gambar 2.6 Pencahayaan Difus
4) Pencahayaan Semi Langsung (Semi Direct Lighting)
Pencahayaan semi langsung termasuk jenis pencahayaan yang efisien. Pada
sistem ini 60% hingga 90% cahaya diarahkan ke bidang kerja selebihnya
diarahkan ke langit-langit. Penggunaan pencahayaan jenis ini biasa digunakan
pada kantor, ruang kelas dan tempat lainnya.
Gambar 2.7 Pencahayaan Semi Langsung
Sumber: Muhaimin (2001)
5) Pencahayaan Langsung (Direct Lighting)
Pada sistem ini 90% hingga 100% cahaya dipancarkan ke bidang kerja
sehingga terjadi efek terowongan (tunneling effect), yaitu timbulnya bagian
yang gelap di langit-langit tepat di atas lampu. Pencahayaan langsung dapat
diatur menyebar atau terpusat, tergantung reflektor yang digunakan. Sistem
pencahayaan langsung memiliki kelebihan, yaitu efisiensi penerangan tinggi,
memerlukan sedikit lampu untuk bidang kerja yang luas. Disisi lain
kelemahan dari sistem ini yaitu bayang-bayang gelap karena jumlah lampu
sedikit maka jika terjadi gangguan atau kerusakan akan sangat berpengaruh
Gambar 2.8 Pencahayaan Langsung
Sumber: Muhaimin (2001)
2.1.5 Standar Pencahayaan Tempat Kerja
Penerangan merupakan suatu aspek lingkungan fisik penting bagi
keselamatan kerja. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penerangan yang
tepat dan disesuaikan dengan pekerjaan berakibat produksi yang maksimal dan
ketidakefisienan yang minimal sehingga mengurangi terjadinya kecelakaan
(Suma’mur, 2009).
Standar intensitas pencahayaan yang ditetapkan oleh Illuminating
Engineering Society (IES), sebuah area kerja dapat dikatakan memiliki
pencahayaan yang baik apabila memiliki iluminasi sebesar 300 lux yang merata
pada bidang kerja. Apabila iluminasinya kurang atau lebih dari 300 lux, maka
dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam bekerja dan pada akhirnya
menurunkan kinerja pekerja (Fayrina, 2012). Sedangkan standar penerangan
menurut Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Tabel 2.1 Standar Tingkat Pencahayaan Menurut Kepmenkes No. 1405 Tahun 2002
Jenis Kegiatan Tingkat Pencahayaan Minimal (lux)
Keterangan
Pekerjaan kasar dan tidak terus menerus
100 Ruang penyimpanan dan
ruang peralatan / instalasi yang memerlukan
pekerjaan yang kontinyu. Pekerjaan kasar dan
terus menerus
200 Pekerjaan dengan mesin
dan perakitan kasar.
Pekerjaan rutin 300 R.administrasi, ruang
kontrol, pekerjaan mesin & perakitan / penyusun.
Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau
bekerja dengan mesin kantor, pekerja pemeriksaan atau pekerjan dengan mesin.
Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna,
pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus & perakitan halus.
Pekerjaan amat halus 1500
Tidak menimbulkan
2.1.6 Pengukuran Intensitas Pencahayaan
Intensitas dalam penerangan dinyatakan dalam satuan “lux”. Dalam
pengukuran intensitas pencahayaan alat yang digunakan adalah Luxmeter. Prinsip
photoelectric cell. Berdasarkan SNI 16-7062-2004 intensitas penerangan diukur
dengan 2 cara yaitu :
1) Pencahayaan Umum
Pada pencahayaan umum pengukuran dilakukan pada setiap meter persegi luas
lantai. Penentuan titik pengukuran umum meliputi titik potong garis horizontal
panjang dan lebar ruangan pada setiap jarak tertentu setinggi satu meter dari
lantai.
2) Pencahayaan Lokal
Pada pencahayaan lokal pengukuran dilakukan di tempat kerja atau meja kerja
pada objek yang dilihat oleh tenaga kerja. Pengukuran titik pengukuran lokal
meliputi objek kerja, berupa meja kerja maupun peralatan kerja.
2.2 Kelelahan Mata
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata
Mata merupakan organ untuk penglihatan dan sangat sensitif terhadap
cahaya karena terdapat photoreceptor. Impuls saraf dari stimulasi photoreceptor
dibawa ke otak bagian lobus oksipital di serebrum dimana sensasi penglihatan
diubah menjadi persepsi (Tarwoto dkk, 2009).
Mata dibentuk untuk menerima rangsangan berkas-berkas cahaya pada
retina, lantas dengan perantaraan serabut-serabut nervus optikus mengalihkan
rangsangan ini ke pusat penglihatan pada otak untuk ditafsirkan (Pearce, 2008).
Mata terletak dalam bantalan lemak yang dapat meredam guncangan.
Diameter bola mata manusia ± 2,5 cm. Mata dapat bekerja secara efektif
cahaya. Mata juga memiliki sistem pengendali tekanan otomatis yang
mempertahankan tekanan internalnya untuk mempertahankan bentuk bola mata
yaitu sekitar 1,6 kPa (12 mmHg).
Gambar 2.9 Anatomi Mata
Bagian-bagian yang terdapat dalam mata manusia (Tarwoto dkk, 2009), yaitu :
a. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat fibrosa yang kuat bewarna putih, buram dan
tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan yang disebut kornea. Sklera
memberi bentuk pada bola mata dan memberikan tempat melekatnya otot
ekstrinsik.
b. Kornea
Kornea merupakan jendela mata bentuknya transparan, terletak pada bagian
depan mata berhubungan dengan sklera. Bagian ini merupakan tempat
c. Lapisan Koroid
Memiliki pigmen berwarna coklat kehitaman dan merupakan lapisan
berpigmen. Warna gelap pada koroid berfungsi untuk mencegah refleksi atau
pemantulan sinar.
d. Iris
Iris merupakan perpanjangan dari korpus siliaris ke anterior, bersambungan
dengan permukaan lensa anterior.Iris tidak tembus pandang dan berpigmen.
Fungsi iris adalah mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam
mata dengan cara merubah ukuran pupil. Ukuran pupil dapat berubah karena
mengandung serat otot sirkuler yang mampu menciutkan pupil dan
serat-serat radikal yang menyebabkan pelebaran pupil.
e. Pupil
Pupil merupakan bintik tengah yang berwarna hitam, merupakan celah di
dalam iris. Pupil merupakan jalan masuknya cahaya untuk mencapai retina
(Pearce, 2008).
f. Lensa
Lensa mempunyai struktur bikonveks, tidak mempunyai pembuluh darah,
transparan dan tidak bewarna. Lensa berada dibelakang iris. Ruangan bagian
depan lensa berisi cairan yang disebut aqueous humor dan ruangan pada
bagian belakang lensa berisi cairan vitreous humor. Lensa berfungsi untuk
memfokuskan cahaya yang masuk ke depan retina melalui mekanisme
memfokuskan objek secara jelas pada jarak yang beragam (Tarwoto dkk,
2009).
g. Retina
Retina merupakan lapisan terdalam pada mata, melapisi 2/3 bola mata pada
bagian belakang. Retina merupakan bagian mata yang sangat peka terhadap
cahaya. Ada dua sel photoreceptor pada retina yaitu sel kerucut dan sel
batang. Pigmen pada sel kerucut berfungsi pada suasana terang atau pada
tingkat intensitas cahaya yang tinggi dan berperan dalam penglihatan di siang
hari. Sedangkan pigmen dalam sel batang berfungsi pada situasi yang kurang
terang atau pada malam hari. Pada sel kerucut terdapat tiga macam sel yang
peka terhadap warna merah, hijau dan biru. Kerusakan pada salah satu sel
kerucut akan menyebabkan buta warna (Tarwoto dkk, 2009). Selain itu,
terdapat dua buah bintik yaitu bintik kuning (fovea) dan bintik buta (blind
spot). Bintik kuning (fovea) berperan dalam penglihatan untuk melihat objek
yang lebih kecil seperti kegiatan membaca huruf kecil.
2.2.2 Pengertian Kelelahan Mata
Menurut Tarwaka (2004) kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan
tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan
setelah istirahat. Kelelahan mata adalah gangguan yang dialami mata karena
otot-ototnya yang dipaksa bekerja keras terutama saat harus melihat objek dekat dalam
jangka waktu lama (Padmanaba, 2006).
Kelelahan mata dapat dipengaruhi dari kuantitas iluminasi, kualitas
yang dapat berpengaruh pada kelelahan mata, penerangan yang tidak memadai
akan menyebabkan otot iris mengatur pupil sesuai dengan intensitas penerangan
yang ada. Kualitas iluminasi meliputi jenis penerangan, sifat fluktuasi serta warna
penerangan yang digunakan. Distribusi cahaya yang kurang baik di lingkungan
kerja dapat menyebabkan kelelahan mata. Distribusi cahaya yang tidak merata
sehingga menurunkan efisiensi tajam penglihatan dan kemampuan membedakan
kontras (Padmanaba, 2006).
2.2.3 Gejala Keluhan Kelelahan Mata
Kelelahan mata akibat dari pencahayaan yang kurang baik akan
menunjukkan gejala kelelahan mata. Kelelahan mata dapat dikurangi dengan
memberikan pencahayaan yang baik di tempat kerja.
Menurut Pusat Hyperkes dan Keselamatan Kerja (1995) yang dikutip
Nugroho (2009) gejala kelelahan mata yang sering muncul antara lain, kelopak
mata terasa berat, terasa ada tekanan dalam mata, mata sulit dibiarkan terbuka,
merasa enak kalau kelopak mata sedikit ditekan, bagian mata paling dalam terasa
sakit, perasaan mata berkedip, penglihatan kabur tidak bisa difokuskan,
penglihatan terasa silau, penglihatan seperti berkabut walau mata difokuskan,
mata mudah berair, mata pedih dan berdenyut, mata merah, jika mata ditutup
terlihat kilatan cahaya, kotoran mata bertambah, tidak dapat membedakan warna
sebagaimana biasanya, ada sisa bayangan dalam mata, penglihatan tampak ganda,
Menurut Sheedy (2004) yang dikutip Hanum (2008), sering dan lamanya
seseorang bekerja dengan komputer dapat mengakibatkan keluhan serius pada
mata. Keluhan yang sering diungkapkan oleh pekerja komputer adalah :
a. kelelahan mata yang merupakan gejala awal
b. mata terasa kering
c. mata terasa terbakar
d. pandangan menjadi kabur
e. penglihatan ganda
f. sakit kepala
g. nyeri pada leher, bahu dan otot punggung.
2.2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Mata Pengguna
Komputer
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kelelahan mata pada
pengguna komputer, antara lain :
a. Usia
Menurut National Aging Safety Database (NASD) usia yang semakin
lanjut mengalami kemunduran dalam kemampuan mata untuk mendeteksi
lingkungan. Hal ini akan meningkatkan risiko kecelakaan. Dengan bertambahnya
usia menyebabkan lensa mata berangsur-angsur kehilangan elastisitasnya dan
agak kesulitan melihat pada jarak dekat. Hal ini akan menyebabkan
ketidaknyamanan penglihatan ketika mengerjakan sesuatu pada jarak dekat,
demikian pula penglihatan jauh. Presbiopia atau kelainan akomodasi yang terjadi
Daya akomodasi merupakan kemampuan lensa mata untuk menebal atau
menipis sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangan jatuh tepat di retina
(Maryamah, 2011). Pada usia 20 tahun manusia pada umumnya dapat melihat
objek dengan jelas. Sedangkan pada usia 45 tahun kebutuhan terhadap cahaya
empat kali lebih besar.
Semakin tua seseorang, lensa semakin kehilangan kekenyalan sehingga
daya akomodasi makin berkurang dan otot-otot semakin sulit dalam menebalkan
dan menipiskan mata. Begitu pula sebaliknya, semakin muda seseorang kebutuhan
cahaya akan lebih sedikit dibandingkan dengan usia yang lebih tua dan
kecenderungan mengalami kelelahan mata lebih sedikit (Haeny, 2009).
Menurut Ilyas (2008) usia juga berpengaruh terhadap daya akomodasi.
Semakin tua usia seseorang, daya akomodasi akan semakin menurun. Jarak
terdekat dari suatu benda agar dapat dilihat dengan jelas dikatakan “titik dekat”
atau punktum proksimum. Pada saat ini mata berakomodasi sekuat-kuatnya atau
berakomodasi maksimum. Sedangkan jarak terjauh dari benda agar masih dapat
dilihat dengan jelas dapat dikatakan bahwa benda terletak pada “titik jauh” atau
punktum remotum dan pada saat ini mata tidak berakomodasi atau lepas
akomodasi.
b. Kelainan Refraksi Mata
1) Hipermetropia
Hipermetropia sering juga disebut sebagai rabun dekat. Pasien
hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan
memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di
daerah makula lutea. Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan
memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi
kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca
atau mempergunakan matanya terutama pada usia telah lanjut akan
memberikan keluhan kelelahan setelah membaca (Ilyas dan Yulianti,
2014).
2) Miopia
Pasien dengan miopia akan menyatakan lebih jelas bila melihat dengan
jarak dekat, sedangkan melihat jauh penglihatan kabur atau rabun jauh
(Ilyas dan Yulianti, 2014).
3) Astigmatisme
Astigmatisme merupakan suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak
dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan
sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik (Ilyas dan Yulianti, 2014).
4) Presbiopi
Dengan bertambahnya usia maka akan terjadi gangguan akomodasi pada
usia lanjut yang disebabkan oleh kelemahan otot akomodasi serta lensa
mata elastisitasnya berkurang akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan
akomodasi ini maka pada pasien berusia 40 tahun atau lebih akan
memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan