• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara In Vitro Dan In Vivo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara In Vitro Dan In Vivo"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 3 Karakteristik tumbuhan kelor (Moringa oleifera Lam.)

Tumbuhan kelor

(4)

Lampiran 3 (Lanjutan)

Simplisia daun kelor

(5)

Lampiran 4 Hasil pemeriksaan mikroskopik daun kelor

Mikroskopik penampang melintang daun kelor Perbesaran 10x40

Keterangan : 1. Kutikula 2. Epidermis atas 3. Jaringan palisade 4. Jaringan bunga karang 5. Berkas pembuluh 6. Epidermis bawah 7. Stomata

8. Kristal oksalat bentuk druse 9. Rambut penutup

1 2

3

4

6 7 8

(6)

Lampiran 4 (Lanjutan)

Mikroskopik serbuk simplisia daun kelor Perbesaran 10x40

Keterangan :

1. Rambut penutup

2. Stomata tipe anomositik pada epidermis bawah 3. Sel minyak

4. Kristal oksalat bentuk druse 5. Berkas pembuluh

2 1

3

4

(7)

Lampiran 5 Perhitungan hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia 1. Perhitungan Penetapan Kadar Air

a. Berat sampel = 5,018 g Volume air = 0,25 ml Kadar air = 0,25

5,081 � 100% = 4,98%

b. Berat sampel = 5,023 Volume air = 0,35 ml Kadar air = 0,35

5,023 x 100% = 6,96%

c. Berat sampel = 5,007 Volume air = 0,25 ml Kadar air = 0,25

5,007 x 100% = 4,99%

Kadar air rata-rata = (4,98+6,96+4,99)%

3 = 5,64%

No Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)

1 5,018 1,15 1,40

2 5,023 1,40 1,75

3 5,007 1,75 2,00

Kadar air simplisia = volume air

(8)

Lampiran 5 (Lanjutan)

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

a. Berat sampel = 5,009 g

Kadar sari rata-rata = (40,03 +37,57 +39,15)%

(9)

Lampiran 5 (Lanjutan)

3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

a. Berat sampel = 5,005 g

Kadar sari rata-rata = (16,98+11,99+17,97)%

(10)

Lampiran 5 (Lanjutan)

4. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

a. Berat sampel = 2,016 g Berat abu = 0,187 g Kadar abu = 0,187

2,016 x 100% = 9,27%

b. Berat sampel = 2,012 g Berat abu = 0,175 g Kadar abu = 0,175

2,012 x 100% = 8,69%

c. Berat sampel = 2,020 g Berat abu = 0,188 g Kadar abu = 0,188

2,020 x 100% = 9,30%

Kadar abu total rata-rata = (9,27+8,69+9,30)%

3 = 9,08%

Kadar abu total = berat abu

(11)

Lampiran 5 (Lanjutan)

5. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

a. Berat sampel = 2,016 g Berat abu = 0,017 g Kadar abu = 0,017

2,016 x 100% = 0,84%

b. Berat sampel = 2,012 g Berat abu = 0,016 g Kadar abu = 0,016

2,012 x 100% = 0,79%

c. Berat sampel = 2,020 g Berat abu = 0,021 g Kadar abu = 0,021

2,020 x 100% = 1,03%

Kadar abu total rata-rata = (0,84 + 0,79 + 1,03)%

3 = 0,88%

Kadar abu tidak larut asam = berat abu

(12)

Lampiran 6 Bagan kerja penelitian

Dipisahkan dari pengotornya Dicuci, ditiriskan dan dikeringkan Ditimbang

Dikeringkan pada suhu ± 40ºC Ditimbang

Diblender/dihaluskan

Dimaserasi dengan etanol 96%

Dipekatkan dengan

rotary evaporator

Diuji terhadap tikus Daun kelor

Daun kelor 3,8 kg

Simplisia 626,5 g

Serbuk daun kelor

Uji karakterisasi simplisia Skrining fitokimia Ekstrak cair

Ekstrak kental

Hasil Ekstrak etanol daun

(13)

Lampiran 7 Bagan pembuatan ekstrak

Dimasukkan ke dalam sebuah bejana Dituangi dengan pelarut etanol 96% dengan perbandingan 1 : 7,5

Ditutup

Dibiarkan selama 24 jam terlindung dari cahaya sambil sesekali di aduk

Diserkai, diperas

Dituang ke dalam perkolator

Direndam selama 24 jam terlindung dari cahaya

Dibiarkan menetes sebanyak 1 tetes per 3 detik

Ditampung tetesan ke dalam wadah terlindung dari cahaya hingga tetesan berwarna hampir bening

Dipekatkan dengan alat rotary

evaporator pada temperature ±40oC

Dipekatkan lagi dengan alat blow dryer 500 g serbuk simplisia

Ampas Maserat

Ekstrak cair

(14)

Lampiran 8 Bagan alur uji in vitro terhadap koagulasi darah tikus

Diaklitimatisasi selama 1 minggu Dianestesi menggunakan kloroform

Diambil darah sebanyak 2 ml dari jantung setiap ekor tikus

Dimasukkan ke dalam tabung sebanyak 0,5 ml untuk setiap perlakuan

Dimiringkan masing – masing tabung ±30o setiap 30 detik sekali

Diamati bekuan darah yang terbentuk selama 2 jam

(15)

Lampiran 8 (Lanjutan)

Diambil sebanyak 1 tetes pada masing – masing tabung

Diteteskan pada object glass dan dibuat sediaan hapusan darah Diamati spesimen darah

menggunakan mikroskop perbesaran 10x10 dan 10x100

Spesimen Darah

(16)

Lampiran 9 Bagan alur uji in vivo terhadap waktu perdarahan tikus

Diaklitimatisasi selama 1 minggu Ditimbang dan ditandai pada ekor Dihitung dosis untuk induksi masing masing perlakuan

Diinduksi dengan heparin dosis 450 IU/KgBB

Dibersihkan ujung ekor tikus dengan alkohol 70%

Dipotong ujung ekor tikus dengan pisau pemotong ± 4mm

Dihidupkan stopwatch

Dicatat waktu perdarahan tikus

Tikus diukur waktu perdarahan normal

Kelompok

Tikus dibagi dalam 5 kelompok

(17)

Lampiran 10 Alat, bahan, dan objek yang digunakan

Water Bath

(18)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Rak Tabung dan Tabung EDTA

(19)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Stopwatch

(20)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Mikroskop

(21)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Heparin Sodium Asam Traneksamat

(22)

Lampiran 10 (Lanjutan)

Spuit dan Oral Sonde

(23)

Lampiran 10 (Lanjutan)

(24)

Lampiran 11 Contoh perhitungan

Tabel Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan Mencit

a. Contoh perhitungan dosis heparin yang diberikan pada tikus secara intra peritoneal

1. Dosis manusia (berat 70 kg) = 5000 IU/ml Dosis tikus (berat 200 g) = 0,018 x 5000 IU

= 90 IU/200g = 450 IU/KgBB

2. Larutan Heparin []100 IU/ml dibuat dengan cara mengencerkan 2 ml Heparin dengan aquadest hingga 100 ml.

1 ml Heparin = 5000 IU

2 ml Heparin = 10.000 IU, maka 10.000 IU/100 ml = 100 IU/ml

3. Volume larutan Heparin yang akan diberikan pada tikus: (misal berat tikus 200 g)

Jumlah Heparin dosis = 200 �

(25)

Lampiran 11 (Lanjutan)

Volume larutan yang diberi = 90 ��

100 ��/�� = 0,9 ml

b. Contoh perhitungan dosis suspensi asam traneksamat 10% yang diberikan pada tikus secara per oral

1. Dosis asam traneksamat yang diberikan pada manusia 70 Kg adalah 94,5 mg/KgBB

2. Pembuatan suspensi asam traneksamat 10%

Ditimbang 1 gram asam traneksamat, digerus dalam lumpang. Kemudian ditambahkan sedikit larutan CMC 0,5% digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 10 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan larutan CMC 0,5% sampai garis tanda.

3. Volume suspensi asam traneksamat yang akan diberikan pada tikus: (misal berat tikus 200 g)

Asam Traneksamat dosis 94,5 mg/KgBB = 200 �

1000 �

x

94,5 mg = 18,9 mg

Volume larutan yang diberi = 18,9 ��

100 ��/�� = 0,189 ml

c. Contoh perhitungan dosis suspensi ekstrak etanol daun kelor 1% yang diberikan pada tikus secara per oral

1. Dosis suspensi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) yang diberikan adalah 100 mg/kg bb, 150 mg/KgBB dan 200 mg/kg bb

2. Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol daun kelor

(26)

sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan larutan CMC 0,5% sampai garis tanda. 3. Volume suspensi ekstrak etanol daun kelor 1% yang akan diberikan pada

tikus: (misal berat tikus 200 g)

Jumlah EEDK dosis 100 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 100 mg = 20 mg

Volume larutan yang diberi = 20 ��

10 ��/��

=

2 ml

Jumlah EEDK dosis 150 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 150 mg = 30 mg

Volume larutan yang diberi = 30 ��

10 ��/�� = 3 ml

Jumlah EEDK dosis 200 mg/kg bb = 200 �

1000 � x 200 mg = 40 mg

Volume larutan yang diberi = 40 ��

(27)

Lampiran 12 Contoh gambar spesimen darah tikus perbesaran 10 x 100

1. Eritrosit normal 3. Eritrosit saat pembekuan darah 2. Trombosit normal 4. Trombosit saat pembekuan darah

1

2

3

(28)

Lampiran 13 Data waktu perdarahan tikus

No Kelompok Tikus

Waktu Perdarahan (menit)

Normal Perlakuan

(29)

Lampiran 14 Hasil uji normalitas waktu pembekuan secara in vitro dan waktu perdarahan secara in vivo

Tests of Normalityb

Darah Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

b. Menit is constant when Darah = Darah + EDTA. It has been omitted.

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

a. Lilliefors Significance Correction

(30)

Lampiran 15 Hasil analisis ANOVA waktu pembekuan secara in vitro

Interval for Mean

Minimu

Between Groups 46089.250 3 15363.083 1923.391 .000

Within Groups 127.800 16 7.988

(31)

Lampiran 16 Hasil analisis Post Hoc waktu pembekuan secara in vitro

(32)

Lampiran 16 (Lanjutan)

Menit

Darah

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa Darah + EEDK 5 1.900

Darah Normal 5 4.700

Darah + EDTA + EEDK 5 28.800

Darah + EDTA 5 120.000

Sig. .424 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(33)

Lampiran 17 Hasil analisis ANOVA waktu perdarahan secara in vivo

Interval for Mean

Minimu

Interval for Mean

(34)

Lampiran 17 (Lanjutan)

ANOVA

Jam_2

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 89.217 4 22.304 34.314 .000

Within Groups 16.250 25 .650

(35)

Lampiran 18 Hasil analisis Post Hoc waktu perdarahan secara in vivo

Perlakuan Mean

Difference

EEDK_100 Kontrol

Negatif

EEDK_150 Kontrol

Negatif

EEDK_200 Kontrol

(36)

LSD Kontrol

EEDK_100 Kontrol

Negatif

EEDK_150 Kontrol

Negatif

EEDK_200 Kontrol

Negatif

(37)

Lampiran 18 (Lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.

(38)

Kontrol Positif .1667 .4655 .996 -1.200 1.534

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, F., Latif, S., Ashraf, M., dan Gilani, A.H. (2007). Moringa oleifera A Food Plant with Multiple Medicinal Uses. Phytother. Res. 21(1):17-125. Baldy, C.M. (2005). Gangguan Koagulasi. Dalam: Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Vol. I. Editor: Price, S.A., dan Wilson,

LM. Jakarta: EGC. Halaman 297-298.

Bowman, W.C., dan Rand, M.J. (2008). Textbook of Pharmacology. Edisi II. Melbourne: University of Melbourne Press. Halaman 213-219.

Dandjesso, C., Klotoe, J.R., Dougnon, T.V., Segbo, J., Gbaguidi, F., Fah, L., Fanou, B., Loko, F., dan Dramane, K. (2012). Phytochemistry and Hemostatic Properties of Some Medical Plants Sold as Anti-Hemorrhagic in Cotonou markets (Benin). Indian Journal of Science and Technology. 8(5): 3105-3109.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 7,33,744,748.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 7.

Dewoto, H.R. (2007). Antikoagulan, Antitrombotik, Trombolitik dan Hemostatik.

Dalam Buku Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: FK UI. Halaman

804–806, 816-819.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 300-306, 321, 325, 333-337.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan kesatu. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 10-11, 17, 31-32.

Fahey, J.W. (2005). Moringa oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1. Tree for Life

J. 1(1): 1-33.

Gaikwad, S.B., Mohan, G.K., dan Reddy, K.J. (2011). Moringa oleifera Leaves: Immunomodulation in Wistar Albino Rats. International Journal of

(40)

Garima, M., et al. (2011). Traditional uses, phytochemistry and pharmacological

properties of Moringa oleifera plant: An overview. Scholars Research

Library. Der Pharmacia Lettre, 2011, 3(2): 141-164.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Halaman 4-7.

Hart, H. (1990). Kimia Organik. Suatu Kuliah Singkat. Edisi VI. Jakarta: Erlangga. Halaman 352–353.

Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., dan Moss, P.A.H. (2005). Kapita Selekta

Hematologi. Penerjemah: Lyana Setiawan. Edisi IV. Jakarta: EGC.

Halaman 2-5, 221-237.

Integrated Taxonomic Information System. (2013). Moringa oleifera (Drumstick

Tree): Biological Classification and Name. Encyclopedia of Life

Newsletter. Tanggal akses 1 Juni 2015.

Katzung, B.G. (2014). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi XII. Jakarta: Salemba Medika: Halaman 395-415.

Karthika, S.M., Ravishankar, J., Mariajancyrani., dan Chandramohan, G.. (2013). Study on Phytoconstituents from Moringa oleifera leaves. Asian Journal

of Plant Science and Research. 3(4): 63-69.

Kelly, L. (2004). Essentials of Human Physiology for Pharmacy. Florida: CRC Press. Halaman 235.

Magdalena, M.M. (2015). Obat Herbal, Apakah Berbahaya?. Dalam situs

Mardiana, L. (2013). Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 47-71.

Muchtar, A., dan F.D. Suyatna. (2007). Obat Antiaritmia. Dalam Buku

Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Editor: Sulistia Gan. Jakarta: FK UI.

Halaman 338.

Mutschler, E. (2010). Dinamika Obat. Penerjemah: Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Edisi V. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 428-429. Neal, M.J (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta:

(41)

Page, C., et al. (2006). Integrated Pharmacology. London: Mosby Elsevier : Halaman 300.

Pandey, A., Pandey, R.D., Tripathi, P., Gupta, P.P., Haider, I., Bhat, S., dan Singh, A.W. (2012). Moringa oleifera Lam. (Sahjan) A Plant with a Plethorn of Diverse Therapeutic Benefits. An Updated Retrospection.

Medicinal Aroma Plants. 1(1): 1-8.

Pradana, I. (2013). Daun Sakti Penyembuh Segala Penyakit. Sleman: Octopus Publishing House. Halaman 23.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., Moore, P.K. (2003). Pharmacology. Fifth Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone. Halaman 328-329.

Roopalatha, U.C., dan Nail, V.M.G. (2013). Phytochemical Analysis of Successive Reextracts of the Leaves of Moringa oliefera Lam.

International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 5(3):

629-634.

Rosmiati, H., dan Gan, V.H.S., (2007). Koagulan dan Antikoagulan. Dalam: Famrakologi dan Terapi. Edisi V. Editor: Bambang Suharto, Udin Sjamsudin, Rianto Setiabudy, Arini Setiawati, Vincent H.S. Gan. Jakarta: FK UI. Halaman 265-267.

Sodamade, A., Bolaji, O. S., dan Adeboye, O.O. (2013). Proximate Analysis, Mineral Contents and Functional Properties of Moringa oleifera Leaf Protein Concentrate. IOSR Journal of Applied Chemistry. 4(6): 47-51. Sukandar, E.Y., Sigit. J.I., dan Fitriyani, N. (2008). Efek Antiagregasi Platelet

Ekstrak Air Bulbus Bawang Putih (Allium sativum L.), Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) dan Kombinasinya Pada Mencit Jantan Swiss Webster. Majalah Farmasi Indonesia. 19(1): 1-11. Sydney South West Area Health Service. (2007). Anticoagulation: Heparin and

Warfarin. Sydney: NSW-Health. Halaman 10.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. (2007). Obat – Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 624.

Tangkery, R.A.B., Paransa, D.S., dan Rumengan, A. (2013). Uji Aktivitas Antikoagulan Ekstrak Mangrove Aegiceras corniculatum. Jurnal Pesisir

dan Laut Tropis. 1(1): 7-14.

WHO (World Health Organization). (1998). Quality Control Methods For

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Penelitian eksperimenal bertujuan untuk mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang terkontrol. Penelitian ini meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera Lam), karakterisasi ekstrak etanol daun kelor, penyiapan hewan percobaan, pengujian efek koagulan secara in vivo dengan menentukan waktu perdarahan melalui metode Duke, pengujian efek koagulan secara in vitro dengan metode Lee-White dan metode Eustrek menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Analisis data berdasarkan metode analisis variansi (ANAVA) dengan tingkat kepercayaan 99% untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 18.

3.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat–alat gelas,

aluminium foil, kertas saring, lemari pengering, mikroskop elektrik (Boeco),

(43)

3.4 Bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kelor (Moringa oleifera). Bahan kimia yang digunakan adalah α-naftol, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, bismut (III) nitrat, ekstrak etanol daun kelor (EEDK), etanol 96%, heparin injeksi, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, CMC-Na (Carboxy Methyl Cellulose-Natrium), Na-EDTA (Etilen Diamin Tetra

Acid - Natrium), natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, raksa (II) klorida,

serbuk magnesium, tablet asam traneksamat, timbal (II) asetat, toluena.

3.5 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus 200-300 g dengan usia sekitar 2-3 bulan untuk metode Lee-White dan Eustrek secara in vitro, dan metode Duke secara in vivo.. Hewan percobaan ini sebelumnya telah diaklimatisasi selama satu minggu. Hewan dipelihara dalam kandang, diberi sekam, diberi pakan standar.

Hewan percobaan harus dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Depkes RI, 1979).

3.6 Pengambilan dan Pengolahan Tumbuhan 3.6.1 Pengumpulan tumbuhan

(44)

ini adalah daun kelor yang diperoleh dari Jl. Lestari, Desa Kualanamu, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.6.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.

3.6.3 Pembuatan simplisia

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kelor yang masih segar. Daun dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Selanjutnya, daun tersebut dikeringkan selama 3 hari dalam lemari pengering dengan temperatur 40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan di simpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk ditimbang (diperoleh berat kering sebanyak 712,1 gram).

3.6.4 Pembuatan ekstrak etanol daun kelor

Serbuk simplisia diperkolasi dengan etanol, dilakukan dengan cara:

(45)

atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat sejuk, terlindung dari cahaya. Enap tuangkan atau saring. Hasil perkolat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary

evaporator sehingga diperoleh ekstrak etanol (Depkes RI, 1979).

3.7 Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam.

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada daun segar dan simplisia meliputi pemeriksaan warna, bau, rasa, ukuran, dan bentuk daun kelor (WHO, 1998).

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun kelor segar dan serbuk simplisia daun kelor. Daun kelor dipotong melintang lalu diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloral hidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Begitu juga halnya pemeriksaan pada serbuk simplisia (WHO, 1998).

3.7.3 Penetapan kadar air

(46)

tabung penerima 5 mL berskala 0,05 mL, alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja :

Dimasukkan 200 mL toluena dan 2 mL air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 mL. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

(47)

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995). 3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

(48)

3.8 Skrining Fitokimia 3.8.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning

b. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat-hitam

c. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Ditjen POM, 1995).

3.8.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

(49)

flavonoida (glikosida-3-flavonol).

b. satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Ditjen POM, 1995).

3.8.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).

3.8.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1995). 3.8.5 Pemeriksaan saponin

(50)

selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).

3.8.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

3.9 Pembuatan Larutan dan Suspensi Bahan Uji

Pembuatan pereaksi mencakup pembuatan suspensi CMC-Na 0,5 %, pembuatan larutan EDTA 15%, larutan heparin 100 IU/ml, Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) secara titrasi, pembuatan suspensi asam traneksamat 10%, pembuatan suspensi EEDK 1% dosis 100 mg/kgBB, 150 mg/kg BB, dan 200 mg/kgBB.

3.9.1 Pembuatan suspensi CMC-Na 0,5 %

Sebanyak 0,5 g CMC-Na ditaburkan dalam lumpang yang berisi ±20 mL air suling panas. Didiamkan selama 15 menit lalu digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan air suling, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 mL, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 mL.

3.9.2 Pembuatan larutan EDTA 15%

(51)

3.9.3 Pembuatan larutan heparin 100 IU/ml

Sebanyak 2 ml heparin injeksi konsentrasi 5000 IU/ml dimasukkan ke dalam labu 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya dengan aqua proinjeksi hingga 100 ml.

3.9.4 Pembuatan suspensi asam traneksamat 10%

Sebanyak 20 tablet asam traneksamat generik 500 mg ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan dengan CMC-Na secukupnya dan dihomogenkan hingga terbentuk suspensi. Lalu dituangkan ke dalam labu tentukur, dan dicukupkan dengan CMC-Na hingga 100 ml. Suspensi dihomogenkan kembali dengan cara dikocok ringan.

3.9.5 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) 1%

Dalam pengujian akan digunakan 3 variasi dosis yakni dosis 100 mg/kgBB, 150 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB. Ditimbang 1 gram ekstrak etanol daun kelor, kemudian dimasukkan ke dalam lumpang. Ditambahkan tween 80 secukupnya lalu homogenkan. Kemudian tuang sedikit demi sedikit CMC-Na sambil digerus sampai homogen. Setelah homogen, dituangkan ke dalam labu tentukur dan dicukupkan dengan CMC-Na hingga 100 mL.

3.9.6 Penentuan konsentrasi ekstrak etanol daun kelor (EEDK) dengan prinsip titrasi dosis

(52)

menaikkan volume ekstrak pada 0,5 ml darah, mulai dari 10 μl, 20μl, 30μl, 40μl,

50 μl, 60 μl, 70 μl, 80 μl, 90 μl, 100 μl, 110 μl, 120 μl dan seterusnya hingga diperoleh konsentrasi di mana terjadi proses koagulasi darah, di mana volume ekstrak etanol daun kelor yang akan digunakan dalam 0,5 ml darah adalah jumlah di mana darah telah membeku (terbentuk gumpalan) di bawah waktu normal.

3.10 Uji Aktivitas Koagulan

Uji aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor dilakukan secara in vitro dan in vivo.

3.10.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro

Uji aktivitas koagulan secara in vitro dilakukan dengan metode Lee-White dan meotde Eustrek (hapusan darah).

3.10.1.1 Waktu koagulasi dengan metode Lee-White

Metode ini digunakan untuk menentukan masa koagulasi darah yang diamati secara visual. Pada pengujian ini, hewan percobaan berupa 5 ekor tikus putih jantan diambil darahnya 2 ml melalui pembedahan jantung, kemudian darah diisi ke dalam 4 tabung masing-masing sebanyak 0,5 ml.

Caranya adalah sebagai berikut:

a. tikus dianestesi, kemudian dibedah dan diambil darahnya dari jantung sebanyak 2 ml setiap 1 ekor tikus.

b. disiapkan 4 buah tabung yang bersih, masing-masing diberi label nomor 1 hingga nomor 4.

(53)

d. tabung nomor 2, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan EDTA 15% sebanyak 0,5 ml.

e. tabung nomor 3, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan Ekstrak Etanol Daun Kelor (EEDK) 1% sebanyak 100 μl

f. tabung nomor 4, berisi darah segar sebanyak 0,5 ml, kemudian ditambahkan EDTA 15% sebanyak 0,5 ml dan EEDK 1% sebanyak 100 μl.

Pada saat memasukkan bahan uji ke dalam setiap tabung, stopwatch dijalankan untuk melihat waktu koagulasi darah. Setiap 30 detik sekali, setiap tabung dimiringkan dan diamati koagulasi darah yang terjadi hingga terjadi koagulasi atau terbentuk gumpalan (clot) selama 2 jam. Waktu yang diperoleh digenapkan 30 detik (Tangkery, 2013).

3.10.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan Darah)

Metode ini dilakukan untuk melihat keadaan sel darah secara mikroskopik. Caranya adalah sebagai berikut:

a. disiapkan 4 buah kaca objek yang bersih dan bebas lemak, masing-masing diberi label nomor 1 sampai nomor 4.

b. diambil darah dari tabung nomor 1 sampai 4 setelah proses koagulasi menggunakan metode Lee-White ditotolkan pada ujung sisi kaca objek nomor 1 sampai nomor 4 secara berurutan.

(54)

d. diamati bentuk sel darah setelah koagulasi dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 10x10 dan 10x100 dan didokumentasikan dengan kamera.

3.10.2 Uji Aktivitas Koagulan Secara in vivo 3.10.2.1 Waktu perdarahan dengan metode Duke

Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok, masing–masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Tikus kelompok 1 hingga 5 diukur waktu perdarahan normal, kemudian diinduksi Heparin dengan dosis 450 IU/kgBB secara intraperitoneal. Satu jam setelah pemberian, diukur waktu perdarahannya lalu diberi perlakuan secara oral, sebagai berikut:

a. kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif yang diinduksi dengan heparin dosis 450 IU/KgBB dan diberi CMC Na 0,5%

b. kelompok 2 merupakan kelompok kontrol positif yang yang diinduksi dengan heparin dengan dosis 450 IU/kgBB dan diberikan asam traneksamat 10% dengan dosis 94,5 mg/KgBB.

c. kelompok 3, 4, dan 5 adalah kelompok perlakuan yang diinduksi dengan heparin dengan dosis 450 IU/kgBB dan dengan pemberian variasi dosis EEDK 1% yang berbeda yaitu 100 mg/kgBB, 150 mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB.

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi - LIPI, menyebutkan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah tumbuhan kelor (Moringa oliefera Lam.) Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2. Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Kelor

Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor

No Karakterisasi Hasil Persyaratan MMI

1 Penetapan kadar air 5,64 % < 10%

2 Penetapan kadar sari larut dalam air 38,91% > 5% 3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol 15,65% > 5%

4 Penetapan kadar abu 9,08% < 11%

5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,88% < 1%

(56)

maka akan mendorong pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur, serta mendorong kerusakan kandungan sel karena adanya proses hidrolisis (WHO,1998).

Penetapan kadar sari dilakukan terhadap dua pelarut, yaitu air dan etanol. Hasil karakterisasi simplisia daun kelor menunjukkan kadar sari larut dalam air adalah 38,91%, dan kadar sari larut dalam etanol 15,65%. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989) , kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut dalam etanol simplisia daun kelor sama-sama tidak boleh kurang dari 5%, hal ini berarti kadar sari larut dalam air dan etanol simplisia daun kelor memenuhi persyaratan karakterisasi simplisia.

Penetapan kadar abu pada serbuk simplisia daun kelor menunjukkan nilai sebesar 9,08 %. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989), kadar abu pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 11%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka simplisia daun kelor memenuhi persyaratan karakterisasi simplisia.

Hasil penetapan kadar abu tidak larut dalam asam yang diperoleh dari simplisia daun kelor adalah sebesar 0,88 %. Menurut Materia Medika Indonesia edisi 5 (1989), kadar abu tidak larut dalam asam pada simplisia daun kelor tidak boleh melebihi 1%, maka hasil yang diperoleh memenuhi syarat karakterisasi simplisia.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

(57)

pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, saponin, tanin, steroid/triterpenoid, dan flavonoid. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelor

No Skrining Fitokimia

Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid + +

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Tanin + +

5 Saponin + +

6 Steroid/Triterpenoid + +

Keterangan : (+) = positif (-) = negatif

Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang telah diperoleh pada Tabel 3.2, maka golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia daun kelor dan ekstrak etanol daun kelor adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid.

4.4 Hasil Uji Aktivitas Koagulan Ekstrak Etanol Daun Kelor

Hasil uji aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor dilakukan secara in

(58)

4.4.1 Uji aktivitas koagulan secara in vitro

4.4.1.1 Hasil waktu koagulasi dengan metode Lee-White

Pengujian aktivitas koagulan ekstrak etanol daun kelor secara in vitro dilakukan dengan metode Lee-White dengan mengukur waktu pembekuan darah yang diamati selama 2 jam (120 menit). Sampel penelitian berupa darah segar diperoleh dari tikus yang dianestesi, kemudian dibedah dan diambil darahnya dari jantung sebanyak 0,5 ml untuk setiap tabung (total berupa 4 tabung, berarti darah yang diambil dari setiap ekor tikus adalah 2 mL). Sebelumnya tabung telah disiapkan sesuai perlakuan. Stopwatch dijalankan setelah darah dimasukkan ke dalam tabung. Setiap 30 detik sekali, tabung dimiringkan untuk mengamati terbentuknya clot/gumpalan. Waktu dihentikan ketika mulai terbentuk clot yang cukup besar. Hasil yang diperoleh pada uji aktivitas koagulan berupa parameter waktu pembekuan darah dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Waktu pembekuan darah tikus secara in vitro

N

Keterangan Tabel 4.3

(#) Berbeda tidak bermakna terhadap darah normal (p > 0,05)

(59)

Darah pada tabung perlakuan normal mengalami pembekuan dengan waktu rata – rata 4,7 ± 0,83 menit. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa waktu pembekuan darah normal adalah 4 – 8 menit.

Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EDTA tidak mengalami pembekuan setelah diamati selama 120 menit. EDTA merupakan suatu antikoagulan yang bekerja dengan cara mengikat kalsium, yang merupakan salah satu faktor pembekuan darah (Dewoto, 2007), sehingga tidak terjadi pembekuan sama sekali pada tabung 2, karena kalsium telah diikat oleh EDTA.

Darah pada tabung yang ditambahkan dengan EEDK 1% memiliki rata– rata waktu pembekuan selama 1,9 ± 1,11 menit, hal ini menunjukkan bahwa EEDK mampu mempersingkat waktu koagulasi darah yang lebih cepat bila dibandingkan dengan waktu pembekuan normal. Menurut Sodamade (2013), kandungan kalsium daun kelor cukup tinggi, yaitu 723 mg/ 100 g. Menurut Mutschler (2010), kandungan kalsium yang tinggi dapat mempercepat terbentuknya trombin dan akan merangsang terbentuknya benang fibrin, sehingga darah dapat membeku.

(60)

Berdasarkan analisis menggunakan ANOVA satu arah, terdapat perbedaan yang signifikan antar ke empat perlakuan tersebut, yaitu darah normal, darah + EDTA, darah + EEDK, dan darah + EDTA + EEDK (p < 0,05).

Perbandingan waktu pembekuan dapat ditunjukkan pada grafik garis dengan parameter waktu pembekuan darah secara in vitro pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Waktu pembekuan darah secara in vitro

Maka dari keempat perlakuan tersebut, perlakuan yang paling cepat dalam mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EEDK, diikuti kelompok darah normal, kemudian kelompok darah + EDTA + EEDK, dan yang tidak mampu mengkoagulasikan darah adalah kelompok darah + EDTA.

4.4.1.2 Koagulasi secara mikroskopik dengan teknik Eustrek (hapusan darah)

Metode ini dilakukan untuk melihat keadaan sel darah setelah pengamatan 2 jam dengan metode Lee-White secara mikroskopik. Sel darah diambil sebanyak 1 tetes menggunakan pipet tetes dan diteteskan pada object glass, kemudian dibuat sediaan hapusan darah dan ditutup atasnya dengan deck glass sehingga

0

Darah Normal Darah + EDTA

(61)

hasilnya akan melebar. Hasil pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik dengan menggunakan suspensi EEDK dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan bentuk sel darah secara mikroskopik dengan 4 perlakuan berbeda

No Perlakuan Hasil Pengamatan

1 Darah Normal

Sel darah membeku ditandai dengan mengalami lisis (sel darah pecah dan tidak berbentuk oval) dan saling melekat membentuk kelompok yang padat satu sama lain

2 Darah + EDTA

Sel darah tidak mengalami pembekuan ditandai dengan bentuk sel darah yang normal dan tidak terdapat perlekatan satu sama lain

3 Darah + EEDK

Sel darah membeku ditandai dengan tampak padat dan berkelompok, terlihat adanya benda mikroskopik lain selain sel darah

4 Darah + EDTA + EEDK

(62)

Berikut adalah gambar mikroskopik pengamatan sel darah tabung 1 hingga 4 pada perbesaran 10x10 dan 10x100 yang dapat dilihat pada Gambar 4.2

1a 1b

2a 2b

3a 3b

Sel darah membeku

Sel darah tidak membeku

Gambar 4.2 Bentuk Mikroskopik sel darah

Sel darah membeku

4a 4b

Keterangan : a = perbesaran 10 x 10

Sel darah membeku Sel darah

tidak membeku

(63)

Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diamati bahwa pada gambar 1a (darah normal), sel darah tampak saling melekat satu sama lain dan membentuk kelompok. Pada gambar 1b, sel darah tampak lisis dan saling melekat satu sama lain. Menurut Majerus (2008), proses pembekuan darah mula–mula diawali dengan melekatnya platelet pada makromolekul di sekitarnya, diikuti dengan terjadinya agregasi platelet dan membentuk agregat platelet. Tangkery (2013), mengemukakan bahwa pada saat terjadi pembekuan, sel darah merah saling melekat satu sama lain, dinding sel dapat hancur dan tidak memiliki bentuk lagi.

Berdasarkan Gambar 4.2 juga dapat diamati bahwa pada gambar 2a (darah + EDTA), sel darah tampak seperti titik kecil dan tidak jelas, tetapi pada gambar 2b, sel darah tampak normal dan tidak melekat satu sama lain. Menurut Majerus (2008), Pembekuan darah dapat dicegah jika ke dalamnya ditambahkan senyawa pengkelat seperti asam etilendiamintetraasetat (EDTA) untuk mengikat ion Ca2+ (kalsium). Di mana kalsium merupakan salah satu faktor pembekuan darah.

Pada gambar 3a (darah + EEDK), sel darah tampak padat dan berkelompok, serta memiliki warna kecoklatan. Pada gambar 3b perbesaran difokuskan pada daerah di mana sel darah tidak terlalu padat atau dapat diamati, terdapat ekstrak dan sel darah tampak mengalami lisis dan terbentuk agregasi platelet pada daerah di sekitar kristal jarum tersebut.

(64)

diberikan bersamaan dengan EDTA sebagai antikoagulan. 4.4.2 Uji Aktivitas Koagulan Secara in vivo

Berikut adalah hasil uji waktu perdarahan dengan metode Duke secara in

vivo.

4.4.2.1 Hasil waktu perdarahan dengan metode Duke

(65)

Tabel 4.5 Hasil waktu perdarahan tikus secara in vivo

Keterangan Tabel 4.5

(#) Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (p < 0,05) (##) Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (p ≥ 0,05) (*) Berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p < 0,05) (**) Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol positif (p ≥ 0,05) (p) Signifikansi

No Kelompok Waktu Perdarahan ± SD (menit)

Normal Perlakuan 1 jam

1 Kontrol Negatif

CMC-Na

2 Kontrol Positif

(66)

Gambar grafik dari rata–rata hasil pengukuran waktu perdarahan secara in

vivo dapat diamati pada Gambar 4.3

Gambar 4.3 Waktu perdarahan secara in vivo

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa terjadi penurunan lama waktu perdarahan pada tikus kelompok kontrol negatif, yaitu tikus tanpa perlakuan dan hanya diinduksi dengan heparin. Waktu perdarahan terus meningkat dari 1 jam setelah induksi (perlakuan) hingga 1 jam setelah perlakuan dimulai dari normal 4 ± 0,71 menit, lalu meningkat berturut - turut menjadi 8,17 ± 0,61 menit dan 14,92 ± 2,01 menit, tetapi waktu perdarahan mulai menurun pada 2 jam setelah perlakuan, menjadi 11,17 ± 0,98 menit. Menurut Mutschler (2010), lama waktu perdarahan menurun pada 2 jam setelah perlakuan yang dapat disebabkan karena heparin memiliki waktu paruh yang singkat dan diuraikan dengan cepat dalam tubuh organisme. Hal ini didukung oleh Sydney

South West Area Health Service (2007) yang menyatakan bahwa waktu paruh 4

(1 jam setelah induksi)

1 jam setelah perlakuan

2 jam setelah perlakuan

Kontrol Negatif Kontrol Positif EEDK

(67)

heparin sangat singkat, yaitu sekitar 60 menit, sehingga parameter pengamatan setelah perlakuan hanya dilakukan 2 jam, berarti parameter pengamatan setelah induksi adalah 3 jam.

Hasil uji normalitas menunjukkan tidak adanya perbedaan pada pengukuran waktu perdarahan normal (p ≥ 0,05) dan waktu perdarahan setelah induksi heparin 1 jam (p ≥ 0,05) pada kelima kelompok, dengan kata lain data terdistribusi normal sebelum diberi perlakuan.

(68)

bekerja dengan cara mengaktikan plasminogen dan mencegah fibrinolisis, sehingga asam traneksamat dapat digunakan sebagai kontrol positif.

Berdasarkan hasil analisa statistik ini juga terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan EEDK dosis 100, 150 dan 200 mg/KgBB (p < 0,05) pada 1 jam setelah perlakuan. Untuk EEDK dosis 150 dan 200 mg/KgBB tetap memiliki nilai p < 0,05 pada 2 jam setelah perlakuan yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan, tetapi kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara signifikan dengan dosis 100 mg/KgBB (p ≥ 0,05) pada 2 jam setelah perlakuan. Menurut Setiawati (2007), potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya potensi ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor dan afinitas obat terhadap reseptor. Dalam hal ini yang dibahas adalah efek kandungan kimia dari EEDK yang memiliki aktivitas sebagai koagulan, yaitu pyrocatechol. Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan efek koagulan, tetapi pada 2 jam setelah perlakuan, analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan kontrol negatif. Hasil yang diperoleh ini dapat disebabkan efek EEDK dosis 100 mg/KgBB telah mengalami proses farmakokinetik dan kadarnya telah menurun pada 2 jam setelah perlakuan sehingga efek yang ditimbulkan tidak begitu kuat bila dibandingkan dengan EEDK dosis 150 dan 200 mg/KgBB pada 2 jam setelah perlakuan.

(69)

kontrol positif yang diberikan asam traneksamat 10% yang memiliki lama waktu perdarahan 4,75 ± 0,98 menit, dengan kelompok uji yang diberikan EEDK dosis 100 mg/kgBB dan 150 mg/KgBB (p < 0,05) yang memiliki lama waktu perdarahan berturut-turut 8 ± 0,89 menit dan 6,33 ± 0,88 menit. Perbedaan ini dapat disebabkan karena efek asam traneksamat sebagai kontrol positif memiliki efek yang lebih kuat sebagai koagulan bila dibandingkan dengan EEDK dosis 100 mg/KgBB dan 150 mg/KgBB. Kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara signifikan dengan EEDK dosis 200 mg/KgBB (p ≥ 0,05), hal ini menunjukkan bahwa EEDK dosis 200 mg/KgBB memiliki aktivitas koagulan yang hampir menyamai efek asam traneksamat pada pengamatan waktu perdarahan 2 jam setelah perlakuan. Daun kelor memiliki kandungan tanin terkondesasi, khususnya pyrocatechol, di mana menurut Dandjesso (2012), tanin merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang memiliki efek dalam pro-koagulasi darah pada suatu ekstrak. Tanin apabila digunakan secara oral dapat bersifat vasoprotektif. Tanin juga memiliki efek adstringen, yaitu vasokonstriksi pada pembuluh darah kecil yang merupakan salah satu parameter penting dalam hemostasis, sehingga tanin dapat bermanfaat sebagai hemostatik.

(70)

Pada 1 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan waktu perdarahan berupa 9,67 ± 2,16 menit, EEDK dosis 150 mg/KgBB berupa 6,42 ± 1,07 menit, dan EEDK dosis 200 mg/KgBB berupa 5,75 ± 0,94 menit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis, semakin besar efek koagulan yang dimiliki oleh EEDK, karena semakin banyak kandungan pyrocatechol yang dioralkan pada hewan percobaan. Pada 2 jam setelah perlakuan, EEDK dosis 100 mg/KgBB memberikan waktu perdarahan berupa 8 ± 0,89 menit, EEDK dosis 150 mg/KgBB berupa 6,33 ± 0,88 menit, dan EEDK dosis 200 mg/KgBB berupa 4,92 ± 0,67 menit.

(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. ekstrak etanol daun kelor memiliki aktivitas koagulan dengan mempersingkat parameter waktu pembekuan darah menggunakan metode Lee-White secara in vitro bila dibandingkan dengan normal.

b. sel darah yang mengalami pembekuan tampak memadat dan melekat satu sama lain ketika diamati secara mikroskopik dengan teknik eustrek (hapusan darah) secara in vitro.

c. ekstrak etanol daun kelor memiliki aktivitas koagulan dengan mempersingkat waktu perdarahan tikus yang diinduksi heparin dengan metode Duke secara in vivo.

5.2 Saran

Saran dari penelitian ini untuk penelitian selanjutnya adalah:

a. dilakukan uji aktivitas koagulan ektrak etanol daun kelor secara in vivo dengan jenis pelarut yang berbeda, seperti air atau metanol.

b. dilakukan uji ekstrak etanol daun kelor terhadap penghitungan jumlah trombosit secara in vitro menggunakan alat cell dyne.

(72)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman yang berasal dari dataran sepanjang sub Himalaya, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Kelor dibudidayakan dan telah beradaptasi dengan baik di luar daerah asalnya, termasuk bagian barat, timur, dan selatan Afrika, Asia, tropis, Amerika Latin, Karibia, Florida, dan Kepulauan Pasifik (Fahey, 2005).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Menurut Integrated Taxonomic Information System (2013), taksonomi tanaman kelor adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lam. 2.1.2 Nama lain

(73)

asing dari kelor adalah horse radish tree, drumstick tree, benzolive tree, (Inggris),

mulangay (Filipina), mionge (Tanzania), moonga (India), sajna (Bangladesh)

(Mardiana, 2013).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

Kelor merupakan tanaman yang tinggi pohonnya dapat mencapai 12 meter dengan diameter 30 cm; berakar tunggang berwarna putih yang membesar seperti lobak; mempunyai batang bulat dengan arah tumbuh lurus ke atas dan permukaannya kasar. Percabangan pada batangnya terjadi secara simpodial; daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling; helai daun saat muda berwarna hijau muda, setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 – 3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, dan tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip, permukaan atas dan bawah halus; bunga berwarna putih agak krem, menebar aroma khas; buah bentuk segitiga memanjang berwarna coklat setelah tua; biji berbentuk bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna cokelat kehitaman ketika polong matang dan kering. Bagian kayu warna cokelat muda atau krem berserabut (Anwar, et al., 2007).

Tanaman kelor bisa tumbuh subur di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, sehingga budidaya tanaman kelor ini bisa dilakukan di semua wilayah (Pradana, 2013).

2.1.4 Kandungan kimia

(74)

C, zat besi, kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin/steroid, polisakarida, asam amino, serta kandungan polifenol lainnya (Gaiwad, et al, 2011).

Selain itu, daun kelor juga mengandung nitril glikosida, yaitu niazirin dan niazirinin; three mustard oil glycosides, seperti 4 [(4’-O-acetyl-α -L-rhamnosyloxy) benzyl], isotiosianat, niaziminin A dan niaziminin B; asam-asam fenolik, seperti asam gallat, klorogenik, asam ferulat, dan asam ellegat; flavonoid (kaempferol, quercetin, dan rutin) dan karatenoid (terutama lutein dan β–karoten) (Pandey, et al., 2012).

2.1.5 Khasiat dan penggunaan tumbuhan

Pemanfaatan tanaman kelor cukup beragam. Kelor biasanya ditanam sebagai bahan sayur, dan tanaman pagar. Selain itu, dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi dan kambing. Kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Akar kelor ampuh menyembuhkan nyeri, rematik, sariawan, dan asma. Kulit akar juga mujarab mengatasi pembengkakan dan sariawan. Sementara kulit batang dapat digunakan untuk pelancar haid, flu, dan sariawan. Ramuan daun kelor dapat membantu penyembuhan pembengkakan limpa, penurunan kadar gula darah, dan meningkatkan nafsu makan. Selain itu, daun juga bersifat diuretik serta dapat menangani panas dalam, anemia dan memperlancar susu ibu. Berbagai penelitian yang telah dilakukan seperti antioksidan, urolitiasis, hepatoprotektor, immunomodulator, hipokolesterolemik (penurun kolesterol), dan hipoglikemik (penurun kadar gula darah) (Mardiana, 2013).

(75)

batuk dan dalam dosis tinggi sebagai obat muntah. Daun yang telah dimasak dapat digunakan sebagai obat influenza. Ekstrak (dekog) dapat digunakan untuk pengobatan sakit tenggorokan (Garima, 2011).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

Hasil ekstraksi disebut ekstrak, yaitu sediaan kental atau cair yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan pelarut yang sesuai kemudian menguapkan semua atau hampir semua pelarut yang digunakan pada ekstraksi (Depkes RI, 1995).

Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu cara dingin dan cara panas.

2.2.1 Cara Dingin a. Maserasi

(76)

kinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat (Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Cara Panas a. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.

b. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.

c. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. d. Infundasi

(77)

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM, 2000).

2.3 Hemostasis dan Koagulasi

Hemostasis dan koagulasi adalah serangkaian kompleks reaksi yang menyebabkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit dan bekuan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan diikuti dengan penghancuran bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan hemostatik, hemostasis dan koagulasi melindungi individu dari perdarahan akibat trauma. Pada keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau trombosis yang menyumbat cabang-cabang pembuluh darah (Baldy, 2005).

Hemostasis merupakan proses penghentian perdarahan secara spontan pada pembuluh darah yang cedera. Dalam proses tersebut berperan faktor-faktor pembuluh darah, trombosit dan faktor pembekuan darah. Dalam proses ini pembuluh darah akan mengalami vasokontriksi, trombosit akan beragregasi membentuk sumbat trombosit oleh fibrin yang dibentuk melalui proses pembekuan darah akan memperkuat sumbat trombosit yang telah terbentuk sebelumnya.

(78)

sehingga dapat membantu menghambat aliran darah dari pembuluh darah yang luka dan agregasi trombosit dapat lebih baik (Bowman dan Rand, 2008).

2.4 Hemostatik

Hemostatik terbagi dua, yaitu hemostatik lokal dan hemostatik sistemik. 2.4.1 Hemostatik lokal

Hemostatik lokal dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan mekanisme hemostatiknya, yaitu:

2.4.1.1 Hemostatik serap

Hemostatik serap (absorbable hemostatics) menghentikan pendarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan atau memberikan jala serat – serat yang mempermudah pembekuan bila diletakkan langsung pada permukaan yang berdarah. Adanya kontak pada permukaan asing, trombosit akan pecah dan membebaskan faktor pembekuan darah yang memulai proses pembekuan darah. Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari pembuluh darah yang kecil saja, misalnya kapiler, dan tidak efektif untuk menghentikan perdarahan arteri atau vena yang tekanan intravaskularnya cukup besar. Termasuk dalam kelompok ini antara lain spons gelatin, oksisel (selulosa oksida), dan busa fibrin insani (human fibrin foam) (Dewoto, 2007).

2.4.1.2Adstringen

(79)

perdarahan kapiler, tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan vasokontriktor yang digunakan lokal (Dewoto, 2007).

2.4.1.3Koagulan

Obat ini pada penggunaan lokal dapat menimbulkan hemostasis dengan dua cara, yaitu mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin (aktivator protrombin) dan secara langsung menggumpalkan fibrinogen. Sediaan trombin tidak boleh langsung disuntikkan secara i.v., sebab segera menimbulkan pembekuan dengan bahaya emboli (Dewoto, 2007).

2.4.1.4Vasokonstriktor

Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokonstriksi, dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan. Vasopressin, yang dihasilkan oleh hipofisis, pernah digunakan untuk perdarahan pasca persalinan (Dewoto, 2007).

2.4.2 Hemostatik sistemik

Transfusi darah dapat menghentikan perdarahan dengan segera. Hal ini dapat terjadi karena pasien mendapatkan semua faktor pembekuan darah yang terdapat dalam darah transfusi. Perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi faktor pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan mengganti/memberikan faktor pembekuan yang berkurang (Dewoto, 2007).

Beberapa contoh hemostatik sistemik, yaitu: 2.4.2.1Vitamin K

(80)

(2003), yang mengatakan bahwa Vitamin K merupakan faktor yang penting untuk pembentukan faktor pembekuan II, VII, IX, dan X.

Vitamin K merupakan suatu vitamin yang larut dalam lemak, kebutuhannya dalam diet rendah karena vitamin ini secara tambahan disintesis oleh bakteria yang berkoloni pada usus manusia. Ada dua bentuk vitamin K, yaitu vitamin K1 dan vitamin K2. Vitamin K1 ditemukan dalam makanan dan disebut phytonadione. Vitamin K2 ditemukan pada jaringan manusia yang disintesis

bakteria usus dan disebut menaquinone (Katzung, 2014). 2.4.2.2Asam Aminokaproat

Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan dalam menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah, oleh karena itu asam aminokaproat dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan (Dewoto, 2007). Aminocaproic acid merupakan suatu penghambat fibrinolisis. Agen ini secara kompetitif menghambat aktivitas plasminogen dan dengan cepat diserap secara oral dan dibersihkan dari tubuh melalui ginjal (Katzung, 2014).

2.4.2.3Asam Traneksamat

(81)

Obat ini merupakan analog asam aminokaproat, mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama dengan asam aminokaproat, tetapi 10 kali lebih potent dengan efek samping yang lebih ringan (Dewoto, 2007).

Asam traneksamat termasuk obat golongan antifibrinolitik dan hemostatik. Obat ini bekerja dengan cara menonaktifkan plasminogen dan mencegah fibrinolisis. Asam traneksamat dapat diberikan secara oral atau melalui injeksi intravena. Asam traneksamat juga digunakan untuk pengobatan berbagai kondisi yang berhubungan dengan perdarahan atau resiko perdarahan, seperti perdarahan yang terjadi setelah prostatektomi atau pencabutan gigi, menstruasi (perdarahan menstruasi yang parah) atau perdarahan yang dapat mengakibatkan kematian yang berkaitan dengan penggunaan obat – obat trombolitik. Asam traneksamat juga digunakan pada pasien dengan penyakit keturunan seperti angiodema (Rang, 2003).

2.5 Antikoagulan

Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembekuan atau fungsi beberapa faktor pembekuan darah.

2.5.1 Antikoagulan oral

(82)

tidak seperti heparin yang diberikan secara suntikan. Warfarin secara umum diberikan sebagai garam natrium (Katzung, 2014).

2.5.2 Heparin

Gambar 2.2 Rumus Kimia Heparin

Heparin merupakan suatu glikosaminoglikan yang ditemukan pada granul sekresi sel-sel mast dan banyak terdapat di paru-paru. Dalam keadaan normal, heparin tidak dapat dideteksi dalam darah. Efek antikoagulan heparin timbul karena ikatannya dengan AT-III (Anti Trombin III). AT-III berfungsi menghambat protease faktor pembekuan termasuk faktor IIa (trombin), Xa dan IXa, dengan cara membentuk kompleks yang stabil dengan protease faktor pembekuan. Heparin memiliki berat molekul 5.000 – 30.000 dan memiliki afinitas kuat dengan antitrombin dan menghambat nyata pembekuan darah. (Dewoto,2007).

(83)

trombin yang hampir instan (Neal, 2006).

Pemberian secara subkutan dapat diberikan dengan dosis 5000 unit setiap 8-12 jam. Karena bahaya pembentukan hematoma pada tempat penyuntikan, heparin jangan pernah diberikan secara intramuskular. Heparin dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang hipersensitif pada obat tersebut, pasien dengan perdarahan aktif atau dengan hemofilia dan trombositopenia. Kerja antikoagulan yang berlebihan dari heparin diatasi dengan penghentian pemakaian obat tersebut. Jika perdarahan terjadi, pemberian suatu antagonis seperti protamin sulfat diindikasikan. Protamin merupakan suatu peptida yang sangat basa yang dikombinasikan degnan heparin sebagai suatu pasangan ion untuk membentuk suatu kompleks stabil tanpa aktivitas antikoagulan (Katzung, 2014).

2.5.3 Penarikan ion kalsium

(84)

2.6. Faktor-Faktor Pembekuan Darah

Menurut Baldy (2005), faktor-faktor pembekuan darah terdiri dari: Tabel 2.1 Faktor-faktor pembekuan darah

Faktor Pembekuan

Nama Faktor

Pembekuan Keterangan

I Fibrinogen Prekursor fibrin (protein terpolimerisasi) II Protrombin Prekursor enzim proteolitik trombin

III Tromboplastin

Aktivator lipoprotein jaringan pada trombin

IV Kalsium Aktivasi trombin dan pembentukan fibrin

V Akselerator plasma globulin Mempercepat konversi protrombin menjadi trombin

VII Akselerator konversi

protrombin serum Mempercepat konversi protrombin

VIII

Globulin antihemofilik (AHG)

Plasma yang berikatan dengan faktor III dan faktor IX; aktivasi protrombin

IX Faktor Christmas

Berikatan dengan faktor pembekuan darah

X Faktor Stuart-Power

Faktor plasma dan serum, akselerator konversi protrombin

XI

Pendahulu Tromboplastin Plasma (PTA)

Diaktivasi oleh faktor XII (Hageman), akselerator pembentukan trombin XII Faktor Hageman Faktor plasma; mengaktivasi PTA

XIII Faktor Penstabil Fibrin

Menghasilkan bekuan fibrin yang lebih kuat

-

Faktor Fletcher

(Prakalikrein) Faktor pengaktivasi kontak - Faktor Fitzgerald Faktor pengaktivasi kontak 2.7. Trombosit

(85)

darah, memicu proses koagulasi pada permukaan fosfolipid. Selain itu, trombosit juga berperan melepaskan substansi biokimia yang penting dalam hemostasis (Hoffbrand, et al, 2005).

2.8 Proses Koagulasi Darah

Proses koagulasi darah berlangsung dalam beberapa tahap, dengan pembentukan fibrin sebagai hasil akhir. Dalam garis besar, proses pembekuan berjalan melalui 3 tahap, yaitu:

1. Pembentukan tromboplastin

2. Pembentukan trombin dari protrombin 3. Pembentukan fibrin dari fibrinogen.

Pembentukan tromboplastin, yaitu aktivitas yang mengubah protrombin menjadi trombin, dapat berlangsung melalui dua jalan, yaitu dengan mekanisme intrinsik dan mekanisme ekstrinsik, yang masing-masing memerlukan faktor pembekuan tertentu. Pembentukan tromboplastin dengan mekanisme intrinsik berlangsung di dalam plasma darah dan memerlukan desintegrasi trombosit, faktor-faktor IV, V, VIII, IX, X, XI, dan XII. Proses dimulai dengan aktivasi faktor XII oleh persentuhan dengan suatu permukaan asing, dalam hal ini kolagen. Kemudian faktor XII aktif akan mengaktivasi faktor XI. Faktor XI aktif bersama faktor VIII aktif (diaktivasi oleh trombin), faktor IV dan suatu fosfolipid mengaktivasi faktor X (Rosmiati dan Gan, 2007).

(86)

monomer. Fibrin monomer ini oleh faktor XIII aktif (diaktivasi oleh trombin bersama Ca2+) diubah menjadi fibrin padat yang berupa polimer (Rosmiati dan Gan, 2007). Faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka faktor ini merupakan faktor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut juga koagulasi jalur ekstrinsik (Baldy, 2005).

(87)

Gambar 2.3 Proses koagulasi darah (Kelly, 2004)

Protein C, suatu polipeptida, merupakan suatu antikoagulan fisiologik yang dihasilkan oleh hati, dan beredar secara bebas dalam bentuk inaktif dan diaktivasi menjadi protein C aktif. Protein C yang diaktivasi menginaktivasi protrombin, faktor Va (faktor V aktif) dan VIIIa (faktor VII aktif), sedangkan protein S mempercepat protein C untuk menginaktivasi faktor-faktor itu (Baldy, 2015).

2.9 Kelainan Hemostasis dan Koagulasi

(88)

mekanisme aksinya:

1. Kerusakan vaskuler, termasuk di dalamnya abnormalitas dari pembuluh darah baik yang didapat atau keturunan.

2. Kerusakan platelet, termasuk di dalamnya jumlah trombosit (trombositopenia) atau kualitas trombosit (trombositopati).

3. Penyakit Von Willebrand (VWD) merupakan penyakit kelainan perdarahan (koagulopati) yang merupakan penyakit keturunan. Pasien memiliki gejala memar dan perdarahan mukosa seperti epitaksis dan melena. Sebaliknya, perdarahan jaringan lunak merupakan karakteristik khusus dari hemofilia (kurangnya faktor VII atau IX).

4. Kerusakan faktor pembekuan darah yang didapat karena adanya kerusakan hati, defisiensi vitamin K, peningkatan fibrinolisis dan kelainan platelet (Page, 2006).

2.9.1 Trombositopenia dan trombositosis

Gambar

Tabel Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan
Tabel 4.1. Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun kelor
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelor
Tabel 4.3 Waktu pembekuan darah tikus secara in vitro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pascasarjana, Universitas Udayana tentang “Identifikasi Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Daun Kelor ( Moringa oleifera L ) di Bali ” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian analisis kandungan kalsium, kalium, dan magnesium pada daun kelor (Moringa oleifera Lam.) segar

Berarti terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar kalsium dalam daun kelor segar dan daun kelor rebus.. Pengujian Beda Nilai Rata-Rata Kadar Kalium pada

Setelah dibandingkan dengan spektrogram standar batu ginjal, penelitian ini menyimpulkan bahwa batu ginjal yang digunakan untuk uji kelarutan kalsium batu ginjal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antijamur, konsentrasi zona hambat dan menentukan konsentrasi efektif ekstrak etanol daun kelor dalam menghambat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antijamur, konsentrasi zona hambat dan menentukan konsentrasi efektif ekstrak etanol daun kelor dalam

Daun kelor memiliki kandungan vitamin C (220 mg), β-karoten 6,78 mg sebagai komponen fungsional sehingga tanaman kelor ini dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan dijadikan

Pada pengujian aktivitas antioksidan metode DPPH pada sediaan serum wajah ekstrak etanol daun kelor formula kontrol dapat dilihat pada Tabel 3 memperoleh nilai IC50 F0 = 65,41 µg/mL