• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Morbiditas Pada Anak Usia 1 3 Tahun Di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi Dan Rendah Di Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Morbiditas Pada Anak Usia 1 3 Tahun Di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi Dan Rendah Di Jawa Tengah"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORBIDITAS

PADA ANAK USIA 1-3 TAHUN DI DAERAH SUPLEMENTASI

VITAMIN A TINGGI DAN RENDAH DI JAWA TENGAH

MILLIYANTRI ELVANDARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas Pada Anak Usia 1-3 tahun di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi dan Rendah di Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2017

(4)

RINGKASAN

MILLIYANTRI ELVANDARI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas pada Anak Usia 1-3 Tahun di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi dan Rendah di Jawa Tengah. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan IKEU TANZIHA.

Morbiditas suatu wilayah merupakan indikator penting dalam penilaian dan perencanaan program kesehatan. Anak-anak dibawah umur 5 tahun merupakan kelompok yang rentan terserang penyakit. Lima besar morbiditas pada anak usia 1-3 tahun di Indonesia adalah ISPA, pneumonia, demam, diare dan gastroenteritis. Penelitian sebelumnya menunjukkan defisiensi vitamin A dapat meningkatkan kejadian infeksi. Program suplementasi vitamin A telah dilaksanakan untuk mengurangi dan mencegah defisiensi vitamin A pada anak. Provinsi Jawa tengah merupakan provinsi dengan cakupan kapsul vitamin A tertinggi kedua di Indonesia. Kabupaten Kudus merupakan kabupaten di Jawa Tengah dengan cakupan tinggi untuk program suplementasi vitamin A, sedangkan Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten dengan cakupan rendah pada program suplementasi vitamin A.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak 1-3 tahun di daerah suplementasi vitamin A tinggi dan rendah di Jawa Tengah. Tujuan khusus penelitian ini antara lain: (1) mengidentifikasi karakteristik ibu, pola asuh, PHBS, pemberian suplementasi vitamin A, dan imunisasi; (2) menilai asupan zat gizi, status gizi dan morbiditas; (3) menganalisis pengaruh suplementasi vitamin A, dan asupan zat gizi terhadap status vitamin A; (4) menganalisis pengaruh karakteristik ibu, pola asuh, PHBS, asupan zat gizi, suplementasi vitamin A, imunisasi, dan status gizi terhadap morbiditas.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2016 di Kabupaten Kudus dan Grobogan, Jawa Tengah. Subjek penelitian adalah anak usia 1-3 tahun sebesar 140 anak. Data dikumpulkan dengan wawancara Ibu menggunakan kuesioner. Pengambilan darah pada anak dilakukan melalui vena sebanyak 10 ml. Analisis statistik yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square, dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

(5)

lemak yang cukup. Persentase tertinggi pada tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C dan seng di kedua lokasi tergolong kurang. Berdasarkan indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB, sebagian besar subjek di Kudus dan Grobogan berstatus gizi baik (70.0% dan 78.6%), normal (60.0% dan 77.1%) dan normal (88.6% dan 88.6%). Rata-rata status vitamin A anak di Kudus sebesar 26.7±6.4 µg/dL dan di Grobogan sebesar 29.1±6.0 µg/dL. Status vitamin A anak yang termasuk normal di Kudus sebesar 82.9% dan di Grobogan sebesar 92.0%. Morbiditas anak sebagian besar tinggi di Kudus and Grobogan (61.4% dan 52.9%) dengan rata-rata skor morbiditas di Kudus 27.4±13.5 dan Grobogan 24.8±12.5. Suplementasi vitamin A (p=0.009; OR= 7.283; 95%CI: 1.674-36.559) dan asupan lemak (p=0.010; OR= 4.460; 95%CI: 1.423-13.980) merupakan faktor yang berpengaruh pada status vitamin A. Faktor yang berpengaruh pada morbiditas adalah pengetahuan gizi dan kesehatan (p=0.005; OR= 6.475; 95%CI: 1.764-23.770), status vitamin A (p=0.009; OR= 4.196; 95%CI: 0.766-22.954) dan suplementasi vitamin A (p=0.011; OR= 3.789; 95%CI: 1.359-10.566).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan, status vitamin A, dan suplementasi vitamin A merupakan faktor yang berpengaruh kuat pada morbiditas anak usia 1-3 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa morbiditas merupakan masalah kesehatan yang multifaktor, sehingga penanganan dan penurunan morbiditas sebaiknya dilakukan secara komprehensif dan holistik dari berbagai pihak. Masyarakat didampingi oleh petugas kesehatan diharapkan mampu menerapkan gaya hidup sehat (PHBS dan konsumsi makanan bergizi) dalam rangka mencegah morbiditas pada anak usia 1-3 tahun. Penelitian selanjutnya diharapkan mampu mengkaji pengaruh kebudayaan setempat, peran petugas kesehatan, dan evaluasi pelaksanan suplementasi vitamin A dalam angka morbiditas anak.

(6)

SUMMARY

MILLIYANTRI ELVANDARI. Factors Influencing Morbidity in Children Aged 1-3 Years in Vitamin A supplementation Regional High and Low in Central Java. by DODIK BRIAWAN and IKEU TANZIHA.

Morbidity is an important indicator that used for assessment and planning of health program. Children under 5 years old were vulnerable group of disease. Five diseases that most contributed to morbidity of children aged 1-3 years in Indonesia were respiratory infection, pneumonia, fever, diarrhea and gastroenteritics. Previous studies showed that vitamin A deficiency increased infection incidence. Vitamin A supplementation program had been implemented to reduce and prevent vitamin A deficiency in children. Central Java was a province with the 2nd highest vitamin A supplementation coverage in Indonesia. Kudus was a district in Central Java with a high-rate of vitamin A supplementation coverage, while Grobogan was a district with low-rate of vitamin A supplementation coverage.

This study aimed to analyze the factors that influence morbidity in children 1-3 years in the high- and low-rate vitamin A supplementation coverage in Central Java. The specific objectives of this study included: (1) to identify maternal characteristics, parenting pattern, health and hygiene behavior, vitamin A supplementation and immunization; (2) to assess the nutrient intake, nutritional status and morbidity; (3) to analyze the effect of vitamin A supplementation, and nutrient intake on vitamin A status; (4) to analyze the effect of maternal characteristics, parenting pattern, health and hygiene behavior, nutrient intake, vitamin A supplementation, immunization and nutrition status on morbidity.

This study used a cross-sectional study design. This study was conducted on February-March 2016 in Kudus and Grobogan, Central Java. Subjects were 140 children aged 1-3 years. Data were collected through maternal interviews using a questionnaire. The vein blood sampling 10 ml of childern was also collected. The statistical analysis used univariate, bivariate and multivariate. The bivariate analysis used Chi-square test, and multivariate analysis used logistic regression test.

(7)

HAZ and BAZ of anthropometry, the most of subjects in Kudus and Grobogan were nourished (70.0% and 78.6%), normal (60.0% and 77.1%) and normal (88.6% and 88.6%). The mean of vitamin A status of subject in Kudus were of 26.7 ± 6.4 mg/dl and in Grobogan were 29.1 ± 6.0 mg/dl. The amount of subject that had normal vitamin A status in Kudus and Grobogan were 82.9% and 92.0%. The childern in both of the locations mostly were in high morbidity (61.4% and 52.9%), their mean of morbidity score were 27.4±13.5 in Kudus dan Grobogan 24.8±12.5 in Grobogan. Supplementation of vitamin A (p = 0.009; OR = 7283; 95% CI: 1.674-36.559) and fat intake (p = 0.010; OR = 4.460; 95% CI: 1.423-13.980) were factors that influenced the vitamin A status. Factor that influenced on morbidity were knowledge of nutrition and health (p=0.005; OR = 6,475; 95% CI: 1.764-23.770), vitamin A status (p = 0.009; OR = 4.196; 95% CI: 0.766-22.954) and vitamin A supplementation (p=0.011; OR= 3.789; 95% CI: 1.359-10.566).

Based on the results showed that the knowledge of nutrition and health, the status of vitamin A, and vitamin A supplementation were factors that impact on the morbidity of children aged 1-3 years. This showed that the morbidity were multifactorial health problem, so controlling and decreasing morbidity should be comprehensive and holistic steps of various field. Community with health worker is expected to adopt a healthy lifestyle (health and hygiene behaviour and consumption of nutritious foods) in order to prevent morbidity in children aged 1-3 years. Further studies are expected to examine the influence of local culture, the role of health workers, and evaluation of implementation of vitamin A supplementation on child morbidity.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORBIDITAS

PADA ANAK USIA 1-3 TAHUN DI DAERAH SUPLEMENTASI

VITAMIN A TINGGI DAN RENDAH DI JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas Pada Anak Usia 1-3 tahun di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi dan Rendah di Jawa Tengah

Nama : Milliyantri Elvandari NIM : I151140101

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Ketua

Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi Ilmu Gizi

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas Anak Usia 1-3 Tahun di Daerah Suplementasi Vitamin A Tinggi dan Rendah di Jawa Tengah” yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar magister sains (MSi) pada program magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Dodik Briawan MCN selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi, juga kepada Ibu Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun bagi penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Bapak Idrus Jus’at M.Sc PhD selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian tertutup yang telah memberikan banyak masukan dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus dan Grobogan Jawa Tengah dan Puskesmas Undaan dan Gubug yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Terimakasih kepada Ibu Erry Yudhya Mulyani M.Sc yang telah mengizinkan penulis ikut dalam pengambilan data dan menggunakan beberapa data pada penelitian “”Vitamin A Conteent of Fortified Unbranded Cooking Oil in The and of Distribution Point Up to Households and Its Impact on Vitamin A Status Among Preschool Children

Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta, Bapak H. Tata Suhata, S.sos dan Hj Endang Suparmiatun, MM atas segala doa dan motivasi yang diberikan. Terima kasih yang tak terhingga juga penulis haturkan kepada kakak - kakak ku dan kedua ponakan yang selalu memberikan senyuman, semangat dan doa selama penyelesaian tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2014 atas doa, dukungan, dan semangatnya. Tidak lupa juga ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pengajar dan staf di Departemen Gizi Masyarakat yang secara tidak langsung telah mendukung proses studi penulis serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberi motivasi dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2017

(14)

DAFTAR ISI

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Karakteristik Ibu dan Anak 1-3 tahun 3 KERANGKA PEMIKIRAN

Status Gizi (Antropometri dan Status Vitamin A) Tingkat Kecukupan Gizi Anak Usia 1-3 Tahun Suplementasi Vitamin A

Imunisasi

Pola Pengasuhan

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Karakteristik Ibu

Faktor-faktor Mempengaruhi Status Vitamin A pada Anak Usia 1-3 Tahun

(15)

DAFTAR TABEL

1 Kategori status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB 2 Jenis, cara pengumpulan, dan pengkategorian

3 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit

4 Sebaran anak berdasarkan jenis dan frekuensi sakit 5 Sebaran anak berdasarkan jenis dan lama (hari) sakit 6 Sebaran anak berdasarkan skor morbiditas

7 Sebaran anak berdasarkan status gizi BB/U, TB/U, dan BB/TB 8 Hubungan status gizi BB/U, TB/U dan BB/TB dengan morbiditas 9 Sebaran anak berdasarkan status vitamin A

10 Hubungan status vitamin A dengan morbiditas

11 Nilai minimum, maksimum, rata-rata tingkat kecukupan energi dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi

12 Nilai minimum, maksimum, rata-rata, tingkat kecukupan protein dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein

13 Nilai minimum, maksimum, rata-rata asupan lemak, dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak

14 Nilai minimum, maksimum, rata-rata tingkat kecukupan vitamin A dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan vitamin A

15 Nilai minimum, maksimum, rata-rata tingkat kecukupan vitamin C dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan vitamin C

16 Nilai minimum, maksimum, rata-rata tingkat kecukupan seng dan sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan seng

17 Hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan morbiditas

18 Hubungan tingkat kecukupan energi dengan status gizi antropometri 19 Hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi antropometri 20 Hubungan tingkat kecukupan lemak dengan status gizi antropometri 21 Hubungan tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi antropometri 22 Hubungan tingkat kecukupan vitamin C dengan status gizi antropometri 23 Hubungan tingkat kecukupan seng dengan status gizi antropometri 24 Hubungan tingkat kecukuapn zat gizi dengan status vitamin A

25 Sebaran anak berdasarkan umur dan kelengkapan mendapatkan suplementasi vitamin A

26 Hubungan suplementasi vitamin Adengan morbiditas

27 Hubungan suplementasi vitamin A dengan status gizi antropometri 28 Hubungan suplementasi vitamin A dengan status vitamin A

29 Sebaran anak berdasarkan kelengkapan imunisasi 30 Hubungan imunisasi dengan morbiditas

31 Hubungan imunisasi dengan status gizi antropometri 32 Hubungan imunisasi dengan status vitamin A

33 Jawaban ibu yang salah terhadap pertanyaan pola asuh makan anak 34 Jawaban ibu yang salah terhadap pertanyaan pola asuh kesehatan anak 35 Hubungan pola asuh makan dengan morbiditas

36 Hubungan pola asuh makan dengan tingkat kecukupan zat gizi 37 Hubungan pola asuh makan dengan suplementasi vitamin A

(16)

38 Hubungan pola asuh makan dengan imunisasi 39 Hubungan pola asuh kesehatan dengan morbiditas

40 Hubungan pola asuh kesehatan dengan tingkat kecukupan zat gizi 41 Hubungan pola asuh kesehatan dengan suplementasi vitamin A 42 Hubungan pola asuh kesehatan dengan imunisasi

43 Jawaban ibu yang salah terhadap pertanyaan PHBS keluarga 44 Hubungan PHBS dengan morbiditas

45 Hubungan PHBS dengan tingkat kecukupan zat gizi 46 Hubungan PHBS dengan suplementasi vitamin A 47 Hubungan PHBS dengan imunisasi

48 Sebaran karakteristik ibu

49 Jawaban ibu yang salah terhadap pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan

50 Hubungan karakteristik ibu dengan pola asuh makan 51 Hubungan karakteristik ibu dengan pola asuh kesehatan 52 Hubungan karakteristik ibu dengan pola asuh kesehatan

53 Variabel yang berhubungan dengan status vitamin A anak usia 1-3 tahun 54 Hasil analisis mulitivariat status vitamin A

55 Variabel yang berhubungan dengan morbiditas anak usia 1-3 tahun 56 Hasil analisis mulitivariat morbiditas

5 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin 6 Sebaran anak berdasarkan pola asuh makan 7 Sebaran anak berdasarkan pola asuh kesehatan

8 Sebaran anak berdasarkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) keluarga

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ethical clearance

2 Hasil analisis regresi logistik faktor yang mempengaruhi status vitamin A

3 Hasil analisis regresi logistik faktor yang mempengaruhi morbiditas

(17)
(18)
(19)
(20)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Morbiditas suatu wilayah merupakan indikator penting dalam penilaian dan perencanaan program untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian. Semakin tinggi morbiditas kesehatan penduduk menunjukan semakin buruk kesehatan penduduk, sebaliknya semakin rendah morbiditas kesakitan menunjukan kesehatan penduduk yang semakin baik (BPS 2009). Tingkat kesakitan mempunyai peranan penting yang lebih penting di bandingkan dengan angka kematian, karena apabila angka kesakitan tinggi maka akan memicu kematian sehingga menyebabkan angka kematian juga tinggi (Suharwati et al. 2013).

Masa perkembangan dan pertumbuhan berada pada masa anak-anak, pada masa tersebut memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar sedangkan pada masa ini kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada dewasa terutama ibu. Anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Angka kesakitan merupakan masalah kesehatan penting terutama bagi anak-anak dibawah umur lima tahun, karena kesakitan paling sering ditemukan pada golongan anak usia dini dimana pada usia tersebut sangatlah rentan terserang penyakit (Suharwati et al. 2013).

Menurut hasil penelitian di Afrika, sebanyak 55.0% kematian pada anak-anak di bawah usia lima tahun disebabkan oleh malaria, pneumonia dan diare (Bryce et al. 2005). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan angka morbiditas tinggi yang disebabkan oleh diare sebesar 25.2% dan masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat, terutama untuk anak usia dibawah lima tahun (Yusuf 2011). Diare merupakan penyebab kematian anak tertinggi sebesar 42.0% dibanding pneumonia sebesar 24.0%, kematian usia 1-4 tahun lebih besar disebabkan oleh diare sebesar 25.2% dibandingkan pneumonia sebesar 15.5% (Yusuf 2011). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi diare tahun 2013 lebih kecil sebesar 3.5% dibandingkan dengan prevalesi diare tahun 2007 sebesar 9.0%, prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan pneumonia tahun 2013 sebesar 25% dan 29.4% (Balitbangkes 2013). Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2013 lima besar morbiditas dan mortalitas pada anak usia 1-4 tahun di Indonesia adalah ISPA sebesar 25.8%, pneumonia sebesar 21.7%, demam sebesar 14.0%, diare dan gastroenteritis sebesar 14.4% (Kemenkes 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah penemuan dan penangganan diare pada balita sebesar 42.6%, pneumonia sebesar 24.7% dan ISPA sebesar 23.6% (Dinkes Jawa Tengah 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus dan Grobogan penemuan dan penangganan pneumonia pada balita sebesar 5.87% dan 11.3%, diare sebesar 20.0% dan 41.0% (Dinkes Kabupaten Kudus dan Grobogan 2014).

(21)

2

(Balitbangkes 2013). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah persentase balita dengan gizi kurang sebesar 17.6% (Dinkes Jawa Tengah 2013). Berdasarkan permasalahan gizi di Jawa Tengah, di dapatkan gizi kurang pada balita di Kabupaten Kudus dan Grobogan sebesar 17.2% dan 24.5%, stunting pada anak di Kudus sebesar 44.0% dan Grobogan 55.0% (Kemenkes 2015).

Vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk berbagai fungsi biokimiawi dan yang umumnya tidak disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan (Almatsier 2004). Tubuh memerlukan berbagai macam vitamin untuk pertumbuhan dan perkembangan diantaranya yaitu vitamin A dan vitamin C. Vitamin A adalah salah satu vitamin larut dalam lemak dan salah satu zat gizi yang sangat penting bagi manusia, karena zat gizi ini tidak di buat oleh tubuh, jadi harus dipenuhi dari luar tubuh berupa makanan yang dikonsumsi, Vitamin A juga merupakan vitamin yang berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel, dan sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf dan mata (Notoatmodjo 2007). Asupan vitamin A di dapatkan dari asupan makanan yang mengandung vitamin A dari sumber hewani atau provitamin A dari sumber nabati. Sumber vitamin A tergolong tinggi dipasaran, sehingga sebagian besar masyarakat miskin sangat sulit untuk mendapatkan makanan sumber vitamin A untuk mencukupi kebutuhan akan vitamin A sehari-hari (Nadimin et al. 2011). Vitamin C adalah salah vitamin larut air biasanya tidak disimpan di dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil, oleh sebab itu vitamin larut air perlu dikonsumsi tiap hari untuk mencegah kekurangan yang dapat menggangu fungsi tubuh normal (Almatsier 2004). Vitamin A, vitamin C dan seng mempunyai fungsi yang sama untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup melalui sistem imunitas, kekurangan vitamin A, vitamin C dan seng dapat meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pernafasan, diare, demam, meningkatnya penyakit infeksi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier 2004). Menurut hasil studi meta analisis penurunan imunitas dan peningkatan infeksi disebabkan oleh defisiensi vitamin A (Semba et al. 2000). Kekurangan vitamin A pada populasi dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan secara biokimia melalui pemeriksaan serum retinol darah. Pemeriksaan serum retinol darah merupakan indikator status vitamin A (Gibson 2005). Asupan vitamin A yang tinggi dan bervariasi dapat meningkatkan konsentrasi serum retinol dalam darah (Mulyani et al. 2016). Hasil penelitian Karyadi et al. (2002) menunjukkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko menderita penyakit pernafasan dan meningkatkan keparahan penyakit diare.

(22)

3 menyebabkan berkurangnya mortalitas terhadap penyakit diare dan saluran pernafasan sebanyak 34.0% (Ridwan 2012). Menurut hasil penelitian Haidar et al. (2003) suplementasi vitamin A menurunkan morbiditas penyakit demam, diare, campak dan memperbaiki status gizi (wasting, underweight). Selain program pemberian suplementasi vitamin A pemerintah memiliki program imunisasi dasar lengkap untuk anak. Imunisasi merupakan salah satu cara untuk melindungi anak dari penyakit yang sering diderita anak, imunisasi yang wajib bagi anak usia 1-3 tahun yaitu Bacille Calmette-Guerin (BCG), Hepatitis B, Polio, DPT (Diphteria, Tetanus, Pertussis) dan Campak (Depkes 2009). Rata-rata secara nasional di Indonesia cakupan imunisasi lengkap mencapai sebesar 59.2% (Balitbangkes 2013). Menurut hasil penelitian Embriyowati (2012) di daerah Gembong Provinsi Jawa Tengah terdapat hubungan yang bermakna status imuniasi dengan status gizi dan status kesehatan balita.

Berdasarkan uraian latar belakang, ternyata banyak faktor yang mempengaruhi morbiditas anak, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak usia 1-3 tahun di daerah suplementasi vitamin A tinggi dan rendah di Jawa Tengah.

Perumusan Masalah

Angka kesakitan suatu wilayah merupakan indikator penting dalam penilaian dan perencanaan program untuk menurunkan kesakitan. Status kesehatan anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor langsung yang berhubungan dengan status gizi yaitu konsumsi pangan maupun faktor yang tidak langsung mempengaruhi, diantaranya yaitu pengetahuan gizi dan kesehatan, pola asuh, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang dilakukan oleh ibu. Status gizi erat pula kaitanya dengan sistem imunitas tubuh dan penyakit infeksi. Semakin rendah status gizi anak semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas, indikator status kesehatan seseorang yaitu morbiditas (Hardinsyah 2007; Sediaoetama 2008).

(23)

4

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, peneliti merasa penting untuk melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak 1-3 tahun di daerah suplementasi vitamin A tinggi dan rendah di Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak usia 1-3 tahun di daerah suplementasi vitamin A tinggi dan rendah di Jawa tengah.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1 Mengidentifikasi karakteristik ibu (umur, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan), pola asuh, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pemberian suplementasi vitamin A, dan imunisasi.

2 Menilai asupan zat gizi, status gizi (status gizi antropometri dan status vitamin A), dan morbiditas.

3 Menganalisis pengaruh suplementasi vitamin A, dan asupan zat gizi terhadap status vitamin A.

4 Menganalisis pengaruh karakteristik ibu, pola asuh, PHBS, asupan zat gizi, suplementasi vitamin A, imunisasi, dan status gizi terhadap morbiditas.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak-anak, melalui faktor asupan zat gizi, status gizi, pola asuh dan perilaku hidup sehat (PHBS). Untuk pihak kesehatan dan ibu diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka perbaikan gizi dan kesehatan melalui pola asuh dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS).

Hipotesis

1 Terdapat pengaruh suplementasi vitamin A, dan asupan zat gizi terhadap status vitamin A anak 1-3 tahun.

(24)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Morbiditas

Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mecerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kesehatan merupakan masalah yang kompleks sehingga tidak mungkin di ukur semua faktor yang mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberikan indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut ialah indikator. Indikator Kesehatan menurut Indonesia Sehat 2010 dari Depkes RI tahun 2008 terdiri dari 3 indikator, yaitu :

a Indikator derajat kesehatan yang merupakan hasil akhir, yaitu indikator angka morbiditas, indikator status gizi dan angka mortalitas

b Indikator hasil antara, yaitu indikator perilaku hidup masyarakat, indikator lingkungan, dan indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan.

c Indikator proses dan masukan, yaitu indikator sumber daya kesehatan, indikator pelayanan kesehatan, indikator manajemen kesehatan serta indikator sektor terkait.

Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas pada anak

Menurut Undang-undang 1945 No 9 Bab I pasal 2 tentang pokok-pokok kesehatan yang dimaksud dengan sehat adalah sehat jasmani, rohani (jiwa dan metal) dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit infeksi, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan penurunan derajat kesehatan.

Menurut Subandriyo (1993), angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum, dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi, serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

(25)

6

Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 membahas mengenai prevalensi dan pengobatan penyakit pada anak. SDKI mengumpulkan data beberapa penyakit infeksi utama pada anak umur dibawah lima tahun, seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), pneumonia, diare, batuk (Common cold) dan demam (Kemenkes RI 2011).

a Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)

ISPA radang akut yang disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaf 2009). ISPA dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. Menurut WHO (2003) dari 15 juta kematian anak berusia di bawah lima tahun, sebanyak empat juta disebabkan oleh ISPA setiap tahunya, dan dua pertiga kematian tersebut adalah bayi. Anak-anak di bawah lima tahun akan sangat rentan terinfeksi ISPA karena sistem tubuh yang masih rendah, dan menyebabkan angka prevalensi tinggi pada anak (Riskesdas 2013). Menurut Alsagaf (2009) gejala ISPA di mulai dengan kering, gatal dalam hidung dan rasa panas, kemudian di ikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.

Banyak faktor yang mempengaruhi ISPA pada anak balita, diantaranya yaitu umur anak, status gizi, berat badan, ASI ekslusif, imunisasi, lingkungan sekitar, status ekonomi, dan pendidikan ibu. Pencegahan dan penanggulangan ISPA yaitu dengan membawa anak ke palayanan kesehatan, mengetahui status gizi balita dan pemberian imunisasi, memberikan gizi yang baik, ASI eksklusif dan perhatikan lingkungan kesehatan tempat tinggal.

b Pneumonia

Salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi saluran napas bawah akut (lower respiratory tract /LRT) adalah pneumonia (Jeremy 2007). Pneumonia dapat terjadi pada semua umur, walaupun penderita terbanyak pada anak, dan orang tua (Elin 2008). Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat dirumah sakit selama > 14 hari (Jeremy 2007). Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan pneumonia usia < 5 tahun, penyakit kronik paru, aspirasi (misalnya epilepsi), influenza, malnutrisi, pekerjaan orang tua dan lingkungan (Jeremy 2007; Misnadirly 2008).

c Diare

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam satu hari. Jenis diare terdiri dari diare akut yang berlangsung selama 3-7 hari dan diare persisten yang terjadi lebih dari 14 hari. Etiologi penyakit ini adalah infeksi virus, bakteri, protozoa, cacing dan jamur, dan rotavirus (Depkes RI 2011). Faktor risiko yang menyebabkan diare antara lain kebersihan lingkungan, pengetahun ibu yang rendah, perilaku hidup bersih dan sehat, ASI ekslusif, status gizi yang rendah pada anak (Wardhani 2012).

d Batuk (Common cold)

(26)

7 dalam penyakit yang tidak memerlukan obat atau self-limited disease bila periodenya masih kurang dari 10 hari (Rasmussen 2013).

e Demam

Penyakit yang sering dikeluhkan ibu pada pelayanan kesehatan adalah demam pada anak. Demam pada umumnya merupakan respon tubuh terhadap suatu infeksi (Cotton 2008). Demam adalah peningkatan suhu pusat tubuh yang di sebabkan oleh peningkatan termoregulasi dan peningkatan rektal atas 38.5oC (Rahdi et al. 2002).

Selain penyakit infeksi banyak faktor yang mempengaruhi status kesehatan anak. Terdapat faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yaitu infeksi penyakit, status gizi yang akan kaitanan dengan konsumsi makan, sanitasi lingkungan, sosiodemografi, dan pelayanan kesehatan. Selain itu faktor yang mempengaruhi kesehatan anak di antaranya adalah karakteristik keluarga, kondisi lingkungan atau kondisi tempat tinggal. Karakteristik keluarga yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan anak, antara lain pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan anak, pendapatan keluarga, pola pengasuhan ibu (Warouw 2002).

Penyakit infeksi, frekuensi sakit dan lama sakit

Mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya merupakan penyebab penyakit infeksi. Penyakit infeksi terjadi karena adanya bibit penyakit (agent) yang masuk ke dalam tubuh manusia yang rentan (host). Penyakit infeksi yang sering di derita anak dibawah umur lima tahun adalah ISPA, diare, demam, pneumonia. Status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik, infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Infeksi akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi. Menurut Alhanannasir (1999) frekuensi sakit anak dikategorikan menjadi satu kali, dua kali, tiga kali, dan empat kali dalam satu bulan, untuk lama sakit pada anak dikategorikan menjadi 1-4 hari, 5-8 hari, dan lebih dari 8 hari dalam satu bulan.

Penilaian morbiditas

Memonitor keadaan kesehatan dapat dilakukan dengan alat bantu seperti evaluasi program kesehatan, salah satunya adalah angka kesakitan, indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan antara lain angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian. Skor morbiditas didapatkan dari frekuensi sakit dikalikan dengan lama sakit anak dalam satu bulan terakhir. Skor morbiditas yang dikategorikan berdasarkan rata-rata total penyakit infeksi, rendah (jika nilai dibawah rata-rata) dan tinggi (jika skor diatas rata-rata) (Alhanannasir 1999).

Status Gizi Antropometri

(27)

8

Semakin baik konsumsi pangan yang dikonsumsi, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan semakin baik pola pengasuhan yang didapat, maka semakin baik status gizi anak (Hardinsyah 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi, persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu. WHO melihat bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah di masyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, keterampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, dan pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi, sehingga pemberian makan tidak seimbang, menyebabkan status gizi kurang (Suryono dan Supardi 2004).

Status gizi dapat di nilai dengan dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik, sedangkan penilaian gizi secara tidak langsung meliputi survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologis. Cara yang digunakan untuk menentukan status gizi sangat tergantung pada tahapan keadaan kurang gizi. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan di nilai status gizinya (Supariasa et al. 2002).

Penilaian status gizi antropometri secara umum berhubungan dengan ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Menurut Supariasa et al. (2002), pengukuran antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan tersebut terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Gibson (2005) menyatakan bahwa pengukuran antropometri digunakan secara luas dalam penelitian status gizi, terutama apabila terjadi ketidakseimbangan kronis antara asupan energi dan protein. Selain itu juga dapat mendeteksi tingkat masalah gizi yang dialami.

Beberapa kelebihan dari penilaian status gizi secara antropometri menurut Supariasa et al. (2002) adalah prosedurnya sederhana, aman, dan dapat di lakukan dalam jumlah sampel yang besar, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama. Metode yang tepat dan akurat dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi dimasa lampau serta dapat mengidentifikasi status gizi baik, kurang, dan buruk karena terdapat ambang batas yang jelas. Kelemahan dari penilaian status gizi secara antropometri antara lain tidak sensitif untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, adanya faktor di luar gizi seperti penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi, dan adanya kesalahan pada saat pengukuran sehingga dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi.

(28)

9 yang berbeda-beda. Indeks antropometri dapat dinyatakan dalam istilah z-score, persentil atau persen terhadap median dengan menggunakan buku saku antropometri 2010 (Kemenkes 2011). Kategori status gizi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori status gizi berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB Indikator Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score) Berat Badan Menurut Sandjaja 2015). Studi SEANUTS tahun 2011 di 48 kabupaten menunjukkan rata-rata serum retinol antara 42.86-48.57 μg/dL pada anak 2-12 tahun. Serum retinol anak di perdesaan lebih rendah dibanding perkotaan (Sandjaja et al. 2013). Studi di kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis pada masyarakat sosial ekonomi rendah menunjukkan rata-rata serum retinol 30.7±12.6 μg/dL (bayi), 34.2±14.5 μg/dL (12-23 bulan), 36.0±14.1 μg/dL (24-59 bulan), 34.3±12.6 μg/dL (5-9 tahun), 30.7±12.6 μg/dL (ibu menyusui) dan 42.7±19.2 μg/dL (wanita usia subur) (Sandjaja et al. 2015).

(29)

10

setiap 6 bulan, ternyata anak dengan kadar retinol serum yang rendah sebesar 68.5% (Fedriansyah et al. 2010).

a Defisiensi energi dan protein, kekurangan energi protein (KEP) dapat mengganggu sintesis hepatik dan pelepasan Retinol Binding Protein (RBP) yang diperlukan untuk transportasi vitamin A dari hati. Hal ini menyebabkan gangguan transportasi retinol sehingga terjadi penurunan kadar serum retinol yang mengakibatkan gangguan siklus visual. Selain itu, KEP juga menurunkan kadar serum protein, khususnya albumin sebagai akibat dari rendahnya asupan protein. Meskipun anak yang menderita KEP memiliki cadangan vitamin A yang cukup, namun karena terdapat gangguan pada sintesis RBP maka kadar retinol serum menurun (Ebele et al. 2010).

b Defisiensi lemak, asupan lemak yang rendah dalam makanan akan menggangu absorpsi dari provitamin A karoten pada jangka panjang dapat menurunkan konsetrasi plasma retinol. Konsumsi makanan mengandung lemak pada anak-anak akan meningkatkan serum retinol (Jalal et al. 1998) c Defisiensi vitamin A, merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi.

KVA merupakan kekurangan vitamin A sekunder yang disebabkan oleh gangguan penyerapan vitamin A dalam tubuh, kebutuhan vitamin A yang meningkat atau karena gangguan konversi karoten menjadi vitamin A. Defisiensi vitamin A akan terlihat bila cadangan vitamin A dalam hati menurun, dan kadar vitamin A dalam serum mencapai garis bawah (Almatsier 2011).

d Defisiensi seng, sengberperan penting dalam mobilisasi cadangan vitamin A dari hati dan melakukan fungsi dalam proses oksidasi dan reduksi vitamin A di jaringan perifer serta diperlukan juga dalam pembentukan RBP. Kurang seng dapat menurunkan kadar serum vitamin A karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP.

e Penyakit infeksi

Keseimbangan serum vitamin A diatur oleh dua mekanisme yang teresterifikasi (simpanan) dengan retinil ester yang terhidrolisis (mobilisasi). Jika status vitamin A adekuat, sekitar 50-85% serum akan disimpan di hati dalam bentuk retinil ester dan menggambarkan asupan vitamin A jangka panjang, sisanya dideposit di jaringan lemak, paru, dan ginjal (Gibson 2005).

(30)

11 Asupan Zat Gizi

Zat gizi adalah bahan kimia yang terdapat dalam bahan pangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses kehidupan (Almatsier 2011). Konsumsi makanan sehari-hari merupakan sumber asupan zat gizi. Asupan zat gizi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan zat gizi perhari. Kebutuhan zat gizi terdapat di dalam Angka Kecukupan Gizi (2013) yang dibedakan berdasarkan usia. Angka kecukupan zat gizi untuk usia 1-3 tahun yaitu energi 1125 kkal, protein 26 g, lemak 44 g, vitamin A 400 RE, vitamin C 40 mg, seng 4 mg. Perhitungan tingkat kecukupan gizi ditentukan dengan membandingkan antara asupan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi masing-masing anak.

Asupan energi

Asupan yang utama di butuhkan oleh tubuh adalah asupan energi, kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Asupan energi di peroleh dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein. Zat-zat makanan di butuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan energi, yang dapat timbul karena adanya pembekarab karbohidrat, protein dan lemak (Budiyanto 202). Metabolisme basal sebesar 60-70% dari energi total dibutuhkan untuk memelihara fungsi dasar tubuh. Kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan diperlukan untuk fungsi tubuh di dalam alat pencernaan seperti mencerna, mengolah dan menyerap makanan serta untuk aktivitas lainya (Soekirman 2000). Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram (Baliwati 2004).

Asupan protein

Salah satu zat makanan yang amat penting bagi tubuh adalah protein karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembagun dan pengatur. Selain itu protein juga berperan sebagai antibodi yang berperan mencegah tubuh dari penyakit. Keadaan tubuh yang kekurangan protein akan menurunkan kemampuan tubuh untuk menghalangi bahan-bahan racun, seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan racun dan obat-obatan dan kurangnya asupan protein berkualitas baik akan mengganggu penyerapan vitamin A dari saluran pencernaan (Almatsier 2011).

Asupan lemak

(31)

12

and Agriculture Organization (FAO) tahun 2008 di kota Geneva menganjurkan asupan lemak total dari konsumsi makanan sebesar 20-35% dari energi total. Asupan vitamin A

Vitamin larut lemak yang pertama ditemukan adalah vitamin A. Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karotein terutama di dalam pangan nabati. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk (Almatsier 2011). Fungsi vitamin A adalah dalam penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker, dan penyakit jantung.

Vitamin A mengatur banyak aspek dari fungsi kekebalan tubuh, termasuk komponen-komponen baik sistem kekebalan nonspesifik dan sistem kekebalan spesifik (Semba 2002). Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh, retinol tampaknya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B, disamping itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T. Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin A. Terdapat hubungan kuat antara status vitamin A dan resiko terhadap penyakit infeksi pernafasan kekurangan vitamin A pada campak cenderung menimbulkan komplikasi yang dapat berakibat kematian (Almatsier 2004). Menurut Kemenkes 2011 anjuran konsumsi vitamin A anak usia 1-3 tahun adalah 400 RE/hari.

Asupan vitamin C

Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Vitamin C mempunyai berbagai manfaat antara lain vitamin C sebagai penguat sistem imun tubuh (Guyton 2008), untuk mencegah infeksi kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan, mencegah kanker, dan penyakit jantung (Almatsier 2004). Vitamin C terlibat dalam memelihara fungsi imun seluler yang didukung oleh data-data yang dilaporkan bahwa defisiensi vitamin C diikuti oleh penurunan beberapa infeksi mikroba. Walaupun sejumlah data mendukung adanya keterlibatan vitamin C dalam respon imun seluler, namun belum ada kesamaan pendapat mengenai dosis optimum vitamin C yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi respon imun seluler. Vitamin C terbuktikan dapat melindungi fungsi sel-sel netrofil.

Buah-buahan merupakan sumber vitamin C yang dapat secara alami. Jambu biji, jeruk, tomat, mangga, dan sirsak merupakan buah yang memiliki kandungan vitamin C yang tinggi. Selain buah-buah sayuran juga banyak yang menggandung vitamin C terutama brokoli, cabai, dan kentang. Menurut Kemenkes 2011 anjuran konsumsi vitamin C anak usia 1-3 tahun adalah 40 mg/hari.

Asupan seng

(32)

13 Peranan esensial dalam fungsi tubuh dipegang oleh seng. Seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat. Seng berperan dalam fungsi kekebalan yaitu fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B (Almatsier 2004). Tingkat seng mempengaruhi sistem imun dalam tubuh. Fungsi imun akan melemah jika tubuh kekurangan seng. Dalam pengembangan dan pengaktifan T-limposit yaitu sejenis sel darah putih yang berfungsi untuk memerangi penyakit dalam tubuh memerlukan seng.

Menurut Kemenkes 2011 anjuran kebutuhan seng anak usia 1-3 tahun adalah 4 mg/hari. Para ahli gizi berpendapat untuk memenuhu kebutuhan seng dapat diperoleh dengan mekonsumsi jumlah protein hewani. Contoh bahan pangan sebagai sumber utama seng yaitu daging, unggas, ikan laut, telur, keju, susu serta pecel (peanut butter) (Winarno 2004).

Suplementasi Vitamin A

Suplementasi vitamin A diberikan secara gratis di posyandu atau puskesmas pada bulan Februari dan Agustus dan dikenal dengan bulan vitamin A yang diberikan pada anak berusia 6-59 bulan. Kekurangan vitamin A dialami oleh 250 juta anak pra-sekolah di seluruh dunia, dan setiap tahun terdapat sekitar 250 000 – 500 000 anak mengalami kebutaan dan sebagian meninggal dalam jangka waktu 12 bulan akibat kekurangan vitamin A. Program pemberian suplementasi vitamin A di indonesia mulai aktif dikampanyekan sejak tahun 1970-an dan masih digalakan hingga saat ini.

Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi, yang dibedakan atas (Depkes 2009).

Gambar 1 Kapsul Vitamin A

1 Kapsul vitamin A biru dengan dosis 100 000 IU (30 000 µg retinol) hanya diberikan untuk bayi usia 6-11 bulan, dengan kebutuhan 400 ug perhari maka setiap pemberian akan memenuhi 2-3 bulan kedepan

(33)

14

Pemberian secara berkala vitamin A dosis tinggi ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan terhadap vitamin A, mencegah defisiensi vitamin A dan untuk membangun cadangan vitamin A dalam hati. Cakupan suplementasi vitamin A sebesar (87%) di Etopia Utara dapat menurunkan prevelensi demam, diare, bitot pada anak secara signifikan (Haidar et al. 2003).

Imunisasi

Imunisasi adalah memberi vaksin kedalam tubuh berupa bibit penyakit yang dilemahkan yang menyebabkan tubuh memproduksi antibodi tetapi tidak menimbulkan penyakit bahkan anak menjadi kebal (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2013). Seluruh imunisasi dasar harus diberikan kepada anak sesuai umur sehingga kekebalan tubuh terhadap penyakit dapat dicegah dengan imunisasi (Depkes 2010). Imunisasi bertujuan agar zat kekebalan tubuh balita terbentuk sehingga resiko untuk mengalami penyakit yang bersangkutan lebih kecil (Yusriyanto 2010). Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dapat dicegah melalui imunisasi karena meningkatnya sistem kekebalan tubuh dan mengurangi kecacatan penyakit tertentu

Jenis-jenis imunisasi terdiri dari Bacillus Calmette Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus (DPT), Hepatitis B, Polio, dan Campak. Menurut Kemenkes RI (2013) beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, dan tetanus. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program imunisasi yaitu diantaranya kadar antibodi, potensi antigen, waktu memberian imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan protein karena protein diperlukan untuk mensintesis antibodi (Hidayat 2009). Kelengkapan imunisasi sangat penting untuk anak. Menurut Hidayat dan Jahari (2012) anak yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih banyak yang sehat berbeda nyata dengan rumah tangga balita yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi lebih banyak yang sakit (p<0.000).

Pemberian imunisasi dasar secara lengkap menurut usia anak juga dapat meningkatkan status kesehatan anak dan menurunkan morbiditas penyakit infeksi pada anak (Prajapati et al. 2012; Pore et al. 2010). Imunisasi dapat memberikan kekebalan bayi dan anak terhadap berbagai penyakit sesuai dengan vaksin yang diberikan (Mastin dan Roosita 2015). Imunisasi yang lengkap merupakan salah satu peranan dalam pencegahan penyakit infeksi pneumonia. Pencegahan penyakit menular dan infeksi dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak (Salim 2012). Kejadian penyakit infeksi sekunder yang sering terjadi berupa diare dan pneumonia di harapkan dapat menurun dengan cakupan imunisasi yang tinggi (Katz 2004). Terdapat pengaruh yang signifikan antara kelengkapan imunisasi dengan lama sakit semua jenis penyakit (Safitri 2013).

Pola Pengasuhan

(34)

15 anak merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh terhadap anak dan sebagainya. Pola pengasuhan anak sangat berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga, sifat pekerjaan sehari-hari dan adat kebiasaan (WNPG 2004). Menurut Latiana (2010) pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah proses menumbuhkan dan mendidik anak dari kelahiran anak hingga anakmemasuki usia dewasa.

Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Edwards dan Drew (2006), menyatakan bahwa pola asuh merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan, serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat, cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak pada dasarnya merupakan salah satu contoh pola asuh. Terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003). Range (1997) mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu pola asuh makan, pola asuh higiene dan kesehatan, pola asuh yang berhubungan dengan psikososial, dan pengasuhan untuk ibu dan sistem dukungan sosial. Empat aspek tersebut akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi zat gizi dan terjadinya penyakit, kedua hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi.

Pola asuh makan

Ibu, nenek atau saudara kandung biasanya orang-orang yang memberikan pengasuhan pada anak, salah satu aspek dalam pengasuhan adalah pola asuh makan. Status gizi anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh makan yang diberikan oleh ibu. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya. Keadaan status gizi merupakan sumbangan dari pemberian makan yang terkait dengan pola asuh makan anak.

Perilaku pemberian makanan kepada anak balita ada beberapa aspek yang harus diperhatikan (Engle et al 1996), diantaranya yaitu :

1 Menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotor anak. 2 Pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan, waktu pemberian makan, memperhatikan nafsu makan anak, dan komunikasi yang baik dengan anak selama memberikan makan.

3 Situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan yang tertentu, serta perhatian dan perlindungan selama makan.

Melalui peran ibu dan pengasuhnya, pemberian makan bergizi harus diajarkan kepada anak. Orang tua harus dapat menyediakan makanan dan minuman yang bergizi untuk anak. Dari usia dini harus dibiasakan pemberian makan yang beragam, bergizi dan berimbang. Menurut Hastuti (2008) pemberian makan yang baik akan membentuk kebiasaan yang baik pula pada anak.

(35)

16

seorang ibu memperkenalkan makanan baru pada anak memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak terhadap suatu makanan (Khomsan 2009).

Pola asuh kesehatan

Status kesehatan anak dipengaruhi oleh faktor pola asuh kesehatan. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang tua/ keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak. Salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi pola asuh yang sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi maupun pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit (Engle et al. 1996). Pola asuh kesehatan secara preventif dan kuratif merupakan dua usaha yang dapat dilakukan orang tua untuk menjaga kesehatan anak. Upaya preventif adalah membiasakan pola hidup sehat, seperti mandi, keramas, gosok gigi, gunting kuku, dan mencuci tangan dengan sabun,upaya tersebut ditanamkan sejak usia dini. Upaya kuratif merupakan upaya orang tua dalam memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi dan penyakit lain yang pada umumnya terjadi pada anak (Hastuti 2008).

Pola asuh kesehatan dipengaruhi oleh pendidikan ibu, hasil penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Klemesu et al. (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu sangat berhubungan dengan pola asuh kesehatan ibu. Ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki skor praktik higiene yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipratikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat dapat merawat diri sendiri di bidang kesehatan dan mewujudan kesehatan masyarakat dengan cara berperan aktif mewujudkanya (Kemenkes 2011). Menurut Notoatmodjo (2007) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan upaya memberikan pengalaman bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat melalui jalur komunikasi, memberikan informasi dengan melaukuan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan advokasi, bina suasana (social support), dan gerakan masyarakat (empowerment) sehingga dapat menerapkan cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

(36)

17 Indikator lokal spesifik merupakan indikator nasional yang ditambah dengan beberapa indikator masing-masing daerah. Dalam PHBS memiliki 10 indikator kesehatan (Persalinan dibantu tenaga kesehatan, kebiasaan Merokok, imunisasi, penimbangan balita, kebiasaan Sarapan, peserta Askes/ JPKM, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, kebiasaan menggosok gigi, kebiasaan olahraga, dan makan Seimbang (Makan sayur dan buah setiap hari) dan 6 indikator sarana fisik yaitu (Jamban Sehat (WC), sumber Air Bersih, tempat sampah, sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL), ventilasi udara, dan lantai Rumah) (Depkes 2008). Sasaran dari program PHBS mencakup lima tatanan, yaitu tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum dan sarana kesehatan. sasaran program PHBS dalam tatanan keluarga adalah pasangan usia subur, ibu hamil dan atau menyusui, balita dan remaja, usia lanjut, dan pengasuh anak (Kemenkes 2011).

Karakteristik Ibu dan Anak Usia 1-3 Tahun

Umur ibu

Indikator dalam menentukan produktivitas seseorang adalah umur. Menurut Khomsan et al. (2007) dibandingkan dengan orang yang lebih tua, orang yang masih muda memiliki produktifitas yang lebih tinggi karena kondisi fisik dan kesehatan orang muda yang lebih prima. Merawat dan mengasuh anak masih berdasarkan pengalaman orang tua terdahulu, orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) cederung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk merawat dan mengasuh anak.

Faktor umur ibu yang masih muda cenderung mementingkan kepentingan sendiri sehingga pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki umur yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998). Menurut WNPG (2004) umur dikelompokan menjadi remaja (< 20 tahun), desawa muda (20-23 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dan dewasa lanjut (> 50 tahun).

Pendidikan ibu

Keadaan gizi anak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua terutama ibu, karena ibu yang merawat dan mengasuh anak lebih sering. Pendidikan merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga, dan berperan dalam pola penyusunan makanan untuk keluarga serta pola pengasuhan anak. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Salah satu faktor yang menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh adalah faktor pendidikan (Atmarita dan Fallah 2004).

Pendapatan kepala keluarga

(37)

18

keluarga sosial ekonomi rendah. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Menurut Soekirman (2000), apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi.

Pengetahuan gizi dan kesehatan

Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu utama perilaku seseorang (Khomsan et al. 2009). Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Tingkat pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai obyek tertentu. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan 2009).

Pengetahuan tentang gizi yang harus dimiliki masyarakat antara lain kebutuhan-kebutuhan zat gizi bagi tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Selain itu, jenis-jenis makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh tersebut, baik secara kualitataif dan kuantitatif, akibat atau penyakit-penyakit yang disebabkan karena kekurangan gizi dan sebagainya (Notoatmodjo 2007). Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk objektif. Menurut Syah (2002) bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian, dan tes pelengkapan. Khomsan (2000) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice). Pengkategorian pengetahuan gizi berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu baik (> 80%), sedang (60-80%), dan kurang (< 60%) mengemukakan bahwa untuk Khomsan (2000).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Anak usia 1-3 tahun merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap kondisi kesehatan. Ibu memiliki peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan anak. Karakteristik ibu seperti umur, tingkat pendidikan, pendapatan kepala keluarga dan pengetahuan gizi dan kesehatan, akan mempengaruhi pola pengasuhan serta perilaku hidup bersih dan sehat pada anak dan keluarga.

(38)

19 memberikan makan akan mempengaruhi asupan zat gizi yang masuk kedalam tubuh anak yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap status gizi anak dan kesehatan anak. Pola asuh kesehatan yang diberikan ibu kepada anak berupa pemeriksaan berat badan tiap bulanya, pemberian imunisasi dasar, suplementasi vitamin A, kebiasaan pencucian bahan makanan, kebersihan badan anak semua yang dilakukan ibu dalam pola asuh kesehatan akan berdampak pada keadaan kesehatan anak. PHBS sangat penting untuk diterapkan pada setiap rumah tangga untuk menjaga dan memelihara kesehatan seluruh anggota keluarga khususnya kesehatan anak. PHBS dalam keluarga di bahas aspek kesehatan lingkungan seperti penyedian pembuangan sampah, penyediaan air bersih, sirkulasi udara dalam rumah serta kebiasaan keluarga berolah raga masih banyak hal yang dapat diterapkan dalam PHBS keluarga yang nantinya akan berdampak pada kesehatan keluarga dan anak. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian Morbiditas

 Jenis penyakit

 Frekuensi sakit

 Lama sakit

Status gizi anak:

 Status antropometri

 Status vitamin A

Karakteristik Ibu :

 Umur

 Pendidikan

 Pendapatan kepala keluarga

 Pengetahuan gizi dan kesehatan Pola Asuh

 Pola asuh makanan

 Pola asuh kesehatan

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Suplementasi vitamin A

Imunisasi dasar

Asupan zat gizi (energi, protein, lemak, vitamin

(39)

20

Asupan gizi, kelengkapan suplementasi vitamin A dan imuniasi berdampak pada sistem kekebalan tubuh anak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak baik secara antropometri dan secara biokimia. Status gizi yang kurang erat kaitannya dengan sistem imunitas tubuh, asupan makanan, dan penyakit infeksi. Semakin rendah status gizi seseorang semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas, dimana morbiditas merupakan suatu indikator yang dapat menentukan status kesehatan anak.

4

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian ”Vitamin A Conteent of Fortified Unbranded Cooking Oil in the and of Distribution Point Up to Households and Its Impact on Vitamin A Status Among Preschool Children” oleh Erry Yudhya Mulyani, M.Sc dari Univeristas Esa Unggul dan pendanaan dari Danone 2015. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan penelitian Ethical Clearence: No 67/FIKES/XII/2014 Universitas Esa Unggul.

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Pemilihan lokasi penelitian secara purposive yaitu Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus dan Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobongan, Provinsi Jawa Tengah. Pengambilan wilayah tersebut berdasarkan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan yaitu pada bulan Februari dan Maret 2016.

Jumlah dan Teknik Penarikan Subjek

Subjek anak usia 1-3 tahun dari tiga desa di Kecamatan yang sudah ditentukan. Jumlah anak dihitung dengan serum retinol yang menjadi indikator utama untuk menentukan ukuran. Ukuran subjek yang diperlukan untuk mendeteksi perubahan minimal setidaknya 10% dari konsentrasi retinol dalm serum darah, interval kepercayaan 95% (1.96) dan kekuatan statistik dari 90% (1.28), ukuran penentuan anak untuk penelitian ini dihitung dengan berdasarkan rumus dibawah ini :

n = 2σ2

(Z1-α/2 + Z1-β)2 δ2

Z1-α/2 = derajat kepercayaan 95% (1.96) Z1-β = derajat kekuatan 90% (1.28)

(40)

21 Perhitungan :

n = 2 (14.2)2 (1.96 +1.28)2 / 8.12 = 2 (201.64) (10.4976) /65.61 = 403.28 x 10.4976 / 65.61 = 64.5≈65

Jumlah subjek minimal yang diperlukan berdasarkan rumus tersebut adalah 65 untuk mengantisipasi pengurangan subjek selama penelitian jumlah tersebut ditambahkan 10 persen dari jumlah subjek menjadi 70 anak usia 1-3 tahun. Dua kabupaten yang dipilih sebagai tempat pengambilan anak di Jawa Tengah berdasarkan cakupan suplementasi vitamin A tinggi dan rendah, yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobongan. Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus dan Grobongan merekomendasikan satu kecamatan yang mewakili cakupan suplementasi vitamin A tinggi dan rendah yaitu untuk Kabupaten Kudus di Kecamatan Undaan dan Kabupaten Grobongan di Kecamatan Gubug. Puskesmas kecamatan yang sudah ditetapkan dipilihlah tiga desa untuk mewakili cakupan tinggi dan rendah vitamin A atas rekomendasi puskesmas kecamatan, yaitu untuk Kecamatan Undaan desa yang dipilih Wonosoco, Berugenjang dan Lambangan, untuk Kecamatan Gubug desa yang dipilih Tambak, Jati dan Pranten. Tahapan pengambilan subjek dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tahapan pengambilan subjek

Kabupaten Kudus (Cakupan Tinggi)

Kabupaten Grobogaan (Cakupan Rendah)

Kecamatan Undaan Kecamatan Gubug

Desa Wonosoco

Desa Berugenjang

Desa lambangan

Desa Tambak

Desa Jati

Desa Pranten

Pemeriksaan Kesehatan

Pemeriksaan Kesehatan

70 anak 70 anak

(41)

22

Data tersebut menunjukan jumlah anak usia 1-3 tahun di Kabupaten Kudus Kecamatan Undaan sebesar 112 dan Kabupaten Grobogan Kecamatan Gubug sebesar 124, data di dapatkan dari bidan desa. Peneliti mengundang ibu dan anak melalui bidan desa untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak. Pengambilan anak berdasarkan proposive kuota sampling kriteria inklusi. Kriteria inklusi pengambilan subjek anak antara lain : 1) anak dalam keadaan sehat (hasil pemeriksaan dokter setempat); 2) bersedia diambil darah; 3) bersedia mematuhi prosedur penelitian dalam informed consent. Jumlah hasil pemilihan berdasarkan kriteria inklusi di dapatkan sebesar 70 anak pada setiap lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan dari studi literature dan data anak 1-3 tahun yang ada di bidan desa, sedangkan data primer yang dikumpulkan data karakteristik ibu, pola asuh, PHBS, asupan zat gizi, karakteristik anak, status vitamin A, pemberian suplementasi vitamin A, kelengkapan imunisasi, dan morbiditas (jenis penyakit infeksi, frekuensi sakit dan lama sakit).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh akan diperiksa kembali untuk memastikan data yang diperlukan telah terkumpul. Data kemudian diolah melalui tahapan coding, entry, cleaning, pengkategorian data dan analisis data. Kategori dari masing-masing variabel tercantum pada Tabel 2.

Data karakteristik ibu terdiri dari umur, pendidikan dan pendapatan yang dikumpulkan melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner. Pengetahuan gizi dan kesehatan yaitu ibu diberikan daftar pertanyaan tersebut, hasil jawaban diberi skor dan dihitung jawaban yang benar. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan dan kesehatan melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner. Data pola asuh makan terdiri dari 1) prektek pemberian ASI, 2) praktik pemberian makanan pendamping ASI, 3) pembiasaan konsumsi makanan, dan 4) situasi dan kondisi pemberian makanan, sedangkan data pola asuh kesehatan terdiri dari 1) pola asuh kesehatan yang sifatnya preventif, 2) pola asuh ketika anak dalam keadaan sakit, dan 3) praktik higiene anak (Yulia 2008). Data perilaku hidup bersih dan sehat melalui wawancara langsung meggunakan kuesioner terdiri dari 1) pertolongan persalinan, 2) kebiasaan merokok, 3) imunisasi lengkap, 4) penimbangan rutin anak, 5) sarapan pagi sebelum aktifitas, 6) memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan, 7) cuci tangan pakai sabun air bersih, 8) kebiasaan gosok gigi sebelum tidur, 9) olah raga rutin, 10) makan sayur dan buah setiap hari, dan 11) ketersediaan sarana fisik yang menunjang PHBS (Depkes 2008).

Gambar

Gambar 2  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3 Tahapan pengambilan subjek
Tabel 2  Jenis, cara pengumpulan, dan pengkategorian
Tabel 2 Jenis, cara pengumpulan, dan pengkategorian (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

FORM APLIKASI PENGAJUAN KEPENGURUSAN PRONAMADU..  Nama

Oleh karena itu penelitian ini akan membahas sistem pendukung keputusan yang diharapkan dapat membantu karyawan di Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kemdikbud

Dari hasil pengujian closed-loop dengan gangguan didapatkan bahwa metode. closed-loop dapat mengatasi gangguan

Manfaat yang da- pat diperoleh melalui penelitian peng- embangan ini adalah : (1) memberikan alternatif pemecahan masalah keku- rangan media belajar di SMA/MA khususnya

Judul Skripsi : Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasir Besi di Desa Welahan Wetan Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap (Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah

Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK) yang merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Metode pengumpulan data diantaranya observasi aktivitas

Apabila nilai MP dan STI semakin tinggi, maka klon tersebut semakin tahan salinitas (Eivazi et al., 2013), sehingga dengan menghitung indeks ketahanan salinitas

Improving Students’ Reading Comprehension Using Know Want Learn (KWL) Strategy For the Second Grade Students of SMP NU Suruh in Academic Year 2015/2016.. A Graduating