UJI EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL BUAH
TANAMAN SAWO (Achras zapota L.) TERHADAP
MENCIT JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:MARINA PUTRI SEBAYANG 081524032
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL BUAH TANAMAN SAWO (Achras zapota L.) TERHADAP MENCIT JANTAN
OLEH:
MARINA PUTRI SEBAYANG 081524032
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: Desember 2010
Disetujui oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji
(Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.) (Dr. Rosidah, M.Si, Apt.) NIP. 195208241983031001 NIP. 195103261978022001
Pembimbing II, (Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.) NIP. 195208241983031001
(Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt.) (Dr. Edy Suwarso, SU., Apt.) NIP. 195008221974121002 NIP. 130935857
(Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt.)
NIP. 195107231982032001
Disahkan oleh: Dekan Fakultas Farmasi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah
yang telah diberikan selama ini, serta shalawat dan salam untuk Rasul Allah
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya kejalan yang berilmu
pengetahuan seperti saat ini. Alhamdulillah, skripsi yang berjudul UJI EFEK
ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL BUAH TANAMAN SAWO (Achras zapota
L.) TERHADAP MENCIT JANTAN dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini
disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi tentunya banyak pihak yang memberikan
bantuan, untuk itu rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya
berikan untuk kedua orangtua saya tercinta, Ayahanda Firman Sebayang dan
Ibunda Maryati Ginting juga kepada abang dan adik tercinta, Amri Sahbana
Sebayang dan Amru Aginta Sebayang. Terima kasih atas segala kasih sayang,
doa, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya diberikan selama ini.
Dengan segala ketulusan hati penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Drs.Saiful Bahri, MS., Apt. dan Drs. Awaluddin
Saragih, M.Si., Apt. yang senantiasa memberikan bimbingannya dengan sabar
selama ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi USU
yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
2. Drs. Muchlisyam, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik
3. Dr. Rosidah M.Si, Apt., Dr. Edy Suwarso, SU., Apt., Dra. Suwarti Aris M.Si.,
Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran atas
skripsi ini.
4. Dosen-dosen beserta staf Laboratorium Obat Tradisional dan Laboratorium
5. Teman-teman mahasiswa/i farmasi terutama ekstensi ’08 yang senantiasa
memberi semangat, doa dan dukungannya selama ini sehingga penelitian dan
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penyusunan skripsi ini.
Disadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
sehingga diharapkan adanya masukan atau saran dari para pembaca. Akhir kata,
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
ABSTRAK
UJI EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL BUAH TANAMAN SAWO (Achras zapota L.)
TERHADAP MENCIT JANTAN
Tanaman sawo (Achras zapota L.) merupakan tumbuhan tropis yang cukup luas penyebarannya di Indonesia. Getah dari buah atau buah sawo yang masih muda sering digunakan masyarakat untuk mengatasi diare. Khasiatnya sebagai antidiare ini diduga karena adanya kandungan tanin dalam jumlah yang cukup besar pada buah sawo yang masih muda.
Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi simplisia terhadap kadar air, kadar abu total, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam etanol, kadar sari yang larut dalam air. Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid dan tanin pada buah sawo muda. Pengujian efek antidiare ekstrak etanol buah sawo terhadap mencit jantan dilakukan dengan metode induksi minyak jarak. Ekstrak etanol buah sawo diberikan secara oral dengan dosis 1 g, 2 g, dan 2,5 g/ kg BB. Pengamatan meliputi jumlah mencit diare, konsistensi feses, frekuensi defekasi, bobot feses, serta jangka waktu terjadinya diare. Respon yang terjadi pada tiap mencit diamati selama 6 jam selang waktu 30 menit.
Pemeriksaan simplisia buah sawo menghasilkan kadar air 15,33%, kadar abu total 1,89%, kadar abu yang tidak larut asam 0,95%, kadar sari yang larut dalam etanol 37,45%, kadar sari yang larut dalam air 38,01%. Hasil skrining fitokimia simplisia buah sawo menunjukkan adanya flavonoid, glikosida, dan tanin. Hasil pengujian efek antidiare ekstrak etanol buah sawo pada dosis 2,5 g/kg BB sebanding dengan Loperamid HCl 2 mg/kg BB.
ABSTRACT
ANTI-DIARRHEAL ACTIVITY FROM THE FRUIT OF SAPODILLA (Achras zapota L.) ETHANOLIC EXTRACT
IN MALE MICE
Sapodilla plant (Achras zapota L.) is a widely growing tropical fruit in Indonesia. Indonesian often use the fruit latex or unripe fruit to stop diarrhea. The anti-diarrhea effect probably because of a large number of tannin content in unripe fruit.
The characterization of sapodilla simplex including the water content, total ash content, insoluble ash in acid content, concentrate alcohol-soluble content, concentrate water-soluble content. The phytochemical screening is use to evaluate alkaloids, flavonoids, glycoside, steroids/triterpenoids and tannin content in unripe fruit. The effect of sapodilla ethanolic extract was studied using castor oil-induced diarrhea model in mice. Sapodilla ethanolic extract was given orally at doses 1 g, 2 g, and 2.5 g/kg BW. The observations of anti-diarrhea included total number of diarrhea in mice, the consistency of the faeces, the frequency of defecacy, the weight of faeces, and the diarrhea duration. The respons which come from each mice monitored every 30 minutes during 6 hours.
The characterization showed that sapodilla simplex had 15.33% water content, 1.89% total ash content, 0.91% insoluble ash in acid content, 37.45% concentrate alcohol-soluble content, 38.01% concentrate water-soluble content. Phytochemical analysis of sapodilla ethanolic extract revealed the presence of flavonoid, glycosides, and tannin. Anti-diarrhea effect of sapodilla ethanolic extract at 2.5 g/kg BW showed the same effect with Loperamide 2 mg/kg BW.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat ... 4
1.6 Kerangka Konsep Penelitiaan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 2.1 Uraian Tumbuhan ... 5
2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 6
2.1.2 Khasiat... 6
2.1.3 Kandungan Kimia ... 7
2.4 Diare ... 9
2.4.1 Patofisiologi Diare ... 10
2.4.2 Klasifikasi Diare ... 10
2.4.3 Terapi ... 12
2.4.4 Obat-obat Diare ... 14
2.5 Loperamid Hidrokloridum ... 15
2.6 Minyak Jarak... 16
BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1 Alat dan Bahan ... 17
3.1.1 Alat ... 17
3.1.2 Bahan ... 17
3.2 Pembuatan Pereaksi ... 18
3.2.1 Larutan Pereaksi Mayer ... 18
3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendroff ... 18
3.2.3 Larutan Pereaksi Bouchardat ... 18
3.2.4 Larutan Pereaksi Molish ... 18
3.2.5 Larutan Pereaksi Besi (III) klorida 1% ... 19
3.2.6 Larutan Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ... 19
3.2.7 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N ... 19
3.2.8 Larutan Pereaksi Kloralhidrat ... 19
3.2.10 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2 N ... 19
3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 19
3.3.1 Pengumpulan Sampel ... 19
3.3.2 Identifikasi Sampel ... 20
3.3.3 Pengolahan Sampel ... 20
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 20
3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 20
3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik... 20
3.4.3 Penetapan Kadar Air ... 21
3.4.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air ... 21
3.4.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Etanol ... 22
3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total ... 22
3.4.7 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Dalam Asam 22
3.5 Skrining Fitokimia Simplisia Buah Sawo ... 23
3.5.1 Pemeriksaan Alkaloid ... 23
3.5.2 Pemeriksaan Flavonoid ... 23
3.5.3 Pemeriksaan Glikosida ... 23
3.5.4 Pemeriksaan Tanin ... 24
3.5.5 Pemeriksaan Saponin ... 24
3.5.6 Pemeriksaan Steroid/triterpenoid ... 24
3.7 Pengujian Efek Antidiare ... 25
3.7.1 Penyiapan Hewan Coba ... 25
3.7.2 Penyiapan Bahan ... 26
3.7.2.1 Pembuatan Suspensi CMC Na 0,5% (b/v) ... 26
3.7.2.2 Pembuatan Suspensi Loperamid HCl dari Tablet Imodium® ... 26
3.7.2.3 Pembuatan Suspensi Ekstrak Buah Sawo dengan Berbagai Konsentrasi ... 26
3.7.3 Prosedur Percobaan ... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
5.1 Kesimpulan ... 36
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 4
4.1 Jumlah Mencit yang Mengalami Diare Setiap 30 Menit ... 28
4.2 Profil Konsistensi Feses Mencit ... 30
4.3 Profil Frekuensi Defekasi ... 31
4.4 Bobot Total Feses ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Bagan Kerja Penelitian ... 38
2 Tumbuhan Sawo ... 39
3 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 41
4 Mikroskopik Serbuk Simplisia Buah Sawo ... 42
5 Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Buah Sawo ... 43
6 Hewan Percobaan ... 47
7 Mencit dalam Wadah Pengamatan dan Kandang Mencit ... 48
8 Feses Mencit dalam Berbagai Konsistensi ... 49
9 Hasil Pengujian Efek Antidiare ... 50
10 Volume Maksimum Larutan Sediaan Uji yang Dapat Diberikan pada Hewan Uji ... 54
11 Perhitungan Konversi Dosis ... 55
12 Perhitungan Volume Pemberian Ekstrak Sawo Dosis 1g, 2 g, 2,5 g/kg BB dan Loperamid 2 mg/kg BB ... 57
13 Hasil Uji Statistik ... 59
ABSTRAK
UJI EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL BUAH TANAMAN SAWO (Achras zapota L.)
TERHADAP MENCIT JANTAN
Tanaman sawo (Achras zapota L.) merupakan tumbuhan tropis yang cukup luas penyebarannya di Indonesia. Getah dari buah atau buah sawo yang masih muda sering digunakan masyarakat untuk mengatasi diare. Khasiatnya sebagai antidiare ini diduga karena adanya kandungan tanin dalam jumlah yang cukup besar pada buah sawo yang masih muda.
Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi simplisia terhadap kadar air, kadar abu total, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam etanol, kadar sari yang larut dalam air. Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid dan tanin pada buah sawo muda. Pengujian efek antidiare ekstrak etanol buah sawo terhadap mencit jantan dilakukan dengan metode induksi minyak jarak. Ekstrak etanol buah sawo diberikan secara oral dengan dosis 1 g, 2 g, dan 2,5 g/ kg BB. Pengamatan meliputi jumlah mencit diare, konsistensi feses, frekuensi defekasi, bobot feses, serta jangka waktu terjadinya diare. Respon yang terjadi pada tiap mencit diamati selama 6 jam selang waktu 30 menit.
Pemeriksaan simplisia buah sawo menghasilkan kadar air 15,33%, kadar abu total 1,89%, kadar abu yang tidak larut asam 0,95%, kadar sari yang larut dalam etanol 37,45%, kadar sari yang larut dalam air 38,01%. Hasil skrining fitokimia simplisia buah sawo menunjukkan adanya flavonoid, glikosida, dan tanin. Hasil pengujian efek antidiare ekstrak etanol buah sawo pada dosis 2,5 g/kg BB sebanding dengan Loperamid HCl 2 mg/kg BB.
ABSTRACT
ANTI-DIARRHEAL ACTIVITY FROM THE FRUIT OF SAPODILLA (Achras zapota L.) ETHANOLIC EXTRACT
IN MALE MICE
Sapodilla plant (Achras zapota L.) is a widely growing tropical fruit in Indonesia. Indonesian often use the fruit latex or unripe fruit to stop diarrhea. The anti-diarrhea effect probably because of a large number of tannin content in unripe fruit.
The characterization of sapodilla simplex including the water content, total ash content, insoluble ash in acid content, concentrate alcohol-soluble content, concentrate water-soluble content. The phytochemical screening is use to evaluate alkaloids, flavonoids, glycoside, steroids/triterpenoids and tannin content in unripe fruit. The effect of sapodilla ethanolic extract was studied using castor oil-induced diarrhea model in mice. Sapodilla ethanolic extract was given orally at doses 1 g, 2 g, and 2.5 g/kg BW. The observations of anti-diarrhea included total number of diarrhea in mice, the consistency of the faeces, the frequency of defecacy, the weight of faeces, and the diarrhea duration. The respons which come from each mice monitored every 30 minutes during 6 hours.
The characterization showed that sapodilla simplex had 15.33% water content, 1.89% total ash content, 0.91% insoluble ash in acid content, 37.45% concentrate alcohol-soluble content, 38.01% concentrate water-soluble content. Phytochemical analysis of sapodilla ethanolic extract revealed the presence of flavonoid, glycosides, and tannin. Anti-diarrhea effect of sapodilla ethanolic extract at 2.5 g/kg BW showed the same effect with Loperamide 2 mg/kg BW.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
381/Menkes/SK/III/2007 menyatakan bahwa Indonesia merupakan mega-senter
keragaman hayati dunia, dan menduduki urutan terkaya kedua di dunia setelah
Brazilia. Jika biota laut ikut diperhitungkan, maka Indonesia menduduki urutan
terkaya pertama di dunia. Di bumi kita ini diperkirakan hidup sekitar 40.000
spesies tumbuhan, dimana 30.000 spesies hidup dikepulauan Indonesia. Diantara
30.000 spesies tumbuhan yang hidup di kepulauan Indonesia, diketahui
sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300
spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat
tradisional (Depkes RI, 2007).
Dalam dua dasawarsa terakhir, perhatian dunia terhadap obat-obatan dari
bahan alam (obat tradisional) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara
berkembang maupun negara-negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa hingga 65% dari penduduk negara-negara maju telah
menggunakan pengobatan tradisional, dimana didalamnya termasuk penggunaan
bahan-bahan alam. Menurut data Secretariat Convention on Biological Diversity,
pasar global obat bahan alam mencakup bahan baku pada tahun 2000 mencapai
nilai US$ 43 milyar. Data yang akurat mengenai nilai pasar obat tradisional
Indonesia belum dimiliki, tetapi nilainya diperkirakan lebih dari US$ 1 milyar
Banyak tanaman obat yang digunakan secara empiris oleh masyarakat sebagai
obat diare. Adapun tanaman obat yang dapat digunakan untuk membantu
mengatasi diare diantaranya mempunyai efek sebagai adstringen yaitu dapat
mengerutkan selaput lendir usus sehingga mengurangi pengeluaran cairan diare
dan disentri, selain itu juga mempunyai efek sebagai antiradang dan antibakteri
(Tan dan Rahardja, 2002).
Sawo yang disebut neesbery atau sapodilas adalah tanaman buah yang
berasal dari Guatemala (Amerika Tengah), Meksiko dan Hindia Barat. Di
Indonesia secara tradisional sawo yang belum masak dapat digunakan untuk
menghentikan diare (Anonim, 2005 ).
Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan peningkatan kecepatan
pengosongan usus besar dan peningkatan kandungan air pada feses. Pada
umumnya, apabila terjadi defekasi lebih dari 3 kali sehari, pengeluaran feses
dengan konsistensi lunak/cair atau kombinasi keduanya mencerminkan suatu
kondisi tidak normal pada proses defekasi (Jeejeebhoy, 1977).
Dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat, kebenaran bahan baku
penting untuk menjamin manfaat dan keamanan pengobatan. Oleh karena itu
sebelum dilakukan penelitian untuk melihat efek tumbuhan secara farmakologi,
tumbuhan yang digunakan dikarakterisasi terlebih dahulu untuk menjamin mutu
bahan baku yang akan digunakan (Sari, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian uji efek antidiare
ekstrak etanol buah sawo (Achras zapota L.) pada mencit jantan yang dibuat diare
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
a. apakah dengan melakukan karakterisasi simplisia buah sawo dapat diketahui
karakteristiknya ?
b. apakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada buah sawo ?
c. apakah ekstrak buah sawo mempunyai efek antidiare ?
d. apakah ekstrak buah sawo mempunyai efek yang sebanding dengan
Loperamid HCl ?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
a. karakteristik simplisia buah sawo dapat diketahui.
b. simplisia buah sawo mempunyai kandungan senyawa yang dapat
menunjukkan aktivitas antidiare.
c. ekstrak buah sawo mempunyai efek antidiare.
d. ekstrak buah sawo pada dosis tertentu mempunyai efek yang sebanding
dengan Loperamid HCl.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui karakteristik dari simplisia buah sawo.
b. untuk mengetahui golongan senyawa kimia buah sawo.
c. untuk membuktikan efek antidiare dari buah sawo.
d. untuk mengetahui pada dosis berapa ekstrak buah sawo memberikan efek anti
1.5 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. karakteristik simplisia buah sawo dapat digunakan sebagai acauan dalam
pembuatan simplisia.
b. sebagai sumber informasi golongan kandungan kimia buah sawo.
c. sebagai sumber informasi secara ilmiah mengenai khasiat buah sawo dalam
menghambat diare.
1.6 Kerangka Konsep Penelitiaan
Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian Serbuk Simplisia
Variabel Bebas
Minyak Jarak Suspensi Ekstrak SuspensiLoperamid
Variabel Bebas
Uji Pendahuluan (Karakterisasi dan SkriningFitokimia)
Variabel Terikat
Uji Efektifitas Antidiare
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Sawo yang disebut neesbery atau sapodilas adalah tanaman buah yang
berasal dari Guatemala (Amerika Tengah), Meksiko dan Hindia Barat. Di
Indonesia, tanaman sawo telah lama dikenal dan banyak ditanam mulai dari
dataran rendah sampai tempat dengan ketinggian 1200 m dpl, seperti di Jawa dan
Madura. Kerabat dekat sawo dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) sawo liar atau sawo hutan
Kerabat dekat sawo liar antara lain: sawo kecik dan sawo tanjung. Sawo
kecik atau sawo jawa (Manilkara kauki L. Dubard.) dimanfaatkan sebagai
tanaman hias atau tanaman peneduh halaman. Kayu pohonnya sangat bagus untuk
dibuat ukiran dan harganya mahal. Sawo tanjung (Minusops elingi) memiliki buah
kecil-kecil berwarna kuning keungu-unguan, jarang dimakan, sering digunakan
sebagai tanaman hias, atau tanaman pelindung di pinggir-pinggir jalan.
2) sawo budidaya
Berdasarkan bentuk buahnya, sawo budidaya dibedakan atas dua jenis,
yaitu:
a. Sawo Manila
Buah sawo manila berbentuk lonjong, daging buahnya tebal, banyak mengandung
air dan rasanya manis. Termasuk dalam kelompok sawo manila antara lain adalah:
b. Sawo Apel
Sawo apel dicirikan oleh buahnya yang berbentuk bulat atau bulat telur mirip
buah apel, berukuran kecil sampai agak besar, dan bergetah banyak. Termasuk
dalam kelompok sawo apel adalah: sawo apel kelapa, sawo apel lilin dan sawo
duren (Anonim, 2000).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan sawo adalah sebagai berikut
divisi : Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae
kelas : Dicotyledonae
bangsa : Ebenales
suku : Sapotaceae
marga : Achras
jenis : Acrhras zapota L. (Sugati dan Johnny, 1991).
2.1.2 Khasiat
Getah buah daun Achras zapota L berkhasiat sebagai obat mencret,
disamping itu getahnya dapat digunakan sebagai campuran gula-gula. Untuk obat
mencret dipakai lebih kurang 15 tetes getah buah Achras zapota L, diseduh
dengan ½ gelas air matang panas. Hasil seduhan diminum sekaligus (Sugati dan
Johnny, 1991).
Selain menggunakan getahnya, buah muda dari sawo juga dapat
digunakan untuk obat diare. Sebagai obat diare dapat digunakan satu buah muda,
kemudian diparut, lalu diperas dan disaring. Air hasil saringannya direbus selama
2.1.3 Kandungan Kimia
Daun dan batang Achras zapota L mengandung flavonoid, disamping itu
daun juga mengandung saponin dan batangnya juga mengandung tanin (Sugati
dan Johnny, 1991).
Selain menggunakan getahnya, buah muda dari sawo juga dapat
digunakan untuk obat diare. sebagai obat diare dapat digunakan satu buah muda,
kemudian diparut, lalu diperas dan disaring. air hasil saringannya direbus selama
15 menit (Anonim, 2010).
2.3 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
Ekstraksi adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh
kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Ekstrak adalah
sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau
hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung,
ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari yang
digunakan air, etanol dan campuran air etanol (Ditjen POM, 1984).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam
dua cara, yaitu:
a. maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang terus
menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya.
b. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak) terus menrus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya
1-5 kali bahan.
2. cara panas
a. refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
b. soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontiniu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC.
d. infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
e. dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai
titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.4 Diare
Diare adalah suatu kondisi yang menunjukkan frekuensi dan konsistensi
buang air besar yang meningkat dibandingkan dengan individu dalam kondisi
pencernaan yang normal. Frekuensi dan konsistensi berbeda-beda pada tiap
individu. Sebagai contoh, beberapa individu defekasi tiga kali sehari, sedangkan
yang lainnya hanya dua atau tiga kali seminggu (Wells, dkk, 2006).
Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi
bubur (chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut
oleh enzim-enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari
90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar
(colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di colon mencerna lagi
sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa-sisa-sisa tersebut dapat
diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga direabsorpsi
kembali sehingga akhirnya isi usus menjadi lebih padat.
Tetapi kadang terjadi peristaltik usus yang meningkat sehingga pelintasan
chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat
meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penyebab utamanya adalah bertumpuknya
cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi.
Pada keadaan normal, proses reabsorpsi dan sekresi dari air dan
elektrolit-elektrolit berlangsung pada waktu yang sama di sel-sel epitel mukosa. Proses ini
diatur oleh beberapa hormon, yaitu resorpsi oleh enkefalin, sekresi diatur oleh
reabsorpsi melebihi sekresi, tetapi karena suatu sebab sekresi menjadi lebih besar
daripada reabsorpsi, oleh karena itulah diare terjadi (Tan dan Rahardja, 2002).
2.4.1 Patofisiologi Diare
Terdapat 4 mekanisme patofisiologi diare yang mengganggu
keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare, yaitu:
1. perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi
natrium atau peningkatan sekresi klorida
2. perubahan motilitas usus
3. peningkatan osmolaritas luminal
4. peningkatan tekanan hidrostatik jaringan
Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokkan diare secara klinik, yaitu:
1. Secretory diarrhea, terjadi ketika adanya rangsangan dari suatu substansi
seperti vasoactive intestinal peptide (VIP), pencahar atau toksin bakteri. hal
tersebut dapat meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi air dan
elektrolit dalam jumlah besar.
2. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan
cairan intestinal
3. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaan yang
mengeluarkan mucus, protein atau darah ke dalam saluran pencernaan.
4. Motilitas usus, suatu kondisi hiperperistaltik usus yang mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan.
2.4.2 Klasifikasi Diare
Berdasarkan penyebabnya diare dapat dibedakan menjadi berikut:
a. Diare akibat virus, misalnya influenza perut dan travelers diarrhea yang
disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus.
b. Diare akibat bakteri (invasif), dapat disebabkan oleh Salmonella, Shigella,
Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
c. Diare parasiter, dapat disebabkan oleh Entamooeba Hystolitica, Giardia
Lambia, Cryptosporidium dan Cyclospora yang terutama terjadi didaerah
tropis.
d. Diare akibat enterotoksin, penyebabnya adalah kuman-kuman yang
membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah E.Coli dan Vibrio
Cholerae dan yang jarang adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter dan
Entamoeba Hystolitica (Tan dan Rahardja, 2002).
2. Klasifikasi berdasarkan organ yang terkena infeksi:
a. Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis, media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin, dan lainnya).
3. Klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut atau diare karena infeksi usus yang bersifat mendadak, dan bisa
berlangsung terus selama beberapa hari. Diare ini disebabkan oleh karena
infeksi usus sehingga dapat terjadi pada setiap umur dan bila menyerang
umumnya disebut gastroenteritis infantile.
b. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari dua minggu,
sedangkan diare yang sifatnya menahun diantara diare akut dan diare kronik
2.4.3 Terapi
Tujuan terapi pada pengobatan diare adalah untuk mengatur diet,
mencegah pengeluaran air dan elektrolit yang berlebihan, menormalkan gangguan
asam basa, menyembuhkan gejala, mengatasi penyebab diare, dan mengatasi
gangguan sekunder yang menyebabkan diare.
Pengaturan diet merupakan prioritas dalam pengobatan diare. Klinisi
merekomendasikan untuk menghentikan makanan padat selama 24 jam dan
menghindari produk-produk yang mengandung susu. Jika terjadi muntah dapat
diberikan antiemetik. Rehidrasi dan perbaikan air dan elektrolit adalah perawatan
primer sampai diare berakhir. Apabila muntah dan dehidrasi tidak parah,
pemberian makanan enteral merupakan metode yang terpilih (Well B, dkk, 2006).
Diare berdasarkan lama terjadinya diare dibedakan menjadi diare akut dan kronik,
berikut adalah tabel pedoman pengobatan diare akut dan kronik;
Gambar 2.1 Pedoman Pengobatan Diare Akut
Diare
Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik
Diare akut (< 3 hari)
Tidak terdapat demam atau gangguan sistemik
Pemeriksaan fess, meliputi sel darah merah/seldarahputih/parasit/
Tahap-tahap pengobatan diare akut adalah (1) pemeriksaan riwayat
kesehatan dan keadaan fisik, (2) tentukan apakah diare tersebut termasuk akut
atau kronik, apabila termasuk diare kronik, lanjutan pada Gambar 2.2, (3) apabila
termasuk diare kronik, lakukan pemeriksaan apakah pasien demam atau
mengalami gangguan sistemik lain, (4) apabila pasein demam atau mengalami
gangguan sistemik lain, maka lakukan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan
feses, meliputi adanya sel darah merah/sel darah putih/parasit/bakteri. Bila hasil
pemeriksaan feses terdapat sel darah/sel darah putih/parasit/bakteri, maka
pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik dan terapi simptomatik, (5)
apabila pasien tidak demam dan tidak ada gangguan sistemik lain, maka lakukan
terapi simptomatik.
Gambar 2.2 Pedoman Pengobatan Diare Kronik
Diare kronik
Diare (> 14 hari)
Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan Fisik
dapat diakibatkan oleh:
Tahap-tahap pengobatan diare akut adalah (1) pemeriksaan riwayat
kesehatan dan keadaan fisik, (2) penyebab terjadinya diare kronik, diantaranya
infeksi usus (oleh bakteri atau parasit), peradangan saluran cerna (Crohn’s
disease), malabsorbsi (intoleransi laktosa), gangguan aktivitas hormonal,
obat-obatan (antasida) dan gangguan motilitas (diabetes mellitus, irritable bowel
syndrome), (3) lakukan diagnosa dengan pemeriksaan laboratorium berdasarkan
kondisi pasien, (4) lakukan pengobatan berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, (5) bila hasil pemeriksaan negatif, maka lakukan terapi simptomatik
2.4.4 Obat-obat Diare
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan
menjadi beberapa kategori, yaitu:
1. kemoterapeutik, untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab
diare, seperti antibiotik, sulfonamid, kinolon dan furazolidon.
2. obstipansia, yang dibagi menjadi:
a. zat-zat penekan peristaltik, candu dan alkaloidnya, derivat petidin
(difenoksilat dan loperamid), dan antikolinergik (atropine dan ekstrak
belladonna).
b. adstringen, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak
(tanin) dan tanalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium.
c. adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya
dapat menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri. Yang
termasuk juga dalam golongan ini, antara lain adalah pektin,
3. spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare (Tan dan Rahardja, 2002).
Obat antimotilitas (penekan peristaltik) secara luas digunakan sebagai
terapi simtomatis pada diare akut ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin.
difenoksilat dan kodein menstimulasi aktivitas reseptor µ pada neuron
mienterikus dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan konduktasi
kaliumnya. Hal tersebut menghambat pelepasan asetilkolin dari pleksus
mienterikus dan menurunkan motilitas usus. Loperamid adalah opioid yang paling
tepat untuk efek lokal pada usus karena tidak menembus ke dalam sawar otak.
Oleh karena itu loperamid tidak dapat menyebabkan ketergantungan.
Antibiotik, berguna hanya pada infeksi spesifik tertentu, misalnya pada
penyakit kolera dan disentri basiler yang dapat diterapi dengan tetrasiklin.
Kuinolon adalah obat yang lebih baru yang tampaknya efektif melawan patogen
diare yang paling penting (Neal, 2006).
2.5 Loperamid Hidrokloridum
Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang
dua sampai tiga kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat
sehingga tidak menimbulkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan
keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang
berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tan dan
2.6 Minyak Jarak
Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasar dari biji Ricinus
communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus
halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar.
Minyak jarak juga bersifaat emolien. Sebagai pencahar obat ini tidak banyak
digunakan lagi karena banyak obat yang lebih aman. Minyak jarak menyebabkan
kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan
induksi diare pada penelitian diare secara eksperimental pada hewan percobaan
(Arief, 1995).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap (RAL). Penelitian meliputi pengumpulan sampel, identifikasi
sampel, pengolahan sampel, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia,
pembuatan ekstrak, penyiapan hewan percobaan, dan pengujian efek antidiare
secara oral pada mencit jantan. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA
(analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan menggunakan
program SPSS versi 17.
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat
Alat-alat gelas, pisau, lemari pengering, seperangkat alat perkolator,
seperangkat alat destilasi, oven listrik (Fischer scientific), neraca hewan (Presica
Geniweigher GW-1500), neraca kasar, neraca listrik (Vibra AJ), ayakan, pipet
tetes, eksikator (Fischer Scientific), mortir dan stamper, krus porselin, mikroskop
(Olympus), kaca objek (object glass), kaca penutup (deck glass), rotary
evaporator, freeze dryer (Edward), blender (National), cawan porselen, cawan
porselen berdasar rata, alumunium foil, kertas saring, kertas saring, spatula,
stopwatch, kandang hewan, oral sonde, pot plastik, wadah pengamatan.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan baku dan
bahan kimia. Bahan yang digunakan adalah buah sawo muda minyak jarak, CMC
digunakan berkualitas pro analisa kecuali dinyatakan lain adalah kloralhidrat,
toluen, kloroform, asam klorida 2N, besi (III) klorida, natrium hidroksida, timbal
(II) asetat, asam asetat anhidrat, asam asetat pekat, natrium klorida, kalium iodida,
iodium, α-naftol, asam nitrat, bismuth nitrat, etil asetat, isopropanol, natrium
sulfat anhidrat, serbuk seng, serbuk magnesium, metanol, eter, etanol 70 %
(teknis), etanol 96 % (teknis), air suling (teknis).
3.2 Pembuatan Pereaksi 3.2.1 Larutan Pereaksi Mayer
Dilarutkan 1,36 g raksa (II) klorida P dalam 60 ml air, tambahkan pada
larutan 5 g larutan kalium iodida P dalam 10 ml air, encerkan dengan air
seluruhnya hingga 100 ml. dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen
POM, 1995).
3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendroff
Dilarutkan 8 g bismuth nitrat P dilarutkan asam nitrat 20 ml kemudian
dicampur dengan larutan kalium iodida 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran
didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan
dengan air secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).
3.2.3 Larutan Pereaksi Bouchardat
Dilarutkan 2 g iodium P dan 4 g kalium iodida P dalam air secukupnya
hingga diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1995).
3.2.4 Larutan Pereaksi Molish
Dilarutkan 3 g α- naftol dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga
3.2.5 Larutan Pereaksi Besi (III) klorida 1%
Dilarutkan 1 g besi (III) klorida dalam air suling hingga diperoleh 100 ml
larutan kemudian disaring.
3.2.6 Larutan Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M
Dilarutkan 15,17 g timbal (II) asetat dengan air suling bebas CO2 hingga
diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1995).
3.2.7 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N
Dilarutkan 8,001 g natrium hidroksida dalam air suling hingga diperoleh
100 ml larutan (Ditjen POM, 1995).
3.2.8 Larutan Pereaksi Kloralhidrat
Dilarutkan 50 g kloralhidrat P dalam 20 ml air (Ditjen POM, 1994).
3.2.9 Larutan Asam Sulfat 2 N
Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1994).
3.2.10 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1994).
3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel 3.3.1 Pengumpulan Sampel
Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa
membandingkannya dengan sampel dari daerah lain. Tumbuhan yang digunakan
adalah buah sawo yang masih muda dan didapatkan rumah warga di Jl.Terompet,
Pasar I, Kecamatan Medan Baru, Kelurahan Padang Bulan, Kota Madya Medan,
3.3.2 Identifikasi Sampel
Determinasi sampel dilakukan di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor (hasil identifikasi pada lampiran 3 , halaman
30).
3.3.3 Pengolahan Sampel
Buah sawo yang masih muda dikumpulkan dan dibersihkan dari
pengotoran dengan menggunakan air bersih yang mengalir, kemudian ditiriskan.
Selanjutnya dibuang bagian yang tidak diperlukan (sortasi basah), kemudian
ditimbang berat basahnya. Buah sawo muda selanjutnya diiris tipis-tipis dan
dikeringkan di dalam lemari pengering selama 2 minggu dan ditimbang berat
kering simplisia. Setelah kering, simplisia diserbuk hingga halus menggunakan
blender dan diayak. Disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia
Dilakukan pemeriksaan karakterisasi simplisia yang meliputi pemeriksaan
makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut
dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total
dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1995; WHO,
1992).
3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia buah sawo
meliputi bentuk, bau, warna dan rasa.
3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan
serbuk simplisia, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah
mikroskop (hasil pemeriksaan pada lampiran ,hal ).
3.4.3 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluen).
Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung
penyambung dan penerima 10 ml.
Ke dalam labu alas bulat di masukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling,
destilasi selama 2 jam, biarkan menjadi dingin selama 30 menit dan volume air
dalam tabung penampung dibaca. Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 gram
serbuk simplisia lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena
mendidih, kecepatan tetesan diatur yaitu 2 tetesan perdetik sampai sebagian air
terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes perdetik.
Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.
Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penampung dibiarkan
dingin sampai sama dengan suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah
sempurna, dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air
yang dibaca sesuai dengan kandungan air di dalam bahan yang diperiksa (WHO,
1992).
3.4.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi
selama 24 jam dalam 100 ml campuran air dan kloroform (2,5 kloroform dalam
air sampai 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam
pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 ml filtrat
sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam
air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM,1995).
3.4.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Etanol
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia yang telah dikeringkan dimaserasi
selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok
sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian
disaring, 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata
yang telah ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap.
Kadar sari larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(Ditjen POM, 1995).
3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 gram serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Krus dipijar pada suhu 600oC sampai arang habis. Selanjutnya
didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).
3.4.7 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan
dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam
asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu dan dicuci dengan air
panas. Residu dan kertas saring dipijar pada suhu 600oC sampai bobot tetap,
kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam
3.5 Skrining Fitokimia Simplisia Buah Sawo
Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi: pemeriksaan senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan steroid/ triterpenoid.
3.5.1 Pemeriksaan Alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambah 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit.
Didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :
- Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan
terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.
- Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat akan
terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.
- Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendroff akan
terbentuk warna merah atau jingga (Ditjen POM, 1995).
3.5.2 Pemeriksaan Flavonoid
Sebanyak 10 g serbuk simplisia kemudian ditambahkan 100 ml air panas,
dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang
diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1 ml HCl
pekat da 2 ml amil alkohol, dikocok, dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif
jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol. (Fransworth,
1966).
3.5.3 Pemeriksaan Glikosida
Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 95%
dengan air suling (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N direfluk selama 1 jam,
ml timbal (II) asetat 0,4M, dikocok, diamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari
dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3) dilakukan berulang
sebanyak 3 kali. Kumpulan sari diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC.
Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa dimasukkkan dalam tabung
reaksi, pada sisanya ditambahkan 2 ml air suling dan 5 tetes peraksi Molish.
Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya
cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida (Ditjen POM,
1995).
3.5.4 Pemeriksaan Tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu
disaring, filtratnya diencerkan sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2
ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna
biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Harborne,
1996).
3.5.5 Pemeriksaan Saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi
ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik.
Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10
menit dan tidak hilang dengan penambahan satu tetes asam klorida 2 N
menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).
3.5.6 Pemeriksaan Steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam,
disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan 2
yang berubah menjadi biru atau biru hijau menunjukkan adanya
steroid/triterpenoid (Ditjen POM, 1995).
3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Sawo
Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut
etanol 70%. Cara kerja: sebanyak 200 gram serbuk simplisia dimasukkan ke
dalam bejana tertutup, tuangi cairan penyari sampai semua simplisia terendam
sempurna dan dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa
sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, tuangi
cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia
masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator dan biarkan selama 24 jam.
Biarkan cairan menetes, ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya
hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi
dihentikan hingga bila 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan tidak
meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap
vakum putar (Depkes RI, 1984).
3.7 Pengujian Efek Antidiare
Pengujian efek antidiare meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan
bahan uji, kontrol, obat pembanding, induktor diare, dan pengujian efek antidiare.
3.7.1 Penyiapan Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit (mus
musculus) jantan sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram. Satu
3.7.2 Penyiapan Bahan
Bahan yang digunakan meliputi suspensi CMC Na sebagai kontrol,
suspensi Loperamid HCl (Imodium®) sebagai pembanding, suspensi ekstrak
sawo sebagai bahan uji dan minyak jarak sebagai induktor diare.
3.7.2.1 Pembuatan Suspensi CMC Na 0,5% (b/v)
Sebanyak 500 mg CMC Na ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air
suling panas sebanyak 10 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga
diperoleh massa yang transparan, digerus lalau diencerkan dengan air suling
hingga 100 ml (Anief M, 1995).
3.7.2.2 Pembuatan Suspensi Loperamid HCl dari Tablet Imodium®
Satu tablet Imodium® mengandung 2 mg Loperamid HCl. Berat satu
tablet Imodium ® adalah 162 mg. Sebanyak satu tablet Imodium® digerus halus
dalam lumpang kemudian ditambah suspensi CMC Na 0,5% sedikit demi sedikit
sambil digerus homogen, kemudian diencerkan dengan suspensi CMC Na 0,5%
hingga 10 ml (perhitungan volume pemberian pada lampiran 12,hal ).
3.7.2.3 Pembuatan Suspensi Ekstrak Buah Sawo dengan Berbagai Konsentrasi
Ekstrak etanol buah sawo masing-masing sebanyak 300 mg, 600 mg dan
750 mg digerus dalam lumpang, lalu ditambahkan suspensi CMC Na 0,5% sedikit
demi sedikit sambil digerus homogen, lalu diencerkan dengan suspensi CMC Na
0,5% hingga 5 ml (perhitungan volume pemberian pada lampiran 12 ,halaman ).
3.7.3 Prosedur Percobaan
Pelaksanaan percobaan ini menggunakan 30 ekor mencit putih jantan yang
dibagi secara acak ke dalam 5 kelompok. Sebelum percobaan dimulai, mencit
diberikan kepada mencit secara per oral adalah 1 ml. Kelompok I sebagai kontrol
negatif diberi CMC Na 0,5% dosis 1% BB, kelompok II diberi Loperamid HCl 2
mg/ kg BB, kelompok III, IV,dan V diberi ekstrak dosis 1 g, 2 g, dan 2,5 g/kg
BB. Satu jam kemudian setiap mencit diberi minyak jarak 0,5 ml/ekor, lalu
mencit ditempatkan dalam wadah pengamatan yang dialasi kertas saring.
Pengamatan dimulai 30 menit setelah pemberian minyak jarak.
Parameter yang diamati meliputi jumlah mencit diare, berat feses,
frekuensi defekasi, konsistensi feses, dan lamanya terjadi diare. Respon tiap
mencit diamati pada menit ke-30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330,
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi sampel menunjukkan bahwa sampel yang digunakan
dalam penelitian adalah buah dari tanaman sawo (Achras zapota L.), suku
Sapotaceae. Identifikasi bertujuan untuk memastikan kebenaran sampel yang akan
digunakan dalam penelitian.
Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia berupa potongan-potongan
dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit, berwarna coklat tua, dan rasa
kelat. Hasil pemeriksaan mikroskopik pada buah sawo terlihat adanya serabut
skerenkim, sel-sel batu, pigmen berwarna coklat dan sel-sel endosperm dengan
butir pati.
Hasil penetapan kadar air simplisia 15,33%, kadar abu total 1,89%, kadar
abu tidak larut asam 0,91%, kadar sari yang larut dalam air 38,01%, kadar sari
yang larut dalam etanol 37,45%. Dari hasil yang diperoleh pada penetapan kadar
sari dapat diamati bahwa serbuk simplisia buah sawo lebih banyak mengandung
senyawa yang larut dalam air dari pada yang larut dalam etanol. Standarisasi
simplisia untuk buah sawo belum tertera di MMI, sehingga diharapkan untuk hasil
karakterisasi ini dapat dijadikan standar simplisia untuk acuan syarat mutu
simplisia.
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya kandungan
tanin, flavonoid, dan glikosida pada buah sawo yang masih muda.
Pengujian efek antidiare menggunakan 5 kelompok, masing-masing
suspensi CMC Na 0,5% 1 % BB, kelompok II sebagai pembanding menggunakan
Loperamid HCl 2 mg/kg BB, kelompok III, IV, dan V adalah kelompok sediaan
uji yaitu ekstrak etanol buah sawo (EEBS) dengan dosis masing-masing 1 g, 2 g
dan 2,5 g/kg BB. Satu jam kemudian masing-masing mencit diberikan minyak
jarak 0,5 ml/ekor.
Tabel 4.1. Jumlah Mencit yang Mengalami Diare
Kel Perlakuan Mencit
Diare
Jumlah mencit yang mengalami diare selama pengamatan pada kelompok
I sebanyak 6 ekor, kelompok II sebanyak 1 ekor, kelompok III sebanyak 6 ekor,
kelompok IV sebanyak 5 ekor, kelompok V sebanyak 1 ekor. Dari jumlah total
mencit yang mengalami diare terlihat bahwa kelompok II dan kelompok V
memperlihatkan jumlah mencit yang sama. Berdasarkan hasil analisis statistik
Anava (p<0,05) yang dilanjutkan beda rata-rata Duncan menunjukkan bahwa
Loperamid HCl 2 mg/kg BB sebanding dengan EEBS 2,5 g/kg BB.
Gambar 4.1. Jumlah Mencit yang Mengalami Diare Setiap 30 Menit
0
kontrol negatif I.loperamid III.EEBS 1 g/kg BB
IV.EEBS 2 g/kg BB V.EEBS 2,5 g/kg BB
Mencit kelompok kontrol negatif mengalami diare pada menit ke-90
dengan jumlah 2 ekor, menit ke-120 sejumlah 5 ekor, menit ke-150 sejumlah 6
ekor, menit ke-180 sejumlah 3 ekor, menit ke-210 sejumlah 3 ekor, menit ke-240
sejumlah 5 ekor, menit ke-270 sejumlah 2 ekor, menit ke-300 sejumlah 2 ekor,
menit ke-360 sejumlah 1 ekor. Kelompok Loperamid diare pada menit ke-180
dengan jumlah mencit 1 ekor dan menit ke-210 sejumlah 1 ekor. Kelompok EEBS
1 g/kg BB terjadi pada menit ke-90 dengan jumlah mencit 2 ekor, menit ke-120
sejumlah 3 ekor, menit ke-180 sejumlah 6 ekor, menit ke-210 sejumlah 4 ekor,
menit ke-240 sejumlah 4 ekor, menit ke-270 sejumlah 1 ekor, menit ke-300
sejumlah 2 ekor dan menit ke-330 sejumlah 1 ekor. Kelompok EEBS 2 g/kg BB
terjadi pada menit ke-120 dengan jumlah mencit sejumlah 2 ekor, menit ke-150
sejumlah 4 ekor, menit ke-180 sejumlah 4 ekor, menit ke-210 sejumlah 5 ekor,
menit ke-240 sejumlah 2 ekor, menit ke-270 sejumlah 2 ekor dan menit ke-300
sejumlah 1 ekor. Kelompok EEBS 2,5 g/kg BB terjadi pada menit ke-210 dengan
jumlah mencit 1 ekor, menit ke-240 sejumlah 1 ekor dan menit ke-330 sejumlah 1
ekor.
Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) yang dilanjutkan beda
rata-rata Duncan terjadi perbedaan bermakna pada menit ke-120 antara kelompok
kontrol negatif dan EEBS 1 g/20 g BB dengan kelompok Loperamid, EEBS 2
g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB. Pada menit ke-150 terjadi antara kelompok
Loperamid dan EEBS 2,5 g/kg BB dengan kelompok kontrol negatif, EEBS 1
g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB. Pada menit ke-180 terjadi perbedaan terhadap
masing-masing kelompok, namun kelompok Loperamid dan EEBS 2,5 g/kg BB tidak
kontrol negatif, EEBS 1 g/20 g BB, EEBS 2 g/kg BB dengan kelompok
Loperamid dan EEBS 2,5 g/20 g BB. Pada menit ke-240 antara kelompok kontrol
negatif, 1 g/kg BB, dan 2 g/kg BB dengan kelompok Loperamid dan EEBS 2,5
mg/kg BB. Pada menit ke-330 antara kontrol negatif dengan kelompok EEBS 1
g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid.
Berdasarkan hasil analisa statistik ini dapat diketahui bahwa kelompok
EEBS 1 g/kg BB dan 2 g/kg BB memperlihatkan jumlah mencit diare yang lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, namun belum sebanding
dengan hasil yang ditunjukkan oleh Loperamid. Sedangkan untuk kelompok
Loperamid dan kelompok EEBS 2,5 g/kg BB memperlihatkan jumlah mencit
diare sebanding.
Gambar 4.2. Profil Konsistensi Feses Mencit
Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) dalam konsistensi feses mencit
pada menit ke-120 antara kelompok kontrol negatif dan EEBS 1 g/kg BB dengan
kelompok EEBS 2 g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB, dan Loperamid. Pada menit
ke-150 antara kelompok kontrol negatif dan EEBS 1 g/kg BB dengan kelompok
EEBS 2 g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid. Pada menit ke-180 antara
kelompok kontrol negatif, EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB dengan
0
Kontrol negatif II.loperamid III.EEBS 1 g/kg BB
IV.EEBS 2 g/kg BB V.EEBS 2,5 g/kg BB
kelompok EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid. Pada menit ke-210 antara
kelompok kontrol negatif, EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB dengan
kelompok EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid. Pada menit ke-240 terdapat antara
kelompok kontrol negatif, EEBS 1 g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB dengan kelompok
EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid. Pada menit ke-330 antara kelompok kontrol
negatif dengan kelompok EEBS 1 g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB dan Loperamid.
Berdasarkan hasil analisis statistik ini dapat diketahui bahwa kelompok
EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB menunjukkan profil konsistensi feses yang
lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, namun belum
memperlihatkan profil yang sebanding dengan kelompok Loperamid. Kelompok
Loperamid memperlihatkan profil konsistensi feses yang sebanding dengan
kelompok EEBS 2,5 g/kg BB.
Gambar 4.3. Profil Frekuensi Defekasi
Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) dalam frekuensi defekasi pada
menit ke-120 antara kelompok kontrol negatif dan EEBS 1 g/kg BB dengan
kelompok Loperamid, EEBS 2 g/kg BB dan EEBS 2,5 g/kg BB. Pada menit
ke-150 antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok EEBS 1 g/kg BB dan
0
Kontrol negatif II.loperamid 2 mg/kg BB III.EEBS 1g/kg BB
IV.EEBS 2 g/kg BB V.EEBS 2,5 g/kg BB
EEBS 2 g/kg BB dengan kelompok Loperamid dan EEBS 2,5 g/kg BB. Pada
menit ke-180 antara kelompok kontrol negatif, EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg
BB dengan kelompok EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid. Pada menit ke-210
antara kelompok kontrol negatif, 1 g/kg BB, 2 g/kg BB dengan kelompok
Loperamid dan EEBS 2,5 g/kg BB. Pada menit ke-240 antara kelompok kontrol
negatif , EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB dengan kelompok Loperamid dan
EEBS 2,5 g/kg BB. Pada menit ke-330 antara kelompok kontrol negatif dengan
kelompok EEBS 1 g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB dan
Loperamid.
Berdasarkan hasil analisis statistik ini dapat diketahui bahwa kelompok
EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB profil defekasi yang lebih baik
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, namun belum memperlihatkan
profil yang sebanding dengan kelompok Loperamid. Kelompok Loperamid
memperlihatkan profil defekasi yang sebanding dengan kelompok EEBS 2,5 g/kg
BB.
Gambar 4.4. Bobot Total Feses
5.882
1.876
3.802
2.991
1.954
I.kontrol negatif II.Loperamid III.EEBS 1 g/kg BB IV.EEBS 2 g/kg BB V.EEBS 2,5 g/kg
BB
Bobot Total (g)
Bobot total feses mencit kelompok I memperlihatkan bobot yang paling
tinggi dilanjutkan kelompok III, IV, V dan II. Kelompok dengan jumlah mencit
diare yang besar memperlihatkan bobot total feses yang besar, semakin sedikit
jumlah mencit yang diare maka semakin kecil bobot total feses. Berdasarkan hasil
analisis statistik ANAVA (p<0,05) dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan
menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol negatif dengan
kelompok EEBS 1 g/kg BB, EEBS 2 g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB dan
Loperamid. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa EEBS 1 g/kg BB, EEBS 2
g/kg BB, EEBS 2,5 g/kg BB dan Loperamid memiliki kemampuan yang
sebanding dalam bobot total feses.
Berdasarkan beberapa parameter pengamatan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa EEBS 1 g/kg BB dan EEBS 2 g/kg BB sudah mampu
memperlihatkan profil jumlah mencit diare yang lebih kecil, profil konsistensi
feses, defekasi dan bobot total yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol
negatif. Sedangkan EEBS 2,5 g/kg BB mampu memperlihatkan profil jumlah
mencit diare, konsistensi feses, defekasi dan bobot total feses yang sebanding
dengan Loperamid.
Pada penelitian ini digunakan minyak atau castor oil sebagai penginduksi
diare. Di dalam usus halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi
gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif
sebagai pencahar.
Diare adalah suatu kondisi yang menunjukkan frekuensi dan konsistensi
buang air besar yang meningkat dibandingkan dengan individu dalam kondisi
konsistensi merupakan parameter pengamatan teradinya diare, selain itu
parameter lain adalah bobot total feses mencit. Berdasarkan pengamatan kejadian
diare menunjukkan adanya peningkatan frekuensi defekasi, konsistensi feses dan
bobot feses.
Pengobatan non spesifik, dilakukan dengan mengurangi peristaltik otot
polos usus (antimotilitas), menciutkan selaput lendir usus (astringensia),
menyerap racun dan toksin (adsorbensia) dan memberikan cairan elektrolit.
Dalam penelitan ini digunakan Loperamid sebagai obat pembanding.
Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek lokal pada usus karena
tidak menembus ke dalam sawar otak. Oleh karena itu Loperamid tidak dapat
menyebabkan ketergantungan. Obat antimotilitas secara luas digunakan sebagai
terapi simtomatis pada diare akut ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin.
difenoksilat dan kodein menstimulasi aktivitas reseptor µ pada neuron
mienterikus dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan konduktasi
kaliumnya. Hal tersebut menghambat pelepasan asetilkolin dari pleksus
mienterikus dan menurunkan motilitas usus. (Neal, 2006).
Berdasarkan hasil skrining fitokimia sampel yang digunakan mengandung
tanin. Diduga tanin didalam sampel inilah yang memberikan aktifitas antidiare.
Tanin bekerja sebagai astringens, yaitu senyawa yang dapat menciutkan selaput
lendir usus sehingga dapat menekan terjadinya diare dan meringankan keadaan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia berupa potongan-potongan
dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit, berwarna coklat tua, dan rasa
kelat. Hasil pemeriksaan mikroskopik pada buah sawo terlihat adanya serabut
skerenkim, sel-sel batu, pigmen berwarna coklat dan sel-sel endosperm dengan
butir pati. Hasil penetapan kadar air 15,55%, kadar sari yang larut dalam air
38,01%, kadar sari yang larut dalam etanol 37,45%, kadar abu total 1,89%, kadar
abu yang tidak larut dalam asam 0,91%.
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia buah sawo menunjukkan adanya
senyawa tanin, flavonoid dan glikosida.
Hasil pengujian efek antidiare menunjukkan bahwa EEBS 1 g/kg BB, 2
g/kg BB dan EEBS 2,5 g/kg BB memiliki aktifitas antidiare.
Pada dosis 1 g/kg BB EEBS menunjukkan aktivitas diare yang lemah,
dosis 2 g/kg BB menunjukkan aktivitas antidiare yang sedang dan dosis 2,5 g/kg
BB sebanding dengan Loperamid HCl 2 mg/kg BB.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan uji toksisitas
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana. I. K, dkk. (2004). Efek Ekstrak Daun Jambu Biji Daging Buah Putih
Dan Jambu Biji Daging Buah Merah Sebagai Antidiare. Acta
Pharmaceutica Indonesia. Vol XXIX. No. 1. Hal. 18-20.
Anief. M. (1995). Ilmu Meracik Obat, Teori Dan Praktik. Cetakan kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 107.
Anonim. (2005). SAWO (Achras zapota. L).
Anonim. (2010). Back To Nature. http://www.backto nature/.manfaat-buah-sawo-untuk-kesehatan.html Diakses pada November 2010.
Arif. A., Sjamsudin. U. (1995. Obat Lokal. dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: FK-UI. Hal. 511-512.
Neal, M.J. (2006). At A Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Surabaya. Hal. 32-33.
Depkes RI. (2007). Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Depkes RI. Hal 8, 12, 14.
Depkes RI. (1984). Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Depkes RI. Hal. 9.
Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta : Depkes RI. Hal. 300-306, 323-326.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI. Hal 3, 10-11.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.
Journal of pharmaceuticals Science. Volume 55. Number 3. Chicago.
Reheins Chemical Company. Page 247-268.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Terjemahan Kosasih., Soediro I. Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 102-103, 147-148.
Jeejeebhoy, K. N. (1977). Symposium on Diarrhea Definition and Mechanisms of
diarrhea. Scientific Section. CMA Journal. Volume 116. Toronto:
Toronto General Hospital. Page 737-739.
M. Wien W., Dian. S. (1996) Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Obat Diare di
Sari, dkk. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat
dan Keamanan. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. III. No. 1. Hal. 1-7.
Sa’roni., Pudjiastuti., Adjirni. (1996). Efek Antidiare Infus Daun Kesembukan
(Paederia foetida L) pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya Pada Mencit. Cermin Dunia Kedokteran. No 109. Hal. 18-20.
Sugati dan Johnny. (1991). Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Hal. 167.
Suharyono. (1991). Diare Akut Klinik dan Laboratorik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal. 1-2.
Suputra Purwanto H., dkk. (2002). Data Obat di Indonesia. Jakarta:Grafidian Medipress. Hal. 1027.
Tan, T. H., Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting. Khasiat, penggunaan dan
efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit
PT. Elex Media Komputindo Gramedia. Hal. 278-279.
Wells B.G., dkk (2006). Pharmacotherapy Handbook. Sixth Edition. Singapore: The Mc Graw Hill Companies. Pages. 222-227.
Lampiran 1. Bagan Kerja Penelitian
Buah sawo muda (1,3 kg)
Dibersihkan dan dicuci
Ditiriskan dan ditimbang (1,1 kg)
Ditimbang
Ditimbang Dihaluskan Simplisia
Serbuk simplisia 280 g
Skrining fitokimia karakterisasi
simplisia Pembuatan ekstrak buah sawo
Makroskopik
Ekstrak kental (151,132 g)
Uji efek Dipotong kecil-kecil
Lampiran 2. Tumbuhan Sawo
a. Tanaman Sawo (Achras zapota L.)
b. buah sawo
Lanjutan Lampiran 2
c. simplisia buah sawo
Lampiran 4. Mikroskopik Serbuk Simplisia Buah Sawo
Keterangan : 1. serabut sklerenkim
2. endosperm dengan butir pati
3. sel-sel batu
4. pigmen berwarna coklat
1
2
3
Lampiran 5. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Perhitungan Penetapan Kadar Air
a. Berat sampel I = 5,003 g
Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air
Lanjutan Lampiran 5
Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Etanol
Lanjutan Lampiran 5
Perhitungan Penetapan Kadar Abu
%