• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Sosial Ekonomi Dan Intake Zat Gizi Dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Pada Daerah Endemis Gaky Di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Sosial Ekonomi Dan Intake Zat Gizi Dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Pada Daerah Endemis Gaky Di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

TESIS

Oleh

Rr. GAYATRI LINDRI SARASWATI

047023024/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

(2)

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Rr. GAYATRI LINDRI SARASWATI

047023024/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Rr.Gayatri Lindri Saraswati Nomor Pokok : 047023024

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Ida Yustina, MSi) Ketua

(Dra. Jumirah Apt, MKes) (Ros Idah Rohna Berutu, SKM, MKes) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs.Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 24 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ida Yustina, MSi. Anggota :1. Dra. Jumirah, Apt.M.Kes.

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2009

(6)

ABSTRAK

Tinggi Badan Anak Usia Baru Sekolah (TBABS) masih menjadi masalah kesehatan pada daerah endemik Gangguan Akibat Kekurang Iodium (GAKY). Energi, protein dan iodium adalah unsur gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Survei awal di daerah endemis GAKY yaitu Kecamatan Parbuluhan Kabupaten Dairi pada Januari 2008, terdapat 56,5% anak termasuk stunted.

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan case control study yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi dan intake zat gizi dengan TBABS pada daerah endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak sekolah dasar (Anak SD kelas 1) di Kecamatan Parbuluan di Kabupaten Dairi sebanyak 444 orang, dan sampel terpilih sebanyak 62 anak terdiri dari 31 kasus dan 31 kontrol. Analisis data menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan variabel pendidikan ibu, pekerjaan ayah, dan pekerjaan ibu, variabel intake energi, intake protein, dan intake yodium dengan TBABS pada daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel intake iodium dan intake protein merupakan variabel prediktor terhadap TBABS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi mengupayakan secara intensif penanggulangan penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada anak SD melalui penganekaragaman makanan, pemberian Suplemen Iodium ke sekolah-sekolah serta peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakat.

(7)

ABSTRACT

Body Height of School Age Child still becomes a health problem in the endemic area of GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium/ Iodine Deficiency Disorder). Energy, protein and iodine are the element of nutrient influencing the child’s growth and development. The survey conducted in Parbuluan Sub-district, a GAKI endemic area in Dairi District in 2008 shows that 56,5% of the children were stunted.

The purpose of this analytical survey with case control approach is to analyze the relationship of socio-economy and nutrient intake with the body height of school age children in Parbuluan Sub-district. The population were the families which have children in grade 1 of Primary School and have lived in study area for at least 6 months. Of the 444 children, 62 of the children (31 for case group and 31 for control group) are selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through Chi-square (bivariate analysis) and multiple logistic regression (multivariate analysis) test at the level of confidence of 95 %.

The result of this study shows that there are significant relationship between the variables of mother’s education, father’s occupation, mother’s occupation, energy intake, protein intake and iodine intake with the height of school age children in Parbuluan Sub-district. The result of multiple logistic regression test shows that the variables energy intake iodium and protein intake are predictors to the height of school age children.

It is expected that the District Health Office of Dairi to do some efforts to manage the iodine lack-caused disorder in the Elementary School students through food diversification, distribution of food supplement to the schools, increasing the frequency of community health extension activities.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya

sehingga penulis telah dapat menyusun dan menyelesaikan Tesis dengan judul

"Pengaruh Sosial Ekonomi dan Intake Zat Gizi Terhadap Tinggi Badan Anak Usia

Sekolah pada Daerah Endemik di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi". Shalawat

dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan

para sahabatnya yang telah membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu

pengetahuan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

kepada Kepada Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara dan Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B,M.Sc. selaku

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan

fasilitas perkuliahan.

Kepada Prof. Dr. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascsarjana USU sekaligus sebagai

komisi pembimbing, ibu Dra Jumirah, Apt. M.Kes, ibu Ros Idah Rohna Berutu, SKM

M.Kes selaku komisi pembimbing yang mau meluangkan waktu dan membimbing

penulis dengan ikhlas dan penuh kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Selanjutnya

penulis juga mengucapkan terima kasih kepada komisi pembanding yang telah

banyak membantu dan meluangkan waktu dan memberi masukan serta kritikan demi

(9)

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Drs

Surya Utama, MS selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan penulis selama

menempuh pendidikan dan penyusunan tesis.

Terima kasih penulis ucapkan yang tak terhingga kepada suami saya

Dr.Dinamika Chandra Bimantara, SpOG dan anak-anak tercinta, Tika Citra Ayu

Lestari, Amalia Puspita Dewi yang telah memberikan motivasi untuk kuliah magister,

dan dukungan doa dan dana dalam menyelesaikan perkuliahan dan terima kasih juga

kepada keluarga yang telah memberikan dorongan bagi penulis untuk meniti karir dan

motivasi untuk kuliah magister, dan kepada semua pihak yang telah membantu proses

penyusunan tesis ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan

kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Juni 2009

P e n u l i s

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rr.Gayatri Lindri Saraswati

Tempat/Tgl Lahir : Surabaya, 12 juli 1964

Suami : Dr.Dinamika Chandra Bimantara, SpOG.

Anak : 1 dari 2 bersaudara

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1976 SD Negri Kapas Krampung Wetan I, Surabaya

2. Tahun 1980 SMP Negeri IX Surabaya

3. Tahun 1983 SMA Negeri V Surabaya

4. Tahun 1986 D3 Akademi Gizi Malang, Jawa Timur

5. Tahun 1999 S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan

Riwayat Pekerjaan :

1. Tahun 1988 s/d 1995 : Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(11)

DAFTAR ISI

2.2 Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 20

2.3 Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) ... 29

2.4 Landasan Teori ... 42

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 48

3.6. Metode Pengukuran ... 49

3.7. Metode Analisis Data ... 52

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 54

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.2. Deskripsi Sosial Ekonomi Keluarga ... 55

4.3. Intake zat Gizi ... 56

(12)

4.5. Pengaruh antara beberapa variabel terhadap TBABS... 67

BAB 5 PEMBAHASAN... 70

5.1.Hubungan Hubungan Sosial Ekonomi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 70

5.2.Hubungan Hubungan Intake Zat Gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 74

5.3.Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 79

6.1. Kesimpulan ... 79

6.2. Saran ... 79

(13)

DAFTAR TABEL

4.2. Distribusi Frekuensi makanan Sumber Asupan Energi pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 57

4.3. Distribusi Frekuensi Asupan Energi pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 57

4.4. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Protein pada Kasus dan Kontrol pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 58

4.5. Distribusi Frekuensi Asupan Protein pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 59

4.6. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Yodium pada Kasus dan Kontrol pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 60

4.7. Distribusi Frekuensi Asupan Yodium pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 61

4.8. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Goitrogenik pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 61 4.9. Hasil pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah……… 62

4.10. Gambaran TB anak stunted dan tidak stunted Anak Baru masuk sekolah 63

(14)

4.12. Hubungan Pola Makan dengan Tinggi Badan Anak Usia Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 66 4.13. Hasil Analisis Multivariat Kandidat Model Regresi Logistik Ganda... 68

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Bagan Hubungan Defisiensi Yodium dengan Pertumbuhan... 28

2. Metabolisme Iodium dan Goitrogen dalam thiroid... 36

3. Bagan Kerangka Teori Penelitian ... 42

(16)

ABSTRAK

Tinggi Badan Anak Usia Baru Sekolah (TBABS) masih menjadi masalah kesehatan pada daerah endemik Gangguan Akibat Kekurang Iodium (GAKY). Energi, protein dan iodium adalah unsur gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Survei awal di daerah endemis GAKY yaitu Kecamatan Parbuluhan Kabupaten Dairi pada Januari 2008, terdapat 56,5% anak termasuk stunted.

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan case control study yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi dan intake zat gizi dengan TBABS pada daerah endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak sekolah dasar (Anak SD kelas 1) di Kecamatan Parbuluan di Kabupaten Dairi sebanyak 444 orang, dan sampel terpilih sebanyak 62 anak terdiri dari 31 kasus dan 31 kontrol. Analisis data menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan variabel pendidikan ibu, pekerjaan ayah, dan pekerjaan ibu, variabel intake energi, intake protein, dan intake yodium dengan TBABS pada daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel intake iodium dan intake protein merupakan variabel prediktor terhadap TBABS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi mengupayakan secara intensif penanggulangan penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada anak SD melalui penganekaragaman makanan, pemberian Suplemen Iodium ke sekolah-sekolah serta peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakat.

(17)

ABSTRACT

Body Height of School Age Child still becomes a health problem in the endemic area of GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium/ Iodine Deficiency Disorder). Energy, protein and iodine are the element of nutrient influencing the child’s growth and development. The survey conducted in Parbuluan Sub-district, a GAKI endemic area in Dairi District in 2008 shows that 56,5% of the children were stunted.

The purpose of this analytical survey with case control approach is to analyze the relationship of socio-economy and nutrient intake with the body height of school age children in Parbuluan Sub-district. The population were the families which have children in grade 1 of Primary School and have lived in study area for at least 6 months. Of the 444 children, 62 of the children (31 for case group and 31 for control group) are selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through Chi-square (bivariate analysis) and multiple logistic regression (multivariate analysis) test at the level of confidence of 95 %.

The result of this study shows that there are significant relationship between the variables of mother’s education, father’s occupation, mother’s occupation, energy intake, protein intake and iodine intake with the height of school age children in Parbuluan Sub-district. The result of multiple logistic regression test shows that the variables energy intake iodium and protein intake are predictors to the height of school age children.

It is expected that the District Health Office of Dairi to do some efforts to manage the iodine lack-caused disorder in the Elementary School students through food diversification, distribution of food supplement to the schools, increasing the frequency of community health extension activities.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Departemen Kesehatan (2000) menyebutkan bahwa masalah gizi di Indonesia

masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di

antaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga. Krisis ekonomi yang dimulai

tahun 1997 lalu memberi dampak berupa penurunan kualitas hidup keluarga yang

menyebabkan rendahnya daya beli sehingga jumlah keluarga miskin dan anak-anak

kekurangan gizi bertambah.

Atmarita (2004), mengatakan akumulasi akibat krisis ekonomi di Indonesia

tergambar dari tingginya angka prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak. Hasil

pengukuran TBABS secara nasional 1999 menunjukkan prevalensi anak baru masuk

sekolah usia 6 – 9 tahun yang tergolong pendek/stunted sebesar 36,1 % (Jahari,

1999). Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak

pendek/stunted masih cukup tinggi, antara lain di Kalimantan Tengah tahun 2004

sebesar 50 – 54 % (Norliani, 2005)

Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan

dengan pertambahan umur. Pertumbuhan TB tidak seperti BB, relatif kurang sensitif

terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap TB baru

(19)

masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat menggambarkan tentang status gizi masa

lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu

indeks TB/U di samping digunakan sebagai indikator Status Gizi, dapat pula

digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

(Jahari, 1990)

Gagal tumbuh (growth retardation) merupakan salah satu masalah kesehatan

yang paling banyak terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Abunain (1988), menunjukkan status gizi khususnya

prevalensi gangguan pertumbuhan badan di daerah endemis GAKI berkaitan erat

dengan keadaan sosial ekonomi suatu daerah. Energi dan zat-zat gizi, seperti protein,

vitamin A, zat besi dan yodium, diketahui sebagai unsur-unsur gizi yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.(Atmarita, 2004)

Salah satu zat gizi yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah

konsumsi iodium. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah

gizi khususnya di daerah endemis GAKI dengan kategori berat. Penyebab utama

GAKI adalah kekurangan iodium. Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang

sangat dibutuhkan manusia, walau relatif sedikit (normal 100-150µ g/hr) untuk

mensintesis hormon tiroksin (WHO, 2001). Hormon tiroksin berfungsi mengatur

proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh ; berperan pada metabolisme

umum ( metabolisme energi, lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem

kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan syaraf pusat dan hormon

(20)

Menurut WHO (2001) bila di suatu daerah ditemukan jumlah penderita

gondok (Total Goiter Rate /TGR ≥5% dari jumlah penduduk, maka daerah itu disebut

daerah endemik. TGR dilakukan dengan pemeriksaan kelenjar gondok (tiroid) dengan

metode palpasi. Adapun klasifikasi tingkat endemisitas adalah : daerah non endemik

jika TGR < 5%, endemik ringan jika TGR 5,0 – 19,9% , daerah endemik sedang jika

TGR 20,0 -29,9 dan daerah endemik berat jika TGR ≥30 %.

Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemik GAKI masih

cukup tinggi. Berdasarkan survey GAKI tahun 2003 diperkirakan 18,8 % penduduk

hidup di daerah endemik ringan, 4,2 %, di daerah endemik sedang dan 4,5 % di

daerah endemik berat. Dari 28 Propinsi, 17 propinsi tergolong endemik ringan

(60,8%), 2 propinsi tergolong endemik sedang ( 7,1 %), dan 2 propinsi tergolong

endemik ringan (7,1 %). Dari 342 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 122

kabupaten dalam kategori endemik ringan (35,7%), 42 kabupaten endemik sedang

(12,2 %) dan 30 kabupaten endemik berat (8,8%).

Propinsi Sumatera Utara termasuk yang dalam kategori endemik GAKI

ringan, yakni dengan TGR 5,3%, ; TGR tingkat nasional sebesar 11,1 % ( Depkes,

2003). Namun demikian, di wilayah Kabupaten Dairi (TGR 18,1%), terdapat dua dari

15 kecamatannya yang tergolong endemik GAKI berat, yakni Kecamatan Parbuluan

dengan TGR-nya tercatat sebesar 36,2 %, dan Kecamatan Siempat Nempu dengan

TGR 33,9%. Berdasarkan persentase ini, kedua kecamatan tersebut termasuk dalam

(21)

Kondisi wilayah di Kecamatan Parbuluan sebagian besar terdiri dari

perbukitan dan dataran tinggi, terletak 1.066 meter diatas permukaan laut, dengan

jumlah penduduk 276.489 jiwa.

Menurut teori yang ada dan ditunjang dengan penelitian yang dilakukan

(Djokomoeljanto, 1994 ; Kodyat 1996) pada umumnya penderita gondok banyak

ditemukan di daerah perbukitan/dataran tinggi karena daerah–daerah

ketinggian/pegunungan merupakan daerah endemis di mana kandungan iodium dalam

bahan pangan (sayuran) yang tumbuh di daerah tersebut, serta air minum yang

dikonsumsi penduduk setempat kadar iodiumnya memang rendah. Hal ini disebabkan

seringnya terjadi erosi, banjir, hujan lebat yang membawa iodium hanyut ke laut.

Akibatnya tanah, air, tanaman dan binatang yang hidup di wilayah tersebut sedikit

mengandung iodium, sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis berisiko

mengalami kekurangan iodium jika hanya tergantung pada hasil tanaman daerah

tersebut (Hetzel, 1996).Keadaan tersebut yang mendorong masalah gondok sering

dihubungkan dengan rendahnya konsumsi iodium.

Kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (<50

μ

g/h) menyebabkan

produksi hormon tiroid kurang, metabolisme zat-zat gizi terganggu. Akibatnya

pembentukan organ dan fungsi organ-organ penting terganggu, proses tumbuh

kembang terganggu, sehingga terjadi hambatan tumbuh kembang dan kretin. Pada

anak dan remaja menyebabkan pertumbuhan fisik terhambat, tubuh terlihat

(22)

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti di Kecamatan Parbuluan Kabupaten

Dairi pada Januari 2008, terdapat sejumlah 444 anak SD yang duduk di kelas 1. Dari

hasil pengukuran yang dilakukan terhadap Tinggi Badan (TB) anak kelas 1 SD

didapatkan sebanyak 56,5% anak (251 orang) yang tergolong stunted atau pendek,

sedangkan yang tergolong TB normal sebanyak 193 (43,5 %).

Selanjutnya hasil penelitian Hanung (1996) di Kabupaten Purworejo pada 32

SD, menunjukkan bahwa prevalensi TBABS dan prevalensi gangguan pertumbuhan

TBABS 6 – 9 tahun, lebih tinggi dibanding tinggi badan anak Indonesia, rata-rata

TBABS anak laki-laki 114,3 cm, perempuan 112,5 cm dan prevalensi gangguan

35,8%, lebih tinggi dibanding angka nasional 30,1 %.

Penelitian Amigo et al, (2000) mengidentifikasi faktor risiko defisit

pertumbuhan pada anak baru masuk sekolah yang orang tuanya bertubuh pendek

dibanding dengan anak-anak yang orang tuanya bertubuh tidak pendek di distrik

miskin di Santiago, Chile. Hasilnya bahwa faktor utama yang berhubungan dengan

rendahnya tinggi badan anak sekolah pada populasi dengan tingkat sosial ekonomi

yang rendah adalah pendeknya tubuh orang tua, penghasilan rendah dan kekurangan

gizi.

Penelitian Norliani (2005), menunjukkan tingkat sosial ekonomi, tinggi badan

orang tua dan panjang badan lahir dengan TBABS di Palangkaraya berhubungan

dengan kondisi anak badan anak waktu lahir dengan TBABS yang stunted dan tidak

stunted. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga, tingkat

(23)

meningkatkan risiko terjadinya stunted pada anak baru masuk sekolah. Demikian juga

terdapat hubungan antara panjang badan lahir dengan TBABS. Anak yang stunted

waktu lahir akan berisiko stunted pula pada usia masuk sekolah dan faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunted pada anak baru masuk sekolah yang paling

dominan dan berpengaruh adalah tingkat pendidikan ibu.

Akibat pengaruh kekurangan iodium di daerah endemis dan dampak adanya

krisis ekonomi yang terjadi, dikhawatirkan jumlah anak baru masuk sekolah dasar

yang mengalami gangguan atau hambatan tumbuh kembang meningkat. Berdasarkan

latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan

sosial ekonomi, dan intake zat gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah

(TBABS) di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas apakah ada hubungan antara sosial ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan), dan intake zat gizi (konsumsi

energi, konsumsi protein dan konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru

Masuk Sekolah (TBABS) di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan

Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi keluarga (pendapatan,

(24)

konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) dengan

endemisitas GAKI di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan Kabupaten

Dairi Propinsi Sumatera Utara 2008.

1.4. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, pekerjaan) dengan

TBABS

2. Ada hubungan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein, konsumsi

iodium) dengan TBABS.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pemecahan masalah

terhadap upaya penurunan prevalensi GAKI pada daerah endemis.

2. Upaya untuk memperbaiki pola makan masyarakat di Kabupaten Dairi.

3. Masukan bagi Dinas Kesehatan dan Lintas Sektoral dalam perencanaan program

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan

Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan jumlah,

ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur dengan

ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan

keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat disimpilkan

bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik ( Soetjiningsih, 1995).

2.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua faktor yaitu faktor internal

dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik

dan seks, yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan

penyakit (Supariasa,2002).

1. Genetik.

Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang

tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan.

Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan

pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh

orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara

(26)

diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa sistem biologis

yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen

dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari

glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan

terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon

pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan

mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen

dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia(Bogin, 1988).

Bock pada tahun 1986 (cit Bogin 1988), melakukan penelitian secara

longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak

laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status

sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya

dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major

genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang.

Rogol, Clark, and Roemmich (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan pada

beberapa dimensi menunjukkan sebuah gabungan kemiripan keluarga yang

signifikan. Bentuk tubuh orang dewasa, kecepatan pertumbuhan, waktu dan rata-rata

perkembangan seksual, kematangan tulang belulang dan perkembangan gigi geligi

kesemuanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Estimasi kemiripan faktor genetik

berkisar antara 41 % sampai 71 %. Bentuk tubuh orang dewasa paling baik

(27)

tinggi badan dari orang tua), namun model polygenic dari pewarisan tinggi tubuh

mengahasilkan variasi yang semakin banyak terhadap ukuran anak-anak yang lahir

dari orang tua yang mempunyai tinggi tubuh tidak mirip dibandingkan pada anak dari

orang tua yang keduanya bertinggi tubuh medium. Tinggi maksimal dapat diprediksi

berdasarkan tinggi midparental. Tinggi midparental yang telah disetel (ditargetkan)

dapat dihitung dengan rumus dengan menambahkan 13 cm (perbedaan antara

persentil ke – 50 untuk dewasa laki-laki dan perempuan) terhadap tinggi tubuh ibu

(untuk anak laki-laki) atau mengurangi 13 cm dari tubuh ayah(untuk anak

perempuan) lalu ambil rata-rata selisih tinggi tubuh orang dewasa.

Penambahan 8,5 cm diatas dan dibawah titik tengah target tinggi badan(akan

mengarahkan tentang tinggi badan target dari presentil ke -3 sampai ke – 97 untuk

tinggi tubuh orang dewasa yang akan diprediksi untuk anak yang disetel dengan

bentuk tubuh midparental nya (potensial genetik). Ada juga model lain untuk

memprediksi bentuk tubuh dewasa seseorang berdasarkan rumus matematis yang

diturunkan dari riwayat pertumbuhan anak atau dari pencapaian ’height and bone

age’ anak itu dari hasil perhitungan tabel spesifik (Rogol et al,2000).

Perkiraan tinggi akhir sesuai potensial genetik berdasarkan TB orang tua dengan

asumsi semua tumbuh optimal sesuai dengan potensinya juga dapat dihitung dengan

rumus berikut :

TB anak perempuan = TBayah cm TBibu 8,5cm 2

) )

13 (

± +

(28)

TB anak laki-laki = TBibu cm TBayah 8,5cm 2

) 13 (

± +

(13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan

perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi

badan)(Soetjiningsih,1995).

2.Lingkungan.

Yang termasuk dalam faktor lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan

bio-fisik dan psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan

dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (1995)

secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan

post natal.

a. Lingkungan Pra-Natal.

Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang

berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir

seperti gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat

bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan

pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah

sehingga mudah terkena infeksi, dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya

(29)

Selain itu faktor lingkungan pada masa pra natal lainnya yang berpengaruh

adalah mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan

kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang

disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang

terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat

lahir rendah.

Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan

janin adalah somatotropin(growth hormon), yang disebut juga hormon pertumbuhan.

Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatic terutama pertumbuhan

kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth

hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang

rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan,

sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.

Hal lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan pada masa pra natal adalah

stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau

menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat

menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR)

(Soetjiningsih,1995).

b. Lingkungan Post-Natal

Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara

(30)

perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan

fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan

faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut

berpengaruh (Soetjiningsih, 1995).

3. Penyakit Infeksi.

Pada kondisi status gizi yang baik, tubuh mempunyai kemampuan untuk

mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Namun jika keadaan gizi memburuk

maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Oleh karena itu

setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi tingkat ringan

merupakan pertanda awal bagi terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit

infeksi.(Aritonang, 1996).

Sebaliknya status gizi yang buruk berdampak terhadap menurunnya produksi

zat anti bodi dalam tubuh. Penurunanan zat anti ini mengakibatkan mudahnya bibit

penyakit masuk kedalam dinding usus dan mengganggu produksi beberapa enzim

pencernaan makanan dan selanjutnya penyerapan zat-zat gizi yang penting menjadi

terganggu, keadaan ini dapat memperburuk status gizi anak. Seperti penyakit infeksi

dan kurang energi protein (KEP) adalah dua hal yang mempunyai hubungan sinergis

atau saling berhubungan. Walaupun sulit untuk mengatakan apakah terjadinya gizi

buruk akibat adanya diare ataukah kejadian diare yang disebabkan gizi buruk

(31)

Seorang anak yang mengalami kekurangan gizi mempunyai daya tahan tubuh

yang rendah dan mudah terkena penyakit, suhu tubuh meningkat sebagai akibat

adanya infeksi dan terjadi pembakaran jaringan tubuh yang berlebihan, anak

mengalami kesulitan makan dan nafsu makananya akan menurun. Kemampuan fungsi

pencernaandan penyerapan zat-zat gizi yang dibutuhkan selama masa pertumbuhan

menurun selanjutnya anak akan mengalami malnutrisi (King and Burgees, 1993).

Jika selama masa tersebut anak tidak mendapatkan makanan yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan dan memulihkan kesehatan serta status gizinya maka

dampaknya akan terjadi penurunan jaringan otot dan lemak. Anak akan kehilangan

BB, kurus dan pertumbuhannya akan terhenti.

Diantara penyakit infeksi, diare merupakan penyebab utama gangguan

pertumbuhan anak balita. Penelitian di Bangladesh dan Guatemala menunjukkan

bahwa diare menyebabkan berkurangnya konsumsi makanan anak sekitar 20 – 40 %.

Disamping itu kebiasaan orang tua mencegah pemberian makanan pada anak yang

menderita diare ikut memeperjelek keadaan dan setiap episode diare berhubungan

dengan 0,56 cm reduksi pertumbuhan linier.

Di Northeas Brazil, anak-anak umur 1 hinga 2 tahun yang rata-rata menderita

diare selama 3 bulan dan kenaikan panjang badannya 41 % kurang jika dibandingkan

(32)

4. Pertumbuhan dan Status Sosial Ekonomi.

Beberapa hal yang juga sebagai penyebab timbulnya masalah gizi yang

mempengaruhi pertumbuhan seseorang adalah faktor sosial ekonomi yang meliputi :

pendidikan orang tua, pekerjaan dan pendapatan, teknologi, budaya dan lain-lain.

Keterbatasan sosial ekonomi ini juga berpengaruh langsung terhadap pendapatan

keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, berpengaruh pada praktek

pemberian makanan pada bayi berpengaruh pula pada praktek pemeliharaan

kesehatan dan sanitasi lingkungan yang akhirnya mempengaruhi daya beli dan asupan

makanan untuk memenuhi kebutuhan akan pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh

serta pencegahan terhadap penyakit infeksi yang kesemuanya berakibat pada

gangguan pertumbuhan (Aritonang, 1994).

Penelitian di India Selatan, bahwa pola pembelanjaan makanan pada masyarakat

yang miskin dan kaya tercermin dari kebiasaan pengeluaran mereka. Masyarakat

miskin akan menghabiskan 80 % uangnya untuk membeli makanan dan apabila ada

peningkatan pendapatan maka makanan yang akan dipilih adalah yang kaya akan

protein. Sedangkan di negara-negara maju hanya 45 % uangnya dibelanjakan untuk

makanan dan uang yang berlebih biasanya susunan hidangan menjadi lebih baik.

Dengan demikian tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang akan

dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Jadi jelas bahwa ada hubungan yang erat

antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari

pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah-masalah

(33)

Matrolell et al.(cit Thaha,2000), melaporkan hasil studi longitudinal terhadap

1000 anak dibawah usia 7 tahun di Honduras dan menemukan adanya korelasi yang

positif antara ukuran antropometri z-score tinggi badan, z-score berat badan, area

otot lengan atas dan lingkar lengan atas (LLA) dengan indikator sosial ekonomi

keluarga. Makin tinggi skor sosial ekonomi, maka makin baik ukuran antropometri

tersebut. Analisa lebih lanjut menyimpulkan bahwa populasi yang tingkat sosial

ekonominya rendah dan gambaran keadaan lingkungan lebih jelas menerangkan

adanya perbedaan ukuran antropometri dalam populasi tersebut dibanding faktor

genetik.

Matrorell et al.(cit. Jalal dan Soekirman, 1990), membandingkan peran faktor

genetik dengan sosial ekonomi keluarga terhadap rata-rata kenaikan tinggi badan

pada anak laki-laki usia 7 tahun dari berbagai bangsa dengan latar belakang sosial

ekonomi yang berbeda, ternyata bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga kaya

pertumbuhannya berkisar pada presentil ke 50 referensi international (WHO-NCHS).

Namun jika dibedakan pola pertumbuhan anak-anak pada keluarga kaya dan miskin

dari bangsa yang sama terlihat ada perbedaan. Perbedaan tinggi badan anak dari

keluarga kaya kerana faktor genetik berkisar 2 – 3 cm, sedangkan perbedaan yang

disebabkan karena faktor sosial ekonomi adalah sekitar 10 – 12 cm.

5. Faktor Gizi.

Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi badan

(34)

a.Kalori.

Jumlah intake kalori berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

seseorang. Intake kalori yang cukup akan menjamin pertumbuhan yang normal,

namun sebaliknya intake yang kurang dan terjadi pada masa pertumbuhan serta

berlangsung lama, akan berdampak pada pertumbuhan fisik dan kerentanan terhadap

penyakit infeksi. Manifestasi dalam jangka panjang akan nampak pada tinggi badan

yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang intake kalorinya cukup.

Bailey, et al.(19840 (CIT.Bogin, 1988) melakukan studi pertumbuhan terhadap

anak-anak di bagian utara Thailand di mana anak-anak yang tinggal di desa

mengalami hambatan pertumbuhan, namun kejadian penyakit dan infestasi parasit

dan kematian tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan. Bailey

menyimpulkan bahwa terhambatnya pertumbuhan bukan disebabkan oleh penyakit

atau kekurangan zat gizi spesifik seperti vitamin A atau besi melainkan karena

defisiensi dalam jumlah total asupan kalori.

b. Protein

Somatotropin berperan dalam mempertahankan tingkat sintesa protein dalam

tubuh dan menghalangi sintesa lemak dan oksidasi karbohidrat pada pertumbuhan

tinggi badan yaitu terhadap perkembang biakan sel-sel tulang rawan, sedang pada

(35)

Rendahnya sintesis protein karena rendahnya pengaruh somatotropin yang

berakibat berkurangnya protein, kekurangan protein ini merupakan masalah yang

serius di seluruh dunia, dan menjadi faktor utama terjadinya kwashiorkor.

Golden (1988) (cit. Hadju,1998) mempelajari studi-studi terdahulu tentang efek

suplementasi makanan terhadap pertumbuhan TB. Hasil studi tersebut menunjukkan

bahwa protein dan faktor yang berhubungan dengan protein dalam makanan perlu

untuk pertumbuhan TB.

c. Iodium

Telah banyak disebutkan bahwa iodium merupakan unsur essensill sangat

berperan terhadap pembentukan hormon pertumbuhan dan perkembangan yaitu

thyroid, thyroxine (T4) dan Triodothyronine (T3). Peranan thyroxine sebagai

permissive dalam arti kadar thyroxine yang cukup menjadikan sel-sel tubuh berfungsi

secara normal dan sebaliknya bila kadar thyroxine kurang, maka sebagian besar dari

sel-sel tubuh menjadi tidak efektif (Jalal dan Atmojo, 1998).

Kekurangan Iodium yang dikenal dengan GAKI mengakibatkan terjadinya

pembesaran kelenjar thyroid. Dan dalam spektrum yang telah luas dapat

menimbulkan gangguan pertumbuhan, baik pertumbuhan fisik maupun mental dan

kecerdasan. Gangguan pertumbuhan fisik tampak pada ukuran tinggi badan yang

tidak normal jika dibandingkan dengan umur. Hasil penelitian di Guatemala

menyimpulkan bahwa anak yang ukuran tinggi badan per umur (TB/U) lebih rendah

(36)

menyelesaikan test geometri, kekurangan kapasitas ini bersifat permanen, (Kodyat,

1998).

d. Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro yang sering dihubungkan dengan pertumbuhan fisik adalah

vitamin A, seng dan besi. Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat

memperlihatkan hasil intervensi salah satu atau ketiga zat gizi tersebut terhadap

pertumbuhan fisik. Penelitian lain yang dilakukan pada anak-anak prasekolah di

Indonesia memperlihatkan adanya kenaikan tinggi dan berat badan pada anak yang

pernah menerima kapsul vitamin A dibanding anak yang hanya menerima plasebo

(Hadinet et al, 1997). Umur, status vitamin dan musim terlihat berpengaruh terhadap

hubungan ini. Pada anak yang mempunyai serum retinol < 10 meg/dl, mereka

menerima kapsul vitamin A, mempunyai kenaikan tinggi dan berat badan yang lebih

besar secara nyata dibanding anak yang hanya menerima plasebo. Dan pada

penelitian itu kenaikan tinggi badan anak sangat tinggi pada akhir musim kering di

mana pada saat ini konsumsi vitamin A dan prevalensi infeksi pernafasan akut dan

diare rendah.

Pemberian seng (12,5 mg/hr) dan besi (12 mg/hr Fe) memperlihatkan kenaikan

tinggi badan secara nyata dibanding anak yang anya menerima seng dan plasebo. Di

lain pihak pemberian seng dan besi akan mempengaruhi status vitamin A pada anak

balita di Meksiko (Munoz, et al.,1997). Terlihat bahwa zat gizi mikro sangat

(37)

2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) 2.2.1. Arti dan manfaat pengukuran TBABS

Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya

manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran

Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi

badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akan memberikan

informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam

perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator

pembangunan (Depkes, 1999).

Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup

teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada

tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan

sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga memberi

gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat

merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah

dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional).

TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak

bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia

sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita,

2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein

(KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan

(38)

mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi

normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005).

TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat

memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf

kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara

tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang

bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di

bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi

dalam masa tersebut (Abunain, 1988).

TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan

masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi

masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status

gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi

penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala,

misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan

keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara

berkesinambungan (Jahari, 1999).

2.2.2. Alasan Pengukuran TBABS

Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran

(39)

1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh

dan juga tidak terbatas hanya pada golongan masa kanak-kanak saja.

2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan

yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan.

3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan

semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu.

4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang

terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan

dengan massa jaringan.

5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi

pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat

KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai

tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah

dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami

anak-anak di daerah tersebut.

6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak

balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala

luas dapat dilakukan serentak di semua tempat.

7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status

kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan

mudah dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif

(40)

8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di

Indonesia, sudah banyak dilakukan baik melalui UKS atau kegiatan lain.

9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam

jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat

badan.

10.Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan

buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus.

11.Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak

sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan.

12.Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik,

akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur

yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk

peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran

perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat.

2.2.3. Survei Nasional TBABS

Di Indonesia pengukuran TBABS pertama kali dilakukan pada tahun

1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama dengan

Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga

Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450

sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah

(41)

pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan

secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status

gizi, dan pencapaian tinggi pada umur tertentu. Dari penelitian ini berdasarkan

analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat

sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988).

Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di

seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi

gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah

114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk

anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n

prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18%

untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9

tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar

evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999).

Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil

penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari

hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 %

Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah :

1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm

2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm

3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm

(42)

Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia

yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan.

Masih sekitar 30 – 40 % anak dikategorikan pendek, dan masih dijumpai sekitar 9 –

10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi

yang terjadi (Atmarita, 2004)

Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil

perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai

literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan

118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004).

Dalam menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan

WHO-NCHS yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk

klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan

cara % dari median. Klasifikasi : Normal jika ≥ 90 % median; Stunted/malnutrisi

kronis jika ≤ 90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal

jika ≥-2 SD TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U.

2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah

Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah

kemiskinan dan efek-efeknya. Jadi nutrisi yang buruk, higiene yang buruk dan

kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan, baik sebelum maupun sesudah

dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas-kelas sosial dari

(43)

tersebut. Prinsip-prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang-orang Jepang di

Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan

orang-orang Jepang yang lahir di Jepang. Sebaliknya, jika keadaan sosial ekonomi sama,

perbedaan tinggi rata-rata antara bermacam-macam kelompok etnik hanya

disebabkan genetik (Styne, 2000).

Faktor sosial ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan antara lain pendapatan

atau penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan orang tua.Ada hubungan yang erat antara

pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang

dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang meningkat mendorong

pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga.Martorell et al.cit dalam

Soekirman (2000),Sosial ekonomi ini berpengaruh langsung terhadap kemampuan

keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga memengaruhi

pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit infeksi (Sediaoetama,

2004).

Penyebab utama GAKI adalah kekurangan yodium. Yodium merupakan unsur

zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan manusia, walaupun relatif sedikit (normal

100-150

μ

g/h) untuk mensintesis hormon tiroksin (WHO,2001). Hormon tiroksin

berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan

pada metabolisme umum (metabolisme: energi,lemak, protein, kalsium, vitamin A,

kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan saraf

(44)

Asupan iodium dalam makanan sehari-hari kurang dari 50 µg/hari dan

berlangsung lama, akan menyebabkan kandungan iodium dalam intratiroid rendah,

akibatnya hipotalamus merangsang pituari anterior mensekresi TSH, sehingga terjadi

peningkatan TSH untuk merangsang kelenjar tiroid mensekresi T4 , akibatnya timbul

hipertrofi pada kelenjar tiroid, kelenjar gondok membesar (gondoken/goiter) dan

hipotiroidisme. Dampak dari penurunan fungsi tiroid, bila terjadi pada ibu hamil

maka akan melahirkan anak kretin, ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik,

bayi lahir dengan panjang dan berat badan lahir rendah, anak cebol (Hetzel, 1996).

Di sisi lain, kekurangan iodium tersebut menyebabkan gangguan fungsi

hormon tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi, menyebabkan pembentukan organ

dan fungsi organ-organ penting terganggu, akibatnya proses tumbuh kembang

terganggu, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan fisik dan kretin (Grannspan,

2000). Pada bayi melahirkan BBLR dan PB Lahir rendah, pada balita anak menjadi

cebol, dan pada anak ditandai dengan anak pendek/stunted pada usia masuk sekolah

(Almatsier, 2004). Mekanisme hubungan defisiensi iodium dengan pertumbuhan

(45)

Daerah Defisiensi Yodium ( < 50

μ

g/hari ) Endemis

GAKY

Produksi hormon thyroid kurang

Kandungan Iodium intratiroid rendah

Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T4

Fungsi Thyroid menurun Terjadi gondok

Metabolisme zat terganggu

Terjadi Hipotiroidisme Pembentukan Fungsi organ-organ

Organ terganggu penting terganggu

Proses tumbuh kembang terganggu

Hambatan Pertumbuhan Fisik dan kretin

Bayi : BBLR, PB lahir- Anak Baru Sekolah : Rendah : Balita : Cebol TBABS Pendek/ Stunted

Sumber : Hetzel (1996), Greenspan, (2000); Almatsier, (2004).

(46)

2.3. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) 2.3.1. Pengertian GAKI dan faktor penyebabnya

Istilah GAKI adalah singkatan dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium,

sejak tahun 1970-an disepakati untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE),

dan digunakan untuk mencakup semua akibat kekurangan yodium terhadap

pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dicegah dengan pemulihan kekurangan

yodium (Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul

karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur yodium secara terus menerus

dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001).

Pengertian defisiensi yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan

kretinisme saja, tetapi defisiensi yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya

manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak.

Defisiensi yodium dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKI)

yang menunjukkan luasnya pengaruh defisiensi yodium tersebut (Almatsier, 2004).

Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang dibutuhkan manusia relatif

sedikit (kebutuhan normal : 100 – 150

μ

g/hari) untuk mensintesis hormone tiroksin.

Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ

tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi, lemak, protein,

kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem

(47)

Penyebab utama GAKI adalah kekurangan Iodium. Kekurangan iodium dalam

makanan sehari-hari (< 50

μ

g/hari) akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid,

sehingga fungsi tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi akan terganggu, efeknya

terhadap pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa pertumbuhan anak-anak.

Penderita hipotiroidisme, kecepatan pertumbuhannya menjadi sangat tertinggal

(Djokomoeljanto, 2001).

Kadar iodium dalam bahan makanan bervariasi dan dipengaruhi oleh letak

geografis, musim, dan cara memasaknya. Bahan makanan laut mengandung kadar

iodium lebih banyak. Kadar iodium berbagai bahan makanan misalnya ikan tawar

(basah) 30 µg/kg bahan, ikan tawar (kering) 116 µg/kg, ikan laut (basah) 812 µg/kg,

ikan laut (kering) 3.715 µg/kg, cumi-cumi (basah) 798 µg/kg, cumi-cumi (kering)

3.866 µg/kg, daging (basah) 50 µg/kg, susu 47 µg/kg, telur 93 µg/kg, sayur 29

µg/kg, cereal 47 µg/kg, (Harsono, 1994)

Kadar iodium pada pengelolaan makanan akan berkurang tergantung cara

memasaknya. Ikan yang digoreng kadar iodiumnya berkurang 25 %, bila di bakar

berkurang 25 % dan bila di rebus (tanpa ditutupi) akan berkurang hingga 56 .

Sebaliknya iodium bisa disenyawakan dengan berbagai zat misalnya dengan NaCl

pada iodisasi garam dapur, dilarutkan dalam air dalam senyawa Kl, dilarutkan dalam

minyak (lipiodol) dll. (Harsono, 1994). Kandungan rata-rata iodium dalam bahan

(48)

Tabel 2.1. Rata-rata kandungan Iodium dalam Bahan Makanan (mg/kg)

Goitrogenik adalah suatu zat yang menghambat produksi atau penggunaan

hormon tiroid. Keberadaan zat goitrogenik akan menjadi nyata jika terjadi

kekurangan iodium (Kartono, 2004). Berdasarkan sumbernya goitrogenik terdiri dari

goitrogenik alami dan goitrogenik non alami. Goitrogenik alami seperti pada

singkong, rebung, kol, ubi jalar, buncis besar, kacang-kacangan, bawang merah dan

bawang putih. Sedangkan yang non alami seperti bahan polutan akibat kelebihan

pupuk urea, pestisida dan bakteri coli (Thaha, 2002).

Berdasarkan mekanisme kerjanya zat goitrogenik alami dikelompokkan

menjadi 2 kelompok yaitu : 1) kelompok tiosianat atau senyawa mirip tiosianat

bekerja menghambat mekanisme transport aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid.

Bahan makanan yang kaya sumber tiosianat antara lain ubi kayu, hasil olah ubi kayu,

(49)

menghambat prosesorganifikasi iodium dan penggabungan iodotirosin dalam

pembentukan hormon tiroid aktif. Bahan makanan yang mengandung tiourea seperti

sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih.

Bahan makanan goitrogen yang populer dan banyak dikonsumsi di banyak

negara berkembang adalah singkong. Kadar sianida dalam singkong bervariasi sekitar

70 mg-400 mg/kg. Bila kadar sianida singkong sekitar 400 mg/kg, singkong itu

disebut singkong pahit, sedang bila 70 mg/kg disebut singkong manis. Menurut

FAO/WHO batas aman sianida adalah 10 mg/kg berat kering (Murdiana,2001).

Bahan makanan lain yang mengandung goitrogenik adalah kol, kedelai mentah

(Setiadi,1980).

Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN) Goitrogenik

tiosianat berasal dari prekusor tiosianat yaitu sianogenik glikosida, sianohidrin dan

asam sianida (sianida bebas). Perubahan sianida menjadi tiosianat terjadi ketika bahan

makanan goitrogen dicerna dengan bantuan enzim glikosidase serta enzim sulfur

transferase. Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida makanan di dalam tubuh

yang diekskresikan dalam urin.

Murdiana, dkk (2001) melakukan penelitian untuk mengurangi kadar

goitrogenik jenis tiosianat di daerah gondok endemik yaitu Pundong Yogyakarta dan

Srumbung Magelang. Rata-rata kadar sianida bahan makanan mentah bekisar 2 – 18

mg/100 gram bahan mentah. Setelah dilakukan pengolahan pada jenis sayuran dengan

cara rebus dan tumis kadar sianida masih berkisar 50 %. Sedangkan pada

(50)

Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan

perendaman. Kadar sianida pada bahan makanan disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.2 Kadar sianida (CN) dalam sayuran dan umbi-umbian dengan berbagai cara Pengolahan (mg/100 gr bahan)

Kadar Cianida

(51)

2.3.3. Hubungan Goitrogenik dengan GAKI

Goitrogenik pada umumnya berperan sebagai penghambat transpor aktif ion

iodida (I) ke dalam kelenjar tiroid sehingga menghambat fungsi tiroid. Salah satu

jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN). Tiosianat ini akan

berkompetisi dengan iodida ketika memasuki sel tiroid karena volume molekul dan

muatannya sama. Tiosianat masuk ke dalam darah dan membentuk ion-ion goitrogen

dan akan mengikat ion-ion iodium. Akibatnya iodida yang akan digunakan untuk

pembentukan hormon-hormon mono (T1) dan diiodothyronine (T2) sebagai

precursor hormon triiodothyronine (T3) dan tyroksin (T4) berkurang, sehingga

pembentukan hormon T3 dan T4 akan menurun. Karena iodium kurang atau tidak

sesuai dengan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuhan hormon maka kelenjar tiroid

akan bekerja keras, mengakibatkan sel-sel akan membesar dan secara visual leher

akan membesar yang disebut dengan GAKI

Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan goitrogenik yaitu di Nigeria

Timur dan Ubangi Zaire Barat yang makanan pokoknya adalah singkong diperoleh

hasil terjadi peningkatan kadar tiosianat serum dan urine. Hasil percobaan pada tikus

dan kelinci yang diberi singkong dan kol, terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan

penurunan kadar monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) dalam

darah.(Setiadi, 1980).

Van der Laan menemukan efek tiosianat terhadap kelenjar tiroid bahwa

(52)

pengeluaran iodida dari kelenjar tiroid. Jika kadar tiosianat darah melebihi 1 mg %,

maka akan terjadi hambatan pompa iodium (iodine pump) pada intake iodium yang

normal, sedangkan pada kadar tiosianat darah yang lebih tinggi lagi akan terjadi pula

penghambatan pembentukan MIT, DIT, T3 dan T4.

Aritonang (2000) melakukan penelitian di Kabupaten Dairi yang TGR nya

tinggi diperoleh hasil bahwa bahan makanan yang sering dikonsumsi adalah ubi kayu,

daun singkong, kol. Beberapa penelitian bahan makanan ini bisa menyebabkan

pembesaran kelenjar gondok. Bourdouk, dkk (1980) melakukan penelitian di Ubangi

Zaire Barat Laut yang makanan pokoknya adalah singkong, terjadi peningkatan kadar

tiosianat serum dan urine tetapi bila singkong diganti beras maka akan terjadi

penurunan kadar tiosianat serum dan urine (Setiadi, 1980).

Zaleha, et al. (1996) cit Ali (1999) melakukan penelitian di Malaysia dengan

pemberian pucuk ubi kayu rebus selama dua minggu, terjadi perubahan fungsi

hormon tiroksin dan triiodotironin. Chesney menemukan bahwa kelinci yang diberi

kol selama beberapa bulan menunjukkan pembesaran kelenjar tiroid ( Setiadi, 1980).

Hubungan metabolisme iodium, goitrogenik dengan status GAKI

(53)

DIIT Gastrointestinal : Tiosianat IODIUM (I) IODIDA (I−) (SCN−) rendah

Transpor Iodium

MIT DIT

Tiroglobulin

T3 T4

THYROID : I− rendah

Kandungan iodium intratiroid rendah

Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T4

Fungsi thyroid menurun

Terjadi gondok, hipotiroidism, kretinisme, gangguan pertumbuhan

Sumber : Ganong (1999), Greenspan (2000), Gand (1980), WHO (1996)

(54)

2.3.4. Dampak GAKI

Kekurangan iodium yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar

tiroid. Sintesa hormon tiroid berkurang, akan menguras cadangan iodium serta

mengurangi produksi tiroksin (T4 dan T3) bebas dalam plasma darah berkurang.

Pengurangan produksi T4 dan T3 didalam darah memicu sekresi Tiroid Stimulating

Hormon (TSH) yang selanjutnya menyebabkan kelenjar tiroid bekerja lebih giat,

sehingga secara perlahan kelenjar ini membesar (hiperplasi) disebut gondok.

Kekurangan yodium yang berlangsung lama pada masa kehamilan dapat

menyebabkan abortus, lahir mati, cacat bawaan, gangguan perkembangan otak,

melahirkan anak kretin dengan gejala gangguan pertumbuhan badan, cebol,

perkembangan mental terganggu, perut buncit karena tonus abdominal yang kurang,

lidahnya besar. Demikian juga jika terjadi kekurangan yodium pada anak dan remaja

dapat menyebabkan gondok, hipotiroidisme, gangguan fungsi mental, pertumbuhan

terhambat (Hetzel, 1996).

Kretin merupakan dampak terberat pada anak yang timbul manakala asupan

yodium kurang dari 25

μ

g/hari dan berlangsung lama. Kretin ditandai dengan

keterbelakangan mental disertai : a) satu atau lebih kelainan saraf seperti gangguan

pendengaran, gangguan bicara, serta gangguan sikap tubuh dalam berdiri dan

berjalan; atau b) gangguan pertumbuhan/cebol (Djokomoelyanto, 1996). Kretin dapat

diderita oleh anak-anak dalam usia akil baliq (0 – 12 tahun ), dan tinggal di daerah

(55)

Makin muda usia anak makin rentan terhadap kretin jika menderita hipotiroid.

Adanya satu saja penderita kretin di salah satu wilayah merupakan indikator beratnya

masalah GAKY, dan dapat diasumsikan pada wilayah tersebut kualitas SDM rendah

(Depkes, 2003).

Pengaruh defisiensi/kekurangan yodium nyata sekali terlihat pada

perkembangan otak selama pertumbuhan berlangsung dengan cepat, yaitu masa janin,

bayi, dan balita. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja akan

menyebabkan pertumbuhan terhambat, ditandai dengan tubuh pendek/stunted. Pada

saat baru masuk sekolah anak terlihat pendek (Sediaoetama, 2004). Dampak yang

ditimbulkan GAKI cukup luas mulai pada masa janin sampai dewasa. Spektrum

GAKI menurut WHO (2001), adalah sebagai berikut :

1. Bila kekurangan yodium terjadi pada janin, maka dampak kemungkinan yang

terjadi: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian, perinatal, kematian bayi,

kretin neurologi (keterbelakangan mental, bisu tuli, mata juling, lumpuh spastic

pada kedua tungkai), kretin myxoedematus (keterbelakangan mental, cebolan),

hambatan psikomotor.

2. Bila kekurangan yodium terjadi pada neonatal, maka dampak kemungkinan

yang terjadi : gondok neonatus, hipotiroidisme neonatus, penurunan IQ.

3. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja, maka dampak

kemungkinan yang terjadi : gondok, hypotiroid (juvenile hipotiroidisme),

Gambar

Tabel 2.1. Rata-rata kandungan Iodium dalam Bahan Makanan (mg/kg)
Tabel 2.2  Kadar  sianida  (CN) dalam sayuran dan umbi-umbian dengan berbagai cara Pengolahan (mg/100 gr bahan)
Gambar  2 : Metabolisme Iodium dan Goitrogen dalam thiroid
Gambar 3. Bagan Kerangka Teori Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari pemupukan yaitu; (1) Meningkatkan kesuburan tanah sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman yang relatif lebih stabil, serta meningkatkan daya tahan

Skripsi PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIKA ..... ADLN Perpustakaan

26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang tidak hanya pelanggaran HAM berat saja dapat diadili di pengadilan HAM, akan tetapi perkara-perkara pelanggaran HAM

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap anak toddler di Kelurahan Cinta Raja, Kecamatan Sail Kota Pekanbaru melalui pengukuran pertumbuhan dengan

In the 5t versus 2t comparison, schizophrenic subjects showed signifi- cantly greater activation in both the right and left DLPFC, demonstrating that group differences were

The Decadal Survey also identified the need to make measurements with high enough accuracy to be able to resolve small climate change signals over decadal time scales

Apabila lokasi aliran sungai, mata air, dan sumur berdekatan dengan lapisan batubara maka pengambilan energi CBM akan mengurangi volume air karena dalam proses pengambilan CBM akan

Sehingga user yang telah memiliki telepon selular yang ingin mengetahui produk TIANSHI apa yang paling cocok untuk suatu penyakit, termasuk informasi tentang komposisi, khasiat