• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosodi Syair Madihin Pada Adat Perkawinan Banjar Di Langkat: Kajian Teks Dan Fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prosodi Syair Madihin Pada Adat Perkawinan Banjar Di Langkat: Kajian Teks Dan Fungsi"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PROSODI SYAIR MADIHIN PADA ADAT

PERKAWINAN BANJAR DI LANGKAT: KAJIAN

TEKS DAN FUNGSI

TESIS

Oleh

ERMA SATIFA

077009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROSODI SYAIR MADIHIN

PADA ADAT PERKAWINAN BANJAR DI LANGKAT:

KAJIAN TEKS DAN FUNGSI

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara

Oleh

ERMA SATIFA

077009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : Prosodi Syair Madihin pada Adat Perkawinan Banjar di Kabupaten Langkat: Kajian Teks dan Fungsi

Nama Mahasiswa : Erma Satifa

Nomor Pokok : 077009007

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. T. Syarfina, M.Hum.) (Drs. M. Takari, M.Hum. Ph.D.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah Diuji pada

Tanggal November 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Syarfina, M.Hum.

Anggota : 1. Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D.

2. Prof. Dr. Robert Sibarni, MS

(5)

ABSTRAK

Penelitian dengan menggunakan teori fonetik akustik dan teori

fungsionalisme merupakan landasan teori kajian prosodi teks dan fungsi

syair madihin pada upacara adat perkawinan Banjar.

Syair madihin yang menjadi sampel target penelitian ini berasal

dari Desa Tanjung Ibus. Syair ini terdiri dari 10 bait dan setiap bait memiliki

frekwensi, durasi, serta notasi balo. Larik-larik syair tersebut diolah dengan

komputer Program Praat versi 4,027 sehingga menghasilkan struktur

frekwensi nada dasar (33.02%), serta durasi yang rlatif pendek untuk

menyelesaikan penuturan syairnya. Kemudian, terdapat kesamaan syair

madihin tersebut.

Frekuensi, durasi dan notasi syair madihin sebagai bagian dari

kajian prosodi teks akan ditempatkan pada fungsi sosiobudaya syair tersebut.

Pemahamanan fungsi sosiobudaya syair bermula dari pemahaman makna

syair dan sarana penggunaan syair itu sendiri. Setelah itu, barulah diketahui

fungsi syair madihin sebagai integrasi sosiobudaya, kelstarian budaya,

hiburan, mata pencarian, ekspresi individu, ekspresi kelompok, ekspresi

emosi, ekspresi estetika, dan sarana ritual bagi mayarakat Banjar di

Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera utara.

(6)

ABSTRACT

The study using acoustic phonetic and functionalism theories is a theoretical foundation of textual prosodic review and function of madihin poem in the wedding custom ceremony of Banjar.

The madihin poem as the target sample of the study came from Tanjung Ibus Village. The poem consists of 10 lines of having frequency, duration and block notation. The lyrics of the line are processed by Praat Program Computer vesion 4.027 resulting in a frequency structure of basic tone (33,02%), final tone (23,89%), upper tone (28,23%), and lower tone (14,86%), and a relatively shorter duration for completion of the poem speech. And then, there is a simiarity of melody of any lyric line in bloc notation expressing the entire melody of the madihin poem.

The frequency duration, notation of the madihin poem as a part of the textual prosodic review will be placed in the socio-culture function of the poem. The recognition of the socio-culture function of the poem started at the meaning of poem and the facilities in use of the poem itself. After that time the function of madihin poem is known as the integrated socio-culture cultural preservation entertainment livelihood individual expression collective expression emotional expression aesthetic expression and ritual facility for Banjar community in Langkat Regency Nort Sumatra Province.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur penulis bagi Allah, karena berkat

rahmatNya kepada penulis, maka penulis dapat menyelesaikan tesis ini sesuai rentang

waktu yang ditentukan pihak terkait.

Tesis ini berjudul “Prosodi Syair Madihin pada Adat Perkawinan Banjar di

Kabupaten Langkat: Kajian Teks dan Fungsi”. Di dalam tesis ini, penulis mengkaji

frekuensi, durasi, dan notasi Syair Madihin berdasarkan pertunjukan pamadihinan pada

upacara adat perkawinan Banjar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Secara

tekstual, syair ini digunakan masyarakat Banjar pada upacara pesta pernikahan, upacara

pesta khitan, upacara menabalkan nama anak, serta upacara melepas dan menyambut haji.

Secara umum, syair ini berfungsi sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan

peringatan tingkatan-tingkatan hidup seseorang, pelengkap upacara sehubungan dengan

saat-saat perputaran waktu, dan perwujudan ungkapan rasa keindahan.

Di dalam penyelesaian tesis ini, penulis telah mengusahakan keilmiahan tesis

dengan bantuan informasi dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesahanan tetap menjadi

tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran untuk

kelanjutan penelitian dan penyempurnaan tesis ini.

Medan, November 2009

Penulis,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan

Penyayang, karena berkat rahmatNya, tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu

syarat meraih gelar Magister Humanora pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi

Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Tanpa disadari, penulis masih memiliki keterbatasan kemampuan serta

pengalaman sehingga harus menghadapi kendala dalam menyelesaikan studi ini. Akan

tetapi, hal ini dapat teratasi karena bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh

karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya dan rasa hormat kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor USU (Universitas

Sumatera Utara), Medan.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Pascasarjana USU beserta

Staf Akademik dan Administrasi.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Drs. Umar Mono, M.Hum. selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana

Kesusastraan USU beserta Dosen dan Staf Administrasi.

4. Pembimbing I, Dr. T. Syarfina, M.Hum. yang banyak memberikan masukan dan

meluangkan waktu memberi pemikiran yang sangat berguna kepada penulis

dalam menyelesaikan tesis ini; dan, pada pembimbing II, Drs. Muhammad Takari,

M.Hum., Ph.D. yang memberikan arahan serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis

(9)

5. Almarhum Ayahanda H. M. Kamil Asyad yang semasa hidupnya memotivasi

dengan penuh kasih sayang kepada penulis. Semoga beliau mendapat tempat yang

layak di sisiNya. Ayahanda, inilah yang Ayahanda inginkan dari Ananda. Ilmu itu

adalah pahit akarnya semoga manis buahnya. Inilah petuah yang selalu Ayahanda berikan kepada Ananda.

6. Bunda Hj. Fatimah yang dengan sabar, terus memberikan motivasi dan cahaya

untuk Ananda, baik berupa materi maupun material, terutama doa Bunda yang

mengiringi Ananda untuk melangkah menyelesaikan tesis ini.

7. Keluarga penulis, suami Drs. R. Nawawi, juga kepada anak-anak penulis, Syahrur

Roji, Zupfadhy Indrawan, Rafiki Abdillah, dan A. Rizgon Amri, semoga tesis ini

menjadi motivasi dan didikan bagi kalian untuk dapat lebih sukses di kemudian

hari.

8. Keluarga besar penulis, Pakciknda Ir. H. Hamid Arsyad dan Makciknda Dra. T.

Andromeda, Adinda Rima Sari, Mailina, Mhd. Harris, Mhd. Fachrul Arif,

keponakan-keponakan serta sanak keluarga yang lainnya, “Saya mengucapkan

terima kasih atas doa, perhatian, dan motivasi”.

9. Sahabat-sahabat mahasiswa Program Studi Linguistik Angkatan 2007, terutama

Rosliani -bersama Syaiful Hidayat, suaminya- yang banyak membantu penulis,

terutama diskusi terbatas ilmu sastra dalam menyelesaikan tesis ini, Muhairina,

Lela, Rasita, Kiky, Tina, Gustaf, Yunus, Kak Roswani, Rudi, Jamorlan, Ramlan,

dan Ekesien. Semoga keberhasilan menyertai ilmu yang kita peroleh dari kampus

ini.

(10)

11.Kemudian, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh guru dan

dosen yang telah mendidik penulis sejak dari sekolah dasar saampai ke perguruan

tinggi.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak

disebut namanya, namun turut membantu penulis dalam penyusunan tesis ini. Semoga

Allah membalas kebaikan itu dengan pahala yang tiada taranya, Amin.

Medan, November 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Erma Satifa

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 7 Januari 1963

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Abdul Hakim No. 86, Pasar I Tanjung Sari,

Samping Kompleks Insan Cita Grya (ICG), Medan

Selayang.

Pendidikan Formal:

1. SD Swasta Yayasan Pendidikan Medan Putri (Tamat 1976).

2. SMP Swasta Perguruan Nasional Khalsa Medan (Tamat 1979).

3. SMA Negeri III Medan (Tamat 1982).

4. Fakultas Bahasa dan Seni, D2 Jurusan Seni Rupa, IKIP Negeri Medan (Tamat

1984).

5. Fakultas Bahasa dan Seni, S1 Jurusan Sendratasik, IKIP Negeri Medan (Tamat

2001).

6. Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana

Kesusastraan, Universitas Sumatera Utara, Medan (Sejak 2007).

Pendidikan Nonformal:

1. Penataran Guru Bidang Studi Kesenian di Tanjungsari, Medan (1989).

2. Pelatihan Guru Tari di Taman Budaya Medan (1996).

3. Pelatihan Guru Tari di Taman Budaya Medan (1997).

4. Pelatihan Uji Coba Pendidikan Seni Nusantara di Jakarta (2003).

5. Lokakarya Seni Tingkat Nasional di Wisma Kinasih Caringin Bogor (2004).

6. Lokakarya Evaluasi Kurikulum di Brastagi Cottage (2004).

(12)

8. Diklat Pelatih Calon Guru Kesenian Program Pendidikan Seni Nusantara di Hotel

Mega Mendung Permai Bogor (2005).

9. Lokakarya Imtaq dan Imtek Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara di Medan

(2008).

Pekerjaan:

1. Guru Kesenian SLTP Negeri Gunungtua, Kabupaten Tapanuli Selatan [sekarang:

Kabupaten Padang Lawas Utara] (1985-1987).

2. Guru Seni Budaya SLTP Negeri 25 Medan [sekarang: SMP Negeri 27 Medan]

(1987-1993).

3. Guru Seni Budaya SLTP Negeri 29 Medan [sekarang: SMP Negeri 31 Medan]

(1993-2002).

4. Guru Seni Budaya SMA Negeri I Medan (Sejak 2002).

5. Instruktur Diklat KBK Guru SMA Mata Pelajaran Kesnian di LPMP Sunggal,

Sumatera Utara (2004).

6. Pelatih Guru Kesenian Tingkat Nasional Program Pendidikan Seni Nusantara di

LPP Kampus Sampali, Medan (2005).

Guru Pembina Tari Kolosal Tari Pergaulan Tekno Modern (TPTM) pada Pekan Olahraga

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR BAGAN DAN NOTASI... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 2

1.2 Profil Suku Banjar... 4

1.3 Ruang Lingkup Penelitian... 12

1.4 Masalah Penelitian... 13

1.5 Manfaat Penelitian... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 16

2.1 Kerangka Teori... 16

2.2 Teori Fonologi... 17

2.2.1 Fonetik Akustik... 18

2.2.2 Frekuensi... 20

2.2.3 Durasi... 21

2.2.4 Notasi... 22

2.3 Teori Fungsionalisme... 23

(14)

2.4.1 Penelitian Prosodi... 27

2.4.2 Penelitian Syair... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 37

3.1 Metode Penelitian... 40

3.2 Lokasi Penelitian... 41

3.3 Sumber Data... 41

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 43

3.5 Teknik Analisis Data... 44

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN... 45

4.1 Lirik Syair Madihin dari Desa Tanjung Ibus……...…… 45

4.2 Frekuensi Syair Madihin... 48

4.3 Durasi Syair Madihin... 55

4.4 Notasi Syair Madihin... 72

BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN... 80

5.1 Struktur Frekuensi Syair Mahidin... 80

5.2 Struktur Durasi Syair Madihin... 83

5.3 Struktur Notasi Syair Madihin... 87

5.4 Fungsi Syair Madihin... 89

5.4.1 Makna Lirik Syair Madihin……….. 89

5.4.2 Penggunaan Syair Madihin………... 96

5.4.2.1 Upacara Pesta Perkawinan (Bakakahawinan)………... 96

(15)

5.4.2.3 Upacara Penabalan Nama Anak………..…..………... 107

5.4.2.4 Upacara Melepas dan Menyambut Haji... 108

5.4.3 Fungsi Sosiobudaya Syair Madihin………. 110

5.4.3.1 Integrasi Sosial Budaya………. 112

5.4.3.2 Kelestarian Budaya………... 115

5.4.3.3 Hiburan……….. 116

5.4.3.4 Mata Pencaharian……….. 118

5.4.3.5 Ekspresi Individu... 119

5.4.3.6 Ekspresi Kelompok………... 121

5.4.3.7 Ekspresi Emosi……….. 122

5.4.3.8 Ekspresi Estetika………... 122

5.4.3.9 Sarana Ritual... 125

BAB VI PENUTUP………... 129

6.1 Simpulan……… 129

6.2 Saran... 132

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

IV.1 Frekuensi pada Bait Pertama Syair Madihin... 49

IV.2 Frekuensi pada Bait Kedua yair Madihin... 49

IV.3 Frekuensi pada Bait Ketiga Syair Madihin... 50

IV.4 Frekuensi pada Bait Keempat Syair Madihin... 50

IV.5 Frekuensi pada Bait Kelima Syair Madihin... 51

IV.6 Frekuensi pada Bait Keenam Syair Madihin... 52

IV.7 Frekuensi pada Bait Ketujuh Syair Madihin... 53

IV.8 Frekuensi pada Bait Kedelapan Syair Madihin... 53

IV.9 Frekuensi pada Bait Kesembilan Syair Madihin... 54

IV.10 Frekuensi pada Bait Kesepuluh Syair Madihin... 55

IV.11 Durasi Bait Pertama Syair Madihin... 56

IV.12 Durasi Bait Kedua Syair Madihin... 57

IV.13 Durasi Bait Ketiga Syair Madihin... 58

IV.14 Durasi Bait Keempat Syair Madihin... 60

IV.15 Durasi Bait Kelima Syair Madihin... 61

IV.16 Durasi Bait Keenam Syair Madihin... 63

IV.17 Durasi Bait Ketujuh Syair Madihin... 66

IV.18 Durasi Bait Kedelapan Syair Madihin... 67

IV.19 Durasi Bait Kesembilan Syair Madihin... 69

IV.20 Durasi Bait Kesepuluh Syair Madihin... 71

V.1 Frekuensi Bait 1-10 Syair Madihin... 80

(17)

DAFTAR BAGAN DAN NOTASI

Nomor Judul Halaman

IV.1 Notasi Balok dan Notasi Angka Lagu “Paris Berantai”... 73

IV.2 Notasi Balok Syair Madihin... 77

IV.3 Notasi Balok dan Notasi Angka Syair Madihin... 78

V.1 Tata Cara dan Tahapan Upavara Adat Perkawinan untuk

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. GAMBAR PAMADIHINAN DARI TANJUNG IBUS... 131

2. PETA KABUPATEN LANGKAT... 132

3. PETA PROVINSI SUMATERA UTARA... 133

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. DAFTAR INFORMAN……….... 138

2. GAMBAR PAMADIHINAN DARI TANJUNG IBUS... 140

3. GAMBAR PENGANTIN BANJAR DI KABUPATEN LANGKAT... 141

4. PETA KABUPATEN LANGKAT... 142

5. PETA PROVINSI SUMATERA UTARA... 143

6. PETA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN... 144

(20)

ABSTRAK

Penelitian dengan menggunakan teori fonetik akustik dan teori

fungsionalisme merupakan landasan teori kajian prosodi teks dan fungsi

syair madihin pada upacara adat perkawinan Banjar.

Syair madihin yang menjadi sampel target penelitian ini berasal

dari Desa Tanjung Ibus. Syair ini terdiri dari 10 bait dan setiap bait memiliki

frekwensi, durasi, serta notasi balo. Larik-larik syair tersebut diolah dengan

komputer Program Praat versi 4,027 sehingga menghasilkan struktur

frekwensi nada dasar (33.02%), serta durasi yang rlatif pendek untuk

menyelesaikan penuturan syairnya. Kemudian, terdapat kesamaan syair

madihin tersebut.

Frekuensi, durasi dan notasi syair madihin sebagai bagian dari

kajian prosodi teks akan ditempatkan pada fungsi sosiobudaya syair tersebut.

Pemahamanan fungsi sosiobudaya syair bermula dari pemahaman makna

syair dan sarana penggunaan syair itu sendiri. Setelah itu, barulah diketahui

fungsi syair madihin sebagai integrasi sosiobudaya, kelstarian budaya,

hiburan, mata pencarian, ekspresi individu, ekspresi kelompok, ekspresi

emosi, ekspresi estetika, dan sarana ritual bagi mayarakat Banjar di

Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera utara.

(21)

ABSTRACT

The study using acoustic phonetic and functionalism theories is a theoretical foundation of textual prosodic review and function of madihin poem in the wedding custom ceremony of Banjar.

The madihin poem as the target sample of the study came from Tanjung Ibus Village. The poem consists of 10 lines of having frequency, duration and block notation. The lyrics of the line are processed by Praat Program Computer vesion 4.027 resulting in a frequency structure of basic tone (33,02%), final tone (23,89%), upper tone (28,23%), and lower tone (14,86%), and a relatively shorter duration for completion of the poem speech. And then, there is a simiarity of melody of any lyric line in bloc notation expressing the entire melody of the madihin poem.

The frequency duration, notation of the madihin poem as a part of the textual prosodic review will be placed in the socio-culture function of the poem. The recognition of the socio-culture function of the poem started at the meaning of poem and the facilities in use of the poem itself. After that time the function of madihin poem is known as the integrated socio-culture cultural preservation entertainment livelihood individual expression collective expression emotional expression aesthetic expression and ritual facility for Banjar community in Langkat Regency Nort Sumatra Province.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi

antarsesama manusia dan bahkan dengan makhluk lain. Komunikasi yang dilakukan

antarmanusia menggunakan media lisan dan bukan lisan. Media lisan ini sering juga

disebut sebagai bahasa, yang terdiri dari berbagai unsur seperti fonem, morfem, kata,

kosa kata, frasa, klausa, kalimat, tema, rema, dan lain-lainnya. Sementara komunikasi

dengan media bukan lisan di antaranya adalah dengan menggunakan isyarat, mimik muka

(mengekspresikan rasa sedih, duka, gembira, tidak suka, cinta, dan lainnya),

gerakan-gerakan, bunyi-bunyian, nada, aksentuasi, dan lain-lain.

Dalam konteks berkomunikasi antarsesama manusia, ada yang hanya

menonjolkan unsur kelisanan saja. Misalnya, percakapan sehari-hari antara orang-orang

di sekeliling kehidupan kita. Kuliah yang disajikan dosen dengan pengutamaan verbal.

Contoh-contoh bahasa yang dapat didengarkan saat masuk ke laboratorium bahasa.

Begitu juga pidato kenegaraan yang dituturkan oleh kepala negara. Bahkan, sampai

kepada pembacaan teks-teks keagamaan dalam ibadah, misalnya kegiatan wirid Yassin

dalam kehidupan umat Islam.

Tidak jarang pula dalam kehidupan manusia, aspek bahasa verbal sering

disampaikan dengan menggunakan unsur-unsur bukan lisan, seperti melodi, nada, ritme,

intonasi, gerakan-gerakan tari atau teater, dan sejenisnya. Agak berbeda dengan bahasa

(23)

sedikit berbeda. Aspek estetik, musikal, repetisi, dan sejenisnya selalu menjadi dasar dari

bahasa yang disajikan dengan cara bernyanyi atau dilagukan.

Bahasa yang disajikan dengan aspek-aspek musikal banyak dijumpai di Provinsi

Sumatera Utara yang berpenduduk heterogen. Bahasa tersebut disusun secara sistematis

dalam bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair. Tradisi ini terdapat dalam kehidupan

suku-suku setempat, seperti Melayu, Karo, Pakpak, Simalungun, Batak Toba,

Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias (kadang-kadang ditambah Lubu dan Siladang

yang berada di wilayah Mandailing). Demikian juga dalam kehidupan suku-suku

pendatang, seperti suku Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, Aneuk Jamee),

Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, Bugis, dan termasuk suku Banjar yang menjadi

fokus kajian ini.

Aspek musikal puisi lama dalam tradisi sastra lisan yang terdapat di Sumatera

Utara, misalnya, dalam masyarakat Melayu dijumpai genre gurindam (teks keagamaan

Islam dengan kategorisasi pasal-pasal), nazam (teks agama Islam satu bait dua baris,

khusus dari Malaka), dan barzanji (teks berbahasa Arab atau terjemahannya dalam

bahasa Melayu yang menceritakan tentang keberadaan Nabi Muhammad SAW). Di

dalam tradisi masyarakat Batak Toba ada andung-andung (juga sastra yang bertemakan

tentang kesedihan yang disajikan di depan jenazah); dalam masyarakat Aceh ada dedeng

(syair tradisional Aceh) dan panton (pantun dalam bahasa Aceh Rayeuk); dalam

masyarakat Minangkabau ada bakaba (pantun-pantun dalam bahasa Minangkabau yang

temanya adalah tentang kebudayaan Minangkabau secara umum); dan dalam masyarakat

(24)

Pada hakikatnya, tradisi pantun dan syair dalam masyarakat Banjar di Langkat

merupakan tradisi lisan, sehingga keberadaannya berkaitan pula dengan aspek akustik

dalam kajian fonologi prosodi. Hal ini semakin menarik perhatian peneliti untuk

mengungkapkan struktur kelisananannya. Struktur kelisanan itu berkaitan dengan akustik.

Akustik berperan terhadap simbol-simbol bahasa dengan ciri menggambarkan sebuah

ekspresi yang disampaikan oleh penutur. Tuturan adalah bunyi-bunyi bahasa yang

berkesinambungan di dalam penyampaian pesan. Ide dalam tuturan, untaian kata-kata,

dan cara pengucapannya merupakan paduan struktur leksikal dengan faktor segmental

dan suprasegmental. Sementara itu, orang yang mempersepsikan tuturan itu cenderung

menurut ciri akustik sebanyak-banyaknya, termasuk ciri akustik dalam bahasa daerah.

Berkaitan dengan bunyi bahasa dalam tuturan, maka bunyi tersebut berperan besar

sebagai kesan pada pusat syaraf akibat dari getaran gendang telinga yang beraksi karena

perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi pada bahasa adalah termasuk lambang

bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Kridalaksana, 1983:27).

Dalam ilmu-ilmu bahasa, kajian yang mencakup aspek-aspek pendukung verbal

itu lazim dikaji dalam bidang prosodi. Menurut Chaeyanara (2007:105), bunyi pada

sebuah konsonan di dalam vokal pada sebuah ucapan, adalah termasuk tinggi rendahnya

tekanan, panjang pendek dan tempo pada bunyi. Ciri prosodi bunyi pada sebuah

konsonan di dalam prosodi (prosodi fiature) dilambangkan dengan tanda-tanda tertentu

yang berbeda dengan bunyi vokal konsonan atau suku kata.

Selanjutnya, menurut Zahid, dkk. (2008:1), komunikasi yang berlangsung antara

seorang individu dengan individu lain, diiringi dengan menggunakan fitur-fitur (fiature)

(25)

komunikasi tercapai. Penggunaan fitur-fitur prosodi tidak dilakukan sewenang-wenang,

tetapi terkonsep oleh penuturnya. Kosep dan terapan berbahasa dengan menggunakan

aspek prosodi ini berlangsung serentak antara berpikir dan menyajikannya. Bahasa yang

terujar melibatkan pergerakan naik turunnya nada (pitch movements), kuat atau lemahnya

suara (sound density), tempo yaitu cepat atau lambatnya penyajian, dan lainnya.

Fitur-fitur prosodi ini wajib ada, karena tanpanya akan menghasilkan ujaran yang monoton

(senada saja dan berlawanan dengan intonasi yang dikehendaki, baik secara sosial

maupun budaya).

1.2 Profil Suku Banjar

Suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini memiliki ciri khas madam, yaitu

perpindahan dari satu daerah ke daerah lain, lalu menetap di sana untuk mencari

ketenangan hidup, baik lahir maupun batin. Biasanya orang Banjar berkecenderungan

untuk bertempat tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani penanam

padi, karet, dan kelapa, dengan membuka perkebunan kecil. Oleh karena itu, suku Banjar

mempunyai kemampuan membuka lahan pertanian di hutan dan menggali saluran-saluran

irigasi pertanian. Kemampuan tersebut menarik perhatian Sultan Serdang, yang pada

tahun 1903, membuka proyek persawahan dekat Kota Perbaungan yang disebut bendang.

Untuk mengolah sawah ini, didatangkan ribuan orang Banjar yang ahli bersawah dari

Kalimantan Selatan dengan pimpinan kepala kelompoknya yang benama Haji Mas

Demang. Akhirnya, mereka menentap di Sumatera Utara sampai sekarang ini. Bahkan,

selain di Kesultanan Serdang, orang Banjar juga bermukim di wilayah budaya Melayu

(26)

Kesultanan Langkat yang menjadi fokus kajian ini berada paling utara dalam

budaya Melayu Sumatera Timur. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kesultanan

besar Melayu yang ada di daerah Sumatera Timur. Berdasarkan Peraturan Negeri

Langkat yang dikeluarkan pada tanggal 20 Juni 1905 oleh Sultan Abdul Azis Abdul Jalil

Rahmatsyah, kesultanan ini meliputi daerah-daerah yang berbatasan dengan Aceh Timur

dan Aceh Tengah di sebelah timur, daerah Karo di sebelah selatan, Deli Serdang di

sebelah timur, dan dengan Selat Malaka di sebalah utara (Pelly, 1986:3-4).

Masyarakat Banjar yang bertempat tinggal di Sumatera Timur, pada mulanya,

berasal dari pertemuan berbagai kelompok suku bangsa yang memiliki kesamaan agama

Islam. Kelompok suku bangsa yang menjadi inti suku Banjar berasal dari penduduk asli

suku Dayak dan suku Melayu dari Sumatera yang kemudian membentuk kesatuan politik

Kesultanan Banjar dalam proses islamisasi Kerajaan Demak. Sejak saat itu, agama Islam

menjadi ciri khas suku Banjar sebagaimana disimpulkan oleh Alfani Daud dalam Daud

(1997:6) berikut ini.

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak beradab-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.

Suku Banjar yang memiliki tradisi madam tersebut menyebar ke berbagai daerah

di Kepulauan Nusantara. Suku Banjar yang menetap di Sumatera Timur atau Sumatera

Utara merupakan penduduk yang bermigrasi dari daerah Kalimantan Selatan, sekitar

Martapura dan Barito, diperkirakan pada abad kesembilan belas. Mereka menyusuri

(27)

Timur. Di tempat baru ini, mereka membuat perkampungan suku Banjar, seperti Desa

Sei. Ular, Desa Kebun Kelapa, dan Desa Pantai Labu.

Menurut Fauzi (2006:2) di Provinsi Sumatera Utara, khususnya bahagian yang

dikenal dengan Tanah Deli, sejak dahulu banyak bermukim orang Banjar. Bersama

penduduk lainnya, mereka telah merasakan bahwa Tanah Deli ini merupakan kampung

halaman bersama. Selama ratusan tahun mereka hidup bersama secara harmonis dengan

suku-suku lainnya yang bermukim di Tanah Deli, baik suku-suku setempat, pendatang

dari Kepulauan Nusantara, maupun pendatang dari mancanegara. Bersama-sama dengan

suku Melayu Deli dan penduduk migran lainnya, masyarakat Banjar membangun daerah

tempat tinggalnya.

Di antara orang-orang Banjar yang berada di Langkat, sudah banyak pula yang

mengaku dirinya sebagai bagian dari suku Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Hal ini

disebabkan orang Banjar menjadikan agama Islam sebagai ciri khas kesukuan yang

diserap ke dalam adat istiadat mereka tersebut memiliki kesamaan perlakuan agama

Islam sebagai penanda utama kesatuan suku bangsa Melayu. Sistem religi yang dianut

oleh masyarakat Banjar itu sesuai dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat

Melayu di mana masyarakat Banjar tersebut bertempat tinggal. Kesamaan religi dan

kesamaan wilayah tempat tinggal suku Banjar dengan suku Melayu di Kesultanan

Langkat telah menempatkan masyarakat Banjar sebagai bagian yang menyatu dengan

suku Melayu Langkat.

Meskipun masyarakat Banjar dapat berintegrasi dengan suku Melayu di Sumatera

Utara, akan tetapi suku Banjar ini mengalami polarisasi kebudayaan. Sebagian

(28)

Banjar, terutama mereka yang kawin sesama suku Banjar dan tinggal di kawasan

pemukiman Banjar di Sumatera Utara. Meskipun demikian, sebagian masyarakat ada

yang beradaptasi dengan kebudayaan setempat (terutama Melayu dan Jawa). Hal ini

dilakukan oleh orang Jawa yang kawin dengan suku Banjar tersebut, sehingga terjadi

pelunturan identitas karena proses adaptasi atau akulturasi ini. Apalagi orang Melayu di

Sumatera Utara juga menganggap bahwa orang Banjar juga adalah orang rumpun Melayu

seresam di Sumatera Utara, maka banyak pula di antara orang Banjar ini disebut dan

menyebut diri sebagai Melayu Banjar.

Polarisasi kebudayaan yang dialami masyarakat Banjar di Sumatera Utara,

khususnya di Kabupaten Langkat, merupakan dampak globalisasi. Untuk menjaga agar

masyarakat Banjar tidak mengalami dampak negatif polarisasi tersebut, maka penelitian

dan pengkajian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas kultur Banjar di

Langkat perlu dilakukan secara ilmiah. Objek penelitian yang menarik berkaitan dengan

identitas kultur keluarga migran Banjar adalah syair madihin. Di Langkat, syair ini

biasanya disajikan dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar, ketika pengantin

menggunakan upacara adat Banjar. Syair madihin dalam konteks ini adalah untuk

mempertahankan identitas suku Banjar di Sumatera Utara, khususnya wilayah budaya

Banjar dan Melayu Langkat.

Syair madihin adalah salah satu sastra tradisional suku Banjar, yang biasanya disajikan (mode) dengan cara dinyanyikan, sehingga syair madihin merupakan wujud

perpaduan antara sastra dan musik. Salah satu aspek yang menarik untuk diteliti dan

dikaji adalah mereka menyebut genre sastra ini dengan syair, sementara bentuk teks-teks

(29)

dalam syair madihin menjadikan fungsi sosial budaya sastra lisan ini semakin penting

dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama dalam adat perkawinan Banjar di

Kabupaten Langkat.

Bagi masyarakat Banjar, penggunaan istilah syair untuk madihin adalah untuk

merujuk kepada pengertian umum sebagai karya sastra. Di sini yang menarik minat

peneliti, mengapa mereka memakai istilah syair bukan pantun, walau yang dipraktikkan

sebenarnya pantun (dalam bahasa Banjar, dengan struktur teks yang mendekati pantun).

Isi syair madihin adalah serangkaian pantun dalam bahasa Banjar yang dituturkan dengan

prosodi melodi dan irama tertentu. Disajikan dengan tambahan pukulan gendang frame

satu sisi yang tarbang, dengan irama tertentu oleh seorang seniman syair madihin. Dari

segi strukturnya syair madihin merupakan puisi tradisional yang memiliki aturan-aturan

sastra, khususnya dalam hal pembaitan dan persajakan.

Dalam syair madihin, karena pantun yang digunakan dalam syair tersebut

disajikan secara musikal, maka ada beberapa ciri penting pantun yang menarik perhatian

peneliti dalam syair madihin, yaitu: (i) pantun biasanya disajikan berulang-ulang

mengikuti ulangan-ulangan melodi; (ii) walaupun prinsipnya teks syair madihin

menggunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan dalam syair. Hal

ini disebabkan sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi ciri

utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh masuk; (iii) pantun dalam

syair madihin juga selalu dapat diulur atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya; (iv) pantun-pantun dalam syair madihin juga dapat disisipi oleh

kata-kata interyeksi seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, dan

(30)

baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih

melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks

tersebut disampaikan secara melodis (prosodi). Misalnya untuk memperpanjang beat,

dapat dipergunakan dengan teknik melismatik. Sebaliknya, teknik silabik dipergunakan

untuk durasi yang relatif pendek. Keadaan yang lebih elastis seperti ini terjadi pada

keseluruhan syair madihin yang berdasarkan kepada pantun.

Elastisitas pantun pada syair madihin, umpamanya, terjadi pada persajakan yang

bebas dan tidak terikat pada pola persajakan. Hal ini dapat disimak pada pantun pembuka

yang diiringi tabuhan tarbang pada acara hiburan di sebuah acara pesta perkawinan. Pada

pembuka acara adat perkawinan Banjar tersebut biasanya terdapat pantun untuk

membuka acara seperti pantun di bawah ini.

balimbing matang diulah Pancuk anak Saluang cucuki akan

Para tetamu, nan hadir datang Silahkan masuk di taratak nan kami sadiakan.

belimbing masak dipucuk pohon anak-anak dan cucu-cucu yang akan datang

serta para undangan yang sudah datang

silahkan masuk di taratak yang kami sediakan

Makna pantun sebagai syair pembuka adalah memperkenanlan diri, sebagai

ucapan selamat datang bertemu dengan anak dan cucu. Di dalam hal ini, yang punya

hajatan sangat menghormati para tamu yang sudah diundang untuk masuk ke tempat yang

telah disediakan. Syair madihin dalam bentuk pantun ini, menurut kualitas sastra yang

dianut oleh pamadihinan, berstatus bait pertama dan kedua sebagai sampiran sedangkan

bait ketiga dan keempat berstatus isi. Pola persajakannya pada umumnya adalah /a/b/b/a/.

Pilihan tema pertunjukan syair madihin sangat bergantung pada tuntutan situasi

(31)

kehidupan keluarga, nasihat kepada pengantin baru, berupa petuah agama (Islam

khususnya), diselingi dengan humor-humor segar. Seorang pamadihinan sangat

diperlukan untuk berimprovisasi dalam mengolah kata dan kalimat yang akan

diucapkannya.

Kesenian syair madihin biasanya digelar dalam rangka malam hiburan rakyat

(karasmin), tujuannya untuk memeriahkan acara pesta perkawinan dan menghibur para tetamu. Biasanya syair madihin dibawakan secara berpasangan (duet) secara

terus-menerus bersahut-sahutan (balas membalas). Dalam bidang etnomusikologi disebut

dengan litany, responsorial, atau call and response. Umumnya pamadihinan tersebut

adalah suami dan istri, tetapi tidak sebagai hal yang mutlak, karena syair madihin bisa

juga digelar secara perseorangan.

Pertunjukan syair madihin yang paling penting adalah pada upacara adat

perkawinan Banjar. Pertunjukan ini dilakukan setelah acara yang disebut batatai, yakni

mempelai bersanding. Pada malam harinya diadakan hiburan yang disebut bajajagaan,

termasuk malam hari tersebut digelarlah kesenian syair madihin untuk menghibur para

keluarga, sanak saudara, dan tamu yang hadir. Pertunjukan syair madihin pada malam

upacara adat perkawinan Banjar tersebut menempatkan syair madihin dalam fungsi sosial

budaya yang penting dalam identitas kultur masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat.

Di Kabupaten Langkat, syair madihin selalu difungsikan dalam upacara adat

perkawinan Banjar. Hal ini juga menarik untuk dikaji dari sudut fungsi. Namun fungsi ini

telah mengalami degradasi seiring adaptasi masyarakat Banjar di Sumatera Utara.

Keunikan budaya lisan tradisional pada suku Banjar dapat kita jumpai pada adat

(32)

sastra lisan dan beragam bentuk seni tradisi saat ini ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup

segan mati pun tak mau. Gambaran kondisi inilah yang terdapat pada syair madihin Banjar. Sangat melunturnya minat orang atau masyarakat terhadap berbagai bentuk sastra

lisan Banjar disebabkan faktor semakin berkurangnya seniman tradisional yang mengolah

karya seni tersebut untuk bertahan. Bahkan, karya seni tersebut semakin tertinggal oleh

arus globalisasi dengan masuknya hiburan seni populer yang terus berkembang pesat

sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini semakin menguatkan minat peneliti untuk meneliti

fungsi syair madihin dalam kehidupan sosiobudaya masyarakat Banjar di Kabupaten

Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam kajian ini, peneliti membatasi lingkup penelitian untuk mengukur ciri

prosodi pada syair madihin yang dilakukan pada upacara adat perkawinan Banjar di

Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Prosodi yang akan diukur berkaitan dengan

frekuensi, durasi, dan notasi musik pertunjukan syair madihin tersebut. Berdasarkan

pengukuran prosodi syair madihin tersebut akan dideskripsikan dan dianalisis fungsi

sosial budaya dari syair madihin pada upacara adat perkawinan Banjar di Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat.

1.4 Masalah Penelitian

Penelitian ini menitikberatkan pokok permasalahan pada empat kalimat

(33)

a. Bagaimanakah struktur frekuensi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat

perkawinan Banjar di Langkat?

b. Bagaimanakah struktur durasi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat

perkawinan Banjar di Langkat?

c. Bagaimanakah struktur notasi balok dan notasi angka syair madihin yang digunakan

dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat?

d. Bagaimanakah fungsi syair madihin dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar

di Langkat?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki empat

tujuan berikut ini.

a. Menentukan struktur frekuensi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat

perkawinan Banjar di Langkat.

b. Menentukan struktur durasi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat

perkawinan Banjar di Langkat.

c. Menentukan struktur notasi balok dan notasi angka syair madihin yang digunakan

dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat.

d. Mendeskripsikan fungsi syair madihin dalam konteks upacara adat perkawinan

(34)

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini menitikberatkan pada prosodi fonologi dan fungsi sosial

budaya syair madihin. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

hal-hal berikut ini.

a. Sumber informasi atau rujukan yang ilmiah untuk memahami struktur frekuensi,

durasi, dan fungsi pertunjukan syair madihin pada upacara adat perkawinan suku

Banjar di Kabupaten Langkat.

b. Menambah khasanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang bahasa dan sastra,

khususnya fonologi, puisi, dan matra akustik pembacaan syair.

c. Acuan dan konsep bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

prosodi pada sastra lisan, terutama syair madihin, yang tumbuh dan berkembang di

lokasi migrasi suku Banjar, dari Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan) ke

Kabupaten Langkat (Sumatera Utara).

d. Bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Langkat dalam pembinaan,

pengembangan, dan pelestarian sastra lisan yang menyatu dalam upacara adat

perkawinan Banjar.

(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan mengkaji prosodi teks dan

fungsi syair madihin pada adat perkawinan Banjar di Langkat. Kajian teks berkaitan

dengan struktur frekuensi, struktur durasi, dan struktur notasi syair madihin sedangkan

kajian fungsi berkaitan dengan posisi syair madihin pada sosiobudaya masyarakat Banjar,

terutama pada adat perkawinan Banjar di Langkat. Untuk mendeskripsikan dan

menganalisis hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan dua teori.

a. Teori Fonetik Akustik. Penggunaan teori ini bertujuan untuk menentukan struktur

frekuensi, struktur durasi, dan struktur notasi dalam pertunjukan syair madihin

pada adat perkawinan Banjar di Langkat.

b. Teori Fungsionalisme. Penggunaan teori ini bertujuan untuk mendeskripsikan

fungsi syair madihin, baik fungsi sosiobudaya maupun fungsi estetisnya, sebagai

salah satu khasanah sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Banjar di Langkat,

khususnya berkaitan dengan adat perkawinan Banjar di Langkat.

Sebelum teori fonetik akustik dan teori fungsionalisme diterapkan dalam kajian

teks dan fungsi syair madihin, maka kajian pustaka ini dilengkapi oleh deskripsi

penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya dibagi atas dua bagian, yaitu penelitian

yang berkaitan dengan aspek kebahasaan sehubungan dengan teori fonetik akustik dan

penelitian yang berkaitan dengan aspek kesastraan sehubungan dengan syair. Dengan

(36)

berkaitan dengan kajian teks dan fungsi syair madihin pada upacara adat perkawinan

Banjar di Kabupaten Langkat.

2.2 Teori Fonologi

Teori fonetik akustik tidak dapat dipisahkan dari pemunculan fonologi prosodi

yang diperkenalkan oleh Firth. John R. Firth (1890-1960) adalah ahli yang

memperkenalkan aliran prosodi (disebut juga aliran Firth atau aliran London) dalam ilmu

bahasa. Fonologi prosodi yang diperkenalkan Firth adalah suatu teknik untuk

menentukan arti pada tataran fonetis, leksikal, situasional, dan gramatikal. Menurut Chaer

(2003:355), “Fonologi prosodi terdiri dari satun-satuan fonetis dan satuan prosodi.

Satuan-satuan fonetis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal,

sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang

daripada suatu segmen tunggal.”

Sejalan dengan pendapat di atas, Chaeyanara (2007:148-149) mengatakan bahwa

prinsip dan matlamat teori fonologi prosidi didasarkan tiga dasar berikut ini. Dasar

pertama, fonologi prosodi menekankan analisis yang dapat memperlihatkan hubungan paradigmatik (paradigmatik relation) bersama hubungan sintakmatik (syntagmatik

relation). Hubungan paradigmatik akan melihat fenomena bunyi. Secara terperinci, bahkan dapat mengintegrasikan sistem fonetik dan fonologi yang akhirnya dapat

menjelaskan hakikat bahasa dengan sempurna.

Dasar kedua, teori fonologi prosodi menekankan analisis secara integrasi tak linear. Analisis ini akan menjelaskan analisis sistem bunyi, pola kata, struktur kata, dan

(37)

kaedah polisistemik (polysystemic). Dalam analisis, tidak perlu mengikuti satu kaedah

yang telah ditetapkan dan peneliti dapat memberikan pandangan secara kreatif. Oleh

karena itu, untuk memperjelas aplikasi teori fonologi prosodi ini, maka kajian ini akan

memaparkan aspek frekuensi, durasi, dan notasi yang berkaitan dengan fonetik akustik.

2.2.1 Fonetik Akustik

Di dalam hal ini harus dibedakan antara fonetik dengan fonologi. Trubetzkoy

dalam Rahyono (2007:45) menjelaskan bahwa fonetik adalah studi bunyi bahasa yang

berkenaan dengan peristiwa bahasa, murni studi fenomenalistik terhadap bahasa tanpa

mempertimbangkan fungsi. Sedangkan fonologi adalah studi bahasa yang berkenaan

dengan sistem bahasa, organisasi bahasa, serta studi fungsi linguistik bahasa sebagai

tahap lanjutan fonetik. Dengan demikian, titik berat fonetik terletak pada parole

sedangkan fonetik terletak pada langue.

Menurut Malmberg (1963), Verhaar (1977), dan Ramelan (1982) dalam Marsono

(2006:1), “Fonetik (phonetics) ialah ilmu yang menyelidiki bunyi bahasa tanpa melihat

fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa (langue).” Secara khusus,

bidang kajian ini disebut fonetik akustik. Malmberg (1963) dalam Marsono (2006:2)

menyatakan fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala

fisis. Dengan demikian, bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo,

intensitas, dan timbrenya.

Di dalam teori sastra, prosodi akustik ini dikenal sebagai matra akustik. Menurut

Wellek dan Austin Warren (1989:209), teori ini didasarkan pada penelitian objektif,

(38)

investigasi bunyi secara ilmiah ini terangkum dalam Approaches to Science of English

Verse karya Wilbur L. Schramm, University of Iowa Studies, Series on Aims and Progress of Research, No. 46, Iowa City (1935) yang memuat uraian singkat penerapan

matra akustik karya Sievers dan Saran (Jerman), Verrier (Prancis), dan E.W. Scripture

(Amerika). Menurut Wellek dan Austin Warren (1989:209),

Matra akustik telah berhasil meletakkan unsur-unsur pembentuk matra secara jelas. Sekarang tidak ada lagi keras-pelannya suara, dengan warna suara atau waktu, karena unsur-unsur ini dikaitkan dengan faktor-faktor yang dapat diukur dari frekuensi, luas gelombang, bentuk dan lamanya gelombang suara pembaca sajak. Kita dapat membuat potret dan menggambar instrumen fisik dengan jelas. Osilograf menunjukkan sekeras apa, selama apa, dan dengan perubahan nada apa seorang deklamator membacakan sajak.

Kajian ini berpijak pada objek fonetik akustik memperlakukan prosodi sebagai

gejala fisika yang merupakan bagian dari tuturan tersebut. Ciri fonologi diberi satuan

seperti silabel, morfem atau domain yang tidak sama dengan satu bunyi segmental dan

bunyi, suprasegmental. Bunyi segmental adalah bunyi yang dapat disegmentasikan.

Bunyi segmental memiliki pola urutan yang sama. Bunyi segmental adalah bunyi dari

awal hingga akhir. Ciri akustik pada tuturan, sejumlah kontur nada yang berbeda dapat

terjadi pada bahasa apapun tidak terbatas, ketika bertutur, setiap individu kemungkinan

untuk menginformasikan tuturan dengan beberapa cara-cara ini dibedakan atas dua

sumber, yaitu: (a) Rangkaian aliran nada yang sesungguhnya dan rangkaian alir nada

yang sama distribusikan selama bertutur. (b) Urutan alir nada (pitch movement) mungkin

bervariasi dari satu kontur ke kontur lainnya. Variasi ini disebabkan oleh letak tekanan

kalimat sejumlah konstur nada yang berbeda. Merupakan manifestasi dari pola atau

(39)

2.2.2 Frekuensi

Menurut van Heuven (1994:3), ciri frekuensi fundamental tersusun dalam struktur

melodi. Secara alir nada, pengukuran frekuensi melodi tersebut dapat dilakukan secara

terpisah, seperti nada dasar, nada akhir, dan puncak nada. Komponen-komponen itu

akhirnya melalui alir nada mengkarakteristik dalam struktur melodi suatu tuturan.

Struktur melodi itu disebut juga sebagai intonasi dan digunakan untuk menyebut

seperangkat kaidah untuk mengkarakteristik variasi nada dari variasi alir nada (tekanan

nada) yang fungsional.

Untuk mengetahui karakteristik sebuah bunyi pada gelombang suara dapat diukur

dengan mengetahui frekuensi, durasi, dan intensitasnya. Suatu runtutan bunyi yang

sambung-menyambung terus-menerus diselang-selang oleh jeda sedang bunyi

suprasegmental tidak dapat disegmentasikan bagian ini disebut prosodi (Chaer,

2003:120). Ciri prosodi bunyi pada sebuah komponen di dalam vokal pada sesuatu

ucapan termasuk tinggi rendahnya, tekanan, panjang, pendek tempo bunyi. Ciri prosodi

(prosodi feature) dilambangkan dengan tanda tertentu, menunjukkan kebosanan sebuah

bunyi vokal secara alamiah bagi seseorang penuturan.

Berkaitan dengan frekuensi, Rahyono (2007:43) mengatakan, “Frekuensi bunyi

adalah jumlah siklus gelombang yang dihasilkan dalam waktu satu detik. Satuan yang

digunakan untuk mengukur frekuensi adalah Hertz (Hz).” Frekuensi bunyi yang

dihasilkan harus memperhitungkan perbedaan ciri fisik alat bicara karena perbedaan

tersebut akan menghasilkan frekuensi yang berbeda. Akan tetapi, menurut ‘tHart, Collier,

(40)

frekuensi pada perempuan dalam menghasilkan bunyi berkisar antara 180-400 Hz,

sedangkan pada laki-laki berkisar antara 80-200 Hz.

2.2.3 Durasi

Di dalam prosodi akustik, van Heuven dalam Sugiyono (2003:91) melihat struktur

temporal sebagai seperangkat tuturan yang menentukan pola durasi bunyi-bunyi, tuturan

atau jeda dalam tuturan yang diucapkan dalam suatu bahasa. Durasi, menurut Tim

Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005:280), bermakna lamanya sesuatu berlangsung;

rentang waktu; dan, secara linguistik diartikan sebagai lamanya suatu bunyi

diartikulasikan. Dengan demikian, durasi atau penghentian sesaat dapat disebut jeda.

Menurut Chaer (2003:122), “Jeda atau persendian adalah hentian bunyi dalam arus

ujaran”

Berdasarkan paparan di atas, kajian teks syair madihin yang berkaitan dengan

prosodi akan menitikberatkan pada frekuensi dan durasi. Struktur frekuensi akan

ditentukan berdasarkan pertunjukan teks syair madihin pada upacara adat perkawinan

Banjar di Kabupaten Langkat, terutama berkaitan dengan nada dasar, nada final, nada

atas, dan nada rendah. Berdasarkan pertunjukan teks syair madihin pada upacara adat

perkawinan Banjar tersebut, maka akan dilakukan pengukuran waktu pertunjukan setiap

bait syair tersebut.

2.2.4 Notasi

Di dalam teori sastra, prosodi yang menekankan aspek melodi ini dikenal sebagai

(41)

bahwa matra dalam puisi sama dengan irama musik. Oleh karena itu, tipe ini paling tepat

disimbolkan dengan notasi musik, baik notasi balok mapun notasi angka. Buku Science of

English Verse karya Sidney Lanier (1880) menjadi pegangan awal teori ini, baik di Inggris maupun Amerika. Menurut Wellek dan Austin Warren (1989:208),

Teori ini mempunyai kelebihan karena menekankan kecenderungan puisi ke arah isokronisme subjektif, yaitu kecenderungan kita membaca secara cepat atau lambat, panjang atau pendek, dan mengambil pause (istirahat). Notasi akan berhasil diterapkan pada puisi-puisi yang dinyanyikan, tetapi sulit dipakai untuk jenis-jenis puisi yang mirip percakapan, pidato atau puisi yang tidak isokronis.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prosodi itu

adalah penanda pemberi ciri-ciri tentang puisi pantun dan syair. Mengkaji prosodi seperti

di atas dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang prosodi itu sendiri. Dengan

ciri prosodi ini dapat diketahui tentang cara memposisikan nada dalam struktur melodi.

Tuturnya ialah (alir nada maupun kontur intonasi) dan cara mengartikulasikan setiap

unsur segmen satuan bahasa dalam tuturan. Dengan cara seperti ini akan ditentukan

struktur notasi balok dan notasi angka syair madihin yang dipertunjukkan oleh

masyarakat Banjar di Langkat.

2.3 Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji sejauh apa peranan syair madihin dalam masyarakatnya, penulis

menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer (1991) dalam Takari dan Heristina

Dewi (2008:14), teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang menekankan pada

saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan

pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial

(42)

terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat,

agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan

politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana,

masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung

solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan

kekerabatannya.

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi

secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah

tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi

mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi

sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Pada

konteks ini, Kaberry (1957) dalam Koentjaraningrat (2007:167) membedakan fungsi

sosial dalam tiga tingkat abstraksi.

(1) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat

abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah-laku

manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

(2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat

abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau

pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga

masyarakat yang bersangkutan.

(3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga

mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya

(43)

Di dalam bukunya A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944),

Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat

kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan

itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari keperluan naluri manusia

yang berhubungan dengan kehidupannya. Malinowski percaya bahwa pendekatan

fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting, terutama oleh mereka yang

bergaul dengan masyarakat primitif. Di dalam hal ini, Malinowski (1927) dalam Takari

dan Heristina Dewi (2008:19) menjelaskan sebagai berikut.

Nilai praktis teori fungsionalisme ini adalah teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.

Di dalam teori sastra, teori fungsionalisme ini sejalan dengan fungsi sosial sastra

yang dapat dilacak dari pernyataan Horace. Art Poetica yang ditulis Horace tahun 14 SM

sebagaimana disebutkan Teeuw (2003:128) dan Sikana (2009:440) meletakkan fungsi

sastra dengan istilah dulce dan utile, yaitu menyenangkan dan bermanfaat.

Menyenangkan berkaitan dengan penerimaan masyarakat terhadap karya sastra yang

menyeronokkan jiwa raga dan bermanfaat karena karya tersebut dapat memberi

bimbingan dan membangunkan masyarakat untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Bahkan, Horace dalam Sikana (2009:440) menambahkan istilah decore (berisikan sesuatu

yang baik), dilectare (membuka rasa nikmat dan keseronokan), dan movere (penggerak

dan pemberi kesan yang berguna). Oleh karena itu, Teeuw (2007:151) menegaskan

(44)

mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan.” Penyair dalam konteks

kajian ini adalah pamadihinan yang menciptakan dan atau menyanyikan syair madihin.

Sejalan dengan fungsi sastra dalam kehidupan masyarakat, adakalanya sastra

mempengaruhi perkembangan masyarakat, terkadang pula perkembangan sastra

dipengaruhi oleh sejarah masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi sastra sebagai

sesuatu yang menyenangkan dan bermanfaat bagi pembaca atau masyarakat pada sesuatu

zaman yang dapat saja berbeda. Fungsi sosiobudaya sastra ini dikemukan oleh Hans

Robert Jausz (1970) dalam Teeuw (2003:168) berikut ini:

Dalam hal ini pada prinsipnya Jausz membedakan tiga kemungkinan: sastra dapat berlaku afirmatif-normatif, yaitu menetapkan dan memperkuat struktur, norma dan nilai masyarakat yang ada; atau restoratif, yaitu mempertahankan norma-norma yang dalam kenyataan kemasyarakatan telah meluntur atau menghilang, tidak berlaku lagi; ataupun, kemungkinan ketiga, sastera bersifat inovatif dan revolusioner, merombak nilai-nilai yang mapan, memberontak terhadap norma establishment kemasyarakatan.

Sejalan dengan paparan pendapat di atas, fungsi sosiobudaya dan estetika syair

madihin berkaitan erat dengan estetika sastra Melayu sebagai latar budaya yang melatarbelakangi estetika sastra Banjar. Baik suku Melayu maupun suku Banjar

mengutamakan ajaran Islam dalam perilaku budayanya sehingga menempatkan penyair

atau pamadihinan sebagai peneladanan ciptaan Tuhan. Teeuw (2003:183) menempatkan

hal tersebut dalam konteks perilaku orang Arab sebagai penerima pertama ajaran Islam,

“Bagi orang Arab pun penyair bukan pencipta dalam arti yang mutlak; bagi mereka pun

penyair terikat pada ciptaan Tuhan yang merupakan model yang sempurna; sedangkan

dalam al-Qur’an diberikan Kebenaran dari segi pemakaian bahasa yang tak teratasi lagi.”

Dengan demikian, Braginsky (1979) dalam Ratna (2007:358) menyimpulkan bahwa

(45)

Teori fungsionalisme yang mengedepankan fungsi sosiobudaya dan estetika sastra

Banjar ini akan diterapkan untuk mengkaji fungsi syair madihin dalam kehidupan

masyarakat Banjar di Langkat. Pada konteks ini, syair madihin yang digunakan sebagai

sampel penelitian adalah syair yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar.

Dengan penerapan teori fungsionalisme ini akan diketahui posisi pertunjukan syair

tersebut sebagai salah satu cara untuk menjaga kelestarian dan identitas budaya suku

Banjar di Kabupaten Langkat.

2.4 Penelitian Terdahulu

2.4.1 Penelitian Prosodi

Penelitian yang berkaitan dengan prosodi fonologi dalam bahasa Indonesia dan

bahasa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh para peneliti, baik secara lokal, nasional,

maupun internasional. Penelitian itu antara lain dilakukan oleh Amran Halim (1969),

Ewald Ebing (1997), dan Sugiyono (2003). Berikut ini beberapa penelitian terhadap

prosodi fonologi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Halim (1969) melakukan penelitian terhadap intonasi bahasa Indonesia yang

berkaitan dengan sintaksis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memeriksa

intonasi bahasa Indonesia dalam konteks ciri-ciri seperti kontur, tingkat tinggi nada, jeda,

kelompok jeda, dan penempatan tekanan/aksen. Kemudian, penelitian ini memberikan

penjelasan tentang letak intonasi dalam kalimat yang meliputi pola-pola intonasi,

satuan-satuan fonologis yang menandai ciri-ciri intonasi, dan fungsi intonasi.

Halim menemukan bahwa karakterisasi bahasa Indonesia memerlukan empat unit

(46)

kontur pokok), dan fonem intonasi seperti tingkat tinggi nada (TT), tekanan, dan jeda.

Dari temuan ini, Halim menyimpulkan bahwa suatu pola intonasi terdiri atas sebuah

kelompok jeda atau lebih. Suatu kelompok jeda itu sendiri dapat terdiri atas sebuah

kontur pokok maupun gabungan sebuah prakontur dan sebuah kontur pokok. Kedua

kontur tersebut diawali oleh tingkat tinggi nada (TT). Tingkat tinggi nada tersebut terdiri

atas tingkat tinggi nada yang secara kebahasaan tidak relevan dan tinggi nada konstrastif.

Tinggi nada konstrastif di dalam bahasa Indonesia terdiri atas tiga buah, yaitu tinggi

(TT3), netral atau tengah (TT2), dan rendah (TT1).

Secara internasional, Ebing (1997) melakukan penelitian intonasi bahasa

Indonesia secara eksperimental dengan menggunakan fasilitas komputer. Teknologi

digital ini digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana konfigurasi alir nada yang

secara perseptual membentuk model melodis intonasi dalam bahasa Indonesia dan

elemen apakah yang diperlukan untuk membentuk model tersebut. Hal itu dilakukan

karena ia menganut konsep bahwa prosodi dipelajari bukan semata-mata sebagai

fenomena fisik (frekuensi dasar, durasi, dan intensitas) melainkan juga sebagai fenomena

ranah linguistik.

Dari hasil penelitiannya, Ebing mengklasifikasi beberapa pola alir nada dalam

bahasa Indonesia, yaitu alir nada naik, nada turun, naik turun-naik, dan turun-naik-turun.

Di samping itu, ia juga menemukan suatu rangkaian konfigurasi alir nada dalam bentuk

arah, ukuran ekskursi, waktu, dan durasi. Konfigurasi ini mengkhususnyakan empat naik

(yang berbeda dalam ukuran ekskursi dan waktu) dan tiga turun (besar, kecil,

perlahan-lahan) yang bila digabungkan akan menghasilkan delapan konfigurasi alir nada yang

(47)

Di dalam proses penelitian intonasi, Ebing menggunakan program analisis akustik

Praat yang dapat menghasilkan kajian lebih akurat dan mampu memanipulasi serta

memodifikasi paramater intonasi. Prosedur yang diterapkan pada penelitian ini adalah

produksi ujaran, analisis, akustik, seleksi korpus data ujaran, klasifikasi konfigurasi alir

nada, susunan stimulus modifikasi alir nada, uji persepsi, dan analisis. Kesimpulan

kajiannya adalah alir nada standar mempunyai kesamaan dengan alir nada close copy.

Ebing juga menemukan kenyataan bahwa penutur bahasa Indonesia memiliki toleransi

yang tinggi terhadap penyimpangan realisasi pola intonasi jika dibandingkan dengan

penutur bahasa lain.

Apabila Halim dan Ebing melakukan penelitian terhadap bahasa Indonesia maka

Sugiyono memusatkan perhatian pada bahasa daerah Melayu Kutai. Sugiyono (2003)

melakukan kajian yang bertujuan mencari parameter prosodi yang menandai kontras

antara ciri akustik tuturan deklaratif dan interogatif bahasa Melayu Kutai. Ciri prosodi

dikaji dalam perspektif produksi dan perspektif persepsi. Kajian perspektif produksi

dilakukan dengan menggunakan kerangka fonetik eksperimental sedangkan kajian

perspektif persepsi menggunakan psikoakustik dan teori jejak.

Dari penelitian tersebut, Sugiyono mendeskripsikan pengukuran

komponen-komponen melodik dalam bahasa Melayu Kutai, seperti tinggi nada awal, nada final,

puncak nada, dan julat nada. Pada setiap komponen tersebut ditemukan nilai terendah dan

nilai tertinggi setiap melodik yang diukur. Di samping itu, ditemukan juga nilai rata-rata

dan ambang atas serta ambang bawah atas Fo setiap komponen. Dengan demikian,

Sugiyono menggunakan prosodi fonetik dan prosodi musik dalam menemukan ciri

(48)

Penelitian fonetik akustik yang bersifat tempatan dilakukan oleh Syarfina (2003)

terhadap bahasa Melayu Deli di Provinsi Sumatera Utara. Syarfina meneliti nada dasar

penutur bahasa Melayu Deli berdasarkan variasi sosial. Kajian ini bermula pada

pengukuran nada dasar yang diikuti kajian makna ciri-ciri nada dasar tersebut sebagai

pengelompok sosial. Untuk itu digunakan teori fonetik akustik, frekuensi, intonasi, dan

fonetik eksperimental. Di dalam hubungan dengan stratifikasi sosial dalam bahasa

Melayu Deli digunakan teori diglosia.

Dari penelitian nada dasar sebagai pemarkah sosial penutur bahasa Melayu Deli

ditemukan kenyataan bahwa rerata nada dasar tuturan laki-laki lebih kecil dibandingkan

dengan nada dasar tuturan perempuan dan nada dasar tuturan generasi tua lebih kecil

daripada nada dasar tuturan generasi muda. Kemudian, nada dasar tuturan kelas sosial ke

bawah lebih besar daripada nada dasar kelas sosial menengah ke atas. Berdasarkan

penelitian itu, dalam bahasa Melayu Deli, ketika bertutur dapat diduga kepada siapa

seseorang bertutur, diperingkat mana seseorang itu disapa berdasarkan stratifikasi

sosialnya.

2.4.2 Penelitian Syair

Penelitian terhadap syair yang menjadi rujukan teori syair dalam penelitian ini

adalah penelitian Harun Mat Piah. Setelah meneliti keberadaan syair dalam masyarakat

Melayu, dia mengemukakan empat kesimpulan berasaskan kepada berbagai pendapat

yang timbul berkaitan dengan syair yang dikemukakan oleh para ahli sastra. Keempat

simpulan mengenai syair yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah tersebut terdapat

(49)

(1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab dan penggunaannya dalam bahasa

Melayu hanya sebagai istilah teknik.

(2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan puisi Arab, tetapi tidak berasal

dari syair Arab dan Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana genre puisi

Arab atau Parsi. Dengan perkataan lain, syair adalah cipataan asli masyarakat

Melayu.

(3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu-Indonesia asli.

(4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan penyebarannya oleh Hamzah Fansuri

tersebut beracuankan puisi Arab-Persia.

Sejalan dengan pendapat di atas, Za’ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu

(1962) dalam Piah (1989:232) menyatakan bahwa penulisan syair tidaklah terkungkung

pada menerima saja. Beliau mengemukakan beberapa contoh yang memperli-hatkan

variasi yan berbeda, seperti syair dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b, dan seterusnya;

syair tiga baris serangkap dengan rima a/a/b, a/a/b, dan seterusnya; syair empat baris

serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, dan seterusnya. Berikut ini contoh syair sebagaimana

diberikan Za’ba dalam Piah (1989:232-237).

Contoh dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b:

Dihitung banyak tidak terkira, Apabila dijumlahkan menjadi satu. Melompat tak seperti kera,

Hanya tak pandai memanjat pintu. Menghidupi memelihara,

Tetapi orang benci bercampur bersatu.

Contoh syair tiga baris serangkap berima a/a/b, a/a/b:

(50)

Quran hadis terbulang-baling. Hadis firman dapat ubahan, Maksud hakiki perpecahan, Punding bengkok kena perguling.

Contoh syair empat baris serangkap berima a/b/a/b:

Kamilah raja tuan di sini, Harta pun kami yang punya, Orang yang duduk di bumi ini, Mendengar kami gentar semuanya. Bukalah pintu kami titahkan, Nabi Sulaiman empunya perintah, Jangan sekali kamu ingkarkan, Derhaka kamu jika dibantah.

Contoh syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d:

Wahai Ramadhan syahar berpangkat, Tuan kemana lenyap berangkat? Dukanya kami tidak bersukat, Hendak menurut tidak berdaya. Sekali setahun tuan bermegah, Menjelang kami sebulan singgah,

Kami bercengkerama belum semenggah, Tuan pun lenyap dari dunia.

Syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, e/e/e/f, dan diulang semula

dapat disimak pada syair di bawah ini.

Kalau kita ditanya orang:

Kemudi manusia apakah gerang? Berilah jawab dengannya terang: Akal, akal, akal, akal.

Kalau kita lagi ditanya: Haluan manusia apa ditanya? Berilah jawab yang sempurna: Hati, hati, hati, hati.

Kalau kita ditanya pula:

(51)

Ilmu yang sihat, ilmu yang sihat.

Menurut Harun Mat Piah dalam Piah (1989:91-124), pantun ialah sejenis puisi

pada umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan

sebaris, mempunyai rima akhir a/b/a/b, dengan edikit variasi dan kekecualian. Tiap-tipa

rangkap terbagi ke dalam dua unit: pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Setiap

rangkap melengkapi satu ide. Ciri-ciri pantun Melayu dapat dibicarakan dari dua aspek

penting, yaitu eksternal dan internal.

Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat

dilihat dan didengar, yang termasuk hal-hal berikut ini. (i) Terdiri dari rangkap-rangkap

yang berasingan. Setiap rangkap terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,

4, 6, 8, 10 dan seterusnya, tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin). (ii)

Setiap baris mengandung empat kata dasar. Oleh karena kata dalam bahasa Melayu

umumnya dwisuku kata, bila termasuk imbuhan, penanda dan kata-kata fungsional, maka

menjadikan jumlah suku kata pada setiap baris berjumlah antra 8-10. Berarti unit yang

paling penting ialah kata, sedangkan suku kata adalah aspek sampingan. (iii) Adanya

klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada dua

kuplet maksud. (iv) Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu pembayang (sampiran)

dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet: satu kuplet

pembayang dan satu kuplet maksud. (v) Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir

a/b/a/b, dengan sedikit variasi a/a/a/a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima

pada perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain rima,

(52)

Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu

pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza diapandang sebagai satu kesatuan.

Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara

subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk: (i) Penggunaan

lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan dunia pandangan (world

view) masyarakat. (ii) Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang-lambang.

Hal-hal yang berkaitan dengan pantun dan syair sebagaimana dipaparkan di atas

tetap menjadi dasar penciptaan syair madihin. Bahkan, syair madihin yang dipopulerkan

para penyanyi tetap mempertimbangkan penggunaan rima atau persajakan dalam setiap

larik syairnya. Menurut Tim Peneli

Gambar

GAMBAR PAMADIHINAN DARI TANJUNG IBUS......................
Tabel IV.1: Frekuensi Bait Pertama Syair Madihin
Tabel IV.3: Frekuensi Bait Ketiga Syair Madihin
Tabel IV.4: Frekuensi Bait Keempat Syair Madihin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tesis yang berjudul Syair Riwayat Nabi Muhammad Naskah Berbahasa Indonesia: Edisi Teks dan Kajian Koherensi Kisah ini mengkaji naskah Syair Riwayat Nabi Muhammad

Penelitian ini mengambil judul Istilah-istilah Upacara Perkawinan Adat Jawa Bubak Kawah dan Tumplak Punjen di Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo (Suatu Kajian

Tari ini berfungsi sebagai upacara ritual dalam kehidupan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.Tari Barong Banjar merupakan tari

Tari ini berfungsi sebagai upacara ritual dalam kehidupan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.Tari Barong Banjar merupakan tari

Pekerjaan : Petani dan Pengetua Adat Suku Melayu. Banjar di Desa Kebun Kelapa

“Makna Kelong Salonreng Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Ara Kabupaten Bulukumba : Kajian Semiotika.” Penelitian ini bertujuan menganalisis makna kelong Salonreng dalam

Wawancara dengan Bapak Abu Samah (telangkai) di kediaman beliau (di Desa Sei Limbat kecamatan Selesai kabupaten Langkat Sumatera utara) Tentang Eufemisme dalam Upacara Adat

Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe- tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2)