Corder, Antony. 1992. Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta: Erlangga
Chaker, A. 2014. Reliability Centered Maintenance Optimization For Power
Distrubution System. University Center of Relizane. Algeria
Dhillon, B.S. 2006. Maintanability, Maintenance, and Realibility for Engineers. Taylor and Francis Group. New York: LLC
Frederick Stapelberg, Rudolph, 2009. Handbook of Reliability, Availability,
Maintainability and Safety in Engineering Design. Griffith University.
Queensland. Australia
Gaspersz, Vincent. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik
Industri. Bandung: Tarsito
Govil, A.K. 1993. Reliability Engineering. New Delhi: Mc Graw Hill Publishing IAEA. 2008. Application of Reliability Centered Maintenance to Optimize
Operation and Maintenance in Nuclear Power Plants.
Jardine, A.K.S. 2006. Maintenance, Replacement and Reliability. Taylor and Francis Group. New York: LLC
M. Gross, John, 2002. Fundamentals of Preventive Maintenance. AMACOM. United State of America
Madya, S, (2006). Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research), Bandung: Alfabeta
Reliability Centered Maintenance . ITS : Intitute Teknologi Sepuluh
November.
Smith, Anthony M dan Glenn R. Hinchcliffe. 2004. RCM – Gateaway to World
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Perawatan (Maintenance)3
1. Pemeriksaan (inspection), yaitu tindakan pemeriksaan terhadap mesin untuk mengetahui kondisi, apakah mesin tersebut dalam keadaan yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan atau tidak.
Perawatan (maintenance) adalah suatu kombinasi dari berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara suatu mesin serta memperbaikinya sampai suatu kondisi yang bisa diterima. Selain itu suatu perawatan juga merupakan suatu kegiatan untuk memelihara atau menjaga fasilitas dan peralatan pabrik serta mengadakan perbaikan atau penggantian yang diperlukan agar terdapat suatu keadaan operasi produksi yang sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Merawat ‘pada suatu kondisi yang bisa diterima’ merujuk pada standar yang ditentukan oleh perusahaan yang melakukan perawatan. Hal ini berbeda dari satu perusahaan dengan yang lain, tergantung keadaan industrinya dan sepadan dengan nilai yang ditetapkan berdasarkan standar yang tinggi.
Peranan perawatan baru akan sangat terasa apabila mesin mulai mengalami gangguan atau tidak dapat dioperasikan lagi. Dengan mengacu pada pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah perawatan berkaitan dengan tindakan pencegahan dan perbaikan, yang dapat berupa tindakan berikut:
3
2. Perawatan (service), yaitu tindakan untuk menjaga kondisi suatu mesin agar tetap baik. Biasanya telah diatur dalam buku petunjuk pemakaian mesin tersebut.
3. Penggantian komponen (replacement), yaitu melakukan penggantian komponen yang rusak dan tidak dapat digunakan dengan baik lagi. Penggantian ini mungkin dilakukan secara mendadak atau dengan perencanaan terlebih dahulu.
4. Repair and Overhaul, yaitu kegiatan melakukan perbaikan secara cermat serta
melakukan suatu set up mesin. Tindakan repair merupakan kegiatan perbaikan yang dilakukan setelah mesin mencapai kondisi gagal beroperasi (failed
stated), sedangkan overhaul dilakukan sebelum failed stated terjadi.
Adapun tujuan dari perawatan (maintenance) yang utama dapat didefinisikan sebagai berikut:4
1. Untuk memperpanjang usia kegunaan aset (yaitu setiap bagian dari suatu tempat kerja, bangunan, dan isinya). Hal ini paling penting di negara berkembang karena kurangnya sumber daya modal untuk pergantian.
2. Untuk menjamin ketersediaan optimum peralatan yang dipasang untuk produksi (atau jasa) dan mendapatkan laba investasi (return on investment) yang maksimum.
3. Untuk menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang diperlukan dalam keadaan darurat setiap waktu.
4. Untuk menjamin keselamatan orang yang menggunakan sarana tersebut.
4
3.2. Perencanaan Perawatan
Perencanaan didefinisikan sebagai proses pemilihan informasi dan pembuatan asumsi mengenai kondisi masa datang, guna mengembangkan seluruh lintasan kegiatan. Pengertian perencanaan perawatan adalah suatu kombinasi dari setiap tindakan yang dilakukan untuk menjaga sistem/equipment dalam proses perawatannya sampai kondisi dapat diterima. Perencanaan perawatan mengikutsertakan pengembangan dari seluruh lintasan kegiatan yang mencakup semua kegiatan perawatan, reparasi, dan pekerjaan overhaul.
Faktor penunjang keberhasilan perencanaan perawatan akan terkait dengan:
1. Ruang lingkup pekerjaan. 2. Lokasi pekerjaan.
3. Prioritas pekerjaan. 4. Metode
5. Kebutuhan komponen dan material. 6. Kebutuhan peralatan
7. Kebutuhan tenaga kerja baik secara kualitas dari skill maupun kuantitasnya.
Langkah-langkah dalam menyusun perencanaan perawatan umumnya meliputi:
1. Mendefinisikan persoalan dan menetapkan equipment yang akan direncanakan secara jelas sesuai tujuan dan ketetapan/kebijaksanaan organisasi perusahaan. 2. Melakukan pengumpulan informasi data yang berkaitan dengan seluruh
kegiatan yang mungkin akan terjadi.
3. Melakukan analisis terhadap berbagai informasi dan data yang telah dikumpulkan dan mengklasifikasikannya berdasarkan kepentingan.
4. Menetapkan batasan dari perencanaan perawatan.
5. Menentukan bebagai alternatif rencana yang mungkin dapat dilakukan, yang kemudian memilihnya untuk kemudian rencana tersebut dipakai.
6. Menyiapkan langkah pelaksanaan secara rinci termasuk penjadwalan.
7. Melakukan pemeriksaan ulang terhadap rencana tersebut sebelum dilaksanakan.
3.3. Pengklasifikasian Perawatan
Pendekatan perawatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu
Planned dan Unplanned. Klasifikasi dari pendekatan sistem perawatan tersebut
Maintenance
Gambar 3.1. Klasifikasi Perawatan
(Sumber: Corder, Antony. 1992. Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta:
Erlangga)
Adapun klasifikasi dari perawatan mesin adalah:
1. Planned Maintenance, suatu tindakan atau kegiatan perawatan yang
pelaksanaannya telah direncanakan terlebih dahulu. Planned maintenance terbagi atas 2, yaitu:
a. Preventive Maintenance, suatu sistem perawatan yang terjadwal dari suatu peralatan/komponen yang didesain untuk meningkatkan kehandalan suatu mesin serta untuk mengantisipasi segala kegiatan perawatan yang tidak direncanakan sebelumnya. Preventive Maintenance terbagi atas:
1. Time based Maintenance
2. Condition based Maintenance
Kegiatan perawatan ini menggunakan peralatan untuk mendiagnosa perubahan kondisi dari peralatan/asset, dengan tujuan untuk memprediksi awal penetapan interval waktu perawatan.
b. Predictive maintenance didefinisikan sebagai pengukuran yang dapat
mendeteksi degradasi sistem, sehingga penyebabnya dapat dieliminasi atau dikendalikan tergantung pada kondisi fisik komponen. Hasilnya menjadi indikasi kapabilitas fungsi sekarang dan masa depan.
2. Unplanned Maintenance, suatu tindakan atau kegiatan perawatan yang
pelaksanaannya tidak direncanakan. Unplanned maintenance terbagi atas 2, yaitu:
a. Corrective Maintenance, suatu kegiatan perawatan yang dilakukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kondisi mesin sehingga mencapai standar yang telah ditetapkan pada mesin tersebut.
b. Breakdown Maintenace, yaitu suatu kegiatan perawatan yang
pelaksanaannya menunggu sampai dengan peralatan tersebut rusak lalu dilakukan perbaikan. Cara ini dilakukan apabila efek failure tidak bersifat signifikan terhadap operasi ataupun produksi.
3.3.1. Preventive Maintenance/Perawatan Pencegahan
Preventive maintenance adalah suatu sistem perawatan yang terjadwal dari
sebelumnya.
Kegiatan preventive maintenance dilakukan erat kaitannya dalam hal menghindari suatu sistem atau peralatan mengalami kerusakan. Pada kenyatannya, kerusakan masih mungkin saja terjadi meskipun telah dilakukan
preventive maintenance. Ada tiga alasan mengapa dilakukan tindakan preventive
maintenance yaitu:
1. Menghindari terjadinya kerusakan 2. Mendeteksi awal terjadinya kerusakan 3. Menemukan kerusakan yang tersembunyi
Sedangkan keuntungan dari penerapan preventive maintenance antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi terjadinya perbaikan (repairs) dan downtime 2. Meningkatkan umur penggunaan dari peralatan
3. Meningkatkan kualitas dari produk 4. Meningkatkan availibilitas dari peralatan
5. Meningkatan kemampuan dari operator, bagian mekanik dan keselamatan 6. Mengurangi waktu untuk merespon terjadinya kerusakan yang parah 7. Menjamin peralatan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya 8. Meningkatkan kontrol dari peralatan dan mengurangi inventory level 9. Memperbaiki sistem informasi terhadap peralatan/komponen
Dalam melakukan perawatan pencegahan (preventive maintenance) dapat dilakukan pada perusahaan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada mesin yaitu dengan melihat langkah-langkah berikut5
a. Mengidentifikasi dan melakukan pemilihan area ini:
b. Memeriksa frekuensi kerja unit
c. Menjadwalkan penugasan dari perawatan pencegahan (preventive
maintenance)
d. Mempersiapkan penugasan dari perawatan pencegahan (preventive
maintenance)
e. Menentukan pokok-pokok kebutuhan dari perawatan pencegahan (preventive
maintenance)
f. Memperluas ruang lingkup program perawatan pencegahan (preventive
maintenance) ke area lain yang membutuhkannya.
3.3.2. Corrective Maintenance/Perawatan Perbaikan
Corrective Maintenance merupakan kegiatan perawatan yang dilakukan
untuk mengatasi kegagalan atau kerusakan yang ditemukan selama masa waktu
preventive maintenance. Pada umumnya, corrective maintenance bukanlah
aktivitas perawatan yang terjadwal, karena dilakukan setelah sebuah komponen mengalami kerusakan dan bertujuan untuk mengembalikan kehandalan sebuah komponen atau sistem ke kondisi semula.
5
Corrective Maintenance di dalam buku “Maintanability, Maintenance
and Realibility for Engineers”, diasumsikan bahwa corrective maintenance dapat
dilaksanakan dengan lima langkah berikut6
1. Mengetahui penyebab kegagalan (failure recognition) :
2. Lokasi kegagalan (failure location)
3. Mendiagnosa peralatan atau unit- unit yang gagal (dianogsis within the
equipment or item)
4. Mengganti atau memperbaiki bagian yang gagal (failed part replacement
orrepair)
5. Mengembalikan sistem ke kondisi menjalankan tugasnya kembali (system to
service)
3.3.3. Predictive Maintenance
Predictive Maintenance berfungsi menangani langsung hal-hal yang
bersifat mencegah terjadinya kerusakan pada alat/fasilitas yang dilakukan dengan jalan memeriksa alat/fasilitas secara teratur dan berkala serta memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil yang dijumpainya selama pemeriksaan. Bagaimana baiknya suatu mesin yang telah direncanakan, keausan dan kerusakan selama pemakaian, pada umumnya masih dapat terjadi, meskipun demikian laju keausan ini masih dapat diperkirakan besarnya bila mesin/alat dipakai dalam kondisi normal.
6
Predictive maintenance ini juga merupakan suatu teknik/cara yang banyak
dipakai dalam cara produksi berantai dimana bila ada gangguan darurat sedikit saja pada sistem produksi tersebut misalnya ada kerusakan pada belt conveyor dapat menyebabkan terhentinya aliran produksi sehingga dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar pada perusahaan yang bersangkutan. Dalam industri yang menggunakan proses kimia, terhentinya aliran sistem proses produksi beberapa detik saja dapat menimbulkan kerusakan dan bila berhenti beberapa menit saja sudah dapat menimbulkan kerusakan berat yang fatal. Jadi predictive
maintenance merupakan bentuk baru dari planned maintenance dimana
penggantian komponen/suku cadang dilakukan lebih awal dari waktu terjadinya kerusakan.
3.4. RCM (Reliability Centered Maintenance)7
Reliability Centered Maintenance (RCM) merupakan sebuah proses teknik
logika untuk menentukan tugas-tugas pemeliharaan yang akan menjamin sebuah perancangan sistem kehandalan dengan kondisi pengoperasian yang spesifik pada sebuah lingkungan pengoperasian yang khusus. Penekanan terbesar pada
Reliability Centered Maintenance (RCM) adalah menyadari bahwa konsekuensi
atau resiko dari kegagalan adalah jauh lebih penting dari pada karakteristik teknik itu sendiri. RCM dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menjamin bahwa beberapa asset fisik dapat berjalan secara normal melakukan fungsi yang diinginkan penggunanya
7
IAEA.2008.Application of Reliability Centered Maintenance to Optimize Operation and
dalam konteks operasi sekarang (present operating).
Penelitian mengenai RCM pada dasarnya berusaha menjawab 7 pertanyaan utama tentang item/peralatan yang diteliti. Ketujuh pertanyaan mendasar tersebut adalah:
1. Apakah fungsi dan hubungan performansi standar dari item dalam konteks pada saat ini (system function)?
2. Bagaimana item/ peralatan tersebut rusak dalam menjalankan fungsinya (functional failure)?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi tersebut (failure mode)? 4. Apakah yang terjadi pada saat terjadi kerusakan (failure effect)?
5. Bagaimana masing-masing kerusakan tersebut terjadi (failure consequence)? 6. Apakah yang dapat dilakukan untuk memprediksi atau mencegah masing-
masing kegagalan tersebut (proactive task and task interval)?
7. Apakah yang harus dilakukan apabila kegiatan proaktif yang sesuai tidak berhasil ditemukan?
RCM merupakan suatu teknik yang dipakai untuk mengembangkan
Preventive maintenance. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kehandalan dari
metodologi RCM menyadari bahwa semua peralatan pada sebuah fasilitas tidak memiliki tingkat prioritas yang sama. RCM menyadari bahwa disain dan operasi dari peralatan beda sehingga memiliki peluang kegagalan yang berbeda-beda juga.
Pendekatan RCM terhadap program maintenance memandang bahwa suatu fasilitas tidak memiliki keterbatasan finansial dan sumber daya, sehingga perlu diprioritaskan dan dioptimalkan. Secara ringkas, RCM adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengevaluasi sebuah fasillitas dan sumber daya untuk menghasilkan reliability yang tinggi dan biaya yang efektif. RCM sangat bergantung pada predictive maintenance tetapi juga menyadari bahwa kegiatan
maintenance pada peralatan yang tidak berbiaya mahal dan tidak penting terhadap
Reliability peralatan lebih baik dilakukan pendekatan reactive maintenance.
Pendekatan RCM dalam melaksanakan program maintenance dominan bersifat
Predictive dengan pembagian sebagai berikut:
1. < 10% Reactive. 2. 25% - 35% Preventive. 3. 45% - 55% Predictive.
Prinsip-Prinsip RCM, antara lain:
1. RCM memelihara fungsional sistem, bukan sekedar memelihara suatu sitem/alat agar beroperasi tetapi memelihara agar fungsi sistem/alat tersebut sesuai dengan harapan.
yaitu apakah sistem masih dapat menjalankan fungsi utama jika suatu komponen mengalami kegagalan.
3. RCM berbasiskan pada kehandalan yaitu kemampuan suatu sistem/equipment untuk terus beroperasi sesuai dengan fungsi yang diinginkan.
4. RCM bertujuan menjaga agar kehandalan fungsi sistem tetap sesuai dengan kemampuan yang didesain untuk sistem tersebut.
5. RCM mengutamakan keselamatan (safety) baru kemudian untuk masalah ekonomi.
6. RCM mendefinisikan kegagalan (failure) sebagai kondisi yang tidak memuaskan (unsatisfactory) atau tidak memenuhi harapan, sebagai ukurannya adalah berjalannya fungsi sesuai performance standard yang ditetapkan. 7. RCM harus memberikan hasil- hasil yang nyata/jelas. Tugas yang dikerjakan
harus dapat menurunkan jumlah kegagalan (failure) atau paling tidak menurunkan tingkat kerusakan akaibat kegagalan.
Tujuan dari RCM adalah:
1. Untuk membangun suatu prioritas disain untuk memfasilitasi kegiatan perawatan yang efektif.
2. Untuk merencanakan preventive maintenance yang aman dan handal pada level-level tertentu dari sistem.
3. Untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan perbaikan item dengan berdasarkan bukti kehandalan yang tidak memuaskan.
Karena RCM sangat menitikberatkan pada penggunaan predictive
maintenance maka keuntungan dan kerugiannya juga hampir sama. Adapun
keuntungan RCM adalah sebagai berikut:
1. Dapat menjadi program perawatan yang paling efisien.
2. Biaya yang lebih rendah dengan mengeliminasi kegiatan perawatan yang tidak diperlukan.
3. Minimisasi frekuensi overhaul.
4. Minimisasi peluang kegagalan peralatan secara mendadak.
5. Dapat memfokuskan kegiatan perawatan pada komponen-komponen kritis. 6. Meningkatkan reliability komponen.
7. Menggabungkan root cause analysis.
Adapun kerugian RCM adalah dapat menimbulkan biaya awal yang tinggi untuk training, peralatan dan sebagainya.
3.4.1. Langkah-Langkah Penerapan RCM
Sebelum menerapkan RCM, harus ditentukan terlebih dahulu langkah-langkah yang diperlukan dalam RCM. Adapun langkah-langkah-langkah-langkah yang diperlukan dalam RCM dijelaskan dalam bagian berikut:
1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
Berikut ini akan dibahas secara terpisah antara pemilihan sistem dan pengumpulan informasi.
Ketika memutuskan untuk menerapkan program RCM pada fasilitas ada dua hal yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu:
1) Sistem yang akan dilakukan analisis.
Proses analisis RCM sebaiknya dilakukan pada tingkat sistem bukan pada tingkat komponen. Dengan proses analisis pada tingkat sistem akan memberikan informasi yang lebih jelas mengenai fungsi dan kegagalan fungsi komponen terhadap sistem.
2) Seluruh sistem akan dilakukan proses analisis dan bila tidak bagaimana dilakukan pemilihan sistem.
Biasanya tidak semua sistem akan dilakukan proses analisis. Hal ini disebabkan karena bila dilakukan proses analisis secara bersamaan untuk dua sistem atau lebih proses analisis akan sangat luas. Selain itu, proses analisis akan dilakukan secara terpisah, sehingga dapat lebih mudah untuk menunjukkan setiap karakteristik sistem dari fasilitas (mesin/peralatan) yang dibahas.
b. Pengumpulan Informasi
2. Pendefinisian Batasan Sistem
Jumlah sistem dalam suatu fasilitas atau pabrik sangat luas tergantung dari kekompleksitasan fasilitas, karena itu perlu dilakukan definisi batas sistem. Lebih jauh lagi pendefinisian batas sistem ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih antara satu sistem dengan sistem lainnya.
3. Deskripsi Sistem dan Diagram Blok Fungsi
Dalam tahap ini ada tiga informasi yang harus dikembangkan yaitu deskripsi sistem, blok diagram fungsi, dan system work breakdown structure (SWBS). a. Deskripsi Sistem
Langkah pendeskripsian sistem diperlukan untuk mengetahui komponen yang terdapat di dalam sistem tersebut dan bagaimana komponen-komponen yang terdapat dalam sistem tersebut beroperasi. Sedangkan informasi fungsi peralatan dan cara sistem beroperasinya dapat dipakai sebagai informasi untuk membuat dasar untuk menentukan kegiatan pemeliharaan pencegahan. Keuntungan yang didapat dari pendeskripsian sistem adalah :
1. Sebagai dasar informasi tentang desain dan cara sistem beroperasinya yang dipakai sebagai acuan untuk kegiatan pemeliharaan pencegahan di kemudian hari.
2. Diperoleh pengetahuan sistem secara menyeluruh.
3. Dapat diidentifikasi parameter-parameter yang menyebabkan kegagalan sistem.
Melalui pembuatan blok diagram fungsi suatu sistem maka masukan, keluaran dan interaksi antara sub-sub sistem tersebut dapat tergambar dengan jelas.
c. System Work Breakdown Structure (SWBS)
System Work Breakdown Structure dikembangkan bersamaan dengan
Program Evaluation and Review Technique (PERT) oleh Departemen
Pertahanan Amerika Serikat (DoD). Pada tahap ini akan digambarkan himpunan daftar peralatan untuk setiap bagian-bagian fungsi sub sistem. Sistem ini terdiri dari dua komponen utama yaitu diagram dan kode dari subsistem/komponen.
4. Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi
Pada bagian ini, proses analisis lebih difokuskan pada kegagalan fungsi, bukan kepada kegagalan peralatan karena kegagalan komponen akan dibahas lebih lanjut di tahapan berikutnya (FMEA). Biasanya kegagalan fungsi memiliki dua atau lebih kondisi yang menyebabkan kegagalan parsial, minor maupun mayor pada sistem.
5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan suatu metode yang
sistem tersebut. Dengan penelusuran pengaruh-pengaruh kegagalan komponen sesuai dengan level sistem, item-item khusus yang kritis dapat dinilai dan tindakan-tindakan perbaikan diperlukan untuk memperbaiki desain dan mengeliminasi atau mereduksi probabilitas dari mode-mode kegagalan yang kritis.
Dalam FMEA, dapat dilakukan perhitungan Risk Priority Number (RPN) untuk menentukan tingkat kegagalan tertinggi. RPN merupakan hubungan antara tiga buah variabel yaitu Severity (Keparahan), Occurrence (Frekuensi Kejadian), Detection (Deteksi Kegagalan) yang menunjukkan tingkat resiko yang mengarah pada tindakan perbaikan. RPN dapat dirunjukkan dengan persamaan sebagai berikut:
RPN = Severity * Occurrence * Detection
Hasil dari RPN menunjukkan tingkatan prioritas peralatan yang dianggap beresiko tinggi, sebagai penunjuk ke arah tindakan perbaikan. Ada tiga komponen yang membentuk nilai RPN tersebut. Ketiga komponen tersebut adalah :
a. Severity
besar terhadap sistem. Tingkatan efek ini dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan seperti pada Tabel 3.1. berikut ini:
Tabel 3.1. Tingkatan Severity
Rating Criteria of Severity Effect
10 Tidak berfungsi sama sekali
9 Kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan
8 Kehilangan fungsi utama
7 Pengurangan fungsi utama
6 Kehilangan kenyamanan fungsi penggunaan 5 Mengurangi kenyamanan fungsi penggunaan
4 Perubahan fungsi dan banyak pekerja menyadari adanya masalah 3 Tidak terdapat efek dan pekerja menyadari adanya masalah 2 Tidak terdapat efek dan pekerja tidak menyadari adanya masalah
1 Tidak ada efek
(Sumber: Harpco Systems)
b. Occurrence
Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau
kegagalan. Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan
kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada mesin. Nilai
Tabel 3.2. Tingkatan Occurence
(Sumber: Harpco Systems)
c. Detection
Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan atau
mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Nilai detection dapat dilihat pada Tabel 3.3. berikut ini:
Rating Probability of Occurrence
10 Lebih besar dari 50 per 7200 jam penggunaan 9 35-50 per 7200 jam penggunaan
8 31-35 per 7200 jam penggunaan 7 26-30 per 7200 jam penggunaan 6 21-25 per 7200 jam penggunaan 5 15-20 per 7200 jam penggunaan 4 11-14 per 7200 jam penggunaan 3 5-10 per 7200 jam penggunaan
Tabel 3.3. Tingkatan Detection
Rating Detection Design Control
10 Tidak mampu terdeteksi
9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit untuk terdeteksi 8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi 7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi
6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi 5 Kesempatan yang sedang untuk terdeteksi 4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi 3 Kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi
2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi 1 Pasti terdeteksi
(Sumber: Harpco Systems)
6. Logic (Decision) Tree Analysis (LTA)
a. Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi ganguan dalam sistem?
b. Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?
c. Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian mesin terhenti?
d. Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pada bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori, yakni:
Kategori A (Safety problem) Kategori B (Outage problem) Kategori C (Economic problem) Kategori D (Hidden failure)
Pada Gambar 3.2. dapat dilihat struktur pertanyaan dari Logic Tree
Gambar 3.2. Struktur Logic Tree Analysis8
8
Sumber: RCM-Gateaway to World Class Maintenance (Hal. 110) 7. Pemilihan Tindakan
Pemilihan tindakan merupakan tahap terakhir dalam proses RCM. Proses ini akan menentukan tindakan yang tepat untuk mode kerusakan tertentu. Tugas yang dipilih dalam kegiatan preventive maintenance harus memenuhi syarat berikut:
b. Efektif, tugas tersebut harus merupakan pilihan dengan biaya yang paling efektif diantara kandidat lainnya.
Pada Gambar 3.3. berikut dapat dilihat Road map pemilihan tindakan dengan pendekatan Reliability Centered Maintenance (RCM).
Tindakan perawatan terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
1. Condition Directed (C.D), tindakan yang diambil yang bertujuan untuk
mendeteksi kerusakan dengan cara visual inspection, memeriksa alat, serta memonitoring sejumlah data yang ada. Apabila ada pendeteksian ditemukan gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau penggantian komponen.
2. Time Directed (T.D), tindakan yang bertujuan untuk melakukan pencegahan
langsung terhadap sumber kerusakan yang didasarkan pada waktu atau umur komponen.
3. Finding Failure (F.F), tindakan yang diambil dengan tujuan untuk
Gambar 3.3. Road Map Pemilihan Tindakan9
9
3.5. Kehandalan (Reliability)
3.5.1. Definisi Kehandalan (Reliability)
Pemeliharaan komponen atau peralatan tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kehandalan (reliability). Selain kehandalan merupakan salah satu ukuran keberhasilan sistem pemeliharaan juga kehandalan digunakan untuk menentukan penjadwalan pemeliharaan sendiri. Akhir-akhir ini konsep kehandalan digunakan juga pada berbagai industri, misalnya dalam penetuan interval penggantian komponen mesin/spare part.
Ukuran keberhasilan suatu tindakan pemeliharaan (maintenance) dapat dinyatakan dengan tingkat reliability. Secara umum reliability dapat didefinisikan sebagai probabilitas suatu sistem atau produk dapat beroperasi dengan baik tanpa mengalami kerusakan pada suatu kondisi tertentu dan waktu yang telah ditentukan10
1. Probabilitas
. Berdasarkan definisi reliability dibagi atas empat komponen pokok, yaitu :
Merupakan komponen pokok pertama, merupakan input numerik bagi pengkajian reliability sutau sistem yang juga merupakan indeks kuantitatif untuk menilai kelayakan suatu sistem. Menandakan bahwa reliability menyatakan kemungkinan yang bernilai 0-1.
2. Kemampuan yang diharapkan (Satisfactory Performance)
10
Komponen ini memberikan indikasi yang spesifik bahwa kriteria dalam menentukan tingkat kepuasan harus digambarkan dengan jelas. Untuk setiap unit terdapat suatu standar untuk menentukan apa yang dimaksud dengan kemampuan yang diharapkan.
3. Tujuan yang Diinginkan
Tujuan yang diinginkan, dimana kegunaan peralatan harus spesifik. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa tingkatan dalam memproduksi suatu barang konsumen.
4.Waktu (Time)
Waktu merupakan bagian yang dihubungkan dengan tingkat penampilan sistem, sehingga dapat menentukan suatu jadwal dalam dalam fungsi
reliability. Waktu yang dipakai adalah MTTF (Mean Time to Failure) untuk
menentukan waktu kritis dalam pengukuran reliability.
5. Kondisi Pengoperasian (Specified Operating Condition)
Ukuran pemenuhan performa dinyatakan dalam sebuah notasi peluang. Pemenuhan performa tersebut bukan bersifat deterministik, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti terjadi atau tidak. Oleh sebab itu, kita harus menggunakan peluang dimana sebuah komponen akan sukses atau gagal dalam batasan tertentu karena tidak mungkin untuk menyatakannya secara pasti.
3.5.2. Konsep Reliability
Dalam teori reliability terdapat empat konsep yang dipakai dalam pengukuran tingkat kehandalan suatu sistem atau produk, yaitu:
1. Fungsi Kepadatan Probabilitas11
Pada fungsi ini menunjukkan bahwa kerusakan terjadi secara terus- menerus (continiuous) dan bersifat probabilistik dalam selang waktu (0,∞). Pengukuran kerusakan dilakukan dengan menggunakan data variabel seperti tinggi, jarak, jangka waktu. Untuk suatu variabel acak x kontinu didefinisikan berikut:
a. f ( x )≥0
b.
c.
Dimana fungsi f(x) dinyatakan fungsi kepadatan probabilitas.
2. Fungsi Distribusi Kumulatif
Fungsi ini menyatakan probabilitas kerusakan dalam percobaan acak, dimana
11
variabel acak tidak lebih dari x:
3. Fungsi Kehandalan
Bila variabel acak dinyatakan sebagai suatu waktu kegagalan atau umur komponen maka fungsi kehandalan R(t) didefinisikan :
R(X) = P(T>t)
T : Waktu operasi dari awal sampai terjadi kerusakan (waktu kerusakan) dan f(x) menyatakan fungsi kepadatan probabilitas, maka f(x) dx adalah probabilitas dari suatu komponen akan mengalami kerusakan pada interval (ti + ∆ t ). F(t) dinyatakan sebagai probabilitas kegagalan komponen
sampai waktu ke t, maka:
Maka fungsi kehandalan adalah: R(t) =1-P(T<t)
=
Fungsi kehandalan/R(t) untuk preventive maintenance dirumuskan sebagai berikut12
4. Fungsi Laju Kerusakan
: (t-nT)=1-F(t-nT)
Dimana n adalah jumlah pergantian pencegahan yang telah dilakukan sampai kurun waktu t, T adalah interval pergantian komponen, dan F(t) adalah Frekuensi Distribusi Kumulatif Komponen.
Fungsi laju kerusakan didefinisikan sebagai limit dari laju kerusakan dengan panjang interval waktu mendekati nol, maka fungsi laju kerusakan adalah laju kerusakan sesaat. Rata- rata kerusakan yang terjadi dalam interval waktu t1-t2 dinyatakan. Kerusakan rata-rata dinyatakan sebagai berikut:
Jika disubstitusi t1= t, dan t2= t + h maka akan diperoleh laju kerusakan
rata-rata ( λ ) adalah:
=
12
Gunawarman Hartono, Analisis Penerapan Total Preventive Maintenance untuk Meningkatkan
Berdasarkan persamaan diatas maka fungsi laju kerusakan.
3.5.3. Pola Distribusi Data dalam Kehandalan/Reliability
Pola distribusi data dalam Kehandalan/Reliability antara lain:
1. Pola Distribusi Weibull
Distribusi ini biasa digunakan dalam menggambarkan karakteristik kerusakan dan kehandalan pada komponen. Fungsi-fungsi dari distribusi Weibull :
a. Fungsi Kepadatan Probabilitas
b. Fungsi Distribusi Kumulatif
d. Fungsi Laju Kerusakan
Parameter β disebut dengan parameter bentuk atau kemiringan weibull (weibull
slope), sedangkan parameter α disebut dengan parameter skala atau karakteristik
hidup. Bentuk fungsi distribusi weibull bergantung pada parameter bentuknya (β),
yaitu:
β < 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi hyper-exponential
dengan laju kerusakan cenderung menurun.
β = 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi eksponensial dengan
laju kerusakan cenderung konstan.
β > 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi normal dengan laju
kerusakan cenderung meningkat. 2. Pola Distribusi Normal
Distribusi normal (Gausian) mungkin merupakan distribusi probabilitas yang paling penting baik dalam teori maupun aplikasi statistik. Fungsi-fungsi dari distribusi Normal :
b. Fungsi Distribusi Kumulatif
c. Fungsi Kehandalan
d. Fungsi Laju Kerusakan
Kosep reliability distribusi normal tergantung pada nilai μ (rata-rata) dan σ
(standar deviasi).
3. Pola Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal merupakan distribusi yang berguna untuk menggambarkan distribusi kerusakan untuk situasi yang bervariasi. Distribusi lognormal banyak digunakan di bidang teknik, khusunya sebagai model untuk berbagai jenis sifat material dan kelelahan material. Fungsi-fungsi dari distribusi Lognormal :
a. Fungsi Kepadatan Probabilitas
c. Fungsi Kehandalan
R(t)=1− F (t)
d. Fungsi Laju Kerusakan
h(t)=
Konsep reliability distribusi Lognormal tergantung pada nilai μ (rata-rata) dan
σ (standar deviasi).
4. Pola Distribusi Eksponensial
Distribusi eksponensial sering digunakan dalam berbagai bidang, terutama dalam teori kehandalan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya data kerusakan mempunyai perilaku yang dapat dicerminkan oleh distribusi
eksponensial. Distribusi eksponensial akan tergantung pada nilai λ, yaitu laju
kegagalan (konstan). Fungsi-fungsi dari distribusi Eksponensial:
a. Fungsi Kepadatan Probabilitas
b. Fungsi Distribusi Kumulatif
c. Fungsi Kehandalan
R(t)= e−λt
d. Fungsi Laju Kerusakan
h(t)=λ
5. Pola Distribusi Gamma
Distribusi Gamma memiliki karakter yang hampir mirip dengan distribusi Weibull dengan shape parameter β dan scale parameter α. Dengan
memvariasikan nilai kedua parameter tersebut maka ada banyak jenis sebaran data yang dapat diwakili oleh distribusi Gamma.
Fungsi-fungsi dari distribusi Gamma :
1. Fungsi Kepadatan Probabilitas
2. Fungsi Distribusi Kumulatif
3. Fungsi Kehandalan
R(t)=1− F (t)
Ada dua kasus khusus berkaitan dengan distribusi gamma. Kasus yang
pertama saat β = 1 dan yang kedua β = integer, maka saat:
3.6. Uji Kolmogorov-Smirnov
Dalam menganalisis kesesuaian data dapat dimanfaatkan Uji Goodness of
fit (kesesuaian) antara frekuensi hasil pengamatan dengan frekuensi yang
diharapkan. Alternatif dari uji goodness of fit yang dikemukakan oleh A.
Kolmogorov dan N.V.Smirnov dua matematikawan yang berasal dari Rusia,
adalah Kolmogorov–Smirnov, yang beranggapan bahwa distribusi variabel yang sedang diuji bersifat kontinu dan sampel diambil dari populasi sederhana. Dengan demikian uji ini hanya dapat digunakan bila variabel yang diukur paling sedikit dalam skala ordinal.
Ada beberapa keuntungan dan kerugian relatif dari uji kesesuaian
Kolmogorov–Smirnov dibandingkan dengan uji kesesuaian Chi-Kuadrat, yaitu:
1. Data dalam uji Kolmogorov–Smirnov tidak perlu dilakukan kategorisasi. Dengan demikian semua informasi hasil pengamatan terpakai.
2. Uji Kolmogorov–Smirnov bisa dipakai untuk semua ukuran sampel, sedang uji Chi-Kuadrat membutuhkan ukuran sampel minimum tertentu.
populasi. Sebaliknya uji Chi-Kuadrat bisa digunakan untuk memperkirakan parameter populasi dengan cara mengurangi derajat bebas sebanyak parameter yang diperkirakan.
4. Uji Kolmogorov–Smirnov memakai asumsi bahwa distribusi populasi teoritis bersifat kontinu.
Langkah–langkah uji Kolmogorov–Smirnov sebagai berikut:
1. Susun frekuensi-frekuensi berurutan dari nilai terkecil sampai nilai terbesar. 2. Susun frekuensi kumulatif dari nilai-nilai teramati itu.
3. Konversikan frekuensi kumulatif itu ke dalam probabilitas, yaitu ke dalam fungsi distribusi frekuensi kumulatif (fs(x)).
4. Carilah probabilitas (luas area) kumulatif untuk setiap nilai teramati. Hasilnya ialah apa yang kita sebut Ft(xi).
5. Susun Fs(x) berdampingan dengan Ft(x). Hitung selisih absolut antara Fs(xi) dan Ft(xi) pada masing-masing nilai teramati.
6. Statistik uji Kolmogorov-Smirnov ialah selisih absolut terbesar Fs(xi) dan Ft(xi) yang juga disebut deviasi maksimum D, ditulis sebagai berikut:
D = │Fs (xi) – Ft (xi)│maks, I = 1,2,…..N
Prinsip dari uji Kolmogorov–Smirnov ialah menghitung selisih absolut antara fungsi distribusi frekuensi kumulatif sampel (Fs(x)) dan fungsi distribusi frekuensi kumulatif teoritis (Ft(x)) pada masing-masing interval kelas.
Hipotesis yang diuji dinyatakan sebagai berikut, yaitu:
Hi : F(x) ≠ Ft(x) untuk paling sedikit sebuah x
Dengan F(x) adalah fungsi distribusi frekuensi kumulatif populasi pengamatan.
Statistik uji Kolmogorov-Smirnov ialah selisih absolut terbesar Fs(xi) dan Ft(x) yang kita sebut deviasi maksimum D. Statistik D ditulis sebagai berikut:
D = F (x)s – F (x)t maks, i = 1,2,…n
Nilai D kemudian dibandingkan dengan nilai kritis pada tabel distribusi pengambilan sebagian data, pada ukuran sampel n dan tingkat kemaknaan α. Ho ditolak bila nilai teramati maksimum D lebih besar atau sama dengan nilai kritis D maksimum. Dengan penolakan Ho berarti distribusi teoritis berbeda secara bermakna. Sebaliknya dengan menolak Ho berarti terdapat perbedaan bermakna antara distribusi teramati dan distribusi teoritis.
3.7. Interval Penggantian Komponen dengan Total Minimum Downtime13
Pada dasarnya downtime didefinisikan sebagai waktu suatu komponen sistem tidak dapat digunakan (tidak berada dalam kondisi yang baik), sehingga membuat fungsi sistem tidak berjalan. Berdasarkan kenyataan bahwa pada dasarnya prinsip utama dalam manajemen perawatan adalah untuk menekan periode kerusakan (breakdown period) sampai batas minimum, maka keputusan penggantian komponen sistem berdasarkan downtime minimum menjadi sangat penting. Pembahasan berikut akan difokuskan pada proses pembuatan keputusan penggantian komponen sistem yang meminimumkan downtime, sehingga tujuan
13
utama dari manajamen sistem perawatan untuk memperpendek periode kerusakan sampai batas minimum dapat dicapai. Penentuan tindakan preventive yang optimum dengan meminimumkan downtime akan dikemukakan berdasarkan interval waktu penggantian (replacement interval).
Tujuan untuk menentukan penggantian komponen yang optimum berdasarkan interval waktu, tp, diantara penggantian preventive dengan menggunakan kriteria meminimumkan total downtime per unit waktu, dapat dijelaskan melalui Gambar 3.4 berikut:
Penggantian Penggantian
karena rusak Preventive
Tf Tf
T p
Tp
satu siklus
Dari Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa total downtime per unit waktu untuk tindakan penggantian preventive pada waktu tp, dinotasikan sebagai D(tp) adalah:
Dimana:
H(tp) = Banyaknya kerusakan (kagagalan) dalam interval waktu (0,tp), merupakan nilai harapan (expected value)
Tf = Waktu yang diperlukan untuk penggantian komponen karena kerusakan.
Tp = Waktu yang diperlukan untuk penggantian komponen karena tindakan
preventive (komponen belum rusak).
tp + Tp = Panjang satu siklus.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Pancakarsa Bangun Reksa yang beralamat di Jl. Bintang Terang Gg. Bintang Terang No. 95 KM 13,8 dan pengambilan data dilakukan pada periode November 2013 s/d Oktober 2014.
4.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey research karena bertujuan untuk mendapatkan suatu rancangan preventive maintenance untuk menggantikan
corrective maintenance yang diterapkan perusahaan saat ini.
4.3. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini adalah mesin pembuatan Sterlizer. Penelitian difokuskan pada perencanaan pemeliharaan mesin dengan penerapan Reliability
Centered Maintenance (RCM) di PT. Pancakarsa Bangun Reksa.
4.4. Variabel Penelitian
Ada dua jenis variable penelitian yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu: 1. Variabel Independen
a. Peluang Kegagalan
Variabel ini menunjukkan fungsi kumulatif dari distribusi umur komponen/mesin yang menunjukkan probabilitas untuk mengalami kegagalan.
b. Downtime
Variabel ini menunjukkan fraksi waktu terkecil dimana komponen/mesin berada pada kondisi yang tidak baik/tidak dapat digunakan.
c. Nilai Ekspektasi Kegagalan
Variabel ini menunjukkan nilai ekspektasi kerusakan berdasarkan peluang kerusakan komponen/mesin
d. Interval Pergantian Komponen
Variabel ini menunjukkan interval waktu untuk pergantian komponen/mesin dengan mempertimbangkan downtime minimum.
2. Variabel Dependen
a. Reliability Centered Maintenance
4.5. Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual merupakan suatu bentuk kerangka berpikir yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memecahkan masalah. Kerangka konseptual dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Kerangka Konseptual Penelitian
4.6. Instrumen Penelitian
Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Lembar checklist yang digunakan untuk mengarahkan observasi (pengamatan)
agar terfokus pada objek penelitian.
2. Pedoman wawancara yang digunakan untuk mengarahkan wawancara agar dapat diperoleh data yang relevan dengan objek penelitian.
4.7. Sumber Data
Berdasarkan cara memperolehnya maka sumber data yang diperoleh dari penelitian ini terdiri dari :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, yaitu: b. Uraian proses produksi pembuatan Sterlizer
c. Jenis dan cara kerja mesin
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan dioleh oleh pihak manajemen. Data tersebut adalah data mengenai:
a. Sejarah Perusahaan
b. Data kerusakan komponen mesin
c. Waktu pergantian komponen saat kerusakan d. Cara perawatan dan perbaikan mesin
e. Komponen-komponen mesin produksi Sterilizer
4.8. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah berupa :
1. Teknik Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap
objek penelitian yaitu dengan melaksanakan pengamatan tentang uraian proses produksi, mesin-mesin untuk produksi Sterlizer.
2. Teknik Wawancara, yaitu melakukan wawancara dengan teknisi
tersebut.
3. Dokumentasi Data Perusahaan, yaitu melihat buku-buku atau dokumentasi
dari perusahaan yang berhubungan dengan data yang diperlukan, seperti waktu kerusakan mesin dan jenis kerusakan mesin.
4. Studi Literatur, yakni membaca buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan
dengan penerapan metode Reliability Centered Maintenance dalam perancangan preventive maintenance.
4.9. Blok Diagram Prosedur Penelitian
Gambar 4.2. Blok Diagram Prosedur Penelitian Identifikasi masalah
•Jam downtime di perusahaan •Profit loss due to downtime
•Mayoritas mesin adalah mesin tua dan belum memiliki prosedur perawatan standar yang jelas (SOP)
Perumusan masalah
•Tingginy downtime mesin yang berakibat penurunan kapasitas produksi
Penetapan tujuan
•Mengetahui prioritas komponen dan menyediakan rekomendasi standar untuk pemeliharaan
•Menentukan interval pergantian komponen mesin dengan criteria Total Minimum Downtime
•Menentukan kegiatan perawatan yang sesuai untuk perusahaan
Pengumpulan data primer
•Proses produksi •Jenis dan cara kerja mesin
Pengumpulan data sekunder
• Sejarah perusahaan • Data kerusakan komponen • Waktu pergantian komponen • Cara perawatan dan perbaikan • Komponen mesin produksi
Pengolahan data
1.Kebijakan Perawatan Mesin Sekarang
2. RCM (Reliability Centered Maintenance) • Pemilihan Sistem
• Pendefinisian Batasan Sistem
• Penjelasan Sistem dan Blok Diagram Fungsi • Analisis Mode dan Efek Kegagalan (FMEA) • Analisis Cabang Logika (LTA)
• Pemilihan Tindakan
3.Pengujian Pola Distribusi dan Reliability 4.Perhitungan Total Minimum Downtime
Analisis pemecahan masalah
1.Rekomendasi Tindakan Perawatan Hasil Pendekatan RCM a.Analisis FMEA
b.Kategori Komponen Berdasarkan Logic Tree Analysis (LTA) c.Prosedur Perawatan Berdasarkan Pemilihan Tindakan RCM 2.Rekomendasi Jadwal Perawatan Komponen
3.Evaluasi Sistem Perawatan Sekarang dan Usulan a.Penurunan Downtime
b.Peningkatan Reliability c.Peningkatan Availability d.Peningkatan Maintenance Efficiency e. Peningkatan Profit
Kesimpulan dan saran
Selesai Identifikasi penyebab masalah
4.10. Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data adalah: 1. Kebijakan Perawatan Mesin Sekarang
Menjelaskan aktivitas perawatan sekarang ketika terjadi kerusakan komponen mesin dan identifikasi terhadap masalah utama yang dihadapi sistem perawatan sekarang yaitu tingginya downtime mesin produksi. Identifikasi sistem perawatan dilakukan dengan cause and effect diagram.
2. Reliability Centered Maintenance (RCM)
Blok diagram dari pengolahan data dengan metode Reliability Centered
Maintenance (RCM)
Berikut merupakan langkah-langkah dari metode Reliability Centered
Maintenance (RCM):
a. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
Dalam tahap ini akan dilakukan pemilihan terhadap sistem yang ada agar sistem yang dikaji tidak terlalu luas. Setelah sistem dipilih kemudian dilakukan pengumpulan informasi untuk sistem yang terpilih.
b. Pendefinisian Batasan Sistem
Pendefinisian batasan sistem bertujuan untuk menghindari tumpang tindih antara satu sistem dengan sistem lainnya.
c. Penjelasan Sistem dan Blok Diagram Fungsi
Sistem yang dikaji diuraikan secara mendetail kemudian digambarkan dalam blok diagram fungsi. Dalam tahap ini juga akan dikembangkan
d. Analisis Mode Kegagalan dan Efek Kegagalan (FMEA)
Tahap awal dari penyusunan analisis mode kegagalan dan efek kegagalan (FMEA) adalah untuk melengkapi matriks peralatan dan kegagalan fungsi. Matriks ini dibuat dengan mengkombinasikan daftar SWBS dengan informasi kegagalan fungsi. Pada FMEA akan dilakukan perhitungan nilai
Risk Priority Number (RPN) berdasarkan nilai severity, occurrence, dan
detection.
RPN = Severity x Occurence x Detection
RPN = S x O x D
e. Analisis Cabang Logika (LTA)
Penyusunan analisis cabang logika (LTA) memiliki tujuan untuk memberikan prioritas pada tiap mode kerusakan dan melakukan tinjauan dan fungsi sehingga status mode kerusakan tidak sama. Prioritas suatu kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini. Empat hal penting dalam analisis kekritisan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah
terjadi gangguan dalam sistem?
b) Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah
keselamatan?
c) Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau
sebagian mesin terhenti?
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Pada bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori, yakni: 1. Kategori A (Masalah Keselamatan)
2. Kategori B (Masalah Gangguan Sistem) 3. Kategori C (Masalah Ekonomi)
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1. Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan pada lantai produksi pembuatan sterilizer di PT. Pancakarsa Bangun Reksa. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data waktu downtime produksi, dan data historis kerusakan mesin periode November 2013 - Oktober 2014.
5.1.1. Data Waktu Downtime Produksi
Data waktu downtime pada PT. Pancakarsa Bangun Reksa dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Downtime Mesin Produksi Sterilizer Periode November 2013 s/d
Oktober 2014
Tahun Bulan Downtime (Jam) Jam Operasi % Downtime
Tabel 5.1. Downtime Mesin Produksi Sterilizer Periode November 2013 s/d
Oktober 2014 (Lanjutan)
Tahun Bulan Downtime (Jam) Jam Operasi % Downtime
Jul 34 196 17,34
Aug 30 228 13,15
Sep 24 216 11,11
Oct 47 208 22,59
Sumber: PT.Pancakarsa Bangun Reksa
5.1.2. Data Historis Kerusakan Mesin Produksi
Jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi PT. Pancakarsa Bangun Reksa periode November 2013 – Oktober 2014 diuraikan sebagai berikut:
1. Mesin Cutting Torch a. Nozzle rusak
b. Swirl baffle rusak
c. Shield cup rusak
2. Mesin Rolling a. Cool feeding rusak
b. Roll former rusak
3. Mesin Drilling a. Drill chuck Rusak
b. V-block rusak
d. T-bolt rusak
4. Mesin las listrik a. Mosfet rusak
b. IGBT (Insulated Gate Bipolar Transistor) rusak c. Selenoid valve rusak
d. Fan rusak
e. Trafo switching
5. Mesin Shandimg Master a. Solonoid fuld rusak
b. Bearing bushing rusak
Berdasarkan laporan kerusakan komponen diatas, maka data kerusakan mesin dan komponen mesin direkapitulasi dan ditampilkan dalam Tabel 5.2. berikut:
Tabel 5.2. Frekuensi Kerusakan Mesin-Mesin Produksi Sterilizer di PT.
Pancakarsa Bangun Reksa Periode November 2013 s/d Oktober 2014
Tabel 5.2. Frekuensi Kerusakan Mesin-Mesin Produksi Sterilizer di PT.
Pancakarsa Bangun Reksa Periode November 2013 s/d Oktober 2014
(Lanjutan)
Sumber: PT. Panckarsa Bangun Reksa
5.2. Pengolahan Data
5.2.1. Identifikasi Sistem Perawatan Aktual
Adapun sistem perawatan mesin dan peralatan pada PT. Pancakarsa Bangun Reksa, antara lain :
1. Perawatan mesin sebelum proses pengolahan dimulai Perawatan dilakukan dengan membersihkan mesin-mesin.
2. Pembersihan mesin setelah proses pengolahan selesai
Membersihkan serbuk-serbuk besi yang terdapat pada mesin setelah pengolahan sterilizer selesai.
Perawatan dilakukan dengan mengganti atau memperbaiki komponen yang rusak bila terdapat kegagalan fungsi akibat kerusakan komponen-komponen pada mesin tertentu.
4. Pembongkaran mesin secara keseluruhan jika diperlukan
Pembongkaran mesin secara keseluruhan dilakukan apabila mesin tidak dapat berfungsi sama sekali. Lamanya waktu perbaikan bervariasi tergantung pada kerusakan yang ditemukan pada waktu pembongkaran.
Tingkat kerusakan mesin yang terjadi pada perusahaan saat ini masih tergolong tinggi, dikarenakan perawatan terhadap mesin produksi sterilizer tidak optimal sehingga menyebabkan tingginya downtime yang mengganggu proses produksi menjadi terhambat. Dalam hal ini metode wawancara dengan pihak
maintenance dan juga operator akan cukup efektif digunakan untuk mencari
faktor-faktor penyebab tingginya downtime mesin produksi.
Untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan kualitas hasil kerja, maka orang akan selalu mendapatkan bahwa ada 4 faktor penyebab utama yang signifikan yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Manusia (Man)
b. Metode Kerja (Work method)
c. Mesin atau peralatan kerja lainnya (Machine/Equipment) d. Lingkungan kerja (Work environment)
1. Mesin/peralatan.
Kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi dikarenakan
maintenance/perawatan yang kurang, umur dari mesin yang sudah tua dan
juga kesalahan operasi kerja.
2. Operator.
Rendahnya ketelitian dan kepedulian operator menjadi faktor penyebab dimana kurangnya pemahaman operator terhadap mesin produksi dan juga komunikasi antar operator belum baik.
3. Metode kerja.
Proses perawatan yang kurang baik, dimana sistem perawatan perusahaan masih bersifat corrective maintenance. Kurangnya tindakan pemeliharaan dan tidak adanya jadwal pergantian komponen berdampak terhadap downtime.
4. Lingkungan.
Suhu yang tinggi akibat ventilasi yang kurang serta pertukaran panas yang tidak seimbang akan menghambat kinerja mesin-mesin produksi untuk tetap menjaga reliability/kehandalan.
diperoleh akar atau sumber penyebab masalah dalam bentuk level yang diyakini merupakan akar masalah yang ingin dipecahkan14.
Tabel 5.3. Identifikasi Penyebab Tingginya Downtime Mesin
Faktor Umum
Operator Metode Mesin Lingkungan
Mengapa
Sumber : Hasil Observasi dan Wawancara di PT. Pancakarsa Bangun Reksa
14
Berdasarkan hasil identifikasi penyebab tingginya downtime pada Tabel 5.3, maka digambarkan diagram sebab akibat (cause and effect diagram) yang dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Tingginya
SOP dan jadwal perawatan tidak efektif
Gambar 5.1. Cause and Effect Diagram Penyebab Tingginya Tingkat
Downtime Sistem Perawatan Aktual
5.2.2. Reliability Centered Maintenance (RCM)
Reliability Centered Maintenance (RCM) ini terdiri dari tujuh tahapan
sistematis, yaitu :
1. Pemilihan sistem dan pengumpulan informasi 2. Definisi batasan sistem
4. Pendeskripssian fungsi sistem dan kegegalan fungsi 5. Penyusunan failure mode and effect analysis (FMEA) 6. Penyusunan logic tree analysis (LTA)
7. Pemilihan tindakan
5.2.2.1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
Sistem yang dipilih pada penelitian ini adalah sistem produksi sterilizer. Sistem ini terdiri dari:
1. Penerimaan bahan baku 2. Marking proses
3. Proses pemotongan
4. Proses pengeboran atau pembuatan lubang 5. Proses pengelasan
6. Proses finishing
Dengan demikian, maka mesin-mesin yang dianalisis dengan metode RCM adalah :
1. Mesin Cutting torch 2. Mesin Rolling 3. Mesin las listrik 4. Mesin Drilling
5. Mesin Shanding Master
akan direncanakan jadwal pergantiannya menggunakan konsep Reliability
Engineering dengan kriteria Total Minimum Downtime (TMD).
5.2.2.2. Pendefinisian Batasan Sistem
Dalam proses RCM, definisi batasan sistem sangat penting karena dapat membedakan secara jelas antara sistem yang satu dengan yang lainnya agar dapat membuat daftar komponen yang mendukung sistem tersebut. Hal ini dapat mencegah terjadinya tumpang tindih atau overlap.
Mesin utama yang digunakan dalam proses produksi teh orthodox Antara lain :
1. Mesin Cutting torch 2. Mesin Rolling 3. Mesin las listrik 4. Mesin Drilling
5. Mesin Shanding Master
5.2.2.3. Penjelasan Sistem dan Blok Fungsi
Adapun penjelasan sistem produksi sterilizer di PT. Pancakarsa Bangun Reksa antara lain :
1. Penerimaan Bahan Baku
2. Marking Process
Marking process adalah proses di mana dilakukan penandaan pada
material steel yang akan diproduksi menjadi sterilizer. Penandaan ini didasarkan pada gambar teknik dari produk tersebut. Proses penandaan dilakukan dengan bantuan meteran dan kapur besi yang dilakukan secara manual oleh operator.
3. Cutting Process
Cutting process adalah proses pemotongan material steel sesuai dengan
tanda-tanda yang telah dibuat pada proses sebelumnya. Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan cutting branch yang memanfaatkan energi gas O2 dan LPG pada tabung-tabung gas.
4. Drilling Process
Drilling process adalah proses pengeboran atau pembuatan lubang-lubang
kecil. Proses ini dilakukan dengan menggunakan mesin drilling semi automatis.
5. Welding
Welding adalah proses pengelasan dua buah material steel yang telah
dipotong sebelumnya dengan menggunakan bantuan mesin las.
6. Finishing
Komponen-komponen utama yang mengalami breakdown pada sistem produksi sterilizer di PT. Pancakarsa Bangun Reksa dapat dilihat pada Tabel 5.4
Tabel 5.4. Komponen Utama Mengalami Breakdown Pada Proses Produksi
Sterilizer
C-3 Selenoid Valve
C-4 Fan
C-5 Trafo Switching
D Drilling
E-2 Bearing Bushing
5.2.2.4. Pendeskripsian Fungsi Sistem dan Kegagalan Sistem
menunjukkan nama unit proses, angka kedua menunjukkan fungsi unit proses dan angka ketiga menunjukkan kegagalan fungsi unit proses.
Tabel 5.5. Fungsi dan Kegagalan Fungsi Sistem
No. Fungsi No. Kerusakan Fungsi Uraian Fungsi/Kegagalan Fungsi
1.1 Proses pemotongan
1.1.1 Pemotongan masih tidak sesuai dengan harapan
1.1.2 Ukurang potongan plat masih tidak sesuai
1.2 Melakukan pengerollan
1.2.1 Proses pengerollan tidak sempurna
1.3 Melakukan proses pengeboran
1.3.1 Lubang masih tidak sesuai dengan harapan
1.4 Melakukan proses pengelasan
1.4.1 Terjadi kesalahan pada material saat pengelasan
1.4.2 Plat masih terdapat gundulan
1.5 Melakukan proses penghalusan
1.5.1 Terdapat bagian yang tidak halus pada badan
Dari fungsi dan kegagalan fungsi sistem yang telah dibuat pada Tabel 5.5 dapat dibuat matrix kegagalan fungsi. Matrix kegagalan fungsi sistem produksi
Tabel 5.6. Matrix Kegagalan Fungsi Sistem Produksi Sterilizer
Subsistem No. Kegagalan Fungsi
1.1.1 1.1.2 1.2.1 1.3.1 1.4.1 1.4.2 1.5.1
5.2.2.5. Penyusunan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
FMEA menggambarkan tingkat keseringan kejadiaan kerusakan, keparahan dan tingkat deteksi kerusakan yang dinyatakan dengan nilai RPN (Risk
Priority Number). Berdasarkan tabel tersebut dan hasil wawancara dengan
operator dan supervisor maka dapat dijelaskan nilai occurrence, severity, dan
detection sebagai berikut:
1. Pada part Nozzle diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan part tersebut 5 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena memiliki kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan pengurangan fungsi utama.
2. Pada part Swirl Baffle diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan
part tersebut 6 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena
3. Pada part Shield Cup diberikan nilai occurrence 2 karena tingkat kerusakan
part tersebut 4 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena
memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 8 karena menyebabkan kehilangan fungsi utama.
4. Pada part Cool Feeding diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan
part tersebut 7 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 3 karena
memiliki kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan pengurangan fungsi utama.
5. Pada part Roll Former diberikan nilai occurrence 4 karena tingkat kerusakan
part tersebut 10 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 4 karena
memiliki kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 10 karena menyebabkan mesin tidak berfungsi sama sekali.
6. Pada part Mosfet diberikan nilai occurrence 4 karena tingkat kerusakan part tersebut 11 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 6 karena memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 10 karena menyebabkan mesin tidak berfungsi sama sekali.
7. Pada part IGBT diberikan nilai occurrence 5 karena tingkat kerusakan part tersebut 15 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 6 karena memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 10 karena menyebabkan mesin tidak berfungsi sama sekali.
karena memiliki kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan mesin mengalami pengurangan fungsi utama.
9. Pada part Fan diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan part tersebut 8 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 8 karena menyebabkan mesin kehilangan fungsi utama.
10.Pada part Trafo Switching diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan part tersebut 9 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan mesin mengalami penurunan fungsi utama.
11.Pada part Drill Chuck diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan
part tersebut 8 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena
memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan mesin mengalami penurunan fungsi utama.
12.Pada part V-Block diberikan nilai occurrence 4 karena tingkat kerusakan part tersebut 10 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection karena memiliki kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 9 karena kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit untuk terdeteksi.
14.Pada part T-Bolt diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan part tersebut 6 kali per 7200 jam penggunaan, nilai detection 2 karena memiliki kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan mesin mengalami penurunan fungsi utama.
1 Nozzle
2 Jadwal produksi
terganggu 8 48
3 Shield
Cup
Tidak dapat enahan
gesekan terlalu tinggi 2 Tabung pecah 2
Downtime plat yang terlalu tebal 4
Beban plat yang
6 Mosfet Tali penggerak putus 4 Koefisien gesek
tinggi 6
Waktu downtime
8 Selenoid
Valve Tabung bocor 3 Overload 3
Jadwal produksi
tertunda 7 63
9. Fan
tidak dapat menahan putaran yang terlalu tinggi
3 Tali penggerak
putus 2 Mesin terhenti 8 48
10 Trafo
switching
Tidak dapat menahan daya energi terlalu tinggi
3 Overheated 2 Waktu Downtime
No Parts Failure Mode Occ Failure Cause Det Failure Effect Sev RPN
11 Drill
Chuck
Cengkraman tidak berfungsi dengan baik 3
Kurangnya
13 Scriber Scriber tidak
berfungsi dengan baik 3
Sudah habis
pakai 3
Jadwal produksi
terganggu 7 63
14 T-bolt T-bolt tidak berfungsi dengan baik 3
4 Koefisien gesek
tinggi 6
Waktu downtime
mengandung informasi mengenai nomor dan nama kegagalan fungsi, nomor dan
mode kerusakan, analisis kekritisan dan keterangan tambahan yang dibutuhkan.
Empat hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut:
1. Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi
ganguan dalam sistem?
2. Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?
3. Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau
sebagian mesin terhenti?
4. Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Analisis kekritisan menempatkan setiap kerusakan komponen menjadi 4 kategori yaitu:
a. Kategori A (Safety problem) b. Kategori B (Outage problem) c. Kategori C (Economic problem) d. Kategori D (Hidden failure)
1 Nozzle Tali Penghubung Putus Masa pakai habis Y N Y B 2 Swirl
Baffle
Tidak dapat menahan beban listrik
Overheated,
Sambungan terputus Y N Y B
3 Shield
Cup
Tidak dapat enahan gesekan
terlalu tinggi Tabung pecah Y N Y B
4 Coll
Feeding
Tidak dapat menahan putaran yang terlalu cepat
Koefisien gesek tinggi,
pelumas kurang Y N Y B
5 Roll
Former
Tidak dapat menahan plat yang terlalu tebal
Beban plat yang tidak
sesuai Y N Y B
6 Mosfet Tali penggerak putus Koefisien gesek tinggi Y N Y B
7 IGBT Tali Penghubung Putus Overheated Y N Y B
8 Selenoid
Valve Tabung bocor Overload N N N C
9. Fan tidak dapat menahan putaran
yang terlalu tinggi Tali penggerak putus Y N Y B 10 Trafo
switching
Tidak dapat menahan daya
energi terlalu tinggi Overheated N N N C
Evident Safety Outage Category
11 Drill
Chuck
Cengkraman tidak berfungsi
dengan baik Kurangnya pelumas N N Y B/D
12 V-block Tidak dapat menahan beban
plat dengan baik
Kurangnya pelumas
mesin Y N Y B
13 Scriber Scriber tidak berfungsi
dengan baik Sudah habis pakai Y N Y B
14 T-bolt T-bolt tidak berfungsi dengan
baik
Kurangnya pelumas
yang digunakan N N Y B/D
15 Solonoid
fuld
Solonoid Fuld bekerja tidak
stabil
Korosi, Pemasangan
yang tidak sesuai Y N Y B
16 Bearing
bushing
Tidak dapat menahan putaran