BIOKONVERSI SERAT SAWIT DENGAN
Aspergillus niger
PENSINTESA Cr-ORGANIK
SEBAGAI KOMPONEN
RANSUM
KOMPLIT DOMBA
YULIATY SHAFAN NUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERN YATAAN MENGENAI DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : “Biokonversi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-Organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba ” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing da n be lum pe rnah diajukan da lam be ntuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
YULIATY SHAFAN NUR. Bioconversion of Palm Press Fibe r by Cr-organic Synthesizing Aspergillus niger as Compo nent of Sheep Complete Feed. Supervised by KOMANG GEDE WIRYAWAN, RIZAL SYARIEF, LILY AMALIA SOFYAN (Alm) , NAHROWI
Palm press fiber (PPF) as cattle feed has not yet optimally utilized; one constraint is its low content of crude protein (3.93%) and its high content of crude fiber (48.96%), which can inhibit growth and decrease the feed digestibility. To overcome such condition, palm press fiber can be processed to improve its nutrition through physical, chemical and biological treatments. The objectives of this research were to improve the utility of PPF as animal feed and examine the nutritional level of PPF treated with NaOH and then fermented with A. niger as a synthesizer of organic Cr to replace a component of sheep feed. The study consisted of three stages. The first stage was the immersion of PPF with NaOH. In the second stage, the best result of the first stage was used for the fermentation of PPF with A.niger as the synthesizer of organic Cr to produce fermented PPF . The second stage was also to prod uce the right level of inoculums of A. niger and CrCl3 to obtain PPF with the highest digestibility and content of nutrients as well as Cr-yeast. The first experiment with factor A = Level of NaOH (A1=2,5%, A2=5%, A3=7,5%) and factor B = immersion length in NaOH (B1=6 hours B2=12 hours, B3 = 24 hours). The second experiment consisted of factor A, the yeast levels of A. niger i.e (1) 5.0% Dry Matter (DM), (2) 7.5% DM, (3) 10% DM, of substrate and in factor B the levels of CrCl3 added to the substrate were (1) 2 mg/kg substrate, (2) 4 mg/kg substrate, (3) 6 mg/kg substrate, with the addition of tryptophan of 600 ppm for each treatment. The parameters observed in the experiments were protein, crude fiber organic Cr, ADF and NDF. The second stage of the research was an in-vitro experiment to assess the digestibility of fermented PPF in the rumen with the observed variables of total VFA, NH3, DM digestibility and OM digestibility. The target of this experiment was to produce fermented PPF with the be st contents of nutrients and organic Cr as well as the highest digestibility. The third stage was an in-vivo experiment in sheep to produce a complete formula of feed made of fermented palm press fiber which could promote an optimum growth of sheep. The best result of fermented PPF in stage two was used to formulate 4 types of complete feed with TDN 64% and Protein 12.5%. The levels of fermented PPF in the feed were: A = 0% PPF + 60% native grass (NG) + 40% concentrate, B = 15% PPF+ 45% NG + 40% concentrate, C= 30% PPF + 30% NG + 40% concentrate, D= 45% PPF + 15% NG + 40% concentrate. The research results showed that the best level of NaOH and immersion periode to increase the nutritional content of PPF were 2.5 % NaOH and immersion for 24 hours, A. niger could synthesize organic Cr by using CrCl3 and tryptop han as the pr ecursors, the treatment with 10% inoculum of A. niger and 6 mg CrCl3/kg could produce the highest digestibility of dry and organic matter. Fermented PPF could be used as substitute for 45% native grass without reducing t he quality of sheep meat In contrast, the use of 45% fermented PPF in the ration could reduce fat and cholesterol content and increase organic Cr in meat.
YULIATY SHAFAN NUR. Biokonvesi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba. Dibimbing oleh
KOMANG GED E WIR YAWAN, LILY AMALIA SOFYAN (Alm), RIZAL SYARIEF dan NAHROWI
Sebagai pakan ternak, serat sawit yang ada belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, salah satu kendala serat sawit adalah rendahnya protein kasar yaitu 3.5% dan tingginya kandungan serat kasar yaitu 48% yang dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan tingka t kecernaan paka n. Menyada ri ko ndisi tersebut untuk menanggulanginya dari segi nutrisi adalah dengan cara pengolahan secara fisik, kimia dan mikrobiologi. Biokonversi menggunakan fungi pensintesa kromium organik (Cr-yeast) sangat tepat diterapkan untuk pengolahan serat sawit yang telah diperlakukan alkali dengan NaOH, karena selain akan meningkatkan nilai nutrisi, juga memperkaya kandungan mineral Cr yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas daging.
Tujuan dari pe ne litian ini adalah untuk meningkatkan daya guna serat sawit sebagai pakan ternak. Mengkaji kemampuan nutrisi serat sawit yang diperlakukan dengan NaOH ke mudian difermentasi de ngan A. niger pensintesa Cr-organik dalam mengganti sebagian ransum ternak domba. Penelitian terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, pemeraman serat sawit dengan NaOH. Tahap kedua, hasil terbaik dari tahap pertama, fermentasi serat sawit dengan A.niger pensintesa Cr-organik pembuatan serat sawit fermentasi. Penelitian ini untuk mendapatkan level inokulum A. niger, level CrCl3 yang tepat untuk menghasilkan serat sawit dengan kecernaan dan kandungan nutrisi serta Cr-yeast tertinggi.Penelitian ini meliputi pembiakan kapang, pembuatan inok ulum, penyediaan media fermentasi, fermentasi serat sawit dengan A. niger. Rangkaian pengerjaan fermentasi serat sawit dilakukan setelah dimodifikasi sesuai de ngan keperluan.
Penelitian tahap I, dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (3x3) dan 2 ulangan (Steel & Torrie 1993). Faktor perlakuan A adalah level konsentrasi NaOH yaitu 2,5%,5%, da n 7,5% dan faktor perlakuan B adalah lama pemeraman serat sawit dalam NaOH yaitu 6 jam, 12 jam, dan 24 jam. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kandungan nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar. (2) Kandungan fraksi serat NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin ditentukan dengan analisis Van Soest; (3) struktur dinding sel (scanning electron microscope).
Penelitian tahap II, mengkaji kombinasi terbaik A. niger pensintesa Cr-organik dengan kecernaan, kandungan gizi dan kandungan Cr Cr-organik yang tinggi. Pada tahap ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama, penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor (3x3) dan 2 ulangan (Steel & Torrie 1993)untuk mengkaji kandungan nutrisi dan Cr organik. Faktor A level kapang A. niger adalah (1) 5.0% BK bahan, (2) 7.5% BK bahan, (3) 10% BK bahan dan faktor B adalah level mineral CrCl3 yang ditambahkan ke dalam substrat, yaitu; (1) 2 mg/kg substrat , (2) 4 mg/kg substrat, (3) 6 mg/kg substrat, dengan penambahan triptopan 600 ppm substrat untuk setiap perlakuan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan protein, serat kasar dan kandungan Cr-organik terbaik, ADF dan NDF, selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Penelitian tahap ke dua dilakuka n secara in-vitro untuk menilai kecernaan hasil fermentasi serat sawit dalam rumendenganpe uba h yang diamati meliputi VFA total, NH3, KCBK dan KCBO. Target penelitian ini adalah menghasilkan serat sawit terfermentasi de ngan ka ndungan nutrien da n Cr-organik terbaik serta kecernaan tertinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinding sel SS setelah difermentasi dengan Aspergillus niger pensintesa Cr organik diamati dengan SEM, tilosis yang ada pada dinding sel menjadi hilang dan licin, Kandungan protein dan serat kasar berbeda tidak nyata (P>0.05) dengan meningkatnya persentase Aspergillus niger dan leveli Cr. Inkorporasi Aspergillus niger-Cr –NaOH. Inkorporasi Aspergillus niger-Cr meningkat dengan meningkatnya persentase Aspergillus niger da n level Cr (P<0.01) dalam
Penelitian tahap III, percobaan In-vivo pada domba. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula ransum komplit berbahan serat sawit terfermentasi yang mampu mendukung pertumbuhan domba secara optimal. Serat sawit terfermentasi hasil terbaik tahap II dipakai untuk menyusun 4 macam ransum komplit dengan TDN 65% dan Protein 14%. Level pemanfaatan serat sawit terfermentasi dalam ransum yaitu: A = 0% SSF + 60% rumput lapangan + 40% konsentrat, B = 15% SSF + 45% rumput lapangan + 40% konsentrat, C = 30% SSF + 30% rumput lapangan + 40% konsentrat dan D = 45% SSF + 15% rumput lapangan + 40% konsentrat. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: kandungan nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar , konsumsi, pertambahan bobot badan , konversi pakan dan kecernaan juga diukur sebagai tolok ukur kualitas ransum. Untuk produksi daging peubah yang diukur adalah produk karkas dan komposisi kimia daging. Sifat fisik daging yang diukur warna daging, pH daging, daya mengikat air daging, persentase lemak intramuskuler, dan kompos isi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh serta kandungan kromium daging domba. Ransum dicobakan pada 20 ekor domba sebagai hewan model untuk menjelaskan pola pertumbuhan.
substrat SS-NaOH. Kandungan NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, lignin, VFA dan NH3 berbeda tidak nyata (P>0.05), kecernaan bahan kering dan bahan organik meningkat (P<0.01). 10 % Aspergillus niger dan 6 mg/kg Cr dapat meningkatkan inkorporasi Cr dalam SS dan kecernaan bahan kering dan bahan organik.
dengan lama pemeraman 24 jam. 2) A. niger dapat mensintesis Cr-organik menggunakan CrCl3 dan triptopan sebagai prekursornya, 3) Fermentasi serat sawit dengan A. niger dapat meningkatkan kandungan nutrien melalui peningkatan kadar protein dan penurunan kadar serat kasarnya, 4) Perlakuan pemberian 10% inokulum A. niger da n 6 mg CrCl3/kg serat sawit menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian inokulum A. niger 10% dan level kromium 6 mg/kg memberikan hasil yang terbaik. 5) Setelah dilakukan penelitian ternyata serat sawit fermentasi dapat digunakan sebagai pengganti 45% rumput lapangan tanpa menurunkan kualitas daging pada ternak domba. Pemanfaatan SSF-Cr dalam ransum domba mengurangi kandungan lemak dan kolesterol daging.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
SEBAGAI KOMPONEN RANSUM
KOMPLIT DOMBA
YULIATY SHAFAN NUR
Disertas i
sebagai salah satu syarat untuk me mperoleh gelar Doktor pada
Prog ram Studi Ilmu Te rnak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1.
Prof. Dr. Ir. H. Toto Toharmat,M.Agr.Sc
2.
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr
Penguji pada ujian Terbuka :
Ransum Komplit Domba
Nama : Yuliaty Shafan Nur N I M : 995054
Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan,M.Sc (Alm) Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen INTP Deka n Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah. Puj i syukur dipe rsembahka n ke hadirat Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Esa, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat dan petunjuk, yang telah melimpahkan hidayah Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2004 dengan judul “Biokonversi Serat Sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-Organik sebagai Komponen Ransum Komplit Domba”.
Sebagian dari hasil penelitian ini sudah dipresentasikan dengan judul “Influence of Aspergillus niger and Chromium Combination Level in Palm Fiber Fermentation”. The 9th International Seminar on The Role of Chemistry in Industry and Environment. Departement of Chemistry, Andalas University in Cooperation with Indonesian Chemical Society Branch West Sumatera. November 2007. Effects of Chromium Organic Supplementation of Aspergillus niger on Rumen Fermentation Activity In Vitro. Y. S. Nur, K. G. Wiryawan , R. Syarief , Nahrowi , akan diterbitkan di Journal Animal Production Scientific Journal of Farm Animals and Feed Resources in The Tropic Volume 14 Tahun 2012. Bagian lain de ngan judul Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap nutrisi serat sawit diterbitkan pada Jurnal Peternakan Indonesia Volume 14 Nomor 1 (Februari 2012) dengan ISSN 1907-1760.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, M.Sc (Alm), Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Doa yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk Papa Umar Salim (Almarhum), dan Mama Asnah Nur (Almarhumah), serta suami tercinta Dr. Ir. Arfa`i, MS, ananda Boby Arya Putra, Bayu Inra Setiawan, Feby Eka Putra dan Dzaky Dhiyaul Amru atas segala kesabaran, dorongan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Kepada Keluarga Besar Ayah Rauf Kari Mudo, Prof Dr Kamardi Thalut, SpBdh, Sahabatku Dr Rima Semiarti Kamardi,MS, Ibunda Ir. H Jurnida Rahman, MS, Kakanda Ir. Harnentis, MS, Kakanda Arfah dan Drs Aldjufri Tandjung, da n Moncu Izharudd in seke luarga saya ucapka n terimaka sih yang telah memba ntu baik materil maupun moril selama saya melaksanakan tugas belajar S3 saya di IPB Bogor.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran, bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Bogor, Januari 2012
Penulis dilahirkan ketika perbarisan cahaya mentari di ufuk timur mulai menapak di kota Sinabang Kabupaten Aceh Barat pada hari Minggu 22 Juli 1962 anak tunggal dari Papa Umar Salim (Almarhum) dan Mama Asnah Nur (Almarhumah).
Pendidikan sarjana penulis, dimulai tahun 1981 pada program studi Ilmu Nutrisi da n Makanan Ternak, Jurusan Teknologi Industri Pakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1986.
Pada 8-27 Agustus 1988 penulis mengikuti pelatihan singkat Pengenalan Proses Hulu dan Hilir dalam Bioteknologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi-IPB. Pada 7-26 Agustus 1989 penulis mengikuti pelatihan singkat Operasi Unit Thermal dalam Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi-IPB. Penulis 7-26 Januari 1989 mengikuti pelatihan singkat Aplikasi “Good Laboratory Practices” dalam Analisis Mutu Pangan yang diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB. Selanjutnya pada September sampai dengan Desember 1989 mengikuti workshop in Comparative Nutrition, IPB-AUSTRALIA PROJECT, kemudian dilanjutkan 11 Desember 1989 sampai dengan 7 Januari 1990 penulis mengikuti kursus singkat Teknologi Mikoriza di PAU Bioteknologi IPB. Januari s/d Mei 1990 penulis mengikuti Nutrisi Vitamin dan Hor mon CEA PAU Ilmu Hayat IPB. Pada 29 Juli-15 Agustus 1991 penulis mengikuti lagi kegiatan pelatihan singkat Pengendalian Mutu Dalam Industri Pangan diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB. Pelatihan singkat Pengukuran dan Pengendalian Proses dalam Industri Pangan penulis ikuti pada tanggal 6-25 Januari 1992 yang diselenggarakan oleh PAU Pangan dan Gizi-IPB
Pada tahun 1990 penulis melanjutkan studi program magister pada program studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana IPB, lulus tahun 1993. Kemudian tahun 1999 diberi kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Halaman
Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia ... 7
Peningkatan Kualitas Serat Sawit de ngan NaOH ... 9
Fermentasi ... 13
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fermentasi ... 14
Perubahan Zat-zat Makanan selama Fermentasi ... 17
Fermentasi dengan Aspergillus niger ... 18
Peranan Kromium dalam Sistem Transpor t dan Metabolisme Nutrien .... 20
Kebutuhan Kromium dan Bentuk Suplemen dalam Pakan ... 24
Pengaruh Suplementasi Kromium terhadap Produksi Ternak ... 25
Pencernaan Mikroba pada Ruminansia ... 29
V. PEMANFAATAN SERAT SAWIT-Cr ORGANIK FERMENTASI SEBAGAI PENGGANTI RUMPUT LAPANGAN TERHADAP
PERFORMA DAN KUALITAS DAGING
81
Abstrak ... Pendahuluan ...
81 81 Materi dan Metode ... 83 Hasil dan Pembahasan ... 90 Simpulan ... 109 Daftar Pustaka ... 109
VI. P EMBAHASAN UMUM 119
Nomor Teks Halaman
1. Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit ...
8 2. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa
bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit ...
9 3. Pretreatment biomassa lignoselulosa ... 11 4. Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba ... 26 5. Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di
Indonesia ... 32 6. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap
kandungan ba han kering dan protein kasar (% BK) ... 43 7. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap
kandungan NDF dan ADF (% BK) ... 45 8. Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap
kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin (% BK) ...…….. 47 9. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap
kandungan protein kasar dan serat kasar SSF-Cr (% BK) ... 68 10. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap
kandungan sintesis Cr-organik pada sel Aspergillus niger
(mg/kg) ... 69 11. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap
kandungan NDF dan ADF SSF-Cr (% BK) ... 70 12. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap
kandungan hemiselulosa dan selulosa SSF-Cr (% BK) ... 72 13. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap
kandungan VFA da n NH3 SSF-Cr (mM) ... 74
20. 21. 22.
Pengaruh ransum perlakuan terhadap kimia daging domba ... Pengaruh ransum perlakuan terhadap analisis fisik da ging domba ... Analisis ekonomis masing- masing perlakuan ...
Nomor Teks Halaman
1. Skema pretreatment biomassa ligno selulosa ... 10 2. Mekanisme hidrolisis selulosa ………..…... 16 3. Struktur faktor toleransi glukosa ... 21 4. Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktivitas
Insulin ... 23 5. Metabolisme Triptopan menjadi Niasin ... 25 6. Potongan-potongan karkas komersial ..…... 36 7. Diagram alur pembuatan serat sawit-NaOH ... 40 8. Scanning Electron Microscope ... 46 9. Penampang dinding sel serat sawit dengan SEM ...….…... 47 10. Skema reaksi katalis alkali dari selulosa dengan alkil halida …... 51 11. SEM permukaan serat sawit-NaOH (A) dan serat sawit fermentasi
perbesaran 1000x (B) ... 67
Nomor Teks Halaman
1. Analisis ragam bahan kering SS-NaOH (%) ... 147 2. Analisis ragam protein kasar SS-NaOH (%) ... 147 3. Analisis ragam k andungan neutral detergent fiber (NDF)
SS-NaOH (%) ……… 148 4. Analisis ragam kandungan acid detergent fiber (ADF)
SS-NaOH (%) ……… 148 5. Analisis ragam kandungan selulosa SS-NaOH (%) ... 149 6. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SS-NaOH (%) ... 149 7. Analisis ragam kandungan ligni n SS-NaOH (%) ... 150 8. Analisis ragam kandungan serat kasar SS-NaOH (%) ... 150 9. Analisis ragam kandungan sintesis Cr-organik pada sel
Aspergillus niger ... 151 10. Analisis ragam kandungan SSF-Cr (% BK) ... 151 11. Analisis ragam kandungan NDF SSF-CR (% BK) ... 151 12. Analisis ragam ADF SSF-Cr (% BK) ... 152 13. Analisis ragam kandungan hemi-selulosa SSF-Cr (% BK) ... 152 14. Analisis ragam kandungan selulosa SSF-Cr (% BK) ………….... 152 15. Analisis ragam kandungan VFA SSF-Cr (mM) ... 153 16. Analisis ragam kandungan NH3 SSF-Cr (mM) ... 153 17. Analisis ragam kecernaan ba ha n kering SSF-Cr (%) ... 154 18. Analisis ragam kecernaan bahan organik SSF-Cr (%) ... 154 19. Analisis ragam dan uji lanj ut ko nsumsi ba ha n kering ransum
20. Analisis ragam dan uji lanj ut ko nsumsi protein kasar ransum (g/ekor/hr) ... 155 21. Analisis ragam dan uji lanj ut ko nsumsi serat kasar ransum (g/ekor/hr) ... 156
22. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi lemak ransum (g/ekor/hr) 157
23. Analisis ragam dan uji lanjut konsumsi BETN ransum (g/ekor /hr) 157 24. Analisis ragam daya cerna bahan kering ransum (% BK) ... 158 25. Analisis ragam dan uji lanjut daya cerna protein kasar ransum
(% BK) ... 158
26. Analisis ragam daya cerna serat kasar ransum (% BK) ... 159 27. Analisis ragam daya cerna lemak kasar ransum (% BK) ... 159 28. Analisis ragam daya cerna BETN ransum (% BK) ... 159 29. Analisis ragam pertambahan bobot badan (g/ekor/hr) ... 160 30. Analisis ragam dan uji lanjut retensi N (g/ekor/hr) ... 160 31. Analisis ragam perlakuan terhadap pH daging ... 160 32. Analisis ragam perlakuan terhadap keempukan daging (kg/cm2). 161 33. Analisis ragam perlakuan terhadap warna daging ... 161 34. Analisis ragam perlakuan terhadap susut masak daging (%) ... 161 35. Analisis ragam perlakuan terhadap DMA (% mg H2O) ... 161 36. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar air daging (%) ... 161 37. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar protein daging (%) ... 162 38. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar lemak daging (%) ... 162 39. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kolesterol daging (%) .. 162 40. Analisis ragam perlakuan terhadap kadar kromium daging (%) .. 162
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan protein hewani, memicu peternak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya. Usaha peningkatan produk peternakan menuntut adanya pakan yang murah, berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 7 juta Ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih da ri 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010). Meningkatnya luas perkebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang 2003), akan meningkatkan hasil samping pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi mengganggu lingkungan. Salah satu hasil samping pengolahan kelapa sawit adalah serat sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto & Handiwirawan 2004), dengan produksi 90 %, jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888 metrik ton BK/th, diperkirakan dapat menampung ± 236.910 ekor domba/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan pakan ternak, terutama ternak ruminansia.
Pengolahan serat sawit sebelum diberikan kepada ternak dengan penggunaan alka li seperti NaOH, Ca(OH)2 atau urea. Pengolahan ini pada prinsipnya ditujuka n untuk memutuskan ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa yang secara tidak langsung membantu meningkatkan nutrisi serat sawit, meningkatkan daya cerna bahan, daya guna limbah serta memperpanjang waktu penyimpanan. Menurut Subkaree et al. (2007), NaOH lebih efisien untuk mendegradasi komposisi serat sawit dibandingkan Ca(OH)2
Penelitian terdahulu be lum ada memanfaatkan serat sawit sebagai substrat A. niger pensintesa kromium organik . A. niger merupakan salah satu jenis Aspergillus, dapat tumbuh dengan cepat, oleh karena itu banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat (Narayana et al 2006; Demirel et al. 2004; Adham 2001), asam glukonat, dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Immanuel et al. 2006, Ikram et al. 2005, Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006).
, selanjutnya dinyatakan bahwa kondisi optimum pra perlakuan adalah 10% (w/v) NaOH dan waktu pe ndidihan 15 menit dapat meningkatkan kandungan selulosa menjadi 54.13 ± 0.87% (w/w). Fenomena ini meningkatkan kegunaan selulosa untuk dipecah oleh enzim selulase yang dihasilka n A. niger guna meningkatkan kandungan nutrien dan kecernaannya.
Fermentasi yang dilakukan menggunakan A. niger dapat meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum A. niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH terhadap kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO) meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi (Jamarun et al. 2000). Selama ini fungi
Aspergillus oryzae , Rhizopus olygosporus, yeast Saccharomyces cereviseae
3
fermentasi de ngan A. niger. Serat sawit dengan A. niger tanpa supp lemen Cr diteliti oleh Jamarun et al (2000), Namun demikian penggunaan serat sawit dengan A. niger seba gai prekusor Cr organik sampai saat ini belum pernah diteliti.
Kromium adalah suatu mikronutrien esensial yang dibut uhka n untuk metabolisme glukosa, protein dan metabolisme lemak yang normal (NRC 1997) dan memegang peranan penting dalam tubuh karena Cr berperan sebagai kofaktor melalui peningkatan respon reseptor insulin terhadap hormon vital insulin (Mertz 1993; Vincent & Davis 1997; Vincent 2000; Pechova & Pavlata 2007). Kromium secara biologis aktif sebagai komponen dari glucose tolerance factor (GTF) yang meningkatkan penggunaan glukosa dan insulin (NRC 1997), selain itu penting di dalam metabolisme karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein (Davis & Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Hal ini dibuktikan dari hasil suplementasi Cr pada ransum babi yang sedang tumbuh yaitu: Cr pikolinat 200 ppb meningkatkan pertambahan bobot badan 0,87 kg/hr lebih tinggi dibandingkan kontrol 0,81 kg/hr (Page 1993). Salah satu gejala defisiensi Cr dapat menyebabkan hiper-kolesteolemia, arterosklerosis, dan rendahnya inkorperasi asam amino pada protein hati. Burton (1995), mengatakan Cr berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triodotironin (T3). Mengingat semua fungsi tubuh tergantung pada karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat da n hormon insulin maka kecukupan Cr dalam pakan sangat diperlukan yaitu dalam bentuk Cr organik. Kromium organik dapat dihasilkan melalui proses fermentasi pakan serat dengan memanfaatkan yeast (Zetic et al. 2001) yang diketahui mempunyai kemampuan untuk menginkorporasi Cr ke dalam sel fungi tersebut dan mengubahnya ke dalam bentuk Cr organik di dalam miselium.
serat sawit dengan A. niger didalam ransum, diharapkan dapat memperbaiki transpor glukosa atau meningkatkan aktifitas reseptor insulin, sehingga dapat meningkatkan efisiensi metabolisme nutrient yang pada akhirnya dapat meningkatkan produksi ternak. Pada manusia menurut Balk et al (2007) bahwa suplementasi kromium tidak memberikan efek signifikan terhadap metabolisme karbohidrat dan lipid pada bukan penderita diabetes, tetapi memperbaiki glikemia penderita diabetes secara signifikan. Diharapkan dari penelitian ini, daging yang dihasilkan selain untuk memenuhi swasembada daging 2014 dan juga sangat ba ik dikonsumsi untuk penderita diabetes.
Biokonversi menggunakan kapang pensintesa kromium organik (Cr- fungi) sangat tepat diterapkan untuk pengolahan serat sawit, karena selain akan meningkat-kan nilai nutrisi, juga memperkaya kandungan mineral Cr yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan,meningkatkan kekebalan tubuh dan kualitas daging.
Perumusan Masalah
Sebagian besar, produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian mengindikasikan bahwa apabila produk samping diberikan kepada ternak ruminansia dapat dipastikan akan menyebabkan ternak mengalami kekurangan nutrien, baik untuk kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Menyadari kondisi tersebut, para peneliti berupaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut dengan berbagai cara, yaitu cara kimia, fisika atau biologi.
5
samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.
Kromium organik dapat dihasilkan dengan cara fermentasi pakan yang disuplementasi dengan mineral anorganik menggunakan fungi. Konversi kromium menjadi bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaannya. Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam upaya konversi ini adalah mengkaji kemampuan fungi dalam menginkorporasi mineral anorganik ke dalam protein tubuhnya.
Aspergillus niger adalah salah satu fungi yang dapat memanfaatkan substrat untuk pertumbuhannya dan dapat dijadikan pensintesa kromium anorganik menjadi kromium organik. Substrat yang digunakan dalam proses biokonversi ini adalah serat sawit yang ketersediaannya berlimpah. Kemampuan
A. niger menginkorporasi kromium ke dalam komponen selnya perlu dikaji, bagaimana peranan kromium organik bagi domba lokal perlu pengkajian yang lebih mendalam terutama pengaruhnya da lam kualitas daging, baik dikonsumsi untuk penderita diabetes dan menjadikan masyarakat sehat.
Tujuan Penelitian
Tujuan da ri pe nelitian ini untuk:
1. Menganalisis konsentrasi NaOH dan lama pemeraman serat sawit terbaik untuk mendapatkan kandungan gizi tertinggi serat sawit.
2. Menganalisis kualitas nutrisi serat sawit -NaOH yang difermentasi dengan A. niger sebagai pensintesa kromium organik.
3. Mengkaji kualitas serat sawit sebagai komponen ransum komplit terhadap produksi ternak domba.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia
Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan
terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.
Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang
dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun
1969 menjadi 7 juta Ha pada tahun 2010 dengan produksi minyak sawit (crude
palm oil) lebih dari 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010), dengan meningkatnya
luas per-kebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang 2003), akan
meningkatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi
mengganggu lingkungan. Salah satu limbah pengolahan kelapa sawit adalah serat
sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan limbah
berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al
2004), dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta
Ha (90 % nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar
16,888 metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan
pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Terbatasnya penggunaan serat sawit
dalam ransum karena tingginya kandungan sellulosa (38.69 %) dan lignin
(20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi
ini diperlukan suatu teknologi, salah satu diantaranya memberikan perlakuan
secara kimia (NaOH) dan biologis yakni melakukan fermentasi menggunakan
kapangAspergillus niger.
Menur ut hasil penelitian Purwaningrum (2003) bahwa pemanfaatan SS
yang mendapatka n pe ngolahan de ngan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan
LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai
pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan
menurunkan kecernaan dan keracunan amonia. Jamarun et al (2000)
mendapatkan hasil penelitian bahwa serat sawit yang telah direndam dengan
NaOH 2,5% dengan lama perendaman 24 jam telah mampu memberikan hasil
yang terba ik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika
ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi, tingkat kecernaan dan
tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang
menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Kandungan gizi beberapa produk
hasil samping perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabe l 1 Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit
Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang
terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk
produksi ternak. Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi seperti pelepah,
daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi
untuk produksi. Bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi bagi
ternak, karena berperan sebagai pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam
jumlah yang relatif lebih besar.
Unsur kimiawi yang terkandung dalam serat atau dinding sel yang secara
efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan
keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin, kutin dan silika (Tabel 2). Dari unsur
penyusun dinding sel atau serat tersebut pada dasarnya yang berpotensi sebagai
sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses
fermentasi di dalam sistem pencernaan ternak.
Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam keseluruhan serat merupakan
yang terbesar (60-83%) atau setara dengan 44-69% dari bahan kering. Lignin,
selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi
mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa
9
Tabe l 2 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit
Komponen serat Fraksi kelapa sawit
Daun Pelepah Serat perasan buah Batang Selulosa (%)
ternak (Fengel & Wegener 1995).
Oleh karena itu ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan
amat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang
merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer
memperkuat rigiditas serat/ dinding sel (Fengel & Wegener 1995) juga
menghambat pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi.
Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18-40% dari total
dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan
merupaka n salah satu ke ndala pe nting da n membutuhka n teknik untuk
mengatasinya. Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan
hasil samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan
kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.
Peningkatan Kual itas Serat Sawit denga n NaOH
Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45 %, karena itu
sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya.
Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan pretreatment yaitu
untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan
teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mos ier et al., 2005), secara kimia
diantaranya perendaman dengan NaOH, fisik (uap panas, menggiling dan
memotong), dan biologi (suplemen nitrogen dan fermentasi media padat) untuk
memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling (Vadiveloo et al.
2009). Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa
polisakarida menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis
ditunjukkan pada Gambar 1.
Amorphous
Crystalline Region
Gambar 1. Skema pretreatment biomassa lingo-selulosa (Mosier et al.,
2005).
Selain cara hidrolisis kimiawi, menur ut Hendriks & Zeeman (2009) bahan
bermutu rendah dapat ditingkatkan kegunaannya dengan cara fisika, secara fisika
usaha lain unt uk memperba iki kualitas ba han makanan berserat dapat dilakukan
dengan pemanasan dan steam bertekanan (autoclave). NaOH adalah alkali yang
paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah pertanian/industri
karena mampu merenggangkan ikatan ligno-selulosa yang lebih besar sehingga
kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1993) bahwa perlakuan
dengan NaOH adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas
jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH membuat defisiensi
nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Ringkasan berbagai teknik pretreatment
11
Tabe l 3 Pretreatment biomassa lingo-selulosa
Pretreat ment Proses Perubahan pada
biomassa
- meningkat kan luas permukaan yang Nie lsen, Bjerre, & Schmidt (1996)
Pretreat men kimia dan fisik-kimia kristalisasi selulosa
- menurunkan derajat polime risasi
Pretreat ment Proses Perubahan pada
Pretreat ment Proses Perubahan pada
biomassa
Refe rensi
Gas:
- Clorin d ioksida - Nitrogen dioksida -Sulfur d ioksida - ekstrasi benzene-a ir - ekstraksi etilen crude glycerol fro m oleochemicals
industry for enzy matic hydrolysis of wheat Nie lsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Silverstein, Chen, Sharma-Shivappa, Boyette, & Osborne (2007)
Biologi - Fungi pe lapuk
putih
- Aktino micetes
- delignifikasi
- penurunan derajat polerisasi selulosa
- penurunan derajat kristalisasi selulosa
Taniguchi, Su zuki, Watanabe, Saka i, Hoshino, & Tanaka (2005)
Shi, Ch inn, & Sharma-Shivappa, (2008)
Keller, Ha milton, & Nguyen (2003) Kirk & Chang, Potential applicat ion of bio-ligninolyt ic System (1981)
Keterangan: modifikasi dari Taherzadeh and Karimi (2008)
Tersedianya jumlah energi dari bahan yang kaya serat kasar dapat ditingkatkan
dengan perlakuan alkali, menurut Haddad et al (1995) mengatakan bahwa
13
menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan
turunnya kadar lignin. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat
meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun
tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998), tetapi pada
penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 % memberikan
koefisien cerna ba han ke ring in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan
konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %.
Fermentasi
Banyak cara yang dicoba untuk meningkatkan biomassa bagi kepentingan
manusia atau ternak dan dengan cara tersebut semuanya berdasarkan kemampuan
mikroba terutama jamur dan bakteri dalam merubah biomassa menjadi glukosa,
etanol, protein sel tunggal dari makanan ternak. Fermentasi adalah proses
metabolisme dimana enzim yang dihasilkan mikroor ganisme menstimulasi reaksi
oksidasi, reaksi hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga mengakibatkan
perubahan struktur kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk
tertentu (Dwidjoseputro 2003). Fermentasi merupakan salah satu proses
pengolahan dan pengawetan dengan bantuan mikroba. Fermentasi dapat
meningkatkan nilai gizi bahan makanan menjadi lebih tinggi dari bahan asalnya,
sebab mikroba katabolik akan memecah komponen kompleks menjadi (zat- zat)
yang lebih sederhana.
Proses fermentasi menurut medianya dibagi atas dua golongan yaitu
fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat
adalah fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas
tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Sebaliknya fermentasi
medium cair adalah fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam
fase cair (Rahman 1990).
Fermentasi medium padat secara alami umumnya berlangsung pada
medium dengan kadar air berkisar antara 60-80%, karena pada keadaan ini
medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Bentley &
medium padat tergantung pada sifat alamiah substrat, jenis organisme dan tipe
produk akhir dikehendaki.
Fermentasi medium padat mempunyai beberapa keuntungan antara lain
memiliki kesederhanaan dalam persiapan mediumnya, persiapan inokulum lebih
sederhana, kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, kondisi mediumnya
mendekati keadaan tempat tumbuh kapang yang biasa dijumpai di alam dan
fermentasi memiliki kekurangan (Krishna 2005). Ada ms dan Moss (2008)
menyatakan bahwa kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, dan
mineral bahan akan mengalami perubahan akibat aktifitas dan
perkembangbiakkan mikroorganisme selama fermentasi. Selanj utnya Fardiaz
(1992) mengatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan pH,
kelembaban, aroma, serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya
peningkatan protein, vitamin, dan beberapa zat gizi lainnya walaupun mungkin
terjadinya penurunan vitamin B1 dan mineral fosfor.
Terjadinya peningkatan kadar air selama fermentasi disebabkan aktifitas
enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992)
mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang setelah
terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya
dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses
tersebut juga dihasilkan molekul air dan CO2
Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi terjadi pada dedak padi dan
bungkil inti sawit yang meningkat selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya
kadar serat tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang
mengandung serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Nur
2006).
. Sebagian air akan keluar dari
produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi.
Faktor-faktor ya ng me mpenga ruhi fe rmentas i
Untuk meningkatkan nilai gizi serat sawit, dilakukan fermentasi dengan
menggunakan kapang Aspergillus niger. Dalam proses fermentasi akan terjadi
pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap zat- zat yang tidak dapat dicerna
15
sederhana dan alkhohol sehingga bahan yang telah difermentasi mempunyai daya
cerna yang lebih tinggi dari bahan asalnya (Bentley & Bennett 2008). Menurut
Fardiaz (1992) untuk mendapatkan pertumbuhan kapang yang baik, perlu
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti suhu, pH, ketersediaan
O2 dan H2
Ikram et al, (2005) menyatakan bahwa, enzim yang dapat menghirolisis ikatan β(1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis enzimatik yang sempurna memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu :
O. Media yang diinokulasi pHnya diusahakan sesuai dengan kebutuhan
kapang. Aspergillus niger merupakan kapang yang tumbuh cepat, banyak
digunakan secara komersil dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan
beberapa enzim seperti amilase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley &
Bennett 2008, Iyayi 2004). Kapang A. niger berperan dalam meningkatkan
kandungan protein kasar bahan sehingga meningkatkan daya cerna bahan kering
dan ba han or ganik yang difermentasi. Jenis fungi yang biasa digunakan dalam
produksi selulase adalah Aspergillus niger (Immanuel et al. 2006, Ikram et al. 2005,
Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006).
Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase), yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α -1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang
bervariasi.
Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung
pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa.
β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.
Kompleks selulase digunakan secara komersial dalam pengolahan kopi.
Selulase digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan kertas
bahkan kadang-kadang digunakan dalam industri farmasi. Dalam krisis energi
sekarang ini, selulase dapat digunakan dalam fermentasi biomassa menjadi
biofuel, walaupun proses ini sifatnya masih eksperimental. Di bidang kesehatan
selulase digunakan sebagai treatment untuk phytobezoars salah satu be ntuk
selulosa bezoar di dalam perut manusia (en.wikipedia.org/wiki/cellulase). Seperti
yang dijelaskan di atas, selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan
pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang
cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa
dengan menggunakan enzim selulase (Gado et al. 2007). Selulosa diproduksi
oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial selulase pada
umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa
mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang
mampu menghidrolisa kristal selulosa secara invitro. Fungi adalah
mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun beberapa
bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase.
Fungi berfilamen seperti Tricoderma danAspergillus adalah penghasil selulase dan
crude enzyme secara komersial fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam
memproduksi selulase (Ikram et al. 2005).
Gambar 2 Mekanisme hidrolisis selulosa (en.wikipedia.or g/wiki/cellulase).
Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan
enzim selulase (Vrije et al., 2002) maupun mikroorganisme selobios glukosa
penghasil selulase (Aderemi et al ., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh
jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran
17
untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama
hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz et al., 2005; Martins et
al., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat terhadap
endo dan eksoglukanase. Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan
memprod uksi β- glukosidase yang kuat yaitu Aspergillus niger (Juhasz et al.
2005).
Perubahan zat-zat makanan selama fe rmentasi
Makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dari asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme yang
memecah komponen-komponen kompleks menjadi zat- zat yang lebih sederhana
sehingga mudah dicerna, tetapi mikroorganisme juga dapat mensintesa beberapa
vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A dan faktor pertumbuhan
lain-nya, juga dapat terjadi pemecahan gula oleh enzim tertentu misalnya
hemiselulosa, sellulosa dan polimer-polimernya menjadi gula sederhana atau
turunannya (Winarno 2008).
Bentley dan Bennett (2008) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai
pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik yang akan dapat merubah lebih
banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan
terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat
meningkatkan protein kasar dari bahan. Fardiaz (1992) menambahkan selama
proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut
adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel
tunggal.
Menur ut hasil penelitian Jamarun et al. (2000) bahwa serat sawit fermentasi
dapat digunakan sampai level 45% dari total ransum (menggantikan 75%
kebutuhan hijauan). Pemberian 60% serat sawit yang difermentasi dengan
Aspergillus niger Cz 51 VI/I dalam ransum atau pengganti 100% hijauandengan
serat sawit, menyebabkan penurunan berat badan ternak domba. Terbatasnya
penggunaan serat sawit dalam ransum, karena tingginya kandungan lignoselulosa
(selulosa 38.60% dan lignin 20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna
dengan memberikan perlakuan secara biologis yakni melakukan fermentasi
menggunakan kapang Aspergillus niger Cz 51 VI/I pensintesa Cr-organik.
Fermentasi dengan Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat, banyak
digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glutamat serta
beberapa enzim, seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase.
Kapang ini dapat menghasilkan berberapa vitamin yang larut dalam air seperti B6
, B12, dan niasin. Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH antara 2,8 –
8,8 dengan pH optimum berkisar antara 3,0 – 6,0 dalam pertumbuhannya
Aspergillus niger membutuhkan mineral Mg, Fe, K, Zn, Mn, tiamin dan urea.
Enzim selulsase yang dihasilkan Aspergillus niger menunjukkan aktivitas
optimum pada kisaran pH 4,5 – 5,5. Aspergillus niger bersifat aerobik, sehingga
dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu
pertumbuhan optimum Aspergillus niger adalah 35 – 37oC (Iyayi 2004),
sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25 – 28oC (Bentley &
Bennett 2008).
Aspergillus niger adalah kapang penghasil komplek enzim selulase yang
memiliki aktivitas tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menkonversi
bahan lignoselulosik menjadi bioenergi. Dari hasil penelitian kompleks ensim
selulase yang dihasilkan dari Aspergillus niger terdiri da ri CMC-ase
(1,4-ß-D-glucan (1,4-ß-D-glucanohydro- lase), Avicelase (1,4-ß-cellobiosidase) dan ß-glukosidase
(ß-D-glucosidase gluco-hydrolase) dengan masing- masing memiliki kemampuan
yang berbeda dalam mendegradasi selulase. Dalam mendegradasi selulosa
kompleks enzim tersebut bertipe endo berbeda dengan enzim selulase yang
dihasilkan dari bakteri umumnya bertipe exo. Mod el aksi da ri enzim tersebut
akan berpengaruh pada kemampuan dalam mendegradasi bahan lignoselulos ik
menjadi kompo nen gul a yang lebih sede rhana (Bentley & Bennett 2008 ).
Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan
mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales
dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,
diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam
glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase,
19
amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu
35ºC - 37º C (optimum), 6 - 8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar
berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat
gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah
menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.
Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat.
Aspergillus niger memerluka n mineral (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4,
urea, CaCl2.7H2O, FeSO4, MnSO4.H2O untuk menghasilkan enzim sellulase,
sedangkan untuk enzim amilase khususnya amiglukosa diperlukan (NH4)2SO4,
KH2PO4 .7H2O, Zn SO4, 7H2O. Bahan organik dengan kandungan nitrogen
tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah
kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Tahap selanjutnya bahan
organik yang rendah kandungan nitrogennya dapat dikomposisi lebih cepat
daripada bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi. Penurunan bahan
organik sebagai sumber karbon dan nitrogen disebabkan oleh Aspergillus niger
sebagai sumber energinya untuk bahan penunjang pertumbuhan atau growth
factor. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan
zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat
disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks
harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan
beberapa enzim ekstra seluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh
Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan
mobilitas sel. Amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam
amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas
pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi
kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga
karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai,
yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger
merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim
seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley & Bennett
Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil
penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum
Aspergillus niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH, terhadap
kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO)
meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi (Jamarun
et al 2000). Pemanfaatan hasil fermentasi bungkil inti sawit dengan Aspergillus niger dalam ransum ayam broiler terhadap warna daging, memperlihatkan hasil
yang signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemakaian 7.5% bungkil
inti sawit fermentasi memberikan warna daging merah ceri dibandingkan dengan
tanpa bungkil inti sawit fermentasi (Nur 2001) . Hasil dari fermentasi ini beraroma
wangi yang disenangi ayam dan dapat disimpan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan dan lemak pada abdomen tidak begitu banyak dan rasa dagingnya manis.
Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, ka ndungan PK nya naik menjadi
35,43 % dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK
LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering
yang tinggi (28,77%), kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang
tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk
mencegah urea menjadi amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari.
Peranan kromium dalam sistem transport dan metabolisme nutrien
Kromium (Cr) diketahui merupakan mineral esensial sejak tahun 1959.
Schwart dan Mertz adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast
mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan uptake glukosa dan
meningkatkan potensi aktifitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai
faktor toleransi glukosa (Glucose Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF
tersusun dari kompleks antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam
amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder
1992, Underwood & Suttle 2001) seperti disajikan pada Gambar 3. Di dalam
struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya sehingga tanpa adanya Cr pada
21
Gambar 3 Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1992)
Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada mempengaruhi insulin (Burton 1995).
Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam
amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada
organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifik-nya, uptake seluler glukosa
dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan
efektifitas potensi insulin.
Fungsi GTF sebenarnya lebih berpusat pada sel target, kerja GTF dalam
transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil- hasil
penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat,
Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak da n protein, dalam hal ini difisiensi
Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya
inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr
adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994).
Fungsi utama Cr ialah untuk meningkatkan aktivitas insulin di dalam
metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan transport glukosa dari darah ke
dalam sel-sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor
insulin memfasilitasi respon jaringa n yang sensitive terhadap insulin (NRC 1997) .
Kegunaan Cr seba gai suatu faktor nutrien ditetapkan untuk pertama kalinya ketika
diketahui bahwa brewer`s yeast secara positif dapat mempengaruhi metabolism
karbohidrat pada organisme tingkat tinggi dan meningkatkan aktifitas hormon
insulin (NRC 1997; Demirci & Pornetto 2000; Vincent 2000 ). Kromium trivalent
octahedral dengan ligand biologis pada membrane sel (Zetic et al. 2001).
Kromium merupaka n suatu elemen yang dapat menstabilka n strukt ur tersier dari
protein (Demirci & Pornetto 2000). Hampir semua sumber Cr di alam terdapat
dalam bentuk trivalen (Cr III), tetapi produk dari pabrik (K2Cr2O7, K2Cr2O4 dan
Na2Cr2O4
Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia uptake glukosa tidak
ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan
asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin
(McGuire et al. 1995; Manalu 1999). Hasil penelitian Lyons (1995) mendapatkan ) terdapat dalam bentuk heksavalen (Cr VI). Bentuk Cr juga dapat
mempengaruhi ketersediaannya secara secara biologis (bioav ailabilitas)
contohnya oksalat, meningkatkan absorbsi Cr pada tikus, sedangkan EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) sitrat tidak meningkatkan absorbsi Cr.
Bentuk bentuk organik sintetik lainnya seperti kromium nikotinat dan kromium
pikolinat juga telah digunakan sebagai sumber kromium yang mudah tersedia.
Inkopo rasi kromium ke dalam jaringan sangat tergantung pada bentuk
kromiumnya dan inkoporasi kromium paling tinggi terjadi pada kromium
dinicotinic diglycerine glutamic acid, kromium pikolinat, kromium asetat,
kromium potassium sulfat dan komplek glycine kromium. Komplek kromium
yang terjadi secara alam, juga diketahui mempunyai bioavailabilitas yang relative
tinggi. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa 10-25% dari Cr diabsorbsi di
dalam ragi bir (NRC 1997). Kromium selain penting di dalam metabolisme
karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolism lemak dan protein (Davis &
Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam
sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3),
yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan
sintesis protein (Burton 1995; Stipanuk 2000). Suplementasi Cr ke dalam pakan
lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium
dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa
kasus, Cr organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap
dan dikeluarkan lewat feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi
23
bahwa selain asam amino di atas, asam amino lain yang uptake selulernya ke
dalam sel kelenjar ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah
metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin, fungsi GTF adalah
meningkatkan efektifitas potensi insulin (Gambar 4). Burton (1995)
menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi
tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan
meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein da lam hati, ginjal,
jantung dan otot serta meningkatkan sistesis protein.
Permukaan Membran sel
Insulin
Insulin
GTF
Reseptor insulin Insulin pada permukaan
membransel
Gambar 4 Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktifitas insulin (Lyons 1995)
Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang
peranan Cr dalam sistem kekebalan tubuh mengatakan bahwa Cr berpengaruh
baik pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI) maupun kekebalan yang
diperantarai oleh sel (CMI). Dalam HI suplementasi Cr meningkatkan produksi
antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi Cr
menyebabkan peningkatan respons blastogenik (lymphocit blasgonesis) terhadap
imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan produksi
antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini
bekerja meningkatkan glukoneogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres.
sintesis antibod i juga ditekan, dengan kata lain hormon kortisol bekerja
berlawanan dengan terbentuknya sistem kekebalan dalam tubuh ternak.
Kebutuhan kromium dan bentuk suplemen dalam pakan
Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi
stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh cadangan Cr dalam
tubuh berkurang akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer
untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian Cr itu
akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan dan laktasi
kebutuhan Cr juga meningkat, hal ini karena pada saat kebuntingan ternak
mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al.
1996).
Cr-GTF dapat diserap 15-20 %, dayagunanya lebih tinggi. Berdasarkan
pada banyaknya kromium yang hilang : 0,5-1 µg/ hari da n rata-rata penyerapannya
1 %, dengan demikian kebutuhan minimum 50 µg/hari, dengan rekomendasi
konsumsi 50-200 µg. Setelah penyerapan, kromium diangkut pada protein
pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah : transferin. Tidak
diketahui apakah GTF yang diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah
tanpa peruba han be nt uk atau juga terikat de ngan transferin. Dari intestin, hampir
semua kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF.
Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia dalam
menolong aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat, dan/atau
insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF dan/atau kromium ke da lam plasma,
GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian
keluar melalui urin. Aktivitas GTF (dan/atau Cr) masih banyak yang belum
diketahui; mungkin terlibat pengaruhnya pada struktur insulin dan/atau pengikatan
resptor (Linder 1992).
Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan
cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm CrCl3 (NRC
1997). Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga
tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan. Kompleks
25
Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul
asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptopa n sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs
1992; Groff & Gropper 2000). Tahapan metabolisme triptopa n menjadi niasin
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Metabolisme triptopan menjadi niasin (Combs 1992)
Penga ruh suple mentas i kromium terhadap produksi ternak
Page et al (1993), yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang
tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb
meningkat-kan pertambahan bobot badan 0.87 kg/hari lebih tinggi dibanding
kontrol 0.81 kg/hari. Pertambahan bobot badan yang tinggi hasil penelitian di
atas, menggambarkan terjadinya peningkatan sintesis protein dan lemak pada
jaringan perifer akibat meningkatnya uptake asam amino dan glukosa oleh
efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Namun demikian suplementasi Cr pada
terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjar
ambing untuk p rod uks i susu.
Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada
sapi perah laktasi bahwa suplementasi chelate sebesar 5 mg Cr per hari
menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.25 % (27.5 vs 24.3 kg/hari).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi Cr juga meningkatkan konsumsi
bahan kering sebesar 15 % (13.76 vs 11.95 kg/hari), mengubah resistensi insulin
pada sel kelenjar ambing, menurunkan kejadian milk fever dan teat edema.
Penelitian senada yang dilakuka n oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil
suplementasi Cr pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu
meningkatkan produksi susu sebesar 24 % (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu
pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-1 (39.05
vs 49.42 µg/ml) dan ratio insulin/glukosa (7.27 vs 5.76 U/mol). Pada domba
pengaruh penambahan kromium disajikan pada Tabel 4.
Tabe l 4 Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba
Referensi Kebutuhan konsentrasi per kg BK Berat badan pada awal dan selama penelitian Cr diet=0,037 mg/d and basal (molasses ash or CrCl3
Basal diet, low fiber=0,175 mg; ) Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3
Basal diet, low fiber=0,175 mg; ) Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl3
Basal diet=tdk diketahui