• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

x

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PRODUKSI

CRUDE PALM OIL

(CPO) UNIT ADOLINA

PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

DAVID KASYOGI PURBA H34096013

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

xi

RINGKASAN

DAVID KASYOGI PURBA. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NETTI TINAPRILLA).

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Ditinjau dari aspek produksi, hasil produksi perkebunan merupakan bahan baku industri baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Ditinjau dari bentuk pengusahaannya, usaha perkebunan meliputi perkebunan besar negara (PBN), perkebunan besar swasta (PBS), dan perkebunan rakyat (PR). Salah satu komoditas perkebunan di Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (TBS) yang kemudian diolah menjadi minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO).

Semakin meningkatnya peranan CPO, memacu para produsen untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi tidak dapat dilakukan dengan mudah karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tersebut. Unit Adolina yang di bawahi oleh PT Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu perkebunan kelapa sawit milik negara. Unit Adolina terletak di Sumatera Utara yang merupakan salah satu wilayah sentra produksi minyak kelapa sawit di Indonesia. Konsentrasi bisnis Unit Adolina adalah memproduksi CPO. Faktor-faktor produksi yang diduga dapat mempengaruhi terhadap tingkat produksi CPO, antara lain jumlah TBS, tenaga kerja, jam mesin, penggunaan air, penggunaan uap serta suplai listrik. Oleh karena itu, analisis faktor-faktor produksi CPO perlu dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi CPO di pabrik kelapa sawit Adolina, dan (2) menganalisa elastisitas faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi CPO di pabrik kelapa sawit Adolina. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data produksi bulanan selama empat tahun mulai dari tahun 2008 hingga 2011 yang berasal dari perusahaan. Analisis dilakukan dengan membangun model, yaitu model produksi CPO. Dalam menganalisis data digunakan model regresi berupa fungsi produksi Cobb-Douglas yang terlebih dahulu diuji dengan asumsi OLS (Ordinary Least Square) yang dianalisis menggunakan program Minitab 14, microsoft excel dan eviews 5.1. Namun karena hasil regresi menunjukkan adanya pelanggaran asumsi klasik, yaitu multikolinearitas maka digunakan Principal Component Analysis untuk menghilangkan multikolineaitas tersebut.

(3)

xii bebas yang diduga, sedangkan sisanya sebesar 2,0 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Pengaruh variabel-variabel bebas secara parsial dilakukan dengan uji-t. Hasil uji t menunjukkan faktor produksi jumlah TBS (X1), tenaga kerja (X2), jam mesin (X3), penggunaan air (X4), penggunaan uap (X5) serta suplai listrik (X6) berpengaruh nyata terhadap produksi CPO pada selang kepercayaan 95 persen.

Koefisien regresi pada fungsi produksi Cobb-Douglas juga menunjukkan elastisitas dari masing variabel. Nilai koefisien regresi pada masing-masing faktor produksi adalah positif lebih kecil dari satu. Nilai koefisien regresi yang positif dan kurang dari satu menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut berada pada daerah yang rasional yaitu semua faktor produksi tersebut masih dapat ditingkatkan.

(4)

xiii

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PRODUKSI

CRUDE

PALM

OIL

(CPO) UNIT ADOLINA

PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV

SUMATERA UTARA

DAVID KASYOGI PURBA H34096013

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

xiv Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara

Nama : David Kasyogi Purba

NIM : H34096013

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM

NIP. 19690410 199512 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

xv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

(7)

xvi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 September 1987 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan (Alm) Bapak Jonathan Purba dan Ibu Ryana br. Gultom.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD Simbolon Panei, Kabupaten Simalungun dan pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 7 Pematang Siantar. Pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMKN 1 Pematang Raya.

(8)

xvii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina PT. Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara.

Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor-faktor produksi pada pengolahan kelapa sawit menjadi CPO. Namun demikian, penulis menyadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan referensi tentang topik terkait.

Bogor, Januari 2013

(9)

xviii

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Harianto, MS dan Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

3. Ir. Burhanudin, MM selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Pihak Unit Adolina atas waktu, kesempatan, informasi, dan kerja sama yang diberikan.

5. Orang tua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta, kasih, dan doa yang diberikan. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang terbaik.

6. Teman-teman seperjuangan (Batakers dan komunitas lowyo wa’yang) dan teman-teman Agribisnis angkatan 7 atas doa, semangat dan masukannya hingga penulisan skripsi ini, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.

(10)

xix

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Gambaran Umum CPO (Crude Palm Oil) di Indonesia ... 13

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi ... 17

2.3. Perbandingan Metode Analisis yang Digunakan ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 22

3.1.1. Konsep dan Fungsi Produksi ... 22

3.1.2. Konsep Skala Usaha (Return to Scale) ... 26

3.1.2. Model Fungsi Produksi ... 26

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 29

IV. METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4.2. Sumber dan Jenis Data ... 31

4.3. Metode Analisis Data ... 31

4.3.1. Analisis Fungsi Produksi ... 31

4.3.2. Pengujian Hipotesis ... 33

4.3.3. Pengukuran Variabel ... 38

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 40

5.1. Profil Perusahaan ... 40

5.1.1. Sejarah Perusahaan ... 40

5.1.2. Lokasi Perusahaan ... 41

5.2. Organisasi dan Manajemen Perusahaan ... 42

5.2.1. Struktur Organisasi Perusahaan ... 42

5.2.2. Uraian Tugas dan Tanggung Jawab ... 42

5.2.3. Sistem Pengupahan ... 46

5.3. Perkembangan Produksi Pabrik ... 47

5.3.1. Bahan Baku (Jumlah TBS) ... 47

5.3.2. Ketenagakerjaan ... 47

5.3.3. Jam Olah Mesin ... 49

5.3.4. Suplai Listrik ... 50

(11)

xx

5.4. Proses Produksi ... 51

5.4.1. Proses Produksi CPO (Crude Palm Oil) ... 51

5.4.2. Proses Produksi PKO (Palm Kernel Oil) ... 53

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi CPO. 56

6.1.1. Uji Ekonometrika ... 57

6.1.2. Uji Statistik ... 59

6.2. Analisis Elastisitas Faktor Produksi CPO ... 60

6.3. Analisis Skala Usaha ... 63

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

7.1. Kesimpulan ... 64

7.2. Saran-saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(12)

xxi

DAFTAR

TABEL

Nomor Halaman 1. Perkembangan PDB Sub Sektor Perkebunan Atas Harga

Berlaku Tahun 2005-2009 ... 2 2. Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2000-2007 (ton) .... 4 3. Volume dan Nilai Ekspor CPO Indonesia Tahun 2007-2010 ... 5 4. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut

Pengusahaannya Tahun 2005-2010 (dalam ha) ... 5 5. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Menurut Pengusahaannya Tahun 2005-2010 (dalam ton) ... 6 6. Perkembangan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Menurut Pengusahaannya Tahun 2003-2009 ... 7 7. Provinsi Sentra Produksi Minyak Sawit Indonesia

Tahun 2008-2009 ... 7 8. Luas Areal, Pencapaian Produksi dan Produkstifitas CPO yang

Dihasilkan Unit Usaha Adolina Tahun 2006-2010 ... 9 9. Jumlah TBS yang Diolah dan Produksi CPO yang Dihasilkan

Pabrik Kelapa Sawit Adolina Tahun 2008-2011 (dalam kg) ... 10 10. Jumlah TBS yang Diolah Pabrik Kelapa Sawit Adolina

Tahun 2008-2011 (dalam kg) ... 47 11. Jam Kerja Karyawan Kantor Unit Adolina tahun 2011 ... 48 12. Jam Kerja Karyawan Pabrik Kelapa Sawit Adolina

Tahun 2011 ... 48 13. Pembagian Kerja pada Pabrik Kelapa Sawit Adolina

Tahun 2011 ... 49 14. Alokasi Jam Olah dan Penggunaan Listrik pada Proses

Produksi CPO Pabrik Kelapa Sawit Adolina Tahun 2008-

2011 ... 49 15. Alokasi Penggunaan Air dan Penggunaan Uap pada Proses

Produksi CPO Pabrik Kelapa Sawit Adolina Tahun 2008-

2011 ... 51 16. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi CPO dengan Enam

(13)

xxii

DAFTAR

GAMBAR

Nomor Halaman 1. Daerah Produksi dan Elastisitas Produksi ... 25 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang

(14)

xxiii

DAFTAR

LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pabrik Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2009 ... 68

2. Struktur Organisasi PTPN IV Unit Adolina Tahun 2010 ... 69

3. Nilai Ln (logaritma natural) Variabel Dependent dan Independent ... 70

4. Hasil Regresi Variabel Dependent dengan Variabel Independent ... 72

5. Uji Normalitas ... 73

6. Uji Heteroskedastisitas ... 73

7. Plot Residual Autokorelasi ... 74

8. Korelasi Pearson ... 74

(15)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Adapun karakteristik perkebunan dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain dari jenis komoditas, hasil produksi, dan bentuk pengusahaannya1. Ditinjau dari aspek komoditas, perkebunan terdiri atas 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Ditinjau dari aspek produksi, hasil produksi perkebunan merupakan bahan baku industri, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Apabila ditinjau dari bentuk pengusahaannya, usaha perkebunan meliputi perkebunan besar negara (PBN), perkebunan besar swasta (PBS), dan perkebunan rakyat (PR).

Perkebunan mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkannya. Besarnya kontribusi perkebunan terhadap PDB dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 memperlihatkan perkembangan PDB perkebunan selama periode tahun 2005-2009. Berdasarkan atas dasar harga berlaku, nilai PDB perkebunan secara kumulatif mengalami peningkatan, yaitu dari 56,43 trilyun rupiah pada tahun 2005 menjadi 130,50 trilyun rupiah pada tahun 2009. Rata-rata pangsa PDB perkebunan terhadap PDB Pertanian adalah 19,83 persen atau 2,11 persen terhadap PDB nasional. Laju pertumbuhan PDB perkebunan sebesar 23,52 persen per tahun. Angka laju pertumbuhan ini lebih besar dari laju pertumbuhan PDB pertanian yang sebesar 23,30 persen per tahun maupun terhadap laju pertumbuhan PDB nasional yang sebesar 17,94 persen per tahun.

Besarnya kontribusi perkebunan terhadap PDB Nasional yang terus meningkat serta laju pertumbuhan yang tinggi mengindikasikan bahwa sub sektor perkebunan yang prospektif dan berperan penting di masa yang akan datang. Prospek yang cerah ini tentunya harus disikapi dengan baik agar dapat bersaing menjadi sub sektor yang dapat diunggulkan dan menjadi andalan perekonomian.

1

(16)

2

Tabel 1. Perkembangan PDB Sub Sektor Perkebunan Atas Harga Berlaku Tahun 2005-2009

Sektor/ Sub Sektor

Nilai PDB (Rp. Triliun) Pert. (%/thn)

2005 2006 2007 2008 20091)

Perkebunan 56,43 63,40 81,60 106,19 130,50 23,52

Pertanian2) 281,96 328,83 408,03 536,87 649,25 23,30

Nasional 2.774,28 3.339,22 3.949,32 4.954,03 5.334,49 17,94 Nasional tanpa migas 2.458,23 2.967,04 3.532,81 4.426,39 3.665,28 19,18 PDB Perkeb. terhadap

PDB pertanian(%) 20,01 19,28 20,00 19,78 20,10

PDB Perkeb. terhadap

PDB Nasional (%) 2,03 1,90 2,07 2,14 2,45

Keterangan: 1) Data proyeksi 2)

Di luar kehutanan dan perikanan Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2010)

Salah satu komoditas perkebunan di Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/ tandan buah segar (TBS) yang kemudian diolah menjadi minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO). Menurut Tim Advokasi Minyak Sawit Indonesia-Dewan Minyak Sawit Indonesia (2010)2, tanaman kelapa sawit memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Produktivitas minyak kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya seperti kedelai, bunga matahari dan rapak/lobak (rapeseed). Produktivitas minyak sawit 3,74 ton/ha/tahun dengan pengelolaan manajemen budidaya terbaik memiliki potensi sekitar 6 ton/ha/tahun. Minyak kedelai hanya 0,38 ton/ha/tahun, minyak bunga matahari 0,48 ton/ha/tahun dan minyak rapak sebesar 0,67 ton/ha/tahun.

Data dari Oil World dalam Infosawit3 menyatakan bahwa pada tahun 2009, produksi minyak sawit dunia mencapai 43 juta ton dengan luas lahan 12,8 juta ha. Sementara total produksi minyak kedelai sebesar 35,6 juta ton dengan luas lahan 102,7 juta ha. Produksi minyak rapak hanya 20,4 juta ton dengan luas lahan 31,07 juta ha dan minyak bunga matahari sebesar 11,8 juta ton dengan luas lahan 23,4 juta ha. Efisiensi penggunaan lahan pada kelapa sawit memberi nilai tambah dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

2

http://infosawit.com Fakta Kelapa Sawit Indonesia 2010 Edisi Perdana [21 November 2011] 3

(17)

3 Peran penting kelapa sawit memiliki berbagai macam kegunaan. Hasil dari road map industri pengolahan CPO4 menjelaskan bahwa minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) dapat diproduksi menjadi berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan maupun non pangan. Kelompok industri antara sawit yang termasuk di dalamnya yaitu industri olein, stearin, oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Hasil dari produk antara sawit dapat diproduksi berbagai jenis produk yang sebagian besar adalah produk yang memiliki pangsa pasar potensial, baik untuk pangsa pasar dalam negeri maupun pangsa pasar ekspor. Produk kelompok industri antara kemudian dijadikan bahan baku oleh industri hilir sawit yang memberi nilai tambah produk yang tinggi.

Jenis industri hilir kelapa sawit spektrumnya sangat luas, hingga lebih dari 100 produk hilir yang telah dapat dihasilkan pada skala industri, namun baru sekitar 23 jenis produk hilir (pangan dan non pangan) yang sudah diproduksi secara komersial di Indonesia5. Beberapa produk hilir turunan CPO dan PKO yang telah diproduksi diantaranya untuk kategori pangan yaitu minyak goreng, minyak salad, shortening, margarin, lemak khusus/ Cocoa Butter Substitute (CBS), vanaspati, vegetable ghee, food emulsifier, fat powder, dan es krim. Produk kategori non pangan diantaranya surfaktan, biodiesel, dan oleokimia turunan lainnya.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan6, selain hasil utama berupa minyak sawit, produk samping/limbah perkebunan kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan antara lain tandan kosong sawit untuk pulp dan kertas, kompos, karbon, rayon; cangkang untuk bahan bakar dan karbon; serat untuk medium density atau fibre board dan bahan bakar; pelepah dan batang sawit untuk furniture, pulp & kertas, pakan ternak; bungkil inti sawit untuk pakan ternak; sludge untuk pakan ternak. Khusus untuk biodiesel sebagai energi alternatif terbarukan, permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat. Selain untuk kebutuhan diversifikasi sumber energi di dalam

4

http://www.depperin.go.id. Road Map Industri Pengolahan CPO 2009 [21 November 2011] 5

Loc.cit 6

(18)

4 negeri, permintaan bio energy di pasar internasional diperkirakan akan terus meningkat terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan ramah lingkungan di beberapa negara Eropa dan Jepang dengan menggunakan renewable energy.

Ditinjau dari sisi ketersediaan kelapa sawit berdasarkan perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), kelapa sawit di Indonesia umumnya digunakan sebagai bahan untuk diolah menjadi minyak sawit yang dirinci sebagai bahan makanan dan diolah non makanan. Pada tahun 2000-2007 rata-rata ketersediaan minyak sawit/minyak goreng sebagai bahan makanan mencapai 2.317.375 ton per tahun atau 97,39 persen dari total penggunaan, sedangkan diolah untuk non makanan rata-rata sebesar 25.000 ton per tahun atau 1,05 persen dari total penggunaan dan tercecer sebesar 36.875 ton per tahun atau 1,55 persen. Pengurangan persentase minyak yang tercecer perlu dilakukan pengelolaan yang lebih baik pada saat panen, pasca panen hingga proses pengolahan dan distribusi.

Tabel 2. Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2000-2007 (ton) Tahun Diolah untuk

Non Makanan Tercecer

Bahan Makanan

Total Penggunaan

2000 30.000 35.000 2.209.000 2.274.000

2001 36.000 42.000 2.635.000 2.713.000

2002 32.000 37.000 2.309.000 2.378.000

2003 36.000 41.000 2.597.000 2.675.000

2004 27.000 31.000 1.969.000 2.027.000

2005 13.000 15.000 920.000 948.000

2006 13.000 45.000 2.819.000 2.877.000

20071) 13.000 49.000 3.081.000 3.143.000

Rata-rata 25.000 36.875 2.317.375 2.379.375

Share (%) 1,05 1,55 97,39

Keterangan: 1) Angka sementara

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2010)

(19)

5

Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor CPO Indonesia Tahun 2007-2010

Tahun Volume (ribu ton) Nilai (juta US$)

2007 11.875,40 7.868,70

2008 14.290,70 12.375,30

2009 16.829,00 10.367,70

2010 16.291,90 13.469,00

Pert. (%/tahun) 11,63

Sumber: BPS (2011)

Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Kondisi geografis Indonesia yang cocok untuk ditanami tanaman kelapa sawit menjadikan Indonesia sebagai wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pada Tabel 4 dapat dilihat perkembangan luas areal kelapa sawit. Secara umum terjadi peningkatan luas areal penanaman walaupun pertambahan luas areal penanaman tidak sama setiap tahunnya. Laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit di Indonesia adalah 7,71 persen per tahun. Pada tahun 2010, luas areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 7.824.623 ha dimana status pengusahaan terluas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu 3.893.385 ha atau sebesar 49,76 persen, kemudian Perkebunan Rakyar (PR) 3.314.663 ha atau sebesar 42,36 persen, dan sisanya dimiliki oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) 616.575 ha atau sebesar 7,88 persen.

Tabel 4. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaannya Tahun 2005-2010 (dalam ha)

Tahun PR PBN PBS Nasional

2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817 2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914 2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 20091) 3.013.973 608.580 3.885.470 7.508.023 20102) 3.314.663 616.575 3.893.385 7.824.623

Pert. (%/tahun) 7,08 3,93 9,30 7,71

Keterangan: 1) Angka sementara 2) Angka estimasi

(20)

6 Seiring peningkatan luas areal kelapa sawit maka produksi kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit juga cenderung meningkat. Tabel 5 menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit Indonesia mencapai 12,02 persen per tahun. Tahun 2010, kontribusi produksi minyak sawit Nasional masing-masing yaitu perkebunan rakyat 39,17 persen, perkebunan besar negara 10,53 persen dan perkebunan besar swasta 50,29 persen.

Tabel 5. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaannya Tahun 2005-2010 (dalam ton)

Tahun PR PBN PBS Nasional

2005 4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615 2006 5.783.088 2.313.729 9.254.031 17.350.848 2007 6.358.389 2.117.035 9.189.301 17.664.725 2008 6.923.042 1.938.134 8.678.612 17.539.788 20091) 7.247.979 1.961.813 9.431.089 18.640.881 20102) 7.774.036 2.089.908 9.980.957 19.844.901

Pert. (%/tahun) 11,84 10,09 12,96 12,02

Keterangan: 1) Angka sementara 2) Angka estimasi

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2010) (Diolah)

Perkembangan produktivitas minyak kelapa sawit di Indonesia selama tahun 2003-2009 menunjukkan pola yang sama untuk ketiga status pengusahaan. Rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit Indonesia selama periode tahun 2003-2009 adalah sebesar 3,27 ton per hektar, dimana rata-rata produktivitas minyak sawit terbesar pada perkebunan besar swasta sebesar 3,59 ton per hektar disusul perkebunan besar negara sebesar 3,48 ton per hektar dan perkebunan rakyat sebesar 2,97 ton per hektar (Tabel 6).

(21)

7

Tabel 6. Perkembangan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaannya Tahun 2003-2009

Tahun

Produktivitas (ton/ ha) PR Pert.

(%) PBN

Pert.

(%) PBS

Pert.

(%) Nas.

Pert. (%)

2003 2,75 - 3,25 - 4,29 - 3,05 -

2004 2,49 -9,33 3,16 -2,83 3,03 -29,26 2,83 -6,98 2005 2,69 7,75 3,31 4,64 3,05 0,38 2,93 3,27 2006 3,13 16,51 3,62 9,32 3,74 22,87 3,50 19,57 2007 3,21 2,39 3,37 -6,94 3,86 3,11 3,63 3,89 2008 3,33 3,84 3,82 13,49 3,42 -11,25 3,42 -5,78 2009 3,16 -4,99 3,81 -0,24 3,72 8,56 3,56 4,03 Rata-rata

2003-2009 2,97 2,69 3,48 2,91 3,59 -0,93 3,27 3,00

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan (2010)

Sentra produksi minyak sawit di Indonesia terutama berasal dari tujuh provinsi yang memberikan kontribusi 82,21 persen terhadap total produksi minyak sawit Indonesia. Tabel 7 menunjukkan provinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan provinsi sentra produksi terbesar yang berkontribusi masing-masing sebesar 31,83 dan 16,36 persen, kemudian disusul berturut-turut provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat masing-masing sebesar 9,93, 8,00, 6,74, 4,69, dan 4,66 persen.

Tabel 7. Provinsi Sentra Produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2008-2009

Provinsi Produksi (ton) Share (%)

2008 20091) Rata-rata

Riau 5.764.203 5.751.461 5.757.832 31,83 Sumatera Utara 2.738.279 3.179.507 2.958.893 16,36

Sumatera Selatan 1.753.212 1.841.242 1.797.227 9,93 Kalimantan Tengah 1.449.294 1.445.992 1.447.643 8,00

Jambi 1.203.430 1.233.538 1.218.484 6,74

Kalimantan Barat 845.409 851.603 848.506 4,69

Sumatera Barat 794.167 893.640 843.904 4,66

Lainnya 2.991.794 3.443.898 3.217.846 17,79

Nasional 17.539.788 18.640.881 18.090.335

Keterangan: 1) Angka sementara

(22)

8 Tingginya produksi kelapa sawit Indonesia tentunya ditopang oleh industri pengolahannya. Industri pengolahan kelapa sawit hampir tersebar di seluruh Indonesia. Pada umumnya, industri CPO berada di wilayah perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. Pabrik kelapa sawit (PKS) merupakan salah satu rantai pasok produksi di industri kelapa sawit yang berfungsi sebagai pengolahan tandan buah segar (TBS) sawit menjadi CPO. Total jumlah PKS yang ada di Indonesia pada tahun 2009 adalah berjumlah 608 unit dengan total kapasitas terpasang mencapai 34.280 ton TBS/jam yang tersebar di 22 Propinsi. Secara umum, Sebaran PKS paling banyak berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sebaran PKS yang ada paling banyak terdapat di propinsi Riau 140 unit dengan kapasitas 6.660 ton TBS/jam, kemudian Sumatera Utara 92 unit dengan kapasitas 3.815 ton TBS/jam dan Kalimantan Barat 65 unit dengan kapasitas 5.475 ton TBS/jam (untuk lebih jelasnya disajikan pada Lampiran 1).

CPO yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit kemudian diolah menjadi produk turunan. Di Indonesia terdapat industri pengolahan minyak sawit menjadi produk turunan yang bernilai tinggi. Data dari Infosawit menunjukkan bahwa pada tahun 2009, jumlah pabrik minyak goreng berjumlah 94 unit yang tersebar di seluruh Indonesia, kemudian terdapat sembilan produsen oleokimia dasar yang memproduksi fatty acid, fatty alcohol dan glycerine7. Kapasitas produksi fatty acid tersebut mencapai 986.000 ton/tahun, fatty alcohol mencapai 490.000 ton/tahun dan glycerine mencapai 141.700 ton/tahun. Selain itu, CPO juga diolah menjadi bahan bakar atau biodiesel. Jumlah produsen biodiesel mencapai 20 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 3,07 juta ton/tahun.

Semakin meningkatnya peranan CPO, memacu para produsen untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi tidaklah dapat dilakukan dengan mudah karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tersebut. Unit Adolina yang di bawahi oleh PT. Perkebunan Nusantara IV merupakan salah satu perkebunan kelapa sawit milik negara. Unit Adolina terletak di Sumatera Utara yang merupakan salah satu wilayah sentra produksi minyak kelapa sawit di Indonesia. Konsentrasi bisnis Unit Adolina adalah memproduksi CPO. Luas areal HGU Unit Kebun Adolina seluas 8,965. 69 ha, dibagi menjadi

7

(23)

9 tiga bagian yaitu kebun kelapa sawit seluas 8500 ha, kebun benih kakao seluas 150 ha dan lain lain 315,69 ha (emplasment, pondok, pembibitan, pabrik kelapa sawit).

1.2. Perumusan Masalah

Unit Adolina merupakan salah satu unit usaha kelapa sawit yang dimiliki oleh PT. Perkebunan Nusantara IV. Unit Adolina melakukan dua jenis kegiatan operasional utama, yaitu perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit Adolina memiliki kapasitas produksi terpasang 30 ton TBS/jam, dengan rata-rata 22 jam kerja per hari dan 30 hari kerja per bulan. Kapasitas tersebut merupakan kemampuan maksimal pabrik dalam menghasilkan minyak sawit. Dengan demikian, pabrik kelapa sawit Adolina mampu mengolah 19.800 ton TBS per bulan atau sekitar 237.600 ton TBS per tahun.

Semakin meningkatnya peranan CPO seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mendorong peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama. Peningkatan jumlah perusahaan tersebut membuat tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. Unit Adolina harus mampu bersaing dengan perusahan-perusahaan tersebut terutama dalam hal kualitas dan kontinyuitas produksi CPO. Unit Adolina perlu mengalokasikan faktor-faktor produksinya secara seksama, agar dapat menghasilkan manfaat yang optimal, sehingga kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik.

Tabel 8. Luas Areal, Pencapaian Produksi dan Produktivitas CPO yang Dihasilkan Unit Adolina Tahun 2006-2010

Tahun Luas Areal TM (Ha)

Produksi TBS (Kg)

Produksi CPO (Kg)

Produktivitas CPO (Ton/ Ha)

2006 4.671 107.524.025 25.678.053 5,50

2007 5.477 109.335.060 26.171.703 4,78

2008 5.620 114.456.600 27.418.233 4,89

2009 5.056 126.436.320 30.369.355 6,00

2010 5.095 133.920.200 32.364.404 6,35

2011 5.980 141.372.483 34.124.669 5,71

Sumber: PTPN IV Unit Adolina (2011) (Diolah)

(24)

10 menunjukkan bahwa dengan semakin bertambahnya luas areal penanaman kelapa sawit akan meningkatkan produksi TBS. Rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh kebun Adolina tahun 2006-2011 mencapai 5,53 ton minyak sawit per hektar per tahun. Jika dibandingkan dengan Tabel 6, rata-rata produktivitas minyak sawit untuk tahun 2003-2009 Perkebunan Besar Negara (PBN) hanya 3,48 ton per hektar per tahun dan produktivitas minyak sawit Nasional 3,27 ton per hektar per tahun, sedangkan Adolina mampu mencapai rata-rata produktivitas 5,53 ton per hektar per tahun untuk tahun 2006-2011. Produktivitas yang dicapai oleh Unit Adolina ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan produktivitas Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun secara Nasioanal.

Dilihat pada Tabel 9, pencapaian produksi pada tahun 2011 sebesar 141.372.483 kg TBS. Hal ini menunjukkan bahwa produksi TBS kebun Adolina memenuhi 74 persen bahan baku TBS dari total TBS yang diolah, sedangkan sisanya 26 persen dipenuhi dengan pembelian dari pihak ketiga. Secara umum produksi CPO pabrik kelapa sawit Adolina meningkat setiap tahunnya. Peningkatan produksi tersebut dipengaruhi oleh peningkatan jumlah masukan TBS yang diolah sebagai faktor produksi utama. Namun total TBS yang diolah belum mencapai kapasitas olah pabrik yaitu 237.600.000 kg TBS per tahun. Hingga tahun 2011, bahan baku TBS yang diolah pada pabrik kelapa sawit Adolina sudah mencapai 79,7 persen dari kapasitas olah maksimal mesin.

Tabel 9. Jumlah TBS yang Diolah dan Produksi CPO yang Dihasilkan Pabrik Kelapa Sawit Adolina Tahun 2008-2011 (dalam kg)

Tahun TBS Adolina TBS Pembelian Total TBS

Diolah Produksi CPO 2008 114.456.600 37.499.625 151.956.225 35.339.944 2009 126.436.320 47.465.410 173.921.730 40.174.683 2010 133.920.200 49.169.860 183.090.060 42.672.109 2011 141.372.483 48.013.038 189.385.521 43.735.859

Sumber: PTPN IV Unit Adolina (2011)

(25)

11 demikian, faktor produksi teknologi/jam mesin dan tenaga kerja juga belum maksimal digunakan akibat kurangnya pasokan TBS. Pabrik kelapa sawit Adolina telah melakukan berbagai upaya yang sangat erat hubungannya dengan pemanfaatan faktor-faktor produksinya untuk meningkatkan produksi CPO. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan pembeliaan TBS dari pihak ketiga. Pabrik kelapa sawit Adolina merupakan salah satu unit bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berorientasi terhadap profit semaksimal mungkin. Dengan demikian, pabrik kelapa sawit Adolina harus mampu mempertahankan produksinya bahkan harus meningkatkan produksinya baik kualitas maupun kuantitas. Untuk dapat berproduksi secara kontinyu, pabrik kelapa sawit Adolina harus mampu memanfaatkan faktor-faktor produksinya secara optimal sehingga diharapkan perusahaan mampu berproduksi secara efisien dan mempunyai daya saing tinggi. Daya saing tersebut meliputi daya saing untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik, mendapatkan sumberdaya manusia, penggunaan teknologi, dan persaingan untuk mendapatkan konsumen. Selain faktor produksi jumlah TBS sebagai bahan masukan utama, masih terdapat faktor-faktor produksi lainnya yang dapat mempengaruhi produksi CPO. Oleh karena itu, perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi CPO agar kapasitas mesin pabrik maksimal.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor produksi apa saja yang mempengaruhi produksi CPO di pabrik kelapa sawit Adolina serta bagaimana elastisitas faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi CPO di pabrik kelapa sawit Adolina.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor produksi (input) yang berpengaruh terhadap

produksi CPO di pabrik kelapa sawit Adolina.

(26)

12

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi pihak-pihak terkait, seperti:

1. Perusahaan, sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam usahanya untuk dapat meningkatkan produksi CPO.

2. Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan industri kelapa sawit serta sebagai perbandingan untuk peneltian selanjutnya.

3. Penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan penulis mengenai industri kelapa sawit di Indonesia serta dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisa setiap masalah sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh selama di perguruan tinggi.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan produksi Crude Palm Oil (CPO) yang diusahakan oleh PT Perkebunan Nusantara IV

Unit Adolina.

(27)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum CPO (Crude Palm Oil ) di Indonesia

Kelapa sawit merupakan komoditas yang berkembang pesat di Indonesia. Hal ini karena minyak sawit merupakan salah satu kebutuhan pokok sebagai bahan pembuatan minyak goreng. Produktivitas kelapa sawit pada perusahaan kelapa sawit menentukan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan. Novembrianto (2010) menganalisis proses pengelolaan perkebunan kelapa sawit mulai dari tahap persiapan lahan, pembukaan lahan, teknik budidaya, pemanenan, dan pengolahan tandan buah segar (TBS), membandingkan tingkat produktivitas dan persentase tanaman terhambat antar kebun, umur tanaman, dan jenis tanah, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase tanaman terhambat di kebun inti PT. Citranusa Intisawit, Indofood Plantation, Provinsi Kalimantan Barat.

Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pengelolaan kebun di PT CNIS dari proses pembibitan sampai pengolahan tandan buah segar (TBS) relatif baik. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan antara lain kurangnya koordinasi manajer kebun dengan asisten kebun di lapang, kurangnya pengawasan asisten kebun terhadap pekerja lapang, dan rendahnya etos kerja dari sebagian besar pekerja kebun. Hasil analisis produktivitas menunjukkan bahwa produktivitas antar blok, antar divisi, dan antar umur tanaman pada kebun plasma II dan analisis menurut umur tanaman di kebun inti berbeda nyata. Hasil analisis persentase tanaman terhambat menunjukkan bahwa persentase tanaman terhambat antar divisi dan antar umur tanaman pada kebun inti berbeda nyata. Persentase tanaman terhambat pada tanah mineral (Podsolik Kromik dan Podsolik Haplik) lebih besar dari pada tanah gambut (Gambut Saprik dangkal). Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya persentase tanaman terhambat adalah umur tanaman, jenis tanah, divisi, C-organik, N-organik, K-dd.

(28)

14 pemanenan tepat waktu, proses pengumpulan dan pengangkutan, derajat kematangan buah dan proses pengolahan di pabrik. Dalam pengamatannya, TBS yang masuk ke dalam pabrik jika belum mencukupi untuk diolah maka jadwal pengolahan ditunda (stagnasi) untuk satu hari. Standar sortasi sering diabaikan sehingga TBS yang diolah merupakan buah inap untuk memenuhi proses pengolahan, hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan mutu TBS yang dipanen sehingga mutu CPO yang diperoleh menjadi rendah.

Hal yang sama juga disampaikan pada hasil analisa Panjaitan (2011) dengan melakukan perbandingan Analisa kadar Asam Lemak Bebas (ALB) dari Tandan Buah Segar (TBS) siap olah dengan buah yang diinapkan. Kesimpulan pada hasil analisa yang dilakukan yaitu Peningkatan kadar asam lemak bebas dalam minyak sawit mentah dapat terjadi karena penimbunan buah yang terlalu lama pada loading ramp. Semakin tinggi kadar Asam Lemak Bebas (ALB) dalam CPO maka akan semakin buruk kualitas minyak sawit mentah tersebut, sebaliknya semakin rendah kadar asam lemak bebas pada CPO maka akan semakin bagus kualitasnya. Asam Lemak Bebas (ALB) tidak diinginkan dalam CPO karena dapat mempercepat minyak tersebut berbau tengik selama penyimpanan.

(29)

15 Hasil penelitian menunjukkan produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar memiliki hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Jika produksi CPO Indonesia meningkat maka penawaran ekspor CPO Indonesia akan meningkat. Apabila harga ekspor CPO Indonesia meningkat, maka penawaran ekspor CPO akan meningkat. Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik.

Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domestik Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak.

(30)

16 kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda.

Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar. Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik.

(31)

17 peningkatan kesejahteraan bagi negara Indonesia sebagai negara eksportir yang selama ini mengalami penurunan kesejahteraan akibat adanya penetapan tarif impor oleh ke empat negara importir CPO.

Variabel-variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap aliran volume ekspor CPO Indonesia, adalah GDP negara Indonesia (GDPi), dan GDP ke empat Negara mitra dagang utama (GDPj). Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata satu persen adalah nilai tukar Indonesia dan empat negara mitra dagang utama (ER). Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah jarak antara Indonesia dan keempat negara mitra dagang utama (Dij), dan harga CPO dunia (P). Hasil pengukuran potensi perdagangan berdasarkan rasio perdagangan P/A menyimpulkan bahwa negara India dan Malaysia adalah negara-negara dari ke empat mitra dagang utama mempunyai potensi tinggi terhadap penyerapan CPO Indonesia dibandingkan negara Belanda dan Singapura.

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi

Penelitian terdahulu menunjukan bahwa produksi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dijabarkan menjadi beberapa variabel yang diduga mempunyai pengaruh terhadap produksi dengan menggunakan uji tertentu. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi bisa menjadi acuan untuk pengembangan usaha melalui peningkatan produksi yang diperoleh perusahaan. Faktor-faktor yang berpengaruh berbeda-beda tergantung jenis dan lokasi usahanya, termasuk variabel-variabel yang digunakan untuk menjabarkan faktor-faktor tersebut.

(32)

18 variabel tidak signifikan mempengaruhi produksi gula pada pabrik gula tersebut yaitu variabel bahan pembantu.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya Wahyuni tidak menggunakan variabel rendemen sebagai faktor produksi melainkan menambahkan faktor jam mesin sebagai faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Setelah dianalisis lebih lanjut, ternyata hanya ada lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula, yaitu tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Sedangkan bahan pembantu tidak signifikan mempengaruhi produksi gula.

Penelitian Widarwati (2008) di PG Pagottan Madiun menggunakan tujuh faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari hasil lebih lanjut, tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman digabung menjadi satu faktor produksi sehingga diperoleh faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap produksi gula di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor produksi bahan pembantu dan lama giling tidak berpengaruh terhadap produksi gula di pabrik tersebut.

Herawati (2008) menganalisa tentang faktor produksi modal, bahan baku, tenaga kerja dan mesin terhadap produksi glycerine pada PT Flora Sawita Chemindo Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama faktor produksi modal, bahan baku, tenaga kerja dan mesin berpengaruh signifikan terhadap produksi. Sedangkan secara parsial faktor produksi modal, bahan baku, tenaga kerja dan mesin juga berpengaruh signifikan terhadap produksi glycerine dengan variabel dominan yang mempengaruhi adalah bahan baku.

(33)

19

2.3. Perbandingan Metode Analisis yang Digunakan

Hubungan antara faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi dapat dimodelkan ke dalam suatu fungsi produksi. Fungsi produksi yang banyak digunakan pada penelitian terdahulu adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (Nurrofiq, 2005; Wahyuni, 2007; Widarwati, 2008; Herawati, 2008). Selain itu, untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produksi, peneliti terdahulu menggunakan metode yang sama. Metode analisis yang digunakan untuk menguji signifikansi antara faktor-faktor yang ada hubungannya dengan tingkat produksi adalah Metode Ordinary Least Square (OLS). Metode Ordinary Least Square (OLS) digunakan untuk model regresi dengan bentuk hubungan linier yakni parameter pada persamaan harus linier sedangkan variabel bebas tidak ditentukan. Metode ini merupakan penduga tak bias linier terbaik (BLUE = Best Linier Unbiased Estimation).

Mulianti (2008) menganalisa efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi kayu olahan sengon (solid laminating dan finger joint stick laminating) di CV. Cipta Mandiri, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Model yang digunakan adalah model fungsi produksi linear berganda dan Cobb-Douglas. Kedua model akan dipilih satu model terbaik berdasarkan asumsi OLS (Ordinary Least Square) dan pengujian statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model terbaik untuk menduga fungsi produksi kedua produk adalah model Cobb-Douglas dilihat dari nilai koefisien determinasi R2 (lebih tinggi) dan MSE (mendekati nol). Untuk produksi solid laminating nilai R2 dan MSE pada model linier berganda masing-masing 94,4 persen dan 7,4 sedangkan pada model Cobb-Douglas nilai R2 dan MSE nya masing-masing 94,9 persen dan 0,00072. Untuk produksi finger joint stick laminating persen nilai R2 dan MSE pada modellinier berganda masing-masing 95,3 persen dan 1,73 sedangkan pada model Cobb-Douglas nilai R2 dan MSE nya masing-masing 95,3 persen dan 0,00141.

(34)

20 Khusus untuk asumsi multikolinieritas, peneliti terdahulu Widarwati (2008) dalam analisa faktor yang diduga mempengaruhi produksi gula awalnya tujuh variabel yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dalam pengolahan datanya, asumsi multikolinieritas tidak dapat dipenuhi dimana variabel lama giling memiliki angka VIF >10 yaitu 10,0. Untuk mengatasinya, Widarwati menghilangkan variabel lama giling dan penggabungan faktor produksi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman menjadi faktor produksi tenaga kerja total.

Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh Widarwati, peneliti terdahulu yang menggunakan metode yang berbeda dalam penanganan asumsi multikolinieritas seperti Nurfitriani (2011), Putra (2007), Endartrianti (2011) menggunakan analisis komponen utama/ Principal Component Analisys (PCA) untuk mengatasi asumsi multikolinieritas.

Nurfitriani (2011) menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam perkembangan jalan tol di Indonesia. Di dalam penelitiannya terdapat enam faktor yang diduga mempengaruhi perkembangan jalan tol di Indonesia antara lain: PDB/kapita, tenaga kerja, dana pemerintah, investasi swasta, jumlah kendaraan, dan dummy kebijakan. Dari hasil analisis diketahui bahwa PDB/kapita, tenaga kerja, dana pemerintah dan jumlah kendaraan terkena asumsi multikolinieritas. Untuk itu model tersebut tidak dapat dilanjutkan. Untuk mengatasinya, Nurfitriani (2011) menggunakan regresi komponen utama untuk mengatasinya sehingga model akhir yang didapat sudah terbebas dari asumsi multikolinieritas.

(35)

21 Untuk mengatasi masalah multikolinieritas pada kedua model, Putra (2007) menggunakan regresi komponen utama sehingga didapat variabel bebas yang tidak berkorelasi satu sama lain tanpa mengeluarkan variabel yang ada dari model.

Selanjutnya Endartrianti (2011) menganalisis produktivitas faktor-faktor produksi, menganalisis Total Factor Productivity (TFP), serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi output industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP (Total Factor Productivity) diantaranya biaya sewa modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tenaga kerja dan bahan baku memiliki nilai VIF >10. Kemudian pada analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi output industri pengolahan dan pengawetan daging yaitu biaya sewa modal, tenaga kerja, bahan baku, energi serta TFP. Pada hasil pengujian asumsi klasik, tenaga kerja dan bahan baku tidak lolos asumsi multikolinieritas. Endartrianti (2011) juga menggunakan regresi komponen utama untuk mengatasi asumsi multikolinieritas sehingga didapat model yang terbebas dari asumsi tersebut.

Menurut pendapat peneliti sendiri, penggunaan PCA dalam penanganan asumsi multikolonieritas dirasa lebih baik dibandingkan dengan mengeluarkan variabel yang terkena asumsi tersebut. Hal ini dikarenakan dalam pendugaan model, variabel yang digunakan jika menurut teori dan kondisi dilapangan memang penting untuk dimasukkan ke dalam model, maka tidak seharusnya variabel tersebut dikeluarkan dari model akibat pelanggran asumsi.

(36)

22

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Pada bagian ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian antara lain mengenai konsep dan fungsi produksi dan model fungsi produksi.

3.1.1. Konsep dan Fungsi Produksi

Dalam proses produksi pertanian, seorang petani modern menggunakan factor produksi (input) seperti tanah, tenaga kerja, mesin dan pupuk. Faktor produksi tersebut digunakan selama musim tanam, dan pada musim panen petani tersebut mengambil hasil (output) tanamnya. Petani selalu berusaha keras untuk melakukan produksi secara efisien atau dengan biaya yang paling rendah, dengan demikian petani selalu berusaha untuk memproduksi tingkat output maksimum dengan menggunakan suatu dosis input tertentu, dan menghindarkan pemborosan sekecil mungkin, selanjutnya petani tersebut dianggap memaksimumkan laba ekonomis.

Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan di antara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut. Dalam analisis tersebut dimisalkan faktor-faktor produksi lainnya adalah tetap jumlahnya, yaitu modal dan tanah jumlahnya dianggap tidak mengalami perubahan. Satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya adalah tenaga kerja (Sukirno, 1985). Produksi adalah kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Sumber daya yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa disebut sebagai faktor-faktor produksi. Umumnya faktor – faktor produksi terdiri dari alam atau lahan, tenaga kerja, dan modal. (Lipsey et al, 1995). Lebih lanjut hubungan antara input (faktor-faktor produksi) dengan output (barang dan jasa), para ekonom menggambarkan dengan menggunakan fungsi yang disebut fungsi produksi (Nicholson, 2002).

(37)

23 (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut :

Y = f (X1, X2, X3, ..., Xm) Dimana :

Y = jumlah produksi yang dihasilkan X1, X2, X3, ... Xm = variabel yang mempengaruhi produksi

Keputusan kombinasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target produksi ditentukan oleh kebijaksanaan produsen. Untuk menjelaskan kombinasi-kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan output, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih fungsi produksi (Soekartawi, 2002), yaitu : 1. Fungsi produksi harus dapat menggambarkan keadaan usahatani yang

sebenarnya terjadi.

2. Fungsi produksi dapat dengan mudah diartikan khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

3. Fungsi produksi harus mudah diukur atau dihitung secara statistik.

(38)

24 Untuk melihat perubahan dari produk yang dihasilkan yang disebabkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) adalah ratio tambahan relatif produk yang dihasilkan dengan perubahan dari produk yang dihasilkan sebagai akibat persentase perubahan faktor produksi yang digunakan. Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

dimana :

Ep = elastisitas produksi

ΔY = perubahan hasil produksi

ΔXi = perubahan faktor produksi ke-i Y = hasil produksi

Xi = jumlah faktor produksi ke-i

Berdasarkan nilai elastisitas produksi, fungsi produksi dibagi atas tiga daerah yaitu daerah dengan elastisitas produksi lebih dari satu (daerah I), antara nol dan satu (daerah II), dan lebih kecil dari nol (daerah III), dapat dilihat pada Gambar 1.

(39)

25

Keterangan:

[image:39.595.114.466.94.470.2]

PM = Produk Marjinal (Marginal Physical Product) PR = Produk Rata-Rata (Average Physical Product) PT = Produk Total (Total Physical Product)

Gambar 1. Daerah Produksi dan Elastisitas Produksi

Sumber: Soekartawi, 2003

Daerah produksi II adalah daerah yang terletak antara X2 dan X3, dengan elastisitas produksi antara nol dan satu artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar antara nol dan satu persen. Pada suatu tingkat tertentu dari penggunaan input akan memberikan keuntungan maksimum yaitu pada saat Nilai Produk Marjinal (Value Marginal Product atau VMP) untuk faktor produksi sama dengan biaya korbanan marjinal (Marginal Factor Cost atau MFC), jika harga faktor produksi (P) tetap maka keuntungan maksimum dicapai pada saat VMP = MFC = P. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah II merupakan daerah rasional (rational region).

(40)

26 menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga daerah III ini disebut daerah irasional (irrational region).

3.1.2. Konsep Skala usaha (ReturntoScale)

Konsep skala usaha (return to scale) menjelaskan suatu keadaan dimana output meningkat sebagai respon adanya kenaikan yang proporsional dari seluruh input. Konsep ini memiliki tiga kemungkinan keadaan. Pertama, sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukan skala hasil konstan (constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukan skala hasil menurun (decreasing returns to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing returns to scale) (Nicholson, 2002).

3.1.3. Model Fungsi Produksi

Bentuk fungsi produksi yang digunakan dalam menduga variabel-variabel yang mempengaruhinya ada beberapa macam, tetapi yang umum dan sering digunakan adalah model fungsi linier, model fungsi kuadaratik dan model fungsi Cobb-Douglas. untuk mengamati pengaruh beberapa faktor produksi tertentu terhadap output secara keseluruhan dalam keadaan sebenarnya adalah tidak mungkin. Oleh karena itu, hubungan antara faktor produksi dengan output perlu disederhanakan dalam suatu model. Menurut Soekartawi (2002), pemilihan model fungsi produksi hendaknya memenuhi syarat berikut: (1) Dapat dipertanggungjawabkan; (2) Mempunyai dasar yang logis secara fisik maupun ekonomis; (3) Mudah dianalisis dan; (4) Mempunyai implikasi ekonomi.

(41)

27 Secara sistematis bentuk umum fungsi produksi Coob-Douglas dengan output sebesar Y dari input terdiri dari X1,X2, X3, .... , Xn dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y = b

0

X

1 b1

X

2 b2

X

3 b3

… X

i bi

e

u

dimana:

Y = variabel yang dijelaskan X = variabel yang menjelaskan b0,b1

= besaran yang akan diduga u = unsur sisa (galat)

e = logaritma natural (2,718)

Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas harus memenuhi beberapa asumsi yaitu nilai a > 0 dan nilai koefisien regresi harus lebih besar dari nol (b1 > 0, b2 > 0, dan seterusnya). Pemilihan fungsi produksi ini didasarkan pada pertimbangan adanya kelebihan dari fungsi produksi Cobb-Douglas, antara lain : 1. Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan

dengan fungsi lain, karena fungsi Cobb-Douglas dapat diubah ke dalam bentuk linier dengan cara melogaritmakan fungsi produksi tersebut menjadi:

lnY = ln b

0 + b1 ln X1 + b2 ln X2 + …+ bi ln Xi + u Dimana :

Y = peubah yang dijelaskan X = peubah yang menjelaskan a = koefisien intersep

bi = parameter peubah ke-i

u = kesalahan pengganggu (error) i = 1,2,3, ... , n

2. Koefisien pangkat dari masing-masing fungi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output. Hal ini ditunjukkan oleh turunan pertama fungsi Cobb-Douglas, yaitu:

(42)

28

3. Jumlah koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas dapat menunjukka return to scale. Return to scale perlu diketahui untuk menentukan keadaan dari suatu produksi, apakah mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale.

a. Increasing return to scale, bila (b1 + b2 + b3 + … + bn) > 1. Dalam keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.

b. Constant return to scale, bila (b1 + b2 + b3 + … + bn) = 1. Dalam keadaan ini dapat diartikan bahwa penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi.

c. Decreasing return to scale, bila (b1 + b2 + b3 + … + bn) < 1. Pada kondisi ini dapat dinyatakan bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi.

(43)

29 Namun, fungsi produksi Cobb-Douglas mempunyai kelemahan. Menurut Soekartawi (2003) kelemahannya adalah:

1. Terjadi spesifikasi variabel yang keliru yang akan menghasilkan elastisitas produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau nilainya terlalu kecil. Spesifikasi yang keliru juga sekaligus mendorong terjadinya multikolinieritas pada variabel bebas yang dipakai.

2. Terjadi kesalahan pengukuran variabel yang akan menyebabkan besaran elastisitas menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah.

3. Terjadi multikolinieritas yaitu suatu kondisi dimana nilai-nilai pengamatan dari

X1……Xn mempunyai hubungan yang kuat sehingga variabel X tertentu tidak begitu mempengaruhi Y tetapi justru dipengaruhi oleh variabel X lainnya.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kerangka pemikiran operasional ini akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi CPO yang mengakibatkan produkivitas PKS Adolina belum optimal. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh yaitu jumlah TBS, tenaga kerja tetap, jam mesin, penggunaan air, penggunaan uap serta suplai listrik. Sebelum dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi CPO tersebut maka akan dilakukan pendugaan model fungsi produksi terlebih dahulu.

(44)

30

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Crude Palm Oil (CPO) Unit Adolina

Unit Adolina merupakan salah satu PKS yang dimiliki oleh PT perkebunan Nusantara IV

Identifikasi faktor-faktor produksi CPO: 1. Jumlah TBS

2. Tenaga kerja tetap 3. Jam kerja mesin 4. Penggunaan air 5. Penggunaan uap 6. Suplai listrik

Analisis elastisitas faktor produksi yang mempengaruhi produksi CPO

Rekomendasi faktor produksi untuk peningkatan produksi CPO Kapasitas olah mesin belum maksimal,

[image:44.595.97.464.83.697.2]
(45)

31

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di pabrik pengolahan kelapa sawit Adolina. Unit usaha Adolina merupakan pintu gerbang PT. Nusantara IV yang berada di Kabupaten Deli Serdang Bedagai tepatnya di pinggir jalan raya Medan-Pematang Siantar dengan jarak 38 km dari Medan. Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.

4.2. Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen yang terdapat di Pabrik Adolina dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Data sekunder yang merupakan data deret waktu (time series) terdiri dari data output dan input sejak tahun 2008 sampai tahun 2011. Data primer diperoleh dari wawancara terhadap administratur, kepala bagian, karyawan pabrik serta pengamatan langsung untuk mendapatkan informasi tambahan.

4.3. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produksi CPO. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi CPO. Analisis data meliputi analisis fungsi produksi yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa kalkulator, Microsoft Exel 2007, program komputer Minitab 14, dan program Eviews 5.1.

4.3.1. Analisis Fungsi Produksi

(46)

32 mungkin. Oleh karena itu, hubungan antara faktor produksi dengan output perlu disederhanakan kedalam bentuk suatu model.

Berbagai macam fungsi produksi telah dikenal dan dipergunakan oleh peneliti.Pada penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan untuk menjelaskan parameter Y dan X adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Dengan menggunakan fungsi produksi produksi Cobb-Douglas secara langsung dapat diketahui keadaan return to scale produksi tersebut, sehingga fungsi produksi lebih mudah untuk diduga. Sedangkan koefisien faktor-faktor produksi menunjukan elastisitas dari faktor produksi tersebut terhadap tingkat produksi yang dihasilkan.

Analisis produksi dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu faktor-faktor produksi yang digunakan dalam produksi CPO. Setelah faktor-faktor produksi tersebut ditetapkan, selanjutnya disusun suatu model fungsi produksi untuk menduga hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam menganalisis produksi CPO adalah jumlah tandan buah segar (TBS), tenaga kerja tetap, jam kerja mesin, bahan pembantu, suplai listrik.

Model fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan dalam penelitian ini secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Untuk memudahkan dalam menganalisis serta menduga koefisien dari fungsi produksi tersebut, maka model dapat diubah kedalam bentuk linier logaritma.Sehingga model fungsi produksi CPO dapat ditulis sebagai berikut: ln Y = ln a + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 + b4 ln X4 + b5 ln X5 + b6ln X6 + u Dimana:

Y = hasil produksi CPO (ton) a = koefisien intersept

bi = parameter peubah ke-i, dimana i=1,2,3,…,6 X1 = jumlah TBS (ton)

(47)

33 X5 = penggunaan uap (kg)

X6 = Suplai listrik (kwh) U = unsur galat

Dalam menyelesaikan atau menduga koefisien dari fungsi produksi tersebut maka salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode kuadrat terkecil (OLS = Ordinary Least Square). Sebelum dilakukan analisis lanjutan, maka harus dilakukan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas terbaik, yang sesuai untuk data produksi yang tersedia. Selanjutnya persamaan regresi tersebut dianalisis untuk memperoleh nilai t-hitung, P-value, F-hitung dan R2. Pengujian-pengujian yang dilakukan dalam hal ini adalah Pengujian-pengujian model penduga dan pengujian terhadap parameter regresi.

4.3.2 Pengujian Hipotesis

1. Pengujian asumsi OLS (Ordinary Least Square)

Pemilihan model tersebut antara lain didasarkan pada asumsi OLS. Asumsi pertama dari model regresi adalah suatu model dikatakan baik jika memenuhi asumsi normalitas. Normalitas menunjukkan bahwa residu atau sisa diasumsikan mengikuti distribusi normal. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah residual dalam model menyebar normal. Untuk mengetahuinya dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov (KS) dengan menggunakan α sebesar 0,05. Jika nilai KS < KS1-α atau

jika nilai statistik Kolmogorov-Smirnov dikonversi ke dalam p-value maka daerah penolakannya adalah p-value hitung > p-value1-α.

Satu asumsi penting dari model regresi linier adalah bahwa gangguan (disturbunsi) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastik, yaitu semua gangguan tersebut mempunyai varian yang tetap (Setiawan, Kusrini DE.2010). Pelanggaran dari asumsi ini adalah heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan White Heteroskedasticity Test.

(48)

34 untuk menguji gejala autokorelasi tersebut adalah dengan menggunakan Uji Durbin-Watson yang dapat diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program Minitab 14. Nilai statistik hitung Durbin Watson akan dibandingkan dengan batas atas dan batas bawah. Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut:

• Jika d < dlow maka terdapat autokorelasi positif

• Jika d > (4- dlow) maka terdapat autokorelasi negatif

• Jika dlow < d < dup atau (4-dup) < d < (4-dlow) maka tidak dapat disimpulkan

• Jika dup < d < (4-dup) berarti tidak terdapat autokorelasi

Asumsi OLS lain yang harus terpenuhi adalah bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas di dalam fungsi. Multikolinier variabel independent adalah kondisi dimana terdapat hubungan linier diantara variabel independent. Ada beragam penyebab multikolinier, diantaranya disebabkan adanya kecendrungan variabel-variabel yang bergerak secara bersamaan. Adanya multikolinier menyebabkan ragam variabel menjadi sangat besar, sehingga koefisien regresi dugaan tidak stabil dan berimplikasi pada besar dan arah koefisien variabel menjadi tidak valid untuk diinterpretasi. Adanya multikolinier dapat dilihat pada nilah Variance Inflation Factor (VIF) >10. Jika terjadi masalah multikolinier maka harus diperbaiki terlebih dahulu dengan menambah observasi, mengeluarkan variabel independent yang berkolerasi kuat. Selain itu, multikolinieritas bisa juga diatasi dengan menggunakan analisis komponen utama/ Principal Component Analisys (PCA).

Analisis regresi komponen utama merupakan suatu analisis kombinasi antara analisis regresi dengan analisis komponen utama. Analisis regresi komponen utama ditetapkan bila dalam pembentukan model pendugaan peubah bebas yang digunakan banyak dan terdapat hubungan yang erat antar peubah bebasnya. Untuk teknis penghitungannya dapat dilihat pada Lampiran 9.

(49)

komponen-35 komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi.

Tahapan prosedur penyelesaian PCA yang diringkas dari Nurfitriani, 2011; Putra, 2007; Endartrianti, 2011 yaitu: tahap awal yang dilakukan pada regresi komponen utama yaitu jika matriks variabel asal dilambangkan X(nxm), satuan variabel asal tidak sama, maka variabel asal perlu ditransformasikan menjad

Gambar

Tabel 7. Provinsi Sentra Produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2008-2009
Gambar 1. Daerah Produksi dan Elastisitas Produksi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang
Tabel 13. Pembagian Kerja pada Pabrik Kelapa Sawit Adolina Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Pada analisis korelasi antara variabel bebas dengan variabel tak bebas, korelasi yang sangat kuat secara positif terjadi antara hasil produksi kelapa sawit (Y) dengan jumlah

Koefisien determinasi menunjukkan bahwa 68% variabel bebas (Curah Hujan, Pupuk, dan Usia Tanaman) mempengaruhi hasil produksi kelapa sawit , sedangkan 32 % lagi

Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) Minyak Kelapa Sawit (CPO) di PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha

Kemudian dalam penelitian ini digunakan variabel harga salah satu barang substitusi dari CPO yaitu harga kopra dalam negeri dan harga kopra dunia sebagai faktor yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh faktor luas areal, tenaga kerja, dan harga CPO terhadap produksi kelapa sawit pada perkebunan rakyat

Dari perhitungan yang dihasilkan dengan menggunakan teori pengendalian persediaan dalam penelitian ini diperoleh tingkat optimal produksi CPO setiap putaran produksi

kelapa sawit adalah bahan bakar minyak, dimana dengan ditemukannya teknologi ini otomatis kebutuhan CPO sebagai produk turunan pertama kelapa sawit meningkat tajam yang pada

minyak, yakni minyak kelapa sawit mentah ( Crude palm Oil /CPO) yang diekstraksi dari mesokrap buah kelapa sawit dan minyak inti sawit ( Palm Kernel Oil