• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Petugas Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat PMO) dalam Pengobatan TB Paru dengan Strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Petugas Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat PMO) dalam Pengobatan TB Paru dengan Strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Judul Penelitian : Peran Petugas Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Dalam Pengobatan TB Paru Dengan Strategi Dots Di

Puskesmas di Kota Langsa Peneliti : Deddi Saputra

NIM : 141121043

HP : 085261252686

Peneliti adalah mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fakultas KeperawatanUniversitas Sumatera Utara, melakukan penelitian dengan judul “Peran Petugas Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat(PMO) Dalam Pengobatan Tb Paru Dengan Strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa” dengan lokasi penelitian semua Puskesmas di Kota Langsa.

Hasil penelitian ini akan direkomendasikan sebagai masukan bagi program pemberantasan penyakit TB Paru di Kota Langsa dengan tujuan dapat mengidentifikasi masalah – masalah menyangkut peran petugas kesehatan dan pengawas minum obat dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS.

Saya mengharapkan kesediaan ibu/bapak berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipasi ibu/bapak dalam penelitian ini bersifat sukarela. Semua informasi tentang kondisi ibu/bapak tidak akan disebarluaskan dan informasi yang ada digunakan hanya untuk tujuan penelitian.

(2)

Peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak ibu/bapak sebagai responden dengan cara :

1. Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan data, pengolahan data, maupun penyajian hasil penelitian nantinya.

2. Menghargai keinginan ibu/bapak yang tidak ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

Apabila ibu/bapak bersedia berpartisipasi pada penelitian ini, agar menandatangani surat persetujuan ini. Peneliti mengucapkan terima kasih atas partisipasinya.

Medan, April 2015

Peneliti Responden *)

(3)

*) Boleh tidak menuliskan nama.

KUESIONER PENELITIAN

PERAN PETUGAS KESEHATAN DAN PENGAWAS MENELAN

OBAT (PMO) DALAM PENGOBATAN TB PARU DENGAN

STRATEGI DOTS DI DINAS KESEHATAN

KOTA LANGSA

1. Identitas Responden

Umur : ... tahun

Jenis kelamin : Laki – laki / Perempuan

Pendidikan : Tidak tamat SD SLTP Diploma/S1/S2 SD SLTA

Pekerjaan : Tidak bekerja Bekerja (...) Berobat di : Puskesmas Langsa ...

Hubungan dengan PMO: Suami/isteri. Anak. Saudara ...

Lama Pengobatan yang sudah dijalani:...

2. Kuisioner peran petugas kesehatan

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberi tanda cheklist(V) pada kolom jawaban YA atau TIDAK, sesuai dengan yang dirasakan.

No PERNYATAAN JAWABAN

YA TIDAK

(4)

1 Apakah petugas puskesmas memeriksa dahak (sputum) dari anggota keluarga ibu/bapak yang serumah dengan bapak / ibu?

2 Apakah petugas puskesmas memberikan penyuluhan tentang penyakit TB Paru kepada keluarga bapak / ibu selama dalam pengobatan?

3 Apakah petugas puskesmas bagian TB Paru yang pertama menyatakan bahwa bapak / ibu menderita TB Paru?

4 Apakah petugas puskesmas pernah menganjurkan agar bapak / ibu atau keluarga lain untuk tidak merokok dalam satu ruangan dengan penderita TB paru?

5 Apakah petugas puskesmas ada menjelaskan hal yang memperburuk keadaan penderita TB paru, seperti merokok atau berada dilingkungan perokok, membakar obat nyamuk bakar dalam rumah?

No PERNYATAAN JAWABAN

YA TIDAK

Memberikanpengobatan

6 Saat pertama di diagnosa TB paru, apakah petugas puskesmas menjelaskan tentang metode pengobatan TB Paru?

7 Apakah petugas puskesmas menjelaskan resiko bila berhenti berobat sebelum waktunya?

8 Apakah petugas puskesmas pernah menjelaskan tentang efek samping dari OAT seperti mual-mual dan pusing?

9 Apakah petugas puskesmas membantu mengatasi keluhan anda selama pengobatan TB Paru.

(5)

11 Apakah petugas puskesmas menjelaskan kepada pengawas menelan obat (PMO) tentang tugas – tugas PMO?

12 Apakah petugas puskesmas selalu memantau keteraturan ibu/bapak minum obat?

13 Apakah petugas puskesmas menghubungi bila ibu / bapak belum mengambil obat ke puskesmas?

14 Apakah petugas puskesmas pernah datang kerumah bila ibu / bapak telat mengambil obat ke puskesmas?

15 Apakah petugas kesehatan mengingatkan untuk melakukan pemeriksaan ulang dahak (sputum) sesuai dengan jadwal. PenangananLogistik

16 Apakah bapak / ibu setiap datang ke puskesmas obat TB paru selalu tersedia?

17 Apakah petugas puskesmas bagian TB paru pernah meminta bapak/ibu untuk membeli obat di apotek di luar Puskesmas? 18 SelainObat TB Paru, apakah bahan pelengkap lain dalam

proses pengobatan seperti alat pemeriksaan dahak (sputum) selalu tersedia?

Menjaga mutu pelayanan

19 Apakah petugas puskesmas selalu ada di Puskesmas saat jadwal bapak / ibu mengambil obat ke puskesmas?

(6)

3. Kuisioner peran pengawas menelan obat (PMO).

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberi tanda cheklist(V) pada kolom jawaban YA atau TIDAK, sesuai dengan yang dirasakan.

No PERNYATAAN JAWABAN mengawasi ibu / bapak minum obat setiap hari?

3 Apakah pengawas menelan obat (PMO) selalu menegur ibu/bapak, bila tidak mau atau lalai minum obat?

4 Apakah bapak / ibu merasa nyaman dengan adanya PMO dalam mengawasi menelan obat?

Mencatat aktivitas minum obat dan keluhan penderita

5 Apakah pengawas menelan obat mencatat obat-obatan yang ibu bapak minum?

6 Apakah pengawas menelan obat (PMO) mencatat keluhan-keluhan ibu/bapak tentang efek samping obat untuk disampaikan kepada petugas puskesmas?

Memotivasi penderita minum obat secara teratur.

7 Apakah pengawas menelan obat (PMO) selalu memberikan motivasi dan semangat agar ibu/bapak minum obat secara teratur?

8 Apakah pengawas menelan obat (PMO) selalu mengingatkan ibu / bapak untuk kontrol ulang ke puskesmas sesuai jadwal yang telah ditentukan?

(7)

Menemani penderita mengontrol ulang ke puskesmas.

(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)

49 33 1 1 4 2 2 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 10

Terlaksana sebagian

50 48 2 1 5 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 16

Terlaksana penuh

51 54 2 2 4 1 2 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 11

(15)
(16)

24 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 5 Terlaksana sebagian

25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak terlaksana

26 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 8 Terlaksana penuh

27 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 3 Tidak terlaksana

28 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 2 Tidak terlaksana

29 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 3 Tidak terlaksana

30 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5 Terlaksana sebagian

31 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 3 Tidak terlaksana

32 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 5 Terlaksana sebagian

33 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 8 Terlaksana penuh

34 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 3 Tidak terlaksana

35 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 4 Terlaksana sebagian

36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak terlaksana

37 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 6 Terlaksana sebagian

38 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 6 Terlaksana sebagian

39 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 8 Terlaksana penuh

40 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 3 Tidak terlaksana

41 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 8 Terlaksana penuh

42 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5 Terlaksana sebagian

(17)

44 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tidak terlaksana

45 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5 Terlaksana sebagian

46 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 3 Tidak terlaksana

47 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 5 Terlaksana sebagian

48 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9 Terlaksana penuh

49 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 3 Tidak terlaksana

50 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 5 Terlaksana sebagian

(18)

A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 A19 A20 Total

1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 10

2 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 8

3 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 7

4 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 11

5 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 10

6 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 11

7 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 18

8 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 15

9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 20

10 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 18

11 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 16

12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 23

Total 4 10 7 6 7 10 7 8 7 9 5 9 6 7 3 11 7 3 7 5 167

p 0,33333 0,83333 0,58333 0,50000 0,58333 0,83333 0,58333 0,66667 0,58333 0,75000 0,41667 0,75000 0,50000 0,58333 0,25000 0,91667 0,58333 0,25000 0,58333 0,41667 q 0,66667 0,16667 0,41667 0,50000 0,41667 0,16667 0,41667 0,33333 0,41667 0,25000 0,58333 0,25000 0,50000 0,41667 0,75000 0,08333 0,41667 0,75000 0,41667 0,58333 pq 0,22222 0,13889 0,24306 0,25000 0,24306 0,13889 0,24306 0,22222 0,24306 0,18750 0,24306 0,18750 0,25000 0,24306 0,18750 0,07639 0,24306 0,18750 0,24306 0,24306

k 20

Σpq 2,37500

var 24,07639 Mean 13,91667

ρ (KR 20) 0,94880

ρ (KR 21) 0,86756

No Item Soal

(19)

A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 Total

1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 8

2 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5

3 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 3

4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5

6 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 4

7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10

8 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 4

9 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 4

10 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 4

11 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 5

12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10

Total 7 4 8 5 7 6 8 4 7 6 62

p 0,58333 0,33333 0,66667 0,41667 0,58333 0,50000 0,66667 0,33333 0,58333 0,50000 q 0,41667 0,66667 0,33333 0,58333 0,41667 0,50000 0,33333 0,66667 0,41667 0,50000 pq 0,24306 0,22222 0,22222 0,24306 0,24306 0,25000 0,22222 0,22222 0,24306 0,25000

k 10

Σpq 2,36111

varians 7,63889

Var

Mean 5,16667

ρ (KR 20) 0,76768

ρ (KR 21) 0,74788

No

Kuder and Richardson Formula 20 dan 21

(20)

Frequencies

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as

missing.

Cases Used Statistics are based on all cases with valid

data.

Resources Processor Time 00:00:00,00

Elapsed Time 00:00:00,02

Statistics

Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan

(21)

Range 2 1 4 1 2

Minimum 1 1 1 1 1

Maximum 3 2 5 2 3

Sum 85 67 187 84 96

Statistics

Peran Petugas Kesehatan Peran PMO

N Valid 51 51

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki - laki 35 68,6 68,6 68,6

Perempuan 16 31,4 31,4 100,0

(22)

Frequency Percent Valid Percent

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(23)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Terlaksana penuh 7 13,7 13,7 13,7

Terlaksana sebagian 27 52,9 52,9 66,7

Tidak terlaksana 17 33,3 33,3 100,0

(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)

LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI

Judul : Peran Petugas Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Dalam Pengobatan TB Paru dengan Strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa

Peneliti : Deddi Saputra

NIM : 141121043

Pembimbing : Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS Program : S1 Keperawatan

Tahun : 2016

No Hari/Tanggal Materi Bimbingan Komentar/saran Paraf 1 10 Maret 2015 Konsul judul Perbaikan dan fokus

pembuatan proposal

5 06 April 2015 Konsul Bab I,II,III,IV Perbaikan dan cara

pengambilan sampel 6 28 April 2015 Konsul Bab I,II,III,IV Perbaikan cara metoda

pengambilan sampel 7 8 Mei 2015 Konsul Bab IV Perbaikan teknik analisa

data

8 11 Mei 2015 Konsul instrumen penelitian

Perbaikan instrumen

penelitian

9 18 Mei 2015 Konsul Bab I,II,III,IV Perbaikan cara pengambilan

sampel

(37)

11 11 Juni 2015 Konsul koesioner Perbaikan cara penulisan 12 7 Juli 2015 Revisi proposal Lengkapi Proposal 13 2 September

2015

Melakukan uji

validitas dan reabilitas

14 20 Januari 2016 Konsul Bab V Hasil penelitian

Perbaikan dan lanjut ke

pembahasan

15 22 Januari 2016 Konsul Pembahasan Perbaikan dan lanjutkan ke

Bab VI

16 26 Januari 2016 Konsul Bab VI Perbaikan dan lanjutkan ke

abstrak

17 27 Januari 2016 Konsul Abstrak Perbaikan Abstrak 18 28 Januari 2016 Konsul Skripsi Perbaikan tulisan 19 29 Januari 2016 Meminta persetujuan

(38)

RENCANA ANGGARAN BELANJA

PENELITIAN SKRIPSI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Pengadaan

- Foto copy Proposal dan Skripsi Rp 190.000 - Foto copy Koesioner Penelitian Rp 50.000 - Foto copy Referensi dan data Penelitian Rp 120.000

- JilidSkripsidan Proposal Rp 600.000

2. Alat Tulis Kantor (ATK)

- Kertas A4 80 Gr Sinar Dunia RP 336.000

- Printer Canon Rp 850.000

- Flesdisk Toshiba 16 GB Rp 85.000

- Kartu Data Internet 6 GB Rp 210.000

- Ballpoin Tinta Rp 40.000

3. Transportasi

- Transportasi Langsa-Medan Rp 600.000

4. Pengumpulan dan Pengolahan Data

- Reward Responden Rp 1.000.000

- Izin Penelitian dan Pengumpulan Data Rp 500.000 5. Komsumsi

- Komsumsi Seminar Proposal Rp 500.000

- Komsumsi Seminar Hasil Rp 500.000

- Komsumsi Seminar Hasil di Dinkes Kota Langsa Rp 800.000 6. Dokumentasi

- Biaya Dokumentasi Rp 400.000

(39)

BIODATA EXPERT

1. Siti Zahara Nasution, S.Kp, MNS

Dosen di Departemen Keperawatan Dasar, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ismayadi, S.Kep, Ns, CWCCA, CHtN, M.Kes

Dosen di Departemen Keperawatan Dasar, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

3. Zulkarnaini, S.Kep, Ns

(40)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Deddi Saputra

Tempat/Tanggal Lahir : Matang Lada, 20 Desember 1984 Jenis Kelamin : Laki - Laki

Agama : Islam

Alamat : Komplek Griya Riatur Indah Jln. Krisan Blok C No.53 Medan Helvetia

No. Telpon / HP : 085261252686

Orang tua : H. Ibrahim, Spd

Orang tua : Hj. Sadriah

RiwayatPendidikan

1. Tahun 1993 - 1997 SD Negeri 3 Matang Lada Seuneuddon Aceh Utara 2. Tahun 1997 - 1999 SLTP Negeri I Seuneuddon Aceh Utara

3. Tahun 1999 - 2002 SMA Negeri I Tanah Jambo Aye Aceh Utara

4. Tahun 2002 - 2005 Poltekkes Kemenkes RI Aceh Banda Aceh Jurusan Keperawatan

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y., et. al. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Aditama, T. Y., et. al. (2014). Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di

Dunia. Kompas.com, diakses 30 April 2015

http://health.kompas.com/read/2014/03/03/1415171/Indonesia.Peringkat.4.P

asien.TB.Terbanyak.di.Dunia

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Bare BG., Smeltzer SC. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Hal : 45-47

Brooks, et al. (1996). Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick and Adelberg. Jakarta; EGC.

Gari NN. (2009). Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas TB Paru Puskesmas Dalam Penemuan Penderita TB Paru Pada Program Pemberantasan Penyakit (P2P) TB Paru Di Kota Medan Tahun 2009. Master Thesis. Universitas Sumatera Utara http://repository.usu.ac.id /bitstream/pdf diakses pada tanggal 14 Oktober 2014

Ghozali I., (2002), Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro

(42)

Herchline, T.E., (2013). Tuberculosis. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview [Accesed 10 April 2015].

Hurlock, Elizabeth, B., (2006). Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga.

Irawati B. (2007). Analisis Hubungan Sikap (Attitude) dan Nilai (Value) Perawat terhadap Kinerja Perawat Puskesmas di Kabupaten Tanah Toraja. Master Thesis. Universitas Hasanuddin Makassar.

Istiawan R., Sahar J, & Adang B. (2006). Hubungan peran pengawas minum obat oleh keluarga dan petugas kesehatan terhadap pengetahuan, perilaku pencegahan dan kepatuhan klien tbc dalam konteks keperawatan komunitas di kabupaten Wonosobo. Jurnal Keperawatan Soedirman, 1. No.2.

Kemenkes RI. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Kemenkes RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB.http://www.tbindonesia.or.id/pdf /2011/STRANAS_TB.pdf diakses pada tanggal 30 Mei 2015.

Kemenkes RI. (2012). Pertemuan Nasional Evaluasi Dan Perencanaan Program Pengendalian Tb Tahun 2012.http://perdhaki.org/content/ pertemuan-nasional-evaluasi-dan-perencanaan-program-pengendalian-tb-tahun-2012 diakses padatanggal 6 oktober 2012

Kemenkes RI. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

(43)

(JRC). Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta

Mansyur A.S. (2010). Analisis Kinerja Petugas P2 TB Paru Puskesmas Program Penanggulangan Tuberkulosis di Kabupaten Jeneponto tahun 2010. Master Thesis. Universitas Hasanuddin Makassar.

Murti B., et al. (2010). Evaluasi program pengendalian tuberkulosis Dengan strategi dots Di eks karesidenan surakarta. IHEPS/ FK-UNS, BBKPM Surakarta.

Murtiwi. (2006).Jurnal Keperawatan Indonesia. Keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO) Pasien Tuberkulosis Paru di Indonesia . Vol.10 No.1. Jakarta: FIK UI.

Masniari L., Priyanti Z.S., & Aditama T.Y. (2003). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru . Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI – RSUP Persahabatan, Jakarta

http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri-07-07/dr.linda.htm diakses 03 Juni

2015

Maryun Y. (2007). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas Program TB Paru Terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota Tasikmalaya. Master Thesis Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro

(44)

Pare AL., Amiruddin R. & Leida I. (2013). Hubungan Antara Pekerjaan, PMO, Pelayanan Kesehatan, Dukungan Keluarga Dan Diskriminasi Dengan Perilaku Berobat Pasien Tb Paru Department of Epidemiology School of Public Health. Hasanuddin University of Makassar.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta.

Putra, A.K., (2010). Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500 [Accessed 15 April 2015].

Santa, dkk. (2009). Seri Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta: TIM.

Somantri, I. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sormin P, P., (2014), Gambaran peran serta petugas kesehatan terhadap kepatuhan berobat penderita tb paru di kelurahan gambir baru kecamatan kisaran timur. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(45)

Sumarman & Bantas K. (2012). Peran Pengawas Minum Obat dan Kepatuhan Periksa Ulang Dahak Fase Akhir Pengobatan Tuberkulosis di Kabupaten Bangkalan (Skripsi). Jakarta. Epidemiologi FKM Universitas Indonesia;.

Sumange A. (2010). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Wonomulyo Kab. Polewali mandar (Sripsi). Makassar: FKM Universitas Hasanuddin;

World health Organization (WHO), 2006. Guidance for National Tuberculosis Programmeson The Management of Tuberculosis in Children. Availlable from:http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/htm_tb_20 06_371/en/ [accesed 23 April 2015].

(46)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka penelitian ini, bertujuan untuk mengidentifikasi tentang peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS di Dinas Kesehatan Kota Langsa. Pendekatan strategi DOTS dalam pengobatan TB paru bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan pada penderita TB paru, meningkatkan angka kesembuhan dan meminimalkan angka penderita yang putus berobat (drop-out) (Kemenkes RI, 2011). Penelitian ini dilaksanakan pada semua Puskesmas yang ada di Kota Langsa, untuk melihat gambaran bagaimana peran petugas kesehatan dan peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. Berikut ini penjelasan kerangka konsep penelitian.

Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

- Peran petugas kesehatan dalam pengobatann TB Paru dengan strategi DOTS

- Peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatann TB Paru dengan strategi DOTS

Kategori:

(47)

3.2. Definisi Operasional Variabel

(48)
(49)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan desain deskriptif yang menggunakan pendekatan cross sectional dimana penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan/mendeskripsikan tentang peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) di wilayah kerja dinas kesehatan Kota Langsa, dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu).

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah penderita TB Paru yang sedang dalam program pengobatan TB Paru di Seluruh Puskesmas yang berada dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa, yaitu; (1) Puskesmas Langsa Kota sebanyak 15 orang, (2) Puskesmas Langsa Barat sebanyak 16 orang, (3) Puskesmas Langsa Lama sebanyak 5 orang, (4) Puskesmas Langsa Baro sebanyak 12 orang dan (5) Puskesmas Langsa Timur sebanyak 3 orang. Data yang diperoleh dari wasor TB Paru Dinas Kesehatan Kota Langsa pada bulan Desember 2015 jumlah penderita TB Paru yang sedang aktif berobat ke masing – masing Puskesmas adalah sebanyak 51 orang penderita.

4.2.2. Sampel

(50)

sampling yaitu mengambil seluruh populasi. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang sedang berobat pada Puskesmas di Kota Langsa adalah sebanyak 51 orang penderita.

4.3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di seluruh Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa, sesuai dengan distribusi responden yaitu: (1) Puskesmas Langsa Kota, (2) Puskesmas Langsa Barat, (3) Puskesmas Langsa Lama, (4) Puskesmas Langsa Baro dan (5) Puskesmas Langsa Timur. Penelitian akan dilakukan pada bulan Desember 2015 - Januari 2016.

4.4. Pertimbangan Etik

Peneliti dalam melakukan penelitian dengan memperhatikan pertimbangan

-pertimbangan etika penelitian, antara lain: (1) pelaksanaan penelitian dilakukan oleh

peneliti setelah mendapat izin atau rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara dan izin dari Dinas Kesehatan Kota Langsa, (2) seluruh responden

diberi lembar persetujuan, yang ditanda tangani sebagai bukti kesediaannya menjadi

responden (informed consent), (3) sebelum menyerahkan lembar persetujuan, peneliti

terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian kepada calon responden, (4) anonymity,

peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar kuesioner dan hanya memberikan

inisial dan kode saja, dan (5) confidentiality, semua informasi yang diberikan oleh

responden dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, data-data yang tidak terpakai disimpan

oleh peneliti.

4.5. Instrumen Penelitian

(51)

dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS yang meliputi beberapa tugas pokok dan fungsi petugas TB paru yaitu menemukan penderita TB paru pada pertanyaan nomor 1 s/d 5, memberikan pengobatan pertanyaan nomor 6 s/d 15, penanganan logistik pertanyaan nomor 16 s/d 18 dan menjaga mutu pelayanan untuk kepuasan pasien pertanyaan nomor 19 s/d 20.

Kemudian dichotomy pilihan jawaban adalah “ya” atau “tidak”, jika

jawaban “ya” diberi nilai 1 dan jika jawaban “tidak” diberi nilai 0. Selanjutnya nilai

– nilai tersebut dijumlahkan dengan total nilai minimal 0 dan maksimal 20. Dari hasil tersebut, kemudian di kategorikan dalam 3 kategori, yaitu terlaksana penuh, terlaksana sebagian, dan tidak terlaksana. Cara pengkategorian dilakukan menggunakan rumus panjang kelas:

=

= 6,67 = 7.

Berdasarkan panjang kelas yang didapat yaitu 7, maka pengkategorian hasil ukur peran petugas kesehatan adalah; terlaksana penuh jika nilai yang didapat 15 s/d 20, terlaksana sebagian nilai yang didapat 8 s/d 14, dan tidak terlaksana jika nilai yang didapat 0 s/d 7.

Bagian ketiga dari kuisioner adalah peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS, meliputi peran sebagai pengawas menelan obat tercakup dalam pertanyaan nomor 1 s/d 4, mencatat minum obat dan keluhan yang dialami penderita tercakup dalam pertanyaan nomor 5 s/d 6, memotivasi pasien minum obat secara teratur tercakup dalam pertanyaan nomor 7 s/d 9 dan menemani penderita mengontrol ulang ke puskesmas pertanyaan nomor 10.

Selanjutnya dichotomy pilihan jawaban juga “ya” atau “tidak”, jika jawaban

(52)

= = 3,33 = 3.

Berdasarkan panjang kelas yang didapat yaitu 3, maka pengkategorian hasil ukur peran pengawas menelan obat (PMO) adalah; terlaksana penuh jika nilai yang didapat 7 s/d 10, terlaksana sebagian nilai yang didapat 4 s/d 6, dan tidak terlaksana jika nilai yang didapat 0 s/d 3.

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu instrument penelitian. Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variable yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006). Uji validitas dilakukan secara content validity oleh orang yang ahli dibidangnya, yaitu dua orang berasal dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan satu orang lagi dari pengelola program TB Paru dengan strategi DOTS Dinas Kesehatan Kota Langsa. Nilai Content Validity Indeks (CVI) diterima minimal 0.80 (Polit & Beck, 2004). Bila validitas telah dicapai

sesuai dengan kriteria maka data tersebut bebas dari kesalahan sistematis.

Hasil Content Validity Indeks (CVI) yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang expert, (yang terdiri dari 2 orang dosen fakultas keperawatan, USU dan 1 orang dari Dinas Kesehatan Kota Langsa) terhadap 20 item pertanyaan tentang peran petugas kesehatan dinyatakan relevan namun perlu dilakukan revisi pada item pertanyaan 4, 6, 8, 11, 13 16, 17, 19 dan 20. Total nilai CVI dari 3 expert untuk instrumen peran petugas kesehatan adalah 0,88. Kemudian hasil Content Validity Indeks (CVI) instrumen peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dari 10 item pertanyaan dinyatakan relevan namun perlu dilakukan revisi pada item 1 dan 6. Nilai total CVI dari 3 expert untuk instrumen peran Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah 0,95. Berdasarkan penilaian 3 (tiga) orang expert tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua intrumen penelitian dinyatakan valid dan selanjutnya peneliti dapat melaksanakan uji reliabilitas.

(53)

tersebut tetap konsisten bila dilakukan beberapa kali dengan menggunakan alat tersebut tetap konsisten bila dilakukan beberapa kali dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoadmojo, 2010). Uji reliabilitas instrument dalam penelitian ini menggunakan rumus Kuder-Richardson 21 (K-R 21). Alasan menggunakan rumus K-R 21 adalah karena semua semua pertanyaan dalam instrument

pengumpulan data memiliki bobot nilai 1 dan 0, yaitu nilai 1 untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk jawaban “tidak”. Rumus K-R 21 yaitu:

Keterangan :

r11 = reliabilitas instrumen S = varians skor total

n = banyaknya butir pertanyaan M = skor rata-rata

Uji reliabilitas dilakukan terhadap penderita TB Paru yang bukan merupakan bagian dari sample penelitian. Hal tersebut berguna untuk mengetahui apakah instrumen tersebut cukup handal atau tidak, komunikatif, dan dapat dipahami. Peneliti melakukan uji reliabilitas instrumen pada tanggal 7 s/d 14 Desember 2015 terhadap 12 orang penderita TB Paru di Puskesmas Seuneuddon, Kabupaten Aceh Utara, dari 12 kuisioner yang peneliti isi berdasarkan jawaban dari wawancara responden, semuanya dijawab lengkap dan terisi sesuai dengan yang diharapkan.

(54)

4.7. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti setelah mendapat surat izin penelitian dari program studi S1 Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan mengajukan permohonan izin kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa. Setelah mendapat persetujuan dan izin maka peneliti melapor ke masing – masing kepala Puskesmas dan pengelola program TB Paru puskesmas untuk menjelaskan tentang rencana penelitian, prosedur penelitian, manfaat penelitian, dan meminta izin untuk menjumpai responden, baik yang datang ke puskesmas maupun peneliti melakukan home visite ke rumah – rumah responden bersama dengan pengelola / staf program TB Paru. Selanjutnya peneliti meminta kesediaan responden untuk mengikuti penelitian.

Setelah mendapat persetujuan dari calon responden untuk menjadi responden dengan menandatangani informed consent, pengumpulan data dimulai. Peneliti mewawancarai responden sesuai dengan isi kuesioner, dan peneliti mengisi sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh responden. Kuisioner terdiri dari kuesioner demografi, peran petugas kesehatan dan peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. Setelah selesai penelitian, peneliti kemudian memeriksa kelengkapan data, jika ada data yang kurang atau belum diisi maka dapat langsung dilengkapi.

4.8. Metode Pengolahan dan Analisa Data

(55)
(56)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran petugas kesehatan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa, yang dilakukan pada tanggal 21 Desember 2015 s/d 20 Januari 2016 dengan jumlah responden sebanyak 51 orang.

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Karakteristik Responden

Karakteristik penderita TB Paru yang menjadi responden seperti yang terlihat pada tabel 5.1. Peneliti membagi usia pasien tersebut dalam 3 (tiga) kategori, yaitu usia dewasa awal (18 – 40 tahun), usia dewasa madya (41 – 60 tahun) dan usia dewasa lanjut (lebih dari 60 tahun) berdasarkan teori Hurlock (2006). Mayoritas responden berusia 41 – 60 tahun, yaitu sebanyak 51%. Penderita TB Paru yang menjadi responden berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden berjenis kelamin laki – laki yaitu 69%.

(57)

Tabel 5.1. Gambaran distribusi karakteristik responden (n=51)

(58)

Tabel 5.2. Peran Petugas Kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan

strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa (n=51).

No Pelaksanaan peran petugas kesehatan Jumlah (n) Persentase

1 Terlaksana Penuh 15 29%

2 Terlaksana Sebagian 34 67%

3 Tidak Terlaksana 2 4%

Berdasarkan tabel 5.2, penelitian yang sudah dilakukan terhadap 51 responden, yaitu penderita TB Paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas di Kota Langsa, didapatkan hasil mayoritas responden menyampaikan bahwa peran petugas kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS masih terlaksana sebagian, yaitu sebanyak 67% .

5.1.4. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pelaksanaan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Peran Pengawas Menelan Obat dalam pengobatan TB Paru

dengan strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa (n=51).

No Pelaksanaan Peran PMO Jumlah (n) Persentase

1 Terlaksana Penuh 7 14%

2 Terlaksana Sebagian 27 53%

3 Tidak Terlaksana 17 33%

(59)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Peran Petugas Kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan strategi

DOTS

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan terhadap penderita TB Paru yang sedang menjalani pengobatan di 5 (lima) Puskesmas di Kota Langsa, didapatkan hasil mayoritas responden menyatakan bahwa peran petugas kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan program strategi DOTS masih terlaksana sebagian (66,7%). Penelitian yang dilakukan Sormin (2014) mendapatkan hasil mayoritas peran serta petugas kesehatan sudah baik dalam meningkatkan kepatuhan pasien berobat TB paru.

Penelitian ini sejalan dengan hasil yang didapat Suharyo (2013), dimana dalam penelitiannya di Puskesmas Mijen, Kota Semarang, didapat bahwa peran petugas kesehatan (Koordinator TB Paru) masih terbatas dalam melaksanakan

tindakan pengobatan, penyuluhan, dan juga belum melaksanakan pencarian kasus

baru secara aktif, sehingga belum terlaksana penuh dalam pengobatan TB Paru.

Penelitian lain yang dilakukan Maesaroh (2009) di Kebayoran Lama, tentang peran

petugas kesehatan dalam penyuluhan pengobatan TB Paru didapat hasil bahwa

mayoritas responden pernah mendapat penyuluhan tentang TB Paru (57%). Hasil ukur penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena peran petugas kesehatan mayoritas sudah baik, namun mengingat dikota besar seperti Jakarta masih belum maksimal peran yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan masih banyak penderita TB Paru (43%) belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang penyakit TB Paru.

(60)

dilakukan oleh Friskarini & Manalu (2009) di Kabupaten Tangerang, Banten, menyatakan bahwa peran petugas kesehatan dalam penyuluhan dan pengobatan TB paru masih belum maksimal. Banyak pasien yang drop out dari proses pengobatan karena pasien merasa tidak nyaman dengan reaksi obat yang mereka minum. Petugas kesehatan harus aktif melakukan sosialisasi kepada pasien termasuk terus memperingatkan penderita bila terjadi drop out dari proses pengobatan.

Peran petugas kesehatan, khususnya petugas P2 TB sangat penting diperhatikan dalam rangka pencapaian angka kesembuhan TB Paru. Peran petugas kesehatan yang bagus dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan yakni kesembuhan TB Paru. Penyebab utama rendahnya angka kesembuhan adalah faktor pengobatan (Xianqin et. al, 2010). Peran petugas P2 TB dalam melakukan pengobatan TB Paru tidak terlepas dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri. Menurut teori kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; faktor individu (pengetahuan), faktor organisasi (kompensasi) dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Gari, 2009).

Peran petugas kesehatan khususnya petugas pemegang program TB Paru di Puskesmas – puskesmas sangat menentukan keberhasilan pengobatan TB Paru secara keseluruhan. Perlu dilakukan pengingkatan kapasitas pemegang program TB Paru sehingga dapat melaksanakan peran secara penuh kepada penderita TB Paru untuk dapat merealisasi angka kesembuhan secara maksimal. Peran – peran yang perlu ditingkatkan diantaranya peran sebagai penemu kasus baru dan peran sebagai penyuluh, untuk mendorong motivasi masyarakat untuk memeriksakan diri dan berobat ke Puskesmas bila mengalami tanda dan gejala TB Paru.

5.2.2. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO).

(61)
(62)

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang didapat Pare (2013) pada penelitiannya di Puskesmas di Kota Makasar, dimana mayoritas responden menyatakan bahwa peran PMO masih kurang baik (51.4%). Suharyo (2013) dalam penelitiannya di Puskesmas Mijen, Semarang, menyatakan bahwa sebagian besar subjek penelitian menyatakan bahwa PMO tidak selalu mengingatkan subyek penelitian untuk rutin melakukan pengobatan dan minum obat secara teratur, dan ini menandakan bahwa PMO belum melaksanakan peran secara maksimal.

Selanjutnya hasil penelitian Sormin (2014), didapatkan hasil dimana peran PMO dalam pengobatan TB Paru disampaikan oleh mayoritas responden adalah cukup atau sedang (58%). Murtiwi (2006) pada penelitiannya menemukan bahwa tidak semua PMO menjalankan fungsinya dengan benar yaitu mengingatkan minum obat pasien TBC paru setiap hari. Sebenarnya sesuai dengan DOTS harus observasi langsung yaitu melihat dengan pasti bahwa obat telah diminum pasien. Pada penelitian Murtiwi (2006), pasien berpendapat tidak perlu ada PMO karena keberadaan PMO selama ini tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa pasien TB paru memiliki potensi untuk diberdayakan dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok pasien TB atau self-help group.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Istiawan, Sahar & Bachtiar (2006) di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, didapatkan hasil bahwa peran Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB pada penderita TB Paru, terutama PMO dari anggota keluarga penderita. Pengawas menelan obat merupakan faktor eksternal yang ada di lingkungan individu yang akan berpengaruh terhadap perilakunya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan peran PMO keluarga dengan perilaku pencegahan klien TBC menunjukkan hubungan yang kuat. Pola hubungan yang terjadi adalah berpola positip artinya semakin tinggi peran PMO keluarga, akan semakin tinggi perilaku pencegahan klien TBC untuk melakukan pencegahan penularan.

(63)

mencegah drop out (putus berobat) dan lalai dengan melakukan pengawasan menelan obat pada penderita TB dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala suspect TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

Seorang PMO memiliki peran untuk mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan dan motivasi kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala yang dicurigai TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

(64)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan di seluruh Puskesmas diwilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa, dapat disimpulkan:

1. Sebagian besar responden penderita TB Paru berusia berusia 40 – 60 tahun, berjenis kelamin laki – laki, berpendidikan SLTA, mayoritas bekerja, memiliki PMO dari suami atau isteri.

2. Sebagian besar responden mempersepsikan peran petugas kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS masih terlaksana sebagian.

3. Sebagian besar responden memperseptikan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) masih terlaksana sebagian.

6.2. Saran

6.2.1. Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi praktek keperawatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. Peran perawat sebagai petugas kesehatan dalam pengobatan TB Paru lebih ditingkatkan khususnya di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa, sehingga meningkatkan angka kesembuhan penderita TB Paru.

6.2.2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai peran petugas pelayanan kesehatan dan peran PMO terhadap pengobatan TB paru dengan strategi DOTS, dan menjadi salah satu sumber pustaka bagi teman – teman mahasiswa yang membutuhkan informasi tentang TB Paru.

(65)

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi manajemen pelayanan kesehatan khususnya pengelola program TB pada wilayah kerja Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Kota Langsa untuk memantau dan meningkatkan pelayanan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS, memberikan penyuluhan dan meningkatkan peran pengawas minum obat (PMO).

6.2.4. Penelitian Keperawatan

(66)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Tuberculosis

2.1.1. Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri mycobakterium tuberculosis. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa et al., 2009). Menurut Smeltzer & Bare (2001), tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis. Kemenkes RI (2011) menyatakan tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. seperti pleura, kelenjar lymphe, tulang, dll (Aditama dkk, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberculosis suatu basil yang tahan asam yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia.

2.1.2. Etiologi

(67)

tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).

Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013). Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid., mencakup asam mikolat (asam lemak rantai-panjang C78-C90), lilin dan fosfatida.Dipeptida muramil (dari peptidoglikan) yang membentuk kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa. Lipid dalam batas-batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam bakteri (Brooks, et al. 1996).

2.1.3. Gejala klinis TB paru

(68)

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2011).

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori.

1. Gejala respiratori, gejala ini sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari batuk produktif ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada.

2. Gejala sistemik, yaitu gejala yang timbul dapat berupa demam, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun (PDPI, 2011).

2.1.4. Diagnostik TB Paru

Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

(69)

maka tersangka diberi antibiotik spektrum luas selama 1 - 2 minggu (misalnya kotrimoksasol atau ampisillin). Bila tidak ada perubahan maka tersangka perlu diperiksa lebih lanjut misalnya dengan foto rontgen thorax untuk memastikan tersangka tersebut menderita TB paru atau tidak (Kemenkes RI, 2011).

Adapun gambaran klinis TB paru adalah gejala sistemik seperti demam yang sering timbul sore dan malam hari disertai keringat yang banyak dengan suhu tinggi 40-41°C, malaise dan gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak nafas serta nyeri dada (PDPI, 2011).

Diagnosa TB paru pada anak dengan bahan pemeriksaan sputum merupakan hal yang sulit karena anak tidak mampu mengeluarkan sputumnya, sebagian besar diagnosa TB paru anak didasarkan adanya gambaran klinis, radiologis dan tuberculin test (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriumnya penderita TB paru dapat dibagi atas (Kemenkes R.I, 2011):

1.

Penderita TB Paru BTA positif: jika sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum hasil pemeriksaan BTA positif dan jika 1 spesimen sputum hasilnya BTA positif dan adanya kelainan yang menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif pada foto rontgen dada.

(70)

Skema 2.1. Alur Diagnosis TB Paru (Kemenkes RI, 2011)

2.1.5. Klasifikasi TB Paru

(71)

menunjukkan BTA positif dan biakan positif. Selanjutnya, TB Paru BTA Negatif, hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011).

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: (1) Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). (2) Kasus kambuh (Relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). (3) Kasus setelah putus berobat (default), adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. (4) Kasus setelah gagal (Failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (5) Kasus Pindahan (Transfer In), adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. (6) Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Kemenkes RI, 2011).

2.1.6. Cara Penularan TB Paru

(72)

penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes RI, 2011). Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Kemenkes RI, 2011).

2.1.7. Penatalaksanaan TB paru

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011), pengobatan TB bertujuan untuk: (1) menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas, (2) mencegah kematian, (3) mencegah kekambuhan, (4) mengurangi penularan, (5) mencegah terjadinya resistensi obat.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: (1) obat anti tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan, jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi), pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. (2) untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Kemenkes, 2011).

(73)
(74)

Kategori selanjutnya yaitu: (3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3), tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral , TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. (4) OAT Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pen gobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat -obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan.

Tabel 2.1. Pengelompokan OAT (Kemenkes RI, 2011)

(75)

2.1.8. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB

2.1.8. 1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut. Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel 2.3 (Kemenkes RI, 2011).

Tabel 2.3 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak (Kemenkes RI,

(76)

2.1.8.2. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Penatalaksanaan pengobatan pada pasien yang berobat tidak teratur seperti yang terlihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur (Kemenkes RI, 2011)

(77)

2.1.8.3 Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif

1. Sembuh, pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya

2. Pengobatan Lengkap, Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

3. Meninggal, adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

4. Putus berobat (Default), adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

5. Gagal, pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

6. Pindah (Transfer out), adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

7. Keberhasilan pengobatan (treatment success), jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA+ atau biakan positif.

2.1.9. Strategi DOTS

Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) merupakan salah satu strategi pemberantasan tuberkulosis paru yang direkomendasikan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang terdiri atas lima komponen yaitu : (1) komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB Paru, (2) diagnosis penyakit TB Paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (3) pengobatan TB Paru dengan paduan OAT jangka pendek dengan pencatatan dan pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar pengawasan langsung oleh PMO, (4) kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita dan (e) pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Kemenkes RI, 2011)

(78)

diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia, untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru.Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung dengan cepat.DOTS bertujuan untuk memutuskan rantai penularan di masyarakat dengan mengobati penderita BTA positif sampai sembuh (Kemenkes RI, 2003 ).

Strategi DOTS diartikan sebagai berikut (Tety, dkk, 1999):

1. D (Directly), yaitu dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk mencntukan apakah ada kuman TB atau tidak. Agar lcasus penderita TB dapat disembuhkan, make prioritas utama dari setiap program TB harus langsung pada sumber penyakit. Jadi, penderita dengan pemeriksaan sputum BTA positif langsung diobati sampai sembuh. 2. O (Observed) yaitu ada observer yang mengamati pasien dalam minum obat. Yang

diamati yaitu saat minum obat dan dosis obat. Observer dapat berupa seorang tenaga kesehatan atau kader terlatih.

3. T (Treatment), pasien disediakan pengobatan lengkap serta dimonitor. Pasien harus diyakinkan bahwa mereka akan sembuh setelah pengobatan selesai. Alat monitor berupa buku laporan yang merupakan bagian dari sistem dokumen kemajuan dalam penyembuhan.

4. S (Shortcourse), pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis yang benar. Obat anti TB dikenal dengan Shortcourse chemotheraphy. Pengobatan harus dilakukan dalam jangka waktu yang benar selama 6 bulan.

(79)

2.2. Peran Petugas Kesehatan.

Undang – undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang dimaksud petugas atau tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan,memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidangkesehatan yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Peran adalah suatu yang diharapkan dari seseorang dalam situasi sosial tertentu agar memenuhi harapan (Setiadi, 2008). Peran petugas kesehatan adalah suatu kegiatan yang diharapkan dari seorang petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Petugas kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petugas kesehatan yang menjadi petugas pengelola program pemberantasan TB paru di Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan di Puskesmas.

Penerapan strategi DOTS, petugas kesehatan diperlukan untuk memberi pelayanan kesehatan terutama pengobatan TB Paru, pencegahan dan promosi kesehatan serta pendidikan kesehatan terhadap penderita TB paru mengenai pentingnya keteraturan dan kepatuhan berobat. Penyediaan informasi, pendidikan kesehatan dan komunikasi adalah strategi yang penting dalam mengendalikan Tuberkulosis. Informasi, pendidikan kesehatan dan komunikasi memerlukan media massa dan pendekatan interpersonal. Komunikasi melalui pendekatan interpersonal dapat memberikan respon yang lebih baik terhadap pesan pendidikan kesehatan

(Mar’ah Has, 2014)

(80)

strategi DOTS berjumlah 5.735 dokter Puskesmas, 7.019 petugas TB dan 4.065 petugas laboratorium (Kemenkes RI, 2011).

Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk perencanaan, pembiayaan dan pemantauan pelayanannya. Di seksi P2M Wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat. Pemantauan pengobatan di bawah tanggung jawab tenaga di FPK dan pada umumnya peran Pengawasan Minum Obat (PMO) dilakukan oleh anggota keluarga. Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO) serta staf Dinas Kesehatan, khususnya di provinsi dengan

beban TB yang tinggi. Beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem klaster kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat kerja telah terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui jejaring dengan Kabupaten/kota dan Puskesmas (Kemenkes RI, 2011).

Pencapaian angka kesembuhan TB paru ditentukan oleh keberhasilan pengobatan. Angka kesembuhan menunjukkan persentase pasien baru TB Paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien baru TB Paru BTA positif yang tercatat. Adapun mengenai indikator angka kesembuhan, WHO menetapkan target global angka kesembuhan sebesar 85% (Depkes RI, 2007). Untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi, pengobatan TB membutuhkan peran dan kinerja yang baik dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu, pencapaian angka kesembuhan sebesar 85% menunjukkan kinerja baik dari Petugas P2 TB (Kemenkes, 2012).

(81)

dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri. Menurut teori kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; faktor individu (pengetahuan), faktor organisasi (kompensasi) dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Gari, 2009).

Puskesmas merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit menular seperti TB paru. Peran tenaga kesehatan pengelola program TB paru di Puskesmas sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan TB paru. Setiap puskesmas memiliki petugas pengelola program TB paru dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai berikut (Maryun, 2007):

1. Menemukan Penderita

a) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum b) Menjaring suspek baru (tersangka penderita) TBC

c) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06 d) Membuat sediaan hapus dahak

e) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan form TB 05 f) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap

g) Membuat klasifikasi penderita

h) Mengisi kartu penderita (TB 01) dan kartu identitas penderita (B 02) i) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA (+)

j) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.

2. Memberikan Pengobatan

a) Menetapkan jenis paduan obat

b) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan

c) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01) d) Menentukan PMO (bersama penderita)

e) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO f) Memantau keteraturan berobat

(82)

h) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya

i) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita 3. Penanganan Logistik

a) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas

b) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll) 4. Menjaga mutu pelayanan semua kegiatan dalam pengelolaan TB paru.

2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)

2.3.1. Pengertian

Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Kemenkes RI, 2011). PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. Pengawas Menelan Obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal seperti yang telah ditetapkan.

2.3.2. Tujuan Penggunaan Pengawas Menelan Obat (PMO)

Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997) bahwa tujuan penggunaan Pengawas Menelan Obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah : 1) untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang ditentukan pada awal pengobatan, 2) untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya, dan 3) untuk mengurangi kemungkinan pengaobatan dan kekebalan terhadap O7AT. Selain itu, sebagai salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

2.3.3. Persyaratan Pengawas Menelan Obat (PMO).

(83)

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat, pekarya kesehatan, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.3.4. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

Menurut Kemenkes RI (2011), seseorang yang telah ditunjuk menjadi PMO mempunyai kewajiban sebagai berikut: (1) Mengikuti pelatihan singkat dari petugas kesehatan mengenai penyakit atau bahayanya tuberkulosis, mengenai perlunya minum obat dengan teratur dan penyelesaian pengobatan sesuai jadwal, perlunya evaluasi dahak dan efek samping obat serta kapan harus meminta pertolongan. (2) Mengawasi minum obat harian di rumah. (3) Mencatat obat yang telah diminum dan mencatat keluhan yang dialami penderita. (4) Ikut serta dalam pengambilan obat berikutnya sebelum obat habis dan ikut dalam pemeriksaan dahak penderita. (5) Memberi motivasi ke penderita supaya tidak terjadi kegagalan berobat serta menjadi penyuluh kesehatan.

(84)

teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya, cara pemberian pengobatan penderita (tahap intensif dan lanjutan), pentingnya pengawasan supaya penderita berobat secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK (Kemenkes RI, 2011).

Penelitian yang dilakukan Sumarman dan Krisnawati (2012) yang menemukan bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar 3.013 kali untuk menyebabkan pasien tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memiliki peran PMO yang baik. Sama halnya yang ditemukan oleh Sumange (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru16. Dukungan sosial oleh PMO berupa dukungan emosional meningkatkan motivasi kepada pencderita TB Paru untuk sembuh.

Gambar

Tabel. 3.1. Definisi operasional variabel
Tabel 5.1. Gambaran distribusi karakteristik responden (n=51)
Tabel 2.1. Pengelompokan OAT (Kemenkes RI, 2011)
Tabel 2.4. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur (Kemenkes RI, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) peran PMO pada pasien TB paru di di wilayah kerja Puskesmas Baki Sukoharjo sebagian besar adalah berperan, (2) keberhasilan pengobatan TB

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul "

PMO terhadap kesembuhan pasien TB paru dikecamatan Medan Maimun

Peranan Pengawas Menelan Obat diduga mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap keberhasilan pengobatan TB paru karena PMO menentukan apakah obat yang sudah

Hubungan Peran Pengawas Minum Obat (PMO) dalam Program Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Hasil Apusan BTA Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini, saya Filza Rifqi Aufa Aslam akan melakukan penelitian yang berjudul "Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap

Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas