• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Level Metakognitif Siswa dalam Memecahkan Masalah pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Level Metakognitif Siswa dalam Memecahkan Masalah pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Ade Ira Nurjanah

NIM. 1112016200015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Analisis Level Metakognitif Siswa dalam Memecahkan Masalah pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Deskriptif Kuantitatif di Kelas XI IPA 2 SMAN 9 Tangerang Selatan

Metakognitif adalah pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya. Dalam memecahkan masalah kimia, memerlukan keterlibatan metakognitif. Setiap siswa memiliki kemampuan metakognitif yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan dengan subjek penelitian sebanyak 33 siswa dari kelas XI IPA 2. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif sehingga datanya berupa hasil tes essai. Hasil tes essai tersebut dianalisis dan ditentukan level metakognitifnya berdasarkan indikator yang telah dibuat. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebanyak 18,18 % siswa berada pada level metakognitif Aware Use, sebanyak 63,64 % siswa berada pada level metakognitif Strategic Use dan sebanyak 18,18 % siswa berada pada level metakognitif Relective Use. Siswa yang memiliki hasil belajar yang tinggi di dalam kelas berada pada level metakognitif Reflective Use. Siswa yang memiliki hasil belajar yang sedang di dalam kelas berada pada level metakognitif Strategic Use. Dan siswa yang memiliki hasil belajar yang rendah di dalam kelas berada pada level metakognitif Aware Use. Rata-rata level metakognitif siswa berada pada level metakognitif Strategic Use, karena rata-rata siswa dapat menggunakan dan menyadari strategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah, tidak hanya mampu memahami masalah.

(6)

vi

Students Metacognitive Level on Solving Probem of Molarity and Molarity Times. A Descriptive Quantitative Research in XI Science of SMAN 9 Tangerang.

Metacognitive is knowledge and understanding of cognitive process, or knowledge of mind and it’s work. Metacognitive is needed on solving problem. Every single of students has different metacognitive abilities. This research is to describe students metacognitive level on solving chemicals molarity problem. This research was held in SMAN 9 Tangerang, by 33 students of XI science 2 as the subject research. This research is a quantitative descriptive by the essay results as the data. This results is analyzed and the metacognitive level is stated based on the indicators. As the results of this research is 18,18% students are in Aware Use level, 63,64% in metacognitive Strategic Use level and 18,18% in metacognive Reflective Use level. Metacognitive Reflecive Use are the level for the high score students. Metacognitive Strategic Use are for middle score students. And metacognitive Aware Use for the low score students. Metacognitive Strategic Use level as the average. Most of the students be able to use and realized the right strategy on solving problems.

(7)

vii

rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah pada baginda alam dan junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti ajaran agamanya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul Analisis Level Metakognitif Siswa dalam Memecahkan Masalah pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali kelarutan dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa lelah memberikan dorongan baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Burhanudin Milama, M.Pd selaku dosen pembimbing I sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Salamah Agung, S.Si, Apt, MA, Ph.D selaku dosen pembimbing

akademik.

4. Ibu Dila Fairusi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Ahmad Nana Mahmur, M.Pd selaku kepala sekolah tempat penulis melakukan penelitian.

6. Bapak Rudinanto, S.Pd selaku wakil kepala sekolah bagian kurikulum di sekolah tempat penulis melakukan penelitian.

7. Seluruh Siswa/Siswi Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 9 Tengerang Selatan sebagai subjek penelitian.

(8)

viii

10. Adik-adik tersayang yang selalu menghibur dan memberikan dorongan semangat penulis.

11. Teman-teman terdekat. Rian raditya, Qurotul aina, Mutia angraeni, Siti masitoh, Ipa ida rosita, Farhatunnisa, Eka yulli kartika, dan yang lainnya yang selalu memberi dukungan semangat dan motivasi dalam pembuatan skripsi ini.

12. Teman-teman mahasiswa FITK angkatan 2012 khususnya mahasiswa pendidikan kimia kelas A yang telah membantu penulis dengan berbagai pendapat dan tenaganya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Ungkapan kata memang tidak akan cukup untuk kebaikan kalian semua. Semoga Allah membalasnya dengan segala kebaikan dan pahala yang berlipat.

Penulis mengakui dan menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh pada kesempurnaan, baik dari segi isi, susunan kalimat dan sistematika penulisannya. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan selanjutnya agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang terdahulu. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang sekiranya jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah melimpahkan rahmat, taufik,dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya rabbal alamin

Jakarta, Desember 2016

(9)

ix

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitan ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Pengertian Pemecahan Masalah ... 7

2. Langkah-langkah dalam Pemecahan Masalah ... 8

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemecahan Masalah ... 10

4. Rintangan Dalam Memecahkan Masalah ... 11

5. Metakognitif ... 12

6. Level Metakognitif ... 16

B. Tinjauan Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan 1. Kelarutan ... 18

(10)

x

6. Reaksi Pengendapan ... 21

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 21

D. Kerangka Berpikir ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

B. Metode Penelitian ... 26

C.Alur Penelitian ... 26

D.Populasi dan Sampel ... 27

E. Teknik Pengumpulan Data ... 27

F. Instrumen Penelitian ... 27

G.Kalibrasi Instrumen ... 28

H.Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 34

B. Analisis dan Pembahasan ... 36

1. Analisis dan Pembahasan Siswa Kelompok Tinggi ... 36

2. Analisis dan Pembahasan Siswa Kelompok Sedang ... 42

3. Analisis dan Pembahasan Siswa Kelompok Rendah ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(11)

xi

Tabel 3.1 : Indikator Soal Instrumen Tes ... 27

Tabel 3.2 : Kriteria Reliabilitas ... 29

Tabel 3.3: Kriteria Tingkat Kesukaran... 30

Tabel 3.4: Kriteria Daya Beda ... 30

Tabel 3.5: Kriteria Penentuan Kategori ... 31

Tabel 3.6: Kriteria Level Metakognitif ... 31

Tabel 4.1: Hasil Tes Level Metakognitif Siswa ... 34

Tabel 4.2: Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Tinggi ... 35

Tabel 4.3: Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Sedang ... 35

Tabel 4.4: Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Rendah ... 36

Tabel 4.5: Analisis Per-butir Soal Kelompok Tinggi ... 36

Tabel 4.6: Analisis Per-butir Soal Sedang ... 42

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Bagan Kerangka Berpikir ... 25

Gambar 3.1: Bagan Alur Penelitian ... 26

Gambar 4.1: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Tinggi ... 39

Gambar 4.2: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Tinggi ... 40

Gambar 4.3: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Sedang ... 45

Gambar 4.4: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Sedang ... 47

Gambar 4.5: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Sedang ... 49

Gambar 4.6: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Rendah ... 53

(13)

xiii

Lampiran 2: Rubrik Penilaian ... 68

Lampiran 3: Instrumen Tes Level Metakognitif Sebelum Validasi ... 84

Lampiran 4: Hasil Validitas Dosen Ahli ... 86

Lampiran 5: Hasil Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran & Daya Beda (Anates) ... 134

Lampiran 6: Instrumen Tes Level Metakognitif Sesudah Validasi ... 139

Lampiran 7: Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa ... 140

Lampiran 8: Hasil Belajar dan Hasil Tes Level Metakognitif ... 144

Lampiran 9: Hasil Tes Level Metakognitif Tiap Kelompok ... 145

Lampiran 10: Hasil Tes Level Metakognitif Per-butir Soal... 147

Lampiran 11: Lembar Uji Referensi ... 150

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembenahan mutu pendidikan terus-menerus dilakukan oleh pemerintah demi terciptanya suatu negara yang berkualitas serta mampu bersaing dengan negara-negara lain. Salah satunya melalui perubahan kurikulum. “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (LeKDiS, 2005, hal. 11).

Kurikulum pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Saat ini kurikulum yang baru saja diterapkan di Indonesia adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan perbaikan dari kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Di dalam kurikulum 2013, salah satu kecerdasan yang dituntut adalah kecerdasan metakognitif siswa. Tuntutan terhadap kecerdasan metakognitif itu disebutkan dalam kompetensi inti nomor 3 yang berbunyi “memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian dalam bidang kerja yang spesifik untuk memecahkan masalah” (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013, hal. 10).

(15)

sifat-sifat tertentu menjadi bentuk-bentuk lain dengan sifat-sifat-sifat-sifat yang berbeda” (Petrucci, 1985, hal. 1).

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2009) mengemukakan bahwa:

Mata pelajaran kimia berorientasi pada misi utamanya, yaitu: pengembangan kenetraan (literasi kimia); memperkenalkan kimia kepada siswa sekolah menengah agar mereka memiliki pondasi yang memadai dan tertarik untuk mempelajari kimia atau disiplin lain yang terkait diperguruan tinggi; pengembangan kemampuan berpikir ilmiah, dalam pengertian penumbuhan kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan cara berpikir dalam kimia, yang mengandalkan observasi, analisis, dan eksperimentasi; dan penumbuhan kesadaran tanggung jawab moral berkenaan dengan penggunaan proses dan produk kimia (hal. 226).

Selain itu, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2009) juga mengemukakan bahwa agar pembelajaran kimia itu menarik, mudah dicerna, serta bermanfaat bagi siswa, ada lima prasyarat yang perlu dipenuhi, yaitu:

1. Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan pemahaman peserta didik yang kuat terhadap pengetahuan dasar kimia.

2. Pembelajaran kimia harus mampu mengembangkan kemampuan peserta didik melakukan penyelidikan dan memecahkan masalah. 3. Pembelajaran kimia harus mampu memperluas wawasan peserta

didik mengenai dampak sosial dan lingkungan yang terkait pada penerapan dan penggunaan proses dan produk kimia di masyarakat. 4. Pembelajaran kimia harus mampu memenuhi kebutuhan fisik dan

psikologis peserta didik.

5. Pembelajaran kimia harus mampu mencerahkan peserta didik tentang karir masa depan yang terkait kimia (hal. 232).

(16)

Yeo (2004) menjelaskan bahwa untuk memecahkan masalah tergantung pada lima faktor di antaranya keterperincian, keahlian, pengetahuan atau konsep, proses metakognitif, dan perbuatan. Proses metakognitif menjadi salah satu faktor dalam memecahkan masalah. Metakognitif itu sendiri ialah istilah yang secara

literal berarti “berpikir mengenai berpikir”. Metakognitif mencakup pemahaman

dan keyakinan pembelajar mengenai proses kognitifnya sendiri dan bahan pelajaran yang akan dipelajari, serta usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berperilaku dan berpikir yang akan meningkatkan proses belajar dan memorinya (Ormrod, 2008, hal. 369).

Dalam memecahkan masalah, ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Seperti yang dikemukakan oleh Bransford & Stain (1993) dalam Santrock (2008) ada empat langkah dalam memecahkan masalah, yaitu: mencari dan memahami masalah; menyusun strategi pemecahan masalah yang baik; mengeksplorasi solusi; serta memikirkan dan mendefinisikan kembali problem dan solusi dari waktu ke waktu.

Dari empat langkah pemecahan masalah tersebut, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda, ada siswa yang hanya mampu mencari dan memahami masalah, ada juga siswa yang mampu menyelesaikannya sampai tahap akhir yaitu memikirkan dan mendefinisikan problem dan solusi dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan kemampuan tersebut terjadi karena setiap siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan metakognitif yang berbeda-beda.

(17)

dan keterampilan metakognitif siswa akan mengganggu proses belajar siswa dan pemecahan masalah.

“Metakognitif memiliki dampak pada pengawasan dan pengendalian

proses-proses pengambilan informasi dan proses-proses inferensi yang berlangsung dalam sistem memori” (Solso, Maclin, O & Maclin, M, 2007, hal. 266). Untuk meningkatkan keterampilan metakognitif, diperlukan adanya kesadaran yang harus dimiliki siswa dalam proses berpikirnya. Namun, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu masalah. Beberapa siswa secara sadar memperhatikan masalah yang diberikan dengan menyelesaikannya secara hierarkis tetapi ada juga siswa yang hanya asal-asalan menjawab ketika dihadapkan pada soal. Hal ini dikarenakan tingkat kesadaran atau tingkat metakognitif yang berbeda. Menurut Swartz & Perkins (1998) tingkat metakognitif terdiri atas 4 tingkatan yaitu Tacit Use, Aware Use, Strategic Use dan Reflective Use.

Setiap siswa memiliki tingkat metakognitif yang berbeda-beda. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sophianingtyas dan Sugiarto (2013) dalam jurnalnya yang berjudul identifikasi level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah materi perhitungan kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level metakognitif pada siswa berbeda-beda. Level metakognitif pada kelompok tinggi adalah reflective use, level metakognitif pada kelompok sedang adalah strategic use, dan level metakognitif pada kelompok rendah adalah aware use.

Selain itu, Al-khayat (2012) juga meneliti tentang level metakognitif dalam jurnalnya yang berjudul The Levels of Creative Thinking and Metacognitive Thinking Skills of Intermediate School in Jordan University. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada perbedaan secara statistik yang signifikan antara rata-rata kemampuan siswa laki-laki dan perempuan dalam berpikir secara kreatif dan metakognitif. Siswa laki-laki memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan.

(18)

memecahkan masalah. Masalah yang diambil pada penelitian ini adalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dipilih karena dalam memecahkan masalah tersebut memerlukan kemampuan berpikir yang kompleks dan pemecahan masalah yang kompleks mensyaratkan keterlibatan metakognitif. Selain itu juga, materi kelarutan dan hasil kali kelarutan merupakan materi perhitungan dan dalam memecahkan masalah tersebut diperlukan langkah-langkah pemecahan masalah yang berurutan. Analisis level metakognitif siswa tersebut perlu dilakukan agar guru dapat memilih dan menentukan pola-pola pengajaran dan model pembelajaran yang lebih baik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan dapat di identifikasikan sebagai berikut:

1. Siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan metakognitif yang berbeda-beda.

2. Banyak siswa hanya asal-asalan menjawab ketika dihadapkan pada soal.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi maka untuk menghindari pembahasan yang terlalu meluas diperlukan pembatasan masalah. Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Level metakognitif siswa yang digunakan adalah level metakognitif siswa menurut Swartz dan Perkins.

2. Langkah yang digunakan dalam pemecahan masalah menurut Bransford & Stain.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat

pada penelitian ini adalah “Bagaimana level metakognitif siswa dalam

(19)

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilaksanakan adalah:

1. Bagi peneliti dan peneliti berikutnya, merupakan wahana uji kemampuan terhadap bekal teori yang peneliti peroleh di bangku kuliah, sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu serta sebagai referensi terhadap penelitian yang relevan degan pokok bahasan yang sejenis.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini mampu memberi informasi pada guru mengenai level metakognitif siswa dan dengan adanya identifikasi level metakognitif dapat digunakan oleh guru dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaran dan model pembelajaran yang lebih baik.

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis

1. Pengertian Pemecahan Masalah

Abror (1993, hal. 127) mengemukakan bahwa “berpikir manusia merupakan proses yang dinamis. Dinamika berpikir ini dimungkinkan oleh pengalaman yang luas, perbendaharaan bahasa yang kaya dan didukung oleh pendidikannya yang baik dan ketajaman dalam berpikir. Puncak berpikir yang sebenarnya adalah terletak pada kemampuannya dalam memecahkan masalah”. Menurut Ormrod (2008, hal. 393)

“pemecahan masalah adalah menggunakan (yaitu mentransfer) pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit”.

Menurut Solso, Maclin O & Maclin M (2007, hal. 434)

“Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang bertujuan untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik”. Sementara itu, Metallideu dalam Mataka, dkk (2014) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah perilaku yang diarahkan pada tujuan yang membutuhkan representasi mental yang tepat dari masalah dan berikutnya aplikasi metode atau strategi tertentu untuk bergerak dari awal atau keadaan saat ini ke keadaan tujuan yang diinginkan. Santrock (2008, hal. 368) mengemukakan bahwa ”pemecahan masalah adalah mencari cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan”. Hal lain diungkap oleh Slameto (1991) bahwa:

(21)

gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah ( hal. 139).

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pemecahan masalah adalah mencari cara yang tepat untuk menemukan suatu solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada. Memecahkan masalah memerlukan kemampuan berpikir yang kompleks.

2. Langkah-langkah dalam Pemecahan Masalah

Menurut Dewey dalam Slameto (1991) “langkah-langkah dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut: kesadaran akan adanya masalah; merumuskan masalah; mencari data dan merumuskan hipotesa; menguji hipotesa dan kemudian menerima

hipotesa-hipotesa yang benar” (hal. 141). Bransford & Stein (1993) dalam Santrock (2008) juga telah melakukan usaha untuk menspesifikasikan langkah-langkah yang harus dilalui individu untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Berikut empat langkah pemecahan masalah:

1) Mencari dan memahami masalah.

2) Menyusun strategi pemecahan masalah yang baik. Setelah siswa menemukan masalah dan mendefinisikannya secara jelas, mereka perlu menyusun strategi untuk memecahkannya. Diantara strategi yang efektif adalah menentukan subtujuan, menggunakan alogaritma, dan mengandalkan heuristic. Menentukan sub tujuan adalah menentukan tujuan intermediate yang membuat siswa bisa berada dalam posisi yang lebih baik untuk mencapai tujuan atau solusi final. Alogaritma adalah strategi yang menjamin solusi atas satu persoalan. Analisis cara tujuan adalah sebuah heuristic dimana seseorang mengidentifikasi tujuan dari suatu masalah, menilai situasi yang ada sekarang, dan mengevaluasi apa-apa yang dibutuhkan untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi tersebut.

3) Mengeksplorasi solusi. Perlu dipertimbangkan kriteria untuk efektivitas solusi.

(22)

masalah biasanya termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya dan membuat kontribusi yang orisinil (hal. 371).

Sementara itu, Hayes (1989) dalam dalam Solso, Maclin, O & Maclin, M (2007) mengemukakan beberapa tahapan pemecahan masalah, yaitu: teknik yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah, antara lain:

1) Berpikir reflektif

Berpikir reflektif adalah pertimbangan yang kuat, tetap dan cermat terhadap keyakinan atau bentuk pengetahuan apapun yang cenderung dianggap benar. Ada tingkat-tingkat persiapan, kesiapan dan reaksi mental yang berbeda selama kegiatan berpikir tersebut. Tingkatan-tingkatan tersebut digambarkan oleh Dewey, yang dikenal dengan sebutan langkah-langkah dalam suatu kegiatan berpikir reflektif sebagai berikut: Kesadaran akan masalah; Memahami masalah; Mengelompokkan data; Merumuskan hipotesis; Menerima atau menolak hipotesis; Menerima atau menolak kesimpulan.

2) Berpikir kreatif

Berpikir kreatif sebagai salah satu teknik pemecahan masalah, mempunyai tingkat-tingkat, yaitu:

a. Persiapan (preparation), yang bersifat pendahuluan. b. Inkubasi (incubation), yang mengingkari masalah yang

dihadapi dalam beberapa saat.

c. Iluminasi (illumination), yaitu proses bangkitnya pikiran yang jernih atau yang menuntut atau mengarahkan gagasan yang menyatakan hipotesis yang membawa ke pemecahan masalah.

d. Pembuktian dan perluasan.

3) Belajar dengan menemukan (learning by discovery)

(23)

memperoleh bimbingan yang terbatas atau tak diberikan bimbingan sama sekali dari guru (hal. 128).

Dalam penelitian ini, digunakan langkah dalam pemecahan masalah menurut Bransford & Stein. Langkah dalam pemecahan masalah tersebut digunakan karena sesuai untuk mengukur level metakognitif siswa.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemecahan Masalah

Ormrod (2008) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah adalah:

1) Memori kerja menempatkan batas atas mengenai seberapa banyak siswa dapat berpikir pada saat mereka mengerjakan suatu soal.

2) Bagaimana siswa menyandikan (encode) suatu masalah mempengaruhi pendekatan mereka dalam usahanya untuk memecahkannya.

Strategi berikut ini dapat membantu para siswa menyandikan soal secara efektif tanpa membuatnya menjadi korban set mental yang tidak produktif: sajikan soal secara konkret; doronglah siswa untuk membuat soal-soal menjadi konkret bagi diri mereka sendiri; tunjukkan aspek-aspek apa saja dari soal tersebut yang dapat dipecahkan siswa; berikan soal-soal yang terlihat berbeda dipermukaannya namun mensyaratkan prosedur pemecahan masalah yang sama atau mirip; campurlah jenis-jenis soal yang dikerjakan para siswa pada satu sesi latihan; mintalah siswa bekerja dalam kelompok untuk mendefinisikan beberapa cara mempresentasikan suatu soal. 3) Siswa biasanya memecahkan soal secara lebih efektif bila

(24)

4) Pemecahan masalah yang sukses tergantung pada kesuksesan pemanggilan kembali (retrieval) pengetahuan yang relevan. 5) Pemecahan masalah yang kompleks mensyaratkan keterlibatan

metakognitif.

Proses-proses metakognitif memainkan peran penting tidak hanya dalam pembelajaran tetapi juga dalam pemecahan masalah. Ketika soal-soal cukup kompleks dan menantang, para pemecah masalah yang efektif umumnya melakukan hal-hal di bawah ini:

a. Mengidentifikasi satu atau lebih tujuan yang harus diselesaikan untuk mencapai solusi masalah.

b. Memecah soal-soal menjadi dua atau lebih subsoal.

c. Merencanakan suatu pendekatan yang sistematik dan berurutan untuk menyelesaikan soal dan berbagai subsoalnya.

d. Terus-menerus memonitor dan mengevaluasi kemajuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya.

e. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin menghalangi kemajuan mereka.

f. Beralih ke strategi yang baru jika strategi yang ada tidak efektif (hal. 398).

4. Rintangan Dalam Memecahkan Masalah

Menurut Santrock (2008) beberapa rintangan yang lazim ditemui dalam memecahkan masalah adalah:

1) Fiksasi, adalah menggunakan strategi sebelumnya dan gagal untuk melihat problem dari sudut pandang baru yang segar. 2) Kurangnya motivasi dan persistensi.

(25)

5. Metakognitif

“Dalam beberapa dekade belakangan ini, istilah metakognitif telah mendapat perhatian yang besar bagi sejumlah ahli psikologi. Bahkan dalam literatur-literatur pendidikan di negara-negara maju, istilah metakognitif telah menjadi sebuah kata yang membuzer, tanpa adanya konsensus tentang apa itu metakognitif, bagaimana mengukurnya, dan bagaimana hubungannya dengan faktor-faktor lain“(Desmita, 2010, hal. 131). “Metakognitif menolong orang mengerjakan tugas-tugas kognitif

secara lebih efektif” (Santrock, 2007, hal. 304). Selain itu juga, menurut

Desmita (2010, hal. 132) “metakognitif memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan kita tentang proses kognitif kita sendiri dapat memandu kita dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita di masa mendatang”.

John Flavell (1976) dalam Aurah, Casady, dan McConnell (2014),

secara sederhana mengartikan metakognitif sebagai “thinking about thinking”. Sementara itu, Shetty (2014) mengemukakan bahwa metakognitif berasal dari kata meta dan kognitif. Meta yang artinya sesudah atau diatas dan kognitif yang artinya untuk mengetahui. Jadi secara harfiah, metakognitif diartikan sebagai kognitif tentang kognitif, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang apa yang dipikirkannya. Meichenbaum, Burland, Gruson, & Camron dalam Yamin (2013, hal 29) mengemukakan bahwa “metakognitif sebagai kesadaran

orang akan mesin pengetahuan sendiri dan bagaimana mesin itu bekerja”.

Menurut Matlin dalam Amin & Sukestiyarno (2015) metakognitif adalah pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognitif atau berpikir mengenai berpikir seseorang. Desmita (2010, hal. 132) mengemukakan

“metakognitif adalah pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya”. Solso, Maclin O & Maclin M (2007) mengemukakan bahwa:

(26)

monitoring). Metamemori termasuk dalam kategori metakognisi yang mengacu pada kemampuan mengetahui apa yang anda ingat. Kita dapat mengerahkan kendali atas proses-proses metakognitif kita untuk secara aktif mencari informasi, namun sebagian besar monitoring terhadap memori berlangsung secara otomatis (terutama monitoring awal terhadap memori, yang dilakukan sebelum suatu pencarian terhadap informasi yang sfesifik) (hal. 266).

Menurut Purpura (1997) dalam Desmita (2010, hal. 133)

“metakognitif merupakan fungsi eksekutif yang membentuk dan membimbing bagaimana seseorang menggunakan pikirannya dan

merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih”. Sementara

itu, Djiwandono (2012, hal. 168) mengemukakan bahwa “metakognitif adalah pengetahuan yang berasal dari proses kognitif kita sendiri beserta hasil-hasilnya. Ketika anak-anak berkembang, mereka menjadi lebih cermat dalam pengertian bagaimana mengontrol dan memonitor belajar mereka sendiri, bagaimana menggunakan bahasa, dan sebagainya”

Hal lain diungkapkan oleh Solso, Maclin O & Maclin M (2007) bahwa:

(27)

Kuhn (2002) dalam Murti (2011) mendefinisikan “metakognitif sebagai kesadaran dan menejemen dari proses dan produk kognitif yang

dimiliki seseorang, atau secara sederhana disebut “berpikir mengenai

berpikir”. Secara umum metakognitif dianggap sebagai suatu konstruk multidimensi”.

Sementara Statt (1998) dalam McGregor (2007) mendefinisikan bahwa metakognitif adalah pengetahuan atau kesadaran proses kognitif. Ormrod (2008, hal. 369) mengemukakan bahwa “metakognitif ialah

istilah yang secara literal berarti “berpikir mengenai berpikir”.

Metakognisi mencakup pemahaman dan keyakinan pembelajar mengenai proses kognitifnya sendiri dan bahan pelajaran yang akan dipelajari, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berprilaku dan berpikir

yang akan meningkatkan proses belajar dan memorinya”.

Menurut Margaret W. Matlin (1995) dalam Desmita (2012, hal. 137) “metakognitif adalah knowledge and awareness about cognitive processes-or our thought about thingking”. Intinya, metakognitif adalah

suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri dan bagaimana kognitif kita bekerja dan mengaturnya, yang akan meningkatkan proses belajar dan memori.

Lebih lanjut, Desmita (2010) mengemukakan bahwa:

Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin tahu karena kita menggunakan proses kognitif kita sendiri sendiri. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting karena pengetahuan kita tentang proses kognitif kita sendiri dapat memandu kita dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita dimasa mendatang. (hal 132)

(28)

Menurut Kaune dalam Yamin (2013, hal. 35) “kemampuan metakognitif merupakan kemampuan yang melihat kembali proses

berpikir yang dilakukan seseorang”. “Metakognitif tidak sama dengan kognitif atau proses berpikir. Metakognitif merupakan suatu kemampuan di mana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami cara ia berpikir atau memahami proses kognitif yang dilakukannya dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan, pengontrolan dan evaluasi” (Desmita, 2010, hal. 133).

Brown dalam Jayapraba (2013) mengemukakan bahwa metakognitif dibagi kedalam dua kategori yaitu pengetahuan tentang kognisi dan pengaturan tentang kognisi. Pengetahuan tentang kognisi mengacu kepada kegiatan yang melibatkan kesadaran refleksi pada suatu kemampuan kognitif dan kegiatan. Sementara itu pengaturan tentang kognisi mengacu pada kegiatan yang menyangkut mekanisme pengaturan diri selama upaya berkelanjutan untuk belajar. Menurut Santrock (2007, hal. 307) seorang remaja memiliki kapasitas yang meningkat untuk memonitor dan menangani sumberdaya-sumberdaya kognitif dibandingkan dengan anak-anak, sehingga ia mampu memenuhi tuntutan tugas pembelajaran secara efektif. Peningkatan kemampuan metakognitif ini menyebabkan fungsi kognitif dan pembelajaran menjadi lebih efektif. Djiwandono (2002) menyatakan bahwa karena anak yang lebih kecil tidak mempunyai perkembangan kemampuan metakognitif, mereka mengalami kesulitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Mengenal ketika suatu masalah menjadi lebih sulit, dan pendekatan baru diperlukan.

2) Menyimpulkan bahwa suatu asumsi itu benar berdasarkan informasi yang ada.

3) Meramalkan hasil dengan menggunakan strategi belajar khusus dalam suatu situasi yang diberikan.

4) Mencoba untuk memonitor cara belajar dan mau mengubah pendekatan jika diperlukan (hal. 170).

“Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa pengetahuan

(29)

kurang menguasai pengetahuan metakognitif ini, guru dapat mengajarkannya kepada mereka” (Desmita, 2010, hal. 137). Kemampuan metakognitif siswa tidak muncul dengan sendirinya, tetapi memerlukan latihan sehingga menjadi kebiasaan. Suherman dalam Santrock, J. W (2004, hal 20) menyatakan bahwa perkembangan metakognitif siswa akan dapat diupayakan melalui cara dimana siswa dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang apa yang dia observasi. Oleh karena itu, penting bagi pendidik (termasuk orangtua) untuk mengembangkan kemampuan metakognitif baik melalui pembelajaran ataupun mengembangkan kebiasaan di rumah.

Ormrod (2008) menyatakan bahwa contoh metakognitif meliputi hal-hal berikut ini:

1) Merefleksikan hakikat umum berpikir, belajar, dan pengetahuan

2) Mengetahui batasan-batasan pembelajaran (learning) dan kapabilitas memori

3) Mengetahui tugas-tugas belajar apa saja yang dapat dipenuhi secara realitas dalam suatu periode tertentu

4) Merencanakan pendekatan yang masuk akal terhadap tugas belajar

5) Mengetahui dan mengaplikasikan strategi-strategi yang efektif untuk belajar dan mengingat materi baru

6) Memonitor pengetahuan dan pemahaman seseorang, misalnya mengenali ketika seseorang sudah atau belum mempelajari sesuatu dengan sukses (hal. 370).

6. Level Metakognitif

(30)

metakognitif, diperlukan adanya kesadaran yang harus dimiliki siswa pada setiap langkah berpikirnya. “Kesadaran (consciousness) adalah kesiagaan (awareness) seseorang terhadap peristiwa-peristiwa di lingkungannya (sepperti pemandangan dan suara-suara dari lingkungan sekitarnya) serta peristiwa-peristiwa kognitif yang meliputi memori, pikiran, perasaan, dan sensasi-sensasi fisik” (Solso, Maclin O & Maclin M, 2007, hal. 240). Namun, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Berikut ini tingkat kesadaran/tingkat metakognitif siswa dalam berpikir ketika menyelesaikan suatu masalah oleh Swartz dan Perkins (1998), yaitu:

1) Tacit use adalah penggunaan pemikiran tanpa kesadaran. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam memecahkan masalah.

2) Aware use adalah penggunaan pemikiran dengan kesadaran. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini, siswa menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut.

(31)

4) Reflective use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat reflektif. Jenis pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkah- langkah penyelesaian masalah (hal. 421). McGregor (2002, hal. 216) berpendapat lain mengenai level metagognitif, berikut level metakognitif menurut McGregor:

1) Level pertama, menyadari berpikir dan mampu untuk menggambarkan hal itu.

2) Level kedua, mengembangkan tanggung jawab dari strategi berpikir/proses kognitif yang digunakan dan setelah digunakan.

3) Level ketiga, refleksi evaluatif prosedur (sebelum/ selama/sesudah).

4) Level keempat, transfer pengalaman prosedural dan pengetahuan untuk konteks lain.

5) Level kelima, menghubungkan pemahaman konseptual dengan cara mengalami.

Hofer & Pintrich; Perkins, 1995; Schneider & Lockl, 2002 dalam Ormrod, (2008, hal. 370) mengemukakan bahwa “semakin banyak pembelajar tahu tentang proses berpikir dan belajar, yaitu semakin besar kesadaran metakognitif mereka, semakin baik proses belajar dan prestasi yang mungkin mereka capai”.

B. Tinjauan Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

1. Kelarutan

(32)

dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu suhu, sifat solvent, sifat solute, dan

tekanan”.

a. Suhu

“Kelarutan dari kebanyakan garam anorganik dalam air akan

bertambah dengan naiknya suhu” (Brady, hal. 623). Adanya panas mengakibatkan semakin renggangnya jarak antarmolekul zat padat, sehingga kekuatan gaya antarmolekul semakin lemah dan mudah terlepas oleh gaya tarik dari molekul-molekul air (Sudarmo, 2013: 288).

b. Sifat solvent

“Prinsip like dissolves like sangat umum digunakan dalam bidang kimia. Kelarutan yang besar terjadi bila molekul-molekul solute mempunyai kesamaan dalam struktur dan sifat-sifat kelistrikan dengan molekul-molekul solvent” (Sastrohamidjojo (2010, hal. 239).

c. Sifat solute

“Penggantian solute berarti pengubahan interaksi-interaksi solute-solute dan solute-solvent. Seperti, pada suhu kamar jumlah sukrosa yang dapat larut dalam air adalah 1311 gram per liter larutan. Ini adalah empat kali lebih besar dari pada kelarutan NaCl” (Sastrohamidjojo, 2010, hal. 240).

d. Tekanan

“Apabila tiba-tiba tekanan gas dinaikkan, berarti molekul-molekulnya akan dimampatkan, sehingga akan mempercepat

kelarutannya” (Brady, 2000, hal. 626). 2. Tetapan Hasil Kali Kelarutan

Perak kromat sedikit larut dalam air. Kesetimbangan dalam larutan jenuhnya ialah: (Petrucci, 1985, hal. 331)

Ag2CrO4(p) 2Ag+(aq) + CrO42-(aq)

(33)

atau basa yang sukar larut. Harga tetapan hasil kali kelarutan sama dengan konsentrasi molar ion-ion penyusun dari larutan jenuh garam yang sukar larut dalam air, masing-masing konsentrasi dipangkatkan dengan koefisien stoikiometri di dalam reaksi kesetimbangan” (Chang, 2005, hal. 145).

Persamaan tetapan hasil kali kelarutan untuk Ag2CrO4 sesuai dengan

persamaan diatas adalah: (Petrucci, 1985, hal. 331)

Ksp = [Ag+]2 [CrO42-]

3. Hubungan Antara Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

Secara umum hubungan kelarutan (s) dengan tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) untuk elektrolit AxBy dapat dinyatakan sebagai berikut:

(Purba, 2006, hal. 268)

AxBy(s) xAy+(aq) + yBx-(aq)

s xs ys

Ksp = [Ay+]x [Bx-]y

= (xs)x (ys)y = xx yy s(x+y)

4. Pengaruh Penambahan Ion Senama Terhadap Kelarutan

Chang (2005) mengemukakan bahwa:

Suatu zat elektrolit umumnya lebih mudah larut dalam pelarut air murni daripada dalam air yang mengandung salah satu ion dari elektrolit tersebut. Hal ini sesuai dengan Asas Le Chatelier, sistem dalam keadaan setimbang menanggapi peningkatan salah satu pereaksi dengan cara menggeser kesetimbangan ke arah pereaksi tersebut diberi aksi. Jika AgNO3 dilarutkan dalam larutan AgCl jenuh, ternyata kelarutan AgNO3

dalam larutan-larutan lebih kecil. Hal ini disebabkan karena sebelum AgNO3(s) terionisai menjadi Ag

+

(aq) , di dalam larutan

sudah terdapat ion Ag+ dari AgCl

AgNO3(s) Ag+(aq) + NO3-(aq)

(34)

Penambahan Ag+ dari AgNO3 menggeser kesetimbangan ke kiri

atau dari arah zat yang ditambah, sehingga AgNO3 yang larut

makin sedikit. Dengan demikian, adanya ion senama memperkecil kelarutan (hal. 151).

5. Pengaruh pH terhadap kelarutan

Purba (2007) mengemukakan bahwa:

Tingkat keasaman (pH) larutan dapat mempengaruhi kelarutan dari berbagai jenis zat. Suatu basa umumnya lebih mudah larut dalam larutan yang bersifat asam, dan sebaliknya lebih sukar larut dalam larutan yang bersifat basa. Garam-garam yang berasal dari asam lemah akan lebih mudah larut dalam larutan yang bersifat asam kuat (hal. 272).

6. Reaksi Pengendapan

“Dengan mengetahui aturan kelarutan dan hasil kali kelarutan, kita dapat memprediksi apakah terbentuk endapan jika mencampur dua larutan atau menambah senyawa dapat larut ke dalam larutan” (Chang, 2005, hal. 149).

Menurut Petrucci (1987), pengendapan dari larutan ialah: a. Pengendapan terjadi jika Q > Ksp

b. Pengendapan tak terjadi jika Q < Ksp

c. Larutan tepat jenuh jika Q = Ksp (hal. 337).

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Fitaria Sophianingtyas dan Bambang Sugiarto, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya Tahun 2013 dengan judul

“Identifikasi Level Metakognitif Siswa Dalam Memecahkan Masalah Materi Perhitungan Kimia”.

(35)

terdiri dari subjek S1 dan S2 adalah Strategic Use, dan level metakognitif pada kelompok rendah yang terdiri dari subjek R1 dan R2 adalah Aware Use.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Puji Rahayu dan Utiya Azizah tahun 2012

dengan judul “Students Metacognition Level Through of Implementation of Problem Based Learning with Metacognitive Strategies at SMAN 1 Manyar”.

Melalui implementasi problem base learning dengan strategi metakognitif dapat meningkatkan penguasaan metakognitif siswa. Sebanyak 33,33% siswa berada pada level metakognitif Aware Use, sebanyak 43,33% siswa berada pada level metakognitif Strategic Use, dan sebanyak 23,34% siswa berada pada level metakognitif Reflective Use.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Nahil M Aljaberi & Eman Gheith Tahun

2015 dengan judul “University Student Level of Metacognitive Thingking and their Ability to Solve Problems”

Mahasiswa Universitas Petra memiliki tingkat menengah berpikir metakognitif, dan bahwa variabel jenis kelamin, fakultas, jurusan SMA, dan tahun saat ini di universitas itu tidak berpengaruh pada tingkat berpikir metakognitif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tersebut mengalami kurangnya kemampuan dalam memecahkan masalah matematika dan ilmiah; tidak ada signifikansi korelasi antara tingkat pemikiran metakognitif dalam skala keseluruhan dan kemampuan untuk memecahkan masalah matematika dan ilmiah. Namun, ada korelasi yang signifikan antara beberapa faktor pemikiran metakognitif dan kemampuan untuk memecahkan masalah matematika, dan ini adalah: pengetahuan prosedural, evaluasi, kesalahan memilih dan mengelola pengetahuan.

(36)

menunjukkan bahwa ada perbedaan secara statistik yang signifikan antara rata-rata kemampuan siswa laki-laki dan perempuan dalam berfikir secara kognitif dan metakognitif serta berpikir tingkat tinggi metakognitif dari sudut pandang siswa. Siswa laki-laki memiliki kemampuan metakognitif yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Zoubi (2013) yang berjudul “The level of metacognitive thinking among special education students”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa pendidikan khusus di Najran University, Arab Saudi yang terdiri dari (282) siswa yang dijadikan sampel memiliki tingkat pemikiran metakognitif yang tinggi yang didukung dengan prestasi akademik tinggi. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik yang dapat dikaitkan dengan jenis kelamin atau tingkat studi.

D. Kerangka Berpikir

Memecahkan masalah kimia merupakan aktivitas penting dalam belajar kimia. Memecahkan masalah kimia memerlukan kemampuan berpikir kompleks. Pemecahan masalah yang kompleks mensyaratkan keterlibatan metakognitif. Metakognitif memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir lebih efektif dan efisien.

Dalam memecahkan masalah ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu mencari dan memahami masalah; menyusun strategi pemecahan yang baik; mengeksplorasi solusi; serta memikirkan dan mendefinisikan kembali problem dan solusi dari waktu ke waktu.

(37)

hanya asal-asalan menjawab ketika dihadapkan pada soal. Hal ini dikarenakan tingkat kesadaran atau tingkat metakognitif yang berbeda. Menurut Swartz & Perkins tingkat metakognitif siswa dalam memecahkan masalah ada empat yaitu: tacit use, aware use, strategic use dan reflective use.

(38)

Dilihat Dari

Langkah Pemecahan Masalah Level Metakognitif

Tacit Use

Menyusun strategi pemecahan yang baik

Mengeksplorasi solusi

Memikirkan dan mendefinisikan kembali problem dan solusi dari

waktu ke waktu

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Mencari dan memahami masalah

Aware Use

Strategic Use

Reflective Use Masalah Pada Materi Kelarutan

dan Hasil Kali Kelarutan

Siswa Memperhatikan Masalah Siswa hanya Asal-asalan Menjawab

Level Metakognitif Siswa Berbeda-beda

Dihasilkan Level Metakognitif yang berbeda-beda Level Metakognitif Siswa

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan. Adapun waktu yang digunakan dalam kegiatan penelitan ini adalah pada bulan Mei semester genap tahun 2016.

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian desktiptif kuantitatif. Penelitian ini mendeskripsikan karakteristik tingkat metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

C. Alur Penelitian

Penelitian ini meliputi beberapa tahapan, dimulai dari persiapan, pelaksanaan dan analisis data. Seluruh tahapan tersebut tergambar pada gambar 3.1 alur penelitian di bawah ini.

Bagan 3.1 Alur Penelitian

Analisis Keterampilan yang Dituntut dalam Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013

Pemilihan Materi

Pembuatan Instrumen

Pengujian Instrumen

Pengolahan Data

Analisis dan Pembahasan

(40)

D. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 9 Tangerang Selatan tahun ajaran 2015-2016 yang berjumlah 5 kelas.

Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diambil satu dari lima kelas yang ada. Adapun sampel yang terpilih adalah semua siswa kelas XI IPA 2.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes. Tes yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dimana seluruh siswa kelas XI IPA mengikuti ulangan harian materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis berbentuk tes esai yang bertujuan untuk melihat level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Soal-soal diambil dari beberapa sumber dan diadaptasikan untuk tujuan penelitian. Instrumen tes ini menggunakan soal dengan kompetensi dasar memprediksi terbentuknya endapan dari suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan dan data hasil kali kelarutan (Ksp).

Tabel 3.1 Indikator Soal Instrumen Tes

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Indikator

(41)

ilmu pengetahuan,

hasil kali kelarutan Memprediksi terbentuknya endapan dari suatu reaksi

Setelah dibuat instrumen berupa tes, maka instrumen harus dikalibrasi agar dapat digunakan untuk mengukur variabel yang diinginkan. Kalibrasi itu meliputi uji validitas, uji reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya beda.

1) Validitas instrumen

“Validitas atau kesahihan menunjukkan pada kemampuan suatu instrumen

(alat pengukur) mengukur apa yang harus diukur”(Suharsaputra, 2014, hal. 98). Karena instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes, maka validitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pengujian validitas konstruksi dan validitas isi (Sugiyono, 2013, hal. 123).

a. Pengujian validitas konstruksi

Untuk menguji validitas konstruksi, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgement experts). Dalam hal ini setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli.

b. Pengujian validitas isi

(42)

Validitas suatu tes dinyatakan dengan angka korelasi koefisien. Berdasarkan uji validitas menggunakan program Anates V4. Jika rhitung> rtabel maka butir soal

dikatakan valid. Dari 12 butir soal yang diujikan didapat 7 butir soal yang valid, namun hanya 6 soal dalam instrumen.

2) Reliabilitas instrumen

Reliabilitas tes adalah tingkat ke ajegan (konsistensi) suatu tes, yakni sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang ajeg/konsisten (tidak berubah-ubah) (Sofyan, dkk, 2006, hal. 105).

“Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal dan maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan dengan test-retest (stability), equivalen, dan gabungan keduanya. Secara internal reliabilitas instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu” (Sugiyono, 2013, hal 130).

Instrumen level metakognitif diukur reliabilitasnya dengan menggunakan Anates. Kriteria reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut: (Arifin, 2009, hal 257)

Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas

Kriteria Indeks Klasifikasi Penafsiran

Reliabilitas

r11 ≤ 0,20 Sangat Rendah Buruk Sekali

0,20 < r11 ≤ 0,40 Rendah Buruk

0,40 < r11 ≤ 0,60 Sedang Cukup

0,60 < r11 ≤ 0,80 Tinggi Baik

r11 > 0,80 Sangat Tinggi Sangat Baik

Berdasarkan uji reliabilitas dengan menggunakan Anates V4 didapatkan nilai reliabilitas seluruh item adalah 0,7 termasuk dalam kategori baik.

3) Taraf kesukaran

(43)

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran

Kriteria Indeks Klasifikasi

Tingkat Kesukaran

TK < 0,3 Sukar

0,3 ≤ TK ≤ 0,7 Sedang

TK > 0,70 Mudah

Hasil pengujian taraf kesukaran seluruh butir soal dengan menggunakan Anates V4 secara lengkap terdapat dalam lampiran 4.

4) Daya pembeda

Analisis Daya pembeda butir soal akan digunakan AnatesV4. Indeks daya beda butir soal bergerak dari -1 sampai +1, semakin tinggi indeks daya beda butir soal tersebut menunjukkan bahwa semakin dapat membedakan peserta tes yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dan siswa yang kurang pandai. Kategori indeks daya beda butir soal menurut Ebel dalam Arifin (2009, hal. 274) adalah sebagai berikut.

Tabel 3.4 Kriteria Daya Beda

Kriteria Indeks Klasifikasi

Daya beda

DP < 0,20 Jelek

0,20 ≤ DP < 0,30 Cukup 0,30 ≤ DP < 0,40 Baik

D ≥ 0,40 Baik Sekali

Hasil pengujian daya beda seluruh butir soal dengan menggunakan Anates V4 secara lengkap terdapat dalam lampiran 4.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah

(44)

2. Mencocokan jawaban tes tulis dengan alternatif jawaban. 3. Memberi skor pada masing-masing soal tes tulis peserta didik.

4. Membagi peserta didik dalam 3 kriteria yaitu kriteria tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan kriteria ini diambil dari skor yang didapat oleh siswa dalam tes level metakognitif dengan kriteria:

Tabel 3.5 Kriteria Penentuan Kriteria

Kriteria Skor Siswa (x)

Tinggi x ≥ mean + SD

Sedang Mean + SD > x > mean – SD

Rendah x < mean – SD

(Sudijono, 2005, hal. 451) 5. Menganalisis tes tulis berdasarkan langkah pemecahan masalah untuk mendeskripsikan level metakognitif peserta didik dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

6. Menentukan level metakognitif peserta didik dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan tiap soal berdasarkan ketentuan berikut:

Tabel 3.6 Kriteria Level Metakognitif

Tingkat

Metakognitif Indikator Metakognitif

Tacit Use

 Siswa memusatkan perhatian langsung pada

pertanyaan dalam masalah, sehingga fokusnya hanya pada jawaban.

 Siswa memberi penjelasan yang tidak menentu,

memberi jawaban yang tidak beralasan.

 Siswa tidak menyadari kalau hasil yang diperoleh

(45)

 Siswa menyelesaikan masalah dengan hanya

mencoba-coba (kurang memahami masalah yang diberikan).

 Siswa tidak mengetahui apa yang tidak

diketahuinya.

 Memiliki kelemahan dalam menguasai materi

serta menganalisis masalah.

Aware Use

 Siswa mengalami kebingungan ketika membaca

masalah.

 Siswa mengambil suatu keputusan yang dilatar

belakangi suatu alasan tertentu.

 Siswa menyadari kelemahan yang dimiliki.

 Siswa mengetahui apa yang tidak diketahuinya.

 Siswa memahami masalah yang diselesaikannya.

 Siswa menguasai konsep kimia yang mendasari

masalah tersebut.

Strategic Use

 Siswa menyadari kemampuannya.

 Siswa umumnya mengetahui apa yang

dilakukannya.

 Siswa memberikan argumen yang mendukung

pemikirannya (mencoba-coba, mengecek dan merevisi apa yang dipikirkan).

 Siswa memiliki cara untuk meyakinkan apa yang

dibuat.

 Siswa menggunakan strategi yang memunculkan

kesadaran.

 Siswa memiliki kemampuan dalam menguasai

konsep kimia yang berkaitan dengan masalah yang diberikan.

(46)

Use mengecek setiap langkah dan langsung melakukan revisi.

 Siswa menggunakan berbagai strategi untuk

menunjukkan atau meningkatkan ketepatan berpikirnya.

 Siswa menganalisis masalah sebelum

menyelesaikannya.

 Siswa menguasai konsep kimia yang mendasari

masalah yang diberikan.

Kriteria level metakognitif ini diadopsi dari Theresia Laurens (2010) dalam jurnalnya yang berjudul penjenjangan metakognisi siswa yang valid dan reliabilitas dengan mengalami beberapa perubahan sesuai dengan kebutuhan.

(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data yang digunakan untuk analisis adalah hasil tes peserta didik subjek penelitian. Data diidentifikasi level metakognitif peserta didik berdasarkan indikator yang dibuat.

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang di dapat yaitu berupa hasil tes level metakognitif siswa yang telah diberikan materi tentang kelarutan dan hasil kali kelarutan. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA 2 di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan. Setelah siswa diberikan materi tentang kelarutan dan hasil kali kelarutan, siswa tersebut diberikan ulangan harian (tes level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan). Berikut disajikan data mengenai perolehan hasil tes level metakognitif siswa dalam memecahkan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan.

Tabel 4.1 Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelas XI IPA 2 di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan

No Level Metakognitif Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Tacit Use 0 0

2 Aware Use 6 18,18

3 Strategic Use 21 63,64

4 Reflective Use 6 18,18

Jumlah 33 100

(48)

dibuat berdasarkan hasil tes formatif di dalam kelas. Ada tiga kelompok, yaitu kelompok tinggi, sedang dan rendah.

1. Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Tingi

Tabel 4.2 Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Tinggi

No Level Metakognitif Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Tacit Use 0 0

2 Aware Use 0 0

3 Strategic Use 3 33

4 Reflective Use 6 67

Jumlah 9 100

Berdasarkan Tabel 4.2 siswa yang memiliki kemampuan tinggi di dalam kelas (siswa kelompok tinggi) memiliki hasil yang bagus juga ketika dilakukan tes level metakognitif pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Sebanyak 3 atau 33 % siswa kelompok tinggi berada pada level metakognitif Strategic Use dan sebanyak 6 atau 67 % siswa kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use. Rata-rata hasil tes level metakognitif siswa pada kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use.

2. Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Sedang

Tabel 4.3 Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Sedang

No Level Metakognitif Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Tacit Use 0 0

2 Aware Use 0 0

3 Strategic Use 15 100

4 Reflective Use 0 0

Jumlah 100

(49)

ketika dilakukan tes level metakognitif pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Sebanyak 15 atau 100% siswa kelompok sedang berada pada level metakognitif Strategic Use.

3. Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Rendah

Tabel 4.4 Hasil Tes Level Metakognitif Siswa Kelompok Rendah

No Level Metakognitif Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Tacit Use 0 0

2 Aware Use 6 67

3 Strategic Use 3 33

4 Reflective Use 0 0

Jumlah 9 100

Berdasarkan Tabel 4.4 siswa yang memiliki kemampuan rendah di dalam kelas memiliki hasil yang bervariasi ketika dilakukan tes level metakognitif pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Sebanyak 3 atau 33% siswa kelompok rendah berada pada level metakognitif Strategic Use dan sebanyak 6 atau 67% siswa kelompok rendah berada pada level metakognitif Aware Use. Rata-rata hasil tes level metakognitif siswa pada kelompok rendah berada pada level metakognitif Aware use.

B. Analisis dan Pembahasan

1. Analisis dan Pembahasan Siswa Kelompok Tinggi

Tabel 4.5 Analisis Per-butir Soal Kelompok Tinggi

No Hasil analisis

Siswa 1 soal: Siswa 2 soal: Siswa 3 soal:

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

1

Mencari dan

memahami masalah (menuliskan

diketahui & ditanya secara lengkap)

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

2

Menyusun stategi

pemecahan yang

baik (menuliskan

(50)

rencana

metakognitif Reflective Use Reflective Use Reflective Use

Keterangan : ( √ ) = Ya pada level metakognitif Reflective Use dan Strategic Use. Pada beberapa soal subjek kelompok tinggi berada pada level metakognitif Strategic Use dan pada beberapa soal lainnya berada pada level metakognitif

Reflective Use. Siswa kelompok tinggi mampu menuliskan data-data

(51)

Dalam penelitian ini, siswa kelompok tinggi atau siswa yang memiliki hasil belajar yang tinggi di dalam kelas memiliki hasil yang bagus juga atau dikategorikan tinggi ketika dilakukan tes level metakognitif dalam menyelesaikan masalah pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Al-Zoubi (2013) & Nurmaliah (2009) bahwa siswa yang memiliki hasil belajar yang tinggi memiliki level metakognitif yang tinggi juga. Tetapi, dalam penelitian ini ada dua siswa yang memiliki hasil tes yang dikategorikan sedang seperti yang tercantum dalam Lampiran 8. Hal ini dapat terjadi karena dalam menyelesaikan masalah siswa tersebut melewatkan langkah-langkah tertentu sehingga mengurangi skor atau nilai yang diperoleh sehingga hasil tes level metakognitifnya hanya masuk dalam kategori sedang. Akan tetapi, meskipun memiliki kategori yang berbeda, semua siswa kelompok tinggi berada pada level metakognitif yang sama yaitu Strategic Use dan Reflective Use. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sophiningtyas dan Sugiarto (2013), peserta didik pada kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use. Dalam penelitian yang lain, penelitian yang dilakukan oleh Mahromah dan Manoy (2013) bahwa siswa yang memiliki kemampuan tinggi tergolong pada tingkat metakognitif Strategic Use.

(52)

mampu mengetahui cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah serta tidak melakukan evaluasi terhadap hasil pemikirannya.

Berikut disajikan data hasil tes tulis perwakilan siswa kelompok tinggi (siswa 1) pada soal no 1 dengan soal: “Dalam 4 liter air pada 250C dapat larut sebanyak-banyaknya 13,28 gram Ag2CrO4. Tentukan kelarutan

Ag2CrO4. (Ar O =16; Cr = 52; Ag = 108)”. Pada soal ini, siswa kelompok tinggi (siswa 1) berada pada level metakognitif Reflective Use.

Gambar 4.1 Hasil Tes Tulis Perwakilan Siswa Kelompok Tinggi Soal 1

Berdasarkan hasil tes tulis siswa 1 pada soal no 1 terlihat adanya penulisan Diket dan Dit. Makna Diket merupakan diketahui dan Dit adalah ditanya. Jadi dengan menuliskan diket (diketahui) dan dit (ditanya), siswa 1 telah menuliskan data-data untuk menyelesaikan masalah, yaitu volume air, suhu, massa Ag2CrO4, dan Mr Ag2CrO4.

Siswa 1 juga menuliskan data yang ditanya, yaitu kelarutan atau dituliskan dengan lambang S. Hal ini menunjukkan bahwa siswa 1 sudah dapat mencari dan memahami masalah dengan benar dalam aktivitas metakognitifnya.

(53)

mencari mol Ag2CrO4 terlebih dahulu kemudian mencari kelarutan

Ag2CrO4. Mol Ag2CrO4 yang dihasilkan benar dan jawaban kelarutan

Ag2CrO4 juga benar. Proses mendapatkan mol dan kelarutan Ag2CrO4

tersebut juga benar. Berdasarkan hasil analisis diatas siswa 1 melakukan proses solusi dalam menyelesaikan masalah dan aktivitas pemantauan dalam aktivitas metakognitif yang meliputi menuliskan prosedur penyelesaian masalah dengan sesuai, prosedur yang digunakan benar, dan hasil yang diperoleh juga benar.

Pada Gambar 4.1, siswa 1 menuliskan kata Jadi diakhir jawabannya. Penulisan kata Jadi ini menunjukkan bahwa siswa 1 melakukan proses evaluasi dalam menyelesaikan masalah dan aktivitas evaluasi pada aktivitas metakognitifnya.

Berdasarkan data tertulis diperoleh bahwa siswa 1 dapat memahami masalah dengan benar, merencanakan langkah-langkah penyelesaian masalah dan menyelesaikan masalah dengan benar, dan melakukan evaluasi selama proses pemecahan masalah, serta hasil akhirnya. Hasil analisis dan kesesuaian dengan indikator pada Tabel 3.2 menjelaskan bahwa siswa 1 berada pada level metakognitif Reflective Use.

Pada soal yang lain, siswa kelompok tinggi (siswa 1) memiliki level metakognitif yang berbeda, seperti pada soal no 6. Pada soal ini siswa 1 berada pada level metakognitif Strategic Use. Pada Gambar 4.2 terdapat hasil tes tulis perwakilan siswa kelompok tinggi (siswa 1) pada soal no 6

dengan soal “Bagaimana pengaruh ion senama Cl dari kelarutan AgCl yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0,1 M, jika diketahui Ksp AgCl = 1 X 10-10”.

(54)

Berdasarkan hasil pekerjaan siswa 1 pada soal no 6 terlihat adanya penulisan Dik dan Dit. Jadi dengan menuliskan dik (diketahui) dan dit (ditanya), siswa 1 telah menuliskan data-data untuk menyelesaikan masalah, yaitu Ksp AgCl dan konsentrasi NaCl. Siswa 1 juga menuliskan data yang ditanya yaitu pengaruh ion senama Cl dari kelarutan AgCl dalam larutan NaCl. Hal ini menunjukkan bahwa siswa 1 sudah dapat mencari dan memahami masalah dengan benar dalam aktivitas metakognitifnya.

Pada Gambar 4.2 juga terdapat tulisan jwb yang berarti jawab, pada bagian ini siswa 1 menuliskan strategi penyelesaian masalah berupa mencari kelarutan AgCl terlebih dahulu baru kemudian memberikan kesimpulan bagaimana pengaruh ion senama Cl dari kelarutan AgCl yang dilarutkan dalam larutan NaCl. Kelarutan dan kesimpulan yang diambil benar. Akan tetapi, strategi penyelesaian masalah yang digunakan oleh siswa 1 kurang tepat, seharusnya siswa 1 mencari kelarutan AgCl dalam air terlebih dahulu baru kemudian mencari kelarutan AgCl dalam larutan NaCl, setelah itu dibandingkan nilai kelarutannya dan diambil berupa kesimpulan bagaimana pengaruh ion senama Cl tersebut terhadap kelarutannya. Dalam hal ini siswa 1 sudah memahami konsepnya secara matang bahwa ion senama itu akan memperkecil kelarutannya sehingga siswa 1 tidak mencari kelarutan AgCl dalam air terlebih dahulu. Berdasarkan hasil analisis diatas siswa 1 melakukan proses solusi dalam menyelesaikan masalah akan tetapi kurang melakukan aktivitas pemantauan dalam aktivitas metakognitif. Siswa 1 menuliskan prosedur penyelesaian masalah, prosedur yang digunakan kurang tepat akan tetapi hasil yang diperoleh benar.

(55)

Berdasarkan data tertulis diperoleh bahwa siswa 1 dapat mencari dan memahami masalah dengan benar, merencanakan langkah-langkah penyelesaian masalah dan menyelesaikan masalah dengan benar, kurang melakukan evaluasi selama proses pemecahan masalah, dan hasil akhirnya. Berdasarkan hasil analisis dan kesesuaian dengan indikator pada tabel 3.2 siswa 1 berada pada level metakognitif Strategic Use.

Berdasarkan hasil tes tulis perwakilan siswa kelompok tinggi di atas, terlihat bahwa siswa kelompok tinggi dapat berada pada level metakognitif Strategic Use dan Reflective Use. Karena level metakognitif yang dominan pada kelompok tinggi adalah Reflective Use, maka siswa kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sophiningtyas dan Sugiarto (2013), peserta didik pada kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use. Siswa kelompok tinggi berada pada level metakognitif Reflective Use karena siswa kelompok tinggi mampu merefleksikan pemikirannya kembali tidak hanya mampu memahami masalah dan merencanakan strategi penyelesaian masalah dengan baik, tetapi juga mampu mengambil keputusan secara sadar dalam memecahkan masalah dan mempertimbangkan perolehan hasilnya. (Safitri & Saleh, 2015)

2. Analisis dan Pembahasan Siswa Kelompok Sedang

Tabel 4.6 Analisis Per-butir Soal Kelompok Sedang

Gambar

Gambar 2.1: Bagan Kerangka Berpikir ...........................................................
Tabel 3.1 Indikator Soal Instrumen Tes
Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara self-efficacy dan metakognitif dalam pembelajaran siswa SMA pada konsep Genetika, selain itu juga

Fakta lapangan yang mengacu pada keterampilan metakognitif aspek perencanaan menunjukkan bahwa siswa cenderung mampu mentransformasikan soal cerita menjadi model

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa kesalahan terbanyak yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal adalah kesalahan karena kurangnya keterampilan,

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif. “A Metacognitive Approach to Solving Algebra Problems”. “Proses Metakognisi Dalam Pemecahan Masalah Matematika Pada

Keefektifan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) berbantuan buku saku pada hasil belajar kimia siswa SMA materi kelarutan dan hasil kali kelarutan ditunjukan

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Berorientasi HOTS (Higher Order Thinking Skills) terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa

Hasil tes tulis subjek S2 Pada data tes tertulis memperlihatkan adanya aktivitas perencanaan dilihat garis bawah sebagai apa yang diketahui sehingga saat wawancara

siswa reflektif menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dengan menggunakan notasi yang tepat, serta dapat menentukan tujuan masalah, siswa reflektif juga