INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI
LAMPUNG DAN JAWA BARAT
ANNA FITRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 8 Agustus 2006
Anna Fitriani
Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat (HERMANTO SIREGAR sebagai ketua, dan ARIEF DARYANTO sebagai anggota Komisi Pembimbing).
Industri pakan ternak ayam sebagai penyedia pakan jadi bagi perusahaan peternakan ayam memiliki posisi strategis di dalam pembangunan peternakan. Namun di dalam perkembangannya mengalami berbagai hambatan diantaranya sulitnya memperoleh bahan baku (raw material) di dalam negeri sehingga dibutuhkan impor. Perilaku seperti ini tentunya akan berdampak kepada kinerja industri pakan. Selain itu, adanya indikasi struktur industri pakan sekarang ini dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dan membentuk oligopoli. Di sisi lain, ada keterkaitan yang kuat antara struktur, perilaku dan kinerja, dimana kinerja nantinya akan menentukan struktur industri selanjutnya. Akan tetapi, secara empiris belum ada data yang menginformasikan keterkaitan dari ketiga komponen tersebut, sehingga perlu dilakukan kajian secara komprehensif.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis keterkaitan Structure – Conduct – Performance
(Struktur – Perilaku – Kinerja), (2) menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam dan (3) merumuskan kebijakan bagi pemerintah dalam mendorong perkembangan industri pakan. Penelitian ini menggunakan data pooling yaitu gabungan time series dari tahun 1999 – 2003 dan cross section pada sembilan industri pakan di propinsi Lampung dan Jawa Barat, yang dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Model terdiri dari 17 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dan pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2 SLS (Two Stage Least Squares).
Hasil pendugaan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam dimana masuknya pesaing baru ke dalam industri mendorong perusahaan menekan biaya produksi melalui pengurangan penggunaan input bahan baku yang harganya relatif mahal dan susah didapat yaitu bungkil kedele. Perilaku biaya ini selanjutnya berdampak kepada efisiensi biaya dan harga output pakan. Selanjutnya harga pakan akan menarik perusahaan untuk masuk atau keluar dari industri. Apabila dilihat dari indikator rasio konsentrasi, struktur pasar pakan di propinsi Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli, sementara di Jawa Barat mengarah ke persaingan monopolistik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario peningkatan permintaan lebih besar dampaknya terhadap industri pakan dibanding skenario peningkatan penawaran dan kenaikan harga input, terutama terkait efisiensi industri.
Perkembangan industri pakan ternak harus didukung dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak. Selain itu, penyediaan input berupa bahan baku penyusun pakan terutama bahan baku sumber protein alternatif pengganti bungkil kedele melalui kegiatan penelitian menjadi prioritas utama dalam mendorong perkembangan industri pakan ternak.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI
LAMPUNG DAN JAWA BARAT
Oleh :
ANNA FITRIANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nomor Pokok : A151020021
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Penulis dilahirkan di kota Jambi pada tanggal 28 Oktober 1973, sebagai
anak ketiga dari enam bersaudara pasangan HM. Noer Mong, BE dan Hj. Kartini.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 15 Jambi pada tahun 1986. Pada
tahun 1989 lulus dari sekolah menengah SMPN 2 Jambi dan di tahun 1992
menamatkan sekolah menengah atas dari SMAN 1 Jambi.
Pada tahun itu juga penulis melanjutkan ke jenjang Sarjana di Program
Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jambi dan
menamatkannya pada tahun 1998. Kemudian tahun 2002 penulis mendapat
beasiswa dari BPPS untuk meneruskan pendidikan Pascasarjana pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1999 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas
Peternakan Universitas Jambi untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi dan
Tataniaga Pertanian pada Laboratorium Ekonomi dan Bisnis.
Penulis menikah dengan Ir. Saiful Helmi Pohan pada tahun 2001 dan telah
dikaruniai tiga orang putra, M. Imam Aqillah Pohan (4.5 tahun), Aulia Zuhdi
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat dan hidayahnya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini menyajikan
hasil penelitian penulis mengenai Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Pakan Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar,
MEc., sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc.,
sebagai anggota, yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya, serta
saran-saran dalam membimbing penulis mulai dari mempersiapkan proposal
sampai penyelesaian tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS yang telah bersedia sebagai dosen
penguji luar komisi dan telah banyak memberikan saran dan masukan untuk
mempertajam tesis ini.
2. Rektor Universitas Jambi yang telah mengizinkan dan merekomendasikan
penulis untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian
Bogor.
3. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah mengizinkan penulis
untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua
5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa
selama penulis kuliah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
6. Rekan-rekan EPN 2002, khususnya kepada Ima Aisyah, Mimi, Dwi, Andre,
Bedi, Ardi, Adam, Aneng, Ujay, Endang, dan Elis yang telah banyak
memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
7. Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang mendalam kepada Papa, Mama,
Kakak Nita Sahara, Adik Neni Urfiani dan Chairunnisa serta Abang dan
Kakak Ipar, atas dorongan dan doanya bagi penulis.
8. Teristimewa kepada Suamiku tersayang, Saiful Helmi Pohan dan
Anak-anakku tercinta, yang telah setia dan sabar menemani penulis dan terus
memberikan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan,
namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras ... 14
2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras ... 18
2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak ………... 21
2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak ... 25
2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal ………... 33
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri . . 37
2.7. Tinjauan Studi Terdahulu ... 40
2.7.1. Industri Pakan Ternak ... 40
2.7.2. Structure-Conduct-Performance ………... 43
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 49
3.1. Kerangka Teoritis ... 49
3.1.1. Permintaan Jagung dan Penawaran Pakan Ternak ... 49
3.1.2. Analisa Perilaku Usaha …………... 50
3.2. Kerangka Konseptual ... 67
IV. METODE PENELITIAN ... 70
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 70
4.3.2. Blok Perilaku Industri …………... 75
5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat ... 98
6.4. Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan ……….……….. 128
VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA ………. 132
7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………. 132
7.2. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan dan Penawaran Terhadap Industri Pakan Ternak ………. 134
7.2.1. Dampak Peningkatan Permintaan Pakan Ternak ………. 134
7.2.2. Dampak Peningkatan Penawaran Pakan Ternak ……… 136
7.3. Simulasi Dampak Perubahan Harga Input Terhadap Industri Pakan Ternak ………. 138
7.3.3. Dampak Peningkatan Upah ……… 142
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 145
8.1. Kesimpulan ………... 145
8.2. Implikasi Kebijakan ... 146
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 148
LAMPIRAN ……….. 152
Nomor Halaman
1 Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan di Indonesia
Tahun 1990-2001 ... 22
2 Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia
Tahun 1992-2003 ... 23
3 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung
di Indonesia ... 27
4 Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 …. 28
5 Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003 ……… 30
6 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai di
Indonesia ... 31
7 Jenis dan Pengelompokkan Variabel dalam Penelitian ……….. 87
8 Perbandingan Nilai Gizi Jagung dengan Biji-bijian Lain dan Dedak
Padi ……… 94
9 Perbedaan Perilaku Penggunaan Bahan Baku pada Industri Pakan
Ternak di Lampung dan Jawa Barat ………. 96
10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Industri
Pakan Ternak ………. 110
11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Industri
Pakan Ternak ……….. 114
12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri
Pakan Ternak ……… 123
13 Hasil Validasi Model Ekonometrika Menggunakan Kriteria RMSE,
R-Square dan U-Theil ………. 132
14 Implikasi Kebijakan Pemerintah di dalam memperbaiki SCP Industri,
Nomor Halaman
1 Sistem Agribisnis Ayam Ras ... 19
2 Urutan Segmen Produksi Terintegrasi ... 36
3 Unsur dan Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri ... 53
4 Penetapan Harga pada Pasar Bersaing Sempurna ………. 56
5 Penetapan Harga pada Monopoli Murni dan Persaingan Monopolistik .. 58
6 Penetapan Harga oleh Perusahaan Monopoli dan Bersaing ………….. 59
7 Kurva Permintaan yang Patah (Kinked-Demand Curve) dan Kurva Penerimaan Marjinal yang Terputus pada Pasar Oligopolistik ……. 62
8 Mekanisme tidak Tercapainya Keuntungan Maksimum dalam Kartel … 65 9 Kerangka Pemikiran Struktur dan Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam ... 69
10 Diagram Keterkaitan Variabel-variabel dalam SCP Industri Pakan Ternak ... 86
11 Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung Dan Jawa Barat, 1999-2003 ……… 102
12 Pangsa Pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 ………..……….. 102
13 Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 ………. 103
14 Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999- 2003 ………. 104
15 Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan …… 131
16 Dampak Peningkatan Permintaan Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ……….. 135
19 Dampak Peningkatan Harga Jagung Terhadap Struktur, Perilaku dan
Kinerja Industri Pakan Ternak ……….. 141
20 Dampak Peningkatan Upah Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Pakan Ternak ……… 142
Nomor Halaman
1 Data Aktual Peubah Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak ... 152
2 Hasil Pengolahan Data Model Analisis Struktur Produksi dan
Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam ... 163
3 Hasil Validasi Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak Ayam di
Lampung dan Jawa Barat ... 180
4 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap SCP
1.1. Latar Belakang
Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan
peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya
(on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan komprehensif, yaitu agribisnis. Agribisnis perunggasan nasional berupa
peternakan ayam ras, secara nasional telah menunjukkan perkembangan yang
sangat mengesankan selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I). Hampir
tidak ada komoditi pertanian lainnya yang mampu menyamai prestasi
perunggasan nasional, yang hanya dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun,
perunggasan nasional telah berhasil melakukan pendalaman struktur baik ke hulu
(subsistem agribisnis hulu) maupun ke hilir (subsistem agribisnis hilir)
sedemikian rupa sehingga dewasa ini perunggasan nasional telah menjadi suatu
agribisnis modern.
Serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah baik berupa regulasi
maupun deregulasi pada awalnya telah berhasil mendorong perkembangan
agribisnis perunggasan yang antara lain ditunjukkan oleh peningkatan investasi
pada industri hulu (breeding farm, feed mill) maupun industri pengolahan, berkembangnya perunggasan rakyat, berkembangnya poultry shop, Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Ayam/Tempat Pemotongan Ayam
(RPA/TPA), yang dalam batas-batas tertentu telah berhasil menembus pasar
ekspor. Hal ini menunjukkan apabila target yang ingin dicapai adalah masalah
pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maka kebijakan pemerintah
paling tidak sampai dengan pertengahan 1997 dapat dikatakan berhasil. Namun
apabila ditinjau dari aspek pemerataan maka kebijakan regulasi dan deregulasi di
sub sektor perunggasan sampai dewasa ini dapat dikatakan belum berhasil dalam
menjadikan usaha ternak ayam ras sebagai basis peternakan rakyat (Saptana et al, 2002).
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha ternak skala kecil
berkembang baik apabila rasio (bandingan) harga produk ayam ras dan harga
pakan cukup besar. Hal ini tidak lain karena biaya pakan merupakan bagian
terbesar, antara 65 sampai 85 persen dari biaya produksi. Dengan demikian, kunci
penyelesaian kemelut yang dialami peternakan rakyat dewasa ini adalah
bagaimana memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras.
Untuk memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras, tersedia
tiga alternatif pemecahan : (1) mempertahankan harga produk ayam ras pada
tingkat harga sekarang dan menurunkan harga pakan sampai tercapai rasio yang
menguntungkan bagi kedua belah pihak, (2) mempertahankan harga pakan ayam
ras pada harga sekarang dan meningkatkan harga produk ayam ras sampai pada
rasio yang diinginkan, dan (3) bila harga produk dan harga pakan sama-sama naik,
maka kenaikan harga produk ayam ras harus lebih tinggi dari kenaikan harga
pakannya.
Perkembangan harga produk ayam ras berada di luar kekuasaan dunia
usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Sedangkan harga pakan ayam ras
berada didalam kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis.
Dengan demikian, harga pakan dapat digunakan sebagai alat kendali. Agar alat
suatu posisi skala usaha tertentu, yang dapat berproduksi secara efisien (Alim,
1996).
Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku untuk penyusunan
ransum (pakan) lebih dari 15 jenis. Untuk itu harga dan suplai dari bahan baku
tersebut baik yang diproduksi di dalam negeri atau di impor akan mempengaruhi
industri pakan.
Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan
investasi pabrik pakan dan pembibitan, baik PMDN maupun PMA dengan
mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijakan ini telah mendorong pertumbuhan usaha
rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil
tanaman butir-butiran untuk ternak yang utama seperti jagung, kedelai, kacang
tanah dan sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan
wilayah konsumsi utama yakni kota Jakarta.
Sejarah membuktikan, bahwa peternakan rakyat menghadapi masalah
dalam mendapatkan bahan baku pakan. Sebagian besar pabrik pakan tradisional
dan skala menengah yang sejak semula melayani usaha rakyat berguguran satu
persatu dan akhirnya punah semuanya. Sebagai gantinya muncul pabrik pakan
skala besar yang menguasai seluruh persediaan bahan baku pakan dalam negeri,
sehingga peternak dipaksa hidup dengan membeli pakan pada harga yang tidak
rasional. Kesulitan dan persaingan di dalam mendapatkan bahan baku di Jawa
Barat telah mendorong perusahaan-perusahaan membangun lebih banyak armada
untuk memperkuat diri sendiri dan akhirnya membentuk kekuatan monopoli.
Terkait dengan kebutuhan industri pakan akan hasil-hasil pertanian berupa
berlokasi dekat dengan sentra produksi butir-butiran. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan pemerintah sekarang ini sehubungan dengan pengembangan
wilayah peternakan. Salah satunya di wilayah Lampung. Propinsi ini merupakan
wilayah sentra produksi bahan baku pakan (butir-butiran) dan sudah sejak lama
menjadi daerah pengekspor bahan baku pakan ternak terutama ke Jepang dan
Eropa (Disnakkeswan-Lampung, 2004). Data tahun 1994, di Lampung terdapat 20
buah industri bahan baku pakan ternak dari total 35 industri bahan baku pakan
ternak di wilayah Sumatera, dengan kapasitas produksi 1 216 580 per tahun
(Ekamasni Consulting,1995).
Sejak tahun 1993/1994 propinsi Lampung telah menjadi salah satu
pemasok ternak potong ke pasar raksasa DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sekarang
ini Lampung merupakan salah satu propinsi terkemuka dalam industri
perunggasan di Indonesia, dan mempunyai peluang pengembangan yang besar
dengan didukung adanya industri pakan (6 perusahaan), breeder (2 perusahaan), perusahaan yang melaksanakan kemitraan (4 perusahaan), perusahaan
pemotongan ayam (1 perusahaan).
Populasi ayam ras pedaging di Lampung sampai dengan tahun 2003
mencapai 23 juta ekor, sementara konsumsi lokal hanya mencapai 16-17 juta
ekor, ekspor ke Jepang 1 juta ekor dan 5 juta ekor untuk pasar luar propinsi
(Disnakkeswan-Lampung, 2004).
Fenomena krisis moneter di propinsi Lampung ditandai dengan bangkrut
atau tutupnya beberapa usaha ternak. Informasi dari Dinas Peternakan setempat
menyatakan bahwa usaha ternak yang paling parah terkena dampak krisis moneter
mengalami kebangkrutan. Sementara itu untuk usaha ternak pola kemitraan
cenderung lebih bertahan dengan perkiraan persentase kebangkrutan lebih
kurang 30 persen. Kondisi demikian mengisyaratkan bahwa pola kemitraan
sedikit banyaknya dapat dianggap sebagai faktor kunci dalam menopang
eksistensi usaha ternak ditengah terpaan krisis moneter.
Beberapa usaha ternak di luar pola kemitraan yang masih sempat bertahan
terhadap dampak krisis moneter, lebih disebabkan karena relatif kuatnya modal
dan manajemen, serta adanya substitusi pemberian pakan alternatif yang
diistilahkan dengan ”pakan oplosan”. Khusus untuk pakan alternatif, pihak Dinas
Peternakan Lampung Selatan mengemukakan bahwa sebagian peternak telah
mengupayakan oplosan antara jagung, dedak, ikan asin, C2CO3 dengan sebagian
pakan pabrik. Bahan-bahan tersebut tersedia secara lokal baik di pasar maupun di
toko ternak (poultry shop), namun terkadang langka diperoleh dengan harga yang cenderung mahal.
Adanya kelangkaan bahan baku yang dialami peternak Lampung
merupakan suatu ironi, mengingat propinsi ini memiliki potensi sumberdaya
produksi, misalnya dalam penyediaan jagung, dedak, atau bahkan tepung ikan.
Salah satu contoh yang dikemukakan aparat Dinas terkait setempat menyatakan
bahwa produksi jagung Lampung mencapai 1.3 juta ton per tahun. Tingkat
kebutuhan lokal hanya berkisar antara 600–800 ribu ton per tahun, tapi tetap saja
tidak terpenuhi. Bahkan untuk tepung ikan, propinsi ini dikelilingi oleh laut yang
cukup luas, namun tidak bisa memenuhi pasokan lokal setempat.
Bila ditelusuri, menurut aparat Dinas tersebut, di propinsi Lampung
Comfeed, dan PT Anwar Sierad yang memiliki silo-silo untuk menampung dan
menyimpan jagung. Artinya, bahan baku pakan tersebut diindikasikan telah diraup
pabrik pakan tersebut untuk diolah menjadi pakan ternak atau didistribusikan ke
cabang perusahaan di wilayah lain. Sementara untuk tepung ikan, disinyalir di
wilayah setempat terdapat industri produk terkait dengan orientasi ekspor. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika kondisi ironi seperti dikemukakan di atas
menjadi kenyataan (Yusdja et al, 2000).
Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan industri pakan
ternak ayam yang ada di Indonesia sekarang ini, yang diwakili oleh daerah/
propinsi Lampung dan Jawa Barat dengan gambaran yang berbeda seperti yang
telah diungkapkan di atas.
1.2. Perumusan Masalah
Pada tahun 1961 terdapat sekitar 200 pabrik pakan tradisional di Indonesia,
namun pada tahun 1994 hanya terdapat 68 pabrik dan tidak ada pabrik berskala
tradisional. Selanjutnya dilaporkan bahwa jumlah pabrik pakan di Indonesia tahun
1998 sebanyak 67 buah dan di tahun 2000 jumlah perusahaan pakan ternak sedikit
mengalami penurunan menjadi 61 perusahaan (Ditjen Peternakan, 2000).
Walau jumlah pabrik pakan lebih banyak pada tahun 1998 dan 1999,
namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada
tahun 2000 dan 2001. Fenomena ini menunjukkan bahwa selama tahun tersebut
banyak pabrik pakan skala kecil yang tidak mampu bertahan (bangkrut),
sebaliknya muncul beberapa pabrik pakan dengan skala yang relatif besar
Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya,
terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman
perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap
masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi
usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan
untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang
berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki
kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini
masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri
sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut
dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai
tantangan untuk meningkatkan kinerja industri.
Melihat keragaman perkembangan industri dapat diduga bahwa diantara
industri ada yang mampu menjawab tantangan tersebut, tetapi juga ada yang tidak
mampu. Dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan, perilaku usaha
(business conduct / business behavior / business strategy) berinteraksi dengan struktur usaha (business structure) yang kemudian akan mempengaruhi kinerja
(business performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun struktur usaha pada tahap selanjutnya (Rumelt, 1986 dalam Krisnamurthi, 1998).
Dalam pandangan ini, perilaku usaha dapat diartikan sebagai pengambilan
keputusan usaha yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi struktur usaha
menuju pencapaian tujuan usaha tertentu. Perilaku usaha sendiri merupakan hasil
dari pemikiran dasar -bahkan teori -yang memandu pengambil keputusan dalam
dan tingkat perkembangan usaha yang telah dicapai (Kohls and Uhl, 1990 dalam
Krisnamurthi, 1998).
Kenyataan sekarang memperlihatkan bahwa struktur industri unggas
nasional yang ada selama ini tidak berakar pada kekuatan sendiri, tidak
terintegrasi dan tidak jelas apakah untuk elemen budidaya pengembangan usaha
rakyat atau usaha skala besar. Disisi lain, profil industri unggas nasional
mempunyai masalah pada hampir seluruh simpul-simpul agribisnis, mulai dari
pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai pada simpul
pemasaran. Simpul-simpul agribisnis tersebut bekerja tidak saling menunjang dan
tidak saling seimbang sehingga strategi dan kebijakan pemerintah menjadi serba
salah. Perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah mempunyai komitmen bahwa
budidaya peternakan merupakan sumber lapangan kerja dan mata pencaharian
rakyat terutama di pedesaan. Namun, komitmen ini mendukung adanya intervensi
pemerintah dalam industri unggas nasional. Atas dasar itu usaha-usaha dalam
merancang strategi dan program pembangunan industri unggas yang efektif
menjadi lebih penting (Yusdja, 2000).
Adapun kajian yang dilakukan pada industri perunggasan dipandang
sangat relevan, karena kegiatan pada bidang ini patut diduga telah terjadi praktek
monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak rakyat menghadapi
masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada pasar input dan
struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu adanya integrasi
vertikal yang disertai adanya integrasi horisontal telah menyebabkan peternak
Peternak rakyat banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal
ini. Dalam hal ini peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada
pasar input dan sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price takerpada pasar input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang tidak rasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang
dijalankan adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi
vertikal adalah mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan
perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada
masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak
rakyat menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang
melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi
perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan
bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output
peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai
baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa
produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan
pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang
oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti.
Selama periode 2001-2005, jumlah produksi daging dan populasi ayam ras
di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen
per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Meningkatnya produksi daging dan
populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan
ayam ras. Permintaan pakan yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya
dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat
berturut-turut menjadi 4.5 juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada
tahun 2003 (Deptan, 2004).
Meningkatnya produksi pakan tentu semakin meningkatkan kebutuhan
pabrik pakan akan bahan baku pakan. Di dalam komposisi pakan ayam ras, jagung
memiliki proporsi terbesar yaitu berkisar 51.4 persen, disusul bungkil kedelai 18.0
persen, dedak 15.0 persen, pollard 10.0 persen, tepung ikan 5.0 dan feed supplement 0.6 persen (Tangendjaja et al, 2002 dan Deptan, 2002). Terlihat bahwa jagung mempunyai peranan yang sangat besar dalam produksi daging
ayam. Jagung sudah lama merupakan bahan baku populer di seluruh dunia. Selain
harganya relatif murah, juga mengandung kadar kalori yang relatif tinggi,
mempunyai protein dan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi
dalam jumlah yang besar dan sangat digemari oleh ternak. Telah banyak usaha
dilakukan dalam upaya mencari alternatif substitusi jagung, tapi tampaknya belum
ada yang bisa menggantikannya secara sempurna.
Sementara untuk bahan baku bungkil kedele, yang merupakan by product
dari kedelai, produksinya di dalam negeri sangat sedikit sehingga dibutuhkan
impor. Sulitnya memproduksi kedelai terkait dengan kesesuaian lahan di
Indonesia. Setiap tahunnya dibutuhkan impor kedelai lebih dari dua juta ton.
Pada pasar pakan ternak ayam ras, fenomena yang terjadi selama ini adalah
laju kenaikan harga pakan jauh melebihi laju kenaikan harga jagung dan kedelai.
Hal ini dapat dilihat semakin melebarnya rasio harga jagung terhadap pakan
ternak yaitu dari 0.78 pada tahun 1980 menjadi 0.22 pada tahun 1996 (Purba,
masalah dalam pasar ini, karena ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan
baku impor masih tinggi, terutama jagung dan bungkil kedelai. Pada tahun 1990,
pangsa penggunaan jagung impor hanya 3.63 persen dari jumlah total kebutuhan
jagung yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan. Mulai tahun 1994 pangsa
jagung impor sudah lebih dari 30 persen, bahkan tahun 2000 pangsa penggunaan
jagung impor dan domestik hampir berimbang (47.04 persen berbanding 52.96
persen) (Kariyasa, 2003).
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, terlihat jelas bahwa pentingnya
peranan industri pakan dalam menunjang industri perunggasan. Namun untuk
melihat perkembangan ke depan ada beberapa pertanyaan pokok berkaitan dengan
peningkatan kinerja industri pakan yaitu pertama, bagaimana perilaku bisnis
perusahaan pakan ternak yang ada sekarang dan pengaruhnya terhadap kinerja
perusahaan ? kedua, bagaimana arah perkembangan industri pakan ? serta ketiga,
bentuk kebijakan pemerintah seperti apa yang perlu dilakukan agar perkembangan
tersebut dapat mengarah kepada peningkatan kinerja industri pakan dalam rangka
pengembangan peternakan rakyat.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur,
perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat,
sedangkan tujuan khusus dari penelitian iniadalah sebagai berikut :
1. Mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis
2. Menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam
3. Merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan
industri pakan.
Dengan mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak
ayam ras di Lampung dan Jawa Barat, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi para pengambil keputusan untuk program pengembangan
industri pakan ternak ayam ras, khususnya di dalam periode mendatang.
Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi bagi peneliti
lainnya, khususnya peneliti di bidang peternakan.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai perkembangan
dan perilaku usaha industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat.
Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja
usaha industri. Dalam hal ini dianalisa sembilan perusahaan (pabrik) pakan ternak
yang ada di wilayah Lampung dan Jawa Barat. Unit analisis yaitu pabrik pakan
yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian besar pakan untuk ternak ayam.
Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada kebijakan yang berkenaan
dengan industri pakan dan impor bahan baku pakan.
Namun demikian, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Dilihat dari
ruang lingkup, studi ini terbatas pada :
1. Data-data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi di industri pakan ternak
dan tidak secara langsung membahas berbagai aspek non ekonomi yang juga
2. Analisis dibatasi hanya pada aspek produksi pada industri pakan ayam ras,
tanpa membahas lebih lanjut secara mendalam tentang aspek pasar atau
tataniaga bahan baku dan produk akhir pakan ternak ayam ras tersebut
3. Tidak menganalisis aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini
sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri pakan ternak ayam
ras dan performance agribisnis ayam ras di Indonesia
4. Harga pakan, volume, biaya produksi untuk masing-masing jenis produk tidak
dapat di disagregasi sesuai dengan diferensiasi produk yang dihasilkan. Harga
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras
Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang
berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan
pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya
manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu
mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5
trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun
rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini
semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan
berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002).
Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat
dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976.
Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk
swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor
dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka
program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978,
program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai
2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas
ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program
tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging)
sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang
dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam/
periode atau 2 500 ekor ayam/tahun (tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu).
Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata
berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik
yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan
lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama
mulai memasuki pelita III (1979-1984), seiring dengan munculnya masalah
pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai timbul karena dalam kurun
waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta
Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni
tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah.
Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah
besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama
yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat
musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara
harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena
manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk
daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil.
Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil
dengan peternak besar.
Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian
menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 50/1981 tanggal
2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti
1. Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam
petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa
sebanyak-banyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor
per minggu
2. Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging
melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap
sampai dengan batas jumlah yang ditentukan
3. Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka
dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai
skala usaha peternakan kecil yang maksimal
b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik
melalui Bimas maupun non Bimas.
Keppres No 50/1981 inipada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi
dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur
usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar.
Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan
yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri
Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406/Kpts/5/1984
tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola
kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan
sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola
Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu
meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan
masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 50/1981 dicabut dan
diganti dengan Keppres No 22/1990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan
Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula
SK Menteri Pertanian No 362/Kpts/TN/120/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara
Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan.
Keppres No 22/1990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi
tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi
maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha
hanya dilakukan pada SK Mentan No 362/1990, yang berisi tentang tatacara
perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa
untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau
dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang
pendiriannya tidak memerlukan izin, melainkan hanya cukup dengan
mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15
ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi
jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan.
Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi
berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena
pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No.
22/1990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang
dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam
2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras
Industri pakan ayam ras mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang cukup panjang. Kaitan ke belakang dari industri pakan ayam ras adalah kebutuhan akan hasil-hasil pertanian
tanaman pangan sebagai masukan (input), baik yang sudah terolah maupun belum.
Selain daripada itu, industri pakan ayam ras juga memerlukan hasil-hasil industri
lain sebagai pelengkap (supplement) bagi pakan ayam ras. Sedangkan kaitan ke depan berhubungan dengan penggunaan hasil produksi pakan bagi institusi
berikutnya. Dalam hal ini hasil olahan industri pakan digunakan oleh institusi
budidaya ayam ras yang dikelola secara komersial. Selanjutnya hasil budidaya
ayam ras digunakan sebagai masukan bagi industri lain atau dikonsumsi langsung
oleh konsumen. Dengan demikian apabila industri pakan ayam ras didudukkan
dalam sistem agribisnis tanaman pangan ia berada pada posisi sebagai sub-sistem
agroindustri dan bila didudukkan dalam sistem agribisnis ayam ras ia berada pada
posisi sebagai sub-sistem penyediaan sarana produksi ternak (sapronak).
Keterkaitan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada
Gambar 1.
Dari Gambar 1 nampak bahwa industri pakan ayam ras sangat tergantung
pada beberapa hasil pertanian tanaman pangan. Sedangkan hasil pertanian
tanaman pangan tergantung pada tingkat kesuburan dan kecocokan lahan serta
musim. Apabila produksi tanaman pangan terganggu oleh musim atau oleh hama,
maka harga dari tanaman pangan tersebut akan bergejolak. Gejolak harga bahan
baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan ayam ras dan pada gilirannya
bergejolak naik dan tidak diikuti oleh kenaikan harga hasil ternak ayam ras, maka
para peternak akan menderita rugi.
Selain daripada itu, Gambar 1 memperlihatkan pula bahwa ada empat pola
usaha ternak (budidaya) ayam ras, yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan
sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi,
(2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya
usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan DOC
atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh sapronaknya
langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli
seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar.
Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan
sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak
naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola
keempat iniakan sangat menderita.
Peternakan Rakyat (usaha ternak ayam ras skala kecil) pada umumnya
termasuk dalam kategori usaha ternak pola keempat. Dengan demikian,
sesungguhnya Peternakan Rakyat pada umumnya berada pada kondisi pasar yang
rentan terhadap perubahan harga.
Kerumitan-kerumitan yang dialami oleh dunia usaha ayam ras bersumber
daridua arah, yakni dari luar dan dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri. Yang
bersumber dari luar setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dominan, yaitu :
(1) berasal dari goncangan harga bahan baku utama pakan ayam ras, (2) berasal
pola konsumsi masyarakat (selera konsumen). Sedangkan yang bersumber dari
dalam dunia usaha ayam ras sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga . yaitu: (1) mutu
sarana produksi budidaya ayam ras, (2) pola tataniaga ayam ras, dan (3) kemitraan
secara padu antara semua sub-sistem dalam sistem agribisnis ayam ras.
2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak
Perkembangan industri pakan ternak, khususnya pakan ayam ras, tidak
terlepas dari budidaya ayam ras itu sendiri. Korelasi antara keduanya sangat kuat,
sebab output dari industri pakan dikonsumsi oleh ayam ras sebagai sumber utama
kebutuhan gizi. Disisi lain kemampuan produksi ayam ras tergantung pula pada
unsur-unsur gizi yang dikonsumsinya. Ketika ayam ras mulai memasyarakat di
Indonesia dirasakan perlu untuk mendirikan pabrik pakan. Tahun 1972 dipandang
sebagai titik awal berdirinya usaha ternak ayam ras secara serius, dan pada tahun
ini didirikanlah pabrik-pabrik pakan skala menengah di Jakarta. Pabrik-pabrik
pakan kala itu memasarkan hasil produksinya pada kalangan peternak ayam ras
yang masih terbatas. Namun demikian, tahun 1976 peranan pabrik-pabrik pakan
semakin jelas dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-1981 dengan berdirinya
puluhan pabrik pakan, diantaranya banyak yang berskala besar.
Salah satu faktor penyebab berhentinya banyak usaha dalam industri
unggas nasional adalah karena ketergantungan bahan baku pakan dan bibit serta
pinjaman modal pada impor. Dalam krisis moneter dan ekonomi, harga bahan
baku impor melambung, pengembalian utang membengkak, dan pengadaan impor
terpaksa dihentikan. Setelah krisis, ternyata pabrik pakan belum pulih ke posisi
jauh harga pakan melambung sehingga banyak perusahaan yang terpaksa
menghentikan usahanya.
Perkembangan jumlah pabrik pakan, kapasitas terpasang dan kapasitas
terpakai pabrik pakan di Indonesia periode 1990-2001 disajikan pada Tabel 1.
Dalam periode tersebut, rata-rata jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia
sebanyak 61 buah, dengan rata-rata total kapasitas 6.3 juta ton atau 102.1 ribu ton
per pabrik.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan Indonesia Tahun 1990-2001
Walau jumlah pabrik pakan terbanyak berada pada tahun 1998 dan 1999
(67 buah), namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar
berada pada tahun 2000 dan 2001, dimana jumlah pabrik pada tahun tersebut
total kapasitas maupun rata-rata kapasitas per pabrik pakan periode 1990-2001
mengalami peningkatan berturut-turut 0.63 persen, 12.52 persen dan 11.91 persen
per tahun (Kariyasa, 2003).
Sementara itu, rata-rata kapasitas terpakai dari pabrik pakan selama
periode 1990-2001 hanya sekitar 54.12 persen, itu pun terjadi kecenderungan
menurun sebesar 5.22 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa hampir
sekitar 45.88 persen terjadi idle capacity, sehingga hal ini diduga sebagai salah satu kenapa biaya produksi pakan di Indonesia relatif masih tinggi.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia,
Keterangan: a termasuk untuk kebutuhan selain ternak ayam ras dan stok Sumber : Statistik Peternakan (2004)
Perkembangan produksi pakan dan penggunaannya di Indonesia periode
di Indonesia mencapai 4.1 juta ton, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami
peningkatan sebesar 41.40 persen (Tabel 2.). Dari segi penggunaannya, tampak
bahwa pada tahun 1992-1995 lebih dari 93 persen dari total produksi pakan
digunakan untuk memenuhi permintaan peternak ayam ras, sisanya sekitar
6 persen untuk memenuhi permintaan lainnya. Dalam periode 1992-2003 rata-rata
penggunaan pakan untuk ternak ayam ras 2.8 juta ton atau sekitar 73.60 persen.
Walaupun dari segi jumlah permintaan pakan dari peternak ayam ras
mengalami peningkatan sebesar 18.50 persen per tahun, namun dari sisi
pangsanya terhadap total penawaran mengalami penurunan sebesar 4.10 persen
per tahun. Sementara itu, pangsa permintaan lainnya (peternakan lainnya dan
stok) mengalami peningkatan tajam sekitar 228.70 persen pertahun.
Kecenderungan pertumbuhan industri pakan menuju bentuk monopoli
dapat pula dilihat dari porsi produksi pakan dari sekelompok pabrik pakan dalam
industri. Porsi produksi pakan dari pabrik pakan yang hanya berjumlah 12 persen
atau secara absolut berjumlah 8 pabrik pakan memiliki pangsa pasar sebesar 65
sampai 83 persen. Dengan demikian, ke delapan pabrik pakan tersebut dapat
dikatakan sebagai pengendali pasar pakan. Pada kenyataannya ke delapan pabrik
pakan tersebut bergabung dalam organisasi GPMT yang mempertegas adanya
kartel diantara mereka.
Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengungkapkan bahwa ada
kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk monopoli, yang sampai
saat ini sudah dalam bentuk oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh :
(1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8
keuntungan pabrik pakan (1993) Rp. 265/kg pakan petelur dan Rp. 287/kg pakan
broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, (3) bahkan beberapa
perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti
perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar
Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan (4) pada kenyataannya ke
delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT
(Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang mempertegas adanya kartel di
antara mereka.
GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) dikenal sebagai media
yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam
mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian (1996) terdapat
dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas
yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam
menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat
61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi
10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan
bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) mempunyai
kapasitas produksi pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya
dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38
persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk
menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.
2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak
Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku
memenuhi syarat), biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan
pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak
faktor. Yusdja dan Pasandaran (1996) memperlihatkan bahwa biaya bahan baku
makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen
dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran
4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat
rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya
perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik
pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku.
Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk
membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging (broiler) dan ayam ras petelur
(layer). Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus
meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal
tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia.
Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari
sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan
gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung
ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi
jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen
dan tepung ikan sebesar 5 persen.
Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik,
jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan
ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan
sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun
minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka
jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua
bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu
produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati.
Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat
dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar.
Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung
dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar
dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik.
Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam
beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam
negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar.
Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah
produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 ton/ha.
Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3)
bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Perkembangan
penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003
Konsumsia Pakanb Industri Pangan dan
Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu
619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung,
bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63
persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa
(2003), sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk
kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung
terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata
penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton
atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun
pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan
masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun.
Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk
memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan
baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri
makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15
persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung
impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total
jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan
jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar
81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan
bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja.
Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung
impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi
domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang (47.04 persen dan
52.96 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang
semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan
industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir
volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil (Kasryno,
2002).
Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003
Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15% (diolah)
Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan
mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama
periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu
3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik
memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan
gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen
jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas
panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan
produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan
produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar.
Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit
tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini. Buktinya, produksi kedelai
Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua
negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor
kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi
bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai
tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor
kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia
Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak
(GPMT) Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari
Rp. 2 300/kg menjadi Rp. 2 750/kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan
ternak selama periode Januari hingga Maret 20041. Misalnya jagung dari
Rp. 1 100/kg menjadi Rp. 1 200/kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar
AS/ton, meat bone meal (MBM) dari 300 menjadi 405 dollar AS/ton. Kenaikan
harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada
karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari
Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak
mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester
I (satu) 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi
pakan ternak akibat wabah Avian Influenza (AI).
Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan
baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung
mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan
India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya
lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski
produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi
kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu ton/bulan. Alasannya,
panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi
jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung
impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi.
________________
1
2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal
Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu
sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut
kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik
pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan.
Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu
unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer
output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan
tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur
produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien
dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun
berdasarkan lokasi perusahaan.
Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak
didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh
rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil
yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh
menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan
pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan
perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk
menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud
dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya
konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang
Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional
membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang
terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu
perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang
memiliki 5sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen
agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis
Indonesia (1994), Business Survey and Report (1995), dan Poultry Indonesia (1994) serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan (1993, 1994 dan
1995) bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi
secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak
perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna
dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna
ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang
cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan
ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan (Poultry Indonesia, 1997)
Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya
menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi
dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi,
semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto (1997) menyatakan bahwa
masing-masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau
berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif
berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi,
harga output akan lebih rendah.
Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari
setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal.
Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk
finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang
merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut.
Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal
semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada
sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau
oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah
sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk
monopoli (Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus
disertai watak monopoli.
Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah
karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak
menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha
bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan
sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya
adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu.
Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong
terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera
per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun
industri ayam ras yang efisien.
Pasar Eceran Modern
Pasar Eceran
Tradisional Ekspor
Koperasi Pemasaran
Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus
Peternak Skala Menengah
Koperasi Produksi
Pabrik Pakan Pembibitan Pabrik Obat Lainnya
Sumber Bahan Baku Pertanian
Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri
Kajian terhadap perilaku suatu lembaga ekonomi sangat tergantung pada
konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran
pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern
(Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan pendekatan ekonomi
kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik menekankan pada
asumsi-asumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap
dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku
konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik
mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar
yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing sempurna dan ketidaksempurnaan
pasar hanya merupakan pengecualian, (b) faktor (produksi) mendapat imbalan
sesuai dengan nilai dan kontribusi marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat
mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap
dan universal, (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis
dan sosial dianggap minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara
terpisah dari efisiensi.
Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk
mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik.
Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh
pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller
(1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941);