• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)

TERHADAP PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA)

DAN KONSORSIUM MIKROBA

SKRIPSI

Oleh:

DINI OKTAVIANI 090301175

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)

TERHADAP PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA)

DAN KONSORSIUM MIKROBA

SKRIPSI

Oleh:

DINI OKTAVIANI

090301175/ AGROEKOTEKONOLOGI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Penelitian : Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba

Nama : Dini Oktaviani

Nim : 090301175

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan

Disetujui Oleh :

(Ir.Yaya Hasanah, MSi) (Ir. Asil Barus, MS)

Ketua Pembimbing Anggota Pembimbing

NIP. 19690110 200502 2 001 NIP. 19540424 198203 1 005

Diketahui Oleh :

(Ir. T Sabrina, M.Agr.Sc, Ph.D) Ketua Departemen NIP. 19640620 0199803 2 001

(4)

ABSTRAK

DINI OKTAVIANI: Pertumbuhan dan Produksi Kedelai terhadap Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba dibimbing oleh YAYA HASANAH dan ASIL BARUS.

Penggunaan pupuk kimia pada budidaya kedelai semakin tinggi. Untuk menekan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, pemanfaatan pupuk hayati pada budidaya kedelai dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai. Penelitian dilaksanakan di Jalan Setiabudi Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan pada April-Juli 2013, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu pemberian FMA (0, 20, 40 g/tanaman) dan pemberian konsorsium mikroba (0, 5, 10, 15 g/kg benih). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering tajuk, bobot kering akar, kehijauan daun, total luas daun, derajat infeksi FMA, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif,bobot bintil akar, serapan hara N tajuk, serapan hara P tajuk, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji, bobot kering biji per plot.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian FMA meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif, derajat infeksi, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji dan bobot biji per plot. Pemberian konsorsium mikroba meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif, kehijauan daun, total luas daun, derajat infeksi, jumlah cabang produktif, jumlah plong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman dan bobot biji per plot. Interaksi kedua perlakuan meningkatkan bobot bintil akar dan jumlah bintil akar efektif.

(5)

ABSTRACT

DINI OKTAVIANI: Growth and Yield of Soybean to Addition of Arbuscular Mycorrhiza Fungi (AMF) and Addition of microbe Concortium, supervised by YAYA HASANAH and ASIL BARUS.

Using of chemical fertilizer is increasing for soybean plantation. The action to compress that situation, utilization of biological fertilizer aims to increase growth and yield of soybean. This research had been conducted at Jalan Setiabudi Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan on April-July 2013, using a factorial randomized block design with two factors. The factors were addition of AMF (0, 20, 40 g per plant) and addition of microbe concortium (0,5,10,15 g per kg of seed). Parameters observed were plant height, stem diameter, weight of dry shoot, weight of dry root, leaf greenness level, total of leaf area, analysis substance N of shoot, analysis substance P of shoot, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, weight of nodules, number of productive branches, number of pods per plant, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, 100 seeds dry weight, and dry seeds weight per plot.

The result showed that addition of AMF increase plant height, stem diameter, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, 100 seeds dry weight, and dry seeds weight per plot. The addition of microbe concortium increase plant height, stem diameter, leaf greenness level, total of leaf area, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, number of pods per plant, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, and dry seeds weight per plot. Interaction both of treatment increase weight of nodules and number of effective nodules.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Dini Oktaviani, lahir pada tanggal 25 Oktober 1991 di Bandung dari ibunda

Hj. Halimatussakdiyah dan ayahanda Alm.H.Ir.M.Udin, MT. Penulis merupakan

anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah diperoleh penulis antara lain : tahun

1997-2003 menempuh pendidikan dasar di SD Percobaan Negeri; tahun 1997-2003-2006

menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Medan; tahun 2006-2009 menempuh

pendidikan di SMA Negeri 15 Medan dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2009 melalui Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih minat Budidaya Pertanian

dan Perkebunan, Program Studi Agroekteknologi. Selama perkuliahan penulis

mendapatkan beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA) pada tahun 2010

sampai 2012.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Agroekoteknologi (Himagrotek), sebagai asisten praktikum di

Laboratorium Fisiologi Tumbuhan (2010-2013) dan Laboratorium Teknologi

Budidaya Tanaman Pangan (2012-2013).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di

PT. PD Paya Pinang Group, Laut Tador, Tebing Tinggi dari tanggal 9 Juli sampai 4

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap

Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba ”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

di Fakultas Pertanian Program Studi Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Pada kesempatan ini, penulis menghanturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah berjuang membesarkan,

merawat, dan mendidik penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Ir. Yaya Hasanah, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir.

Asil Barus, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan

memberikan berbagai saran yang berharga kepada penulis mulai dari penetapan

judul, melakukan penelitian sampai ujian akhir mengelar sarjana. Disamping itu,

penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di

Program Studi Agroekoteknologi, semua teman-teman angkatan 2009 serta

adik-adik angkatan 2012 yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Semoga hasil skripsi ini bermanfaat bagi budidaya kedelai serta bermanfaat

bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, November 2013

(8)

DAFTAR ISI

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) ... 7

Konsorsium Mikroba ... 9

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Penanaman Jagung sebagai Tanaman Inang ... 17

Pemberian Pupuk Organik Cair ... 17

Pemeliharaan ... 17

Panen Inokulan FMA ... 17

Penanaman Kedelai ... 18

Aplikasi FMA ... 18

Aplikasi Konsorsium mikroba ... 18

Penanaman Benih ... 18

Pemupukan N dan K ... 19

Penjarangan ... 19

Pemeliharaan Tanaman Penyiraman ... 19

Penyiangan ... 19

Pengendalian Hama dan Penyakit ... 19

(9)

Pengamatan Parameter ... 20

Tinggi tanaman (cm) ... 20

Diameter batang (mm) ... 20

Bobot kering akar (g) ... 20

Bobot kering tajuk(g) ... 20

Jumlah bintil akar (bintil) ... 20

Jumlah bintil akar efektif (bintil) ... 21

Bobot bintil akar (g) ... 21

Kehijauan daun (SPAD) ... 21

Total luas daun (cm²) ... 21

Derajat infeksi FMA(%) ... 21

Kandungan N tajuk tanaman ... 21

Kandungan P tajuk tanaman... 22

Jumlah cabang produktif (cabang) ... 22

Jumlah polong per tanaman sampel (polong) ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Rataan tinggi tanaman (cm) 2-6 MST pada perlakuan pemberian

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 24

2. Rataan diameter batang (mm) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 28

3. Rataan bobot kering akar (g) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 30

4. Rataan bobot kering tajuk (g) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 31

5. Rataan jumlah bintil akar (bintil) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 32

6. Rataan bobot bintil akar (g) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 34

7. Rataan jumlah bintil akar efektif (bintil) pada perlakuan pemberian

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 35

8. Rataan kehijauan daun pada perlakuan pemberian Fungi Mikoriza

Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 37

9. Rataan total luas daun (cm²) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 38

10. Rataan derajat infeksi FMA (%)pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 39

11. Rataan kandungan N tajuk tanaman (%) pada perlakuan pemberian

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 41

12. Rataan kandungan P tajuk tanaman (%) pada perlakuan pemberian

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 42

13. Rataan jumlah cabang produktif (cabang) pada perlakuan pemberian

(11)

14. Rataan jumlah polong per tanaman sampel (polong) pada perlakuan pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 45

15. Rataan jumlah polong berisi per tanaman sampel (polong) pada

perlakuan pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 46

16. Rataan bobot kering biji per tanaman sampel (g) pada perlakuan

pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 48

17. Rataan bobot kering 100 biji (g) pada perlakuan pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan pemberian konsorsium mikroba ... 50

18. Rataan bobot kering biji per plot (g) pada perlakuan pemberian Fungi

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Grafik hubungan tinggi tanaman 2 MST dengan interaksi pemberian

FMA dan konsorsium mikroba ... 26

2. Grafik hubungan tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian FMA ... 27

3. Grafik hubungan tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian

konsorsium mikroba ... 27

4. Grafik hubungan diameter batang dengan pemberian FMA ... 29

5. Grafik hubungan diameter batang dengan pemberian konsorsium

mikroba ... 29

6. Grafik hubungan jumlah bintil akar dengan pemberian FMA ... 32

7. Grafik hubungan jumlah bintil akar dengan pemberian konsorsium

mikroba ... 33

8. Grafik hubungan bobot bintil akar dengan interaksi pemberian FMA

dan pemberian konsorsium mikroba ... 34

9. Grafik hubungan jumlah bintil akar efektif dengan interaksi

pemberian FMA dan konsorsium mikroba ... 36

10. Grafik hubungan kehijauan daun dengan pemberian konsorsium

mikroba ... 37

11. Grafik hubungan total luas daun dengan pemberian konsorsium

mikroba ... 38

12. Grafik hubungan derajat infeksi dengan pemberian FMA ... 40

13. Grafik hubungan derajat infeksi dengan pemberian konsorsium

mikroba ... 40

14. Grafik hubungan jumlah cabang produktif dengan pemberian FMA ... 43

15. Grafik hubungan jumlah cabang produktif dengan pemberian

konsorsium mikroba ... 44

16. Grafik hubungan jumlah polong per tanaman sampel dengan

(13)

17. Grafik hubungan jumlah polong berisi per tanaman sampel dengan pemberian FMA ... 47

18. Grafik hubungan jumlah polong berisi per tanaman dengan pemberian

konsorsium mikroba ... 47

19. Grafik hubungan bobot kering biji per tanaman sampel dengan

pemberian FMA ... 49

20. Grafik hubungan bobot kering biji per tanaman sampel dengan

pemberian konsorsium mikroba ... 49

21. Grafik hubungan bobot kering 100 biji dengan pemberian FMA ... 51

22. Grafik hubungan bobot kering biji per plot dengan pemberian FMA ... 52

23. Grafik hubungan bobot kering biji per plot dengan pemberian

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Deskripsi tanaman kedelai varietas Grobogan ... 69

2. Bagan penanaman pada plot... 70

3. Bagan plot penelitian ... 71

4. Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian ... 72

5. Teknik pewarnaan untuk menghitung derajat infeksi FMA (%) ... 73

6. Data pengamatan tinggi tanaman 2 MST (cm) ... 74

7. Sidik ragam tinggi tanaman 2 MST ... 74

8. Data pengamatan tinggi tanaman 3 MST (cm) ... 75

9. Sidik ragam tinggi tanaman 3 MST ... 75

10. Data pengamatan tinggi tanaman 4 MST (cm) ... 76

11. Sidik ragam tinggi tanaman 4 MST ... 76

12. Data pengamatan tinggi tanaman 5 MST (cm) ... 77

13. Sidik ragam tinggi tanaman 5 MST ... 77

14. Data pengamatan tinggi tanaman 6 MST (cm) ... 78

15. Sidik ragam tinggi tanaman 6 MST ... 78

16. Data pengamatan diameter batang (mm) ... 79

17. Sidik ragam diameter batang ... 79

18. Data pengamatan bobot kering akar (g) ... 80

19. Sidik ragam bobot kering akar ... 80

20. Data pengamatan bobot kering tajuk (g) ... 81

21. Sidik ragam bobot kering tajuk ... 81

(15)

23. Sidik ragam jumlah bintil akar ... 82

24. Data pengamatan bobot bintil akar (g) ... 83

25. Sidik ragam bobot bintil akar ... 83

26. Data pengamatan jumlah bintil akar efektif (bintil) ... 84

27. Sidik ragam jumlah bintil akar efektif ... 84

28. Data pengamatan kehijauan daun... 85

29. Sidik ragam kehijauan daun ... 85

30. Data pengamatan total luas daun (cm2) ... 86

31. Sidik ragam total luas daun ... 86

32. Data pengamatan derajat infeksi FMA (%) ... 87

33. Sidik ragam derajat infeksi FMA ... 87

34. Data pengamatan jumlah cabang produktif (cabang) ... 88

35. Sidik ragam jumlah cabang produktif ... 88

36. Data pengamatan jumlah polong per tanaman sampel ... 89

37. Sidik ragam jumlah polong per tanaman sampel ... 89

38. Data pengamatan jumlah polong berisi per tanaman sampel ... 90

39. Sidik ragam jumlah polong berisi per tanaman sampel ... 90

40. Data pengamatan bobot kering biji per tanaman sampel ... 91

41. Sidik ragam bobot kering biji per tanaman sampel ... 91

42. Data pengamatan bobot kering 100 biji ... 92

43. Sidik ragam bobot kering 100 biji ... 92

44. Data pengamatan bobot kering biji per plot ... 93

45. Sidik ragam bobot kering biji per plot ... 93

(16)

47. Hasil analisis kandungan hara N dan P tajuk tanaman ... 95

(17)

ABSTRAK

DINI OKTAVIANI: Pertumbuhan dan Produksi Kedelai terhadap Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan Konsorsium Mikroba dibimbing oleh YAYA HASANAH dan ASIL BARUS.

Penggunaan pupuk kimia pada budidaya kedelai semakin tinggi. Untuk menekan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, pemanfaatan pupuk hayati pada budidaya kedelai dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai. Penelitian dilaksanakan di Jalan Setiabudi Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan pada April-Juli 2013, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu pemberian FMA (0, 20, 40 g/tanaman) dan pemberian konsorsium mikroba (0, 5, 10, 15 g/kg benih). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering tajuk, bobot kering akar, kehijauan daun, total luas daun, derajat infeksi FMA, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif,bobot bintil akar, serapan hara N tajuk, serapan hara P tajuk, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji, bobot kering biji per plot.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian FMA meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif, derajat infeksi, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman, bobot kering 100 biji dan bobot biji per plot. Pemberian konsorsium mikroba meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar efektif, kehijauan daun, total luas daun, derajat infeksi, jumlah cabang produktif, jumlah plong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, bobot kering biji per tanaman dan bobot biji per plot. Interaksi kedua perlakuan meningkatkan bobot bintil akar dan jumlah bintil akar efektif.

(18)

ABSTRACT

DINI OKTAVIANI: Growth and Yield of Soybean to Addition of Arbuscular Mycorrhiza Fungi (AMF) and Addition of microbe Concortium, supervised by YAYA HASANAH and ASIL BARUS.

Using of chemical fertilizer is increasing for soybean plantation. The action to compress that situation, utilization of biological fertilizer aims to increase growth and yield of soybean. This research had been conducted at Jalan Setiabudi Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan on April-July 2013, using a factorial randomized block design with two factors. The factors were addition of AMF (0, 20, 40 g per plant) and addition of microbe concortium (0,5,10,15 g per kg of seed). Parameters observed were plant height, stem diameter, weight of dry shoot, weight of dry root, leaf greenness level, total of leaf area, analysis substance N of shoot, analysis substance P of shoot, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, weight of nodules, number of productive branches, number of pods per plant, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, 100 seeds dry weight, and dry seeds weight per plot.

The result showed that addition of AMF increase plant height, stem diameter, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, 100 seeds dry weight, and dry seeds weight per plot. The addition of microbe concortium increase plant height, stem diameter, leaf greenness level, total of leaf area, infection degree AMF, number of nodules, number of effective nodules, number of productive branches, number of pods per plant, number of filled pods per plant, dry seeds weight per plant, and dry seeds weight per plot. Interaction both of treatment increase weight of nodules and number of effective nodules.

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) termasuk komoditas pangan ketiga

terpenting setelah padi dan jagung bagi Indonesia. Tahu, tempe, kecap, dan tauco

adalah produk pangan yang dibuat dari kedelai untuk sumber protein nabati dalam

mendukung ketahanan pangan nasional. Produksi kedelai 2012 menurut Badan

Pusat Statistik (2012) diperkirakan sebesar 783,16 ribu ton biji kering atau

mengalami penurunan sebesar 68,13 ribu ton (8,00%) dibandingkan 2011.

Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini telah mencapai 2,2 juta ton per tahun,

sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi 35-40% dari total

kebutuhan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012).

Rendahnya produksi kedelai Indonesia dikarenakan mahalnya harga sarana

produksi, keterbatasan modal usaha tani, belum maksimalnya pengetahuan petani

dalam penggunaan teknologi produksi yang mendukung pertanian berkelanjutan,

semakin berkurangnya sumber daya lahan yang subur karena penggunaan pupuk

anorganik secara terus menerus, serta alih fungsi lahan (Jumrawati, 2008).

Pertumbuhan tanaman kedelai yang banyak mengandung protein

membutuhkan banyak unsur hara terutama N dan P. Untuk memenuhi kebutuhan

unsur hara tersebut diperlukan pupuk buatan yang membutuhkan biaya yang mahal.

Bahkan selain biaya yang tinggi, penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus

dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan menurunkan kesuburan tanah.

Oleh karena itu perlu diupayakan beberapa alternatif untuk memulihkan produksi

(20)

mikroorganisme tanah misalnya konsorsium mikroba dan Fungi Mikoriza

Arbuskular (FMA) (Bertham, 2007).

Konsorsium mikroba yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

gabungan mikroorganisme yang berasosiasi membentuk kerja sama untuk

memfiksasi N, sebagai penyedia unsur hara agar tersedia bagi tanaman dan

sebagai biokontrol patogen akar. Selain Rhizobium sp., didalam konsorsium

mikroba yang digunakan terdiri dari Bacillus sp., Azospirillum sp.,

Pseudomonas sp.,dan Bakteri Endofitik (Ocrobactrum pseudogrigmonense) yang

berasal dari PT Bio Industri Nusantara, Balai Penelitian Tanah.

Menurut hasil penelitian Noertjahyani (2007) menyatakan bahwa

inokulasi konsorsium Bradyrhizobium japonicum dan Pseudomonas sp. sebanyak

12 g/kg benih dapat mempercepat keluarnya bunga kedelai dan meningkatkan

bobot 100 biji tanaman, tetapi tidak berpengaruh terhadap kandungan N dan P

pada tanaman kedelai. Pemberian takaran konsorsium yang semakin tinggi akan

mempercepat waktu berbunga.

Menurut hasil penelitian Musfal (2010) penambahan FMA pada tanaman

jagung sebanyak 20 g/tanaman dapat meningkatkan infeksi akar, serapan fosfat,

bobot kering tanaman dan hasil pipilan kering dan Zein (2004) dalam penelitian nya

dengan penggunaan FMA jenis Glomus manihotis pada kedelai dengan dosis

tertinggi 15 g/tanaman dapat meningkatkan serapan P tanaman dan jumlah biji per

polong tetapi tidak nyata meningkatkan bobot 100 biji, serapan hara N, bobot

kering biji dan jumlah polong berisi.

Rao (1994) dalam Zein (2004) menambahkan penggunaan bakteri

(21)

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sehingga koinokulasi keduanya dapat

menghasilkan bintil akar, pengambilan nutrien dan hasil panen lebih baik. Salah

satu pengaruh utama mikoriza dengan tanaman kedelai adalah pertukaran dan

pengambilan unsur hara terutama P, yang dapat meningkatkan bobot kering biji

kedelai.

Berdasarkan uraian diatas dalam upaya menghasilkan produksi kedelai

yang berkualias dengan meningkatkan penyerapan unsur hara, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan produksi kedelai

(Glycine max (L.) Merill) terhadap pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

dan konsorsium mikroba.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi kedelai

(Glycine max (L.) Merrill) terhadap pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

dan konsorsium mikroba serta interaksi keduanya.

Hipotesis Penelitian

Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dan konsorsium mikroba

serta interaksi keduanya dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai

(Glycine max (L.) Merrill).

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara dan diharapkan dapat pula berguna untuk

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Van Steenis (2003), tanaman kedelai diklasifikasikan ke dalam

kingdom Plantae dengan divisi Spermatophyta. Kedelai merupakan tanaman berbiji

terbuka yaitu dengan subdivisi Angiospermae. Tanaman kedelai termasuk ke dalam

kelas Dicotyledonae, berordo Polypetales dengan famili Leguminosae. Genus

tanaman ini adalah Glycine dengan nama spesies dari tanaman ini adalah Glycine

max (L.) Merrill.

Tanaman kedelai memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang

yang terbentuk dari calon akar, sejumlah akar sekunder yang tersusun dalam empat

barisan sepanjang akar tunggang, cabang akar sekunder, dan cabang akar adventif

yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Umumnya sistem perakaran tanaman

kedelai terdiri dari akar lateral yang berkembang 10-15 cm di atas akar tunggang

(Adie dan Krisnawati, 2007).

Tanaman kedelai berbatang pendek (30–100 cm), memiliki 3-6

percabangan, berbentuk tanaman perdu. Batang tanaman kedelai berkayu, biasanya

kaku dan tahan rebah. Menurut tipe pertumbuhannya, tanaman kedelai dapat

dibedakan menjadi determinate dan indeterminate. Pertanaman determinate

memiliki karakteristik tinggi tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir

sama besar dengan batang tengah dan berbunga serentak sedangkan indeterminate

memiliki tinggi tanaman sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian

tengah, agak melilit dan beruas panjang, daun teratas lebih kecil dari daun bagian

tengah dan pembungaan secara bertahap mulai dari pangkal hingga ke bagian atas

(23)

Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu (1) kotiledon atau daun biji,

(2) dua helai daun primer sederhana, (3) daun bertiga, dan (4) profila. Daun primer

berbentuk oval dengan tangkai daun sepanjang 1-2 cm, terletak berseberangan pada

buku pertama diatas kotiledon. Bentuk daun kedelai adalah lancip, bulat dan

lonjong serta terdapat perpaduan bentuk daun misalnya antara lonjong dan lancip

(Adie dan Krisnawati 2007).

Berdasarkan Poelman and Sleper (1995) menyatakan kultivar kedelai

memiliki bunga bergerombol terdiri atas 3-15 bunga yang tersusun pada ketiak

daun. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu bunga mempunyai alat jantan

dan betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih tertutup sehingga

kemungkinan perkawinan silang akan kecil.

Jumlah polong kedelai bervariasi mulai 2-20 dalam satu pembungaan dan

lebih dari 400 dalam satu tanaman. Pada umumnya berisi 2-3 biji per polong.

Polong masak berwarna kuning muda sampai kuning kelabu, coklat atau hitam.

Polong kedelai terbentuk pertama kali sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga

pertama (Ramadhani, 2011).

Somaatmadja, dkk (1999) menyatakan bentuk biji umumnya bulat telur.

Pembentukan protein dan lemak pada biji membutuhkan unsur hara terutama N dan

P. Adapun bobot 100 butir biji kedelai berkisar antara 5 sampai 30 gram. Adie dan

Krisnawati (2007) menambahkan pengelompokan ukuran biji di Indonesia

dikelompokkan yaitu berukuran besar (berat > 14g/100 biji), sedang (10-14g/100

(24)

Syarat Tumbuh Iklim

Kedelai dapat tumbuh baik di tempat pada daerah berhawa panas, di tempat

terbuka dengan curah hujan 100–400 mm3 per bulan. Oleh karena itu, kedelai

kebanyakan ditanam di daerah yang terletak kurang dari 400 m di atas permukaan

laut (Andrianto dan Indarto 2004).

Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan

subtropis. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-340C, akan tetapi suhu

optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-270C. Pada perkecambahan benih

kedelai memerlukan suhu yang cocok sekitar 300C (Prihatman, 2000).

Kedelai merupakan tanaman berhari pendek, yaitu tanaman cepat berbunga

apabila panjang hari 12 jam atau kurang, dan tanaman tidak mampu berbunga

apabila panjang hari melebihi 16 jam. Tanaman kedelai di Indonesia umumnya

berbunga pada umur 25-40 hari. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman

kedelai berkisar antara 75–90% selama periode tanaman tumbuh sampai fase

pengisian polong dan kelembaban udara rendah berkisar antara 60–75% pada waktu

pemasakan polong sampai panen (Sumarno dan Manshuri, 2007).

Tanah

Pada dasarnya kedelai mengkehendaki kondisi tanah yang tidak terlalu

basah, tetapi air tetap tersedia. Tanah yang baru pertama kali ditanam kedelai,

sebelumnya perlu diberi bakteri rhizobium (Hapsari dan Adie, 2010).

Kondisi lahan yang sesuai untuk pertanaman kedelai adalah tanah dengan

tekstur lempung, drainase baik, kedalaman lapisan lebih > 50cm, bahan organik

(25)

dengan topografi datar dan tanpa naungan, serta tidak ada pengaruh salinitas

(Mulyatri dan Firdaus, 2008).

Pupuk Hayati

Pupuk hayati didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup

yang berfungsi untuk menambat hara tertentu sehingga tersedia bagi tanaman.

Penyediaan hara ini dapat berlangsung simbiotis dan nonsimbiotis. Kelompok

mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar dan cendawan mikoriza.

Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan, maka

sebagian kecil petani beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik

(Simanungkalit, dkk, 2006).

Meningkatnya perhatian terhadap aplikasi pupuk hayati karena

kegunaannya yang dapat menyediakan sumber hara bagi tanaman, melindungi akar

dari gangguan hama dan penyakit, menstimulir sistem perakaran agar berkembang

sempurna sehingga memperpanjang usia akar, sebagai penawar racun beberapa

logam berat. Pada tanaman kedelai aplikasi pupuk hayati dapat menekan kebutuhan

pupuk nitrogen sampai 100%, fosfor 25-50% dan kalium 50% dari takaran anjuran

(Damanik, dkk, 2011).

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

Mikoriza merupakan struktur yang terbentuk karena asosiasi simbiosis

mutualisme antara cendawan tanah dengan akar tanaman tingkat tinggi. Adapun

manfaat mikoriza bagi perkembangan tanaman yang menjadi inangnya, yaitu

meningkatkan absorbsi hara dari dalam tanah, sebagai penghalang biologis terhadap

infeksi patogen akar, meningkatkan ketahanan inang terhadap kekeringan,

(26)

mendapatkan keuntungan nutrisi untuk keperluan hidupnya dari akar tanaman

(Noli, dkk, 2011).

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) adalah salah satu tipe cendawan

mikoriza termasuk kedalam golongan endomikoriza. Karakteristik FMA

digambarkan sebagai berikut (a) sistem perakaran yang terinfeksi FMA tidak

membesar, (b) cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata

pada permukaan akar, (c) hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks

(Delvian, 2003).

Selain meningkatkan penyerapan unsur P telah diketahui bahwa mikoriza

juga meningkatkan penyerapan beberapa unsur mikro seperti Cu dan Zn. Pada

tanaman kedelai yang bermikoriza, penyerapan Cu dan Zn meningkat

(Islami dan Utomo, 1995). Hal yang serupa juga disampaikan oleh Salisburry and

Ross (1995) yang menyatakan bahwa manfaat mikoriza yang paling besar dalam

meningkatkan penyerapan ion yang biasanya berdifusi secara lambat menuju akar

atau yang dibutuhkan dalam jumlah banyak, terutama fosfat.

Mekanisme penyerapan hara P oleh akar yang bersimbiosis dengan

mikoriza, yaitu :

1. Kolonisasi mikoriza mengubah morfologi akar sedemikian rupa, sehingga

mengakibatkan pembesaran sistem akar untuk mengabsorpsi P.

2. Hifa dalam tanah mengabsorpsi P dan mengangkutnya ke akar-akar yang

dikolonisasi, dimana P ditransfer ke inang mikoriza.

3. Daerah akar bermikoriza tetap aktif dalam mengabsorpsi hara untuk jangka

(27)

Ketika fosfat di sekitar rambut akar sudah terkuras, maka hifa membantu menyerap

fosfat di tempat-tempat yang tidak dapat lagi dijangkau rambut akar

(Simanungkalit, dkk, 2006).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza selain pH

tanah, kondisi tanah yang lain yang mempengaruhi adalah drainase, ketersediaan

bahan organik dan ketersediaan hara. Mikoriza akan dapat berkembang dengan baik

apabila tidak ada hambatan aerasi. Ketersediaan hara terutama nitrogen dan fosfat

yang rendah akan mendorong pertumbuhan mikoriza. Sebaliknya kandungan hara

yang terlalu rendah atau terlalu tinggi menghambat pertumbuhan mikoriza (Islami

dan Utomo, 1995).

Berdasarkan Hanum (2006) melaporkan bahwa pemanfaatan Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) pada tanaman kedelai membantu meningkatkan

potensi sistem perakaran tanaman untuk mengabsorbsi air. Pada serapan hara P,

tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza memperlihatkan peningkatan serapan

fosfor lebih tinggi pada kedelai dibandingkan tanpa mikoriza. Pemanfataan MVA

juga dapat meningkatkan bobot kering biji kedelai yang akhirnya akan memberikan

kontribusi positif bagi peningkatan produksi.

Konsorsium Mikroba

Dalam inokulan konsorsium mikroba terdiri dari gabungan

bermacam-macam mikroba yang dapat saling bersimbiosis dan bekerja sama dalam

memfiksasi dan menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman. Mikroba yang

membantu fiksasi N dari udara adalah bakteri rhizobium, Bacillus sp. yang dapat

melarutkan fosfat dan sebagai biokontrol fungi patogen akar tanaman kedelai,

(28)

pencucian, Pseudomonas sp. yang dapat memacu pertumbuhan kecambah kedelai

dan mampu memproduksi fitohormon (IAA) dan bakteri endofitik yakni

Ocrobactrum pseudogrigmonense yang hidup didalam tanaman sebagai anti

patogen (Prihastuti, 2008).

Interaksi mikroba dengan tanaman di rizosfer dapat berupa hubungan yang

menguntungkan, netral, atau menggangu pertumbuhan tanaman. Plant Growth

Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman

(RPPT) berpotensi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tanaman, seperti

dalam menghadapi hama dan penyakit; memproduksi fitohormon (biostimulant):

IAA (Indole Acetic Acid), sitokinin, giberellin dan penghambat produksi etilen,

dapat menambah luas permukaan akar-akar halus, meningkatkan ketersediaan

nutrisi bagi tanaman. Berbagai isolat Pseudomonas sp., Azospirillum sp.,

Azotobacter sp., Bacillus sp., dan Serratia sp. diketahui sebagai RPPT (Widodo,

2006).

Bakteri penambat nitrogen(Rhizobium) mempunyai kemampuan menambat

nitrogen bebas (N2) dari udara dan merubahnya menjadi amonia (NH3) yang akan

diubah menjadi asam amino yang akan digunakan oleh tanamanuntuk tumbuh dan

berkembang. Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakanmenyumbang lebih

dari 170 juta ton nitrogen kebiosfer pertahun, 80% merupakan hasil dari simbiosis

antara bakteri Rhizobium dengan tanaman Leguminosae (Purwaningsih, 2004).

Penambatan nitrogen bebas oleh bakteri nodul diperantarai oleh enzimyang

diketahui sebagai nitrogenase. Dalam aktivitasnya, enzim nitrogenase peka

(29)

nodul akar, level oksigen diatur oleh haemoglobin khusus yaitu leghemoglobin

(Yurnalis, 2006).

Leghemoglobin berfungsi sebagai tempat absorbsi dan reduksi nitrogen,

pembawa elektron khusus dalam fiksasi nitrogen, dan pembawa dari oksigen.

Jumlah leghemoglobin di dalam bintil akar memiliki hubungan langsung dengan

jumlah nitrogen yang difiksasi yang berkorelasi positif. Rhizobium berasosiasi

dengan tanaman legum biasanya memfiksasi 100-300 kg nitrogen/ha dalam satu

musim tanam (Fitriani, 2007).

Pada tanaman kedelai menghasilkan bintil akar yang gepeng dan bulat

dengan daya hidup yang pendek. Bintil akar yang efektif dapat dilihat dari jaringan

bintil akar bagian tengah setelah dibelah berwarna merah, karena mengandung

legemoglobin dan letak bintil akar yang efektif cenderung mengumpul pada leher

akar (Islami dan Utomo, 1995).

Kelangsungan hidup rhizobium di dalam tanah sangat tergantung pada

kondisi tanah terutama pH, kelembaban, bahan organik, lamanya jarak (periode)

antara tanaman budidaya yang menjadi inangnya, serta bahan organik sebagai

sumber nutrisi. pH optimum bagi bakteri Rhizobium adalah sekitar 5,5-7,0. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pada pH < 5,5 dan > 7,0 Rhizobium tidak dapat

berkembang atau berkembang dengan lambat sehingga kegiatan infeksi akan

terhenti (Risnawati, 2010).

Pembentukan bintil akar yang maksimal juga mmbutuhkan unsur P fosfor.

Ternyata unsur P yang diperlukan bagi pembentukan bintil akar lebih banyak

(30)

yang dipupuk dengan pupuk P, jumlah bintil akar akan meningkat

(Islami dan Utomo, 1995).

Hormon IAA atau yang dikenal sebagai auksin merupakan pemacu

pertumbuhan dan mengontrol berbagai proses fisiologi seperti pembelahan sel,

diferensiasi jaringan dan respons terhadap cahaya dan gravitasi. Bakteri penghasil

IAA mempunyai kemampuan membantu berbagai proses tersebut dengan

memasukkan IAA ke dalam bagian auksin tanaman. Akar merupakan organ

tanaman yang paling sensitive terhadap fluktuasi kadar IAA dan responsnya pada

peningkatan jumlah IAA eksogenous meluas dari pemanjangan akar primer,

pembentukan akar lateral dan akar liar, sampai penghentian pertumbuhan

(Widyawati, 2008).

Hasil penelitian Dewi, dkk (2012) mengatakan bahwa pemberian

konsorsium mikroba yang terdiri dari Rhizobium leguminosarum, Azotobacter

chroococcum, Azospirillum brasilense, Pseudomonas flurescens, Bacillus

megaterium serta Saccharomyces cerevisiae sebagai biofertilizer berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan produktivitas kacang tanah (Arachis hypogaea L.)

dimana rata-rata tinggi tanaman tertinggi dan rata-rata berat kering tanaman

tertinggi dicapai dengan pemberian 15 ml biofertilizer sebanyak 1 kali, rata-rata

berat basah bintil akar tertinggi dicapai dengan pemberian 6 ml biofertilizer

sebanyak 1 kali, serta rata-rata berat kering polong tertinggi dan rata-rata berat

kering biji tertinggi dengan pemberian 6 ml biofertilizer sebanyak 2 kali.

Hanum (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa FMA dan rhizobium

memiliki suatu sinergistik yang unik yakni FMA dapat menyumbangkan P untuk

(31)

rhizobium dapat dimanfaatkan untuk metabolisme tanaman inang. Inokulasi

Rhizobium dapat meningkatkan kolonisasi akar oleh jamur mikoriza. Inokulasi

ganda ini meningkatkan nodulasi, kolonisasi mikoriza dan kadar N dan P tanaman.

Sesuai dengan hasil penelitiannya bahwa Rhizobia strain USDA 110 memiliki

peranan dalam meningkatkan serapan N dan P tanaman, jumlah dan bobot kering

bintil akar, maka pertumbuhan tanaman baik vegetatif maupun produksi juga akan

meningkat.

(32)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Masyarakat Jalan Setiabudi Kelurahan

Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan dengan ketinggian tempat ± 25 m

dpl, mulai bulan April sampai dengan Juli 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai

varietas Grobogan, benih jagung varietas P12, tryphan blue, KOH 10%, HCl 2%

konsorsium mikroba, mycorhiza fertilizer (mycofer), polibeg ukuran 45 x 30 cm,

pasir, pupuk organik cair Hyponex merah, plastik transparan, amplop serta bahan

yang lain yang mendukung penelitian.

Adapun alat yang digunakan adalah cangkul, gembor, meteran, pacak

sampel, handsprayer, selang air, jangka sorong, mikroskop, deck glass, preparat,

oven, gunting rumput, pisau, klorofilmeter, timbangan analitik, alat tulis dan alat

yang lain yang mendukung penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)

faktorial yang terdiri dua faktor perlakuan, yaitu:

Faktor I : Perlakuan inokulan FMA dengan 3 taraf yaitu :

M0 = Tanpa inokulan FMA

M1 = Inokulan FMA 20 gram/tanaman

M2 = Inokulan FMA 40 gram/tanaman

Faktor II : Perlakuan konsorsium mikroba dengan 4 taraf yaitu :

(33)

R1 = 5 gram / kg benih ( 0,81 g / 162 g benih)

R2 = 10 gram / kg benih ( 1,62 g / 162 g benih)

R3 = 15 gram / kg benih ( 2,43 g / 162 g benih)

Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan sebagai berikut :

M0R0 M1R0 M2R0

M0R1 M1R1 M2R1

M0R2 M1R2 M2R2

M0R3 M1R3 M2R3

Jumlah ulangan : 3 ulangan

Jumlah tanaman/plot : 50 tanaman

Jumlah tanaman/sampel : 5 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya : 180 tanaman

Jumlah tanaman seluruhnya : 1800 tanaman

Luas Plot : 200 cm x 200 cm

Jarak Tanam : 40 cm x 20 cm

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

berdasarkan model linier sebagai berikut :

Yijk = µ + ρi + αj + βk+ (αβ)jk+ εij

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3,4

Yij = Hasil pengamatan pada blok ke-i dengan perlakuan inokulasi FMA pada

taraf ke-j dan perlakuan konsorsium mikroba pada taraf ke-k

µ = Nilai tengah

ρi = Pengaruh ulangan pada taraf ke-i

(34)

βk = Pengaruh perlakuan konsorsium mikroba pada taraf ke-k

β)jk = Pengaruhinteraksi pada dua perlakuan

εij = Galat pada blok ke-i dengan perlakuan inokulasi FMA pada taraf ke-j dan

perlakuan konsorsium mikroba pada taraf ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan

dengan Uji Beda Rataan berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada

(35)

PELAKSANAAN PENELITIAN

I. Perbanyakan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)

Persiapan Media Tanam

Media tanam berupa pasir yang dicuci dengan air mengalir untuk

membersihkan dari kotoran dan dilakukan pemisahan kerikil yang terdapat pada

pasir, kemudian dikeringkan selama 2-3 jam dan dimasukkan kedalam polibeg

berukuran 45 x 30 cm.

Inokulasi FMA

Inokulan FMA dalam bentuk mycofer sebanyak 5 gram/lubang tanam

ditanam pada media pasir dengan kedalaman 5 cm kemudian ditutup dengan pasir.

Penanaman Jagung sebagai Tanaman Inang

Benih jagung diletakkan diatas pasir yang telah diberikan inokulan FMA

kemudian ditutup kembali dengan pasir.

Pemberian Pupuk Organik Cair

Pupuk organik cair diaplikasikan 7 hari setelah tanam sebanyak 1

gram/liter air, diberikan 1 kali seminggu. Pupuk yang digunakan adalah pupuk

Hyponex merah.

Pemeliharaan

Dilakukan penyiraman secara intensif untuk menjaga kelembapan media

tanam yang dilakukan sesuai dengan kondisi lapang dan tidak terlalu basah.

Panen Inokulan FMA

Jagung sebagai tanaman inang FMA dapat dipanen setelah berumur 2 bulan

yang sudah dilakukan Trapping (pengeringan) selama 2 minggu, kemudian diuji

(36)

digunakan sebagai inokulan FMA. Akar tanaman jagung dicacah ± 0,5 cm dan

campuran cacahan akar dan media tanam pasir yang dijadikan inokulan FMA.

II. Penanaman Kedelai Persiapan Lahan

Areal pertanaman terlebih dahulu dibersihkan dari gulma. Kemudian lahan

diolah dan digemburkan menggunakan cangkul dengan kedalaman kira-kira 20 cm.

Kemudian dibuat plot-plot dengan ukuran 200 cm x 200 cm serta jarak antar plot 50

cm dan jarak antar blok 50 cm dan parit drainase sedalam 30 cm untuk menghindari

genangan air.

Aplikasi FMA

FMA diaplikasikan ke lubang tanam pada saat penanaman benih kedelai

dengan dosis sesuai dengan perlakuan.

Aplikasi Konsorsium Mikroba

Konsorsium mikroba diaplikasikan bersamaan dengan penanaman benih

kedelai dengan cara mencampurkan rhizobium dengan dosis 5 gram/kg benih, 10

gram/kg benih dan15 gram/kg benih pada pagi hari dan ditempat yang teduh.

Penanaman Benih

Dibuat lubang tanam secara tugal sedalam ± 5cm dengan jarak tanam

40 x 20 cm, terlebih dahulu dimasukkan FMA sesuai dosis perlakuan dan ditutup

selapis dengan tanah, kemudian dimasukkan 2 benih per lubang tanam yang telah

(37)

Pemupukan N dan K

Pemupukan urea dan KCl dilakukan pada saat tanam dengan cara larikan

pada semua tanaman. Pemupukan urea [CO(NH2)2]dengan dosis 25 kg/ha (10

g/plot) dan pemupukan KCl dengan dosis 100 kg/ha (40 g/plot).

Penjarangan

Penjarangan dilakukan pada 1 MST dengan cara menggunting tanaman

yang pertumbuhannya kurang baik dan meninggalkan 1 tanaman/lubang tanam.

Pemeliharaan Tanaman Penyiraman

Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan. Penyiraman

dilakukan pagi atau sore hari yang dilakukan dengan menggunakan gembor.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan apabila ditemukan gulma di areal penelitian.

Penyiangan dilakukan secara manual yaitu mencabut langsung dengan tangan untuk

menghindari persaingan dalam mendapatkan unsur hara dari dalam tanah.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dilakukan dengan menyemprotkan pestisida organik

dengan bahan aktif azadirachtin, alkaloid, ricin, nikotin, poliferol, sitral, eygenol

dan annoanin. Hama yang menyerang adalah kepik polong, penggerek polong

kedelai dan wereng hijau kedelai. Penyemprotan dilakukan pada saat tanaman

berumur 6 MST dengan dosis 100 ml/1 L air.

Panen

Panen dilakukan dengan cara memotong 5 cm diatas pangkal batang utama

(38)

sudah menguning tetapi bukan karena serangan hama dan penyakit, batang

berwarna kuning agak kecoklatan, polongnya keras bila dipijit dan kulit polong

sudah berwarna kuning kecoklatan sebanyak 95%. Polong yang telah dipanen

dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari dan biji diambil dari polongnya.

Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai dengan titik

tumbuh menggunakan meteran dengan menggunakan patok sampel sebagai

penanda. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada interval waktu 2 MST sampai

akhir fase vegetatif.

Diameter Batang (mm)

Diameter batang diukur pada bagian batang bawah pada ketinggian 1 cm di

atas permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan

pada akhir fase vegetatif.

Bobot Kering Akar (g)

Akar yang diukur adalah akar yang sudah dipisahkan dari tajuk dan

dibersihkan dari kotoran yang ada lalu diovenkan dengan suhu 80°C selama 24 jam

lalu ditimbang. Pengamatan ini dilakukan pada akhir fase vegetatif.

Bobot Kering Tajuk (g)

Bagian tajuk tanaman yang diukur dipisahkan dari akar dengan cara

memotong pada bagian pangkal; batang lalu tajuk dibersihkan dari kotoran yang

ada lalu diovenkan dengan suhu 80°C selama 24 jam lalu ditimbang. Pengamatan

(39)

Jumlah Bintil Akar (bintil)

Dihitung jumlah bintil akar pada sampel dekstruktif yang terbentuk di akar

tanaman kedelai. Pengamatan ini dilakukan pada akhir fase vegetatif.

Bobot Bintil Akar (g)

Bobot bintil akar dihitung pada saat akhir fase vegetatif tanaman dengan

cara menimbang bobot bintil akar setelah perhitungan jumlah bintil akar.

Jumlah Bintil Akar Efektif (bintil)

Jumlah bintil akar yang efektif dilakukan dengan cara membelah bintil akar.

Kriteria bintil akar efektif yakni jika dibelah bintil akar tersebut berwarna merah

jambu.

Kehijauan Daun (SPAD)

Kehijauan daun diukur dengan klorofilmeter tipe opti sciences CCM 200

dimana prinsip kerja dengan menggunakan panjang gelombang 653 nm untuk

mendeteksi kehijauan daun. Daun yang diuukur yakni daun pada bagian tengah

yang diambil sebanyak 5 sampel daun. Pengamatan dilakukan pada akhir fase

vegetatif.

Total Luas Daun (cm²)

Pengamatan total luas daun dihitung dengan menggunakan Leaf Area Meter

(LAM) dari seluruh daun tanaman destruktif pada saat fase akhir vegetatif.

Derajat Infeksi FMA (%)

Pengamatan derajat infeksi dilakukan pada saat akhir fase vegetatif. Akar

tanaman diteliti untuk mengetahui berapa persen FMA dapat menginfeksi akar

tanaman kedelai dengan metode panjang akar terkolonisasi. Tahapan kerja dapat

(40)

Kandungan N Tajuk Tanaman (%)

Kandungan hara dianalisis dengan cara mengukur kadar hara N tanaman

yang ditentukan dengan metode Kjeldahl. Pengukuran kadar hara dilakukan pada

akhir masa vegetatif.

Kandungan P Tajuk Tanaman (%)

Kandungan hara dianalisis dengan cara mengukur kadar hara P tanaman

yang ditentukan dengan metode pengabuan kering. Pengukuran kadar hara

dilakukan pada akhir masa vegetatif.

Jumlah Cabang Produktif (cabang)

Jumlah cabang yang dihitung adalah cabang yang produktif menghasilkan

polong. Pengamatan dilakukan pada saat menjelang panen.

Jumlah Polong Per Tanaman Sampel (polong)

Pengamatan dilakukan terhadap semua jumlah polong setiap tanaman

sampel dengan menghitung jumlah polong berisi dan jumlah polong hampa.

Pengamatan ini dilakukan pada saat panen.

Jumlah Polong Berisi Per Tanaman Sampel (polong)

Pengamatan dilakukan terhadap semua jumlah polong yang berisi setiap

tanaman sampel dengan menghitung jumlah polong berisi. Pengamatan ini

dilakukan pada saat panen.

Bobot Kering Biji per Tanaman Sampel (g)

Produksi biji per tanaman sampel dihitung dengan menimbang produksi biji

seluruh sampel tanaman kemudian dirata-ratakan. Biji yang ditimbang adalah biji

(41)

Bobot Kering 100 Biji (g)

Penimbangan dilakukan dengan menimbang 100 biji kedelai yang telah

dijemur di bawah sinar matahari selama 2-3 hari.

Bobot kering biji / tanaman

Jumlah biji / tanaman Bobot Kering Biji per Plot (g)

Produksi biji per plot dihitung dengan menimbang produksi seluruh

tanaman dari masing-masing plot. Biji yang ditimbang adalah biji yang telah

dijemur di bawah sinar matahari 2-3 hari.

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tinggi Tanaman

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari tinggi tanaman pada 2 - 6 MST

dapat dilihat pada Lampiran 6 - 15. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa

pemberian FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap tinggi

tanaman 6 MST, sedangkan interaksi antara pemberian konsorsium mikroba dan

FMA berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2 MST.

Data rataan tinggi tanaman pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

MST FMA

(g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

(43)

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tanpa pemberian FMA, tinggi tanaman 2

MST meningkat seiring dengan bertambahnya dosis konsorsium mikroba sampai

10 g/kg benih dan menurun pada pemberian konsorsium mikroba15 g/kg benih.

Pada pemberian FMA 20 g/tanaman, tinggi tanaman 2 MST meningkat dengan

pemberian konsorsium mikroba 10 dan 15 g. Pada pemberian FMA 40 g/tanaman,

tinggi tanaman 2 MST meningkat dengan pemberian konsorsium mikroba 5 g/kg

benih dan menurun pada pemberian konsorsium mikroba 10 dan 15 g/kg benih.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tanpa pemberian konsorsium mikroba, tinggi

tanaman 2 MST meningkat dengan pemberian FMA 20 g/tanaman dan menurun

dengan pemberian FMA 40 g/tanaman. Pada pemberian konsorsium mikroba 5

g/kg benih, tinggi tanaman menurun dengan pemberian FMA 20 g/tanaman dan

meningkat dengan pertambahan dosis FMA 40 g/tanaman. Pada pemberian

konsorsium 10 dan 15 g/kg benih, tinggi tanaman 2 MST meningkat pada

pemberian FMA 20 g/tanaman dan menurun dengan peningkatan dosis FMA

sampai 40 g/tanaman, dimana tinggi tanaman tertinggi terdapat pada pemberian

FMA 20 g/tanaman dan konsorsium mikroba 10 g/kg benih (13,22 cm) dan

terendah pada tanpa pemberian FMA dan tanpa pemberian konsorsium mikroba

(10,65 cm).

Tabel 1 menunjukkan bahwa peningkatan dosis FMA sampai 40 g/tanaman

menurunkan tinggi tanaman 6 MST dibandingkan dengan pemberian FMA 20

g/tanaman, dimana tinggi tanaman pada 6 MST tertinggi terdapat pada pemberian

FMA 20 g (52,78 cm) dan terendah pada pemberian FMA 0 g (48,57 cm).

Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman 6 MST menurun seiring

(44)

dengan pemberian konsorsium mikroba 5 g/kg benih, dimana tinggi tanaman 6

MST tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 5 g/kg benih

(52,70 cm) dan yang terendah pada tanpa pemberian konsorsium mikroba (47,14

cm).

Grafik tinggi tanaman 2 MST dengan interaksi pemberian FMA dan

konsorsium mikroba dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan tinggi tanaman 2 MST dengan pemberian FMA dan konsorsium mikroba

Grafik tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian FMA dapat dilihat pada

(45)

Gambar 2. Hubungan tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian FMA

Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa pemberian FMA terhadap tinggi

tanaman 6 MST menunjukkan hubungan kuadratik. Pada grafik dapat dilihat bahwa

pemberian FMA optimum adalah 26,35 g dengan tinggi tanaman maksimum yaitu

53,42 cm.

Grafik tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian konsorsium mikroba dapat

dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian konsorsium mikroba

Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa pemberian konsorsium mikroba

(46)

dapat dilihat bahwa pemberian konsorsium mikroba optimum adalah 8,89 g dengan

tinggi tanaman maksimum yaitu 53,13 cm.

Diameter Batang

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari diameter batang 6 MST dapat

dilihat pada Lampiran 16 dan 17. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian

FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap diameter batang,

sedangkan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap

diameter batang.

Data rataan diameter batang pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan diameter batang pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Tabel 2 menunjukkan bahwa peningkatan dosis FMA sampai 40

g/tanaman dapat meningkatkan diameter batang, dimana diameter batang tertinggi

terdapat pada pemberian FMA 40 g/tanaman (5,54 mm) dan terendah pada tanpa

pemberian FMA (4,63 mm).

Tabel 2 menunjukkan bahwa peningkatan dosis konsorsium mikroba sampai

15 g/kg benih dapat meningkatkan diameter batang, dimana diameter batang

tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih (5,66 mm)

(47)

Grafik diameter batang dengan pemberian FMA dapat dilihat pada Gambar

4.

Gambar 4. Hubungan diameter batang 6 MST dengan pemberian FMA

Grafik diameter batang dengan pemberian konsorsium mikroba dapat dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan diameter batang dengan pemberian konsorsium mikroba

Bobot Kering Akar

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari bobot kering akar dapat dilihat

(48)

dan pemberian konsorsium mikroba serta interaksi antara keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot kering akar.

Data rataan bobot kering akar pada pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan bobot kering akar pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

Tabel 3 menunjukkan bahwa bobot kering akar cenderung meningkat

seiring dengan pertambahan dosis FMA dan konsorsium mikroba, dimana bobot

kering akar tertinggi terdapat pada pemberian FMA 40 g/tanaman (1,45 g) dan

terendah pada tanpa pemberian FMA (1,21 g) dan bobot kering akar tertinggi

terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih (1,63 g) dan terendah

pada tanpa pemberian konsorsium mikroba (1,06 g).

Bobot Kering Tajuk

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari bobot kering tajuk dapat dilihat

pada Lampiran 20 dan 21. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian FMA

dan pemberian konsorsium mikroba serta interaksi antara keduanya berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot kering tajuk.

Data rataan bobot kering tajuk pada pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan bobot kering tajuk pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

(49)

(g/tanaman) R0 (0) R1 (5) R2 (10) R3 (15)

Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot kering tajuk cenderung meningkat

seiring dengan penambahan dosis FMA dan konsorsium mikroba, dimana bobot

kering tajuk tertinggi terdapat pada pemberian FMA 40 g/tanaman (9,99 g) dan

terendah pada pemberian FMA 20 g/tanaman (9,24 g) dan bobot kering tajuk

tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih (11,17 g) dan

terendah pada tanpa pemberian konsorsium mikroba (7,96 g).

Jumlah Bintil Akar

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari jumlah bintil akar dapat dilihat

pada Lampiran 22 dan 23. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian FMA

dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar, sedangkan

interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah bintil

akar.

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah bintil akar meningkat seiring dengan

penambahan dosis FMA sampai 40 g/tanaman, dimana jumlah bintil akar tertinggi

terdapat pada pemberian FMA 40 g/tanaman (5,25 bintil) dan terendah pada tanpa

pemberian FMA (2,00 bintil).

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah bintil akar meningkat seiring dengan

penambahan dosis konsorsium mikroba sampai 15 g/kg benih, dimana jumlah bintil

akar tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih (6,11

(50)

Data rataan jumlah bintil akar pada pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan jumlah bintil akar pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

R0 (0) R1 (5) R2 (10) R3 (15)

... bintil ...

M0 (0) 0,67 2,00 2,67 2,67 2,00b

M1 (20) 3,00 4,00 5,67 7,67 5,08a

M2 (40) 1,67 4,33 7,00 8,00 5,25a

Rataan 1,78c 3,44b 5,11a 6,11a 4,11

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Grafik jumlah bintil akar dengan pemberian FMA dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan jumlah bintil akar dengan pemberian FMA

Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa pemberian FMA terhadap jumlah

bintil akar menunjukkan hubungan kuadratik.

Grafik jumlah bintil akar dengan pemberian konsorsium mikroba dapat

(51)

Gambar 7. Hubungan jumlah bintil akar dengan pemberian konsorsium mikroba

Bobot Bintil Akar

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari bobot bintil akar dapat dilihat

pada Lampiran 24 dan 25. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara

pemberian FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap bobot bintil

akar.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada tanpa pemberian FMA, pemberian FMA

20 g dan FMA 40 g/kg benih bobot bintil akar meningkat seiring dengan

penambahan dosis konsorsium mikroba sampai 15 g/kg benih.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada tanpa pemberian konsorsium mikroba

bobot bintil akar meningkat pada pemberian FMA 20 g/tanaman dan menurun pada

pemberian 40 g/tanaman. Pada pemberian konsorsium mikroba 5, 10 dan 15 g/kg

benih bobot bintil akar meningkat seiring pertambahan dosis FMA sampai 40

g/tanaman, dimana bobot bintil akar tertinggi terdapat pada interaksi perlakuan

FMA 40 g/tanaman dan konsorsium mikroba 15 g/kg benih (0,23 g) dan yang

(52)

Data rataan bobot bintil akar pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan bobot bintil akar pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

R0 (0) R1 (5) R2 (10) R3 (15)

... g ...

M0 (0) 0,01e 0,03de 0,03de 0,06cde 0,03

M1 (20) 0,04cde 0,09bcd 0,16ab 0,20a 0,13

M2 (40) 0,01e 0,11bc 0,21a 0,23a 0,14

Rataan 0,02 0,08 0,14 0,17 0,10

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Grafik bobot bintil akar dengan interaksi pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan bobot bintil akar dengan pemberian FMA dan konsorsium mikroba

Jumlah Bintil Akar Efektif

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari jumlah bintil akar efektif dapat

(53)

pemberian FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil

akar efektif.

Data rataan jumlah bintil akar efektif pada pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan jumlah bintil akar efektif pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Tabel 7 menunjukkan bahwa pada tanpa pemberian FMA jumlah bintil akar

efektif meningkat seiring dengan pertambahan dosis konsorsium mikroba sebanyak

10 g/kg benih dan tidak mengalami peningkatan pada pemberian konsorsium

mikroba 15 g/kg benih. Pada pemberian FMA 20 g dan 40 g/tanaman

jumlah bintil akar efektif meningkat seiring dengan peningkatan dosis konsorsium

mikroba sampai 15 g/kg benih.

Tabel 7 menunjukkan bahwa pada tanpa pemberian konsorsium mikroba

jumlah bintil akar efektif meningkat seiring dengan peningkatan dosis FMA sampai

40 g/tanaman. Pada pemberian konsorsium mikroba 5, 10 dan 15 g/kg benih jumlah

bintil akar juga meningkat seiring dengan peningkatan dosis FMA sampai 40

g/tanaman, dimana jumlah bintil akar efektif tertinggi terdapat pada interaksi

perlakuan FMA 40 g/tanaman dan konsorsium mikroba 15 g/kg benih (7,33 bintil)

(54)

Grafik jumlah bintil akar efektif dengan interaksi pemberian FMA dan

konsorsium mikroba dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan jumlah bintil akar efektif dengan interaksi pemberian FMA dan konsorsium mikroba

Kehijauan Daun

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari kehijauan daun dapat dilihat

pada Lampiran 28 dan 29. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian

konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap kehijauan daun, sedangkan

pemberian FMA dan interaksi antara pemberian konsorsium mikroba dan FMA

berpengaruh tidak nyata terhadap kehijauan daun.

Tabel 8 menunjukkan bahwa kehijauan daun meningkat seiring dengan

peningkatan dosis konsorsium mikroba sampai 15 g/kg benih, dimana kehijauan

daun tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih (29,16)

dan terendah pada tanpa pemberian konsorsium mikroba (22,73).

Data rataan kehijauan daun pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

(55)

Tabel 8. Rataan kehijauan daun pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

R0 (0) R1 (5) R2 (10) R3 (15)

... SPAD ...

M0 (0) 21.14 27.05 28.81 27.31 26.08

M1 (20) 21.78 26.01 26.51 31.68 26.50

M2 (40) 25.27 27.53 30.91 28.50 28.05

Rataan 22.73b 26.86a 28.74a 29.16a 26.87

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Grafik kehijauan daun dengan pemberian konsorsium mikroba dapat dilihat

pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan kehijauan daun dengan pemberian konsorsium mikroba

Total Luas Daun

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari total luas daun dapat dilihat dari

Lampiran 30 dan 31. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian konsorsium

mikroba berpengaruh nyata terhadap total luas daun, sedangkan pemberian FMA

dan interaksi antara pemberian FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh tidak

nyata terhadap total luas daun.

Data rataan total luas daun pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

(56)

Tabel 9. Rataan total luas daun pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

R0 (0) R1 (5) R2 (10) R3 (15)

... cm² ...

M0 (0) 755,46 1093,10 1171,09 1094,93 1028,64

M1 (20) 950,39 740,36 1088,31 1216,18 998,81

M2 (40) 832,95 1026,30 1402,68 1847,69 1277,41

Rataan 846,27c 953,25bc 1220,69ab 1386,26a 1101,62

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Tabel 9 menunjukkan bahwa total luas daun meningkat seiring dengan

peningkatan dosis konsorsium mikroba sampai 15 g/kg benih, dimana total luas

daun tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 15 g/kg benih

(1386,26 cm²) dan terendah pada tanpa pemberian konsorsium mikroba

(846,27 cm²).

Grafik total luas daun dengan pemberian konsorsium mikroba dapat dilihat

pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan total luas daun dengan pemberian konsorsium mikroba

(57)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam dari derajat infeksi FMA dapat

dilihat pada Lampiran 32 dan 33. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian

FMA dan konsorsium mikroba berpengaruh nyata terhadap derajat infeksi FMA,

sedangkan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tida nyata terhadap derajat

infeksi FMA.

Tabel 10 menunjukkan bahwa bahwa derajat infeksi meningkat dengan

pemberian FMA 20 g/tanaman dan menurun pada pemberian FMA 40 g/tanaman,

dimana derajat infeksi tertinggi terdapat pada pemberian FMA 20 g/tanaman (55,00

%) dan terendah pada tanpa pemberian FMA (8,33%).

Tabel 10 menunjukkan bahwa derajat infeksi meningkat seiring dengan

penambahan dosis konsorsium mikroba sampai 15 g/kg benih, dimana derajat

infeksi tertinggi terdapat pada pemberian konsorsium mikroba 10 g/kg benih (41,11

%) dan terendah pada tanpa pemberian konsorsium mikroba (24,44 %),

Data rataan derajat infeksi FMA pada pemberian FMA dan konsorsium

mikroba dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan derajat infeksi FMA pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba

FMA (g/tanaman)

Konsorsium mikroba (g/kg benih)

Rataan

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Grafik derajat infeksi dengan pemberian FMA dapat dilihat pada

(58)

Gambar 12. Hubungan derajat infeksi dengan pemberian FMA

Dari Gambar 12 dapat diketahui bahwa pemberian FMA terhadap derajat

infeksi menunjukkan hubungan kuadratik. Pada grafik dapat dilihat bahwa

pemberian FMA optimum adalah 25,35 g dengan derajat infeksi maksimum yaitu

57,19%.

Grafik derajat infeksi dengan pemberian konsorsium mikroba dapat dilihat

pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan derajat infeksi dengan pemberian konsorsium mikroba

Gambar

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba
Grafik tinggi tanaman 2 MST dengan interaksi pemberian FMA dan
Gambar 2. Hubungan tinggi tanaman 6 MST dengan pemberian FMA
Tabel 2. Rataan diameter batang pada pemberian FMA dan konsorsium mikroba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa (1) Jenis burung yang ditemukan di Gili Sulat terdiri dari 11 jenis

H0 = Tidak terdapat aktivitas hepatoprotektif dari pemberian ekstrak kurma ruthab ( Phoenix dactylifera ) terhadap sayatan histologi hepar mencit ( Mus musculus )

Berdasarkan hasil analisis peneliti dilapangan, dari penelitian yang berjudul (Strategi da’i dalam mengajarkan Al-Qur’an di desa Doda Kec. Lore tengah Kab. Pelaksanaan nya

Pada menu ini merupakan tampilan semua produk dari butik attamoda8 dan bisa memesan produk dari attamoda8 lewat menu ini, dan pada halaman shop ini juga

Perancangan arsitektur teknologi informasi ini diharapkan sebagai roadmap untuk menentukan langkah yang diambil dan dilaksanakan untuk mencapai visi dan misi, serta sebagai dasar

administrator, (4) supervisor, (5) pemimpin, (6) pencipta iklim ke j a , (7) wiraushawan, ketujuh peran itu yang perlu dijalankan oleh kepala sekolah dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Pola persebaran peternakan ayam ras petelur di Kecamatan Mungka Kabupaten Lima Puluh Kota. 2) Pola usahatani

1) Faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya insrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang. Menurut Herzberg, yang tergolong