i
ANALISIS EFISIENSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI AYAM RAS PEDAGING POLA KEMITRAAN
DAN MANDIRI DI KECAMATAN GUNUNG SINDUR
KABUPATEN BOGOR
HAYU WINDI HAPSARI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Efisiensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2013
iii
RINGKASAN
HAYU WINDI HAPSARI. Analisis Efisiensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.
Peternakan merupakan salah satu sub sektor yang memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan dalam bidang peternakan dapat meningkatkan peran peternakan dalam tata ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan peternak dan menyediakan pangan bagi masyarakat.
Industri perunggasan di Indonesia diperkirakan memiliki prospek yang baik. Ternak unggas memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi daging nasional yaitu sebesar 60.73 persen (Direktorat Jendral Peternakan, 2008). Salah satu komoditas perunggasan yang prospektif untuk dikembangkan adalah ayam ras pedaging atau broiler. Berdasarkan Direktorat Jendral Peternakan tahun 2008, ayam ras pedaging memiliki kontribusi terbesar terhadap total daging unggas nasional yaitu sebesar 67 persen, sedangkan 23 persen dari ayam bukan ras dan sisanya dari ternak unggas lainnya. Berkembangnya industri ayam ras pedaging di Indonesia, didukung oleh pertambahan penduduk, peningkatan pendidikan dan pendapatan, serta kesadaran akan gizi seimbang.
Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi terbesar usahaternak ayam ras pedaging di provinsi Jawa Barat dengan proporsi sebesar 19.01 persen terhadap total produksi ayam ras pedaging di provinsi Jawa Barat (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2011). Kecamatan Gunung Sindur merupakan daerah sentra produksi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor, yang ditunjukan oleh persentase populasi ayam ras pedaging di Kecamatan Gunung Sindur pada tahun 2010 mencapai 9.65 persen dari total populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor (Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor, 2011).
Usahaternak ayam ras pedaging di Kecamatan Gunung Sindur dapat dikelompokan menjadi dua pola, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan sistem produksi antara peternak kemitraan dan peternak mandiri. Peternak kemitraan mendapat jaminan pasokan sarana produksi dan pemasaran hasil produksi dari pihak inti, sehingga peternak plasma memiliki resiko harga yang lebih rendah. Namun sebaliknya, peternak mandiri dengan modal sendiri memiliki keleluasaan dalam memperoleh sarana produksi dan pemasaran hasil produksi.
iv Eviews 7. Analisis efisiensi ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM).
Hasil analisis menunjukan, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pada kedua pola peternak adalah pakan dan pemanas. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata pada peternak kemitraan selain pakan dan pemanas adalah sekam, kepadatan kandang, dan mortalitas. Pada peternak mandiri faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata hanya pakan dan pemanas. Pada peternak mandiri, penggunaan pakan lebih responsif dari peternak kemitraan, sedangkan pada peternak kemitraan penggunaan pemanas lebih responsif dari peternak mandiri.
Hasil analisis efisiensi ekonomi, menunjukan bahwa pada kedua pola peternak belum mencapai efisiensi secara ekonomi. Hal ini ditunjukan dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) tidak sama dengan satu atau NPM tidak sama dengan BKM. Untuk mencapai efisiensi ekonomi, faktor produksi yang perlu ditambah pada peternak mandiri adalah pakan dan pemanas, sedangkan pada peternak kemitraan adalah pakan, pemanas, dan sekam.
v
ANALISIS EFISIENSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI AYAM RAS PEDAGING POLA KEMITRAAN
DAN MANDIRI DI KECAMATAN GUNUNG SINDUR
KABUPATEN BOGOR
HAYU WINDI HAPSARI
(H44080070)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
vi Judul Skripsi : Analisis Efisiensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor
Nama : Hayu Windi Hapsari
NRP : H44080070
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Ujang Sehabudin NIP. 19680301 199303 1003
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T. NIP. 19660717 199203 1 003
vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai
bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Drs. Suwondo dan Ibunda Dra. Dwi Sri Hardiningsih atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan baik moral maupun spiritual yang telah diberikan selama ini, serta kepada kakak tercinta Prayogo, Ika Cahya H, Dwi
Rindra W, Dewi A, dan Ricahya W, yang selalu memberi semangat kepada penulis.
2. Ir. Ujang Sehabudin yang senantiasa dengan penuh ketekunan dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Nia Kurniawati Hidayat, SP, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji dalam sidang skripsi.
4. Pini Wijayanti, SP, M. Si selaku dosen pembimbing akademik dan seluruh
dosen serta staff pengajar Departemen ESL yang selalu memberikan saran dan masukkan kepada penulis.
5. Peternak responden dan seluruh staf di Kecamatan Gunung Sindur yang telah memberikan informasi selama penelitian kepada penulis.
6. Ayu F, Diani K, S. Fatimatus Z, Singgih W, Dita P, D. Sinta, Stevi P, Dwi
Panca, Sutowo, Yoppy, Nur Rizky dan teman-teman ESL 45 seperjuangan lainnya yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama bimbingan
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat kelulusan Program Sarjana Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Analisis Efisiensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Penelitian ini berisi mengenai apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pada peternak kemitraan dan peternak mandiri, serta
bagaimana tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut baik pada peternak kemitraan maupun peternak mandiri. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Akan tetapi, penulis berharap semoga karya
ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk penulis pribadi. Selain itu, penulis juga mengharapkan adanya
penelitian lanjutan yang berusaha mengakomodir keterbatasan penelitian ini.
Bogor, Februari 2013
ix
2.2. Pengelolaan Faktor-Faktor Produksi Peternakan Ayam Ras Pedaging ... 11
3.1.4. Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi ... 29
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 31
4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb Douglas... 36
4.4.1.1. Uji Statistik ... 37
4.4.1.2. Uji Asumsi Klasik ... 37
x
4.4.3. Definisi Operasional ... 46
V. GAMBARAN UMUM ... 47
5.1. Gambaran Umum Kecamatan Gunung Sindur... 47
5.1.1. Letak Geografis ... 47
5.1.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 48
5.2. Karakteristik Usahaternak Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Gunung Sindur ... 49
5.3. Manajemen Budidaya Ayam Ras Pedaging ... 53
5.4. Karakteristik Responden ... 56
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61
6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging ... 61
6.1.1. Analisis Model Fungsi Produksi ... 61
6.1.2. Besar Pengaruh Faktor-Faktor Produksi terhadap Produksi Ayam Ras Pedaging... 68
6.2. Analisis Efisiensi Ekonomi ... 79
VII. SIMPULAN DAN SARAN... 92
7.1. Simpulan... 92
7.2. Saran . ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
LAMPIRAN ... 97
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor” dengan Penelitian Sebelumnya………. 22 2. Metode Analisis Penelitian... 35 3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun
2011………... 48
4. Komposisi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010...……….……….. 49
5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2010....………... 49 6. Karakteristik Perkandangan Peternak Mandiri dan Peternak
Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012... 50 7. Karakteristik Responden Peternak di Kecamatan Gunung
Sindur Tahun 2012... 57 8. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Fungsi
Produksi Cobb Douglas Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012... 62 9. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Fungsi
Produksi Cobb Douglas Peternak Mandiri di Kecamatan
Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012………….….….. 63
10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Peternak Kemitraan di Kecamatan
Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012….…….……….. 64
11. l Nilai P-value Statistik Uji Glejser, Chi-Square, VIF dan Nila Jarque-Bera pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012…...………..……… 65
12. Nilai P-value Statistik Uji Glejser, Chi-Square, VIF dan Jarque-Bera pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
xii 13. Nilai P-value Statistik Uji Glejser, Chi-Square, VIF dan
Jarque-Bera pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012……….………...………... 67
14. Nilai Koefisien Produksi Pada Peternak Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Gunung Sindur secara Keseluruhan, Peternak Mandiri dan Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012……….. 68
15. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Tidak Terestriksi Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan, Peternak Mandiri dan Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Tahun 2012………... 79
16. Nilai P-value Statistik Uji Glejser, Chi-Square, VIF dan Jarque-Bera pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan, Peternak mandiri, dan Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012………...……... 80
17. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan, Peternak Mandiri dan Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Tahun 2012………..…. 82
18. Rasio Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012……….. 86
19. Rasio Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012……. 87 20. Rasio Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari
Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012….… 88 21. Kombinasi Optimal Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Ayam
Ras Pedaging Peternak secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012……… 89
22. Kombinasi Optimal Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung
xiii 23. Kombinasi Optimal Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Ayam
Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Fungsi Produksi Neoklasik……… 25
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. PDB Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2004-2011 (Miliar
Rupiah)………..….. 98
2. Produksi Ayam Ras Pedaging di Indonesia Tahun 2004-2009…..…. 99 3. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Barat Tahun 2010..….. 101 4. Pertumbuhan Rata-Rata Produksi Daging Unggas di Kabupaten
Bogor Tahun 2009-2011………. 101
Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012..………. 105
8. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012……... 106 9. Uji Kenormalitasan pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas
Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012…….………..……… 106
10. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012..………..……... 107 11. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas
Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012…….………..……… 107
12. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012……….……… 108
xvi 14. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi
Produksi Cobb Douglas Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012 …...…………... 109 15. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas
Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan
Gunung Sindur Tahun 2012 .……….. 109
16. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun
2012………. 110
17. Uji Kenormalitasan pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012………..………... 110
18. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi Produksi Coob Douglas Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012…...………… 111 19. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Cobb Douglas
Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012………..…... 111 20. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Satuan Fisik Usahaternak
Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun
2012………...……….. 112
21. Uji Kenormalitasan pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012……….………..… 112
22. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012……….….…... 113 23. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik
Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor Tahun 2012……….……….. 113
24. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung
Sindur Tahun 2012………...……….. 114
25. Uji Kenormalitasan pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan
xvii 26. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi
Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012….……….. 115 27. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik
Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di Kecamatan
Gunung Sindur Tahun 2012……… 115
28. Hasil Pendugaan Faktor-Faktor Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung
Sindur Tahun 2012….………...………..… 116
29. Uji Kenormalitasan pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012……….…….... 116
30. Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012………... 117 31. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Satuan Fisik
Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012………. 117
32. Program Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012…………...………..……… 118
33. Program Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Mandiri di Kecamatan
Gunung Sindur Tahun 2012……….…………... 119
34. Program Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012……….……… 120
35. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan (Peternak Mandiri dan Kemitraan) di Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Tahun 2012………. 121
36. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Mandiri di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012………. 122
37. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Cobb Douglas Terestriksi Usahaternak Ayam Ras Pedaging Peternak Kemitraan di
xviii 38. Analysis of Variance Model Fungsi Produksi Cobb Douglas
Terestriksi dan Tidak Terestriksi pada Peternak Ayam Ras Pedaging secara Keseluruhan, Peternak Mandiri, dan Peternak Kemitraan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor Tahun 2012……….... 124 39. Perhitungan NPM dan BKM Produksi Ayam Ras Pedaging di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012…..………... 125 40. Perhitungan Input Optimal Produksi Ayam Ras Pedaging di
Kecamatan Gunung Sindur Tahun 2012…...……….. 126 41. Dokumentasi Penelitian Usahaternak Ayam Ras Pedaging di
Kecamatan Gunung Sindur di Kecamatan Gunung Sindur Tahun
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan merupakan salah satu sub sektor yang memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya kontribusi
peternakan pada perekonomian Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011), sub sektor ini penyumbang ke-4 PDB pada sektor pertanian yaitu dengan nilai rata-rata 11.51 persen dari tahun 2004 sampai tahun 2011 (Lampiran 1).
Pembangunan peternakan merupakan pembangunan nasional yang sangat penting. Menurut Cahyono (1996), pembangunan dalam bidang peternakan dapat
meningkatkan peran peternakan dalam tata ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan peternak dan penyediaan pangan bagi masyarakat dalam jumlah yang
mencukupi dengan mutu yang baik.
Peternakan unggas di Indonesia memiliki peranan yang penting dalam pembangunan peternakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan hewani. Saat ini
ternak unggas memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi daging nasional yaitu 60.73 persen, kemudian daging sapi sebesar 21.94 persen. Kontribusi daging
unggas terhadap daging nasional tersebut, sebanyak 67 persen disediakan oleh ayam ras, 23 persen dari ayam bukan ras dan sisanya dari ternak unggas lainnya (Direktorat Jendral Peternakan, 2008). Menurut Mulyantini (2010), masih terdapat
beberapa kendala yang dalam pengembangan perunggasan di Indonesia diantaranya adalah tingginya harga pakan, hal tersebut dikarenakan bahan baku
2 penduduk, peningkatan pendidikan dan pendapatan, serta kesadaran akan gizi
seimbang.
Pendapatan dan pertambahan penduduk di Indonesia memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peningkatan asupan protein hewani masyarakat Indonesia dari 12.46 gram/hari di tahun 2009 sampai 14.02 gram/hari di tahun 2011. Pendapatan perkapita nasional pada tahun 2009 yaitu Rp 8.9 juta, kemudian
meningkat menjadi Rp 9.8 juta di tahun 2011. Di sisi lain, antara tahun 2009 sampai tahun 2011, jumlah penduduk meningkat dari 227 juta jiwa menjadi 238
juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2012).
Salah satu komoditas perunggasan yang prospektif untuk dikembangkan adalah peternakan ayam ras pedaging atau broiler. Hal tersebut didukung oleh
karakteristik produknya yang banyak diminati oleh masyarakat yang memiliki kandungan gizi dan vitamin yang cukup tinggi serta harganya yang relatif rendah
jika dibandingkan dengan daging lainnya. Selain itu, peternakan ayam ras pedaging merupakan usaha yang sangat strategis karena kecepatan pertumbuhannya yang relatif singkat. Ayam ras pedaging mampu menghasilkan
daging seberat 1.2-1.9 kg dalam usia 5 hingga 6 minggu (Mulyantini, 2011). Berkembangnya usahaternak ayam ras pedaging bermula dari peternakan
yang dikelola secara mandiri dengan skala kecil yang tujuannya hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Seiring dengan berkembangnya teknologi
dan tuntutan ekonomi, usahaternak ayam ras pedaging mulai dikembangkan dari skala menengah sampai skala besar. Usahaternak ayam ras pedaging berkembang pesat di Indonesia dan salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat. Pada tahun
3 persen terhadap total produksi daging ayam ras pedaging di Indonesia (Lampiran
2). Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi terbesar usahaternak ayam ras pedaging di Jawa Barat. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada persentase populasi
ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 yang besarnya mencapai 19.01 persen, sedangkan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Subang memiliki persentase sebesar 16.70 persen dan 7.94 (Lampiran 3).
Meningkatnya industri olahan ternak mendorong berkembangnya usahaternak ayam ras pedaging, khususnya bagi daerah sentra produksi seperti
Kabupaten Bogor. Peningkatan jumlah industri pengolahan daging di Indonesia dari 18 unit usaha menjadi 25 unit usaha dari tahun 2009 sampai tahun 20111. Pertumbuhan rata-rata produksi daging ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor
dari tahun 2009 sampai tahun 2011 sebesar 30.35 persen. Pertumbuhan rata-rata tersebut paling besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata produksi
daging ayam buras yaitu sebesar 21.17 persen dan pertumbuhan rata-rata produksi daging itik sebesar 15.90 persen (Lampiran 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor adalah daerah pengembangan usahaternak ayam ras
pedaging.
Kecamatan Gunung Sindur merupakan daerah sentra produksi ayam ras
pedaging di Kabupaten Bogor, hal tersebut dapat ditunjukan pada besarnya persentase populasi ayam ras pedaging yang mencapai 9.65 persen dari total
populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor (Lampiran 5). Peternakan ayam ras pedaging di Kecamata Gunung Sindur mengembangkan usahaternaknya dengan dua pola, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri. Kemitraan yang
1
4 terbentuk merupakan kerjasama yang terjalin antara peternak rakyat dengan
perusahaan inti. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pasal 3 No. 44 Tahun 1997, mengenai peraturan pemerintah tentang kemitraan menyatakan
bahwa perusahaan inti memiliki kewajiban dalam (1) penyediaan dan penyiapan lahan, penyediaan sarana produksi, (2) pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, (3) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang
diperlukan, (4) pembiayaan, dan (5) pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi efisiensi dan produktivitas usaha. Kelompok mitra bertugas memenuhi
kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati (Hafsah, 2000). Peternak mandiri adalah peternak rakyat dimana modal yang digunakan merupakan modal sendiri, keuntungan maupun risiko sepenuhnya ditanggung
sendiri dan bebas memasarkan hasil produksinya.
Adapun beberapa alasan dilakukannya kemitraan karena terkait masalah
distribusi DOC dan pakan yang kurang lancar, hal tersebut akan mempengaruhi waktu dan masa berproduksi ayam ras pedaging atau tidak tepat waktu dalam berproduksi dan menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan akan lebih besar.
Selain itu, kepemilikan modal yang kecil dan pemasaran hasil yang kurang lancar juga merupakan kendala bagi peternak rakyat untuk mengembangkan usahanya.
Menurut Hafsah (2000), bagi perusahaan inti masalah yang sering terjadi terkait dengan inefisiensi penggunaan tenaga kerja atau pemborosan tenaga kerja.
Kelebihan dalam penggunaan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan. Oleh karena itu dengan bermitra, peternak mempunyai pemasok sarana produksi dan terjaminnya pemasaran hasil produksi.
5 kerja. Namun, ada juga alasan peternak masih melakukan usahaternak secara
mandiri karena modal yang digunakan sepenuhnya modal sendiri, sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan sepenuhnya diterima oleh peternak.
Pendapatan yang diperoleh peternak merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh peternak akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemampuan peternak
itu sendiri dalam mengalokasikan faktor-faktor yang dimilikinya. Kemampuan peternak dalam mengelola usahanya merupakan faktor yang sangat menentukan
tercapainya efisiensi ekonomis dan tingkat keuntungan optimal. Kemitraan yang dilakukan diperkirakan dapat meningkatkan efisiensi dalam hal penyediaan input produksi atau modal usaha, namun peternak mandiri dengan modal sendiri akan
cenderung bertindak lebih efisien karena keterbatasan modal yang dimilikinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai bagaimana baik peternak mandiri
dan peternak kemitraan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dalam mencapai tingkat efisiensinya.
1.2. Perumusan Masalah
Modal menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam melakukan usahaternak, namun bagi sebagian peternak rakyat modal menjadi sebuah kendala
untuk mengembangkan usahaternaknya. Kepemilikan modal yang kecil menyebabkan peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan peternakan besar.
Peternakan besar memiliki modal yang besar dan mampu memasok pakan dan DOC dalam jumlah banyak dari industri sapronak dengan harga yang lebih murah, sehingga dengan biaya produksi yang lebih rendah peternakan besar mampu
6 Kemitraan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan peran peternak
rakyat dalam perekonomian dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi peternak rakyat. Menurut Hafsah (2000), tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan kemitraan secara lebih konkrit adalah: (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) peningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha
kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi perdesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi
nasional.
Kemitraan yang terbentuk di Kecamatan Gunung Sindur adalah bentuk kemitraan inti plasma. Kemitraan inti plasma merupakan pola hubungan
kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Menurut Hafsah (2000), melalui model inti plasma akan tercipta
saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan, pemberdayaan peternak rakyat di bidang teknologi, modal, kelembagaan sehingga pasokan bahan baku dapat lebih terjamin dalam jumlah dan kualitas sesuai standar yang
diperlukan, serta beberapa peternak rakyat yang dibimbing oleh inti mampu memenuhi skala ekonomi sehingga dapat dicapai tingkat efisiensi.
Prinsip pola kemitraan inti plasma pada dasarnya peternak plasma menyediakan tenaga kerja dan kandang sedangkan sarana produksi seperti DOC,
pakan, obat-obatan disediakan oleh pihak inti dan semua biaya sarana produksi tersebut diperhitungkan setelah panen dilakukan. Meskipun di Kecamatan Gunung Sindur sebagian besar merupakan peternak kemitraan, namun masih terdapat
7 beberapa peternak keluar dari kemitraan dan kembali sebagai peternak mandiri.
Hal tersebut dikarenakan kemitraan yang dilakukan tidak sesuai perjanjian yang telah disepakati seperti kerugian yang seharusnya ditanggung bersama hanya
ditanggung oleh peternak selain itu harga sarana produksi dan harga jual ayam masih bersifat transparan. Berbeda prinsip dengan peternak plasma, peternak mandiri menjalankan kegiatan usahanya secara mandiri dimana sebagian besar
kebutuhan termasuk permodalan disusahakan sendiri oleh peternak dan segala risiko juga ditanggung sendiri serta keuntungan yang diperoleh diterima
sepenuhnya oleh peternak. Dalam pemasaran hasil, peternak mandiri mempunyai beberapa alternatif untuk menjual hasil produksinya, sedangkan peternak plasma wajib menjual hasil produksinya kepada pihak inti.
Pendapatan peternak ayam ras pedaging baik peternak palsma maupun peternak mandiri sangat ditentukan oleh kombinasi faktor-faktor produksi yang
dimilikinya. Penggunaan kombinasi faktor-faktor produksi yang serasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat efisiensi, sehingga memperoleh hasil yang maksimal. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan sistem produksi antara peternak
kemitraan dan peternak mandiri. Peternak kemitraan dengan ketersediaan modal berupa suatu paket sarana produksi dari pihak inti sehingga mampu memenuhi
skala ekonomi, sedangkan peternak mandiri dengan keterbatasan modal apakah mampu bertindak lebih efisien dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi yang
8 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi usahaternak ayam ras
pedaging pola kemitraan dan pola mandiri di Kecamatan Gunung Sindur? 2. Bagaimana efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahaternak
ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri di Kecamatan Gunung Sindur?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging pada peternak mandiri dan peternak kemitraan di Kecamatan Gungung Sindur.
2. Menganalisis tingkat efisiensi faktor-faktor produksi usahaternak ayam ras pedaging pada peternak mandiri dan peternak kemitraan di Kecamatan
Gunung Sindur.
1.4. Manfaat Penelitian
Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai faktor-fakor apa saja yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging peternak kemitraan dan peternak mandiri di Kecamatan Gunung Sindur dan
tingkat efesiensinya. Adapun manfaat khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi peternak ayam di
Kecamatan Gunung Sindur dan pihak yang berkepentingan dalam pengembangan usahaternak ayam ras pedaging.
2. Memberikan informasi kepada pihak lain sebagai bahan rujukan dalam
9 3. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Dinas Peternakan
setempat dan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan peternakan yang berkaitan dengan pengembangan usahaternak ayam ras pedaging.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan di Desa Padurenan, Desa Pangasinan, dan Desa
Pabuaran, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
2. Periode produksi usahaternak ayam ras pedaging yang diteliti merupakan
periode terakhir usahatenak pada bulan April 2012.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging
Ayam ras pedaging atau yang disebut juga ayam broiler adalah ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas sebagai
penghasil daging. Pertumbuhannya cepat dengan konversi makanan yang irit, dan siap dipotong pada usia yang relatif muda, yaitu hanya 5-6 minggu sudah dapat dipanen, dengan berat badan antara 1.2-1.9 kg/ekor. Ayam ras pedaging yang baik
yaitu ayam yang sehat, berbulu baik, berkualitas baik, perbandingan antara tulang, dan daging seimbang (proporsional) (Mulyantini, 2011).
Mulyantini (2011) menyatakan bahwa, jenis ayam broiler merupakan jenis ayam ras unggulan hasil persilangan dari bangsa ayam yang memiliki daya
produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Jenis strain ayam ras pedaging dengan produktivitas yang baik beredar di pasaran, diantaranya adalah: CP 707, Hyline, Hubbard, Missouri, Hybro, Shaver Starbo, Super 77, Arbor
Acress, Tegel 70, Cornish, ISA brown, Hypeco, Sussex, Cobb, Bromo, Kim Cross, Wonokoyo, Ross Marshall, Lohman, dan Euribird. Ayam ras pedaging
baru dikenal di Indonesia sejak tahun 1980-an, dan telah dikembangkan dengan pesat dibeberapa negara. Adapun manfaat memelihara ayam ras pedaging adalah: (1) menyediakan kebutuhan protein hewani, (2) menyediakan tenaga kerja, (3)
investasi, (4) mencakupi kebutuhan keluarga, dan (5) sebagai hasil tambahan dari usahaternak ayam ras pedaging berupa tinja yang dapat dimanfaatkan untuk
11
2.2. Pengelolaan Faktor-Faktor Produksi Peternakan Ayam Ras Pedaging
Pengelolaan faktor-faktor produksi peternakan antara lain pengelolaan tenaga kerja, bibit ayam (DOC), kandang, dan penanggulangan penyakit.
Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, sehingga harus diperhatikan oleh para peternak (Rahardi dan Hartono, 2003). Menurut penelitian Yunus (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging antara lain DOC, pakan,
OVAC, tenaga kerja, listrik, bahan bakar dan luas kandang. Adapun menurut penelitian Kusuma (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras
pedaging antara lain tenaga kerja, DOC, kandang, pakan, obat-obatan, dan vaksin.
2.2.1. DOC (Day Old Chick)
Bibit memegang peranan penting untuk menghasilkan produk, baik jumlah
maupun mutu produk. Ketersediaan bibit harus senantiasa ada untuk menjamin kelangsungan produksi. Tidak hanya itu, kontinuitas pasokan bibit juga harus
dijaga dan dikontrol. Guna menjaga kelangsungan produksi ternak, sebaiknya usaha peternakan memiliki pemasok bibit ternak tetap. Seperti usaha peternakan ayam ras pedaging, diperlukan pasokan DOC secara kontinu untuk setiap periode
produksi (Rahardi dan Hartono, 2003).
Menurut Rahardi dan Hartono (2003), selain kontinuitas kualitas bibit juga
harus menjadi perhatian bagi para peternak. Kontribusi bibit dalam penampilan produksi ternak yang bermutu baik sebesar 30 persen. Bibit yang berkualitas baik
dapat diketahui dari catatan produknya dan secara langsung dapat dilihat dari penampilan fisiknya. Bibit DOC yang baik dapat dipilih berdasarkan penampilannya secara umum dari luar (general appearance) adalah sebagai
12 umur dan dari pembibit yang berpengalaman, (3) DOC terlihat aktif, (4) DOC
memiliki kekebalan tubuh yang tinggi, (5) kaki besar dan basah seperti berminyak, (6) bulu cerah, tidak kusam, dan penuh, (7) anus bersih, tidak ada
kotoran atau pasta putih, (8) keadaan tubuh ayam normal, dan (9) berat badan sesuai standar strain, biasanya diatas 37 gram.
2.2.2. Pakan
Pakan adalah campuran beberapa bahan pakan yang mengandung nutrient yang lengkap dan disusun dengan cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi unggas yang mengkonsumsinya (Mulyantini, 2010). Menurut Rahardi dan Hartono (2003), pakan merupakan sapronak penting dalam produksi ternak. Diperkirakan biaya pakan dapat mencapai 60-70 persen dari total biaya produksi.
Pengelolaan pakan meliputi jenis pakan, kualitas pakan, waktu pemberian, dan konsentrasi pakan yang diberikan ternak. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian pakan adalah tercukupinya kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Kebutuhan zat tersebut bagi ternak sangat dibutuhkan untuk perkembangan, pertumbuhan, dan kebutuhan aktivitas. Pemberian pakan
dilakukan secara teratur dengan jumlah yang sesuai kebutuhan ternak. Kelebihan atau kekurangan akan berdampak kurang baik pada ternak dan berdampak pada
efisiensi dalam produksi (Rahardi dan Hartono, 2003).
Pemberian pakan ayam ras pedaging terdapat dua fase yaitu, fase starter
(umur 0-4 minggu) dan fase finisher (umur 4-6 minggu). Namun, beberapa perusahaan juga menggolongkan pakan ras pedaging dalam tiga fase, yaitu pakan starter ayam dari umur 1-18 hari, pakan grower 19-30 hari dan pakan finisher
13 tidak menggunakan tiga jenis pakan (pakan starter, grower dan pakan finisher),
namun hanya menggunakan satu jenis pakan starter dari umur satu hari hingga 35 hari. Rata-rata pakan yang habis digunakan untuk setiap 1 000 ekor ayam non
probiotik adalah 1 413 kg.
2.2.3. Tenaga Kerja
Menurut Rahardi dan Hartono (2003), tenaga kerja dalam usaha
peternakan dapat berasal dari tenaga kerja sendiri dan tenaga kerja dari luar. Tenaga kerja sendiri, terdiri dari tenaga kerja diri sendiri (peternak) dan keluarga,
seperti istri dan anak atau anggota keluarga lainnya. Tenaga kerja dari luar merupakan tenaga kerja yang secara sengaja diambil dari luar dengan memberikan kompensasi upah atau gaji. Tenaga kerja luar diukur dengan tingkat upah yang
berlaku dalam satu hari dengan jam kerja 8 jam sehari dengan konversi: (1) tenaga kerja pria=1 HKP, (2) tenaga kerja wanita=0.8 HKP dan (3) tenaga kerja
anak-anak=0.5 HKP. Umumnya, usaha skala kecil (peternakan rakyat) tidak menggunakan tenaga kerja luar (tenaga kerja upah). Sebaliknya, untuk usaha industri yang memiliki orientasi usaha komersial keseluruhan tenaga kerja yang
digunakan berasal dari luar.
Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam suatu usaha peternakan
sebaiknya disesuaikan dengan skala usaha, karena akan berdampak pada biaya produksi yang akan dikeluarkan. Pengorganisasian tenaga kerja penting
diperhatikan terutama pada skala usaha menengah dan besar untuk menciptakan efisiensi kerja. Menurut hasil penelitian Dewiyanti (2007), rata-rata HKP dari seluruh kegiatan tenaga kerja pada usahaternak ayam ras pedaging adalah 127.236
14 kegiatan yang dilakukan secara penuh dalam 35 hari. Rata-rata HKP yang
dibutuhkan (jam) untuk persiapan kandang yaitu 4 jam 22 menit, rata-rata HKP yang dibutuhkan untuk kegiatan pengelolaan ternak yaitu 7 jam 33 menit dan
rata-rata HKP yang dibutuhkan untuk kegiatan panen dan pembersihan kandang setelah panen yaitu 44 jam. Menurut Rahardi dan Hartono (2003), peternakan ayam ras pedaging diperlukan tenaga kerja sekitar 1-2 orang untuk 1000-1500
ekor ayam.
2.2.4. OVAC (Obat-Obatan, Vitamin dan Vaksin)
Mulyantini (2010), menyatakan bahwamanajemen pengendalian penyakit merupakan salah satu manajemen yang sangat penting dalam pemeliharaan ternak untuk mendapatkan produksi yang optimal dan secara ekonomi dapat
menguntungkan. Kegagalan dalam mengendalikan penyakit, akan menyebabkan kerugian karena peternak harus mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan wabah
penyakit dalam kandang sehingga menyebabkan produksi ternak menurun bahkan kematian. Manajemen kesehatan unggas yang efektif, harus bertujuan untuk:
1. Mencegah terjadinya penyakit dan parasit
2. Mengenal gejala timbulnya penyakit
3. Mengobati penyakit sesegera mungkin sebelum penyakit berkembang
serius atau menyebar ke kelompok lainnya.
Obat-obatan digunakan untuk pengobatan ayam ras pedaging yang
terserang penyakit dan vaksin diberikan untuk pencegahan penyakit serta antibiotika. Vaksinasi yang penting dilakukan adalan vaksinasi ND/tetelo, karena penyakit tersebut tidak dapat diobati melainkan hanya dapat dicegah. Selain
15 tanda-tanda kekurangan vitamin pada ayam ras pedaging akibat
hilangnya/berkurangnya beberapa vitamin dalam pakan, seperti vitamin A, B12,
dan vitamin E karena terjadi reaksi dengan antibiotik sebagai akibat dari
penyimpanan pakan yang terlalu lama. Akibatnya ayam tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal (Kartadisastra, 1994).
Fadilah (2004) menyatakan bahwa, biaya yang dikeluarkan untuk membeli
obat-obatan (termasuk desinfektan, vitamin, dan anti-biotik) serta vaksin bergantung pada program yang diterapkan dalam usaha peternakan ayam ras
pedaging tersebut. Biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor ayam sangat bergantung pada kesehatan ayam, program khusus, atau progam pemeliharaan.
2.2.5. Pemanas
Ayam memerlukan alat pemanas tambahan (brooder) untuk memberi kehangatan agar dapat menunjang keberhasilan pemeliharaan. Anak ayam yang
baru menetas tidak dapat mengatur suhu tubuhnya secara sempurna. Ayam tidak dapat mempertahankan suhu tubuh yang konstan sampai umur antara 1-2 minggu. Ketika umur 2 minggu sampai dipasarkan, ayam tidak membutuhkan lagi alat
pemanas buatan namun tetap digunakan pada keadaan dingin khususnya saat musim penghujan serta suhu lingkungan diusahakan tetap 21oC. Alat pemanas
bisa dari lampu pijar, petromaks atau lampu kap (Mulyantini, 2010)
2.2.6. Kandang
Kandang adalah bangunan yang dapat digunakan untuk melindungi ternak mulai dari awal, masa produksi hingga dipasarkan (Mulyantini, 2011). Menurut Rahardi dan Hartono (2003), dalam usaha peternakan komersial, kandang menjadi
16 dasarnya berfungsi untuk mempermudah tata laksana pemeliharaan dan
pengontrolan ternak. Konstruksi kandang harus mendukung kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan ternak, seperti kebutuhan cahaya, suhu, dan
sirkulasi udara tercukupi.
Bentuk kandang yang ideal untuk ayam ras pedaging adalah kandang postal. Menurut Mulyantini (2011), kandang postal adalah kandang yang berlantai
rapat dan biasanya menggunakan alas litter, kandang dapat bertingkat atau tidak dan pada suhu tinggi dindingnya sebagian besar terbuka. Guna mengatasi udara
yang panas khususnya di daerah tropis seperti Indonesia, kandang panggung lebih baik untuk digunakan, namun biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kandang panggung lebih mahal. Kandang panggung dibangun dengan ketinggian ± 1.75
cm, udara datang dari sela-sela lantai dan samping kandang, sehingga udara dalam kandang lebih nyaman.
Kepadatan kandang juga perlu diperhatikan pada saat pengelolaan kandang, karena hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan ternak. Semakin berat bobot badan ayam atau semakin panas, kepadatan harus dikurangi. Selain
menyebabkan kekurangan oksigen, dalam kandang, kepadatan yang tinggi juga mengakibatkan konsumsi pakan berkurang dan pertumbuhan terhambat. Menurut
Rasyaf (1995) dalam Yunus (2009), dataran rendah atau dataran pantai, kepadatan yang baik adalah 8-9 ekor/m2 atau 0.12 m2/ekor dan untuk daerah pegunungan,
17
2.3. Konsep Kemitraan
Menururt Hafsah (2000), kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih
keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Semakin kuat pemahaman serta
penerapan etika bisnis bagi pelaku kemitraan, maka semakin kuat pula fondasi kemitraan yang dibangun dan pada akhirnya akan memudahkan pelaksanaan
kemitraan itu sendiri. Adapun enam dasar etika berbisnis tersebut adalah: (1) karakter, integritas dan kejujuran, (2) kepercayaan, (3) komunikasi yang terbuka, (4) adil, (5) keinginan pribadi dari pihak yang bermitra, dan (6) keseimbangan
antara insentif dan risiko.
Maksud dan tujuan dari kemitraan adalah „win-win solution partnership‟.
Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar. Tujuan yang ingin dicapai
dalam pelaksanaan kemitraan adalah: (1) meningkatkan pendapatan usahatani kecil, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3)
meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dalam usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi perdesaan, wilayah dan nasional, dan (5)
meningkatkan ketahanan ekonomi nasional (Hafsah, 2000). Hafsah (2000), juga menyatakan manfaat dari kemitraan adalah sebagai berikut: (1) kemitraan dapat meningkatkan produktivitas baik pada perusahaan mitra maupun anggota mitra,
18 Kontinuitas, (4) meningkatkan peran peternak kecil dan menengah, sehingga
mengurangi kesenjangan diantara pelaku ekonomi, dan (5) terciptanya kesetaraan dalam posisi tawar antar pelaku ekonomi.
Usaha peternakan rakyat khususnya untuk budidaya ayam ras pedaging, kebijakan yang ditempuh adalah mengutamakan usaha budidaya bagi peternak rakyat, perorangan, kelompok maupun koperasi sesuai dengan Keppres No. 22
Tahun 1990 (Hafsah, 2000). Menurut Soehadji (1995) dalam Hafsah (2000), menyatakan bahwa dalam kawasan industri, peternakan rakyat telah
dikembangkan beberapa model usaha kerjasama di bidang ayam ras pedaging, model-model tersebut antara lain:
1. Kawasan industri peternakan-peternakan rakyat agribisnis
Model ini mengacu pada usaha peternakan rakyat yang telah ada. Dalam model ini, peternak sebagai plasma menjalin kemitraan dengan perusahaan yang
bertindak sebagai penghela yang menjamin plasma untuk suplai sarana produksi dan pemasaran hasil. Kemitraan dalam model ini belum begitu sempurna karena belum ada keterkaitan antara hulu dan hilir.
2. Kawasan industri peternakan-perusahaan inti rakyat
Model kemitraan ini lebih maju dari model yang sebelumnya, karena telah
ada keterkaitan antara hulu dan hilir. Peternak sebagai plasma melaksanakan budidaya dalam suatu kawasan tertentu sedangkan perusahaan inti membantu
19 3. Kawasan industri peternakan-sentra usaha peternakan ekspor
Berbeda dengan model sebelumnya, kemitraan dalam model ini mengkhususkan menjual produknya ke luar negeri. Dalam model ini, perusahaan
inti dapat melakukan budidaya untuk keperluan ekspor, namun sebagian besar produksinya dikerjasamakan dengan plasma. Peternak dalam kemitraan ini juga merupakan peternak binaan terutama dalam hal teknologi khususnya untuk
ekspor.
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini, dilakukan oleh Yunus (2009), Kusuma (2005), Purmiyanti (2002). Yunus (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Efisiensi Produksi Usaha Peternakan
Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menganalisis perbedaan
pendapatan rata-rata, menganalisis alokasi faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi sekaligus tingkat efisiensi teknis, efisiensi harga/alokatif dan efisiensi ekonomi usaha peternakan ayam ras pedaging pola kemitraan dan
mandiri.
Model analisis yang digunakan adalah fungsi produksi Stochastic Frontier
Cobb Douglas dengan opsi Technical Efficiency Effect Model. Hasil analisis menyatakan bahwa, variabel bibit ayam (DOC) dan pakan berpengaruh nyata pada taraf α satu persen dan berhubungan positif dengan produksi, dengan nilai
koefisien yang cukup besar, artinya bahwa pertambahan bibit ayam (DOC) atau pakan akan meningkatkan produksi, sedangkan vaksin, obat dan vitamin juga
20 artinya bahwa perlu adanya pembatasan penggunaan vaksin, obat dan vitamin
terhadap produksi agar produksi bisa optimal. Selain itu, yang juga berpengaruh nyata pada taraf α lima persen dan berhubungan positif dengan produksi adalah
tenaga kerja dan bahan bakar.
Analisis efisiensi yang dicapai peternak ayam ras pedaging secara keseluruhan adalah sebesar 0.87. Pencapaian efisiensi harga/alokatif dan efisiensi
ekonomi pola kemitraan sebesar 1.82 dan 1.59, sedangkan efisiensi alokatif, harga dan efisiensi ekonomis peternak mandiri adalah sebesar 1.84 dan 1.59. Secara
keseluruhan kedua usahaternak tersebut belum mencapai tingkat efisiensi.
Kusuma (2005), dalam penelitiannya menganalisis tentang pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi peternak probiotik dan non probiotik
pada usahaternak ayam ras pedaging. Model analisis yang digunakan adalah model fungsi produksi Cobb Douglas dengan analisis model komponen utama.
Hasil penelitian tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging peternak probiotik adalah bibit, pakan, pemanas dan obat-obatan, sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ayam ras
pedaging. Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi ayam ras pedaging peternak non probiotik adalah bibit, pakan, tenaga kerja, dan
obat-obatan, sedangkan pemanas tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi ayam ras pedaging.
Analisis efisiensi teknis yang dicapai peternak probiotik dan non probiotik pada input produksi bibit, pakan, tenaga kerja, obat-obatan dan pemanas diperoleh nilai elastisitas produksi antara 0 sampai 1, yaitu masing-masing penggunaan
21 elastisitas produksi peternak probiotik diperoleh nilai 1.04, nilai penjumlahan
elastisitas produksi peternak non probiotik adalah 1.01. Hal tersebut menunjukan bahwa skala usaha pada peternak probiotik dan non probiotik berada pada daerah
increasing return to scale. Setiap kenaikan satu persen dari masing-masing faktor produksi, secara bersama-sama akan meningkatkan produksi ayam ras pedaging peternak probiotik sebesar 1.04 dan peternak non probiotik sebesar 1.01. Nilai
FCR peternak probiotik sebesar 1.62, adapun peternak non probiotik sebesar 1.68. Nilai FCR probiotik lebih kecil jika dibandingkan dengan peternak non probiotik,
sehingga peternak probiotik lebih mampu mengefisiensikan penggunaan jumlah pakan dan menekan biaya produksi. Hasil analisis efisiensi ekonomi kedua peternak diperoleh nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu, sehingga
penggunaan faktor-faktor produksi perlu untuk ditambahkan atau dikurangi dalam mencapai tingkat efisiensi ekonomi.
Purmiyanti (2002), dalam penelitiannya menganalisis tentang produksi dan daya saing bawang merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Salah satu tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi bawang merah dan tingkat efisiensi penggunaan input produksi bawang merah. Model fungsi yang digunakan adalah model fungsi produksi Cobb
Douglas. Hasil analsis menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah adalah luas lahan, bibit bawang merah, pupuk P (TSP dan
DAP), pupuk K (KCL dan kamas), peubah dummy status garapan, dan peubah dummy varietas. Hasil analisis efisiensi ekonomi menunjukan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Barat belum mencapai tingkat efisiensi
22 Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
sebelumnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purmiyanti (2002) dan Kusuma (2005) adalah model fungsi produksi yang digunakan adalah model
fungsi produksi Cobb Douglas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Yunus (2009) adalah model fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Stochastic Frontier Cobb Douglas dengan opsi Technical Efficiency Effect Model,
sedangkan penelitian ini menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas. Penjelasan lebih rinci mengenai persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan mandiri di Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor” dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian
sebelumnya Persamaan Perbedaan
Yunus (2009) Komoditas yang diteliti Menggunakan model fungsi Stochastic Frontier Cobb Douglas dengan opsi Technical Efficiency Effect Model
Kusuma (2005) Komoditas yang diteliti, menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas
Menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas dengan analisis komponen utama
Purmiyanti (2002) Menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas
23
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu yang akan digunakan dalam penelitian ini. Teori dan konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini antara lain: Analisis Usahaternak, Analisis Fungsi Produksi, Analisis Fungsi Produksi Cobb Douglas, Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi.
3.1.1. Analisis Usahaternak
Keberhasilan usahaternak yang dikelola sangat ditentukan oleh
ketersediaan sumberdaya. Seperti usaha lain, usaha peternakan hanya dapat berkembang jika didukung oleh ketersediaan sumberdaya yang cukup.
Sumberdaya peternakan terdiri dari peternak, modal, lahan dan lingkungan, serta teknologi. Usaha peternakan umumnya dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan skala usaha, yaitu usahaternak skala kecil dan menengah (usaha peternakan
rakyat) atau usaha besar dalam bentuk peternakan. Usaha peternakan skala kecil dan menengah dapat dikelola secara sendiri tanpa badan hukum. Namun, untuk
usaha skala besar biasanya berbadan hukum karena melibatkan banyak pihak yang terdiri dari modal dan pekerja. Beberapa bentuk badan hukum yang dapat dipilih antara lain yayasan, koperasi, CV, atau perseroan terbatas (Hartono dan Rahardi,
2003).
Hartono dan Hardi (2003) juga menyatakan bahwa, kondisi peternakan
24 Selain itu, produktivitas ternak masih rendah, teknologi belum dapat dilaksanakan
secara terpadu, dan adanya persaingan global terhadap produk-produk impor sejenis dari negara lain. Meskipun terdapat beberapa kendala, sektor peternakan
juga memiliki keuntungan jika dibandingkan dengan usaha pertanian, yaitu usahaternak relatif tidak membutuhkan lahan terlalu luas
3.1.2. Teori Fungsi Produksi
Menurut Mubyarto (1994) fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor
produksi (input). Bentuk matematik sederhana fungsi produksi ini, dituliskan sebagai berikut:
Y = f(X1, X2 ,… … … … …Xn) ..………..……….(3.1)
dimana:
Y = Hasil produk fisik (output) Xi = Faktor-faktor produksi ke-i
i = 1,2,3,…..n
Soekartawi (1994), juga menyatakan bahwa fungsi produksi juga
didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat dicapai dari seperangkat vektor input. Input tersebut meliputi input tetap dan input variabel. Dalam keadaan teknologi tertentu hubungan antara input dan outputnya tercermin dalam
rumusan fungsi produksinya. Fungsi produksi yang popular digunakan untuk menggambarkan hubungan produksi adalah fungsi produksi neoklasik. Fungsi
25
I
Gambar 1. Fungsi Produksi Neoklasik (Soekartawi, 1994)
Keterangan:
Titik A = Titik balik (inflection point)
Titik B = Perpotongan antara MPP dan APP dimana APP mencapai maksimum Titik C = Tingkat produksi total maksimum dimana MPP sama dengan nol DP = Daerah produksi
Berdasarkan Gambar 1, daerah I merupakan daerah irasional, karena
dalam daerah ini, peningkatan input akan meningkatkan produksi dengan peningkatan lebih besar dari pada penambahan inputnya. Seorang pengusaha tidak rasional apabila berhenti pada daerah ini, karena pendapatan masih dapat
ditingkatkan dengan menambah input yang digunakan. Daerah II merupakan
Y
C
TPP B
III II
A
0
X3
X2
X1
APP/MPP Input (X)
APP
0 X Input (X)
3
X1 X2 MPP
DP III DP II
26 daerah rasional, karena dalam daerah ini peningkatan input akan meningkatkan
produksi tetapi dengan peningkatan yang semakin berkurang. Pengusaha yang rasional akan memanfaatkan daerah ini dan masih memanfaatkan daerah ini untuk
berbisnis. Daerah III adalah daerah tidak rasional, karena peningkatan input akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga penggunaan faktor-faktor produksi tersebut tidak efisien. Daerah III merupakan daerah yang
tidak menguntungkan untuk berusaha.
Menurut Suratiyah (2009), elastisitas produksi adalah perbandingan
perubahan produksi dan perubahan input secara relatif. Dalam fungsi produksi, elastisitas biasanya dibagi dalam tiga daerah, yaitu daerah I di sebelah kiri titik
APP maximum. Pada daerah II yang berada di antara APP maximum dan MPP=0,
elastisitas produksi bernilai antara 0 sampai 1 (0≤εp≤1). Daerah III berada
disebelah kanan MPP=0 (MPP<0) dan memiliki elastisitas produksi kurang dari
satu (��<1). Elastisitas produksi dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:
εp=
dy/y dx/x=
dy dx .
x y=
MPP
APP……….….………(3.2)
3.1.3. Fungsi Produksi Cobb Douglas
Fungsi produksi Cobb Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas/independent variable dan
variabel tidak bebas/dependent variable) (Soekartawi, 1994). Model fungsi produksi Cobb Douglas adalah model yang umum digunakan dalam penelitian
ekonomi, sehingga dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi Cobb Douglas. Terdapat lima alasan pokok mengapa fungsi produksi Cobb Douglas banyak
27 1. Penyelesaian fungsi Cobb Douglas relatif mudah dibandingkan dengan
fungsi yang lain, misalnya lebih mudah ditransformasikan ke dalam bentuk linier dalam log.
2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi produksi Cobb Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukan besaran elastisitas. Elastisitas ini sangat penting terutama dalam usaha mengadakan
perbaikan dari proses produksi atau efisiensi dan juga untuk meramalkan misalnya dampak-dampak dari perubahan-perubahan dari faktor input.
3. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukan tingkat besaran returns to scale.
4. MPP dari masing-masing faktor input, yaitu perubahan pada output
sebagai akibat perubahan-perubahan pada input, yang memungkinkan lebih mudah untuk menghitung produkstivitas masing-masing faktor
produksi.
5. Bagian dari input dapat dihitung dengan jelas, hal ini sangat penting karena setiap proses produksi mempunyai dampak yang berbeda-beda
terhadap bagian-bagian tertentu. Selain itu, dengan pengetahuan mengenai bagian-bagian dari input, juga dapat diketahui sejauh mana suatu proses
perubahan terhadap masing-masing input.
Menurut Soekartawi (1994), produksi hasil komoditas pertanian (on-farm)
sering disebut korbanan produksi karena faktor produksi tersebut dikorbankan untuk menghasilkan komoditas pertanian. Oleh karena itu, untuk menghasilkan suatu produk diperlukan hubungan antara faktor produksi (input) dan komoditas
28 (FR). Secara matematik, dapat dituliskan dengan menggunakan analisis fungsi
produksi Cobb Douglas:
Y=β0X1β1……….X i
βi
eu…...……...……….………(3.3)
Pendugaan parameter dilakukan dengan mentransformasikan fungsi
produksi Cobb Douglas ke dalam bentuk double logaritme natural (ln), sehingga merupakan bentuk liniear berganda (multiple linear) yang kemudian dianalisis dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square).
Ln Y=Lnβ0+β1LnX1+β2LnX2…….+βiLnXi+u………..….(3.4)
Keterangan:
Y = Produksi komoditas pertanian β0 = Intercept/konstanta
βi = Koefisien regresi masing-masing variabel dependen
Xi = Faktor-faktor produksi pertanian
i = 1,2,3,…n
e = Bilangan natural (2.718)
u = Error
.
Menurut Soekartawi (2003), dalam penaksiran model linear berganda digunakan model Ordinary Least Square (OLS). OLS merupakan salah satu cara
terbaik untuk mendapatkan garis penduga yang baik. Suatu persamaaan dikatakan baik, jika persyaratan dan asumsi yang membentuk persamaan tersebut dapat dipenuhi. Adapun asumsi-asumsi OLS yang harus dipenuhi:
1. Rata-rata kesalahan pengganggu (e) sama dengan nol 2. Kesalahan pengganggu berbentuk distribusi normal
3. Kesalahan pengganggu tidak berkorelasi dengan variabel independen 4. Tidak ada autokorelasi antar gangguan (e)
29 6. Varian kesalahan pengganggu tetap atau homoskedastisitas (tidak terjadi
heteroskedastisitas.
3.1.4. Konsep Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi
Setiap melakukan usaha pertanian, seorang pengusaha atau seorang petani akan selalu berpikir bagaimana mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal (Daniel, 2002). Efisiensi adalah rasio
yang mengukur produksi suatu sistem atau proses untuk setiap unit input (Rahim dan Hastuti, 2008). Menurut Daniel (2002), peningkatan keuntungan dapat dicapai
oleh petani dengan melakukan usahataninya secara efisien. Konsep efisiensi ini dikenal dengan konsep efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price efficiency) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency).
Efisiensi teknis akan tercapai bila petani mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga hasil yang tinggi dapat dicapai. Bila petani
mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha taninya karena pengaruh harga, maka petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga. Selanjutnya, jika petani mampu meningkatkan hasilnya dengan
menekan harga faktor produksi dan menjual hasil pada harga yang relatif tinggi, maka petani tersebut telah melakukan efisiensi teknis dan efisiensi harga secara
bersamaan (Daniel, 2002).
Menurut Doll dan Orazem (1984), efisiensi ekonomi akan tercapai bila
dipenuhi dua syarat, yaitu: (1) syarat keperluan yang menunjukan hubungan fisik antara input dengan output bahwa proses produksi harus berada pada daerah rasional II, dimana nilai elastisitas berada pada kisaran 0 sampai 1 (0 ≤ εp ≤ 1) dan
30 diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungannya. Menurut Rahim dan Hastuti
(2008), keuntungan maksimum akan tercapai bila Nilai Produk Marjinal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input (Px) atau Biaya Korbanan Marjinal
(BKM) atau dapat ditulis dengan rumus:
π= PY.f X - PX .X-TFC ………..………...………..(3.5)
Keuntungan maksimum akan dicapai ketika turunan pertama fungsi keuntungan sama dengan nol, sehingga:
produksi, maka efisiensi ekonomi dapat dicapai jika: NPMx1 Rahim dan Hastuti (2008), juga menyatakan untuk mengetahui tingkat
efisiensi ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi komoditas pertanian digunakan persamaan sebagai berikut:
PRxi= Y/Xi …..…………...……….………..…(3.12)
MPPxi= βi . PRxi……...(3.13)
NPMxi= MPPxi . Py…..………...……...…..…………....(3.14)