• Tidak ada hasil yang ditemukan

Linkage Analysis Between Distribution Of Farmland Tenure And Rural Farmers’ Income (Case Study Of North Aceh District, Aceh Province).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Linkage Analysis Between Distribution Of Farmland Tenure And Rural Farmers’ Income (Case Study Of North Aceh District, Aceh Province)."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETERKAITAN DISTRIBUSI PENGUASAAN

LAHAN USAHATANI DENGANDISTRIBUSI PENDAPATAN

PETANI PERDESAAN

(

Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh )

HERMANSYAH DAULAY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan (Studi Kasus Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, 24 Juli 2013

(3)

Usahatani Dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan( Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh ) dibawah bimbingan SETIA HADI dan ENDAH MURNININGTYAS

Tekanan terhadap sumber daya lahan, hadir sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pertambahan penduduk dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh negara dalam bentuk penetrasi hukum, ekonomi, politik dan budaya telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan. Di sektor pertanian, ketimpangan ini berpengaruh terhadap produktivitas usahatani dan pola hubungan antara tuan tanah dengan buruh tani. Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani gurem di pedesaan terus menurun. Merebaknya konflik-konflik pertanahan, semakin menambah pelik permasalahan petani.

Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting. Tanah merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumah tangga petani. Oleh karena itu, ketiadaan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan, seperti yang umumnya terjadi pada kemiskinan di pedesaan Jawa.

Bila kita lihat angka kemiskinan pedesaan lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara berada di daerah pedesaan yang merupakan bagian terbesar (80%) dari wilayah Kabupaten Aceh Utara. Meskipun hingga tahun 2010 angka kemiskinan di perdesaan Kabupaten Aceh Utara masih berkisar pada angka 20%, namun terlihat adanya kecenderungan menurun antara 1 hingga 1,5% setiap tahun.Kabupaten Aceh Utara diketahui bahwa luas lahan sawah terus bertambah dari tahun ke tahun, sebaliknya persentase angka kemiskinan sangat tinggi di perdesaan.

Tujuan penelitian 1) Mengeksplorasi dan mendiskripsikan kelembagaan lahan usahatani.2)Menganalisis pengaruh luas penguasaan lahan terhadap pendapatan usahatani.3) Menganalisi keterkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan petani dan kemiskinan.

Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh pada tiga kecamatan dengan waktu penelitian pada Juni – Agustus 2012.Jumlah sampel sebanyak 122 orang kepala keluarga petani dengan pengambilan sampel yang dilakukan dengan sampel acak sederhana.Alat Analisis tabulasi,PCA dan Regresi berganda, korelasi, serta Gini Ratio pendapatan dan Gini ratio penguasaan lahan. Kerjasama kelembagaan lahan sewa adalah yang paling dominan yaitu 55%, untuk meningkatkan penguasaan lahan petani gurem melakukan kerjasama lahan sewa. Pendapatan dari sumber usahatani menyubangkan share yang cukup besar dari pendapatan total yaitu sebesar 78,5 % ini menunjukan bahwa kegiatan usahatani masih merupakan penyumbang penghasilan yang paling besar dibandingkan dengan tambahan pendapatan diluar usahatani.

(4)

positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 8,453 %. Variabel interaksi LPL x dummy berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 6,615%. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas -0,227%. Variabel lama sekolah berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,912%. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,655%.

Hubungan Gini ratio pendapatan dengan luas penguasaan lahan berbentuk kurva U.Berdasarkan hasil korelasi ada hubungan antar luas pengusaan lahan dengan besaran pendapatan usahatani yang diterima oleh petani. adanya pendapatan diluar pertanian mampu meningkatkan pendapatan total.Semakin luas proporsi lahan yang dikuasai maka maka sedikit presentase jumlah responden miskin.

Strategi kebijakan antara lain adalah: Akses penguasaan lahan bagi petani lahan sempit perlu di usahakan dengan serius yaitu dengan pembukaan lahan baru.Mekanisme Sewa meyewa-lahan perlu diperlancar agar menigkatkan ekonomi masyarakat.Di perdesaan Aceh Utara perlu adanya kegiatan ekonomi diluar usahatani agar dapat menambah kesejahteraan masyarakat.

Kelembagaan lahan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara meliputi sewa, gadai/gala. Bagihasil/mawah. Kerjasama lahan sebagai cerminan kerjasama antar petani dalam tata cara menggunakan lahan dalam usahatani dapat dipengaruhi oleh posisi tawar petani dalam kelembagaan lahan. Sewa sebagai bentuk kelembagaan yang memilki posisi tawar berimbang. Bagihasil/mawah sebagai upaya pemilik lahan meningkatkan nilai guna lahan karena banyak penawaran tenaga kerja (buruh tani). Gadai/gala banyak dijumpai sebagai wujud posisi tawar pemilik lahan yang lemah karena terdesak kebutuhan mendapatkan uang tunai pada suatu saat.

Secara bersama-sama variabel luas penguasaan lahan, umur, jumlah anggota keluarga, lama sekolah, status milik, milik+sewa, dan status sewa berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani.

Hubungan distribusi pendapatan dengan distribusi luas lahan berbentuk kurva U dimana angka Gini ratio yang tinggi pada luas lahan kecil kemudian bergerak ke angka Gini ratio yang lebih kecil pada luas lahan yang lebih luas kemudian angka Gini ratio yang meningkat pada luas lahan yang sangat luas.

(5)

Farmland Tenure And Rural Farmers’ Income (Case Study Of North Aceh District, Aceh Province). Under Direction Of SETIA HADIand ENDAH MURNININGTYAS

Pressure to land as a form of resources comes up along with population growth. Populatin growth and social construction formed by nation in the form of penetration of law, economic, politic and culture had raised disparity of land tenure. In agriculture sector, this disparity effected the farm productivity and pattern of relation between land owner and labor. Thus, the level of welfare of relatively landless (gurem) farmer getting worse. The emerge if land conflicts made the farmers’ problems more complicated.

Land is the important input of production for farmers. land is the source of income for live sustainability. The square of ownership and tenure of land is one of the main factors determining level of a family’s income as well as farmer household. Limited or even the lack of land ownership and tenure become the beginning of rural poverty that generally happened in Java.

The poverty rate in rural is higher than urbanarea. This also shown in North Aceh District which is composed of 80% rural area. In 2010, poverty rate in North Aceh District around 20%, but it tends to decrease from 1 to 1.5% annually. The square of wetland increase every year but the poverty rate in rural area is still high.

This research was aimed to: 1) explore and describe farmland institution, 2) analye the influence of land tenure to farm income, 3) analye the linkage between land tenure and distribution of farmers income and poverty.

This research took place in North Aceh District, Aceh Province from June to August 2012. Sampling method used was simple random sampling for 122 heads of farmer families. The analysis tools are tabulatin, multiple regression and PCA, correlation as well as Gini Ratio of income and land tenure.

Rental of land is more dominant compared to other forms of institutional cooperation related to land. It reached 55% done by landless (gurem) farmers. Farming contributes 78.5% of total income, still dominant compare to other source of income.

Each 1% of increasing of square of land tenure will lead to 8.453% farming income increasing. Each 1% change of LPL x dummy will increase 6.615% farming income. Farming income will increase up to 0.915% if length of school period rise 1%. Variable age negatively affect farm income with elasticity -0.227%.Every 1% addition of family members will cause farming income increase about 0.655.

The relation between Gini Ratio and the square of land tenure formed U shape according to correlation of square of land tenure and farmers’ income. Source of income other than farming can increase the total income. Bigger land that owned by farmers, the poverty become reduced.

(6)

simplified in order to rise income, 3) in North Aceh rural area, there should be activities other than farming to increase community welfare.

Land institution in North Aceh District covers rental, mortgage/gala, and crop sharing/mawah. This kind of cooperation depend on farmers bergaining position in land institution. Rental refers to equal bargaining position. Mortgage found mostly as a form of weak land owners’ bargaining position because of pressure to gain cash in current time. Crops sharing can be seen as efforts of land owner to increase land utilization due to the abundance of labor.

Simultantly, variables of square of land tenure, age, amunt of family members, school period length, own, own+rendstatus, and rend statussignificantly effect the farming income.

Relation of income and square of land distribution forms U shape, where high Gini Ratio at narrow land, Gini Ratio lower in wider land, and Gini Ratio rise at larger land.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

ANALISIS KETERKAITAN DISTRIBUSI PENGUASAAN

LAHAN USAHATANI DENGANDISTRIBUSI PENDAPATAN

PETANI PERDESAAN

(

Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh )

HERMANSYAH DAULAY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

1 PENDAHULUAN 1

LatarBelakang 1

PerumusanMasalah 4

TujuanPenelitian 4

ManfaatPenelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Usaha Tani 5 Distribusi Penguasaan Lahan dan Pendapatan 7

Kerjasama dalam Kelembagaan Lahan 7

Pengertian dan Penyebab Kemiskinan 8

Ukuran-ukuran Kemiskinan 11

Karakteristik Wilayah Perdesaan 12

Penelitian Terdahuluan yang Relevan 15

3 METODELOGI PENELITIAN 17

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 19

Populasi dan Sampel 19

Populasi 20

Ukuran Sampel 20

Metode Pengambilan Sampel 21

Metode Analisis Data 21

PCA dan Regresi Linier Berganda 21

Gini Rasio Pendapatan dan Gini Rasio Luas Lahan 22

Analisis Data Kelembagaan Lahan 23

Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis 23

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH UTARA 24

Keadaan Umum Wilayah Penelitian 24

PosisiGeografisdanLuas Wilayah 24

Topografidan Tata GunaLahan 26

Iklim 28

Pemerintahan 28

Demografi 29

MasaTurunKeSawah 30

Provinsi NAD DalamRencanaPolaRuang Wilayah Nasional 31

KawasanBudidayaNasional (KawasanAndalan) 31

(12)

KecamatandanSistemPusatPelayanan di Kabupaten

Aceh Utara 32

KarakteristikResponden 34

UmurResponden 34

TingkatanPendidikanResponden 35

JumlahTanggunganKeluarga 36

Alternatif Usaha Keluarga 36

SejarahKepemilikanLahanUsahatani 37

KepemilikandanPenguasaanLahan 39

Gini Ratio PendapatandanGini Ratio Lahan42

Pendapatan Rumah Tangga Responden 43

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

DeskripsiKerjasma Kelembagaan Lahan 45

LuasPenguasaanLahandanPendapatan Usahatani 49 Keterkaitan Luas Pengusaan Lahan dengan

Kesenjangan Pendapatan 51

Implikasi Kebijakan 57

6 KESIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 60

(13)

1Daftar kecamatan terpilih sebagai sampel 20 2Alokasi proposional sampel penelitian di kabupaten aceh utara 21 3Tujuan penelitian, jenis data dan metode analisis 23 4Luaswilayahkabupatenacehutaramenurutkecamatan

tahun2010 25

5 Penggunaanlahan di kabupatenAcehUtara, tahun 2006 – 2010(ha) 27 6 Jumlahdesadanjarakdariibukotakecamatankeibukota

kabupatendanibukotaprovinsi 29

7SistemPusatPelayanan yang ditetapkan RTRW Kabupaten Aceh Utara33 8LuaskawasanlindungdanbudidayasetiapKabupaten/Kota

Se Aceh Menurut RTRWA 2011 34

9Hak milik atas lahan di daerah penelitian 39

10Ukuran luasan lahan dan berat dalam berbagai satuan 39 11Rata-rata yang dikuasaimenurut status pengusaanlahan 40 12Profil luas lahan menurut status milik, sewa, milik+sewa

responden 41

13Penguasaanlahanberdasarkankecamatan 41

14Keragaanrata-rata luaslahanmeyewa, diseewakan, gadai,

bagihasil 42

15 Komposisilahanmilik yang disewakan 42

16Nilai gini ratio pendapatan dan gini ratio lahan dari berbagai kondisi 43

17 Luaslahan, produksi/panen, pendapatan44

18 Sistemtransaksipenguasaanlahan 46

19Rata-rata luaspemilikandanpenguasaanlahan 48 20Hasilanalisisregresibergandaterhadappeubahdugaan yang

terkaitdenganpendapatanusahatani 49

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Gini ratio pendapatan Provinsi Aceh tahun 2002 - 2010 2 2 Angka kemiskinan di Propinsi Aceh tahun 2004 sampai dengan

tahun 2011 3

3 Luas persawahan Kabupaten Aceh Utara tahun 2006 dan 2010 3

4Aliran pengusaan lahan 5

5Kurva Lorenz 12

6Kerangka pemikiran penelitian 18

7Peta lokasi penelitian 19

8Skema gugus bertahap 20

9PetaKabupaten Aceh Utara 25

10Peta kawasanhutan di KabupatenAcehUtara 27

11PerkembanganpendudukKabupatenAcehUtara, tahun

2006 – 2010 (jiwa) 30

12 Provinsi NAD dalamrencanapolaruangwilayahnasional 31 13RencanatataruangKabupaten Aceh Utara 32

14Jumlahrespondendirincimenurutkelompokumur 34

15Jumlahrespondenmenurutjenjangpendidikan 35

16Jumlahrespondenberdasarpenggunaanteknologi 36

17Jumlahanggotarumahtangga 36

18Alternatifusahakeluarga 37

19Status pengusaan lahan 40

20Boxplotpendapatanpertaniandanpendapatan total 44 21Rata-rata luas lahan menurut lahan sistem sewa,gadai dan

bagi hasil 47

22 Angka Gini ratio pengusaan lahan berdasar luas lahan 52 23 Angka Gini ratio pendapatan berdasar luas lahan

penguasaan lahan 52

24 Gini ratio pendapatan berdasarkan status lahan 53 25 Gini ratio penguasaan lahan berdasarkan status lahan 54

26Gini ratio berdasarkansumberpendapatan 54

27Angka rata-rata Gini ratio 55

(15)

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis Keterkaitan Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan (Studi Kasus Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh) dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Setia Hadi, MSi. dan Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, PhD yang telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi dan juga sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini.

Terima kasih kepada Walikota Langsa, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Langsa dan, Kepala SMA Negeri 4 Langsa yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Sawang, Kecamatan Matangkuli, dan Kecamatan Nibong beserta segenap masyarakat Gampong Teupin Resep, Gampong Blang Cut, Gampong Blang Manyak, Gampong Meunasah Punti, Gampong UDE, Gampong Tanjong Haji Muda, Gampong Alue ie Mirah, Gampong Maddi, Gampong Keude Nibong yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Aceh Utara, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, yang telah membantu dalam penelitian ini.

Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari Ibunda Hj Khairani dan Ayahanda H Bachtiar Daulay (Alm) terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan bagi kita semua.Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku Istriku tercinta Maisura,SP.MP atas segala pengertian dan kesabaran dengan begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh studi dan meyelesaikan tesis. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada penyuluh lapangan di Kecamatan Sawang, Kecamatan Matangkuli dan, Kecamatan Nibong yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para sahabat terima kasih atas bantuan dan kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi, seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak kenangan manis yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.

Bogor, Juli 2013

(16)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan terhadap sumber daya lahan, hadir sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pertambahanpenduduk dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh negara dalam bentuk penetrasi hukum, ekonomi, politik danbudaya telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan. Di sektor pertanian, ketimpangan iniberpengaruh terhadap produktivitas usahatani dan pola hubungan antara tuan tanah dengan buruh tani.Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani gurem di pedesaan terus menurun. Merebaknya konflik-konflikpertanahan, semakin menambah pelik permasalahan petani. Di pihak lain, bias kebijakan di bidang pertanahancenderung melemahkan akses petani kecil dan buruh tani atas sumber-sumber tanah.

Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting. Tanah merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumahtangga petani. Oleh karena itu, ketiadaan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan, seperti yang umumnya terjadi pada kemiskinan di pedesaan Jawa.

Sajogjo (1984), Chayanov(1971),dan Tjondronegoro(1984) mengemukakan bahwa luas pemilikan lahan adalah salah satu faktor penentu untuk peluang berusaha dan bekerja bagi petani. Singarimbun dan Effendi (1989) menambahkan bahwa tingkat pendapatan usahatani diantaranya dipengaruhi oleh luas tanah dan jenis tanaman. Menurut Tan (1991) tingkat pendapatan usahatani ditentukan oleh luas tanah yang dimiliki, yang mencakup luas tanah pemilikan dan luas tanah usahatani. Pemilikan dan penguasaan merupakan dua hal yang berbeda; ”pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan penguasaan menunjuk kepada aspek efektifitas. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya Wiradi dan Tjondronegoro (2008).Berdasarkan pengertian tersebut berarti, seseorang yang memiliki lahan, ia dapat sekaligus sebagai orang yang menguasai tanah tersebut tetapi, dapat juga ia memiliki namun tidak menguasai, karena ia sewakan kepada orang lain. Dengan demikian, seseorang yang memiliki dapat sekaligus sebagai penguasa, sebaliknya seseorang yang menguasai sebidang tanah belum tentu ia sebagai pemiliknya.

(17)

Menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompokpakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di pedesaan.Kelomok pertama, yaitu Geertz, Hayami dan Kikuchi berpendapat bahwa di masyarakatpedesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hambatani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo,Collier, Lyon dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam halpenguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah 1983-1993memperkuat pendapat kelompok kedua Sumaryanto dan Rusastra(2000), Rusastra dan Sudaryanto(1997).

Hasil penelitian SDP di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatandikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luastanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga.

Wiradi (2009)melihat hubungan antara Gini ratio pendapatan dan luas penguasaan lahan. Dari penelitian diperoleh hubungan yang erat antara distribusi pengusaan lahan dengan distribusi pendapatan petani. Studi distribusi lahan setelah stunami di Aceh dan Nias oleh Budidarsono et. all. (2007) memperlihatkan Gini ratio penggunaan lahan di Aceh Barat 0.48 dan Pidie 0.54. Gini ratio Aceh Barat 0.48 memperlihatkan adanya ketimpangan sedang dalam penggunaan lahan di Aceh Barat dan Gini ratio 0.54 di Pidie ketimpangannyatinggi.

Berdasarkan kepada hasil perhitungan Gini ratio pendapatan oleh Badan Pusat Stastistik dari tahun 2002 – 2010 di Provinsi Aceh dapat dilihat dari Gambar 1 seperti yang terlihat dengan angka rata-rata Gini ratio 0.28. Atas dasar angka rata-rata Gini ratio 0.28 dapat dikatakan Propinsi Aceh memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah dengan angka kemiskinan yang tinggi artinya merata miskin. Berdasarkan gambar 1 angka Gini ratio pendapatan Kabupaten Aceh Utara juga memiliki kecenderungan yang sama seperti yang terdapat di Propinsi Aceh.

Gambar 1 Gini ratio pendapatan Provinsi Aceh tahun 2002 – 2010

Dari Gambar 2 dapat dilihat porsentase penduduk miskin di Kabupaten Aceh Utara masih cukup tinggi. Daerah yang makmur dengan sumber daya alam melimpah, daratmaupun lautan, menyimpan kantong besarkemiskinan. Bila kita lihat angka kemiskinan pedesaan lebih tinggidibandingkan di wilayah perkotaan.

0,25

2002 2003 2004 2006 2007 2008 2009 2010

(18)

3

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kantong-kantongkemiskinan di Kabupaten Aceh Utara berada di daerah pedesaan yang merupakan bagianterbesar (80%) dari wilayah Kabupaten Aceh Utara.Meskipun hingga tahun 2010 angka kemiskinan di perdesaan Kabupaten Aceh Utara masih berkisar pada angka20%, namun terlihat adanya kecenderungan menurun antara 1 hingga 1,5% setiaptahun.

Gambar 2 Angka kemiskinandi Propinsi Aceh tahun 2004 sampai dengan tahun 2011

Suatu keluarga atau rumahtangga tani yang memiliki dan menguasai lahan yang cukup luas mestinya akan memperoleh pendapatan yang lebih baik untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan dasar rumahtangganya secara memadai, tapi di kabupaten Aceh Utara dilihat dari Gambar 3 menunjukan bahwa luas lahan sawah terus bertambah dari tahun ke tahun, sebaliknya persentase angka kemiskinan sangat tinggi di perdesaan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Penelitian ini mencoba melihat keterkaitan penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan serta pengaruhnya terhadapa tingkat kemiskinan di Aceh Utara.

Gambar 3 Luas lahan persawahan Kabupaten Aceh Utara tahun2006 dan 2010

32,6 32,6 31,6

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

P

e

rsen

Perdesaan Perkotaan Aceh Utara Total Aceh Angka kemiskinan Indonesia

(19)

1.2 Perumusan masalah

Sebagian besar penduduk Indonesia berada di daerah perdesaan. Bagi petani lahan adalahmodal sumber mata pencaharian. Selain modal usaha lahan juga merupakan lambang status sosial ekonomi bagi seseorang yang menguasainya. Saat ini lahan merupakan faktor produksi yang langka, dimana kebutuhan akan lahan makin meningkat baik untuk keperluan perumahan, usaha tani, usaha perkebunan dan keperluan industri. Ditinjau dari luas lahan yang dikuasai, penguasaan pada umumnya dicirikan oleh luas penguasaan lahan yang sempit dan sangat terpencar.

Ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan cermin dari ketimpangan dalam penggunaan faktor produktif. Bagi daerah perdesaan faktor produktif yang menetukan kehidupan perekonomian adalah penguasaan terhadap lahan. Lahan adalah faktor produksi utama untuk kegiatan pertanian dan lahan merupakan penentu untuk menjangkau kegiatan ekonomi diluar pertanian.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Deskripsi kelembagaan lahan usahatani

2. Bagaimana pengaruh Luas penguasaan lahanterhadap pendapatan usahatani. 3. Bagaimanketerkaitan luas pengusahaan lahan dengan kesenjangan

pendapatan dan kemiskinan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengeksplorasi dan mendiskripsikankelembagaan lahan usahatani.

2. Menganalisis pengaruh luas penguasaan lahanterhadap pendapatan usahatani. 3. Menganalisisketerkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi

pendapatan petani dan kemiskinan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan, yaitu Pemerintah Aceh Utara

Selain pemerintah swasta, dengan masyarakat diharapkan juga untuk memperoleh nilai guna penelitian ini, secara khusus penelitian ini diharapkan berguna :

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan.

2. Sebagai bahan masukan penelitian lanjutan bidang kemiskinan dan Perdesaan.

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penguasaan Lahan dan Pendapatan RumahTangga Usaha Tani

Pendefinisian status kepemilikan (property right) sumber daya lahan adalah sumber daya publik yang pendefinisian kepemilikannya secara konsepsional dapat diupayakan namun dalam operasionalnya sangat lemah. Itu sebabnya istilah kepemilkikan lahan kurang dikenal dibanding kepemilikan tanah. Sekalipun demikian uapaya memasukan atribut atau karateristik penting ke dalam kepemilikan tanah harus diupayakan di dalam kebijakan lahan.

Pemanfaatan lahan berkaitan dengan penguasaan lahan seperti hak pemilikan (property right) yang jelas dan pemilikan bersama (common property). Apabila lahan bersifat “common property” maka efisiensi input biasanya tidak tercapai, bahkan dapat melampaui, karena bersifat “open acces” dimana akan terjadi persaingan antar pemakai. Masing-masing akan berusaha memaksimumkan pangsanya dari “rent” yang diperolehnya. Keadaan ini akan mengakibatkan jumlah input (tenaga kerja) yang berlebihan, sehingga dapat menurunkan rent.Kalau kita tinjau dari aspek alokasi, maka yang mempengaruhi tata guna lahan berbeda menurut jauh dekat pasar atau pabrik pengelolaan bahan pertanian. Dekat dengan pasar atau pabrik, nilai lahan lebih tinggi, hal ini disebabkan biaya transportasi output lebih rendah. Semakin jauh letak lahan dari lokasi pasar atau pengelolaan bahan, maka biaya transportasi produksi per unit semakin tinggi, sehingga rent makin kecil, demikian seterusnya sampai rent habis. Batas habisnya rent oleh transport disebut “margin of cultivation” Anwar(2000)

Status pengusaan lahan yang berbeda akan menentukan tingkat keragaman usaha tani, dalam hal ini meliputi tingkat produktivitas lahan dan distribusi pendapatan yang berlainan pula. Teori dasar yang dapat dipakai untuk menerangkan tingkah laku ekonomi dari pemilik –pengarap, petani penyewa dan pengarap adalah, Teori Hanning (1988) bahwa jika penawaran tenaga kerja tinggi maka pemilik lahan menghendaki lahannya untuk disakap/bagi hasil dalam upaya mendapat nilai guna yang lebih tinggimenyatakan karena petani bagi hasil hanya menerima sebagian produk marjinal dari masukan yang dikeluarkan (dalam hal ini tenaga kerja) maka petani dengan status penggusaan lahan ini tidak punya rangsangan yang cukup untuk sistem menggunakan masukan yang dimilikinya sampai pada tingkatan efisiensi.

Guna melihat bagaimana distribusi pendapatan personal antar status penguasaan lahan, terlebih dahulu perlu melihat aliran pengusaan lahan yang biasa terdapat Sawit (1985). Perhatikan Gambar 4 berikut dijelaskan mengenai aliran penguasaan lahan.

Gambar 4Aliran Pengusaan Lahan

Kelompok Kaya Kelompok Miskin

Menyewakan

(21)

Berdasarkan Gambar4 diatas terlihat bahwa penyakapan (bagi hasil) merupakan pengalihan penguasaan lahan dari kelompok yang relatif kaya kepada kelompok yang relatif miskin, sedangkan persewaan lahan merupakan pengalihan yang berjalan sebaliknya, dari petani yang relatif miskin ke patani yang relatif kaya.

Penguasaan lahan menunjukkan penguasaan efektif terhadap tanah. Misalnya, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri sebesar dua hektar, lalu menggarap juga tiga hektar tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai lima hektar Tjondronegoro dan Wiradi(1984). Pengertian penguasaan tanah menurut Siahaan ( 1977) adalah total dari luas tanah dari mana keluarga yang bersangkutan memperoleh pendapatan. Ada beberapa bentuk penguasaan tanah, yaitu milik sendiri, sewa, bagi hasil, gadai dan kombinasi dari beberapa bentuk penguasaan yang disebut tadi.

Milik sendiri adalah penguasaan lahan, dimana petani menggarap lahannya dengan segala resiko ditanggung sendiri tanpa adanya pengaruh dari luar. Segala resiko yang berhubungan dengan cara produksi, pemakaian bibit dan biaya pengerjaan harus ditanggung sendiri.

Sewa adalah seseorang menyewa lahan milik orang lain dengan memberi uang tunai atau natura kepada si pemilik. Sewa dapat berlangsung dalam kurun waktu tahunan maupun musiman, misalnya jangka satu musim tanam.

Bagi hasil (sakap) adalah penguasaan lahan dimana sipenggarap memberi sebagian dari hasil panenannya kepada sipemilik didasarkan atas kesepakatanantara sipenggarap dan sipemilik.

Gadai adalah penyerahan lahan oleh si pemilik kepada pihak lain untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang tunai dengan ketentuan sipelepas atau sipemilik tetap berhak atas pengembalian tanah dengan cara menebus lahannya kembali.

Penguasaan lahan ini penting karena ia merupakan sumber dari mana penda-patan petani tersebut diperoleh. Sebab luas lahan yang dimiliki seseorang belum tentu seluas lahan yang dikuasainya. Mungkin ia menguasai lebih luas dari lahan miliknya sendiri ataupun lebih sempit dari lahan miliknya sendiri. Lebih luas karena mungkin dia mengusahakan lahan milik orang lain dengan sewa atau bagi hasil. Lebih sempit karena lahan miliknya diberikan kepada orang lain untuk diusahakan.

Jika lahan dikombinasikan dengan input lain seperti tenaga kerja, pupuk, bibit, pestisida, untuk memproduksi output pertanian, maka jumlah input yang digunakan harus optimal, supaya memberikan rent yang maksimum. Rent adalah surplus perbedaan antara harga barang yang diproduksi dengan biaya pengelolaan dari sumberdaya alam menjadi barang. Biaya-biaya tersebut termasuk nilai tenaga kerja, modal, bahan-bahan, dan energi input yang digunakan untuk merubah sumberdaya alam menjadi barang atau produk Hartwick dan Olewiter(1986). Menurut Anwar (2000), rent adalah surplus atau residual yang dibayarkan kepada lahan atas jasanya yang merupakan nilai bersih.

(22)

7

merupakan penerimaan atau pendapatan bagi pemilik faktor produksi. Karena itu dikatakan bahwa ketimpangan dalam distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan dalam pemilikan atau penguasaan faktor produksi.

Pendapatan rumah tangga dari sisi penerimaan adalah semua penghasilan yang diterima oleh semua anggota rumah tangga dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan non pertanian. Jenis kegiatan pertanian seperti : usaha tani, buruh tani, perikanan dan beternak. Jenis kegiatan non pertanian seperti pedagang dan pengusaha. Dengan demikian semua penerimaan penghasilan anggota rumah tangga yakni baik suami, istri, anak-anak dan anggota lainnyadan menjadi tanggung jawab kepala rumah tangga ikut diperhitungkan. Pendapatan dihitung dalam satu kali musim tanam.

Pendapatan bersih dari usaha tani adalah selisih dari nilai output dengan biaya tunai dari proses produksi. Besarnya pendapatan ini akan dihitung dengan produksi kotor dikurangi biaya-biaya tunai untuk produksi, seperti untuk pupuk, bibit, pestisida dan biaya tenaga kerja upahan.

2.2Distribusi Penguasaan Lahan dan Distribusi Pendapatan

Distribusi penguasaan lahan sebagai faktor produksi dan distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi penguasaan lahan dan pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Misalnya jika sekelompok masyarakat proporsinya sebesar 40 persen dari total penduduk, maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40 persen dari total pendapatan.

Untuk mengukur distribusi atau tingkat pemerataan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti Gini Ratio, Kuznet Indexs, Oshima Indexs, Theil Decompositon dan kriteria Bank Dunia. Diantara pendekatan tersebut Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia merupakan ukuran tingkat pemerataan yang paling banyak digunakan oleh peneliti. Di Indonesia kedua pendekatan tersebut telah lazim digunakan untuk mengukur berbagai bentuk pemerataan, terutama untuk mengukur pemerataan pendapatan dan penguasaan lahan.

Di pedesaan distribusi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan merupakan dua hal yang cenderung menjadi perhatian., karena distribusi penguasaan lahan cenderung mempengaruhi distribusi pendapatan. Lahan bagi masyarakat pedesaan merupakan faktorproduksi yang menentukan tinggi atau rendahnya pendapatan Dengan demikian jika lahan terdistribusi secara merata, maka pendapatan juga akan terdistribusi pula secara merata.

Menurut Oshima dalam Amar(1999), Gini Rasio dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu;Gini Ratio < 0,40 = Merata, > 0,40 Gini Ratio < 0,50 = Sedang, Gini Ratio > 0,50 = Timpang.

2.3 Kerjasama dalam Kelembagaan Lahan

(23)

Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, mencakup ideolgi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari sistem perilaku dan lingkungan. Institusi sangat penting dalam pembangunan nasional mengingat kontribusinya yang besar dalam memecahkan masalah-maslah dalam pembagunan. Institusi merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol independensi antara manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi seperti hak pemilikan, aturan representasi dan batas juridiksi.

Pakpahan (1990) memberi batasan bahwa kelembagaan (institution) adalah suatu sistem organisasi yang dapat mengontrol sumberdaya. Dalam proses pembagunan institusi dapat mengkoordinasi pemilik input dalam proses produksi. Pemilk input tersebut dapat secara individu, organisasi, pemerintah dan lain-lain.

Menurut Anwar (1997), bahwa pengertian hak-hak milik bersama atas suatu sumberdaya seperti lahan tidak identik dengan kedaan lahan yang tidak ada yang punya (open acces), karena pada keadaan common resource, masih ada kelembagaan (istitusion) yang mengatur hak-hak secara bersama (musyawarah adat), termasuk pengaturan hak-hak garap, hak pengambilan hasil dari hutan diatas lahan komunal tersebut, sehingga pada keadaan common resource, kelestarian sumberdaya masih dapat dipelihara.

Kerusuhan sosial dapat muncul jika individu-individu kehilangan hak-hak atas lahan mereka, khususnya kepada yang bukan anggota masyarakat setempat. Namun, ketika teknologi sudah maju dan limpahan tenaga kerja dan aset produksi lainnya berbeda diantara rumah tangga, maka keterbatasan dari aturan transfer atas hak milik lahan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap produktivitas. Pertimbangan efisiensi selanjutnya akan memotivasi perubahan baik aturan perundangan maupun tatanan kelembagaan berkaitan dengan hak-hak atas lahan Feder dan Feeney(1993).

Kelembagaan pedesaan dapat berupa kelembagaan penguasaan lahan, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan perkreditan Kasryno(1984). Kurang berkembangnya ekonomi pasar di pedesaan, maka hubungan kelembagaan ini memegang peranan penting dalam transaksi, baik untuk faktor produksi maupun untuk produksi.

2.4Pengertian dan Penyebab Kemiskinan.

(24)

9

wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan.

Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivatiori).

2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproduetiveness).

3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi(inaccecibilty).

4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan

5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah(no freedom for poor).

Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri (proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergeney), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Mas'oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata.

(25)

2.Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila memenuhi kriteria berikutBPS (2008) :

a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.

b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari

c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.

d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.

e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.

3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1,00 per kapita per hari BPS (2008).

Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai (BLT). Beberapa lembaga seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait dengan kriteria kemiskinan tersebut.

Selanjutnya, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki Suryawati (2005), yaitu:

a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya.

b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).

c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan.

d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha.

e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain Makmun (2003) :

1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat.

2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan

(26)

11

Sedangkan Chronic Poverty Research Centre (CPRC) dalam Shepherd (2007) menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin (chronically poor) kemiskinan transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin (transitorily poor), dan tidak miskin (non-poor). Penduduk yang berada pada kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua (terutama janda) cenderung terjebak dalam kemiskinan.

Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit, guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang dalam kemiskinan.

Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang akan dilakukan.

2.5Ukuran-Ukuran Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai "dasar" dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (i) biaya untuk memperoleh sekeranjang "bundle" makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, dan (ii) biaya untuk memperoleh "sekeranjang" bahan bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan,- kesehatan, transportasi, dan pendidikan BPS (2008).

(27)

secara rinci. Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan, dan berkecukupan.

Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini (Gini Coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Formula koefisien atau rasio gini (Tambunan 2003) adalah sebagai berikut :

����= 1

2�2− � �� − ��

=1 �

�=0

Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: (a) daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x) terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 5. KurvaLorenz

2.6 Karakteristik Wilayah Perdesaan

Kehidupan masyarakat perdesaan yang pada umumnya memperihatinkan, terampas hak-hak mereka sehingga mereka menjadi miskin. Penyebab utama dari keadaan yang demikian adalah disebabkan karena terjadinya urban bias, terutama sebagai sikap elit politik yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dari sisi lain kemiskinan juga kemudian menjadi penyebab dan menjadi akibat dari terjadinya kerusakan sumber-sumberdaya alam di wilayah perdesaan yang berdampak kepada masyarakat luas.

(28)

13

Meskipun keadaan alam wilayah perdesaan dapat dirasakan sangat nyaman alamiah dan menarik untuk dikunjungi dengan ruang hijau terbuka (green openspace) yang luas, tetapi masalah kemiskinan sering kali menjadi ciri dan menjadi pemandangan yang umum dari sebagian besar kehidupan penduduk yang bermukim di wilayah perdesaan. Penyebab utama dari keadaan yang memprihatinkan ini terutama disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan tidak mempunyai posisi bargaining (politik) dengan kemampuan politik yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah pusat yang bersifat sentralistik. Sehingga keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kegagalan kebijaksanaan pemerintah (government policy failure) yang melaksanakan pembangunan secara top-down, sehingga tidak mengetahui kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat wilayahnya serta keinginan yang terkandung dalam nilai-nilai kehidupan mereka. Keadaan ini juga didorong oleh terjadinya kesalahan dalam pengaturan dan perancangan (design) dari program-program dan proyek-proyek pembangunan yang memberi dampak kepada terjadinya proses pemiskinan dari masyarakat perdesaan tersebut. Pengurangan dan pengambilan/perampasan hak-hak penduduk komunal lokal dalam akses penguasaan dan penggunaan atas lahan yang didorong oleh kesalahan program pemerintah tersebut, menjadikan landasan yang menjadi kekuatan (politik) utama pada masyarakat perdesaan menjadi hilang, yaitu dengan hilangnya hak mereka kepada sumberdaya alam sebagai sumber mata pencaharian untuk bekerja dan sumber nafkah di atas lahannya. Banyak masyarakat perdesaan selama masa pembangunan lebih dari 30 tahun menjadi terampas hak-haknya atas lahannya oleh orang-orang pengusaha yang berasal dari kawasan perkotaan yang diberi ijin oleh pemerintah pusat untuk mengusahakan menjadi perusahaan HPH dan agribisnis besar-besaran yang sering merampas lahan masyarakat petani kecil. Sebagai akibatnya sumberdaya perdesaan menjadi terkuras dan karenanya potensi kemampuan mereka yang ada pada masyarakat perdesaan menjadi sirna atau menjadi tidak berdaya. Dalam program-program yang berkaitan dengan "pembangunan" kehutanan dan pembangunan perkebunan umpamanya, atau perusahaan real estate, sering terjadi perampasan hak-hak atas lahan-lahan kepunyaan para petani di perdesaan yang lahannya dirampas melalui atas nama program pemerintah dan haknya dialihkan kepada pengusaha-pengusaha besar yang berdiam di kawasan perkotaan. Sehingga sumberdaya dasar kekuatan masyarakat untuk pembangunan wilayah menjadi lemah, yang turut melemahkan kekuatan bargaining politik mereka, yang mengarah terjadinya aliran transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah perdesaan ke arah kawasan perkotaan.

Keadaan penduduk secara spatial yang berdiam di wilayah perdesaan biasanya terpencar-pencar sesuai dengan penggunaan energi matahari dalamproduksi pertanian yang tersebar. Keadaan ini menyebabkan tingginya tingkat

(29)

yang tidak disertai dengan penyiapan persediaan kesempatan kerja di wilayah ini berakibat pada kurangnya lapangan kerja dibandingkan dengan kawasan perkotaan, menjadikan mereka tidak produktif. Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beresiko tinggi. Lagi pula penerimaan (revenues) yang dapat dikumpul oleh pemerintah desa lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri.

Lebih lanjut wilayah perdesaan secara politik banyak dikesampingkan (marginalized), yang menyebabkan masyarakat perdesaan menjadi miskin, tidak mempunyai pengaruh kepada kekuatan politik dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah pusat sering bertindak secara diskriminatif kepada kebanyakan wilayah-wilayah perdesaan, terutama kepada wilayah yang belum maju dan berpenduduk jarang. Malah mereka banyak mengalami penderitaan karena hak-hak akses mereka terhadap sumberdaya disekelilingnya tidak diakui oleh pemerintah, sehingga akibatnya mereka menghadapi ketidakpastian hak-haknya dan cenderung menjadi perusak sumberdaya yang ada (hutan, lahan, bahari dll).

Demikian juga adanya kebijaksanaan pemerintah yang secara konsisten melakukan diskriminasi di masa 10 tahun terakhir belakangan ini, mengakibatkan tidak menguntungkan sektor pertanian (secara luas) melalui kebijaksanaan perpajakan yang tinggi dan kebijaksanaan ekonomi makro (nilai tukar rupiah overvalued, inflasi dan suku bunga tinggi dll), yang kesemuanya berakibat buruk dan berdampak kepada kinerja sektor pertanian, menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah berupa transfer sumberdaya netto lari keluar wilayah perdesaan. Dampak dari kombinasi keadaan faktor-faktor geografi, ekonomi dan sosial politik, semuanya menimbulkan tingginya kejadian kemiskinan dan rendahnya tingkat pembangunan wilayah seperti yang diukur dengan: tingkat melek huruf, harapan hidup, mortalitas anak-anak balita dan

(30)

15

mengalamikelangkaan yang gawat bahkan ada yang mengarah kepada irriversibility yang

pada gilirannya berdampak juga ke kawasan perkotaan. Sedangkan di lokasi kawasan perkotaan sendiri sumberdaya yang diolah menjadi produk-produk industri lanjut, yang meskipun menghasilkan nilai tambah, tetapi karena lemahnya hak-hak masyarakat lapisan menengah dan bawah di kawasan ini, maka kemudian menimbulkan dampak eksternalitas lagi dalam berbagai bentuk pencemaran-pencemaran kepada masyarakat kota sendiri yang merugikan masyarakat keseluruhan.

2.7Penelitian Terdahulu yang Relevan

Pertama, studi oleh Sumarya (2002) dengan judul Hubungnan antara distribusi pengusaan lahan usahatani dengan kemiskinan di pedesaan (studi kasus di kecamatan ciampea dan nanggung, kabupaten bogor) Konsekuensi dan adanya tekanan penduduk terhadap lahan, menjadikannya sebagai barang langka dengan nilai yang semakin tinggi. Luas penguasaan lahan usahatani merupakan peubah yang sangat penting berkenaan dengan tingkat pendapatan keluarga di pedesaan yang menunjukkan kecenderungan bahwa semakin luas akan semakin tinggi pendapatannya, tetapi luas penguasaan lahan usahatani ternyata bukan satu- satunya peubah yang menentukan tingkat pendapatan petani (kemiskinan) di pedesaan, karena ia juga dipengaruhi oleh peubah-peubah lain seperti jenis pekerjaan lain yang ditekuni, aksesibilitas fisik, aksesibilitas tertiadap sumberdaya modal maupun keeratan hubungan antar anggota keluarga.

Kedua studi oleh Ginting (2004) Analisis Faktor Penyebab PendapatanPetani Miskin di Kecamatan Deli Tua. Demikian juga, pada penelitian AnalisisFaktor Penyebab Pendapatan Petani Miskin di Kecamatan Deli Tua ini didugapendapatan rumah tangga petani dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikankepala keluarga, luas penguasaan lahan, akses terhadap lembaga keuangan,keberadaan altematifusaha dan jumlah tanggungan keluarga.Tujuan penelitian tesis ini adalah; (I) untuk rnengetahui apakah luaspenguasaan laban, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, aksesibilitasterhadap lembaga keuangan dan keberadaan alternatif usaha berpengaruh terhadaptingkat pendapatan petani, (2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan luas lahan terhadap tingkat pendapatan, (3) untuk mengetahui apakah adapengaruh perbedaan status lahan milik sendiri dan menyewa terhadap tingkatpendapatan, dan (4) untuk mengetahui distribusi pcndapatan antara petaru yang menguasai luas garapan 0,5 ha dengan petani yang menguasai luas garapan yanglebih besar dari 0,5 ha.

(31)

meliputi 75 persen petani. Dalam distribusi lahan sawah belum terjadi ketimpangan, kecuali penguasaan pada lahan kering telah mengarah ketimpangan (GI > 0,5).Hal ini disebabkan karena lahan pada awalnya mempunyai nilai sosial dan spiritual, beralih kenilai ekonomi dan sering terjadi ketidak seimbangan didalam pemilikan dan penguasaan (Gini indeks > 0,5).

(32)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Lahan sebagai sumberdaya utama dalam usahatani telah mengalami penyusutan baik kualintas maupun kualitas akibat adanya tekanan penduduk yang memerlukannya berbagai keperluan, baik keperluan publik maupun individu. Di pihak lain, terjadinya hirarki sosial (social hierarchy) yang terjadi di masyarakat, menyebabkan terjadinya perbedaan aksesibilitas seseorang atau kelompok sosial terhadap kekausaan dan atau terhadap sumberdaya, termasuk sumberdaya lahan usahatani. Golongan masyarakat yang mampu, memandang lahan usahatani bukan saja sebagai faktor produksi usahatani tetapi juga sebagai alat spekulasi yang mempunyai kepastian resiko yang lebih pasti karena equlital market lain sebagai sarana untuk menanamkan modal belum berkembang dan mempunyai resiko ketidakpastian (uncertainly) yang lebih tinggi. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya absentee land (lahan guntai) yang kerapkali tidak diusahakan. Sementara sebagai masyarakat lain sangat membutuhkan lahan tersebut untuk digunakan sebagai sumber pendapatan utama dan merupakan kekausan dasar (power base) untuk bisa bertahan hidup.

Keberadaan (supply) lahan usahatani yang relatif tetap sementara kebutuhan akan lahan (demand) semakin meningkat, membawa implikasi semakin beratnya beban lahan yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sehingga diperlakukan tidak semestinya yang melebihi kemampuan dan daya dukungnya sehingga mengarah kepada degredasi. Selain itu, kebutuhan akan pangan yang semakin meningkat akan mengakibatkan dibukanya lahan-lahan baru bahkan pada lahan-lahan yang tidak layak untuk usahatani. Ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan terhadap lahan selanjutnya akan berakibat langsung terhadap melambungnya nilai lahan menjadi mahal.

Kelangkaan dan perbedaan aksesibilitas di antara golongan masyarakat tentu saja hanya akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan, karena hanya mereka yang kuat secara finansial yang akan menguasai/memiliki lahan, sementara yang lemah harus tetap berjuang lebih keras untuk dapat menguasai lahan usahatani sebagai sumber penghidupannya.

Kerjasama kelembagaan lahan yang diwujudkan dengan sistem sewa, gadai, dan bagi hasil memberi suatu kesempatan bagi rumah tangga tani untuk memperluas akses kepada penguasaan lahan yang lebih luas. Akses yang lebih lancar dalam penguasaan lahan diyakini merupakan jawaban dari ketimpangan dalam penguasaan lahan.

(33)

Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2 Hipotesis

Berdasarkan dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Semakin luas penguasaan lahanusahatani di perdesaan maka pendapatan usahatani lebih besar, .

2. Semakin timpang distribusi penguasaan lahan maka semakin timpang distribusi pendapatan.

3. Semakin kecil pengusaan lahan maka semakin miskin rumah tanggatani.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh pada tiga kecamatan dengan waktu penelitian pada Juni – Agustus 2012.

Kemiskinan Supply

Lahan - Kuantitas

-kualitas

Demand Lahan -Pertanian

-Non Pertanian Kelangkaan

Pertumbuhan Penduduk Dan Perubahan Sosial Budaya

DISTRIBUSI PENGUASAN LAHAN

DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA TANI

Harga

Kerjasama Kelembagaan Lahan (Sewa,Gadai, dan Bagi hasil)

(34)

19

Gambar 7Peta lokasi Penelitian

3.4 Jenis dan sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan melalui wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden yang merupakan penduduk di wilayah Aceh Utara. Jenis data primer yang dibutuhkan berupa data kepemilikan lahan atau luas lahan yang dimiliki, data pendapatan, data jenis lahan, pengunaan teknologi, tingkat pendidikan, akses kelembaga keuangan serta data alternatif usaha.

Data sekunder merupakan data dari instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura Kabupaten Aceh Utara, Pemerintah daerah Aceh Utara, Badan Pusat Statistik serta instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, data sekunder juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang menunjang Penelitian ini.

3.4.1 Populasi dan Sampel

(35)

kepala keluarga sedang dan desa ketiga dengan jumlah kepala keluarga sedikit. Serperti yang terlihat pada gambar 8 berikut

Gambar 8 Skema gugus bertahap

3.4.2 Populasi

Dari Data populasi diatas maka kita ambil yang memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu dengan jumlah kepala keluarga petani yang paling banyak, jumlah kepala keluarga petani sedang kemudian jumlah kepala keluarga petani paling sedikit. Maka didapatlah 3 (tiga) kecamatan. Berdasarkan data Podes 2011 menurut kepala keluarga petani maka Kecamatan yang terpilih adalah Kecamatan Sawang, Kecamatan Matang Kuli dan kecamatan Nibong dengan rincian sebagai berikut seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 1 Daftar kecamatan terpilih sebagai sampel

No Kecamatan Jumlah Kepala

Keluarga Petani 1 Sawang (mewakili jumlah kepala keluarga petani paling banyak) 7256 2 Matang Kuli (mewakili jumlah kepala keluarga petani sedang) 3018 3 Nibong (mewakili jumlah kepala keluarga petani sedikit 1084 Sumber : data podes 2011 diolah

3.4.3 Ukuran Sampel

Menurut Umar (2003) untuk populasi besar sekitar 10 % dari populasi dapat dijadikan sebagai sampel penelitian, sehingga besarnya ukuran sampel penelitian ini adalah 122 responden (sekitar 10 % dari 1166) kepala keluarga petani. Besarnya jumlah sampel masing-masing desa adalah 10 % dari jumlah kepala keluarga petani dari tiap-tiap desa. Ukuran populasi dan sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

(36)

21

Tabel 2 Alokasi proposional sampel penelitian di Kabupaten Aceh Utara

No Kecamatan Desa Sampel Jumlah

Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan dengan sampel acak sederhanasehingga dari jumlah 1.166 kepala keluarga petani tersebut, diambil sampel sebanyak 122 orang kepala keluarga petani.

3.5 Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan melalui kuesioner diperiksa ulang 10 % diantaranya agar diyakini validitasnya, sementara data sekunder dicek silang antar beberapa sumber data, dan setelah itu baru diedit dan disusun secara tabulatif. Data tersebut kemudian diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan metode statistik yang kemudian dilanjutkan dengan analisis stastistik deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil yang didapat dalam bentuk uraian yang sistematis.

3.5.1 PCA dan Regresi Linier Berganda

PCA atau Analisis Komponen Utama merupakan analisis multivariate yang digunakan untuk mengatasi adanya multikolinieritas antar variabel. Oleh karena itu, Prinsip utama dari model regresi komponen utama ialah skor komponen utama yang diregresikan dengan peubah tak bebas atau dengan kata lain regresi komponen utama merupakan analisis regresi dari peubah tak bebas terhadap komponen-komponen utama yang tidak saling berkorelasi.

(37)

Yi= α+β1Li+ β2LSi +β3Ui + β4JAKi+β5di+β5diLi+e

Dimana

Yi = Pendapatan Usahatani ke i

α = konstanta

βi = koefisien regresi

Li = Luas penguasaan lahan usahatanike i JAKi = Jumlah Anggota Keluarga ke i

LSi = Lama Sekolah ke i Ui = Umur ke i

Dummy = Status Lahan ke i 0 = milik, milik+sewa 1 = sewa

diLi = dummy x luas lahan ke i e = error

Analisis regresi dihitung untuk masing-masing status penguasan lahan. Nilai a dan b berupa nilai estimasi regresi atau disebut koefisien regresi. Dari persamaan regtesi diharapkan nilai b positif, karena dengan positifnya nilai b berarti antara pendapatan dan luas penguasaan lahan menpunyai hubungan yang searah. Dengan kata lain semakin luas lahan yang dikusai menyebabkan semakin besar pendapatan yang diterima, atau semakin sempit lahan yang dikuasai makin kecil pendapatan yang diterima, atau semakin sempit lahan yang dikusai makin kecil pendapatan yang diterima petani di pedesaan.

3.5.2 Gini Rasio Pendapatan dan Gini Rasio Luas Lahan

Pendekatan Gini Ratio Pendapatandengan rumus sebagiberikut:

� = 1− �

�=1

∗ �− �−1

10.000

Di mana :

GR = koefisien indeks gini

N = Jumlah rumah tangga sampel

Pi = Presentase rumahtangga atau penduduk pada kelas ke-i Qi = Presentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qt-1 = Presentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i

Jumlah kelas 1 dan 10.000= Konstanta (Sumber: Toto Sugito, 1980)

Indeks Gini mempunyai selang nilai antara 0 dan 1. Bila indeks Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sedangkan bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat timpang. Biasanya indeks Gini tidak pernah mempunyai nilai 0 ataupun 1.

Oleh karena itu Todaro (2000) menyatakan bahwa :

a. Bila koefisien Gini berada di antara 0,2 sampai 0,35 maka distribusi pendapatan disebut sebagai merata.

(38)

23

c. Bila koefisien Gini berada diantara 0,5 sampai 0,7, maka distribusi pendapatan disebut sebagai sangat tidak merata.

Sedangkan untuk melihat distribusipenguasaan lahandiugunakan indeks Gini (Gini Coeficient) dengan formula sebagai berikut (Szal danRobinson, 1992) :

�= 1 +1

n = Jumlah rumah tangga contoh

Yi = Luas lahan yang dimiliki/dikuasai oleh rumah tangga ke-i Yr = Rata-rata luas lahan yang dikuasai/dimiliki

Kriteria Nilai indeks Gini (GI) bervariasi antara 0 – 1. Untuk mengukur tingkatketimpangan luas lahanmenurut Oshima (1976) adalah apabila nilai GI < 0,4 termasukketimpangan rendah, 0,4 < GI < 0,5 ketimpangan sedang dan GI > 0,5ketimpangan berat.

3.5.3 Analisis Data Kelembagaan Lahan

Untuk mendapatkan informasi yang valid mengenai kelembagaan lahan pada usahatani selanjutnya data hasil survei dianalisis dengan tabulasi. Untuk memperjelas hasil survei dalam pembahasan data juga diperkuat dengan informasi yang diperoleh melalui studi pendalaman.

3.6 Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis

Tabel 3 Tujuan penelitian, jenis data dan metode analisis

NO Tujuan Jenis Data Sumber

2 Menganalisis pengaruh Luas

(39)

4.1.1Posisi Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten Aceh Utara terbentuk berdasarkan Undang-undang No.7/DRT/1956.Sebagai salah satu kabupaten tertua di Aceh, Kabupaten Aceh Utara menempati posisigeografis yang sangat strategis yang berbatasan langsung dengan Kota Lhokseumawe,Bireuen, Aceh Timur, dan Bener Meriah. Secara geografis, Aceh Utara terletak padaposisi antara 96.52.000–97.31.000 Bujur Timur (BT) dan 04.46.000–05.00.400 LintangUtara.

Kabupaten Aceh Utara yang termasuk zona industri di Aceh berbatasanlangsung dengan :

Sebelah Utara dengan Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka; Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah;

Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur; dan Sebelah Barat dengan Kabupaten Bireuen;

Sebagai zona industri di Aceh, di Aceh Utara berkembang industri–industri besaryang menghasilkan devisa bagi negara, seperti PT. Arun NGL, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan Exxon Mobil.Kondisi terakhir menyiratkan aktivitas industri tersebut semakin menurun. Bahkan, PT.Kertas Kraf Aceh dan PT. Asean Aceh Fertilizer tidak berfungsi lagi akibat keterbatasan pasokan bahan baku. Ditaksirke depan, aktivitas industri PT. Arun NGL, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan Exxon Mobil juga semakinberkurang sehingga menyebabkan pula kontribusi terhadap daerah menurun. Olehkarena itu, perlu upaya yang signifikan untuk menguatkan sektor non-migas sebagaipendorong perekonomian daerah dan penyediaan lapangan kerja yang memadai diKabupaten Aceh Utara di masa mendatang.

Kabupaten Aceh Utara menempati posisi yang sangat strategis di Aceh.Tepatnya, berada di jalur lintas nasional di wilayah pantai utara-timur Provinsi Aceh,yang menghubungkan daerah hiterlandnya, seperti Bireuen, Lhokseumawe, dan AcehTimur. Selain itu, Aceh Utara juga berada pada posisi mata rantai jaringan transportasiutama pantai utara-timur yang menghubungkan Provinsi Aceh dengan Medan, ProvinsiSumatera Utara. Karena itu, Pemerintah Aceh Utara harus memanfaatkan peluangposisi tersebut untuk kepentingan pengembangan ekonomi wilayah dan percepatanpertumbuhan ekonomi daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara harusmenyiapkan pula sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai upaya meraih berbagai peluang dan potensi ekonomi untuk kemakmuran masyarakat dankepentingan daerah.

Gambar

Gambar 3 Luas lahan persawahan Kabupaten Aceh Utara tahun2006 dan 2010
Gambar 5. KurvaLorenz
Gambar 6  Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 7Peta lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 5 dapat diuraikan hasil penelitian sebagai berikut: (a) pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, tidak terdapat perbedaan prestasi

Berdasarkan pantauan citra satelit Himawari dan dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah Provinsi Jawa Tengah pada saat kejadian banjir dan Angin kencang di

Studi mengenai penentuan strain rate pada test konsolidasi metode CRS telah dilakukan untuk tanah lempung yang mempunyai tingkat plastisitas yang berbeda.. Disamping

Kompetensi dasar : Mahasiswa dapat menguasai substansi dan metodologi dasar keilmuan materi perkembangan peserta didik yang akan membahas potensi perkembangan kognitif,

Didalam Kontrak Karya proyek Batu Hijau PTNNT terdapat pasal yang mewajibkan perusahaan tersebut melakukan divestasi saham hingga 51% (tahun 2010) untuk promosi kepentingan

Masalah utama pada penggunaan tongkol jagung sebagai pakan ternak sapi adalah cara pengolahannya untuk menghasilkan partikel – partikel kecil untuk pakan ternak dengan hasil

Sama halnya seperti outer marker , middle marker   juga meman&#34;arkan gelombang elektromagnetik untuk memberikan informasi ke pilot dengan jarak  yang berbeda dari :M yaitu

This study emphasises on whether there is a significant difference in the stock market indices interrelation during the (1997) Asian financial crisis, the 2002 stock market downturn,