• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir Angkutan kota ditinjau dari Indeks Massa Tubuh, Lingkar Leher, dan Usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir Angkutan kota ditinjau dari Indeks Massa Tubuh, Lingkar Leher, dan Usia"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

CURRICULUM VITAE

Nama : Helvina Siahaan

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 26 juni 1992

Agama : Kristen Protestan

Warga Negara : Indonesia

Alamat : JL. Paya Pasir Medan Marelan

Mobile : 082360700829

E-mail : helvinasiahaan@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan : 1. SD WAHIDIN SUDIROHOSODO, Medan 2. SMP NEGERI 20, Medan

3. SMA NEGERI 16, Medan Riwayat Organisasi : -

(2)

Lampiran 2

KUESIONER BERLIN

Nama : ……… Jenis Kelamin: …… Umur: …....

Tempat tanggal lahir : ………

Alamat : ……….

Berat Badan : ____Kg Tinggi Badan:___ cm Lingkar Leher:___ cm

Kategori 1 :

1. Apakah anda mendengkur? a. Ya

b. Tidak c. Tidak tahu

Jika anda mendengkur :

2. Dengkuran anda?

a. Sedikit lebih nyaring dari bunyi napas biasa (lauder than breathing) b. Keras seperti biasa

c. Lebih nyaring dari bicara

d. Sangat keras, dapat di dengar dari ruangan yang bersebelahan

3. Berapa kali anda mendengkur? a. Hampir setiap hari

b. 3-4 kali seminggu c. 1-2 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan

e. Tidak pernah atau hampir tidak pernah

(3)

4. Apakah dengkuran anda mengganggu orang lain? a. Ya

b. Tidak c. Tidak tahu

5. Apakah ada orang yang mengatakan bahwa anda berhenti bernapas saat tidur?

a. Hampir setiap hari b. 3-4 kali seminggu c. 1-2 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan

e. tidak pernah atau hampir tidak pernah

Kategori 2

6. Berapa sering anda merasa lelah atau tidak fit setelah bangun tidur? a. Hampir setiap hari

b. 3-4 kali seminggu c. 1-2 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan

e. Tidak pernah atau hampir tidak pernah

7. Pada saat beraktivitas, apakah anda merasa lelah dan tidak segar? a. Hampir setiap hari

b. 3-4 kali seminggu c. 1-2 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan

e. Tidak pernah atau hampir tidak pernah

(4)

8. Apakah anda pernah terkantuk–kantuk atau tertidur saat mengemudi? a. Ya

b. Tidak

9. Berapa sering hal tersebut terjadi? a. Hampir setiap hari

b. 3-4 kali seminggu c. 1-2 kali seminggu d. 1-2 kali sebulan

e. Tidak pernah atau hampir tidak pernah

Kategori 3 :

10. Apakah tekanan darah anda tinggi? a. Ya

b. Tidak c. Tidak tahu

BMI=

(5)

(6)

Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Salam Sejahtera,

Saya, Helvina Siahaan, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), saat ini sedang melakukan penelitian untuk melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya untuk menyelesaikan pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran USU. Penelitian saya berjudul “ Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir angkutan kota ditinjau

Indeks Massa Tubuh, Lingkar leher, dan Usia”.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan pernapasan saat tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara di mana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas dan biasanya ditandai dengan adanya gejala mendengkur, episode berhenti napas, tidur tidak nyenyak, rasa lelah dan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, dan sebagainya. Gejala-gejala ini pada umumnya sering tidak disadari oleh penderitanya. Salah satu gejala yang paling sering menimbulkan masalah pada kehidupan sehari-hari adalah kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh rasa kantuk.

Untuk mendapatkan data penelitian ini, saya memohon kesediaan Bapak untuk diperiksa Indeks Massa Tubuh-nya (IMT) dengan mengukur berat badan dan tinggi badan, lingkar leher serta mengisi kuesioner dengan beberapa pertanyaan. dan Identitas diri. Setiap data yang ada dalam penlitian ini akan dirahasiakan. Data-data yang didapatkan hanya akan digunakan dalam penelitian ini dan tidak akan digunakan untuk tujuan lain. Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan. dan Bapak berhak untuk menolak berpartisipasi tanpa dikenakan sanksi apapun.

(7)

Demikianlah penjelasan ini saya sampaikan. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak untuk mengisi lembar persetujuan yang telah saya persiapkan. Atas partisipasi dan kesediaan Bapak saya ucapkan terima kasih.

Medan,………….. 2014

Peneliti,

Helvina Siahaan (NIM. 110100035)

(8)

Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea(OSA)” pada sopir angkutan kota ditinjau Indeks Massa Tubuh, Lingkar leher, dan Usia”. Maka dengan ini saya menyatakan bahwa saya

memahami penjelasan secara lengkap. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran tanpa paksaan.

Medan,………..2014

Subjek Penelitian

(Nama dan Tanda Tangan)

(9)

Lampiran 5

Usia Responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid TIDAK ADA RIWAYAT

(10)

Resiko Menderita OSA Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tinggi 27 58.7 58.7 58.7

rendah 19 41.3 41.3 100.0

Total 46 100.0 100.0

(11)

IMT Responden * Resiko Menderita OSA Responden Crosstabulation

(12)

Lingkar Leher Responden * Resiko Menderita OSA Responden Crosstabulation

(13)

Usia Responden * Resiko Menderita OSA Responden Crosstabulation

Resiko Menderita OSA

Responden

Total tinggi rendah

Usia Responden 17-25 tahun Count 1 3 4

% of Total 2.2% 6.5% 8.7%

26-35 tahun Count 6 8 14

% of Total 13.0% 17.4% 30.4%

36-45 tahun Count 10 5 15

% of Total 21.7% 10.9% 32.6%

46-55 tahun Count 8 3 11

% of Total 17.4% 6.5% 23.9%

56-65 tahun Count 2 0 2

% of Total 4.3% .0% 4.3%

Total Count 27 19 46

% of Total 58.7% 41.3% 100.0%

.

(14)

Lampiran 7

(15)

Lampiran 8

(16)

2 A02 35 35,5 45 158 18 Underweight 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 negatif negatif negatif RESIKO RENDAH

3 A03 32 35 50 165 18,5 Normal 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

4 A04 37 38,5 74 160 28,9 Obese I 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 positif positif positif RESIKO TINGGI

5 A05 44 37 90 158 36,1 Obese II 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 positif positif positif RESIKO TINGGI

6 A06 55 34 44 156 18,1 Underweight 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

7 A07 56 40 94 170 32,5 Obese II 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 positif positif positif RESIKO TINGGI

8 A08 35 34 55 160 21,5 Normal 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 negatif posiitf positif RESIKO TINGGI

9 A09 40 36,5 55 165 20,2 Normal 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 positif negatif Positif RESIKO TINGGI

10 A10 40 37 50 157 20,3 Normal 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 positif positif negatif RESIKO TINGGI

11 A11 38 41 104 158 41,7 Obese II 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 positif positif positif RESIKO TINGGI

12 A12 34 37 49 170 17 Underweight 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 negatif positif positif RESIKO TINGGI

13 A13 48 36,5 65 167 23,3 Overweight 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

14 A14 33 39 78 165 28,7 Obese I 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 Positif positif negatif RESIKO TINGGI

15 A15 36 40 80 170 27,7 Obese I 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

16 A16 45 38 64 165 23,5 Overweight 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 positif positif positif RESIKO TINGGI

17 A17 48 32 55 160 21,5 Normal 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 positif positif negatif RESIKO TINGGI

18 A18 44 32,5 45 156 18,5 Normal 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 positif negatif negatif RESIKO RENDAH

19 A19 48 33 49 165 18 Underweight 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 negatif positif positif RESIKO TINGGI

20 A20 34 35 50 150 22,2 Normal 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH 21 A21 25 36 50 160 19,5 Normal 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

(17)
(18)

No Nama Umur LH (cm)

BB (kg)

TB (cm)

IMT Kategori P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 Kategori (P1-P5)

Kategori (P6-P9)

Kategori (P10 atau BMI >30)

Resiko Menderita OSA

41 A41 47 38 70 165 25,7 Obese I 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 positif positif positif RESIKO TINGGI

42 A42 34 32 45 160 17,6 Underweight 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

43 A43 30 37 55 150 24,4 Overweight 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

44 A44 36 40 68 167 24,4 Overweight 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

45 A45 36 37 63 172 21,3 Normal 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

46 A46 33 33 50 165 18,4 Underweight 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 negatif positif negatif RESIKO RENDAH

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Antariksa, B., 2010. Obstructive Sleep Apnea (OSA). Jurnal Respirologi Indonesia. 30(1): 8-12.

Arifin, A.R., Ratnawati, and Burhan, E., 2010. Fisiologi Tidur dan Pernapasan.

Jurnal Respirologi Indonesia. 30(1) : 39-45.

Bixler, E.O., Alexandros, N.V., Thomas, T.H., Kathy, T., Anthony, K. 1998. Effects of Age on Sleep Apnea in Men. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 157(1): 144-148.

Cowan, D.C., Allardice, G., MacFarlane, D., Ramsay, D., Ambler, H., Banham, S., Eric, L., Carlin, C., 2014. Predicting sleep disordered breathing in outpatients with suspected OSA. British Medical journal open. 4(1): 1136. Downey III, R., 2014. Obstructive Sleep Apnea Dalam : Medscape drugs Disease

and Procedures avalailable from :

http://emidicine.medscape.com/article/295807-overview. [Accessed 12 Mei 2014].

Garg, R., Abhijeet, S., Rajendra, P., Saheer, Jabeed, Ramkishun, V., 2012. A comparative study on the clinical and polysomnographic pattern of obstructive sleep apnea among and non-obese subjects. Annals of Throcaic Medicine. 7(1) 26-30.

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.

Jamie, C.M. Lam, S.K. Sharma and Lam, B., 2010. Obstructive Sleep Apnoea: Definitions, epidemiology and natural history. Indian J Med Res. 131(1): 165-170.

Universitas Sumatera Utara

(20)

Kales, S.N., and Straubel, M.G., 2014. Obstructive Sleep Apnea in North American Commercial Drivers. Industrial Health, 52: 13-24.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003, Penyelenggaraan angkutan orang di jalan dengan kendaraan umum. Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan darat.

Kumalasari. R., 2012. Mengatasi Hipertensi., Scientific journal of pharmaceutical development and medical application. 30(1): 64

Neuroophthalmol, J., 2012. The Berlin questionnaire screens for Obstructive Sleep Apnea in idiopathic intracranial hypertension. National Institutes of Health. 31(4): 316-319.

Ozer, C., Etcibes, S., Oztrurk, L., 2014. Daytime sleepiness and sleep habits as risk factors of traffic accidents in a group of Turkish public transport drivers. International Journal of clinical and Experimental Medicine.7(1) 268-273.

Pack, A.I., 2008. Changes in the Cardiorespiratory System During Sleep. Dalam: Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Patlak, M., 2005.Your guide to healthy Sleep. U.S. Departemen of Health and Human Services.

http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/sleep/healthy_sleep.pdf. [Diakses 21 oktober 2010].

Punjabi, N.M., 2008. The Epidemiology of Adult Obstructive Sleep Apnea.

American Thoracic Society Journals. 5(1): 136-143.

Prasenohadi., 2010. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Jurnal Respirologi Indonesia. 30(1): 53-58.

Universitas Sumatera Utara

(21)

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.

Quintas, R.C., Manuel, T.N., Maria, A.P., Mari, L.S.M., Adela, A.F., Pedro. M.V., 2013. Obstructive Sleep Apnea in Normal weight Patients: Characteristics and Comparison with Overweight and Obese Patients.

Archivos de bronconeumologia. 49(1): 513-517.

Santos, J.T., Gomez, J., Guevara, C., 1999. The Association Between Sleep Apnea and The Risk Of Traffic Accidents. New England Journal of Medicine. 340: 847-51.

Sastroasmoro, S. 2013. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

Sarkey, K.M.,Waters, K., Millman, R.P., Moore, R., Martin, S.M., Bourjeily, G., 2014. Validation of the Apnea Risk Evaluation System (ARES) device against laboratory polysomnography in pregnant women at risk for Obstructive Sleep Apnea Syndrome. J Clin Sleep Med. 10(5): 497-502. Sidartawan, S., 2006. Obesitas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III

Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan IPD FK UI 1919-1923.

Siregar, E.R, 2008. Gambaran Pengetahuan Gizi, Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Pada Supir Angkot Rahayu Medan Ceria Trayek 104 di Kota

Medan. Diunduh dari http://

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14623/1/09E01234.pdf.

Sumardi, Barmawi, H., Bambang, S.R., dan Eko, B., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sleep Apnea (ganguan bernapas saat tidur). Jilid III. Edisi V. Jakarta: Ilmu penyakit Dalam.

Supriyatno, B., dan Deviani, R., 2005. Obstructive Sleep Apnea Syndrome pada anak. Sari Pediatri, 7(2): 77-84.

Universitas Sumatera Utara

(22)

Tangugsorn, V., Krogstad, O., Espeland, L., Lyberg, T., Obstructive sleep apnea : A canonical correlation of cephalometric and selected demographic variables in obese and non-obese patients. Angle Orthod. 71(1): 23-35 Tortora, G.J. and Derrickson, B., 2009. Principles of Anatomy and Physiology.

12th ed. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Wahyuni, A.S, 2007. Statistika Kedokteran Disertai Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: Bamboedoea Communication.

Weinreich, G., Plein, K., Teschler, T., Resler, J., Teschler, H.,2006. Is the berlin Questionnaire an appropriate diagnostic tool for sleep medicine in pneumological rehabilitation?. Pneumologie. 60(12): 737-42.

Wiadnyana, I.P.G.P., Susanto, A.D., Amri, Z., dan Antariksa, B., 2010. Prevalensi kemungkinan Obstructive Sleep Apnea dan faktor-faktor yang berhubungan pada pengemudi taksi X di Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia, 30(1): 32-38.

World Health Organization, 2007. Prevention and Control of Chronic Respiratory Disease. Switzerland: WHO Press.

Yuwono, I.D., 2011. Memahami Etika Profesi dan Pekerjaaan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Pustaka Yustitia.

Universitas Sumatera Utara

(23)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan teori, maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT) a. Definisi operasional

Hasil pembagian dari berat badan (kg) dengan tinggi badan dalam kuadrat (m2).

Hasil yang didapat diinterpretasikan ke dalam tabel 3.1 berdasarkan BMI pada penduduk Asia dewasa (WHO, 2000)

Faktor

(24)

Tabel 3.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

IMT/BMI ( kg/m2) Kategori

e. Skala pengukuran : Skala ordinal

3.2.2. Lingkar Leher a. Definisi operasional

Hasil pengkuran dari lingkar leher dalam cm. b. Cara pengukuran

Lingkar leher diukur tepat dibawah laring “Adam’s Apple” dan leher ditegakkan sambil melihat kedepan selama pengukuran kemudian pengukuran dilakukan melingkari leher sejajar dengan lantai.

c. Alat ukur

Meteran merk One Med. d. Hasil pengukuran

Lingkar leher <40 cm = Non obese

Lingkar leher ≥40 cm = Obese

e. Skala pengukuran Skala Rasio

3.2.3. Usia

a. Definisi operasional

Usia responden yang dihitung menurut ulang tahunnya yang terakhir. b. Cara pengukuran

Dengan metode angket yaitu berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden pada instrumen kuesioner.

Universitas Sumatera Utara

(25)

c. Alat ukur

Metode angket yang diisi oleh responden pada instrument kuesioner. d. Hasil pengukuran lebih kategori pada instrument kuesioner berlin.

Risiko rendah OSA

Definisi Operasional : Seseorang yang memilki nilai positif pada 1 kategori maupun tidak ada kategori yang bernilai positif pada instrument berlin.

3.2.5. Sopir angkutan kota

Definisi Operasional : Sopir yang aktif mengemudi angkutan kota nomor 130 dengan rute Tanjung Selamat / Bts Kota – Belawan / Gabion dengan jarak ± 36 km.

3.2.6 Karakteristik sopir angkutan kota

Definisi operasional : Ciri-ciri khusus pada sopir angkutan kota yang terkait dengan OSA yaitu : Usia, IMT, dan riwayat hipertensi.

Universitas Sumatera Utara

(26)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif untuk menilai risiko terjadinya OSA pada sopir angkutan kota dengan desain cross sectional, dimana proses pengambilan data dilakukan pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2013).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Pancur Batu, kota Medan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Oktober 2014.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi target adalah semua sopir angkutan kota yang aktif mengemudi. Populasi terjangkau penelitian ini adalah sopir angkutan kota yang berusia 20-60 tahun (Punjabi, 2008) yang aktif mengemudi angkutan kota nomor 130 dengan rute Tanjung Selamat / Bts Kota – Belawan / Gabion dengan populasi sopir angkutan kota sebesar 87 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.

23

Universitas Sumatera Utara

(27)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Responden adalah sopir yang aktif bekerja sebagai sopir angkutan kota 2. Responden bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani lembar

persetujuan setelah penjelasan (informed consent).

Teknik Pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan non probability sampling dengan cara consecutive sampling. Pada consecutive sampling, semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai subjek yang diperlukan memenuhi (Sastroasmoro, 2013). Adapun jumlah sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus Wahyuni (2007) untuk data proporsi dengan populasi finit (terbatas) adalah:

n = N Z21-a/2 p (1-P)

(N-1) d2 + Z2 1-a/2 p (1-P)

Dimana :

n = besar sampel minimum

N = Jumlah di populasi

Z 1-a/2

= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada

a tertentu P = harga proporsi di populasi

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir

Universitas Sumatera Utara

(28)

Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah populasi sopir angkutan kota sebesar 87 orang; nilai Z 1-a/2 = 1,96 yang didapatkan dari tabel distribusi Z pada

a= 0,05 ; nilai P adalah 0,5; tingkat kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir 10 % = 0,1. Dengan menggunakan nilai-nilai ini, maka perhitungan besar sampel adalah:

n = 87 x 1,962 x 0,5x ( 1-0,5) (87-1)x 0,12 + 1,962x 0,5x (1-0,5) n = 45,8 (46 orang)

jumlah sampel minimal : 46 orang

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian dengan menggunakan kuesioner berlin yang tervalidasi melalui wawancara pada setiap masing- masing sampel penelitian. Kuesioner ini terdiri dari 9 pertanyaan yang dibagi dalam 3 kategori, kategori pertama tentang kebiasaan mendengkur, kategori kedua tentang riwayat kelelahan, dan kategori ketiga mengenai riwayat hipertensi.

Sebelum mengisi kuesioner, sampel yang memenuhi kriteria inklusi dijelaskan mengenai informed consent. Setelah menyetujui informed consent, unsur-unsur kriteria eksklusi ditanyakan kepada sampel. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi, tidak termasuk kriteria eksklusi, dan bersedia untuk menjadi responden diminta ketersediaan untuk mengisi kuesioner melalui wawancara pada setiap sampel penelitian, Selanjutnya dilakukan pemeriksaan antropometri terkait, yaitu berat badan, tinggi badan, serta lingkar leher.

Universitas Sumatera Utara

(29)

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari jawaban kuesioner responden dan diolah dengan menggunakan program komputer dengan tahap pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan saving.

4.5.2. Metode Analisis Data

Semua data yang telah dikumpulkan dicatat, diperiksa, dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS).

Universitas Sumatera Utara

(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan instrument kuesioner Berlin dengan metode wawancara pada setiap sampel penelitian, serta dilakukan pemeriksaan antropometri terkait, yaitu berat badan, tinggi badan, dan lingkar leher. Hasil kuesioner yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis, sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan dibawah ini.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Transportasi angkutan kota PT. MARS trayek 130 dengan rute Tanjung Selamat-Belawan mempunyai sopir yang aktif sebanyak 87 dengan armada sebanyak ± 80. Rute perjalanan ini dimulai dari jalan besar Tanjung Selamat- jalan Setia Budi - jalan Kapten Muslim - jalan Kapten Sumarsono - menuju jalan Veteran- jalan Marelan Raya hingga tiba dijalan Yos Sudarso Belawan dengan Jarak tempuh Tanjung Selamat-Belawan ± 36 Km dan lama perjalanan tersebut ditempuh ± 2 jam. Kondisi perjalanan Tanjung Selamat-Belawan bervariasi dimulai dari jalan besar Tanjung Selamat yang masih sangat minimal yaitu rusak dan berlubang karena wilayah tersebut merupakan salah satu desa di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli serdang yang jauh dari perkotaan sehingga tidak ditemukan pengendara maupun pengemudi angkutan kota mengalami kemacetan. Berbeda halnya di wilayah perkotaan yaitu jalan Setia Budi - jalan Yos Sudarso Belawan yang dilintasi oleh banyak pengendara mulai dari transportasi umum, pengendara motor, hingga truk yang banyak ditemukan di jalan Yos Sudarso Belawan akibatnya angkutan kota ini sering mengalami kemacetan lalu lintas. Rata-rata setiap sopir mengemudi mobil angkutan tersebut sebanyak 2 kali perjalanan Tanjung Selamat-Belawan setiap harinya sebelum pergantian sopir. Pergantian sopir dilakukan ditempat pemberhentian transportasi tersebut yaitu di

27

Universitas Sumatera Utara

(31)

Kelurahan Tanjung Anom, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Usia sopir tersebut beragam mulai dari remaja akhir hingga lansia akhir yaitu 20-56 tahun dengan daya tahan mengemudi yang berbeda-beda. Sebagian besar dari mereka hanya bisa melakukan 2 kali perjalanan dalam 1 hari dengan maksimal yaitu 3 kali perjalanan Tanjung Selamat-Belawan (pulang pergi). Sopir angkutan kota yang sudah melakukan 1 kali perjalanan atau menuju 2 kali perjalanan harus mengantri. Setiap Sopir harus mengikuti peraturan antrian antara sopir yang melaju dengan sopir yang berikutnya ± 10 menit.Sebagai contoh pada bagan berikut pada salah satu responden dengan 3 kali perjalanan :

Gambar 5.1 Transportasi PT. MARS trayek 130 dengan 3 trip

5.1.2. Deskripsi karakteristik responden

Responden pada penelitian ini adalah sopir angkutan kota PT MARS trayek 130 yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Sejumlah 50 kuesioner telah disebarkan kepada para responden dengan metode wawancara namun data yang digunakan dalam analisis sejumlah 46 kuesioner. Hal ini disebabkan responden tidak aktif dalam mengemudi angkutan kota tersebut. Berikut adalah tabel- tabel yang mendeskripsikan karakteristik responden dalam penlitian ini :

(32)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi (Orang) Persentase (%)

17-25 tahun 4 8.7

Berdasarkan usia responden yang didapatkan melalui pengisian kuesioner, usia responden berkisar antara 21-56 tahun. Pengelompokkan usia dibagi menjadi 5 kategori sesuai pengelompokan menurut Depkes (2009) dengan jumlah responden yang terbanyak adalah usia 36-45 tahun (32.6%) sedangkan jumlah paling sedikit adalah responden dengan usia 56-65 tahun (4.3%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)

IMT Frekuensi (orang) Persentase (%)

Underweight 6 13.0

Dari tabel 5.2, dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan IMT pada penelitian ini yang memiliki jumlah paling banyak adalah responden dengan IMT normal (26.1%) dan jumlah yang paling sedikit adalah responden dengan Underweight (13.0%).

Universitas Sumatera Utara

(33)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Hipertensi dan Risiko Menderita OSA

Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Riwayat hipertensi

Dari tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah responden terbanyak adalah responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi (65.2%) dan responden dengan risiko tinggi menderita OSA (58.7%)

5.1.3 Tingkat Risiko Responden Terhadap Risiko Menderita OSA Menurut IMT, Lingkar Leher dan Usia

(34)

Tabel 5.4 menunjukkan kelompok IMT, lingkar leher, dan usia yang cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah obese II (23.9%), lingkar leher <40 cm (39.1%) dan usia 36-45 tahun (21.7%).

5.2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko terjadinya

Obstructive Sleep Apnea (OSA), karakteristik sopir angkutan kota dan dinilai juga kelompok berisiko tinggi berdasarkan IMT, lingkar Leher, dan usia.

Tingkat risiko terjadinya OSA pada pengemudi angkutan kota yang memiliki risiko tinggi sebanyak (58.7%) dan risiko rendah sebanyak (41.3%). Hal ini dapat terjadi karena sebagian dari responden memiliki gejala baik itu mendengkur, Excessive Daytime Sleepiness, tekanan darah tinggi dan IMT >30 kg/m2 yang menjadi penilaian pada kuesioner Berlin dalam hal intrepretasi risiko tinggi terjadinya OSA (Neurophthalmol, 2012).

Dari tabel karakteristik pengemudi angkutan kota pada penelitian ini menunjukkan bahwa usia responden berkisar 21-56 tahun. Pengelompokkan usia dibagi menjadi 5 kategori sesuai pengelompokan menurut Depkes (2009) dengan jumlah responden yang terbanyak adalah usia 36-45 tahun (32.6%) sedangkan jumlah paling sedikit adalah usia 56-65 tahun (4.3%). Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiadnyana pada pengemudi taksi X di Jakarta didapatkan usia responden berkisar antara 36-48 tahun (54.29%). Berdasarkan IMT pada penelitian ini yang memiliki jumlah paling banyak adalah responden dengan IMT normal (26.1%) dan jumlah yang paling sedikit adalah responden dengan Underweight (13.0%). Penelitian yang dilakukan pada sopir angkutan kota trayek 104 Medan oleh Enike R. Siregar pada tahun 2008 juga didapatkan jumlah responden yang paling banyak adalah responden dengan Indeks Massa Tubuh yang normal (67.21%) dan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi adalah jumlah responden terbanyak pada sopir angkutan kota trayek 130 Medan (65.2%). Hal ini diakibatkan sebagian besar responden mengatakan tidak pernah minum alkohol dan riwayat keluarga yang tidak memiliki riwayat hipertensi

Universitas Sumatera Utara

(35)

dimana faktor-faktor tersebut sangat berperan terhadap risiko hipertensi (Kumalasari, 2012).

Dari tabel 5.4 kelompok IMT pengemudi angkutan kota pada penelitian ini yang cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah kategori Obese II (23.9%). Hal tersebut terkait dengan obesitas yang menjadi faktor risiko utama dalam pengembangan terjadinya OSA. Obesitas akan mempengaruhi perubahan anatomi pada saluran napas selama tidur akibat peningkatan volume lidah dan tulang hyoid bagian anterior (Garg et al, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kales pada tahun 2013 pada sopir pribadi di Amerika bagian Utara didapatkan 28% suspected OSA (tersangka menderita OSA) dengan IMT >26 kg/m2 dan pada studi lainnya didapatkan 40% masyarakat mengalami OSA dengan kelebihan berat badan (Jamie et al, 2010). Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kelompok IMT lainnya seperti underweight, normal, overweight, dan Obese I juga memiliki risiko tinggi terjadinya OSA namun dalam jumlah yang sedikit dibandingkan dengan kelompok IMT Obese II.

Pada penelitian Rajiv Garg dkk yang dikutip dari sakakibara et al dengan desain penelitian cross-sectional retrospective yang mengamati OSA pada

nonobese menunjukkan bahwa adanya perbedaan struktur tulang yaitu jarak thyromental yang lebih pendek dibandingkan dengan pasien normal. Hal ini ditunjukan dengan posisi dagu yang relatif lebih rendah dari kartilago tiroid dan dasar tengkorak. Pada studi retrospektif oleh Vivat tangugsorn dkk tahun 2001 melaporkan temuan serupa pada 71 pasien nonobese yang cenderung memiliki perubahan karakteristik anatomi kraniofasial seperti peningkatan soft palate, pengurangan wilayah anteroposterior nasofaring dan oral pharynx. Selain struktur anatomi, banyak faktor dalam pengembangan terjadinya OSA seperti konsumsi alkohol, merokok, supine sleep position,penggunaan sedatif, stroke, acromegaly, hypothyroidism, neurologic syndrome (Downey, 2014). Maka dari itu, peranan dalam terjadinya OSA bukan dari structur anatomi saja melainkan peranan dari banyak faktor (multifaktorial).

Kelompok lingkar leher pengemudi angkutan kota pada penelitian ini menunjukkan Lingkar Leher yang <40 cm cenderung memiliki risiko tinggi

Universitas Sumatera Utara

(36)

terjadinya OSA (39.1%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Douglas C. Cowan pada tahun 2013 didapatkan kemungkinan OSA yang memiliki kaitan dengan ukuran lingkar leher >17 inchi sebesar 69% dan pada penelitian Wiadnyana pada pengemudi taksi didapatkan lingkar leher >40 cm cenderung terjadinya OSA (95%). Hal ini berkaitan dengan penumpukan lemak pada daerah leher yang dapat membuat saluran napas atas menjadi lebih sempit akibatnya aliran udara akan semakin menurun dan akan mengalami ganguan napas selama tidur atau dikenal dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA) (Supriyatno dan Deviani, 2005). Namun pada penelitian ini didapatkan lingkar leher <40 cm cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA.

Dalam penelitian ini didapatkan 18 responden berisiko tinggi dengan lingkar leher <40 cm dengan IMT normal sebanyak 4 orang (22.2%) sedangkan responden dengan IMT berlebih sebanyak 12 orang (66.6%). Hal ini menunjukkan bahwa lingkar leher sebagai faktor risiko sangat dipengaruhi oleh Indeks Massa Tubuh. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian pasien OSA dengan IMT normal yang dibandingkan dengan pasien IMT overweight dan obese. Penelitian ini mengungkapkan bahwa lingkar leher bukan merupakan faktor utama dalam pengembangan terjadinya OSA melainkan Indeks Massa Tubuh. (Quintas et al, 2013).

Kelompok usia responden pada sopir angkutan kota yang cenderung memiliki risiko tinggi terjadinya OSA adalah usia 36-45 tahun (21.7%). Mekanisme pertambahan usia terkait dengan terjadinya OSA pada populasi umum masih belum jelas namun beberapa penelitian mengatakan bahwa pertambahan usia terkait dengan peningkatan deposisi lemak didaerah parapharygeal, perpanjangan langit-langit dan perubahan struktur tubuh di sekitar faring (Punjabi, 2008; Bixler et al, 1998). Data dari Wisconsin cohort study menunjukkan prevalensi OSA pada orang yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24% untuk laki-laki dan 4-9% untuk perempuan (Downey, 2014). Berdasarkan studi lainnya juga didapatkan bahwa usia memiliki peranan penting dalam pengembangan risiko terjadinya OSA. Pada usia 20-44 tahun didapatkan 3,2% mengalami OSA, usia 45-65 tahun 11,3% dan 18, 1% pada usia 61-100 tahun (Punjabi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

(37)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kalangan Sopir Angkutan Kota 130, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebanyak 58.7% sopir angkutan kota mengalami risiko tinggi terjadinya OSA.

2. Karakteristik sopir angkutan kota menunjukkan jumlah responden yang terbanyak adalah usia 36-45 tahun (32.6%), normal (26.1%) dan tidak memiliki riwayat hipertensi (65.2%).

3. Kelompok Indeks Massa Tubuh responden yang berisiko tinggi terjadinya OSA yaitu Obese II (23.9%)

4. Kelompok lingkar leher responden yang berisiko tinggi terjadinya OSA yaitu lingkar leher <40 cm (39.1%)

5. Kelompok usia responden yang berisiko tinggi terjadinya OSA yaitu usia 36-45 tahun (21.7%).

6.2. Saran

1. Orang yang berisiko tinggi akan cenderung menderita OSA oleh sebab itu disarankan bagi pembaca maupun sopir angkutan kota bisa menjaga berat badan yang ideal dan menjaga makanannya yang sehat untuk tetap mengontrol faktor risiko dalam pengembangan terjadinya OSA karena hal ini yang akan mempengaruhi kualitas kerja seseorang dan cenderung mengalami kecelakaan lalu lintas akibat mengantuk pada kalangan sopir angkutan.

2. Diharapkan karya tulis ini dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang OSA di kalangan sopir angkutan kota dan hal hal lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

34

Universitas Sumatera Utara

(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Tidur 2.1.1. Definisi

Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 2008). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter dan Perry, 2005).

2.1.2. Fisiologi

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons yang dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri, perabaan dan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2005).

Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu: 1. Fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga Active Sleep

2. Fase nonrapid Eye Movement (NREM) disebut juga Quiet Sleep

NREM terdiri dari 4 fase yaitu : a. Fase 1

Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG (elektroensefalografi). Pada EOG (elektrokulogram) tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG (elektromiogram). Pada fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah. (Arifin et al, 2010).

(39)

b. Fase 2

Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep

(Tortora dan Derrickson, 2009). Pada tahap ini terdapat kumparan tidur (sleep spindles), yakni letupan kumparan pendek pada gelombang alfa yang timbul secara periodik (Guyton dan Hall, 2008).

c. Fase 3

Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora dan Derrickson, 2009). Pada fase ini, gelombang delta menjadi lebih banyak dan fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda (Arifin et al, 2010). Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan (Tortora dan Derrickson, 2009).

d. Fase 4

Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam. Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta sekitar 50 % (Tortora dan Derrickson, 2009).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90 menit. Setelah itu muncul fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan berulang kembali setiap 75-90 menit. Siklus ini terjadi 4-5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal dengan lama tidur 7-8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap tiap siklus 75-90 menit (Arifin et al, 2010).

Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan relative dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki-laki muda (20-29 tahun), pertengahan (40-49 tahun), dan tua (70-90 tahun) akan memberikan gambaran pola tidur yang berbeda. Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua, tidur sering terlihat

Universitas Sumatera Utara

(40)

gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda 15 % waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu pasca pubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya kesegaran sesuai bertambahnya usia (Arifin et al, 2010).

2.1.3. Sistem Pernapasan saat tidur

Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena adanya hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami perubahan saat tidur dan berbeda untuk masing-masing NREM sleep dan REM

sleep. Selama NREM sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga menurun sehingga frekuensi napas juga ikut menurun Ventilasi selama REM sleep

juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Pada orang dewasa normal, selama tidur volume tidal menurun 15-20 % dan lebih dangkal pada stage REM dibandingkan dengan stage NREM (Pack, 2008).

Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal pada fase REM akan meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma, dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan reflex batuk juga terjadi selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam jiwa pada penderita asma sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan yang lain (Pack, 2008).

Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat 10 kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali lipat. Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran napas atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan penurunan atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin (SaO2) mengalami penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas,

Universitas Sumatera Utara

(41)

peningkatan resistensi saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan stimulus dari sistem pernapasan yang dapat memicu keadaan terbangun dari tidur (Arifin et al, 2010).

Oleh karena itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal tersebut yang dapat mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti hipertensi, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk (Downey, 2012).

2.2. Obstructive Sleep Apnea (OSA) 2.2.1. Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea (OSAH) merupakan ganguan tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara dimana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe ganguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode berulang dari kolapsnya saluran napas atas saat tidur. OSA dengan gejala Excessive Day time Sleepiness (EDS) disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome

(OSAS) maupun Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome (OSAHS). Meskipun penyakit ini umum, OSA adalah penyakit yang tidak terdeteksi oleh sebagian besar dokter di Amerika Serikat (Downey, 2014).

OSA merupakan bentuk umum Sleep-Disordered Breathing (SDB) yang telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan masyarakat (Antariksa, 2010).

Universitas Sumatera Utara

(42)

Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan ganguan klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas sehingga dapat mengurangi aliran udara pada hidung atau mulut. Episode berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea

(OSA) biasanya tidak menyadari dirinya terbangun secara berulang dan akhirnya akan mengakibatkan penurunan kualitas tidur yang menyebabkan kantuk di siang hari (WHO, 2007).

2.2.2. Epidemiologi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40-50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak-anak dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan sekitar 60 % pasien OSA memiliki berat badan lebih dari 20% diatas ideal, ukuran leher, area distal faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea

(Antariksa, 2010).

Sleep-Disorded Breathing (SDB) adalah penyakit yang paling umum terjadi di Amerika Serikat. National commission on sleep disorder research

memperkirakan bahwa SDB ringan memiliki Respiratory Disturbance index (RDI >5) sekitar 7-18 juta orang dan kasus yang relative berat (RDI>15) sekitar 1,8-4 juta orang di Amerika Serikat. Pada penelitian epidemiologi di Pennysylavania menunjukkan prevalensi pada perempuan sekitar 2% dan 4% untuk laki-laki. Data dari Wisconsin cohort study menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada orang yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24% untuk laki-laki dan 4-9% untuk perempuan (Downey, 2014).

Pada penelitian prevalensi terjadinya OSA pada pengemudi menunjukkan sekitar 17-28 % atau sekitar 2,4-3,9 juta orang terkena OSA (Kales et al, 2013).

Universitas Sumatera Utara

(43)

2.2.3. Klasifikasi

Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI) yang ditetapkan oleh the American academy of sleep medicine, dapat dibagi menjadi 3 golongan :

1. Ringan (nilai AHI 5-15 ). 2. Sedang (nilai AHI 15-30). 3. Berat (nilai AHI>30).

Faktor-faktor lain juga berpengaruh pada derajat OSA adalah desaturasi oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari (Antariksa, 2010).

2.2.4. Patofisiologi

OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya (collaps) saluran napas selama tidur, tempat paling sering terjadi obstruksi pada populasi dewasa adalah dibelakang ovula dan velofaring (palatum molle),

kemudian pada oropharynx, atau kombinasi keduanya (Sumardi et al, 2009). Penelitian mengatakan bahwa adanya faktor anatomi dan neuromuskular yang merupakan faktor penting terjadinya OSA. Faktor anatomi (contohnya pembesaran tonsil, volume lidah, jaringan lunak, atau dinding lateral faringeal, panjang palatum mole, posisi maksila dan mandibular) dapat berkontribusi pada penurunan luas permukaan saluran napas atas dan meningkatkan tekanan disekitar jalan napas, keduanya merupakan predisposisi kolapsnya jalan napas. (Downey, 2014).

Universitas Sumatera Utara

(44)

Gambar 2.1 saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita

mendengkur (sumber : Budhi Antariksa, 2010)

Aktivitas neuromuskular saluran bagian atas, termasuk aktivitas reflex akan menurun ketika tidur, dan penurunan ini akan lebih terasa pada pasien OSA. Berkurangnya ventilasi motor output pada otot saluran napas atas diyakini menjadi kejadian awal kritis untuk terjadinya obstruksi pada saluran napas bagian atas; efek ini yang paling menonjol pada pasien dengan jalan napas atas cenderung runtuh karena alasan anatomi (Downey, 2014).

2.2.5. Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah: 1. Gejala malam hari saat tidur

a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling/ ngiler) b. Mulut kering

c. Tidur tak nyenyak/ terbangun saat tidur

d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur

Universitas Sumatera Utara

(45)

2. Gejala saat pagi atau siang hari

a. Mengantuk

b. Pusing saat bangun tidur pagi hari c. Refluks gastroesofageal

d. Tidak bisa konsentrasi e. Depresi

f. Penurunan libido g. Impotensi

h. Bangun tidur terasa tak segar (Antariksa, 2010).

2.1.6. Faktor Risiko a) Umur

Peningkatan prevalensi SDB pada lansia muncul setelah 65 tahun diperkirakan 10 %. Namun ketika prevalensi tersebut dikontrol oleh indeks massa tubuh, tingkat keparahan SDB menurun dengan usia. Mekanisme terjadinya OSA pada lansia meliputi peningkatan timbunan lemak di daerah parapharyngeal, perpanjangan langit langit, dan perubahan dalam struktur tubuh sekitar faring (Jamie et al, 2010; Punjabi, 2008).

b) Jenis kelamin

Masih belum jelas mekanisme OSA lebih sering pada pria dari pada wanita. Hal ini dapat dikaitkan dengan anatomi dan sifat fungsional dari saluran napas bagian atas dan respon ventilasi terhadap arousals dari tidur. Studi pencitraan telah mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki peningkatan penumpukan lemak disekitar faring dibandingkan dengan wanita (Jamie et al,

2010). Pada beberapa penelitian menunjukkan laki laki yang mengalami OSA sekitar 3.2% pada usia 20-44 tahun, 11.3% pada usia 45-64 tahun dan 18.1% pada usia 61-100 tahun sedangkan pada perempuan 0.6% pada usia 20-44 tahun, 2.0% pada usia 45-64 tahun dan 7.0% pada usia 61-100 tahun (Punjabi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

(46)

c) Obesitas

Obesitas atau visceral obesitas adalah faktor risiko utama untuk pengembangan OSA, hal tersebut dianggap terkait dengan perubahan anatomi yang mempengaruhi obstruksi saluran napas selama tidur. Sejumlah penelitian epidemiologi sebelumnya telah meneliti hubungan obesitas dengan apena tidur. Dalam berbasis masyarakat dengan metode cohort pada subyek kaukasia, diperoleh kenaikan indeks massa tubuh dikaitkan terjadinya 4 kali lipat dalam prevalensi Sleep Apnea dan terdapat 40% masyarakat mengalami OSA dengan kelebihan berat badan tapi sehat (Jamie et al, 2010). Pada dewasa obesitas merupakan penyebab utama Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) sedangkan pada anak obesitas bukan merupakan sebagai penyebab utama (Supriyatno dan Deviani, 2005).

d) Faktor risiko penyakit

kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan : 1. Emfisema dan asma.

2. Penyakit neuromuskular (polio, myasthenia gravis, dll). 3. Obstruksi nasal.

4. Hypotiroid, akromegali, amyloidosis, paralisi pita suara, sindroma post- polio, kelainan neuromuskular, Marfan’s syndrome dan Down syndrome (Antariksa, 2010).

e) Lingkar Leher

Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur dan Obstructive Sleep Apnea Syndrome

(OSAS). Penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran napas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofaring yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran napas atas pada waktu tidur (Supriyatnodan Deviani, 2005).

Universitas Sumatera Utara

(47)

2.2.7. Diagnosis

Polisomnografi adalah tes diagnostik standar untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA). Meskipun dianggap sebagai " standar emas ", polysomnogram ini memiliki keterbatasan. Hal ini membutuhkan pasien menginap semalam di laboratorium tidur staf dengan teknisi ahli yang dapat mengumpulkan dan menginterpretasikan data fisiologis yang kompleks. Proses ini memakan waktu, dan dapat mahal (Punjabi, 2008).

Polisomnografi menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-ukolografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya periode apnea dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam. Dinyatakan OSA bila AHI lebih dari 5 kali perjam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara minimal 10 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas, dan campuran keduanya (Sumardi et al, 2009).

Sebelum dilakukan Polisomnografi, pasien akan diminta kesediannya untuk mengisi kuesioner berlin untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadinya OSA (Antariksa, 2010). Kuisioner berlin adalah perangkat diagnostik sederhana yang telah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan hipertensi (Weinreich et al, 2006).

Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner. Brouilette dkk, menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat diprediksi dengan suatu questionnaire score yang dapat disebut skor OSAS.

Universitas Sumatera Utara

(48)

SKOR OSAS = 1,42D + 1,41A+ 0,71S-3,83

 D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

 A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

 S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1:sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:

 Skor < -1 : bukan OSAS

 Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS

 Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor >3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi yaitu sensitivitas 80% dan spesifisitas 97% (Supriyatno dan Deviani, 2005; Sharkey, 2014).

2.2.8 Penatalaksanaan

Semua pasien yang didiagnosis dengan OSA harus mendapatkan edukasi tentang pentingnya mengubah gaya hidup, terutama untuk menurunkan berat badan dengan program Alert Well And Keeping Energetic (A.W.A.K.E). Semua pasien dengan penurunan berat badan 10-15% harus dinilai gejala-gejala OSA dan membutuhkan penanganan dengan Positive Airway Pressure (PAP). Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti Oral Appliances (OAs), Positive Airway Pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan pasien dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan Positive Airway Pressure devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk tindakan bedah (Prasenohadi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

(49)

Penatalaksanaan yang berkaitan dengan gaya hidup :

1. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti :

a. Penurunan berat badan

b. Mengurangi konsumsi alkohol, khusunya sebelum tidur c. Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine) d. Good sleep hygiene

e. Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur. 2. Konsumsi alkohol

Kadar alkohol saat tidur (0,5 – 0,75Ml/kg) dapat meningkatkan resistensi inspirasi selama stage 2 Non-Rapid Eye Movement (NREM) tidur pada laki-laki muda normal (Prasenohadi, 2010).

3. Obesitas

Karena obesitas merupakan faktor prediktif utama untuk OSA, penurunan berat badan mengurangi risiko OSA. Data terbaik menunjukan bahwa pengurangan 10% berat badan menyebabkan penurunan 26% dalam Respiratory Disturbance Index (RDI) (Downey, 2014).

Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat : 1. CPAP (Continious Positive Airway Pressure)

Pemberian tekanan positif merupakan tatalaksana yang efektif dalam menangani OSA diikuti dengan trakeostomi. CPAP sampai saat ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk memberikan tekanan positif. Teknik ini noninvasive atau nonfarmakologik, dengan memberikan tekanan positif ke jalan napas atas untuk mengatasi obstruksi atau kolaps yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

(50)

2. BIPAP (Bi-levelPositive Airway Pressure)

BIPAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA.

3. Oral Appliances

Oral Appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang tidak toleran dengan pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices dapat memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien dengan keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan temporomandibular dan keterbatasan membuka mulut.

4. Tindakan bedah

Berbagai macam tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengurangi gejala obstruksi jalan napas atas yang menyebabkan OSAS ringan. Pertimbangkan untuk memperbaiki sumbatan sebelum menggunakan Oral Appliance atau Positive Airway Pressure (PAP) device.

a. Septoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki septum hidung deviasi yang menyebabkan obstruksi hidung. Tindakan ini memberikan keberhasilan yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

(51)

b. Nasal polypectomy – pembedahan intranasal untuk mengangkat polip hidung.

c. Tonsillectomy – pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal. Tindakan ini memperbaiki obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.

d. Turbinoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan mengurangi besarnya sumbatan hidung. Tindakan ini berupa reseksi sebagian area inferior atau menghilangkan area inferior dengan beberapa metode seperti elektrokauter, ablasi laser dan reduksi radio frekuensi. Hasil dari seluruh metode tersebut hampir sama.

e. Tracheostomy – membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke dalam bagian atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan napas atas sehingga hampir 100% Sleep Apnea dapat diatasi. Bagaimanapun juga metode ini memberikan stigma sosial karena ada pipa trakeostomi dan perawatan daerah trakeostomi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bagi pasien Sleep Apnea (Prasenohadi, 2010).

2.3. Pengukuran Risiko menderita OSA

Berlin Questionnaire (BQ) merupakan suatu alat yang berguna untuk mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan dapat diselesaikan dalam beberapa menit dan telah divalidasi sebagai alat skrining. Berlin Questionnaire (BQ) terdiri dari 3 kategori. Kategori 1 merupakan pertanyaan terkait keluhan mendengkur, kategori 2 merupakan rasa mengantuk di Siang hari, serta kategori 3 tentang riwayat hipertensi dan BMI (Neurophthalmol, 2012).

Universitas Sumatera Utara

(52)

Gambar 2.2. Berlin Questionnaire (BQ) untuk OSA

(sumber: J Neuroophthalmol, 2012).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi atau berisiko rendah menderita OSA. Skor dari kategori pertama dan kedua adalah positif, jika tanggapan responden menunjukkan gejala sering (> 3-4 kali / minggu), sedangkan skor dari kategori ketiga adalah positif jika ada riwayat hipertensi atau BMI> 30 kg/ m2. Pasien diberi skor sebagai berisiko tinggi untuk OSA jika mereka memiliki nilai positif pada 2 atau lebih kategori (Neurophthalmol, 2012).

Universitas Sumatera Utara

(53)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut keputusan Menteri perhubungan Nomor KM 35 tahun 2003, angkutan kota merupakan angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kota dengan menggunakan mobil, bus umum yang terikat dalam trayek. Profesi sebagai sopir angkutan kota merupakan profesi yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan profesi yang lain. Ciri khas tersebut terdapat pada lingkungan kerja yang luas, jam kerja yang lebih panjang, dan sistem gaji yang fluktuatif perharinya, ditambah dengan risiko kecelakaan yang tidak dapat diprediksi (Wiadnyana et al, 2010). Profesi sebagai sopir angkutan umum maupun angkutan kota juga mempunyai etika dalam menjalankan pekerjaannya salah satunya adalah ketika mengemudikan angkutan kota, sopir angkutan kota harus dalam keadaan normal dan sehat termasuk pola tidur pengemudi. Pengemudi hendaknya beristirahat jika dalam keadaan mengantuk, hal itulah yang harus diperhatikan oleh sopir angkutan kota yang berguna untuk kesehatan diri sendiri

dan dapat mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas (Yuwono, 2011). Kondisi medis seperti sulitnya tidur maupun rasa mengantuk di siang hari

merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan. Suatu penelitian deskriptif

cross-sectional yang dilakukan oleh Ozer dkk (2014), menunjukan 49 dari 320 sopir angkutan umum (15,3%) mengalami rasa mengantuk di siang hari yang dikaitkan oleh tanda prediktif kecelakaan lalu lintas. Scott (2006) yang dikutip oleh Wiadnyana (2010), menyatakan excessive day time sleepiness terjadi pada pasien dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Keadaan ini yang meningkatkan risiko kecelakaan 7,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa

Obstructive Sleep Apnea (Santos et al, 1999).

Universitas Sumatera Utara

(54)

Obstructive Sleep Apnea adalah ganguan bernapas saat tidur yang berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas pada keadaan tidur (Sumardi dkk, 2009). Secara umum, gejala OSA berupa rasa mengantuk dan lelah pada siang hari. Kondisi ini sering diabaikan oleh tenaga kesehatan pada pasien yang memiliki risiko OSA, sehingga banyak pasien yang mengalami ganguan ini tidak terdiagnosis bahkan tidak diterapi (Wiadnyana et al, 2010). Keadaan ini yang dapat menggangu kualitas hidup maupun fungsi kerja dan prestasi kerja yang memungkinkan risiko kecelakaan pada seseorang sangat tinggi (Cowan et al, 2014).

Beberapa penelitian mengenai prevalensi OSA sangat dikaitkan dengan obesitas dan faktor gaya hidup. Meskipun terdapat banyak faktor risiko terjadinya OSA yaitu faktor struktural seperti hipertropi tonsil dan adenoid, faktor

nonstructural seperti obesitas, merokok, alkohol dan lain-lain. Obesitas adalah yang paling sering menyebabkan OSA (Sidartawan, 2006). Pada penelitian sebelumnya mengenai prevalensi yang dilakukan pada pengemudi taksi X di Jakarta yang dilakukan oleh I Putu Gede Panca Wiadyana dkk, menunjukan bahwa terdapat hubungan indeks massa tubuh, lingkar leher sebagai prediktor terhadap risiko mengalami Obstrusksi Sleep Apnea yang semakin tinggi ditandai dengan indeks massa tubuh ≥ 25 serta lingkar leher ≥ 40 cm. Pada penelitian tersebut terdapat survei bagian kesehatan pada salah satu PT X yang menunjukkan bahwa 40% pengemudi mengalami berat badan lebih (Wiadnyana et al, 2010).

Berdasarkan keterangan diatas, terjadinya OSA pada pengemudi angkutan umum ataupun angkutan kota sangat tinggi yang diakibatkan oleh faktor

nonstructural yaitu obesitas. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan OSA terhadap risiko terjadinya OSA pada pengemudi angkutan kota. Seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berisiko mengalami OSA akan mengurangi efek yang negatif bagi kesehatan dirinya sendiri dan juga mengurangi risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas oleh karena pengemudi tersebut mengantuk. Maka dari itu, penelitian dilakukan di kalangan sopir angkutan kota kabupaten Deli Serdang Kecamatan Pancur Batu, kota Medan karena daerah tersebut merupakan salah satu tempat pemberhentian

Universitas Sumatera Utara

(55)

beberapa angkutan kota yang melakukan perjalanan jauh sehingga dapat mengetahui tanda prediktif kecelakaan lalu lintas dari gejala rasa mengantuk di siang hari yang dikaitkan dari Obstructive Sleep Apnea. Selain itu Penelitian ini dilakukan di kalangan sopir angkutan kota karena belum pernah dilakukan penelitian untuk menilai risiko OSA pada sopir angkutan kota di Medan. Peneliti juga merasa perlu melakukan penelitian ini yang disebabkan oleh tenaga kesehatan maupun dokter tidak menyadari kondisi pasien tersebut berisiko mengalami OSA dan pada akhirnya banyak pasien tidak terdiagnosis dan tidak diterapi (Wiadnyana et al, 2010). Risiko mengalami OSA akan menyebabkan banyak pasien maupun pengemudi mengalami masalah-masalah sosial seperti terjadinya penurunan fungsi kerja yang berakibat pengemudi tersebut mengalami risiko kecelakaan cukup tinggi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah : “ Bagaimana tingkat risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA)

pada pengemudi angkutan kota di Medan?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko terjadinya

Obstructive Sleep Apnea pada sopir angkutan kota di Medan. 1.3.2. Tujuan khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui karakteristik sopir angkutan kota 130

b. Untuk mengetahui kelompok IMT yang berisiko tinggi terjadinya OSA.

c. Untuk mengetahui ukuran Lingkar leher yang berisiko tinggi terjadinya OSA.

d. Untuk mengetahui kelompok usia yang berisiko tinggi terjadinya OSA

Universitas Sumatera Utara

(56)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : a. Bagi petugas kesehatan

Sebagai bahan informasi kepada pihak petugas kesehatan untuk dapat mengetahui gejala dan faktor risiko OSA sehingga pasien dapat didiagnosis dan diterapi dengan baik.

b. Bagi masyarakat

Sebagai bahan tambahan informasi kepada masyarakat mengenai gejala OSA sehingga masyarakat yang mengalami gejala OSA dapat dikontrol dan dievaluasi lebih dini.

c. Bagi peneliti

Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan dalam menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

d. Bagi sopir angkutan kota

Sebagai informasi kepada sopir angkutan kota terhadap risiko OSA sehingga dapat mengantisipasi secara dini dan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Universitas Sumatera Utara

Gambar

Tabel 3.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Tabel 3.2 Kategori usia
Gambar 5.1 Transportasi PT. MARS trayek 130 dengan 3 trip
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
+4

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul : Sistem Deteksi Obstructive Sleep Apnea (OSA) menggunakan Interval RR Elektrokardiogram dengan Jaringan Syaraf

Untuk mengetahui pengaruh BMI dan lingkar leher teerhadap risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea dan hubungan hasil kuesioner Berlin dengan snoring dan

Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas sehingga dapat mengurangi aliran udara pada

Sewaktu tidur oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun

Latar belakang: Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang

Latar belakang: Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang

Data risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) diambil dengan menggunakan kuesioner penelitian yang diadaptasi dari kuesioner Berlin dan pengukuran indeks massa tubuh

HUBUNGAN KADAR LEPTIN DENGAN DERAJAT KEPARAHAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA OSA Hasil Penelitian untuk Karya Ilmiah/Tesis Andyna Cylvia 22041318310007 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS