• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Perempuan Shopaholic Di Kota Medan (Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Perempuan Shopaholic Di Kota Medan (Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

1 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FENOMENA PEREMPUAN SHOPAHOLIC DI KOTA MEDAN

(Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

FITRIA WIDYA LESTARI

060901010

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

2 ABSTRAKSI

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari. Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan belanja saat berada dalam situasi emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti fenomena perempua shopaholic ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

(3)

3 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, anugerah dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mulai dari semester pertama sampai pada penyusunan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul : “Fenomena Perempuan Shopaholic di Kota Medan (Studi Kasus pada Perempuan Shopaholic di Kota Medan)”.

Skripsi ini secara khusus penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Adi Suwito dan Ibunda Dwi Susanti. Beribu-ribu ucapan terimakasih tidak akan dapat membalas setiap doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang mereka yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudari kandung penulis yang tersayang Yudha Hadiwinata, ST ; Widya Sartika ; Aji Pranata Negara atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama ini.

(4)

4 1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si selaku dosen pembimbing penulis yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis di tengah-tengah kesibukan beliau yang cukup padat. Beliau senantiasa sabar dalam membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai. Berkat beliau penulis memperoleh banyak pengetahuan baru mengenai sistematika penulisan, metode penelitian dan hal-hal baru yang berkaitan dengan penyusunan skripsi.

5. Penguji I dan Penguji II yang akan menguji penulis dalam sidang meja hijau. 6. Kak Fenni Khairifa, S.Sos, M.Si selaku staf administrasi di Departemen

Sosiologi. Terimakasih atas segala bantuannya.

7. Kak Nurbaiti selaku pegawai pendidikan bagian Departemen Sosiologi. Terima kasih atas bantuannya selama ini.

8. Seluruh dosen di Departemen Sosiologi dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan di kampus ini. 9. Senior-senior penulis yang telah menjadi alumni (Ferdinan Delessed Girsang,

(5)

5 memberikan berbagai pengalaman kepada penulis. Terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama ini. Semoga kita menjadi orang yang berhasil dan berguna untuk masyarakat luas. Amin.

10.Untuk rekan-rekan satu stambuk dan seperjuangan penulis : Eric Christian Pasaribu, Jhon Anggredi Sitio, Maya Novita, S.Sos, Vivi Syahfitri, S.Sos, Theo Panggabean, S.Sos, Herbin Martin, Riandiko, Chandra, Prabu, Irma, Dilla, Zulfadli, Asma, dan kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih banyak buat kebersamaan kita selama ini. Banyak hal yang telah kita lewati bersama selama menjalani perkuliahan di kampus tercinta. Terimakasih juga karena telah memberikan sumbangan pemikiran dan motivasi kepada penulis.

11.Junior-junior penulis di Departemen Sosiologi : Martinus Alfredo Munthe, S.Sos, Lia Lidia Saragih, S.Sos, Martogi, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih buat doa dan dukungannya kepada penulis.

12.Para informan yang telah berbagi kisah hidup dan pengalaman dengan penulis.

13.Semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat bantuan dan kerjasamanya.

(6)

6 saran yang cukup membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak.

Medan, April 2013 Penulis,

(7)

7 DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Definisi Konsep ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi dan Gaya Hidup ... 9

2.2. Teori Labeling……….………...…...9

2.3. Kondisi Status Sosial Ekonomi Masyarakat...……….12

2.4. Teori Kebutuhan………...13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 18

(8)

8

3.3.1. Unit Analisis ... 19

3.3.2. Informan ... 19

3.4.Teknik Pengumpulan Data ... 21

3.5. Interpretasi Data ... 22

3.6. Keterbatasan Penelitian ... 23

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL INFORMAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………...24

4.1.1. Sun Plaza ”SURGA” bagi Perempuan Shopaholic Kota Medan...29

4.2. Profil Informan...32

BAB V INTERPRETASI DATA 5.1. Shopaholic ... 40

5.2. Perilaku Konsumen...43

5.3. Gaya Hidup………...………..56

5.4. Teorisasi Gaya Hidup.……….65

5.5. Pertukaran Simbolik……….65

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan………..67

6.2. Saran………69

(9)

2 ABSTRAKSI

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari. Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan belanja saat berada dalam situasi emosional, dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti fenomena perempua shopaholic ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

(10)

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan para sosiolog. Meski media massa menggunakan istilah dengan agak “serampangan”, sebenarnya seorang shopaholic sering merasa terasing, sangat ketakutan, dan kehilangan kendali diri. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasar pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki, dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari.

(11)

10 shopaholic yang berasal dari London. Koleksi belanjaannya yang banyaknya hingga

setinggi atap baru ketahuan setelah dia meninggal dunia secara wajar di bawah gunungan pakaian dan barang-barang lainnya. Bungalow Joan di Heaton Mersey, dekat Manchester, Inggris, dijejali belanjaan aneka barang. Hal itu membutuhkan waktu berkunjung ke rumah itu hingga 5 kali untuk menemukan Joan yang ternyata telah meninggal dunia. Demikian dilansir Sydney Morning Herald, Kamis (30/7/2009).

(12)

11 kematiannya karena selama ini Joan enggan menerima tamu. Roy yakin sifat obsesif Joan pada belanja dimulai sejak 16 tahun lalu. Joan biasa meninggalkan rumah pagi-pagi dan pulang larut malam karena dia takut pada gerombolan anak muda yang biasa berkeliaran di kawasan itu yang pernah melempari rumahnya dengan batu dan merusak perkakas berkebunnya. "Itu sungguh tak bisa dipercaya, barang-barang membumbung hingga atap,"katanya.

Tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic. Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami

shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.

2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.

3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

(13)

12 8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

Shopaholic dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:

1. Sering mengalami kehabisan uang padahal masih awal bulan.

2. Dapat mengakibatkan seseorang memiliki hutang dalam jumlah yang besar karena untuk memenuhi pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja.

3. Dapat mengakibatkan seseorang dipecat dari pekerjaannya karena melakukan pemborosan dengan menggunakan uang perusahaan.

4. Memicu seseorang untuk melakukan tindak kriminal (seperti mencuri, memeras, korupsi, dan lain-lain) hanya karena ingin mendapatkan uang demi memenuhi dorongan untuk belanja yang terus-menerus dalam dirinya.

5. Dapat mengakibatkan perceraian karena pasangan dari si penderita shopaholic merasa tersiksa dengan uang yang selalu dihabiskan pasangannya hanya untuk berbelanja dan berbelanja.

6. Dapat mengakibatkan pertengkaran karena pemborosan yang dilakukan oleh penderita shopaholic.

7. Dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri karena dalam dirinya selalu muncul pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja dan si penderita merasa tersiksa jika tidak melakukan pikiran-pikiran obsesinya tersebut.

(14)

13 1. Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa

manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.

2. Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.

3. Iklan-iklan yang ditampilkan diberbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres. 4. Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah dampak gaya hidup perempuan shopaholic terhadap kondisi sosial ekonomi keluarga?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(15)

14 1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai referensi tentang gaya hidup dari teori kebutuhan untuk perkembangan ilmu sosiologi.

2. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

3. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh institusi-institusi sosial ekonomi dalam melihat realita kehidupan perempuan shopaholic, sehingga dapat diambil tindakan guna mencegah semakin meluasnya shopaholic yang berlebihan.

4. Data yang diperoleh nantinya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam membuat program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang shopaholic, misalnya lembaga pendidikan.

1.5. Definisi Konsep

(16)

15 1. Shopaholic

Shopaholic adalah kata yang berasal dari shop yang berarti belanja, dan aholic

yang menandakan bahwa kebiasaan ini adalah suatu ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau tidak. Jadi, shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontinu (terus menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.

2. Perempuan shopaholic adalah perempuan yang mempunyai uang berlebih dan menghabiskan uangnya untuk berbelanja (gila belanja) sebagai bentuk kepuasan ataupun hobi. Dalam penelitian ini perempuan shopaholic difokuskan pada perempuan yang gila belanja kebutuhan sandang seperti pakaian, tas dan sepatu di butik terkenal yang ada di Sun Plaza.

3. Konsumtivisme

(17)

16 4. Fenomena

(18)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsumsi dan Gaya Hidup

Konsumsi dipandang dalam sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkaitan pada aspek-aspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan dengan masalah selera identitas atau gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang dan ketergantungan pada persepsi tentang selera dari orang lain. Selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group). Aktor-aktor kolektif atau kelompok status berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam (Weber dalam Damzar, 2002:136).

Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status yang dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Situasi kelas ditentukan secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial terhadap kehormatan.

2. Teori Labeling

(19)

18 negatif dan sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang. Individu yang rentan terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah labeling.

Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku. Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

(20)

19 tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.

Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

(21)

20 dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya. Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya. Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.

3. Kondisi Status Sosial Ekonomi Masyarakat

(22)

21 Kedudukan (status) seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu yang dinamakan prestise simbol (status simbol). Cirri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian hidupnya yang telah institutionalized atau bahkan internalized. Ada beberapa cirri-ciri tertentu yang dianggap sebagai status simbol, seperti cara berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, cara dan corak menghias rumah kediaman dan seterusnya (Soekanto, 2001:267).

Kehidupan manusia secara wajar telah dilihat dari segi tingkat pendapatannya serta besar jumlah uang yang dikonsumsi juga tidak terlepas dari posisi di dalam pergaulan hidup dan di dalam lingkungan. Dalam hidup manusia memiliki seperangkat nilai yang telah tertanam di dalam dirinya. Suatu nilai adalah suatu konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang dianggap buruk. Yang baik akan dianutnya sedangkan yang buruk akan dihindarinya. Sistem nilai-nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman manusia di dalam berinteraksi yang kemudian membentuk pergaulan hidup, oleh karena :

1. Nilai-nilai abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang. 2. Nilai-nilai tersebut senantiasa diisi dan bersifat dinamis.

3. Nilai-nilai merupakan kriteria untuk mencapai tujuan hidup yang terwujud dalam perikelakuan (Soekanto, 2001).

4. Teori Kebutuhan

(23)

22 orang yang memiliki cita-cita sangat tinggi, sedangkan ada juga yang hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Ada yang sudah puas menjadi ibu rumah tangga, tetapi di sisi lain ada juga yang ingin menjadi presiden. Apa yang membuat mereka termotivasi, dan apa yang membuat mereka tidak termotivasi. Pertanyaan-pertanya semacam itu sudah ada sejak beberapa puluh tahun silam, dan salah satu orang mencoba menjawab pertanyaan tersebut adalah Abraham Maslow. Abraham Maslow sudah pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam karyanya yang dipublikasikan dengan judul, “Theory of Human Motivation” pada tahun 1943.

Pada karyanya tersebut, Abraham Maslow memperkenalkan pemikirannya mengenai motivasi dihubungkan dengan kebutuhan manusa. Ia menjelaskan mengenai hirarki kebutuhan manusia dengan konsep, “Piramid Kebutuhan Maslow”. Dengan model ini, Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan manusia bertingkat, mulai dari kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi pada bagian bawah piramid, dan kebutuhan manusia meningkat terus ke atas apabila jenis kebutuhan yang dasar sudah terpenuhi. Mulai dari kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis, kemudian berlanjut ke kebutuhan akan keamanana (safety), kebutuhan dicintai (Love/belonging), kebutuhan untuk rasa percaya diri (Esteem), dan kebutuhan puncak, yaitu aktualisasi diri (self-actualization).

4.1 Kebutuhan Fisiologis

(24)

23 mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya ataupun kebutuhan aktualisasi diri. Logika sederhananya: bagaimana seseorang dapat memikirkan prestasi atau aktualisasi diri, bila dirinya terus menerus dihantui rasa ketakutan akan kelaparan?

4.2 Kebutuhan Keamanan (Safety)

Pada hirarki tingkat kedua, manusia membutuhkan rasa keamanan dalam dirinya. Baik keamanan secara harfiah (keamanan dari perampok, orang jahat, dan lain-lain), maupun keamanan secara finansial ataupun hal lainnya. Dengan memenuhi kebutuhan keamanan tersebut, dapat dipastikan bahwa kebutuhan manusia dapat berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu kebutuhan kasih sayang dan sosial.

4.3 Kebutuhan Kasih Sayang / Sosial (Love / Belonging)

Setelah memenuhi 2 kebutuhan yang bersifat individu, kini manusia menapaki kebutuhan untuk diterima secara sosial. Emosi menjadi “pemain” utama dalam hirarki ketiga ini. Perasaan menyenangkan yang dimiliki pada saat kita memiliki sahabat, seseorang untuk berbagi cerita, hubungan dekat dengan keluarga adalah tujuan utama dari memenuhi kebutuhan sosial ini.

4.4Kebutuhan Percaya Diri (Esteem)

(25)

24 Abraham Maslow. Kebutuhan untuk percaya diri ini biasanya muncul setelah ketiga kebutuhan yang lebih mendasar sudah terpenuhi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan semacam ini dapat muncul tanpa harus memenuhi ketiga kebutuhan yang lebih mendasar.

4.5Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization)

Umumnya, kebutuhan ini akan muncul bila seseorang merasa seluruh kebutuhan mendasarnya sudah terpenuhi. Pada hirarki ini, biasanya seseorang akan berhadapan dengan ambisi untuk menjadi seseorang memiliki kemampuan lebih. Seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya akan suatu hal.

Abraham Maslow menemukan model piramid kebutuhan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap beberapa orang yang dianggapnya mencapai tahap aktualisasi diri tersebut, seperti Albert Einstein. Ia beranggapan bahwa tidak semua orang dapat mencapai tahap yang tertinggi, karena dalam hidup, pasti ada banyak hal yang menyebabkan tahapan kebutuhan dalam piramid Maslow tidak dapat tercapai.

(26)
(27)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Nawawi, 1994 : 2004). Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh), misalnya tentang perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya (Moleong, 2005:4). Studi kasus adalah suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetil, dan komprehensif. Studi kasus dapat juga didefenisikan sebagai suatu metode yang dipergunakan dalam penelitian ilmu sosial, memberikan penekanan pada pengumpulan data mengenai sebagian atau seluruh unsur kehidupan seseorang atau suatu kelompok, maupun hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam situasi sosial atau kebudayaan tertentu (Yin, 2003 : 1).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian peneliti yaitu di Kota Medan. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah :

(28)

27 2. Arus informasi, baik dari media elektronik dan media cetak sangat mudah diakses sehingga hal ini dapat memungkinkan menjadi penyebab perempuan shopaholic. 3. Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti berdomisili sehingga memudahkan

dalam mengakses data yang diperlukan.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2005:132). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kaum shopaholic.

3.3.2 Informan

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : 1. Informan Kunci

a . Perempuan Shopaholic

Yang memiliki karakter, yaitu perempuan berusia 20-50 tahun, yaitu mereka yang memiliki hobby belanja ke butik terkenal yang ada di Sun Plaza yang menghabiskan uang secara berlebih untuk membeli kebutuhan sandang seperti tas, pakaian dan sepatu demi menyalurkan kepuasan ataupun hobi belanja mereka.

(29)

28 b. Keluarga

Yaitu orang-orang yang merupakan bagian dari kekeluargaan informan kunci baik suami maupun orangtua akan memperoleh dampak shopaholic anak perempuan dan persepsi nilai-nilai sosial ekonomi yang ada dalam keluarga.

2. Informan Biasa

Adapun yang menjadi informan yang biasa adalah : a. Masyarakat Umum

Informan yang ingin diperoleh dari informan ini berupa pengetahuan mereka tentang shopaholic, pandangan mereka tentang shopaholic, persepsi mereka tentang shopaholic.

Adapun kriteria dari informan ini adalah :

1) Hidup berdampingan (bersama) dengan shopaholic.

2) Telah tinggal di Kota Medan dalam jangka waktu minimal 10 tahun. Hal ini dimaksudkan agar informan tersebut mengetahui secara pasti tentang shopaholic.

(30)

29 b. Toko (Store)

Informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini berupa data-data yang berhubungan dengan jumlah pengunjung, data-data mengenai eksistensi shopaholic dan sebagainya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan data primer dan sekunder.

1. Data primer, diperoleh melalui : a. Observasi

Observasi merupakan suatu bentuk pengamatan dari objek penelitian dimana peneliti hanya menjadi pengamat yang pasif. Disini peneliti akan mengamati secara langsung bagaimana shopaholic menghabiskan uangnya ke store, selain itu peneliti juga mengamati seperti apa bentuk mereka menghabiskan uangnya hanya untuk belanja.

b. Wawancara Mendalam

(31)

30 menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Hal-hal yang akan diwawancarai berupa pergeseran yang terjadi dalam kehidupan shopaholic, bagaimana realita kehidupan shopaholic. Dan dalam proses wawancara tersebut peneliti akan menggunakan catatan lapangan untuk mencatat data-data yang nantinya diperoleh, selain itu juga menggunakan tape recorder sebagai alat perekam yang dapat untuk mengumpulkan data selama proses wawancara berlangsung.

2. Data sekuder, diperoleh melalui :

a. Studi kepustakaan, yaitu menggunakan buku-buku atau referensi lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.

b. Dokumentasi, seperti arsip-arsip yang dimiliki oleh informan dalam penelitian ini yang dapat mendukung kelengkapan data penelitian.

3.5. Intepretasi Data

(32)

31 3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang dialami oleh peneliti ketika berada di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Peneliti harus mengeluarkan biaya yang cukup besar selama melakukan penelitian di lapangan dikarenakan harus mewawancarai informan di tempat mereka berbelanja dan tentunya untuk melakukan wawancara yang membutuhkan waktu yang banyak tentu dalam bertanya masalah informasi yang dibutuhkan peneliti harus mengajak mereka untuk sekedar bersantai di foodcourt agar informan mau untuk meluangkan waktu mereka yang pastinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan wawancara dari informan yang satu dan informan yang lainnya.

(33)

32

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL INFORMAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Medan Sebagai Kota Metropolitan

(34)

33 untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi

(35)

34

Peta Kecamatan di Kota Medan

(36)

35 Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut :

Utara : Selat Malaka

Barat : Kabupaten Deli Serdang Selatan : Kabupaten Deli Serdang Timur : Kabupaten Deli Serdang

Secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Sungai

Sedikitnya ada sembilan

1.

2.

(37)

36

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan, pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama Medan Kanal Timur.

(38)

37 4.1.2 Sun Plaza ”SURGA” bagi Perempuan Shopaholic Kota Medan

Sun Plaza merupakan pusat perbelanjaan menengah ke atas di kawasan komersial strategis kota selesai mulai sejak pada tanggal bangunan 6 lantai (termasuk Lower Ground dan Ground Floor) yang dirancang dengan konse

Sun Plaza pembukaan publik diresmikan mulai sejak pada tanggal diadakannya pembukaan. Sun Plaza menjadi lokasi favorit anak muda dan wisatawan luar negeri karena kenyamanan dan lengkapnya barang-barang yang tersedia. Sun Plaza sering menjadi tempat diadakannya berbagai acara penting dari konser artis-artis ibukota yang sebelumnya pernah diadakan di

Letaknya yang sangat strategis membuat pusat perbelanjaan ini ramai dikunjungi oleh pelajar, mahasiswa, serta para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Sun Plaza juga berdekatan dengan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Mesjid Agung Medan (mesjid terbesar di Sumatera), SMA Negeri 1 Medan, dan Apartemen Cambridge. Di pusat perbelanjaan ini terdapatdepartment store

(39)

38 Mesjid terbesar di Medan), hingga hunian (Apartemen Cambridge). Lokasi strategis membuat mal ini mudah dijangkau serta banyak dikunjungi berbagai kalangan, tak terkecuali wisatawan baik dalam maupun luar negeri seperti maupun internasional di antaranya lain sebagainya.

Salah satu Mal terbesar di Medan adalah Sun Plaza. Mal ini terletak di kawasan yang strategis, dekat dengan kantor Gubernur Medan, Masjid Agung Medan, SMA Negeri 1 Medan, dan Apartemen Cambridge. Mal ini mulai berdiri sejak tanggal 1 Januari 2003, terdiri dari 6 lantai yang dirancang dengan konsep mal untuk belanja keluarga. Sun Plaza diresmikan tanggal 1 Januari 2004 oleh Gubernur Medan, dan telah banyak dikunjungi oleh warga sekitar. Di area Sun Plaza juga sering diadakan hiburan-hiburan seperti konser musik, pameran, atraksi-atraksi dan lain-lain.

(40)

39 Indonesia artinya toko serba ada atau departement store. Terdapat aneka macam barang yang tersedia di Soho, mulai dari pakaian, perlengkapan bayi, makanan kemasan, makanan hewan, tas, sepatu, dan lain-lain.

Sun Plaza juga sebagai pusat hiburan dan arena games. Seperti mal-mal besar

lainnya, Sun Plaza menyediakan kids station, yang merupakan tempat bermain

anak-anak, dan game station, tempat bagi gamers yang senang berburu game-game baru.

Banyak produk game station yang dijual disini, seperti PSP, Playstation, Nintendo,

X-Boox, dan lain-lain. Bagi yang gemar berburu gadget, Sun Plaza menyediakan

beberapa stand gadget, mulai dari ipad, i-phone, smart phone, notebook, tablet,

hingga PC tersedia disini. Tak jarang banyak wisatawan yang gemar berbelanja

mengunjungi tempat ini, mereka membawa keluarga mereka. Namun harga

barang-barang disini memang mahal, karena memang konsep mal ini didirikan untuk

masyarakat menengah keatas. Jadi jangan heran, bila banyak orang berdasi dan

(41)

40

Namun bagi mereka yang mempunyai bujet minim, juga dapat berjalan-jalan, sekedar melepas penat, tanpa harus membeli apapun di sini. Mereka juga dapat menjelajahi mal yang super luas ini, dari lantai ground hingga lantai 6, atau hanya sekedar melihat-lihat barang-barang dengan kualitas tinggi, dan harga yang tinggi pula.

4.2 Profil Informan 4.2.1 Resty (24 tahun)

(42)

41 uang bulanan dari orangtuanya. Dia juga kerap bekerja paruh waktu. Meski begitu, Resty termasuk orang yang tidak pernah menetapkan budget khusus untuk belanja. Pernah dalam sekali belanja di sebuah toko buku, dia sampai membeli 30 novel. Kalau sedang tidak punya uang, Resty akan menggunakan kartu kredit.

4.2.2 Mia Karina (26 Tahun)

(43)

42 4.2.3 Sartika Anjeline (26 tahun)

Sartika mengaku mendapatkan kesenangan tersendiri ketika membelanjakan uangnya. Kebiasaan belanjanya ini semakin menjadi-jadi ketika dia sudah bekerja dan punya uang sendiri. Tidak ada budget khusus untuk memenuhi hobi belanjanya. Tapi jika dikira-kira dalam sebulan dia bisa menghabiskan Rp. 7.000.000 atau lebih. Sebagai kolektor sepatu, dia paling tidak tahan godaan ketika masuk ke toko favoritnya Guess dan Nine West. Dalam sekali beli, pernah langsung tujuh pasang sepatu dibelinya. Sartika juga merasa akan ada yang kurang jika datang ke mal, tidak membeli sepatu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh informan kepada peneliti :

"Kayanya ada aja yang kurang kalo pulangnya nggak bawa

apa-apa. Aku merasakan kesenangan tersendiri ketika membuka sepatu

dari kantungnya pas di rumah."

(Hasil wawancara dengan informan, Desember 2012)

Wanita berusia 26 tahun ini bisa langsung bad mood kalau ketinggalan event sale yang sedang berlangsung di mal. Sebagai kolektor sepatu, koleksi sepatunya tidak hanya dibeli di Indonesia tetapi juga sampai ke luar negeri, seperti yang dikatakan oleh informan kepada peneliti :

"Pernah di Malaysia lagi diskon Vincci, aku panik

ngambil-ngambilin sepatu udah banyak banget terus pas udah mau bayar

dikasir, aku lihat ada sepatu lagi di ujung rak yang bagus banget,

(44)

43 ketinggalan dikasir dengan keadaan terbuka, untungnya ada yang

kasih tau."

(Hasil wawancara dengan informan, Desember 2012)

4.2.4 Arnie Widjaya (23 tahun)

(45)

44 4.2.5 Susan Widjaja (22 tahun)

Susan termasuk 'impulsive buyer' yang tidak bisa menahan diri untuk membeli ketika melihat sesuatu yang benar-benar dia sukai. Mahasiswi yang juga berprofesi sebagai model ini sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan fashion. Dia pun kerap mengincar barang-barang bermerek. Barang bermerek favoritnya adalah koleksi dari perancang terkenal seperti Stella Mccartney dan tas Marc Jacobs. Untuk urusan tas biasanya dia beli langsung di luar negeri karena lebih valid keasliannya dibanding kalau beli di Indonesia. Selain itu, ia juga mengoleksi sepatu-sepatu dari Linea, Ferragamo, Pedder Red. Susan pun mengoleksi produk fashion produksi dalam negeri. Biasanya dia akan datang ke event seperti Brightspot untuk menemukan produk unik dari desainer Indonesia seperti Nikicio, Cotton Ink, dan brand-brand lainnya dari Goods Dept. Dalam berbelanja, Susan tidak pernah memiliki budget khusus. Dalam sebulan biasanya dia bisa menghabiskan Rp. 7.000.000. Dia juga termasuk tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Pernah dalam suatu kesempatan dia sampai meminjam uang ke teman-temannya untuk sebuah tas Furla.

4.2.6 Ruth (48 Tahun)

(46)

45 "Sebulannya aku tuh bias ngabisin uang Rp. 5.000.000 sampai Rp.

10.000.000 cuma buat beli sepatu dan baju doang."

(Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Ibu dari dua anak ini sangat suka memakai sepatu dari merek Yves Saint Laurent (YSL). Dia begitu cinta dengan merek tersebut karena haknya di atas 12 cm. Sepatu dengan heels memang benar-benar disukainya. Saking sukanya, Ruth termasuk wanita yang tidak pernah memakai sepatu flat atau sandal, meski di rumah sekalipun. Bahkan, ketika memasak pun dia memakai high heels. Hal ini seperti yang disampaikan oleh wanita yang hobi membaca Alkitab, memasak dan fitness itu kepada peneliti :

"Terkadang, waktu masak saja aku pakai high heels lho karena

aku senang pakai sepatunya."

(Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Koleksi Ruth tidak hanya sebatas sepatu Louboutin dan YSL. Ada berbagai merek ternama yang juga dimiliki olehnya, seperti Chanel, Hermes, Prada, Louis Vuitton, Roberto Cavalli, Karen Millen, Diane von Furstenberg (DVF), Herve Leger, dan Dolce & Gabbana (D&G).

(47)

46 "Karena aku suka banget sama gaunnya, ya aku beli aja sampai

empat potong. Jadi semua harganya delapan jutaan gitu.”

(Hasil wawancara dengan informan, Januari 2013)

Ketika berbelanja, Ruth memang tidak tanggung-tanggung. Bila sudah suka dengan baju atau sepatu, dia akan membeli semua warna dengan tipe yang sama. Ruth pasti setiap minggu mengajak keluarganya untuk pergi berbelanja ke Sun Plaza. Ruth juga tidak jarang pergi ke Singapura hanya untuk memuaskan nafsu belanjanya dan memburu barang-barang yang sangat diinginkannya. Ruth juga menurunkan perilaku shopaholicnya kepada kedua anak perempuannya, Jemima Lavie dan Daniella Clary. Dia juga mengajarkan kedua buah hatinya agar tidak menggunakan kartu kredit saat belanja, lebih baik tunai atau debit untuk mendispilinkan diri. Sifat gila belanja Ruth itu pun rupanya menurun dari ibu kandungnya. Namun, dia baru mulai cinta belanja ketika duduk di bangku kuliah, seperti yang disampaikan oleh istri pengusaha kelapa sawit ini kepada peneliti :

"Dari mulai kuliah aku sudah senang belanja, apa yang kupakai

suka dibeli sama temen, jadi sudah kebiasaan dari kuliah. Apa

yang kupakai jadi ikon diri sendiri dan jadi trendsetter di kalangan

mahasiswi di kampusku,hahaha."

(48)
(49)

48

BAB V

INTERPRETASI DATA

5.1 Shopaholic

Shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontiniu (terus-menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.

Meskipun para ahli mengatakan bahwa 90 persen dari shopaholic adalah wanita, tetapi sebenarnya pria juga bisa “terjangkit” penyakit ini. Sebagian besar dari lelaki tidak mau mengakui, tetapi mereka berdalih kebiasaan berbelanja hanya sebagai hobi untuk dikoleksi. Misalnya, belanja telepon genggam, laptop, MP3 player, barang otomotif dan lainnya.

(50)

49 Beberapa tahun terakhir ini, shopaholic atau compulsive shopper telah menjadi perhatian berbagai program televisi dan majalah perempuan. Mereka juga telah menjadi topik perbincangan. Tidak diragukan lagi, kita hidup dalam masyarakat yang sangat “gemar belanja”. Kita hidup berdasarkan pada kekayaan yang kita miliki dan banyak dari kita yang hidup dalam belitan hutang. Banyak orang, berapapun penghasilannya, memandang belanja sebagai sebuah hobi. Mereka menghabiskan akhir pekan dengan berbelanja, menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak mereka miliki dan sering menyesali perbuatannya di kemudian hari.

Seorang shopaholic belanja di luar kendali. Mereka akan terus-menerus belanja meskipun telah jauh terbenam dalam hutang. Mereka akan belanja saat tertekan secara emosional dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja. Mereka membeli barang-barang karena mereka merasa “harus”. Seorang shopaholic adalah seseorang yang lepas kendali.

Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mal dapat dikatakan shopaholic. Seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

(51)

50 2. Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.

3. Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.

4. Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dan lain-lain yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.

5. Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.

6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.

7. Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.

8. Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.

(52)

51 Maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik menimbulkan tekanan bagi banyak orang untuk mengubah dan mengupayakan sekuat tenaga bagi tercapainya pemenuhan standar nilai kehidupan baru yang harus serba berkelas, bergengsi dalam pengertian penampilan fisik dan pemilikan terhadap hal-hal yang sifatnya materialistis. Iklim kehidupan yang kian impersonal menggusur kebutuhan empati dan afeksi menjadi sekedar komoditas yang bisa dibeli dengan uang atau digantikan dengan barang yang terukur nilai tukarnya. Rasa terasing (alienasi) akibat ritme hidup dan ritme kerja yang serba cepat, juga rasa cemas yang menggangu zona internal psikologis sebagai efek komplikatif dari beban hidup, ketatnya persaingan untuk merebut terbatasnya kesempatan, deraan trauma masa lalu yang dibayangi lumuran sugesti negatif akibat rasa khawatir yang terus dipelihara sebagai spirit untuk bertahan hidup, secara serempak memberikan andil bagi suburnya wabah shopaholic dalam kehidupan sebagian orang yang tidak mampu dan sempat menyadari situasi serta kondisi kehidupan aktualnya.

5.2Perilaku Konsumen

(53)

52

1. Teori Nilai Guna Kardinal

Bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan setiap konsumen dapat diukur dengan apapun (sama seperti dalam hukum Gossen), artinya tinggi rendahnya nilai suatu barang tergantung pada tiap penilaian.

2. Teori Nilai Guna Ordinal

Pengukuran kepuasan setiap konsumen diurutkan dalam tingkatan-tingkatan tertentu (misalnya tinggi, sedang, rendah).

5.2.1 Budaya Konsumen

Budaya Konsumen dapat diartikan sebagai budaya-budaya yang dilakukan oleh seorang konsumen. Adapun budaya konsumen menggunakan image, tanda-tanda dan benda-benda, simbolik yang mengumpulkan mimpi-mimpi, keinginan dan fantasi yang menegaskan keauntentikan romantik dan pemenuhan emosional dalam hal menyenangkan diri sendiri bukan orang lain; secara narsistik. Budaya konsumen biasanya dilakukan oleh kelompok menengah, hal ini dikarenakan mereka lebih memiliki banyak waktu luang dan mereka juga memiliki cukup uang untuk mengisi waktu luangan, seperti berfoya-foya.

(54)

53 keterkaitan pandangan-pandangan normatif, daripada oraganisasi sosial produksi yang secara klasik menjadi basis struktur kelas. Konsumsi dalam arti luas mengacu pada seluruh tipe aktivitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa kita pakai untuk mencirikan dan mengenali mereka, selain apa yang mungkin “lakukan” untuk hidup.

Konsumsi memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan struktur sosial produksi. Untuk satu hal, ia melibatkan mereka yang tidak bekerja, seperti para pemuda, orang tua, pengangguran, dan juga paling penting adalah para perempuan yang dalam ekonomi modern umumnya tidak di harapkan menjadi produsen ekonomi. Konsumsi seperti yang di pahami ini perlu memasukkan pola-pola waktu luang masyarakat, yang di cirikan sebagai ekspektasi baru untuk pengendalian dan penggunaan waktu dengan cara-cara yang bermakna secara pribadi. Bocock menandaskan bahwa “konsumsi adalah suatu proses perubahan yang secara historis di konstruksi secara sosial. Konsumsi telah menjadi fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai cultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen.

(55)

54 McKendrick menulis mengenai inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan standar kehidupan, perubahan dalam tekhnik komersial dan keahlian-keahlian promosi, atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri”. Inggris memunculkan presden dalam revolusi ini, karena di sana ada penyebaran yang relative sempit struktur sosial kontemporer. Pabrik-pebrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada mulanya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat penting bagi kreasi fashion popular, tetapi keuntungan yang sangat besar yang diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan tiruan-tiruan barang tersebut kepada khalayak umum.

(56)

55 proses komersialisasi waktu luang terus menerus tumbuh pada abad ke-19, yang sangat penting sekali untuk ditekankan pada aspek domestic dari periklanan barang konsumsi sebagaimana dicontohkan Plums tentang komersialisasi anak-anak sebagai objek waktu luang dan kemewahan yang baru untuk kegemara orang tua yang merupakan bagian penting dari munculnya budaya konsumen.

Pemikiran ulang dinamika modernisasi melibatkan pergeseran dari pandangan pentingnya penekanan bahwa modernitas melibatkan “pergantian dunia modern awal dan eropa abad pertengahan yang didominasi pandangan mengenai takdir Tuhan oleh perkembangan kemajuan dunia pengetahuan dan sain mengenai pengungkapan rahasia alam dan eksplorasi rasional. Logika moderitas adalah fashion bukanlah eksploitasi irasional melainkan merupakan suatu pencarian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekuler secara mendalam.

(57)

56 abstrak dari kegemaran konsumen terbentuk melalui pembangunan pusat-pusat kota sebagi pusat-pusat hiburan yang berlebihan-fantasi taman kenikmatan abad ke 18 diubah kembali menjadi dunia ilusi yang lebih wah. Pada era budaya konsumen ditandai dan dilembagakan denganlahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Istana yang selalu berlimpah barang ini menawarkan kebebasan baru dan kesempatan untuk kegemaran.

Dalam anonimitas impersonal para pembelaja sama sekali bebas untuk mengembara seperti dan sebagaimana yang mereka harapkan serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas tanpa batas untuk memenuhi cita rasa pribadi dan merancang program-program perjalanan pribadi. Pusat-pusat perbelanjaan merupakan unsur yang paling nyata dalam tranformasi pusat-pusat metropoloitan, yang menawarkan kesempatan baru bagi para pelanggan manapun baik secara langsung maupun melalui kiriman untuk menjarah benda-benda duniawi. Selanjutnya, toko-toko yang juga bagian dari hiruk pikuk metropolitan yang melalui impian, imajinasi, imperialis, menganggap dunia diluar moderitas diciptakan untuk dieksploitasi.

(58)

57 Kritik moral terhadap konsumerisme seperti yang diperkenalkan sebagai atau kebutuhan yang “tidak autentik”. Pada saat yang sama diakui adanya kebutuhan dan ambivalensi kutural yang lebih luas mengenai perubahan sosial konsumerisme. Implikasi konsumerisme dengan menegaskan bahawa sebagai mana gaya hidup memamerkan sensibilitas normative maka mereka akan mengekspresikan respon yang sangat berbeda terhadap nilai-nilai konsumerisme. Asumsi bahwa perempuan merupakan pelanggan utama budaya konsumen, boleh jadi sudah ketinggalan jaman pada tahun-tahun terakhir, tetapi secra tradional sebenarnya berakar pada pembedaan antara produksi dan konsumsi. Pembedaan antara ruang-ruang tersebut secra fisik ditandai oleh perbedaan antara rumah dan pekerjaan, suatu pembedaan yang semakin jelas dengan adnya pembangunan pemukiman pinggiran kota karena pemisahan yang tegas antara sektor pekerjaan dan rumah tangga.

(59)

58 Pemasaran konsumen terutama sering kali diarahkan pada para pelanggan perempuan dan sekalipun begitu belum tepat mengatakan bahwa perempuan telah atau saat ini tengah berada dibarisan terdepan inovasi gaya hidup. Kendala sosial tradisional dan alamiah dalam hal perdangan adalah diacuhkannya rayuan terhadap pelanggan perorangan. Karakteristik lahirnya budaya konsumen mengabaikan hal yang bersamaan dengan perkembangan industry waktu luang kecuali konteks waktu luang sebagai salah satu benda dalam budaya konsumen. Komersialisasi waktu luang merupakan pergeseran dari bentuk-bentuk permainan dan perayaan komunal menjadi jenis-jenis hiburan komersial yang di sediakan para pengusaha, yang merupakan tahapan penting dalam perkembangan budaya kelas menengah yang unik. Hal yang penting bahwa usaha-usaha komersial yang baru di bidang hiburan terutama akan di tujukan kepada para khalayak kelas menengah karena memiliki sumber budaya untuk menyediakan waktu dan uang untuk menikmati hiburan-hiburan tersebut. Dan tentu saja hiburan yang telah terlembaga sebagai bentuk budaya. Penting juga mengakui bahwa dunia kelas pekerja industry perkotaan yang baru juga memiliki karakter yang khas dengan tersedianya hiburan waktu luang dari sejak awal. Peningkatan secara cepat kota-kota pantai inggris dan spa-spa tertentu yang digunakan sebagai tempat peristirahatan untuk hari raya selama lebih 200 tahun terakhir.

(60)

59 juga karena bidang ini memperkejakan sejumlah besar orang dalam produksi dan presentasi dan mereka membutuhkan investasi modal yang besar untuk mempertahankan pasar mereka. Industri waktu luang sama saja dengan bentuk-bentuk benda konsumsi lainnya karena mereka memainkan karakteristik structural yang sama seperti yang telah kita catat sebelumnya dalam hal persyaratan standarisasi metropolitan yang dilengkapi dengan konsumsi terprivatisasi pasar domestik.

5.2.2 Dampak dari Budaya Konsumen

Dampak dari budaya konsumen ini adalah :

1. Hedonisme atau memuja kesenangan sesaat 2. Konsumerisme

3. Kapitalisme

Contoh dampak dari budaya konsumen, misalnya senang dengan budaya-budaya atau kegiatan yang tidak memiliki banyak manfaat, seperti nonton film di bioskop, asyik nonton televisi dan mengalihkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting, membeli tas-tas yang memiliki merk-merk tertentu.

5.2.3 Macam-macam Perilaku Konsumen

Selain teori, perilaku konsumen juga dibagi menjadi 2, yaitu :

(61)

60 Artinya, konsumen mampu memilih barang yang hendak dikonsumsi secara matang dalam penggunaan dan harga serta terkadang kualitas/keawetan barang.

2. Perilaku Irrasional

Artinya, konsumen tidak mampu memilih barang yang henda dikonsumsi dan membeli barang akibat pengaruh dari luar atau hanya untuk prestise sehingga konsumen irrasional juga terkadang diartikan (bagi beberapa orang) sebagai shopaholic.

5.2.4 Perilaku Konsumsi Perempuan

(62)

61 masyarakat, karena sering terjadi ketidaksignifikanan korelasi antara kegiatan konsumsi dengan penghasilan.

Saat ini, budaya kapitalisme dan hedonisme dengan berbagai ragam bentuknya telah menggejala begitu derasnya. Salah satunya adalah budaya konsumerisme yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari budaya kapitalistik yang terlihat secara mencolok dengan tegaknya pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, menjangkitnya trend mode atau fashion, menjamurnya kafe-kafe, kontestasi idol dan sederet ikon modernitas lainnya. Ikon-ikon modernitas tersebut lebih banyak didomisili oleh kehadiran perempuan-perempuan muda yang cantik dan feminim meskipun tidak sedikit pula ikon budaya modern direpresentasikan dengan model pria yang gagah dengan kesan macho. Perempuan lebih rentan menjadi maniak belanja atau berperilaku konsumtif. Perempuan juga sering tidak dapat menahan diri ketika melihat barang-barang dengan trend baru yang fashionable , sehingga wanita sering disebut makhluk shopaholic.

(63)

62 tersebut perempuan merasa bebas menentukan pilihan apapun terhadap karir dan apa yang ingin dikonsumsinya.

Hal di atas bertolak belakang ketika Indonesia menghadapi kekejaman para penjajah dimana wanita kembali digambarkan sebagai sosok yang tidak diperhitungkan dan dianggap remeh. Misalnya, penyiksaan yang dialami wanita pribumi. Tampak para wanita tidak luput dari penindasan serdadu-serdadu Jepang. Mereka dipaksa menyerahkan perhiasan sebagai modal Jepang melakukan perang, dipaksa menumbuk padi untuk kemudian diserahkan kepada Jepang, memasak untuk keperluan tentara Jepang, bekerja paksa di pabrik pembuatan sake, menyapu jalan dan yang paling parah adalah penipuan Jepang dengan iming-iming akan disekolahkan yang ternyata diculik dan disekap guna memenuhi kebutuhan seks para tentara Jepang (Nurdiyansah. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia : Ada di Mana? Jurnal Perempuan : YJP).

(64)

63 Fashion lekat kaitannya dengan benda-benda yang memanjakan bagian-bagian tubuh wanita mulai dari ujung rambut sampai kaki. Misalnya, sepatu atau sandal yang sebenarnya benda sepele, tetapi menjadi sesuatu yang istimewa dan membutuhkan perhatian lebih. Sepatu atau sandal mempunyai sejarah tersendiri, salah satunya pada zaman Tokugawa di Jepang (1600-1867) yang secara khusus menegaskan bahwa setiap kelas sosial hendaknya membuat sandalnya masing-masing (Roach dan Eicher, 1979). Di Indonesia pun juga memiliki sejarah yang istimewa terhadap sebuah sepatu pada tahun 1950-an ketika Bung Hatta menginginkan sepatu merek Bally. Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Hal yang sangat mengharukan adalah bahwa guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Bung Hatta.

(65)

64 menggoda kaum wanita untuk mengkonsumsinya. Hal itu tidak lagi hanya dapat ditemui di perkotaan atau di daerah pusat tempat-tempat publik seperti Jakarta tetapi sudah merambah di segala penjuru. Konsumsi sepatu sebagai salah satu gaya hidup memberi kode semiotik untuk menampilkan image dan identitas.

5.3Gaya Hidup

Gaya hidup menurut Kotler (2002) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat) dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya.

(66)

65 persahabatan dan cinta. Sedangkan Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah konsep diri. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya (Kottler dalam Sakinah, 2002). Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya.

Menurut Lisnawati (2001) gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang dialami. Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan

dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit (Hardinger dan Shryock, 2001).

(67)

66 sebagainya dengan lingkungannya melalui cara yang unik yang menyimbulkan status dan peranan individu bagi linkungannya. Gaya hidup dapat dijadikan jendela dari kepribadian masing-masing invidu. Setiap individu berhak dan bebas memilih gaya hidup mana yang dijalaninya, baik itu gaya hidup mewah (glamour), gaya hidup hedonis, gaya hidup punk, gaya hidup sehat, gaya hidup sederhana, dan sebagainya.

5.3.1 Konsep Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Maksudnya adalah siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Sementara itu, gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu kelompok.

(68)

67 Hal tersebut mengikuti Weber (1966), yaitu antara status sebagai lawan dari kelas, untuk menunjukan perhatian terhadap perbedaan sosial yang berasal dari cara penggunaan sumber daya ketimbang cara mengghasilkannya (Chaney, 2009).

Bayley (Chaney, 2009) mengemukakan bahwa keangkuhan (snoberry) dan cita rasa (taste) saling berkaitan erat dalam perkembangan modernitas. Cita rasa adalah sebuah agama baru dengan upacara-upacara yang dirayakan di pusat-pusat perbelanjaan dan museum. Kelas-kelas sosial dalam dunia modern dilukiskan dan dilembagakan. Pemilihan kelompok tersebut disadari oleh pelaku maupun orang lain, melalui ciri-ciri gaya hidup yang disimbolkan dengan material.

Pemasaran gaya hidup lebih dekat dengan bahasa sensibilitas karena produk yang terpengaruh dengan nilai simbolik atau nilai sosial kemudian diposisikan secara implisit sesuai dengan nilai-nilai gaya hidup lainnya. Gaya hidup pribadi dalam pendangan ini menimbulkan permintaan akan pencarian barang, jasa, ataupun aktivitas secara pribadi yang membentuk pola pergaulan yang dirasakan.

Menurut Chaney (1997) ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain :

1. Industri Gaya Hidup

(69)

68 sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada!” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.

2. Iklan Gaya Hidup

Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.

3. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup

(70)

69 jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.

4. Gaya hidup mandiri

Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.

5. Gaya Hidup Hedonis

Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan, seperti lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.

(71)

70 artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.

5.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup

Amstrong (Nugraheni, 2003) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi gaya hidup, yaitu dari dalam diri individu (internal) dan dari luar individu (eksternal).

Faktor Internal 1. Sikap

Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu. Melalui sikap, individu memberi respon positif atau negatif terhadap gaya. Keadaan jiwa dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.

2. Pengalaman dan pengamatan

(72)

71 3. Kepribadian

Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu. Kepribadian mempengaruhi selera yang dipilih seseorang, sehingga mempengaruhi pula bagaimana gaya hidupnya.

4. Konsep diri

Konsep diri menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya.

5. Motif

Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar, maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.

6. Persepsi

(73)

72 Faktor Eksternal

1. Kelompok Referensi

Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.

2. Keluarga

Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu. Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.

3. Kelas sosial

Kelas sosial juga mempengaruhi gaya hidup. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan dan peran. Hierarki kelas sosial masyarakat menentukan pilihan gaya hidup.

4. Kebudayaan

Referensi

Dokumen terkait

Saya ragu – ragu ketika akan menghabiskan uang saya untuk membeli barang kebutuhan saya2. Ketika saya melakukan pembelian, saya curiga penjualnya mengambil untung

Ciri-ciri usaha mikro adalah jenis barang/ komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti; tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat

Partisipan AA pada awalnya mengaku sempat merasakan marah, maupun tidak suka kalau dipoligami, disamping orang tua yang tidak mempermasalahkan partisipan AA

Seorang presenter harus memiliki penampilan yang menarik masyarakat yang menyaksikannya sehingga tidak membosankan, serta selalu memiliki volume suara yang prima dalam

Membeli beras jenis lain di tempat yang sama.. Tidak Tersedia

Dengan berbagai kekerasan yang dialami oleh para anak jalanan, maka dapat dipastikan selain untuk mencari uang di jalanan, mereka juga mau tidak mau harus

efisiensi waktu, tanpa harus bertatap muka dengan penjual kita bisa membeli barang yang diinginkan,tanpa harus menuju toko tersebut dimana masyarakat akan mengalami kesulitan

Bong (2011) mengidentifikasikan indikator-indikator dari pembelian impulsif dengan serangkaian pertanyaan berikut: konsumen selalu membeli barang-barang yang tidak