• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Simtom Refluks Gastroesofageal dengan Derajat Beratnya Asma di RSUP H Adam Mallk Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Simtom Refluks Gastroesofageal dengan Derajat Beratnya Asma di RSUP H Adam Mallk Medan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Simtom Refluks Gastroesofageal

dengan Derajat Beratnya Asma

di RSUP H Adam Malik Medan

TESIS

OLEH

SYAFRIZAL NASUTION

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG

LENGKAP DEWAN PENILAI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAN

DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENDAPATKAN

KEAHLIAN DALAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

Pembimbing Tesis

Prof Dr Habibah H Nasution, SpPD-Psi Dr.Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

Disahkan oleh :

Ka. Departemen Ketua Program Studi

Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, kami dapat

menyelesaikan tesis ini yang berjudul : “Hubungan Simtom Refluks Gastroesofageal

dengan Derajat Beratnya Asma di RSUP H Adam Mallk Medan “ yang berlangsung

sejak bulan Maret sampai Juni 2012. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan Pendidikan Magister Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini maka penulis ingin menyampaikan rasa terima

kasih dan hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr.Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH. Selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan

kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.

2. Dr Zuhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr Zainal Safri Sp.PD-SpJP sebagai Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang membantu, membentuk penulis

menjadi ahli penyakit dalam yang berilmu, handal dan berbudi luhur.

3. Seluruh staf Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK – USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP H.

Adam Malik Medan : Prof Harun Rasyid Lubis, Prof H.Bachtiar Fanani Lubis, Prof.

Hj.Habibah Hanum Nasution, Prof Sutomo Kasiman, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain

SpPD-KGEH, Prof OK Moehadsyah, Prof. M.Yusuf Nasution, Prof Dr Gontar A

Siregar SpPD-KGEH, Dr Betthin Marpaung, , Dr Mabel Sihombing, DR Dr Juwita

Sembiring , Dr Alwinsyah Abidin, Dr Abdurahim Rasyid Lubis, Dr Dharma

Lindarto, Dr Yosia Ginting, Dr Refli Hasan, Dr EN Keliat, Dr Zuhrial , Dr Lenardo

Dairy, Dr. Armon Rahimi, Dr Daud Ginting, Dr. Tambar Kembaren, Dr Saut

Marpaung, Dr Mardianto, Dr Zuhrial, DR Dr Blondina Marpaung merupakan

guru-guru yang telah banyak memberikan petunjuk kepada saya selama mengikuti

(4)

4. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dan

kemudahan serta keizinan dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit

dalam menunjang pendidikan keahlian.

5. Para sejawat peserta PPDS-I, perawat serta paramedis lainnya dan seluruh karyawan /

karyawati di lingkungan SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr Pirngadi

Medan / RSUP H. Adam Malik Medan atas kerja sama yang baik selama ini.

6. Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Dr Pirngadi Medan / RSUP H Adam Malik Medan, karena tanpa mereka tidak

mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

7. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada Prof Dr Habibah Hanum Nasution, SpPD-KPsi dan Dr Alwinsyah Abidin

SpPD-KP sebagai kepala Divisi Pulmonologi dan Alergi-Immunologi yang telah

banyak memberikan bimbingan dan kemudahan dalam melaksanakan penelitian

yang kami lakukan sampai selesainya karya tulis ini.

Dengan mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah SWT yang

telah memberikan kesehatan kepada penulis sekeluarga, tidak mungkin akan terlupakan

rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada ayahanda Abdul Rachmat Nasution (Alm)

dan ibunda Hj Delima Siregar (Alm) yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik, dan

menyekolahkan penulis, serta memberikan dukungan secara moril maupun materil demi

kemajuan penulis. Semoga ini semua dapat memberikan kebahagiaan dan kepuasan batin

bagi orangtuaku. Kedua mertuaku, Dr. H Rustam Effendi YS Sp.PD dan Dr Hj Chairul

Rahmah Sp.PK penulis mengucapkan rasa hormat atas dukungannya selama ini .

Kepada istriku tercinta Dr. Imelda Rey, SpPD sulit memilih kata-kata yang tepat

untuk menyampaikan betapa rasa terima kasih penulis atas kesabaran, dukungan

semangat dan pengorbanan yang telah kamu berikan selama ini. Kepada anakku

tersayang, Astrid Beauty Clarissa Nasution yang selalu menjadi pendorong dan penambah

(5)

Kepada almarhum abang, kakak, adik kandungku dan seluruh anggota keluarga

yang telah memberi semangat dan dorongan moril maupun materil selama ini, penulis

ucapkan terimakasih.

Sebenarnya masih banyak lagi ucapan terima kasih yang selayaknya saya

sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu pada

kesempatan ini, dalam hal ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang

setulusnya secara menyeluruh.

Medan, Juli 2012

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... vii

ABSTRAKS... viii

BAB I . PENDAHULUAN ... 1

BAB II . TINJAUAN KEPUSTAKAAN... 4

2.1. Defenisi RGE ... 4

2.2. Patofisiogi RGE ... 5

2.3. Gejala Klinis RGE ... 7

2.3.1. Heartburn ... 8

2.3.2. Regurgitasi ... 9

2.4. Faktor Predisposisi RGE Pada Asma ... 10

2.5. Faktor RGE Sebagai Pencetus Asma ... .... 13

2.6. Gejala Klinis PRGE Pada Penderita Asma ... ... 15

2.7. Pendekatan Diagnosa PRGE Pada Penderita Asma... .... 17

2.8.Penanganan Penderita Asma Dengan PRGE... 18

2.8.1. Terapi Medis... 19

2.8.2. Terapi Pembedahan... 21

2.8.3. Pendekatan Terapi PRGE Pada Penderita Asma... 22

BAB III PENELITIAN SENDIRI ... ………. 27

3.1. Latar Belakang Penelitian ... 27

3.2. Perumusan Masalah ... 29

(7)

3.4. Tujuan Penelitian ... 29

3.5 Manfaat Penelitian ... 30

3.6. Bahan dan Cara ... 3.6.1 Disain penelitian ... 31

3.6.2 Definisi operasional ... 31

3.6.3 Waktu dan tempat penelitian ... 33

3.6.4 Subjek Penelitian ………. .... 33

3.6.5 Kriteria yang dimasukkan ... 33

3.6.6 Kriteria yang dikeluarkan ... 33

3.6.7 Jumlah sampel ... 34

3.6.8 Cara penelitian ... 35

3.6.9 Analisa data ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 3.7. Data Umum Hasil Penelitian ... ……… 37

BAB V. PEMBAHASAN ... 42

BAB VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1.Kesimpulan ... 45

6.2.Saran ... 45

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 46

LAMPIRAN ... 49

Lampiran 1 : Master Tabel ... ….. 49

Lampiran 2 : Daftar Riwayat Hidup... ….. 51

(8)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1 : Daftar obat yang menurunkan tekanan LES ... 13

Tabel 2 : Gejala klinis PRGE pada Asma ... 18

Tabel 3 : Klasifikasi derajat asma menurut GINA yang direvisi tahun

2002 yang di Update 2005……….. 32

Tabel 4 : Data Karakteristik demografik penderita asma

dan Kontrol... 38

Tabel 5 : Derajat asma dan skor RGE total ,skor Frekwensi RGE dan

Skor Keparahan RGE ... 38

Tabel 6 : Prevalensi Simtom RGE, Heartburn, Regurgitasi pada

Kelompok Asma dan Kontrol... 40

Tabel 7 : Gambaran perbedaan nilai rata rata skor RGE menurut

beratnya asma... 40

Tabel 8 : Korelasi Skor RGE dengan beratnya asma... 40

Gambar 1 : Anatomi Esophagogastric Junction ... 7

Gambar 2 : Mekanisme patofisiologi asam esofagus menginduksi

bronkokonstriksi ... 16

Gambar 3 :Pendekatan penanganan RGE pada penderita asma ... 25

Gambar 4 :Hubungan antara berat asma dgn skor RGE ... 39

Gambar 5 :Hubungan antara Skor RGE dengan masing-masing

(9)

ABSTRACT

Background :Gastroesophageal reflux (GER) is a potential trigger of asthma .

A high prevalence and association GER symptoms in asthma patients has been shown in several reports from many countries. However, nο data from Medan are available.

Objective:To determine the prevalence symptoms in asthma patients at Adam Malik Hospital and compare them with a non-asthmatic control group and to asses it”s association between asthma severity.

Material and Method: A cross sectional study consisted of 47 asthma patients at the outpatient Adam Malik Hospital and 55 non-asthmatic patients as the control group. The study group and the control group were interviewed with questionnaire.

Results: Among the asthmatics,31.9%,51.1% & 21.3% experienced heartburn, regurgitation & both symptoms, respectively. While in the control group, 20%, 36.6% & 16.4%

Conclusion:The present study showed the prevalence of GER symptoms in asthmatic patients in Pirngadi Hospital and the control group to be 61.7% and 40%. Asthmatic patients had a greater significance prevalence than the control group and there was significant association between asthma severity and GER symptoms .

Keywords: Asthma patients,control group, Heartburn, Regurgitation

ABSTRAK

Latar Belakang:Refluks Gastroesofageal (RGE) merupakan pencetus potensial terhadap serangan asma . Prevalensi yang tinggi dan adanya hubungan simtom RGE pada penderita asma telah ditunjukkan pada banyak laporan diberbagai negara sementara data di Medan belum ada .

Tujuan Studi :Untuk mencari prevalensi simtom RGE pada Penderita Asma di RSUP H Adam Malik Medan dengan membandingkannya dengan kelompok non-asma serta hubungan antara beratnya asma dan simtom RGE.

Bahan dan Metode: Studi potong lintang yang melibatkan 47 penderita asma di Poliklinik Pulmonologi dan Allrgi Immunologi RSUP H Adam Malik dan 55 non-asma sebagai kontrol yang diwawancarai dengan mempergunakan kwesioner.

Hasil : Pada penderita asma didapati, 31.9%, 51.1% & 21.3% mengalami heartburn, regurgitasi dan kedua simtom, sementara pada kontrol, 20%, 36.6% dan 16.4%

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan prevalensi simtom RGE pada penderita asma dan kontrol sebesar 61.7% dan 40%. Penderita asma memiliki prevalensi Simtom RGE lebih besar bermakna dari pada kelompok kontrol serta ada hubungan yang bermakna antara beratnya asma dan simtom RGE .

(10)

ABSTRACT

Background :Gastroesophageal reflux (GER) is a potential trigger of asthma .

A high prevalence and association GER symptoms in asthma patients has been shown in several reports from many countries. However, nο data from Medan are available.

Objective:To determine the prevalence symptoms in asthma patients at Adam Malik Hospital and compare them with a non-asthmatic control group and to asses it”s association between asthma severity.

Material and Method: A cross sectional study consisted of 47 asthma patients at the outpatient Adam Malik Hospital and 55 non-asthmatic patients as the control group. The study group and the control group were interviewed with questionnaire.

Results: Among the asthmatics,31.9%,51.1% & 21.3% experienced heartburn, regurgitation & both symptoms, respectively. While in the control group, 20%, 36.6% & 16.4%

Conclusion:The present study showed the prevalence of GER symptoms in asthmatic patients in Pirngadi Hospital and the control group to be 61.7% and 40%. Asthmatic patients had a greater significance prevalence than the control group and there was significant association between asthma severity and GER symptoms .

Keywords: Asthma patients,control group, Heartburn, Regurgitation

ABSTRAK

Latar Belakang:Refluks Gastroesofageal (RGE) merupakan pencetus potensial terhadap serangan asma . Prevalensi yang tinggi dan adanya hubungan simtom RGE pada penderita asma telah ditunjukkan pada banyak laporan diberbagai negara sementara data di Medan belum ada .

Tujuan Studi :Untuk mencari prevalensi simtom RGE pada Penderita Asma di RSUP H Adam Malik Medan dengan membandingkannya dengan kelompok non-asma serta hubungan antara beratnya asma dan simtom RGE.

Bahan dan Metode: Studi potong lintang yang melibatkan 47 penderita asma di Poliklinik Pulmonologi dan Allrgi Immunologi RSUP H Adam Malik dan 55 non-asma sebagai kontrol yang diwawancarai dengan mempergunakan kwesioner.

Hasil : Pada penderita asma didapati, 31.9%, 51.1% & 21.3% mengalami heartburn, regurgitasi dan kedua simtom, sementara pada kontrol, 20%, 36.6% dan 16.4%

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan prevalensi simtom RGE pada penderita asma dan kontrol sebesar 61.7% dan 40%. Penderita asma memiliki prevalensi Simtom RGE lebih besar bermakna dari pada kelompok kontrol serta ada hubungan yang bermakna antara beratnya asma dan simtom RGE .

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan suatu penyakit inflamasi kronis yang disertai dengan

peningkatan reaktifitas saluran nafas terhadap berbagai jenis rangsangan .

Rangsangan ini akan menimbulkan suatu respon inflamasi berupa edema jalan

nafas, pelepasan mediator inflamasi, kontraksi otot polos, dan peningkatan sekresi

mukus . Pada individu yang peka, inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi,

sesak dan batuk yang rekuren, terutama pada malam hari dan / atau subuh.

Episode tersebut biasanya berhubungan dengan obstruksi saluran nafas yang luas

tetapi dengan derajat yang bervariasi, yang sering reversibel, baik secara spontan

ataupun dengan pengobatan. Refluks Gastroesofageal (RGE) merupakan suatu

pencetus potensial terhadap serangan asma (Seaton, 2000).

RGE sendiri merupakan suatu keadaan di mana asam dari dalam lambung

bergerak naik kembali ke esofagus. Refluks terjadi jika kerja otot di esofagus atau

mekanisme protektif lainnya mengalami kegagalan (Seaton, 2000. Manan, 2001) .

Refluks gastroesofageal dapat merupakan proses yang bersifat fisiologis dan

bersifat asimtomatik.Tetapi proses refluks yang berulang-ulang dengan pajanan

asam lambung di esofagus yang berlangsung lama akan bersifat patologis dan

menimbulkan keluhan dan atau lesi mukosal dan disebut sebagai Penyakit Refluks

Gastroesofageal (PRGE). Simtom RGE akan timbul bila sudah terdapat kelainan

pada mukosa esofagus . Simtom yang khas dan paling sering dijumpai yaitu heart

burn dan regurgitasi. Bila kedua simtom ini paling dominan dikeluhkan penderita

maka diagnosa PRGE memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas,

(12)

jika gejala asma yang timbul sulit dikontrol dengan obat-obat asma yang biasa

dipakai (Devault, 2003) .

Hubungan antara Refluks Gastroesofageal (RGE) dengan asma sejak lama

telah diketahui. Dalam bukunya ”The Principles and Practice of Medicine” pada

tahun 1892, Sir William Osler pertama kali menyatakan bahwa pengisian

berlebihan lambung dan komsumsi makanan tertentu dapat memicu serangan

asma. Teori Osler tentang hubungan kausa antara gangguan lambung dan

serangan asma tersebut tidak mendapat perhatian selama hampir satu abad .Pada

tahun 1967, Urschel dan Paulson melaporkan bahwa dari 636 pasien yang

dijadwalkan untuk menjalani operasi untuk PRGE, 60% di antaranya ternyata

memiliki gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit paru (Castell, 1995.

Harding, 1997. Harding, 1996. Stein, 2001) .

Sejak saat itu banyak studi yang dilakukan terhadap simtom RGE diantara

para penderita asma. Hasil studi-studi selanjutnya mendapatkan prevalensi RGE

pada penderita asma yang bervariasi antara 34 hingga 89% (Stein, 2001. Roussos,

2003. Field, 1996. Vincent, 1997. Sontag, 1990. Harding, 1999. Harding, 1999),

tergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan RGE tersebut dan

populasi yang mereka teliti . Suatu laporan oleh Harding dkk (Harding, 2000) ,

Sontag dkk (Sontag, 1990) dan Irwin dkk (Irwin, 1993) bahkan mendapatkan

bahwa penderita asma yang tidak menunjukkan adanya gejala refluks khas seperti

heartburn dan regurgitasi asam ternyata memiliki prevalensi PRGE sebesar 62%

dan 25 -50% untuk hasil yang abnormal dari pemeriksaan pH esofagus 24 jam.

(13)

masing-masing sebesar 57% dan 42% yang berarti penderita asma memiliki prevalensi

simtom RGE yang lebih tinggi dari grup kontrol tapi tidak signifikan secara

statistic (Chunlertrith, 2005). Penelitian terbaru di RS Persahabatan Jakarta

mendapatkan sebanyak 80.6% dan 100% pasien Asma Persisten Sedang

mengalami heartburn dan regurgitasi dengan 50% diantaranya terbukti esofagitis

erosif (esofagitis refluks) secara endoskopi (Susanto, 2005) . Studi oleh Tug &

Bahcecioglu mendapatkan tidak ada asosiasi yang signifikan antara beratnya asma

dengan klinis dan kerusakan patologis RGE yang terjadi (Tug, 2003) tetapi

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Refluks Gastroesofageal

RGE merupakan fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang

sewaktu-waktu . Pada orang normal refluks ini biasanya terjadi pada posisi tegak

sewaktu makan atau pada posisi berbaring setelah makan . Pada saat terjadi

refluks, esofagus akan berkontraksi untuk membersihkan lumen dari material

refluks tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara isi lambung

dan mukosa esofagus . Refluks yang sejenak seperti ini tidak merusak mukosa

esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala oleh karena itu disebut

refluks fisiologis .Refluks dikatakan patologis bila terjadi berulang-ulang yang

menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang

lama dan dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa, keadaan ini disebut sebagai

Penyakit Refluks Gastroesofageal (Djojoningrat, 2002. Manan, 2001).

Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE) didefenisikan sebagai suatu

keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus,

dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring

dan saluran nafas. Istilah Esofagistis Refluks berarti kerusakan mukosa esofagus

akibat refluks cairan lambung seperti erosi dan ulserasi epitel esofagus . Pada

kondisi terdapat gejala refluks tanpa kelainan mukosa esofagus pad pemeriksaan

endoskopi disebut Asymtomatic Gastro-Esophageal Reflux atau Non-Erosiv

(15)

esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri

(Makmun, 2006).

Keadaan ini umum ditemukan pada populasi di Negara-negara

Barat,namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara Asia dan Afrika. Di

Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks

(heartburn dan atau regurgitasi ) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40%

mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan . Prevalensi esofagitis di Amerika

Serikat mendekati 7%, sementara dinegara-negara non-western prevalensinya

lebih rendah (1.5% di China dan 2.75 di korea ) . Di Indonesia belum ada data

epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi

Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22.8% dari semua pasien yang menjalani

pemeriksan endoskopi atas indikasi dispepsia (Syafrudin 1999) (Makmun, 2006).

2.2 Patofisiologi RGE

Esofagus yang biasa dikenal sebagai pipa saluran makanan, merupakan

suatu saluran berotot yang sempit dengan panjang sekitar sembilan setengah inci.

Esofagus tersebut dimulai dari di bawah lidah, dan berakhir pada lambung. Jika

seseorang menelan makanan, esofagus akan menggerakkannya ke dalam lambung

dengan kerja peristaltik, yang merupakan kontraksi otot yang bergelombang. Di

dalam lambung, lemak dan protein di dalam makanan dipecah oleh asam dan

berbagai jenis enzim, terutama asam hidroklorida dan pepsin. Lambung memiliki

(16)

asam dan enzim pencernaan tersebut naik kembali ke esofagus. Namun lapisan

tersebut hanya memberikan perlindungan yang lemah. Esofagus dilindungi oleh

otot-otot yang spesifik dan berbagai faktor lainnya. Struktur yang paling penting

yang melindungi esofagus adalah sfingkter esofagus bawah (Lower Esophageal

Sphincter = LES). LES merupakan otot yang melingkari bagian bawah di mana

esofagus berhubungan dengan lambung. Jika tahanan barier tidak mencukupi

untuk mencegah terjadinya regurgitasi, dan asam lambung naik kembali ke

esofagus (refluks), maka kerja peristaltik esofagus berfungsi sebagai mekanisme

pertahanan tambahan dan mendorong kembali isi esofagus kembali ke dalam

lambung (gambar 1)( Mittal, 1997).

Gambar 1. Anatomi Esophagogastric Junction. (Devault, 2003)

RGE terjadi bilamana tidak ada keseimbangan antara mekanisme

antirefluks pada LES dan kondisi lambung . Gangguan mekanisme anti refluks

pada LES dapat berupa tonus yang melemah dan adanya relaksasi sfingter yang

abnormal . Melemahnya tonus LES akan berakibat refluksat mudah masuk ke

(17)

berlangsung lebih lama . Peran refluksat sebagai faktor agresif terutama

dipengaruhi asam lambung . Makin rendah pH lambung, tingkat agresifitas refluks

akan lebih meningkat .Sehingga dalam kondisi motilitas yang cukup baik disertai

LES normal dapat terjadi kelainan pada mukosa .pada pemeriksaan pH esofagus

24 jam didapatkan pH kurang dari 4 . Dari fakta tersebut terbukti faktor refluksat

lebih dominan dibandingkan faktor motilitas, hal tersebut sangat menentukan cara

pemberian terapi pada kasus-kasus RGE (Manan, 2001.Tarigan, 2001).

Sedangkan kondisi lambung yang berperan adalah sekresi asam lambung atau

cairan lambung yang lainnya yang berlebihan, lambatnya pengosongan lambung,

paska operasi lambung, peningkatan tekanan dalam lambung seperti pada

obesitas, kehamilan, asites dan adanya hiatus hernia (Devault, 2003. Manan, 2001.

Smout, 1998. Tarigan, 2001)

2.3 Gejala Klinis RGE

Adanya gejala pada RGE didasari adanya kontak asam lambung pada

dinding esofagus serta berat ringannya gejala berkorelasi dengan lamanya pajanan

asam dan pepsin tersebut dengan dinding esophagus (Manan, 2001) .

Simtom RGE akan timbul bila sudah terdapat kelainan pada mukosa

esofagus . Gejala yang ditimbulkan adalah bervariasi baik yang khas maupun

yang tidak khas . Gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart

burn dan regurgitasi. Bila kedua simtom ini paling dominan dikeluhkan penderita

maka diagnosa PRGE memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas,

2002. Lodi, 1997. Tarigan, 2001) . Sedangkan yang tidak khas yaitu nyeri dada

(18)

serak, disfagia, sendawa dan gangguan pada gigi (Devault, 2003. Manan, 2001.

Smout, 1998. Tarigan, 2001)

Manifestasi klinis dijumpai berupa: Erosive Reflux Esophagitis dimana

secara endoskopi ditemukan lesi mukosa esofagus, Non Erosive Reflux Disease

(NERD) jika tidak adanya refluks esofagitis secara endoskopi dan Extra

Esophageal Reflux Disease yaitu adanya manifestasi diluar saluran cerna

(Devault, 2003. Manan, 2001.Tarigan, 2001)

Karena pentingnya gejala klinis ini guna mendukung atau bahkan dapat

menegakkan diagnosa maka berikut ini akan dipaparkan hanya gejala khas dari

RGE yaitu Heartburn dan regurgitasi :

2.3.1 Heartburn

Heartburn merupakan gejala khas dari RGE yang paling

sering dikeluhkan oleh penderita . Gejala ini merupakan gejala

primer pada RGE dan paling kurang terjadi pada 75% kasus

(Djojoningrat, 2002. Tarigan, 2001). Kualitas hidup setiap

individual akan merasa terganggu bila frekwensi heartburn

minimal 3 kali seminggu (Manan, 2001) .Heartburn adalah sensasi

rasa nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau mengiris

dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum . Penjalaran

umumnya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium,

punggung belakang dan bahkan kelengan kiri yang menyerupai

keluhan angina pektoris . Timbulnya keluhan ini akibat rangsangan

kemoreseptor pada mukosa . Rasa terbakar tersebut disertai dengan

sendawa, mulut terasa masam dan pahit serta merasa cepat

(19)

dominan dikeluhkan penderita maka diagnosa PRGE memiliki

sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas, 2002. Lodi, 1997.

Mittal, 1995).

Bahan makanan yang sifatnya mengiritasi dianggap sebagai

pencetus heartburn misalnya : anggur merah, bawang putih,

makanan berlemak, coklat, jeruk sitrum, bumbu kari . Keluhan

heartburn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan,

berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Jika rasa

terbakar didada yang timbul sewaktu berolah raga, perlu

pemeriksaan yang cermat untuk memastikan apakah gejalanya

berasal dari iskemia koroner (Smout, 1998) .

2.3.2 Regurgitasi (Devault, 2003. Djojoningrat, 2002 . Roussos, 2003)

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi

yang berupa bahan yang terkandung dari esofagus atau lambung

yang sampai kerongga mulut . Obstruksi dari esofagus bagian

distal dan keadan stasis seperti pada akalasia atau divertikulitis

dapat sebagai penyebabnya .

Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut

merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan

dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES .

Regurgitasi dapat mengakibatkann aspirasi laringeal, batuk yang

terus menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan

(20)

imbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat

dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi .

Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala

berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut

bau pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung .

Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa

tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum .

2.4 Faktor Predisposisi RGE Pada Asma

Walaupun hubungan yang kuat antara RGE dengan asma telah

dilaporkan berulang kali, namun hubungan di antaranya masih belum jelas.

Berbagai data yang telah dipublikasikan mendukung dan menentang hipotesa

yang menyatakan bahwa RGE menyebabkan asma, asma menyebabkan RGE,

dan pengobatan dengan bronkodilator menyebabkan RGE. Walaupun adanya

data yang saling bertentangan, namun minat mengenai hubungan antara kedua

keadaan tersebut semakin meningkat. Penelusuran melalui PubMed dengan

menggabungkan kata asma dan RGE menghasilkan > 500 kutipan dari

literatur medis, dengan rata-rata 2 kutipan per tahun antara tahun 1966 dan

1980, dua puluh kutipan per tahun antara 1991 hingga 1995, dan 79 kutipan

hanya pada tahun 2000 saja. Hubungan yang kuat antara RGE dan asma, dan

juga laporan-laporan yang menyebutkan bahwa RGE menyebabkan timbulnya

gejala-gejala pernafasan pada penderita asma telah membawa banyak peneliti

untuk menduga bahwa hubungan tersebut merupakan yang disebabkan karena

(21)

Faktor-faktor yang berperan menimbulkan RGE pada penderita asma

meliputi disregulasi otonom, peningkatan tekanan gradien antara esofagus dan

lambung,gangguan fungsi krural diafragma, dan penggunaan obat-obat

bronkodilator .

Penderita asma memiliki bukti adanya suatu disregulasi otonom . Pada uji

fungsi otonomik terhadap 73 penderita asma dengan RGE (Lodi dkk 1997),

didapat 20 orang dengan respon yang normal, respon hipervagal pada 37 orang,

respon hiperadrenergik pada 6 orang, dan respon campuran pada 10 orang . Data

tersebut menunjukkan bahwa penderita asma dengan RGE memiliki respon vagal

yang tinggi. Disregulasi otonomik akan menurunkan tekanan LES dan relaksasi

sementara LES, suatu mekanisme utama yang berperan pada RGE (Lodi, 1997).

Faktor penyebab kedua adalah peningkatan tekanan gradien antara

esofagus dan lambung. Pada saat akhir ekspirasi tekanan gradien antara lambung

dan esofagus 4-5 mmhg .

Faktor ketiga adalah perubahan pada fungsi krural diafragma . Diafragma

krural mempengaruhi tekanan LES (Lodi, 1997) .

Untuk itu suatu tekanan LES yang normal 10-35 mmhg

pada akhir ekspirasi adalah cukup untuk menetralkan tekanan gradien walaupun

dengan obstruksi aliran udara, suatu tekanan pleura yang lebih negatif dapat

meningkatkan tekanan gradien lalu mengakibatkan refluks (Lodi, 1997).

Faktor terakhir adalah pemberian bronkodilator.Sebenarnya banyak obat

yang menurunkan tekanan LES (tabel 1) (Devault, 2002).

Para peneliti telah mendapatkan

bahwa relaksasi sementara LES dan diafragma krural bertanggung jawab terhadap

terjadinya RGE. Hiperinflasi sehubungan dengan bronkospasme menempatkan

diafragma krural menjadi merugikan oleh karena pendataran geometrik (Mittal,

1995) .

(22)

pemberian infus isoproterenol menurunkan tekanan LES pada binatang ataupun

manusia (Goyal dkk 1973, Zfass dkk 1970). Namun pada penelitian lain ternyata

inhalasi β agonis tidak menyebabkan perubahan prevalensi RGE atau motilitas

esofagus yang signifikan (Michoud, 1991 .Schindlbeck, 1988).

Tabel 1.Daftar obat yang menurunkan tekanan LES (Susanto, 2005)

Teofilin meningkatkan sekresi a

sam lambung dan menurunkan tekanan LES , namun ada perdebatan

mengenai kepentingan klinis dari hasil tersebut . Pada suatu penelitian acak

tersamar ganda pada 16 penderita asma (Hubert, 1988) malah tidak mendapatkan

adanya perbedaan signifikan pada hasil pemeriksaan pH esofagus 24 jam baik

terhadap penderita asma yang mendapat Teofilin oral atau plasebo, dan tak ada

perbedaan episode refluks atau waktu keterpaparan asam total , dan saat

bersamaan fungsi paru membaik . Namun demikian Ekstrom dan Tibling pada

tahun 1988 meneliti 25 penderita asma ringan - sedang dengan riwayat RGE pada

uji single-blind plasebo terkontrol .Pasien lalu menjalani 2 kali pemeriksaan pH

esofagus 24 jam , satu dengan dan satu lagi tidak dengan dosis teofilin biasa

mereka. Didapati peningkatan refluks 24% pada siang hari selama terapi teofilin

sementara gejala refluks meningkat 170% dimana gejala respiratorik dan fungsi

• Aminofilin • Antikolinergik • β-agonis adrenergik • α-antagonis adrenergik

• Benzodiazepin • Klorpromazin • Kalsium channel blockers

(23)

paru membaik dengan terapi teofilin tersebut (Ekström, 1998). Sontag dkk malah

mendapatkan tidak ada perbedaan prevalensi esofagitis (Sontag, 1992) dan pH

esofagus yang signifikan baik pada penderita yang mendapat atau tidak

pengobatan bronkodilator (Sontag, 1992) .Sementara Field dkk menemukan tidak

ada obat-obatan asma yang berhubungan dengan suatu peningkatan kemungkinan

mengalami heartburn atau regurgitasi (Field, 1996). Ini menimbulkan suatu

kontroversi yang berkepanjangan tentang pengaruh obat bronkodilator terhadap

terjadinya RGE pada penderita asma .

2.5 Faktor RGE Sebagai Pencetus Asma

2.5.1 Refleks vagal

Trakeobronkial dan esofagus sama-sama berasal dari embrionik

foregut dan dipersarafi secara otonom melalui nervus vagus . Pada studi

terhadap hewan didapati bahwa asam esofagus menyebabkan suatu

peningkatan resistensi pernafasan yang menghilang bila dilakukan

vagotomi (gambar 2) (Harding, 1999). Juga didapati bahwa asam esofagus

menyebabkan suatu penurunan nilai PEF tanpa bukti terjadinya

mikroaspirasi dan inflamasi mukosa esofagus yang diperiksa dengan tes

Bersntein yang positif (Harding, 1995).Pada 136 subjek tersebut didapati

asam esofagus menyebabkan penurunan denyut jantung, FEV1, dan

saturasi oksigen (Harding, 1999). Kemudian respon tersebut menghilang

dengan pemberian atropin sehingga disimpulkan bahwa nervus vagus

(24)

2.5.2 Peningkatan reaktifitas bronkus (Harding, 1999).

Pada pemeriksaan uji tantangan metakolin terhadap 105 penderita

asma didapati suatu korelasi signifikan (R = 0.56; P = 0.05) antara jumlah

dosis metakolin yang dibutuhkan untuk penurunan FEV1 20% dengan

jumlah episode refluks .

Ini menunjukkan bahwa asam esofagus

memegang peranan utama sehingga jika penderita asma terpapar faktor

pencetus lain maka mereka akan mengalami peningkatan reaktifitas

bronkus.

2.5.3 Mikroaspirasi (Harding, 1999).

Pada penelitian terhadap hewan, sejumlah asam trakea

menyebabkan peningkatan lima kali lipat resistensi paru, dimana 10 ml

asam esofagus hanya menyebabkan peningkatan 1-1.5 kali lipat saja.

Menariknya bronkokonstriksi yang disebabkan mikroaspirasi menghilang

dengan vagotomi ini. menunjukkan bahwa nervus vagus memiliki peranan

yang utama pada mikroaspirasi. Selanjutnya hasil studi pada manusia

mendapatkan bahwa episode refluks berhubungan dengan terjadinya

penurunan pH esofagus dan trakea yang ditunjukkan dengan perubahan

(25)

Gambar 2 : Mekanisme patofisiologi asam esofagus menginduksi

bronkokonstriksi (Harding, 1999).

2.5.4 Inflamasi Neurogenik(Harding, 1999)

Pada percobaan hewan didapati asam esofagus menyebabkan

pelepasan substansi P yang menyebabkan terjadinya edema aliran nafas

pada paru .

2.6 Gejala Klinis PRGE Pada Penderita Asma

Edema jalan nafas tersebut diinhibisi oleh suatu reseptor

antagonis substansi P . Asam esofagus menyebabkan pelepasan takikinin

dan substansi P dari saraf sensorik melalui jalur akson & vagal (gambar 2)

.

Gejala yang sangat spesifik untuk RGE adalah heartburn, regurgitasi atau

keduanya dan sering timbul setelah makan (terutama dalam jumlah besar atau

yang berlemak ). Asma malam atau timbul batuk malam hari, rasa tercekik, mengi

pada saat bangun tidur perlu dipikirkan terdapat episode RGE pada saat tidur

(Devault, 2003. Manan, 2001.Sontag, 1990). Pasien asma dengan RGE sering

(26)

setelah makan makanan tinggi lemak, kopi, coklat, alkohol serta pada posisi

terlentang . RGE sebagai pencetus asma perlu dipikirkan jika gejala asma yang

timbul mungkin sulit dikontrol dengan obat-obat asma yang biasa dipakai

(Devault, 2003. Harding, 1999) Karakteristik asma yang dicetuskan oleh refluks

antara lain timbul pada usia dewasa, bukan perokok, bukan tipe alergenik, gejala

batuk menetap, lebih dominan pada malam hari, memburuk setelah makan, tidak

respon dengan pengobatan asma dan respons dengan pengobatan anti sekretori

asam Devault, 2003).

Tabel 2 . Gejala klinis PRGE pada Asma

Gejala klinis PRGE pada asma dapat dilihat pada Tabel 2 .

Gejala Khas

Reflux Associated Resp. Symtoms

Silent Reflux

2.7 Pendekatan Diagnosa PRGE Pada Penderita Asma.

Semua penderita asma harus dianamnese secara teliti mengenai

manifestasi esofagus dan ekstraesofagus dari PRGE. Pertanyaan-pertanyaan yang

spesifik harus menyertakan apakah gejala asma muncul setelah makan dalam

porsi yang banyak atau makan makanan yang berlemak, atau dengan makanan

(27)

mengetahui apakah batuk, sesak nafas, atau apakah penderita menggunakan

inhaler saat mengalami gejala-gejala PRGE. Field dkk telah menerbitkan suatu

kwesioner mengenai asma dan PRGE yang dapat disertakan dalam

penatalaksanaan penderita (Field, 1996).

Jika riwayat penderita sejalan dengan PRGE, tidak diperlukan penjajakan

diagnostik tambahan lainnya, dan pemberian terapi antirefluks yang agresif harus

segera dimulai. Penjajakan diagnostik tambahan lainnya direkomendasikan pada

penderita yang dengan terapi empiris untuk PRGE tidak menunjukkan hasil atau

pada mereka yang memiliki gejala yang menunjukkan adanya PRGE yang

mengalami komplikasi seperti esofagitis, striktur esofagus, Barrett’s esofagus atau

neoplasma . Pada mereka yang dicurigai adanya komplikasi PRGE, penjajakan

yang seharusnya dilakukan adalah dengan endoskopi, karena dapat memberikan

visualisasi secara langsung pada mukosa esofagus, dapat mengambil spesimen

biopsi, dan lebih sensitif dibandingkan dengan esofagogram Barium dalam

mendeteksi esophagus (Harding, 1997).

Pemeriksaan pH esofagus 24 jam memainkan peranan penting dalam

menegakkan diagnosa PRGE, terutama pada penderita asma tanpa gejala-gejala

klasik refluks atau pada mereka yang sulit untuk diobati. Irwin et al meneliti

sekelompok penderita asma yang sulit dikontrol, yang didefinisikan sebagai

mereka yang memerlukan > 10 mg prednisone setiap selang sehari selama

minimal 3 bulan dalam setahun, menemukan bahwa PRGE didapati ”silent”

secara klinis pada 24%. Mereka menemukan bahwa pengobatan dosis tinggi

terhadap PRGE bermanfaat dalam mengubah penderita yang asmanya tadinya

sulit dikontrol menjadi penderita yang asmanya tidak lagi sulit ditangani Devault,

(28)

pH esofagus 24 jam pada seluruh penderita asma yang dengan keadaan sulit

dikontrol atau yang mendapatkan terapi prednisone jangka panjang. American

Gastroenterological Association sendiri merekomendasikan pemeriksaan pH

esofagus hanya untuk penderita asma yang dicurigai menderita asma yang

dicetuskan oleh refluks (Irwin, 1993).

2.8 Penanganan Penderita Asma Dengan PRGE .

PRGE merupakan suatu penyakit yang kronis. Pengobatan PRGE yang

agresif dapat merupakan suatu komitmen yang seumur hidup dan mahal biayanya.

Seluruh penderita harus di-edukasi mengenai terapi gaya hidup, termasuk

penghentian merokok, peninggian bagian kepala dari tempat tidur, menghindari

makanan dengan porsi besar, dan penurunan berat badan jika diperlukan.

Penderita seharusnya makan makanan rendah lemak, dan menghindari makanan

yang menurunkan tekanan LES, termasuk kafein, coklat, pepermint dan alkohol.

Jika memungkinkan, pengobatan yang menurunkan tekanan LES harus dihindari.

Jika PRGE mencetuskan asma, maka seharusnya pengontrolan refluks akan

memperbaiki hasil akhir asma pada sekelompok penderita.

2.8.1 Terapi medis

Terapi medis temasuk yang berikut ini: antasida, yang dapat

digunakan untuk menghilangkan keluhan simptomatis, antagonis H2 yang

secara parsial menghambat sekresi asam lambung, penghambat pompa

proton (PPI) yang dapat secara langsung menghambat sekresi asam

lambung pada jalur akhir bersama, dan obat prokinetik yang memperbaiki

(29)

pengosongan lambung. Intervensi bedah menurunkan waktu perawatan

dan pemulihan; namun tindakan ini mungkin lebih mahal dan keefektifan

jangka panjangnya tidak diketahui (Kahrilas, 1996).

Banyak penelitian menggunakan regimen obat (antasida, simetidin,

ranitidin dan omeprazole) yang hingga saat ini hanya sedikit menolong

mengontrol keluhan PRGE.

Penghambat pompa proton adalah obat yang paling baik yang ada

untuk mengobati PRGE karena dapat menurunkan refluks asam sebesar >

80%, dan dapat menyembuhkan esofagitis pada 80-85% penderita (Maton,

1996). Depla dkk melaporkan seorang penderita asma dengan PRGE yang

menunjukkan perbaikan yang bermakna pada bronkospasme jika diobati

dengan omeprazole 20 mg / hari setelah gagal untuk memberikan respon

dengan regimen medis antirefluks lainnya, termasuk ranitidin 750 mg /

hari (Depla, 1998).

Kebanyakan penelitian-penelitian tersebut

memiliki dua kesalahan rancangan penelitian. Yang pertama adalah

kurangnya pencatatan penekanan asam yang adekuat dengan terapi medis.

Hal ini terutama penting karena kebanyakan obat-obat tersebut menekan

refluks asam sebesar 50%. Yang kedua, lamanya pengobatan mungkin

tidak mencukupi untuk memperbaiki asma (Ekstrom, 1989. Goodall, 1981.

Harper, 1987. Kjellen, 1981. Nagel, 1988).

Meier dkk meneliti 15 subjek dengan plasebo dan

omeprazole 20 mg dua kali sehari selama masing-masing 6 minggu.

Dengan menggunakan perubahan FEV1 yang > 20% dari baseline

terhadap akhir dari setiap periode pengobatan, empat (29%) dari 14

penderita merupakan penderita asma yang responsif terhadap omeprazole

(30)

dan PRGE, membandingkan pemberian omeprazole 20 mg selama 4

minggu terhadap plasebo pada suatu penelitian cross over yang meneliti

gejala asma dan APE. Mereka tidak mendapatkan adanya perbedaan yang

bermakna (Ford, 1994. Harding, 1996) . Kedua penelitian tersebut

memiliki kekurangan karena penekanan asam yang tidak adekuat dengan

omeprazole dosis tetap dan juga lamanya penelitian yang terlalu singkat.

Masih ada banyak pertanyaan mengenai hubungan dan penangan

yang sesuai terhadap PRGE yang sehubungan dengan asma. Suatu

penelitian yang besar dan multisentra diperlukan untuk menjawab

permasalahan tersebut. Harding menganjurkan penggunaan penghambat

pompa proton (omeprazole 40 mg bid, atau lansoprazole 60 mg bid), dan

mungkin dengan menambahkan antagonis H2 pada saat hendak tidur

malam untuk menghasilkan kontrol sekresi asam nokturnal yang lebih

baik. Cara ini akan menghindarkan titrasi individual dengan serangkaian

pemeriksaan pH yang akan tidak mungkin dilakukan pada suatu penelitian

yang besar. Lamanya penelitian tersebut seharusnya paling tidak selama 6

bulan. Akhirnya penelitian mengenai analisa biaya dan kualitas hidup

diperlukan untuk menjajaki untung ruginya dari segi biaya (mahalnya

pengobatan antirefluks dibandingkan lebih sedikitnya obat-obat asma yang

digunakan), perbaikan dalam kualitas hidup, dan penggunaan sarana

kesehatan pada penderita-penderita tersebut (Harding, 1996).

2.8.2 Terapi pembedahan

Sontag dkk melakukan pembedahan antirefluks pada 13 penderita

(31)

perbaikan yang sempurna dari asmanya. Dari 11 penderita yang

memerlukan terapi bronkodilator jangka panjang sebelum pembedahan,

ternyata empat penderita mampu untuk menghentikan pengobatannya,

enam orang dapat menurunkan penggunaan obat-obatan, dan seorang tidak

menunjukkan perubahan penggunaan obat-obatan. Dari tujuh penderita

asma yang tergantung steroid, dua orang tidak lagi memerlukan steroid,

dan tiga orang di-tappered off steroid-nya (Sontag, 1987). Perrin-Fayole

dkk melaporkan follow up selama 5 tahun dari pembedahan antirefluks

pada 44 orang penderita asma, di mana 20 orang di antaranya tergantung

pada steroid. Dua puluh lima persen menunjukkan resolusi total dari gejala

asmanya, 16% menunjukkan perbaikan yang bermakna, 25%

menunjukkan perbaikan yang sedang, dan 34% menunjukkan tak adanya

perbaikan. Penderita yang paling menunjukkan perbaikan adalah mereka

yang dengan asma intrinsik dan PRGE yang berat, dan mereka dengan

onset refluks sebelum gejala asma (Perrin, 1989).

Tardif dkk melakukan pembedahan pada 10 orang penderita asma

dengan PRGE, menemukan bahwa 5 orang menunjukkan perbaikan pada

status parunya. Hasil gabungan secara keseluruhan dari

penelitian-penelitian pembedahan menunjukkan bahwa 34% penderita bebas dari

gejala asma setelah pembedahan, 42% menunjukkan perbaikan, dan 24%

tidak menunjukkan perubahan. Banyak penderita mampu untuk

menurunkan atau menghentikan terapi kortikosteroid oral (Perrin, 1989.

(32)

2.8.3 Pendekatan Terapi PRGE Pada Penderita Asma

Harding et al mengajukan prosedur pendekatan terapi PRGE pada

penderita asma dengan gejala refluks (gambar 2). Kuncinya adalah

perubahan gaya hidup dan percobaan pengobatan selama 3 bulan dengan

omeprazole 20 mg dua kali sehari sementara dilakukan penilaian terhadap

gejala pernafasan, fungsi paru dan APE. Mereka merekomendasikan dosis

tersebut karena sekitar 30% penderita asma dengan refluks tidak memiliki

supresi asam yang adekuat dengan omeprazole 20 mg per hari (Harding,

1996). Selama percobaan pengobatan, penderita harus memonitor APE

dan gejala asma. Jika kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan, maka

Penderita asma

OMZ 20 mg BID atau lansoprazole 30 mg BID, teruskan monitor

Gambar 3. Pendekatan penanganan RGE pada penderita asma

(33)

kemungkinannya bahwa asma penderita tersebut tidak berhubungan

dengan PRGE. Jika APE dan gejala asma menunjukkan perbaikan dengan

penekanan asam, terapi harus dipertimbangkan. Terapi maintenans dapat

menyertakan PPI seperti omeprazole atau lansoprazole,sedangkan dosis

tinggi antagonis H2 atau obat prokinetik seperti metoclopramide atau

cisapride biasanya digunakan dalam kombinasi dengan obat-obat lainnya.

Semua pasien yang memerlukan PPI untuk mengontrol PRGE -nya harus

ditanyakan mengenai pilihan pembedahan, terutama pada penderita

dengan usia muda, karena masih didapatinya pertanyaan-pertanyaan yang

belum dijawab mengenai keamanan jangka panjang dari PPI (Depla, 1998.

Klinkenberg, 1994). Yang penting dalam keberhasilan pembedahan

antirefluks adalah preservasi fungsi esofagus dan ahli bedah yang

berpengalaman. Keuntungan utama dari terapi pembedahan adalah

kemampuannya untuk ”menyembuhkan” penyakit tersebut, walaupun

biaya sekali waktunya cukup mahal. Keterbatasan tindakan pembedahan

meliputi kemungkinan mortalitas (<1%), miditas dan angka rekurensi yang

(34)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1 Latar Belakang Penelitian

Hubungan antara Refluks Gastroesofageal (RGE) dengan asma sejak lama

telah diketahui. Dalam bukunya ”The Principles and Practice of Medicine” pada

tahun 1892, Sir William Osler pertama kali menyatakan bahwa pengisian

berlebihan lambung dan komsumsi makanan tertentu dapat memicu serangan

asma. RGE sendiri merupakan suatu keadaan di mana asam dari dalam lambung

bergerak naik kembali ke esofagus. Refluks terjadi jika kerja otot di esofagus atau

mekanisme protektif lainnya mengalami kegagalan (Seaton, 2000. Manan, 2001).

Refluks gastroesofageal dapat merupakan proses yang bersifat fisiologis dan

bersifat asimtomatik. Tetapi proses refluks yang berulang-ulang dengan pajanan

asam lambung diesofagus yang berlangsung lama akan bersifat patologis dan

menimbulkan keluhan dan atau lesi mukosal dan disebut sebagai Penyakit Refluks

Gastroesofageal (PRGE). Simtom RGE akan timbul bila sudah terdapat kelainan

pada mukosa esofagus . Simtom yang khas dan paling sering dijumpai yaitu heart

burn dan regurgitasi. Bila kedua simtom ini paling dominan dikeluhkan penderita

maka diagnosa PRGE memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95% (Kahrilas,

2002. Lodi, 1997. Tarigan, 2001). RGE sebagai pencetus asma perlu dipikirkan

jika gejala asma yang timbul sulit dikontrol dengan obat-obat asma yang biasa

dipakai (Mittal, 1996). Teori Osler tentang hubungan kausa antara gangguan

lambung dan serangan asma tersebut tidak mendapat perhatian selama hampir satu

abad (Devault, 2003).Pada tahun 1967, Urschel dan Paulson melaporkan bahwa

(35)

antaranya ternyata memiliki gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit

paru (Castel, 1995).

Sejak saat itu banyak studi yang dilakukan terhadap simtom RGE diantara

penderita asma. Hasil studi-studi selanjutnya mendapatkan prevalensi yang

bervariasi antara 34 hingga 89% (Studi di Eropa & Amerika utara 50-72% 7 Field

dkk 1996 77% (Harding, 1997), Vincent dkk dan Sontag dkk 32 - 82% (Harding,

1996. Stein, 2001) ,tergantung pada kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan

RGE dan populasi yang diteliti. Suatu laporan oleh Harding dkk 2000 12 Sontag

Irwin dkk (Field, 1996. Harding, 1999) bahkan mendapatkan bahwa penderita

asma yang tidak menunjukkan adanya gejala-gejala refluks seperti heartburn dan

regurgitasi asam memiliki prevalensi PRGE 62% dan 25 -50% untuk hasil yang

abnormal dari pemeriksaan pH esofagus 24 jam. Studi di Thailand mendapatkan

prevalensi Simtom RGE dan kontrol 57% dan 42% yang berarti penderita asma

memiliki prevalensi lebih tinggi dari grup kontrol tapi tidak signifikan secara

statistic (Harding, 1999). Penelitian terbaru di RS Persahabatan Jakarta

mendapatkan sebanyak 80.6% dan 100% pasien Asma Persisten Sedang

mengalami heartburn dan regurgitasi dengan 50% diantaranya terbukti esofagitis

erosif (esofagitis refluks) secara endoskopi (Sontag, 1990) . Studi oleh Tug &

Bahcecioglu mendapatkan tidak ada asosiasi yang signifikan antara beratnya asma

dengan klinis dan kerusakan patologis RGE yang terjadi (Harding, 1999)tetapi

sayangnya data di Medan belum ada .

Tertarik dengan hal tersebut diatas kami ingin mengetahui Prevalensi

Simtom RGE dan hubungannya dengan berat asma dengan frekwensi Simtom

RGE di Poli Pulmonogi & Alergi Imunologi Penyakit Dalam RSUP H Adam

(36)

3.2 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas :

3.2.1 Adanya simtom Refluks Gastroesofageal (RGE) pada penderita asma

sejak lama telah diketahui tetapi selama ini kurang mendapat perhatian

3.2.2 Simtom RGE yang tidak mendapatkan terapi yang adekuat dapat

menyebabkan perburukan gejala asma sehingga terjadi kegagalan

dalam terapinya

3.2.3 Hasil studi sebelumnya di berbagai tempat menunjukkan prevalensi

Simtom RGE yang tinggi sementara data di Medan belum ada .

3.3 Hipotesa

3.3.1 Prevalensi Simtom RGE lebih tinggi pada Penderita Asma

3.3.2 Ada hubungan antara beratnya asma dengan Simtom RGE

3.4 Tujuan Penelitian

3.4.1 Untuk mengetahui Bagaimana Prevalensi Simtom RGE pada

Penderita Asma

3.4.2 Untuk mengetahui hubungan antara beratnya asma dengan

Simtom RGE

3.5. Manfaat Penelitian

3.5.1. Dengan mengetahui Prevalensi Simtom RGE pada Penderita Asma

maka kepada setiap penderita asma nantinya dapat ditentukan

apakah perlu diberi perhatian khusus terhadap kemungkinan

adanya simtom RGE

(37)

dengan peningkatan kualitas penanganan terhadap penderita Asma

sesuai dengan derajat beratnya dan pencegahan komplikasi simtom

RGE berupa PRGE, esofagitis, ulserasi, striktur, perdarahan,

Barrett’s esophagus dan malignansi

3.5.3. Dapat menjadi data dasar guna penelitian lebih lanjut tentang

simtom RGE dan asma dimasa mendatang .

3.6. Kerangka Konsep

3.7. Kerangka Teori

3.8. Bahan dan Cara

3.8.1 Disain penelitian

Penelitian bersifat deskriptip analitik dengan metode pengumpulan

(38)

3.8.2 Defenisi operasional

a) Simtom RGE : Adanya simtom gejala berupa heartburn dan

regurgitasi dalam bentuk skor frekwensi RGE, skor keparahan

dan skor RGE total yang didapat melalui wawancara dengan

mempergunakan kwesioner .

b) Heartburn : yaitu perasaan seperti dada terbakar, dibelakang

tulang dada, terutama dirasakan setelah makan atau saat

berbaring.

c) Regurgitasi : perasaan seperti kembalinya isi lambung atau

disertai sendawa dan atau rasa asam dimulut

d) Penderita asma : Riwayat & hasil pemeriksaan medis

sebelumnya sesuai dgn diagnosa asma dan peningkatan nilai

APE > 15% setelah inhalasi dgn bronkodilator

d) Beratnya asma: dibagi dalam 3 klasifikasi derajat Asma

persisten ringan,sedang & berat menurut GINA 2005 (Tabel 3)

e) Kontrol (Non Asma) : Subjek yang pada anamnese,

pemeriksaan fisik bukan penderita Asma dan penyakit lain

yang sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan dalam penelitian.

Tabel 3 . Klasifikasi derajat asma menurut GINA 2005 (The NHLBI/WHO

(39)

N selama serangan

• Serangan mengganggu aktifitas

• Aktifitas fisik terbatas

sering

> 30% ≤ 60%

3.8.3 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Maret s/d Juni 2012 atau sampai

jumlah sampel memenuhi target di Poliklinik Pulmonologi dan

Alergi Imunologi dan Poliklinik pria/wanita Penyakit Dalam di

RSUP H Adam Malik Medan.

3.8.4 Subjek penelitian

Penderita asma persisten ringan,sedang dan berat yang berobat ke

Poliklinik Pulmonologi & Alergi imunologi Penyakit Dalam di

RSUP H Adam Malik Medan, sebagai kontrol dipergunakan pasien

non asma sesuai kriteria dimaksud yang berobat di poliklinik

pria/wanita .

3.8.5 Kriteria yang dimasukkan

1. Riwayat dan pemeriksaan sebelumnya sesuai dengan diagnosa asma .

2. Usia 16 tahun keatas

3. Bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent.

(40)

3.6.6 Kriteria yang dikeluarkan

1) Sedang mengalami eksaserbasi akut sedang-berat

2) PPOM

3) Obesitas (BMI>30kg/m2

4) Wanita Hamil

)

5) Riwayat penyakit esofagus seperti akalasia,striktura dan

Karsinoma

3.6.7 Jumlah sampel

Rumus yang digunakan:

n1 = n2 = [ Z(0.5-α). √ 2 P1Q1 + Z(0.5-β). √ 2 P1Q1- P2

Q2]

( P 2

1 - P2 )2

(0.15)

{1.96x(2. 0.57x0.43 + 1.282) . 2. 0.57 0.43-0.421 x 0.579

= 43.19  43 orang (minimal sampel 43 orang

untuk masing masing kelompok) 2

dimana:

Z(0.5-α).=nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya

tergantung pada nilai α yang ditentukan. Untuk α= 0,05

 Z(0.5-α)=1.96

Z(0.5-β).=nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya

tergantung pada nilai β yang ditentukan. Untuk β = 0,10

 Z(0.5-β)=1.282

(41)

P2

Q

= prevalensi RGE pada non asma=0.42 (Stein,2001)

2 = 1- P2

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberi

penjelasan tentang prosedur dan tujuan studi yang akan dilaksanakan .

Setelah menandatangani informed consent dilakukan pengisian status

penelitian berupa data demografik berupa usia,jenis kelamin,berat badan

tinggi badan dan indeks massa tubuh. Lalu seluruh subjek menjalani

pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan alat mini-Wright Peak

Flow Meter sebelum dan sesudah Inhalasi dengan B2 Agonis kerja cepat

Fenoterol (Berotec Inh MDI) 400 µg dalam rangka penegakan diagnosa

dan penentuan tingkat beratnya asma . Kemudian baik subjek maupun

kontrol mengisi kwesioner simtom RGE (adopsi dari Dent dan Chinese

GERD Study Group) yang berisi pertanyaan mengenai berapa sering dan

bagaimana berat ringan simtom RGE yang dialami untuk mendapatkan

;skor frekwensi RGE (0=tidak pernah, 1=<1 hari seminggu, 2=1 hari

seminggu, 3=2-3 hari seminggu, 4=4-6 hari seminggu dan 5=setiap hari)

dan skor keparahan (0=tidak pernah, 1=sangat ringan, 2=ringan, 3=sedang,

4=sedikit berat dan 5=berat) . Hasil skor frekwensi dan skor keparahan

dijumlahkan untuk mendapatkan skor RGE total (Chinese GERD Study,

(42)

3.6.9 Analisa data

Nilai deskriptif untuk variabel kuantitatif dicatat dalam bentuk

mean ± standar deviasi (SD). Untuk melihat perbandingan Prevalensi

Simtom RGE pada penderita asma dan kontrol digunakan chi-square test

pada tingkat kemaknaan (α=0.05) . Uji Anova untuk menilai perbedaan

antara beratnya asma dengan skor frekwensi, skor keparahan dan skor

RGE total dan apabila bermakna dilanjutkan analisa Post Hoc untuk

melihat dimana letak perbedaan tersebut . Untuk menilai sejauh mana

hubungan antara beratnya asma dengan skor simtom RGE digunakan uji

korelasi Pearson dengan alternatif Uji non parametrik Spearman apabila

tidak memenuhi syarat . Uji Prosesing dan analisa data dengan

menggunakan program SPSS 11.5. Dikatakan bermakna secara signifikan

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2012 di RSUP

H Adam Malik Medan. Selama kurun waktu tersebut didapatkan 47 orang

penderita asma dan 55 kontrol yang memenuhi kriteria penelitian

.Gambaran karakteristik penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

A. Data Umum Hasil Penelitian

Dari 47 penderita Asma terdiri dari wanita 32 orang ( 79 %) dan

pria 15 orang (21 %). Pada kelompok kontrol terdapat 39 orang wanita (

71 %) dan 16 orang pria (29 %) dimana dengan metode statistik tidak

terdapat perbedan yang bermakna terhadap perbedaan jenis kelamin pada

kelompok asma dan kontrol (p=0,757). Indeks Massa Tubuh (IMT)

rata-rata pada kelompok Asma 24,93 ± 3,78 sedangkan pada kelompok

kontrol adalah 22,00 ± 2,08 walaupun IMT pada kelompok kontrol lebih

tinggi, tetapi secara statistik tidak didapat perbedaan yang bermakna

antara keduanya ( p = 0,277) hal ini menunjukkan bahwa IMT antara

kelompok asma dan kontrol adalah setara. Dengan menggunaka uji

t-independent rata-rata umur penderita asma dan kontrol sesungguhnya

(44)

Tabel 4. Karakteristik demografi penderita asma dan kontrol

Dari tabel 5 terlihat bahwa dengan mengunakan uji Anova pada

kelompok asma terdapat perbedaan yang bermakna antara beratnya asma

dengan skor frekwensi, skor keparahan dan skor RGE total dengan nilai p

berturut-turut : 0,048 ; 0,042 ; 0,035 (Tabel 5)

Tabel 5. Derajat asma dan skor RGE total ,skor Frekwensi RGE dan

skor Keparahan RGE

Gambar 4 memperlihatkan dengan jelas hubungan antara skor RGE

dengan derajat keparahan beratnya asma dimana tergambar bahwa

semakin berat derajat keparahan asma maka skor RGE akan semakin

(45)

Persis ringanPersis sedangPersis berat

0

2

4

6

8

Mean of

rge

Gambar 4. Hubungan antara berat asma dgn skor RGE

Terdapat perbedaan yang bermakna Prevalensi simtom RGE pada

penderita asma dibandingkan dengan kontrol (tabel 6) dengan nilai

p=0,029 akan tetapi terhadap simtom : heartburn, regurgitasi serta ,

heartburn dan regurgitasi tidak didapati perbedaan yang bermakna

(dengan nilai p berturut-turut 0,169; 0,135; 0,527). Tabel 6 juga

memperlihatkan bahwa Prevalensi simtom RGE dijumpai 61,7% pada

kelompok asma sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebesar 40,0% .

Begitu juga didapati prevalensi heartburn (31,9%:20,0%), regurgitasi

(51,1%:36,4%), dan yang mengalami baik heartburn maupun regurgitasi

(46)

Tabel 6. Prevalensi Simtom RGE, Heartburn, Regurgitasi pada

Tabel 7. Gambaran perbedaan nilai rata rata skor RGE menurut beratnya

asma

Derajat Asma Perbedaan nilai

Mean Skor RGE

Signifikansi

Persis. Ringan Persis. sedang

Persis. berat

-5,123

-5,521

0,023*

0,019*

Persis.sedang Persis.ringan

Persis. berat

5,123

0,398

0,023*

0,844

Keterangan : * = signifikan (p. <0,05)

Tabel 8. Korelasi Skor RGE dengan beratnya asma

K o r e l a s i

r

p.

Skor RGE dgn keparahan Asma

0,326 0,012

Tabel 8 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara skor RGE

dengan beratnya asma dengan nilai koefisien korelasi (r=0,326). Nilai positif

menunjukkan sifat hubungan yang berbanding lurus jika derajat asma semakin

berat maka skor RGE akan semakin tinggi. Sifat hubungan ini juga dapat dilihat

(47)

0

5

10

15

20

25

11.5Derajat Asma22.53 Observed Linear Skor RGE

(48)

BAB V

PEMBAHASAN

Walaupun hubungan yang kuat antara RGE dengan asma telah

dilaporkan berulang kali, namun hubungan di antaranya masih belum jelas.

Berbagai data yang telah dipublikasikan mendukung dan menentang hipotesa

yang menyatakan bahwa RGE menyebabkan asma, asma menyebabkan RGE, dan

pengobatan dengan bronkodilator menyebabkan RGE. Hubungan yang kuat antara

RGE dan asma, dan juga laporan-laporan yang menyebutkan bahwa RGE

menyebabkan timbulnya gejala-gejala pernafasan pada penderita asma telah

membawa banyak peneliti untuk menduga bahwa hubungan tersebut merupakan

yang disebabkan karena RGE menyebabkan asma (Tanjung, 2003).

Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang di dapat oleh Field

(1996), Vincent dkk, Sontag dkk dan penelitian lainnya yang mendapatkan

prevalensi simtom RGE bervariasi dari 34% hingga 89% dari penderita asma yang

diteliti, kami mendapatkan bahwa prevalensi simtom RGE pada asma sebesar

61,7% yang berbeda bermakna bila dibanding dengan kelompok kontrol yang

hanya sebesar 40,0% dengan nilai p=0,029. Begitu juga dengan simtom

heartburn (31.9% : 20.0%), regurgitasi (51.1% ; 36.4%), berturut turut dengan

nilai p = 0.169 ; 0.135 akan tetapi terhadap simtom heartburn dan regurgitasi

tidak didapati perbedaan yang bermakna dimana didapati 21,3% : 16,4% dengan

nilai p=0,527

Karena ada pengaruh antara simtom RGE dengan IMT dan IMT > 30%

(49)

penelitian ini di dapati IMT pada kelompok kontrol dan asma tidak berbeda

bermakna dengan nilai p=0,277 dan semuanya dengan IMT<30% .

Terdapat perbedaan usia yang bermakna antara kelompok asma dan

kontrol dengan p<0,01 akan tetapi ini bisa diterima karena memang usia

bukanlah merupakan faktor perancu sehingga perbedaan usia yang diperoleh dari

sampel penelitian tidak akan menimbulkan bias.

Faktor-faktor yang berperan menimbulkan RGE pada penderita asma

meliputi disregulasi otonom, peningkatan tekanan gradien antara esofagus dan

lambung,gangguan fungsi krural diafragma, dan penggunaan obat-obat

bronkodilator .

Terdapat hubungan antara skor RGE dengan beratnya keparahan asma

dimana semakin berat tingkat keparahan asma maka skor RGE akan semakin

tinggi dengan nilai p=0,035. Ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Tuncer Tug (2003) dimana didapati tidak ada perbedaan skor RGE dengan

keparahan asma dengan nilai p>0,05. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan

karena pada penelitian kami tidak dilakukan evaluasi terhadap lamanya menderita

asma pada setiap penderita. Sebagaimana diketahui bahwa lamanya seseorang

menderita asma akan berhubungan dengan makin lamanya pemaparan terhadap

faktor-faktor yang yang berperan menimbulkan RGE pada penderita asma yaitu

disregulasi otonom, peningkatan tekanan gradien antara esofagus dan

lambung,gangguan fungsi krural diafragma, dan penggunaan obat-obat

bronkodilator yang oleh banyak peneliti dianggap sebagai faktor penyebab

terjadinya RGE pada penderita asma.

Pada Asma persisten ringan dibanding dengan asma persisten

(50)

berbeda bermakna dengan nilai p. berturut turut 0,023 dan 0,019.

Sedangkan bila dibandingkan antara asma persisten sedang dan asma

persisten berat tidak dijumpai perbedaan nilai yang bermakna terhadap

skor RGE (nilai p = 0,844).

Dengan menggunakan Uji Spearman untuk melihat hubungan

antara skor RGE dengan beratnya asma diperoleh nilai p=0,012. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara beratnya asma

dengan skor RGE, walaupun hubungan itu adalah bersifat lemah (dengan

(51)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Prevalensi simtom RGE pada penderita asma adalah 61,7%

sedangkan pada non-asma sebanyak 40,0% ..

2. Ada hubungan antara beratnya asma dengan simtom RGE .

6.2. SARAN

1. Oleh karena tingginya prevalensi simtom RGE pada penderita

asma maka kepada setiap penderita asma perlu diberi perhatian

khusus terhadap kemungkinan adanya simtom RGE

2. Dengan adanya hubungan antara beratnya Asma dengan

Simtom RGE perlu dipertrimbangkan suatu protokol terapi

baru sehubungan dengan peningkatan kualitas penanganan

terhadap penderita Asma sesuai dengan derajat beratnya dan

pencegahan komplikasi simtom RGE sendiri berupa PRGE,

esofagitis, ulserasi, striktur, perdarahan, Barrett’s esophagus

dan malignansi

3. Dengan tersedianya data dari hasil penelitian kami ini dan

masih banyaknya tanda tanya seputar RGE pada penderita

asma maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

simtom RGE dan asma dengan sampel yang lebih bayak dan

(52)

DAFTAR PUSTAKA

American Gastroenterological Association. American Gastroenterological

Association medical position statement: guidelines on the use of

esophageal pH recording. Gastroenterology 1996; 110:1981

Castell DO, Schnatz PF. Gastroesophageal reflux and asthma. Reflux or

reflex ? . Chest 1995;108;1186-7

Chinese GERD Study Group . Value of reflux diagnostic questionnaire in the

diagnosis of gastroesophageal reflux disease . The Chinese Journal

Digestive Disease 2004;5:51-5 .

Chunlertrith, K. Boonsawat, W., Zaeoue U . Prevalence of Gastroesophageal

Reflux Symptoms in Asthma Patients at Srinagarind Hospital . J Med Assoc

Thai 2005; 88(5): 668-71

Dent J .Highlights International Symposium, Porto, Portugal, 7 October 2000 .

Evolution of Reflux Disease Management & the role of Nexium

Depla, A.C., Bartelsman, J.F., Roos, C.M., et al. Beneficial effect of omeprazole

in a patient with severe bronchial asthma and gastroesophageal reflux. Eur

Respir J 1988; 1:966-68

Devault, K.R . Extraesophageal symptoms of GERD . Cleveland Clinic Journal of

Medicine vol 70 Supllement 5 Nov 2003 : S 20-S 32

Harding, S.M., Richter, J.E. The role of gastroesophageal reflux in chronic cough

and asthma. Chest 1997;111:1389-402.

DeVault, K.R., Castell, D.O., for the Practice Parameters Committee of the

American College of Gastroenterology. Guidelines for the diagnosis and

treatment of gastroesophageal reflux disease. Arch Intern Med 1995;

(53)

DeVault, K.R., Richter, J.E., Alfano, L.F. dkk. New Considerations in the

Evaluation and Management of GERD American Medical Association.

[cited July 2002]

Djojoningrat, D. Tatalaksana Medikamentosa Terkini Penyakit Refluks

Gastroesofageal. Dalam: Setiati S dkk Ed. Current Diagnosis and Treatment

in Internal Medicine 2002 . Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FK UI : 187-193

Ekström, T., Tibbling ,L. Influence of theophylline on gastro-oesophageal

reflux and asthma. Eur J Clin Pharmacol 1988;35:353-6

Ekstrom, T., Lindgren, B.R., Tibbling, L. Effects of ranitidine treatment on

patients with asthma and a history of gastrooesophageal reflux: a double blind

cross over study. Thorax 1989; 44:19-23

Field, S.K., Underwood, M., Brant, R., et al. Prevalence of GER symptoms in

asthma. Chest 1996;109:316-22

Ford, G.A., Oliver, P.S., Prior, J.S., et al. Omeprazole in the treatment of

asthmatics with nocturnal symptoms and gastrooesophageal reflux: a

placebo-controlled cross-over study.Postgrad Med J 1994; 70:350-54

Goodall, R.J.R., Earis, J.E., Cooper, D.N., et al. Relationship between asthma and

gastroesophageal reflux. Thorax 1981;36:116-21

Harding, S.M., Richter, J.E., Guzzo, M.R., Schan, C.A., Alexander, R.W.,

Bradley, L.A . Asthma and gastroesophageal reflux : Acid suppressive

therapy improves asthma outcome. Am J Med 1996;100:395-405 .

Harding, S.M.,, Richter, J.E., Guzzo, M.R., et al. Asthma and GER: acid

suppressive therapy improves asthma outcome. Am J Med 1996;

Gambar

Gambar 1. Anatomi Esophagogastric Junction.  (Devault, 2003)
Tabel 1. Daftar obat yang menurunkan tekanan LES (Susanto, 2005)
Gambar 2 : Mekanisme patofisiologi asam esofagus menginduksi
Tabel 2 .  Gejala klinis PRGE pada Asma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan profil penderita asma yang datang berobat ke poliklinik asma di bagian paru RSUP Haji Adam Malik Medan mayoritas berusia antara 45-54

Untuk mengetahui adanya hubungan kecemasan terhadap tingkat kontrol asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.. Untuk mengetahui kecemasan penderita asma di Balai Besar

Dari hasil analisis data, tidak terdapat hubungan antara beratnya pekerjaan dengan kejadian hernia nukleus pulposus di RSUP H.Adam Malik pada tahun 2014. Kata kunci :

Data diperoleh dari rekam medis RSUP H.Adam Malik tahun 2014 dan dianalisis dengan menggunakan uji Fisher’s Exact Test untuk melihat adanya hubungan antara beratnya

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang asma dengan tingkat kontrol asma pada penderita asma umur lebih dari atau sama dengan

Karakteristik Penderita Asma Bronkhial Rawat Inap di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr.. Karakteristik Penderita Asma Bronkial Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSU

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rinitis alergika dan penyakit refluks gastroesofageal dengan tingkat kontrol asma

adiponektin rendah berisiko mengalami obstruksi sedang/berat sebanyak 2,6 kali dibandingkan penderita asma dengan kadar adiponektin normal/tinggi. Kesimpulan: Ada hubungan