• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Intervensi Koroner Perkutan pada Unit Kateterisasi RSUP Haji Adam Malik periode 2009-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Profil Intervensi Koroner Perkutan pada Unit Kateterisasi RSUP Haji Adam Malik periode 2009-2010"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL INTERVENSI KORONER PERKUTAN (IKP) PADA UNIT KATETERISASI RSUP HAJI ADAM MALIK

PERIODE 2009-2010

OLEH :

ARTA EKA MEILANY SIMARMATA 080100136

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROFIL INTERVENSI KORONER PERKUTAN (IKP) PADA UNIT KATETERISASI RSUP HAJI ADAM MALIK

PERIODE 2009-2010

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat ubtuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

ARTA EKA MEILANY SIMARMATA 080100136

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PROFIL INTERVENSI KORONER PERKUTAN (IKP) PADA UNIT KATETERISASI RSUP HAJI ADAM MALIK PERIODE 2009-2010 Nama : Arta Eka Meilany Simarmata

NIM : 080100136

Pembimbing Penguji I

Prof.dr.Harris Hasan Sp.PD, Sp.JP, (K) dr.Isti Ilmiati F.MSc.CM-FM, M.Pd.Ked

NIP : 19560405 198303 1 004 NIP: 19670527 199903 2 001

Penguji II

dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes NIP : 19690609 19903 2 001 Medan, Desember 2011

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

NIP : 19540220 198011 1 001 ABSTRAK

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) merupakan tindakan yang dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari

(Majid, 2007). Tindakan ini sering dilakukan pada orang dengan penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner dipengaruhi oleh faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

Penelitian dengan metode deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan

cross-sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP Haji Adam Malik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data rekam medis dan diolah dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Berdasarkan hasil penelitian dari 314 sampel diketahui bahwa lokasi penyempitan tersering adalah di LAD (Left Anterior Descending) yaitu 53,57% dan penyempitan yang sering diintervensi adalah pada grade 3 (75-94%) dengan rata-rata keberhasilan mencapai 95,5% .

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP Haji Adam Malik ini dapat diketahui gambaran faktor risiko, lokasi penyumbatan, derajat penyumbatan dan keberhasilan IKP.

(5)

ABSTRACT

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is an action that can eliminate the blockage with immediately, so that blood flow can be normal again, so the heart muscle damage can be avoided (Majid, 2007). This action is often performed in people with coronary heart disease. Coronary heart disease is influenced by modifiable risk factors and that can not be modified.

The study was conducted with descriptive method with cross-sectional approach. This study aims to determine the profile of Percutaneous Coronary Intervention in the catheterization unit RSUP Haji Adam Malik. Data collection is done by collecting medical records and processed using SPSS version 17.0.

Based on research results of 314 samples is known that the location of the narrowing is common in the LAD (Left Anterior Descending) 53.57% and narrowing the frequent intervention was in grade 3 (75-94%) with an average success reached 95.5%.

The conclusion from this study showed that the profile of Percutaneous Coronary Intervention at catheterization unit of RSUP Haji Adam Malik was known description of risk factors, location, degree and success of the PCI.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “ Profil Intervensi Koroner Perkutan pada Unit Kateterisasi RSUP Haji Adam Malik periode 2009-2010” tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh sarjana kedokteran.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (KGEH) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

2. Prof.dr.Guslihan Dasa Tjipta,Sp.A(K) selaku Pembantu Dekan 1 atas izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

3. Prof.dr.Haris Hassan, Sp.PD, Sp.JP, (K) selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan karya tulis ini.

4. dr.Isti Ilmiati F.MSc.CM-FM, M.Pd.Ked dan dr.Arlinda Sari Wahyuni M.Kes selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran untuk pembuatan karya tulis ini.

5. Drs.Palas.Apt, Kepala Instalasi Litbang yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil data penelitian di RSUP Haji Adam Malik.

6. Petugas data rekam medis RSUP Haji Adam Malik yang telah membantu dalam pengumpulan data rekam medis.

7. Komisi etik yang telah mengizinkan penelitian ini untuk dilakukan.

(7)

9. Semua dosen dan staf/pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan dan bantuan dalam hal administratif dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

10.Orangtua penulis, S.M. Simarmata (ayah), L.Situmorang (ibu), Allwin M Simarmata (abang) dan Adhy Booris Simarmata (abang) yang telah memberikan dukungan materi, moral dan doa selama pengerjaan karya tulis ilmiah ini.

11.Sahabat penulis, Supemda Siahaan, ST, Fathir Miski, Riris Silvia dan Muhammad Miftah yang telah memberi bantuan, saran, kritik, semangat, dan mendukung dalam doa dalam pembuatan karya tulis ini.

12.Dan berbagai pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam kesempatan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ilmiah masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik yang membangun demi perbaikan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2010 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Intervensi Koroner Perkutan (IKP) ... 5

2.2 Faktor Risiko ... 10

2.3 Indikasi IKP ... 13

2.4 Lokasi Penyempitan ... 19

(9)

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Operasional ... 24

3.2 Definisi Operasional... 24

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 27

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5 Metode Analisis Data ... 29

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 30

5.2 Pembahasan ... 36

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1 Profil pasien menurut jenis kelamin ... 30

5.2 Profil pasien menurut kelompok umur ... 31

5.3 Profil pasien menurut diagnosis penyakit ... 31

5.4 Profil pasien menurut lokasi penyempitan per jumlah kasus ... 32

5.5 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD sebelum IKP ... 32

5.6 Profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA sebelum IKP ... 33

5.7 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LCX sebelum IKP ... 33

5.8 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD setelah IKP ... 34

5.9 Profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA setelah IKP ... 34

5.10 Profil IKP menurut penyempitan di LCX setelah IKP... 35

5.11 Gambaran pasien menurut riwayat merokok ... 35

5.12 Gambaran pasien menurut riwayat hipertensi ... 35

5.13 gambaran pasien menurut adanya riwayat diabetes mellitus ... 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Algoritme IKP pada NSTEMI ... 16

Gambar 2 : Algoritme IKP pada STEMI ... 17

Gambar 3 : Anatomi arteri koroner ... 20

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

NIP : 19540220 198011 1 001 ABSTRAK

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) merupakan tindakan yang dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari

(Majid, 2007). Tindakan ini sering dilakukan pada orang dengan penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner dipengaruhi oleh faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

Penelitian dengan metode deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan

cross-sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP Haji Adam Malik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data rekam medis dan diolah dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Berdasarkan hasil penelitian dari 314 sampel diketahui bahwa lokasi penyempitan tersering adalah di LAD (Left Anterior Descending) yaitu 53,57% dan penyempitan yang sering diintervensi adalah pada grade 3 (75-94%) dengan rata-rata keberhasilan mencapai 95,5% .

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP Haji Adam Malik ini dapat diketahui gambaran faktor risiko, lokasi penyumbatan, derajat penyumbatan dan keberhasilan IKP.

(14)

ABSTRACT

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is an action that can eliminate the blockage with immediately, so that blood flow can be normal again, so the heart muscle damage can be avoided (Majid, 2007). This action is often performed in people with coronary heart disease. Coronary heart disease is influenced by modifiable risk factors and that can not be modified.

The study was conducted with descriptive method with cross-sectional approach. This study aims to determine the profile of Percutaneous Coronary Intervention in the catheterization unit RSUP Haji Adam Malik. Data collection is done by collecting medical records and processed using SPSS version 17.0.

Based on research results of 314 samples is known that the location of the narrowing is common in the LAD (Left Anterior Descending) 53.57% and narrowing the frequent intervention was in grade 3 (75-94%) with an average success reached 95.5%.

The conclusion from this study showed that the profile of Percutaneous Coronary Intervention at catheterization unit of RSUP Haji Adam Malik was known description of risk factors, location, degree and success of the PCI.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia, diikuti oleh kanker dan stroke. Setiap tahunnya di seluruh dunia 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal disebabkan oleh penyakit jantung koroner (WHO, 2004). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab satu dari setiap lima kematian di Amerika Serikat. Diperkirakan setiap 25 detik, seseorang di Amerika Serikat mengalami serangan jantung, dan diperkirakan juga setiap satu menit, seseorang meninggal karena serangan jantung (AHA, 2009).

Penatalaksanaan secara medis dari penyakit jantung koroner ditujukan untuk stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya, begitu juga untuk mencegah rupturnya plak serta sekuel berikutnya. Di pihak lain revaskularisasi baik dengan bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft) ataupun

percutaneous coronary intervention (PCI) bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner yang efektif, sehingga mengatasi iskemik miokardial serta gejala-gejala yang terjadi (Nakamura, 2011).

Diperkenalkannya percutaneous transluminal coronary angioplasty

(16)

termasuk atherectomy (pemotong plak), stent, dan drug-eluting stent saat ini telah diperkenalkan, dengan tingkat kesuksesan, keamanan dan ketahanan jangka panjang yang lebih baik, dimana istilah PTCA kini berubah menjadi percutaneous coronary intervention (PCI) (Baim, 2008). Saat ini lebih dari 500.000 prosedur PCI dilakukan setiap tahunnya di Amerika Serikat, dan telah diperkirakan bahwa lebih dari 1.000.000 prosedur dilakukan setiap tahunnya di seluruh dunia (AHA, 2001).

Di Indonesia sendiri tindakan PCI atau lebih sering dikenal dengan istilah Intervensi Koroner Perkutan (IKP) , pada awalnya hanya dilakukan di Jakarta dan Surabaya. Tindakan intervensi koroner di Indonesia mulai diperkenalkan tahun 1987, dan sejak lima tahun terakhir ini mulai berkembang di daerah-daerah seperti Medan, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Makasar. Perkembangan IKP di Medan dimulai secara intensif sejak tahun 2002. Tindakan ini dikerjakan di RSUP H. Adam Malik dan RS Gleneagles Medan. Sejak tiga tahun terakhir tindakan IKP ini telah dapat dilakukan sendiri oleh sebagian besar staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK USU Medan. Dari waktu ke waktu jumlah pasien yang dilakukan tindakan ini semakin meningkat drastis terutama sejak digalakkan program Askes dan Askeskin. Dimana pada tahun 2002 terdapat sebanyak 120 orang yang diangiografi serta 23 orang yang dilakukan IKP, dan pada tahun 2004 terdapat 370 orang yang diangiografi dan 95 orang yang dilakukan IKP (Hasan, 2007).

Indikasi dasar dari IKP adalah adanya satu atau lebih stenosis koroner yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang terjadi, yang memerlukan revaskularisasi. Indikasi klinis IKP saat ini meliputi berbagai spektrum penyakit jantung iskemik, mulai dari pasien dengan silent ischemia sampai pasien dengan angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris) dan ST-elevation myocard infarct (STEMI) (Baim, 2008). Indikasi secara lebih detail telah dirangkum dalam

(17)

Pada saat ini intervensi koroner perkutan dilakukan dengan angka kesakitan dan angka kematian terendah. Kematian terjadi <1% dan angka komplikasi (kematian, infak miokard dan operasi pintas koroner segera ) biasanya antara 3-5 %. Tetapi dari tahun ke tahun hasilnya lebih baik. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh register NHLBI dari Amerika Serikat (Smith, 2005)

Beberapa randomized trial telah membandingkan efektifitas obat dibandingkan dengan Intervensi Koroner Perkutan. Berdasarkan Asymptomatic Cardiac Ischemia Pilot (ACIP), telah dilakukan penelitian pada 558 pasien. Dan setelah di follow-up setelah 2 tahun didapatkan hasil 4,7% terjadi kematian dan infark miokard pada revaskularisasi, 8,8% pada ischemia guided grup dengan obat dan 12,1 % pada angina guided group dengan menggunakan obat (AHA, 2005).

Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan oleh Huynh (2009) terhadap 23

randomized clinical trial (8140 pasien) dan 32 observational studies (189.900 pasien) dengan usia rata-rata berkisar 57 sampai 91 tahun, mendapatkan bahwa dibandingkan dengan terapi fibrinolisis, IKP mempunyai pengurangan mortalitas jangka pendek, reinfraksi dan stroke yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana profil Intervensi Koroner Perkutan (IKP) di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2009-2010?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

(18)

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proporsi pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia yang dilakukan tindakan IKP

2. Untuk mengetahui gambaran faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, merokok, dan hiperkolesterolemia.

3. Untuk mengetahui indikasi penyakit jantung yang harus dilakukan IKP 4. Untuk mengetahui gambaran lokasi penyempitan pada IKP

5. Untuk mengetahui derajat penyempitan pada pasien sebelum mendapat tindakan IKP

6. Untuk mengetahui perbaikan penyempitan setelah dilakukan IKP.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H Adam Malik sehingga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan Intervensi Koroner Perkutan (IKP) yang dilakukan di laboratorium kateterisasi RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Sebagai bahan masukan bagi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK USU terutama dalam bidang kardiologi intervensi yaitu mengenai Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

3. Sebagai referensi dan masukan untuk penelitian berikutnya.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2007).

Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga memperhatikan klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2007).

Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah. Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang disebut jarum pembuka. (Eileen, 2007)

Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan pembuka untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan. Melalui sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding catheter ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter, penanda radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi kelainan dapat diketahui.

Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri koroner dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai.

(20)

mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung memandu kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan menembus blokade.

Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang. Jika stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang.

IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan institusi tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi, walaupun pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak beberapa jam selepas tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya. (AHA, 2001).

Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder dari CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent

koroner untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin dan clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan klinik (Grossman,2008).

Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel (untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat berinteraksi.

Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent

(21)

merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima. Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo, 2007).

Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat menimbulkan adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah (Hasse, 2010)

Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer dan obat dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gagal karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi, peradangan atau lebih trombogenik daripada stent biasa.

Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis (Sudoyo, 2007)

Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan bagian yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent. Penggunaan IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang optimal terhadap seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009).

(22)

antiplatelet ganda, diabetes mellitus, fungsi ventrikel kiri jelek dan kelompok lesi risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left main), percabangan (bifurkasi), lesi ostial , pembuluh darah.

Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan untuk prosedur pada koroner (AHA, 2001).

1. Trombolisis stent

Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent

masih berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan bertahun setelah pemasangan PCI.

2. Stenosis stent

Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang berlebihan dari dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.

3. Komplikasi mayor

(23)

4. Komplikasi minor

Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman, 2005)

Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut : 1. Faktor anatomi

Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor keberhasilan IKP.

2. Faktor klinis

Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8% pada pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi usia, jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan diabetes.

3. Risiko kematian

Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan oklusi orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.

4. Wanita

Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP memiliki insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan hiperkolestrolemia.

5. Usia lanjut

Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar dihubungkan dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.

6. Diebetes mellitus

(24)

7. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG

IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda CABG berulang.

8. Konsiderasi teknik yang spesifik

Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya rotasi ataupun ekstraksi atherectomy.

9. Faktor hemodinamik

Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction

dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2001)

2.2 Faktor risiko

Penyempitan pembuluh darah dapat terjadi karena beberapa penyebab. Penyempitan ini bias dipicu oleh adanya atheroma. Atheroma merupakan plak ateromatosa yang terdiri atas lesi fokal yang meninggi yang berawal di dalam intima, memiliki inti lemak ( terutama kolesterol dan ester kolesterol) yang lunak, kuning dan grumosa serta dilapisi oleh selaput fibrosa putih yang padat. Ukuran plak bervariasi dari garis tengah 0,3 sampai 1,5 cm, tetapi kadang-kadang menyatu membentuk massa sebagian lingkaran dinding arteri dan membentuk bercak-bercak yang tersebar di sepanjang pembuluh. Lesi aterosklerotik awalnya bersifat fokal dan tersebar jarang, namun seiring dengan perkembangan penyakit lesi bertambah banyak dan difus (Robbins, 2007).

(25)

Plak aterosklerotik memiliki tiga komponen utama yaitu sel,termasuk sel otot polos, makrofag dan leukosit lain ; matriks ekstrasel, termasuk kolagen, serat elastik dan proteoglikan serta ; lemak intrasel. Komponen tersebut dapat dalam proporsi dan konfigurasi yang berbeda-beda di setiap lesi. Biasanya lapisan fibrosa superfisial terdiri atas sel otot polos dan kolagen yang relatif padat. Di bawah dan sisi lapisan penutup ini terdapat daerah seluler yang terdiri atas makrofag, sel otot polos dan limfosit T (Robbins, 2007).

Jauh di sebelah dalam dari lapisan fibrosa terdapat inti nekrotik yang mengandung massa lemak yang tersusun acak, celah yang mengandung kolesterol, debris sel yang mati, sel busa, fibrin,thrombus dan protein plasma lainnya. Sel busa adalah sel besar penuh lemak yang terutama berasal dari monosit darah, tetapi sel otot polos juga dapat memakan lemak untuk menjadi sel busa. Akhirnya, terutama di sekitar bagian tepi lesi, biasanya terdapat tanda- tanda neovaskularisasi (pembuluh darah halus yang berpoliferasi). Atheroma tipikal mengandung lemak yang relatif banyak, tetapi banyak dari apa yan disebut sebagai plak fibrosa mengandung terutama sel otot polos dan jaringan fibrosa.

Faktor-faktor yang turut berperan dalam penyempitan pembuluh darah tersebut mempengaruhi penyempitan pembuluh darah pada pasien. Faktor risiko tersebut ada yang dapat diintervensi dan ada juga yang tidak dapat diintervensi.

Faktor risiko tidak dapat diintervensi meliputi : 1. Usia

Usia memiliki pengaruh dominan, angka kematian akibat penyakit jantung iskemik meningkat setiap dekade bahkan sampai lanjut usia. Penyempitan biasanya belum nyata secara klinis sampai usia pertengahan atau lebih, saat lesi di arteri mulai mencederai organ. Antara usia 40 dan 60 tahun, insiden infark miokardium meningkat lima kali lipat.

2. Jenis kelamin

(26)

perempuan. Infark miokardium dan penyulit lain aterosklerosis jarang pada perempuan pramenopause, kecuali mereka memiliki predisposisi diabetes, hiperlipidemia atau hipertensi berat.

Namun, setelah menopause insiden penyakit terkait aterosklerosis meningkat, mungkin akibat menurunnya kadar estrogen alami, memang frekuensi infark miokardium pada kedua jenis kelamin setara pada usia 70 sampai 80-an tahun. Terapi sulih hormon pascamenopause sedikit banyak memberi perlindungan terhadap serangan aterosklerosis.

3. Riwayat keluarga

Predisposisi familial terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik kemungkinan besar bersifat poligenik. Pada sebagian kasus, predisposisi tersebut berkaitan dengan berkumpulnya sekelompok faktor risiko lain, misalnya hipertensi atau diabetes, sedangkan pada yang lain, predisposisi tersebut berkaitan dengan kelainan genetik dalam metabolisme lipoprotein yang menyebabkan kadar lemak darah sangat tinggi, seperti hiperkolesterolemia familial (Robbins, 2007).

Faktor risiko yang dapat diintervensi : 1. Merokok

Merokok adalah faktor risiko yang sudah terbukti pada laki-laki dan diperkirakan merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan aterosklerosis pada perempuan. Merokok satu bungkus atau lebih per hari selama beberapa tahun dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung iskemik sampai 200%. Berhenti merokok mengurangi risiko secara bermakna.

2. Hipertensi

(27)

darahnya 140/90 mmHg atau kurang. Baik tingkat sistol maupun diastol, sama pentingnya dalam meningkatkan risiko. Terapi antihipertensi mengurangi insiden penyakit terkait aterosklerosis, terutama stroke dan penyakit jantung iskemik (Robbins, 2007).

3. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus memicu hiperkolesterolemia dan peningkatan mencolok predisposisi terjangkit aterosklerosis. Bila faktor lain setara, insiden infark miokardium setara , insiden infark mikardium dua kali lebih besar pada pengidap diabetes daripada yang tidak mengidap. Juga terjadi pengingkatan risiko terkena stroke dan, bahkan yang lebih mencolok mungkin peningkatan seratus kali lipat risiko ganggren akibat ateroskelrosis di ekstremitas bawah.

4. Hiperkolesterolemia

Hiperlipidemia adalah fakor risiko utama untuk aterosklerosis. Sebagian besar bukti secara spesifik menunjukkan hiperkolesterolemia. Komponen utama serum total yang menyebabkan peningkatan risiko adalah kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL). Sebaliknya peningkatan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) menurunkan risiko. HDL diperkirakan berperan memobilisasi kolesterol dan atheroma yang sudah ada memindahkan ke hati untuk diekskresikan ke empedu, sehingga molekul ini disebut „kolesterol baik‟.

(28)

2.3 Indikasi IKP

ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI sebagai berikut :

Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.

Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan efikasi tindakan tersebut.

Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.

Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2001).

Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut

1. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) .

(29)

Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :

- Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat

- Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv)

- Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB - Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil - Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel - Angina tidak stabil pada pasca infark dini

- Diabetes mellitus

Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah. (Hassan, 2007)

2. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.

(30)
[image:30.595.49.551.188.676.2]

Berikut adalah algoritme indikasi dilakukannya IKP pada pasien sindroma koroner akut dengan NSTEMI maupun STEMI (Sudoyo, 2007).

Gambar 1. Algoritme IKP pada NSTEMI Risiko tinggi

Rx angio segera (2,5 jam) : inhibitor GPIIb/IIA tunda

Risiko rendah

Rx strategi konservatif Rx strategi invasif

PCI + tirofiban atau eptifibatid diteruskan

Rx tes stress nonivasif Rx angio dini(48 jam):

inhibitor GPIIb/III3a beri tirofiban atau eptofibatide

Terapi medik PCI + abciximab atau

eptifibatid

PCI provisional abciximab atau

eptifibatid Pasien dengan NSTEMI-

sindroma koroner akut

(31)
[image:31.595.83.531.123.720.2]

Di bawah ini adalah algoritme pelaksanaan indikasi pasien dengan STEMI.

Gambar 2. Algoritme IKP pada STEMI

-12 hours

STEMI within 12 hours after onset of symptoms

< 3 hours Patients presenting in a

hospital with PCI

Patients presenting in a

hospital without PCI

PCI hours not

available Immediated transfer

PCI hours available

succesful failed

thrombolysis

Post thrombolysis

PCI

Ischemic guided PCI Predischarg

e Ischemic

(32)

Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut 1. Asimptomatik dan angina ringan

2. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.

Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau unstable angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-obatan dan lebh sering memberikan efek yang signifikan dengan revaskularisasi Percutaneus Coronary Intervention.

3. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk lebih dari 90% pasien.

4. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary bypass surgery

5. Penggunaan teknologi (AHA, 2001)

Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12 jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi gagal jantung yang severe (Griff, 2008).

Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan meningkatkan prognosis jangka panjang (Ellis, 2006).

(33)

2.4 Lokasi penyempitan

Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah. Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi IKP.

Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).

2.4.1 Anatomi kasar

Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung terletak di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum, jantung memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan pemiliknya. Ujung atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung bawah yang mengerucut mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari perikardium dan rongga perikardial.

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar yang terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat. Miokardium di bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk memompa darah. Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas jaringan ikat (Slonane, 2000).

2.4.2 Ruang Jantung

(34)

tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa darah yang tidak mengandung oksigen.

Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal Artery

[image:34.595.144.497.282.508.2]

(LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.

Gambar 3. Anatomi arteri koroner.

2.4.3 Sirkulasi koroner memperdarahi jantung

Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari arteri koroner kiri adalah sebagai berikut :

(35)

2. Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri. Di sisi anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri koroner kanan.

Cabang utama dari arteri koroner kanan adalah sebagai berikut:

1. Arteri intraventrikular posterior (desenden) yang mensuplai darah untuk kedua dinding ventrikel.

2. Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan dan ventrikel kanan.

Vena jantung (besar,kecil,oblik) mengalirkan darah dari miokardium ke sinus koroner yang kemudian bermuara di atrium kanan. Darah mengalir melalui arteri koroner terutama saat otoo-otot jantung berelaksasi karena arteri koroner juga tertekan pada saat kontraksi berlangsung.

Ada beragam anatomi sirkulasi pada manusia. Sebagian besar orang memiliki sirkulasi koroner yang seimbang, tetapi ada orang tertentu yang memiliki dominan koroner kanan atau dominan koroner kiri (Slonane,2000).

Pada pengklasifikasian lesi dikenal istilah deskripsi lesi risiko tinggi atau lesi C yaitu sebagai berikut :

1. Adanya difusi lebih dari 2 cm

2. Excessive tortuosity dari segmen proksimal 3. Segmen terakumulasi lebih dari 900

4. Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral

5. Ketidakmampuan untuk melindungi cabang yang lebih besar 6. Vena yang terdegenerasi

Oklusi total lebih dari 3 bulan dan atau adanya bridging collateral dan vena yang terdegenerasi adalah untuk kegagalan teknik dan peningkatan restenosis dan tidak untuk komplikasi akut (AHA, 2005).

(36)

Tipe I ( angka keberhasilan tertinggi, risiko terendah) 1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C

2. Patent

Tipe II

1. Ada beberapa kriteria lesi C Difusi ( lebih dari 2 cm)

Excessive Turtuosity dari segmen proksimal Segmen terakumulasi >900

Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar Vena yang terdegenerasi

2. Patent

Tipe III

1. Tidak ditemuinya kriteria untuk lesi C 2. Oklusi

Tipe IV

1. Ada kriteria lesi C Difusi lebih dari 2 cm

Excessive tortuosity dari segmen proksimal. Segmen terangulasi >900

Ketidakmampuan melindungi cabang yang lebih besar Vena yang terdegenerasi

(37)

2.5Derajat penyempitan

Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005). Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 % pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997 dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi menjadi :

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

[image:38.595.113.530.275.524.2]

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 4. Kerangka konsep penelitian 3.2 Definisi Operasional

1. Intervensi Koroner Perkutan (IKP) adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon.

2. Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit yang diderita induvidu dimana secara statistik berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus baru berikutnya. Faktor risiko yang Intervensi Koroner

Perkutan (IKP)

Faktor risiko

Indikasi IKP

Lokasi penyempitan

Derajat penyempitan

-Jenis kelamin

-Usia

-Riwayat merokok

-Riwayat hipertensi

-Diabetes Mellitus -STEMI

-NSTEMI

-Stable Angina

(39)

termasuk dalam penelitian ini berupa usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi, merokok, diabetes mellitus.

- Usia menyatakan umur pasien dibedakan atas <41, 41-50, 51-60, 61-70 dan >70.

- Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan

- Riwayat hipertensi dilihat dari tekanan darah pasien dan disesuaikan dengan klasifikasi JNC VII. Apabila sistol 140-159 mmHg ke atas dan diastol 90-99 mmHg ke atas, maka sudad tergolong hipertensi.

- Riwayat merokok merupakan riwayat apakah pasien perokok atau tidak

- Riwayat diabetes mellitus untuk melihat apakah pesien memiliki peninggian kadar gula darah atau diabetes mellitus sebelumnya. - Riwayat hiperkolesterolemia dilihat dari peninggian kadar

kolesterol pasien.

3. Indikasi IKP adalah petunjuk kapan IKP bisa dilakukan. Dalam hal ini peneliti ingin melihat jenis penyakit apa saja yang dilakukan tindakan PCI dan persentasinya. Beberapa contoh indikasi dilakukannya tindakan PCI tersebut adalah penyakit jantung koroner meliputi STEMI, NSTEMI,

stable and unstable angina, dan infark miokardium. STEMI adalah tipe miokard infark dengan elevasi atau peninggian segmen ST. NSTEMI (Non STEMI) adalah tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.

(40)

Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right Marginal Artery

(RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.

5. Derajat penyempitan adalah tingkatan yang mengatakan banyaknya daerah penyempitan yang terbagi dalam beberapa kelompok yang terbagi atas : - Grade 0 : penyempitan < 25%

- Grade 1 : penyempitan 25-49 % - Grade 2 : penyempitan 50-74% - Grade 3 : penyempitan 75-94 % - Grade 4 : penyempitan ≥ 95% Alat ukur : data rekam medis

Cara ukur : menganalisis data rekam medis yang menunjukkan profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP HAM pada tahun 2009-2010

(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional) yaitu penelitian yang mengamati subjek dengan pendekatan suatu saat atau objek di observasi pada saat yang bersamaan (Sudigdo, 2008). Dalam hal ini yang diteliti adalah profil Intervensi Koroner Perkutan pada unit kateterisasi RSUP HAM peride 2009-2010

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Adapun alasan dan pertimbangan memilih lokasi tersebut adalah karena sesuai dengan SK MENKES NO. 305/MENKES/SK/VII/1990, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatra Utara, DI Aceh, Sumatra Barat dan Riau. Selain itu, menurut SK MENKES No.502/MENKES/SK/IX/1991, RSUP HAM adalah rumah sakit yang memiliki pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan.

4.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Agustus - September 2011 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

(42)

4.3.2 Sampel penelitian

Teknik pengambilan sample dilakukan secara systematic sampling, dimana dari seluruh subyek yang dapat dipilih, setiap subyek nomor ke sekian dipilih sebagai sample (Sastroasmoro, 2010). Adapun jumlah sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus di bawah ini :

n = N.Z21-α/2p. (1-p) (N-1)d2+Z21-α/2.p.(1-p) Dimana:

n = jumlah sampel minimum N = jumlah populasi

Z1-α/2= nilai distribusi normal baku pada α tertentu p = harga proporsi di populasi

d = tingkat kesalahan yang dapat ditolerir.

Pada penelitian ini, nilai α yang digunakan adalah 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% sedangkan nilai Z1-α/2 sebesar 1,96. Nilai d yang digunakan adalah 5%, artinya kesalahan yang dapat ditolerir adalah sebesar 5%. Pada survey awal didapati jumlah populasi 1708 orang. Jadi,berdasarkan rumus di atas

besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : n = 1708 . 3,8416 . 0,5(0,5)

1707 . 0,0025 + 3,8416 . 0,5 . 0,5 = 640,3632

(43)

= 313,77 = 314

Berdasarkan perhitungan di atas, maka sampel yang dibutuhkan adalah 314 orang. Sesuai dengan jumlah populasi dibandingkan dengan besarnya sampel, maka peneliti mengambil setiap data kelima dari semua data tersebut.

Adapun kriteria inklusinya adalah pasien yang sudah mendapat tindakan IKP pada tahun 2009-2010. Kriteria eksklusinya adalah data rekam medis yang tidak lengkap.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang didapatkan dari hasil rekam medis pasien yang mendapat tindakan IKP pada unit kateterisasi RSUP HAM. Peneliti pertama sekali mengambil data ke unit kateterisasi RSUP HAM untuk mendapatkan data mencakup nomor rekam medis, identitas pasien,lokasi dan derajat penyempitan. Setelah itu ke kantor rekam medis untuk mendapatkan data yg lebih lengkap meliputi faktor risiko dan diagnosis.

4.5 Metode Analisis Data

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai rumah sakit pendidikan sesuai SK MenkesNo.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat rujukan unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Rumah sakit tersebut juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I Aceh, Sumatra Barat dan Riau. Lokasinya dibangundi atas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatra Utara.

Penelitian ini dilakukan di unit kateterisasi RSUP Haji Adam Malik Medan di gedung rekam medis yang berada di lantai 1 gedung RSUP Haji Adam Malik Medan.

[image:44.595.115.511.598.708.2]

5.1.2 Deskripsi karakteristik pasien

Tabel 5.1 Profil pasien menurut jenis kelamin

Variabel jenis kelamin n %

Laki-laki Perempuan

250 64

79,6 29,4

(45)
[image:45.595.114.511.217.401.2]

Berdasarkan table 5.1 diperoleh data bahwa profil pasien menurut jenis kelamin paling banyak adalah laki-laki yaitu 250 orang (79,6 %) diikuti perempuan yaitu 64 orang (29,4) .

Tabel 5.2 Profil pasien menurut kelompok umur

Variabel umur n %

≤ 40 9 2.9

41-50 87 27.7

51-60 121 38.5

61-70 86 27.4

>70 11 3.5

Total 314 100.0

Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh data bahwa profil pasien menurut kelompok umur paling banyak pada kelompok 51-60 tahun yaitu 121 orang (38,5%) diikuti kelompok 41-50 tahun yaitu 87 orang (27,7%), kelompok 61-70 tahun yaitu 86 orang (27,4%), kelompok >70 yaitu 11 orang (3,5 %) dan kelompok ≤ 40 tahun yaitu 9 orang (2,9%).

Tabel 5.3 Profil pasien menurut diagnosis penyakit

Variabel diagnosis n %

Penyakit Jantung Koroner 314 100

[image:45.595.110.509.583.693.2]
(46)
[image:46.595.116.513.238.374.2]

Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh data bahwa profil pasien menurut diagnosis penyakit atau indikasi medis dilakukannya tindakan IKP paling banyak adalah Coronary Artery Diseases (CAD) atau Penyakit Jantung Koroner yaitu 314 orang (100%)

Tabel 5.4 Profil pasien menurut lokasi penyempitan per jumlah kasus

Variabel lokasi penyempitan n %

LAD (Left Anterior Descending) 180 53,57%

RCA (Right Coronary Artery) 93 27,67%

LCX (Left Circumflex) 63 18,75%

Total kasus 336 100 %

Berdasarkan tabel 5.4 diperoleh data bahwa profil pasien menurut lokasi penyempitan per jumlah kasus paling banyak di daerah Left Anterior Descending yaitu 180 orang (53,57 %) diikuti dengan Right Coronary Artery yaitu 93 orang (27,67%) dan Left Circumflex yaitu 63 orang (18,75%)

Tabel 5.5 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD sebelum IKP Variabel Derajat Penyempitan di LAD

Sebelum IKP

n %

Grade 1 (25-49%) 1 0.6

Grade 2 (50-74%) 44 24.4

Grade 3 (75-94%) 98 54.4

Grade 4 (≥ 95%) 37 20.6

[image:46.595.114.509.560.741.2]
(47)
[image:47.595.121.513.268.421.2]

Berdasarkan tabel 5.5 profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD sebelum IKP paling banyak adalah grade 3 yaitu 98 orang (54,4%) diikuti dengan grade 2 yaitu 44 orang (24,4 %), grade 4 yaitu 37 orang (20,6%) dan grade 1 yaitu 1 orang (0,6%).

Table 5.6 Profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA sebelum IKP Variabel Derajat Penyempitan di RCA

Sebelum IKP

n %

Grade 2 (50-74%) 18 19.4

Grade 3 (75-94%) 49 52.6

Grade 4 (≥95%) 26 27.9

Total 93 100.0

Berdasarkan tabel 5.6 profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA sebelum IKP paling banyak pada grade 3 yaitu 49 orang (52,6%) diikuti dengan grade 4 yaitu 26 orang (27,9%), grade 2 yaitu 18 orang (19,4%) dan tidak ada grade 0.

Tabel 5.7 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LCX sebelum IKP Variabel Derajat Penyempitan di LCX

Sebelum IKP

n %

Grade 2 (50-74%) 10 15.9

Grade 3 (75-94%) 45 71.4

Grade 4 (≥95%) 8 12.7

[image:47.595.113.510.575.730.2]
(48)
[image:48.595.110.512.237.401.2]

Berdasarkan tabel 5.7 profil IKP menurut derajat penyempitan di LCX sebelum IKP paling banyak pada grade 3 yaitu 45 orang (71,4%) diikuti dengan grade 2 yaitu 10 orang (15,9%), grade 4 yaitu 8 orang (12,7%) dan tidak ada grade 0.

Tabel 5.8 Profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD setelah IKP

Variabel Penyempitan di LAD setelah IKP n %

Grade 0 (<25%) 177 98,3

Grade 2 (50-74%) 1 0,6

Grade 3 (75-94%) 1 0,6

Grade 4 (≥95%) 1 0,6

Total 180 100

Berdasarkan tabel 5.8 profil IKP menurut derajat penyempitan di LAD setelah IKP paling banyak pada grade 0 yaitu 177 orang (98,3%) diikuti dengan grade 2,3,4 yang sama-sama terdiri atas 1 orang atau 0,6 %.

Tabel 5.9 Profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA setelah IKP Variabel Penyempitan di RCA Setelah

IKP

n %

Grade 0 (<25%) 85 91.4

Grade 2 (50-74%) 1 1.1

Grade 3 (75-94%) 3 3.2

Grade 4 (≥95%) 4 4.3

[image:48.595.116.512.562.741.2]
(49)
[image:49.595.117.510.237.391.2]

Berdasarkan tabel 5.9 profil IKP menurut derajat penyempitan di RCA setelah IKP paling banyak pada grade 0 yaitu 85 orang (91,4%) diikuti dengan grade 4 yaitu 4 orang (4,3%), grade 3 yaitu 3 orang (3,2%) dan grade 2 yaitu 1 orang (1,1%).

Tabel 5.10 Profil IKP menurut penyempitan di LCX setelah IKP Variabel Penyempitan di LCX Setelah

IKP

n %

Grade 0 (<25%) 61 96.8

Grade 3 (75-94%) 1 1.6

Grade 4 (≥95%) 1 1.6

Total 63 100.0

Berdasarkan tabel 5.10 profil IKP menurut derajat penyempitan di LCX setelah IKP paling banyak pada grade 0 yaitu 61 orang (96,8%) diikuti grade 5 dan 4 yaitu masing-masing 1 orang (1,6%).

Tabel 5.11 gambaran pasien menurut riwayat merokok

Variabel Riwayat Merokok n %

Positif 145 46,2

Negatif 19 6,1

Tidak ada keterangan 150 47,8

[image:49.595.114.509.556.695.2]
(50)
[image:50.595.117.512.217.355.2]

Berdasarkan tabel 5.11 profil pasien menurut riwayat merokok ada 145 orang (46,2 %), yang tidak ada riwayat merokok ada 19 orang ( 6,1 %), sedangkan yang tidak ada keterangan ada 150 orang ( 47,8% ).

Tabel 5.12 Gambaran pasien menurut riwayat hipertensi

Variabel Riwayat Hipertensi n %

Positif 119 37,9

Negatif 74 23,6

Tidak ada keterangan 121 38,5

Total 314 100

Berdasarkan tabel 5.12 gambaran pasien menurut adanya riwayat hipertensi ada 119 orang (37,9 %), yang tidak ada riwayat hipertensi ada 74 orang ( 23,6%) sedangkan yang tidak ada keterangan ada 121 orang (38,5 %).

Tabel 5.13 gambaran pasien menurut adanya riwayat diabetes mellitus

Variabel Riwayat Diabetes Mellitus n %

Positif 59 18,8

Negatif 144 45,9

Tidak ada keterangan 111 35,4

Total 314 100

[image:50.595.111.512.489.626.2]
(51)

Tabel 5.14 Gambaran pasien menurut riwayat hiperkolesterolemia.

Variabel Riwayat Hiperkolesterolemia n %

Positif 23 7,3

Negatif 23 7,3

Tidak ada keterangan 268 85,4

Total 314 100

Berdasarkan tabel 5.14 gambaran pasien menurut riwayat hiperkolesterolemia ada 23 orang (7,3 %), yang tidak ada riwayat hiperkolesterolemia 23 orang (7,3 %), dan yang tidak ada keterangan 268 orang (47,8%).

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini didapat bahwa profil pasien menurut jenis kelamin lebih banyak dilakukan pada laki-laki (79,6%) dibanding pada wanita (20,4%). Bila faktor lain setara, laki-laki jauh lebih rentan terkena penyempitan pembuluh darah dan akibatnya dibanding dengan perempuan (Robbins, 2007).

(52)

memiliki peyempitan pembuluh darah ini akan dilakukan tindakan IKP oleh dokter yang ahli.

Tindakan IKP paling sering dilakukan pada orang dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK) yaitu 100 %. Hal ini bisa dilihat bahwa PJK merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Karena jumlahnya yang begitu banyak, di seluruh dunia pria dan wanita meninggal disebabkan oleh penyakit jantung koroner (WHO, 2004)

Penyempitan pembuluh darah paling banyak terletak pada LAD yaitu 53,57%. Hal ini terjadi karena sesuai dengan letak anatomi LAD yang memiliki lumen lebih kecil dan sempit yang panjang dibanding pembuluh darah di lokasi lain. Derajat penyempitan pembuluh darah di LAD, RCA maupun di LCX paling banyak pada grade 3. Artinya penyempitan yang terjadi sudah mencapai 75-94%. Penyempitan ini sudah berada dalam kondisi buruk yang tidak bisa ditunda lagi untuk dilakukan tindakan IKP. Untuk melihat lokasi penyempitan ini pasien terlebih dahulu diangiografi. Dan terbukti pada tahun 2002 dari 120 orang yang diangiografi, 23 orang dilakukan IKP dan pada tahun 2007 dari 370 orang yang diangiografi, 95 orang dilakukan IKP (Hasan, 2007).

Selain itu dari penelitian lain dikatakan bahwa penatalaksanaan secara medis dari penyakit jantung koroner ditujukan untuk stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya, begitu juga untuk mencegah rupturnya plak serta sekuel berikutnya. Di pihak lain revaskularisasi baik dengan bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft) ataupun percutaneous coronary intervention (PCI) bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner yang efektif, sehingga mengatasi iskemik miokardial serta gejala-gejala yang terjadi (Nakamura, 2011). Jadi, IKP ini memang dapat mengembalikan vaskularisasi pembuluh darah.

(53)

mendapatkan bahwa dibandingkan dengan terapi fibrinolisis, IKP memiliki pengurangan mortalitas jangka pendek, reinfarksi dan stroke yang lebih baik. Selain itu, IKP merupakan kesempatan untuk membuka secara cepat arteri koroner dan ini merupakan referfusi komplit untuk menyelamatkan nyawa penderita (Hasan, 2007)

Faktor risiko memiliki peranan dalam terjadinya penyakit jantung koroner yang akan dilakukan tindakan IKP ini. Dimana hasil penelitian di RSUP Kariadi Semarang mengatakan bahwa orang dengan diabetes mellitus dan obesitas mengalami penyempitan pembuluh darah empat kali lebih besar daripada yang tidak. Peneliti tersebut juga mengatakan bahwa kejadian penyempitan pembuluh darah dengan diabetes mellitus tipe 2 dan kolesterol yang tidak terkontrol mengalami risiko 2,5 kali lebih besar daripada yang tidak. Pada penelitian tersebut juga dikatakan bahwa pasien yang memiliki hipertensi memiliki risiko 3,5 kali lebih tinggi daripada yang tidak hipertensi.(Yanti, 2008). Pada penelitian yang lain juga didapatkan bahwa pasien yang memiliki penyempitan pembuluh darah mempunyai kebiaasaan merokok yang tinggi yaitu 42,5% atau 3,6 kali lebih tinggi daripada yang tidak merokok (Fazidah, 2005).

IKP tersebut sangat bermanfaat bagi pasien yang mengalami penyempitan pembuluh darah. Di RSUP Haji Adam Malik saja bisa mendapatkan tindakan ini dengan menggunakan Jamkesmas. IKP sangat direkomendasikan dilihat dari tingkat keberhasilannya yang mencapai 95,5%.

Data-data tersebut diperoleh dari data di unit kateterisasi selanjutnya dari rekam medis. Kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS. Sebagian data ada yang tidak lengkap. Hal ini bisa menjadi menjadi masukan buat petugas kesehatan yang bekerja dalam hal melengkapi data-data rekam medis. Peneliti selanjutnya dapat meneliti IKP ini lebih mendalam dan lengkap dalam hal data demografinya dan biaya atau sistem pembayaran apabila mendapat tindakan IKP.

(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jumlah pasien laki yang dilakukan tindakan IKP lebih banyak laki-laki daripada wanita. Hal ini dapat dilihat dari jumlah persentasinya yaitu laki-laki 79,6 % sedangkan wanita hanya 20,4 %.

2. Tindakan IKP ini lebih banyak dilakukan pada usia 51–60 tahun yaitu 38,5% dibanding usia lainnya pada usia 41-50 tahun hanya 27,7%, usia 61-70 hanya 27,4 %,lebih dari 70 tahun hanya 3,5% dan usia yang paling sedikit usia dibawah 41 tahun yaitu 2,9%.

3. Tindakan IKP paling sering dilakukan pada orang dengan Penyakit Jantung Koroner yaitu 100 %. Hal ini dapat dilihat dari diagnosis para dokter yang menyatakan pasien tersebut menderita Penyakit Jantung Koroner dan diberi tindakan IKP.

4. Dari semua tindakan IKP yang dilakukan, penyempitan pembuluh darah paling banyak terletak pada LAD yaitu 53,57%,diikuti pada RCA yaitu 27,67 %, dan pada LCX yaitu 18,75 %

5. Dari semua tindakan IKP yang dilakukan, derajat penyempitan pembuluh darah telah mencapai perbaikan. Perbaikan yang terjadi tersebut paling banyak menjadi grade 0 yaitu 95,5%.

(55)

6.2 SARAN

6.2.1 Bagi petugas kesehatan

1. Dokter, dokter muda dan perawat yang bekerja saat menuliskan data dan rekam medis pasien hendaknya menulis data-data dengan lengkap

2. Petugas rekam medis, hendaknya menjaga kelengkapan rekam medis sehingga tidak ada data-data yang tidak lengkap.

6.2.4 Bagi pembaca

1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, hiperkolesterolemia, merokok dan diabetes mellitus memiliki pengaruh terhadap kejadian penyempitan pembuluh darah. Jadi, untuk mengurangi kejadian penyakit tersebut, risiko-risiko tersebut harus dihindari.

2. Bagi orang yang terkena penyakit penyempitan pembuluh darah dapat menjalani IKP tersebut karena keberhasilannya lebih dari 90% mengurangi mortalitas jangka pendek .

6.2.3 Bagi Peneliti

(56)

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2001. ACC/AHA Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention (Revision of the 1993 PTCA Guidelines) .2239v-2239xiii.

American Heart Association, 2009. Heart Disease and Stroke Statistic 2009 Update: A Report From the American Hearth Association Statistic

Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Circulation, 119: 21-181. American Heart Association,2005. ACC/AHA/SCAI 2005 Guideline Update for

Percutaneous Coronary Intervention-Summary Article. Circulation. 12-24 Baim, D. S.,2008. Percutaneous Coronary Intervention. In: Fauci, A.S. et all, ed.

17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, 1459-1465.

Butman, Samuel M.2005. Complications of percutaneous coronary interventions.

USA: Springer Science, 2-4.

Cohn, Lawrence H.2008.Cardiac surgery in the adult USA: McGraw-Hill Professional. 589-590

Ellis, Stephen Geoffrey and David R. Holmes 2006.. Strategic approaches in coronary intervention . 3th edition.USA: Lippincott Williams & Wilkins 410-420

Gani A., Manurung,D., 2008. Hubungan antara Data Klinis dengan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri Hasil Kateterisasi pada Penderita Jantung Koroner. M. Kedokteran Nusantara Vol. 41:161-168

(57)

Griffin, Brian P .2008. Manual of Cardiovascular Medicine. 3th edition.USA Lippincott Williams & Wilkins. 814-820

Grossman, William and Donald S. Baim.2006. Grossman's cardiac catheterization, angiography, and intervention,edisi 7. Lippincott Williams & Wilkins 1-9

Haase, Jurgen.2010.Cardiovascular Interventions in Clinical Practice. USA: John Wiley and Sons. 330-416

Hasan, H., 2007. Intervensi Koroner Perkutan Pada Penyakit Jantung Koroner dan Permasalahannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Bidang Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK USU.

Huynh, T., Perron, S., O‟Loughlin, J., Joseph, L., Labrecque, M., Tu, J. V., 2009.

Comparison of Primary Percutaneous Coronary Intervention and

Fibrinolytic Therapy in ST-Segment-Elevation Myocardial Infarction.

Circulation, 119:3101-3109.

Jeremias, Allen. David L. Brown.2009. Cardiac Intensive Care.ed 2. Elsevier Health Sciences 255-257

Majid, Abdul. 2007. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan terkini. FKUSU.

Nakamura, M., 2011. Angiography Is the Gold Standard and Objective Evidence of Myocardial Ischemia Is Mandatory If Lesion Severity Is Questionable.

Circ J, 75:204-210.

O‟Grady, Eileen. 2007.A Nurse's Guide to Caring for Cardiac Intervention Patients. USA: John Wiley and Sons. 1-7

(58)

Sastroasmoro, Sudigdo. 2008. Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto.42-50

Siregar , Fazidah A dkk.,Analisis FAktor Risiko Penyakit Jantung Koroner Penderita Rawat Jalan RS Dokter Pirngadi Medan. Departemen epidemiologi.

Slonane, Ethel.2000.Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.228-231 Smith, S.C., Feldman T.E., Hishfeld J.W., Jacobs A.K. et all, ACC/AHA/SCAI

2005 Guidelines update for Percutaneous Coronary Intervention- Summary article. Circulation 2005; 113 :156-175

Sudoyo, Aru W.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta: FKUI. 1495-1499

Wahyuni, A. S. Statistika Kedokteran. Jakarta : Bamboedoea Communication. 208-216

World Health Organization, 2004. The Atlas of Heart Disease and Stroke. World Health Organization.

Yanti, Yanti .2008. Faktor-faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 (Studi Kasus di RSUP Dr. Kariadi

(59)

Lampiran 1.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Arta Eka Meilany Simarmata Tempat/tanggal lahir : Galungan, 20 Mei 1989

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Kristen-Protestan

Alamat : Jl.Merak II No.306 P.Mandala Nomor Telepon : 0852 9771 2222

Orangtua : S.M. Simarmata (bapak) L.Situmorang (ibu)

Riwayat Pendidikan : ` 1. SD No 174605 Simarmata (1995-2001) 2. SMP N 2 Simanindo (2001-2004) 3. SMA N 5 Medan (2004-2007) Kegiatan Organisasi : 1. Panitia Baksos FK USU 2010

(60)

3. Koordinator Sie Dekorasi Paskah FK USU 4. Panitia Baksos FK USU 2011

Gambar

Gambaran pasien menurut riwayat  merokok .....................................
Gambar 1. Algoritme IKP pada NSTEMI
Gambar 2. Algoritme IKP pada STEMI
Gambar 3. Anatomi arteri koroner.
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

bertempat di STAIN Jurai Siwo Metro, Kelompok Kerja (POKJA) Seleksi sederhana Jasa Konsultansi Perencanaan Teknis Pembangunan Gedung Kuliah Kampus II STAIN Jurai Siwo Metro

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN.. JL Sulaw

Saran yang diberikan peneliti berdasarkan kesimpulan penelitian yang dipaparkan di atas yaitu, sebagai Kepala Sekolah harus menjadi contoh teladan yang bisa

Metode yang dilakukan adalah dengan merancang dan membuat sebuah program sistem kontrol yang dibuat untuk menjalankan gerakan-gerakan secara otomatis, kontrol menggunakan

Diagram Skema Pengujian Input Tracking Generator Cascade Inductive Series Feedback LNA .... Hasil Input Tracking Generator Cascade Inductive Series Feedback LNA

ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama kira-kira 6 minggu atau 42 hari, namun secara psikologis akan pulih dalam waktu 3