ANALISIS MOTIVASI DIBALIK STOCK SPLIT DAN REVERSE STOCK SPLIT: PEMBUKTIAN PADA LIKUIDITAS DAN RETURN SAHAM
Oleh
Wisudowati Ayu Sugito NIM: 105081002452
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Daftar Riwayat Hidup
1 BEM : Koordinator Div. Lembaga Swadaya Otonom BEM Jurusan Manajemen (2007-2008)
ABSTRACT
Split is one of the information forms which gives for the corporate to increase (stock split) or decrease (reverse stock split) the outstanding share of stock. Rationally corporate is based on the three main hypothesis method that usually use on stock split and reverse stock split such as optimal price range hypothesis, liquidity hypothesis, and signaling hypothesis.
The purpose of this research is find empirical evidence although the effects are caused by split information according to the motivation that based on the capability procedure. Whether optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis can be proved by stock increment liquidity after the split capability, and the signaling hypothesis marked with abnormal return in stock around stock split and reverse stock split announcement.
When researcher was analyzing charge of liquidity stock before and after stock split and reverse stock split, researcher used non-parametric method with sign test, because the trading volume activity (TVA) data as indicator of liquidity, has abnormal distribution. And ARIMA method is used to analyzing abnormal return around the stock split and reverse stock split announcement to estimation expected return.
Its succeed result showed that there was a change on stock liquidity before and after the split has been done. Meanwhile the liquidity reduction was found on corporate after the stock split was done, which means it is not support into optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis which is based to stock split. The opposite result was found on corporate after they carried out the reverse stock split. It has been shown with stock liquidity increment after the reverse stock split was done, according to the optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis as based to reverse stock split. And the result of stock return test was founded abnormal return around stock split and reverse stock split announcement. It is recorded for signaling hypothesis as based to stock split and reverse stock split.
Key Words: Stock split, reverse stock split, optimal price range hypothesis,
ABSTRAK
Pemecahan saham (split) merupakan salah satu bentuk informasi yang diberikan oleh emiten untuk menaikan jumlah lembar saham yang beredar (stock split) atau menurunkannya (reverse stock split). Terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari rasionalitas emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock split, yaitu optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling
hipotesis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bukti empiris apakah efek yang diakibatkan adanya informasi pemecahan saham (split) telah sesuai dengan motivasi yang mendasari pelaksanaan kebijakan tersebut. Optimal price range
hipotesis dan liquidity hipotesis dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan likuiditas saham setelah kebijakan split. Sedangkan signaling hipotesis ditandai dengan adanya return yang tidak normal (abnormal return) disekitar pengumuman stock split dan reverse stock split.
Dalam menganalisis perubahan likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split digunakan metode non-parametrik dengan menggunakan uji tanda (sign test) karena data trading volume activity
(TVA) sebagai indicator likuiditas memiliki distribusi yang tidak normal. Sedangkan untuk menganalisis adanya return yang tidak normal (abnormal return) disekitar pengumuman stock split dan reverse stock split digunakan metode ARIMA dalam mengestimasi besarnya return wajar (expected return).
Hasil penelitian berhasil menunjukan bahwa terdapat perubahan pada likuiditas saham setelah pelaksanaan split. Pada emiten yang melakukan stock split ditemukan adanya penurunan likuiditas setelah pelaksanaan split, yang berarti tidak mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split. Hasil berlawanan diperoleh pada emiten yang melakukan reverse stock split. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan likuiditas saham setelah pelaksanaan reverse stock split, sesuai dengan optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan reverse stock split. Sedangkan hasil pengujian terhadap return saham menemukan adanya
abnormal return disekitar tanggal pengumuman stock split dan reverse stock split. Hal ini sesuai dengan signaling hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split
dan reverse stock split.
Kata kunci: Stock split, reverse stock split, optimal price range hipotesis,
KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Wr.Wb.
Alhamdulillaahirrobil’ alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penulis mencoba untuk mencari bukti empiris apakah efek yang diakibatkan adanya pemecahan saham (split) telah sesuai dengan motivasi yang mendasari pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu optimal price range hipotesis, liquidity
hipotesis, dan signaling hipotesis. Atas dasar itulah maka disusun skripsi dengan judul : “ANALISIS MOTIVASI DIBALIK STOCK SPLIT DAN REVERSE STOCK SPLIT: PEMBUKTIAN PADA LIKUIDITAS DAN RETURN SAHAM” dengan periode 2004-2008. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat untuk mencapai derajat Sarjana Ekonomi jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besaranya atas segala bimbingan, pengarahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Indo Yama Nasarudin, SE, MAB, selaku Ketua Jurusan Program Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Titi Dewi Warninda, SE, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar memberikan petunjuk dan pengarahan yang berguna bagi penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen FEIS UIN.. terima kasih untuk ilmu dan bimbingannya, khususnya Pak Indra Wijaya (terima kasih atas masukan dan motivasinya), serta seluruh staf akademik, jurusan, kasubag keuangan dan perpus.
6. Kedua orang tua super.. Bapak Ponirin Sugito, terima kasih untuk pembelajaran hidup yang luar biasa dan Ibu Tien Sugito, terima kasih telah bersedia jadi malaikat untuk anak manja.
7. Keluarga besar Sugito.. Mas Fajar, Mba Yani, Adik-adik tercinta Arti dan Putri, keponakanku Argia dan Sheika, dan Nia.. Terima kasih untuk semua doa dan bantuannya.
8. Sahabat-sahabatku tercinta.. Nila, Anita, Maul, Vie2, Opa, Ndank, Mieyha, Masrofah, Nia, Ennys dan Tina.. Terima kasih untuk persahabatan yang indah. 9. Sahabat seperjuanganku melewati masa kuliah.. Faizah, Budi, Umam, Sigit, Enny, Vini, Fitri, Ana dan Susi.. Terima kasih untuk setiap semangat yang ditularkan..
10.Anggota group Manajemen B.. Firman, Ridho, Adick, Mawi, Ochid, Topay, Tuti, Yoko, Akhyar, Penjol, Aris, Ariel, Farhah, Ical, Iin, Indra, Lela, Agus, Makhrus, Sanusi Alfa, Maulana, Jamal.. Tetap kompak ya!!
11.Manajemen Keu A.. Imam, Ibeh, Tian, Roey, Utha, Andri, Dahlan, Febi, Here, Idel, Intan, Lesda, Maharis, Oji, Ridwan, Ristiandi, dll..temen masa-masa akhir sbg mahasiswa..
Harapan besar dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis, dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi lebih baiknya skripsi ini.
Wassalamu’allaikum Wr.Wb.
DAFTAR ISI
Daftar Riwayat Hidup ii
Abstract iii
Abstrak iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Lampiran xi
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 13
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 14
1. Tujuan Penelitian 14
2. Manfaat Penelitian 15
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 17
A. Sekilas Tentang Pasar Modal 17
B. Pasar Efisien 18
C. Likuiditas 22
D. Return Saham 24
E. Stock Split 25
F. Reverse Stock Split 31
G. Motivasi Terkait: Stock Split dan Reverse Stock Split 35
H. Hipotesis 41
I. Penelitian Sebelumnya 42
J. Kerangka Pemikiran 47
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 51
A. Ruang Lingkup Penelitian 51
B. Metode Penentuan Sampel 52
C. Metode Pengumpulan Data 54
D. Metode Analisis 55
E. Operasional Variabel Penelitian 66
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 69
A. A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 69
1. Sejarah Singkat Pasar Modal 69
2. Perkembangan Pasar Modal 71
B. Analisis dan Pembahasan 73
1. Analisis Deskriptif 73
2. Analisis Pengujian Statistik 83
B. BAB V : KESIMPULAN DAN IMPIKASI 115
A. C. Kesimpulan 115
B. Implikasi Penelitian 117
C. Saran 119
Daftar Pustaka xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harga saham adalah harga yang dibentuk dari interaksi para penjual dan pembeli saham yang dilatarbelakangi oleh harapan mereka terhadap profit perusahaan. Untuk itu investor memerlukan informasi yang berkaitan dengan pembentukan harga saham tersebut dalam mengambil keputusan untuk menjual atau membeli. Pengambilan keputusan ini berkaitan dengan pemilihan portfolio investasi yang paling menguntungkan dengan resiko tertentu. Menurut Lorie (1985), informasi dapat mengurangi ketidakpastian yang terjadi sehingga keputusan yang diambil diharapkan dapat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (Wang Sutrisno, 2000).
Hal ini dikarenakan harga saham merefleksikan informasi yang terdapat di pasar modal. Dengan kata lain informasi yang masuk ke pasar akan tercermin pada harga-harga surat berharga. Pasar akan memproses informasi yang relevan kemudian pasar akan mengevaluasi harga saham berdasarkan informasi tersebut.
Dalam pasar modal, banyak sekali informasi yang dapat diperoleh investor baik informasi yang tersedia dipublik maupun informasi pribadi (privat). Salah satu informasi yang ada adalah pengumuman stock split dan reverse stock split.
Sepanjang bulan Januari sampai dengan Desember tahun 1996, stock split
Jumlah emiten yang melakukan stock split maupun jumlah saham yang berasal dari perubahan nilai nominal tersebut terus membesar. Jika dalam periode Januari-Juli 1996, jumlah emiten yang melakukan stock split paling banyak hanya empat emiten per bulan, maka pada kurun waktu Agustus sampai dengan Desember jumlah itu menjadi dua kali lipat. Tepatnya, setiap bulan paling sedikit ada delapan emiten yang melakukan stock split. Dalam bulan Agustus sampai Desember tercatat sebanyak 33 emiten yang melakukan stock split dengan total saham mencapai 5,65 milyar lembar. Jumlah saham tersebut mengalahkan penerbitan saham dari right issue dalam waktu yang sama. (PT. BEI, Statistika BEI Tahun 1996).
Di tahun 2004, peristiwa semacam itu juga terjadi. Namun, kali ini reverse stock split yang memainkan peran. Pada tahun tersebut, jumlah saham yang terdaftar menurun cukup besar dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 2003 jumlah saham yang terdaftar mecapai 829.359,8 lembar, maka pada tahun 2004 jumlah itu menurun menjadi 656.447,2 lembar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya emiten yang melakukan reverse stock split terutama dari sektor perbankan. (Suad Husnan, 2005:16).
harga per lembar saham baru menjadi meningkat sebanyak ”n” kali lipat dari harga saham sebelumnya. Dengan kata lain, reverse stock split menggabungkan ”n” saham menjadi satu saham saja yang memiliki nilai lebih besar.
Stock split dan reverse stock split sendiri merupakan fenomena yang masih menjadi teka-teki dibidang ekonomi karena kedua perilaku perusahaan (corporate actions) tersebut sebenarnya tidak menambah nilai ekonomis bagi perusahaan. Atau tidak secara langsung mempengaruhi arus kas perusahaan. Oleh karena itu, keduanya sering disebut sebagai suatu kosmetika saham, dalam arti bahwa tindakan perusahaan tersebut merupakan upaya pemolesan saham. Namun, mengapa emiten melakukan stock split dan reverse stock split ?
Menurut Keown, Scott, Martin dan Petty (1996) dalam Endah Lestari (2006), terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari rasionalitas emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock split, yaitu optimal price range
hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis.
Optimal price range hipotesis (hipotesis rentang harga optimal), menyatakan bahwa terdapat suatu rentang harga saham yang optimal bagi suatu perusahaan yang mana pada rentang tersebut perdagangan paling likuid.
Bagi saham yang berada pada level yang terlalu tinggi diatas rentang harga ini, sahamnya akan sulit untuk diperdagangkan pada pasar yang lebih luas. Atau dengan kata lain saham-saham tersebut tidak dapat dijangkau oleh daya beli investor dengan modal terbatas, misalnya investor individual.
Pada kondisi demikian, emiten dapat menempuh kebijaksanaan stock split
perdagangan yang optimal, sehingga daya beli investor meningkat terutama investor kecil. (Harjanti Widiastuti dan Usmara, 2005). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi distribusi saham ke arah yang lebih luas.
Pada saham yang berada pada level yang jauh di bawah rentang harga optimal, harga saham cenderung menunjukkan bahwa perusahaan emiten tidak memiliki kinerja yang baik. Hal ini menyebabkan banyaknya investor menghindari saham-saham tersebut. Untuk mencapai harga saham-saham pada rentang harga yang optimal, emiten dapat melakukan reverse stock split untuk menaikan harga saham. Pada tingkat harga baru tersebut, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid.
Dalam menentukan apakah harga saham telah mencapai rentang harga perdagangan yang optimal atau tidak setelah emiten melaksanakan stock split atau
reverse stock split, dapat dilihat dari peningkatan likuiditas saham tersebut. Likuiditas saham yang semakin meningkat menunjukkan bahwa saham diperdagangkan secara lebih aktif karena berada pada rentang harga yang optimal yang ditandai dengan peningkatan volume perdagangan.
menghindari sahamnya menjadi saham tidur. Saham tidur dekat dengan ancaman
delisted.
Oleh karena itu, salah satu alasan perusahaan melakukan stock split dan
reverse stock split juga untuk meningkatkan likuiditas saham. Likuiditas saham yang dimaksud adalah fluktuasi dari volume transaksi atas saham yang mengalami
stock split dan reverse stock split.
Volume transaksi atas saham yang mengalami stock split akan meningkat karena harga pasar sahamnya akan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya harga atau nilai nominal saham ditambah dengan adanya peningkatan jumlah saham yang beredar setelah saham mengalami stock split.
Kemahalan harga saham dan likuiditas saham akhirnya menjadi alasan bagi perusahaan untuk melakukan stock split. Hal tersebut dapat dipahami karena apabila harga pasar saham terlalu mahal maka menjadi tidak menarik bagi investor, terutama investor kecil, dan akhirnya saham menjadi tidak likuid. Dengan alasan tersebut, semakin mahal harga saham dan semakin rendah likuiditas saham, semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan stock split. (Harjanti Widiastuti dan Usmara, 2005).
Reverse stock split dilaksanakan perusahaan emiten untuk membawa saham kepada harga yang lebih tinggi. Pada tingkat harga baru tersebut, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid.
dengan hubungan antara biaya transaksi dengan harga saham yang saling berbanding terbalik. Maka saham yang berada pada harga yang lebih tinggi akan mengalami penurunan biaya transaksi (dalam persen harga saham) sehingga saham lebih banyak diperdagangkan.
Hipotesis yang ketiga adalah signaling hipotesis. Signaling hipotesis menyatakan bahwa terdapat sinyal yang dapat ditangkap oleh investor dalam informasi yang dipublikasikan di pasar, dalam hal ini stock split dan reverse stock split.
Fama, et.al. (1969) dalam Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) berargumentasi bahwa pasar bereaksi positif terhadap stock split, karena pasar berasumsi bahwa pemecahan saham merupakan sinyal akan adanya perubahan
income yang diharapkan dalam bentuk kenaikan deviden, dan reaksi positif ini merupakan antisipasi pasar terhadap kenaikan deviden. Reaksi positif ini ditandai dengan adanya abnormal return positif yang signifikan.
Secara teoritis setelah stock split seharusnya aktivitas volume perdagangan saham naik dikarenakan volume perdagangan mengikuti seiring dengan meningkatnya jumlah saham yang beredar sehingga akan menghasilkan arus kas masuk perusahaan, yang nantinya dipergunakan untuk membayarkan deviden tunai.
Berkebalikan dengan stock split, reverse stock split dianggap membawa sinyal negatif bagi investor. Investor beranggapan bahwa perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split adalah perusahaan emiten dengan performance
hari-hari menjelang pengumuman reverse stock split. Hasilnya, sering terdapat
abnornmal return yang negatif menjelang pengumuman reverse stock split. Ketiga hipotesis yang telah dijabarkan secara singkat diatas dapat dirangkum dalam Tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel 1.1
Optimal Price Range Hipotesis, Liquidity Hipotesis dan Signaling Hipotesis Hipotesis Stock Split Reverse Stock Split Indikator
Optimal Price
Terdapat banyak penelitian empiris yang berusaha membuktikan motivasi-motivasi diatas sebagai alasan mengapa emiten melakukan stock split dan reverse stock split dengan melihat bagaimana reaksi pasar terhadap informasi tersebut yang dibuktikan dengan adanya abnormal return dan peningkatan likuiditas.
stock split, likuiditas saham perusahaan atau emiten malah menurun jika dibandingkan antara sebelum dengan sesudah mengalami stock split.
Hal senada juga dinyatakan oleh Ade Wirman (2002) yang menyatakan bahwa
stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas saham di pasar modal. Namun, pengaruh itu juga bersifat negative atau dapat dinyatakan bahwa likuiditas saham justru menurun dengan dilaksanakannya stock split.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Zidny Rahmawati (2005) dalam penelitiannya yang membuktikan bahwa return saham perusahaan secara keseluruhan setelah stock split mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan harga cenderung turun dibandingkan dengan harga saham sebelumnya yang dipengaruhi oleh kurangnya likuiditasnya perusahaan, kondisi ekonomi yang turun, atau masalah sosial politik dalam negeri.
Pendapat-pendapat diatas, bertentangan dengan Baker dan Gallangher (1993) dalam Wang Sutrisno (2000) yang menyatakan bahwa stock split mengembalikan harga per lembar saham pada tingkat perdagangan yang optimal dan meningkatkan likuiditas. Berkaitan dengan pengaruh stock split terhadap return
Berbeda dengan stock split yang mendapat perhatian lebih dari peneliti sehingga banyak digunakan sebagai bahan dalam penelitiannya, reverse stock split
dianggap kurang menarik sehingga penelitian tentang reverse stock split sangat terbatas. Penelitian reverse stock split yang berkaitan dengan abnormal return
dan likuiditas saham dilakukan oleh Poon Lamoureux (1987) pada Melinda Savitri dan Dwi Martini (2006). Lamoureux menemukan bahwa reverse stock split berpengaruh negatif dan signifikan terhadap abnormal return. Selain itu, likuiditas saham meningkat pada saham yang mengalami reverse stock split.
Hasil yang persis sama juga dinyatakan Hans K. C (1995) dalam Melinda Savitri dan Dwi Martini (1995). Reverse stock split berpengaruh negatif dan signifikan terhadap abnormal return dan meningkatkan likuiditas saham.
Penelitian yang dilakukan pada pasar modal Indonesia dilakukan oleh Melinda Savitri dan Dwi Martini (2006) yang memfokuskan pada efek yang dihasilkan
stock split dan reverse stock split terhadap return saham dan volume perdagangan. Mereka menemukan abnormal return yang positif dan signifikan pada saat hari pengumuman dan lima hari sebelum pengumuman stock split. Sedangkan
abnormal return yang negatif dan signifikan ditemukan pada saat hari pengumuman, tiga hari dan dua hari sebelum pengumuman, serta hari setelah pengumuman reverse stock split. Namun, pada hari sebelum pengumuman
reverse stock split justru ditemukan abnormal return yang positif dan signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa motivasi emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock split tidak selalu sejalan dengan bukti-bukti empiris yang telah melalui penelitian.
Sebagian besar hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil bertentangan dengan tujuan emiten melakukan stock split. Karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa stock split dilakukan oleh emiten untuk meningkatkan likuiditas saham perusahaannya. Dan stock split memberikan sinyal positif bagi investor akan adanya abnormal return yang positif. Akan tetapi, sebagian besar hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia justru menunjukan hal yang sebaliknya.
Sementara penelitian mengenai reverse stock split belum banyak dilakukan. Untuk itu, diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai apakah stock split dan reverse stock split mempunyai pengaruh signifikan terhadap return saham dan likuiditas saham dan apakah hal tersebut sesuai dengan motivasi yang mendasari emiten melakukan stock split dan reverse stock split.
Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk menulis dengan judul ”Analisis Motivasi Dibalik Stock Split dan Reverse Stock Split: Pembuktian Pada Likuiditas Saham dan Return Saham”. Penelitian ini mengambil periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2008. Periode ini dipilih karena alasan-alasan berikut:
keamanan dan ekonomi di tahun 2004. Hampir seluruh indikator utama bursa mengalami peningkatan yang sangat berarti. Salah satunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada level 1.000,23 pada akhir perdagangan tahun 2004, yang merupakan indeks penutupan perdagangan akhir tahun tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia sampai tahun 2004. Selain itu, nilai transaksi harian di BEJ tahun 2004 juga mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu 97,7%, dari Rp. 518,3 milyar/hari di tahun 2003 menjadi sebesar Rp. 1,02 trilyun/hari di tahun 2004.
2. Pada tahun 2004 jumlah emiten yang melakukan stock split maupun reverse stock split mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat digambarkan oleh grafik yang akan disajikan pada gambar 1.1. 3. Periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2008 dapat menggambarkan
reaksi pasar terkini terkait dengan pengumuman stock split dan reverse stock split.
populer kebijakan split dimata emiten dengan optimal price range hipotesis,
liquidity hipotesis dan signaling hipotesis yang mendasari pelaksanaannya.
0 2 4 6 8 10 12
'02 '03 '04 '05 '06 '07 '08
stock split reverse stock split
Sumber: Indonesia Capital Market Dictionary 2008 Gambar 1.1
Grafik Jumlah Emiten yang Melakukan Stock Split dan Reverse Stock Split
Adapun kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan pada periode yang masih sangat up date sehingga dapat melukiskan reaksi pasar terkini berkaitan dengan adanya pengumuman
stock split dan reverse stock split.
2. Penelitian ini memfokuskan pada perusahaan yang melakukan kebijakkan
stock split dan reverse stock split tanpa adanya kebijakkan-kebijakkan lain, sehingga dapat dilihat efek murni dari stock split dan reverse stock split. 3. Penelitian ini menyelidiki motivasi emiten dibalik kebijakan stock split dan
4. Metode yang digunakan dalam menghitung expected return yang digunakan untuk melihat adanya perubahan pada return saham akibat adanya kebijakan
stock split dan reverse stock split sebagai pembawa fungsi signaling adalah ARIMA. Metode ini sangat populer digunakan untuk mengatasi masalah data
time series yang memiliki pola yang tidak jelas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi dan batasan masalah tersebut, maka masalah-masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat peningkatan yang signifikan pada likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman stock split yang sejalan dengan optimal price range
hipotesis dan liquidty hipotesis ?
2. Apakah terdapat peningkatan yang signifikan pada likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman reverse stock split yang sejalan dengan optimal price range hipotesis dan liquidty hipotesis ?
3. Apakah stock split memang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat stock split diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap stock split tersebut ?
4. Apakah reverse stock split memang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat reverse stock split
diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap reverse stock split
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini disusun berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh stock split terhadap likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan juga menganalisis optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasarinya.
2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh reverse stock split terhadap likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan reverse stock split
dan juga menganalisis optimal price range hipotesis dan liquidity
hipotesis yang mendasarinya.
3. Untuk mengidentifikasi stock split yang mempunyai fungsi signaling
yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat stock split
diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap stock split
tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan untuk berbagai pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini, yang disajikan sebagai berikut:
1. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan atau kondisi harga saham di pasar modal terutama di Indonesia pada sebelum atau sesudah stock split dan reverse stock split. Sehingga perusahaan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau pemikiran dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan dalam hal kebijakan stock split dan reverse stock split.
2. Bagi penulis
Penelitian ini menjadi salah satu sarana bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang selama ini peneliti dapat dari mengikuti perkuliahan di jurusan manajemen keuangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bagi investor
4. Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di bidang manajemen keuangan, khususnya yang ingin mendalami dan meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh
stock split dan reverse stock split terhadap abnormal return dan likuiditas saham di pasar modal dan motivasi-motivasi yang mendasari emiten dalam melaksanakannya.
5. Bagi masyarakat
Penelitian ini bagi masyarakat secara umum diharapkan berguna sebagai salah satu pengetahuan mengenai investasi pada pasar modal Indonesia, khususnya dengan memperhatikan pengaruh dari adanya kebijakan stock split dan reverse stock split terhadap abnormal return
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sekilas Tentang Pasar Modal
Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrument keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta. (Suad Husnan, 2005:3).
Alasan dibentuknya pasar modal adalah karena pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender (pihak yang mempunyai kelebihan dana) ke borrower (pihak yang memerlukan dana). Dengan menginvestasikan kelebihan dana yang mereka miliki, lenders mengharapkan akan memperoleh imbalan dari penyerahan dana tersebut. Dari sisi borrowers
tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan mereka melakukan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Fungsi keuangan dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para
Ada beberapa daya tarik pasar modal. Pertama, diharapkan pasar modal akan bisa menjadi alternative penghimpunan dana selain sistem perbankan. Pasar modal memungkinkan perusahaan menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang (obligasi) ataupun surat tanda kepemilikan (saham). Dengan demikian, perusahaan bisa menghindarkan diri dari kondisi debt to equity ratio yang terlalu tinggi karena meminjam dana dari bank sehingga justru membuat cost of capital of the firm tidak lagi minimal. Kedua, pasar modal memungkinkan para pemodal mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan prefensi risiko mereka. Dengan adanya pasar modal, para pemodal memungkinkan untuk melakukan diversifikasi investasi, membentuk portofolio (yaitu gabungan dari berbagai investasi) sesuai dengan risiko yang mereka bersedia tanggung dan tingkat keuntungan yang mereka harapkan. (Suad Husnan, 2005:5).
B. Pasar Efisien
Stock split dan reverse stock split merupakan salah satu informasi yang akan mempengaruhi harga saham. Teori yang menghubungkan antara informasi dan harga saham sering dinyatakan sebagai hipotesa pasar yang efisien. Para ahli ekonomi sering mengdefinisikan tiga level efisiensi pasar ini, yang dibedakan atas dasar tingkat informasi yang direfleksikan dalam harga saham. (Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005).
harga saham masa lalu. Hal ini sering disebut dengan efisiensi pasar bentuk lemah.
Level kedua, menyatakan bahwa harga saham tidak hanya mencerminkan harga saham sebelumnya, tetapi juga mencerminkan semua informasi yang dipublikasikan. Informasi yang dipublikasikan ini misalnya, informasi dari Bursa Efek Jakarta, Emiten, Laporan Keuangan, maupun dari media-media keuangan lain. Hal ini sering disebut dengan efisiensi pasar bentuk setengah kuat.
Jika pasar saham efisien dalam bentuk setengah kuat ini, maka harga saham akan segera disesuaikan segera setelah adanya informasi yang dipublikasikan, misalnya pengumuman laba perusahaan, pengumuman rencana stock split dan
reverse stock split, rencana pengeluaran saham baru, dan sebagainya. Dalam pasar yang efisien bentuk setengah kuat, maka tidak ada investor atau grup dari investor yang dapat menggunakan informasi yang dipublikasikan untuk mendapatkan keuntungan tidak normal dalam jangka waktu yang lama.
Level yang ketiga, yang dikenal sebagai efisiensi pasar bentuk kuat, menyatakan bahwa harga saham mencerminkan semua informasi yang ada di pasar, baik informasi tersebut dipublikasikan maupun informasi yang tidak dipublikasikan.
Dalam pasar efisien, jika harga saham merefleksikan semua informasi yang tersedia, maka perubahan harga saham berarti merefleksikan adanya suatu informasi baru. Oleh karena itu, dapat diamati bahwa pentingnya suatu peristiwa (event) atau informasi dapat diteliti dari perubahan harga saham selama periode dimana peristiwa tersebut terjadi.
Bodie, et.al. (2002) dalam Achmad Rifai’i dan Rudi Handoko (2005) mengatakan bahwa studi peristiwa (event study) merupakan suatu teknik penelitian keuangan empiris yang memungkinkan peneliti untuk menilai pengaruh suatu peristiwa tertentu terhadap harga saham perusahaan.
Studi peristiwa dapat digunakan untuk menguji kandungan informasi (sinyal) dari suatu peristiwa. Kandungan informasi (sinyal) dari suatu peristiwa dapat diketahui dari ada tidaknya abnormal return sebagai reaksi pasar terhadap suatu peristiwa. (Jogiyanto, 2003 dalam Achmad Rifai’i dan Rudi Handoko, 2005). Studi peristiwa memiliki parameter sebagai berikut: event, announcement date, estimation window, investigation window, dan estimation model.
Event dalam penelitian ini adalah suatu peristiwa dimana perusahaan mempublikasikan kepada public mengenai informasi rencana perusahaan untuk melakukan kebijakan tertentu.
Announcement date merupakan tanggal yang dianggap event pengumuman kebijakan tersebut. Tanggal ini dianggap sebagai t0.
Estimation window, atau periode estimasi adalah periode sebelum suatu event
investigation windows, atau periode investigasi adalah periode yang diteliti sebagai akibat adanya suatu event.
Estimation model adalah model statistik yang digunakan untuk memperoleh return wajar (expected return) yang akan digunakan untuk menghitung abnormal return.
Penelitian ini berkaitan dengan efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi, karena penelitian ini, berusaha mengetahui apakah peristiwa pengumuman rencana stock split dan reverse stock split oleh manajemen memiliki kandungan informasi (sinyal) bagi investor, yang dapat diketahui dengan reaksi pasar (adanya abnormal return) pada periode sekitar pengumuman pemecahan saham tersebut dan seberapa cepat pasar bereaksi terhadap suatu peristiwa tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian digunakan metode studi peristiwa.
C. Likuiditas
Definisi likuiditas menurut Van Horne (1980) dalam Ade Wirman (2002) adalah: Liquidity may be defined as ability to realize value in money the most liquid of assets. Pembatasan yang lebih khusus diberikan oleh Robinson dan Wrightsman (1981) dalam Ade Wirman (2002) kutipan berikut ini:
A major dimension of the wealth allocation process is the adjustment of
liquidity. Liquidity measures the nearest of a financial asset to cash, which
itself is financial assets differing from all others in that only cash is used
as medium of change. The liquidity of a given financial asset is gauged by
the ability to convert the asset into cash at any time without taking loss.
Tanpa membedakan pengertian likuiditas, Tinic dan West (1979) dalam Ade Wirman (2002) memandang likuiditas dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Berikut ini adalah definisi likuiditas yang diberikan oleh mereka:
The word liquidity should be reserved for the circumstances that call a
definition of marketability plus the absence of price risk.
Dari semua definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian likuiditas. Likuiditas adalah tingkat kemampuan suatu aktiva financial berubah menjadi kas atau sebaliknya pada setiap saat diinginkan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan resiko kerugian yang paling minimum.
disebutkan bahwa likuiditas aktiva financial adalah sesuatu hal yang amat diinginkan oleh investor.
Dengan demikian, definisi likuiditas saham adalah tingkat kemampuan saham untuk dapat diubah menjadi kas atau sebaliknya setiap saat diinginkan dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan tingkat resiko yang paling minimum.
Likuiditas dapat diukur dengan beberapa variabel yang mempengaruhinya, antara lain execution cost dan volume perdagangan. Execution cost (biaya pelaksanaan) adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengubah suatu sekuritas menjadi kas atau sebaliknya. Ada dua macam execution cost, pertama, biaya komisi broker dan kedua, bid-ask spread dimana spread ini ditentukan oleh dealer. Semakin besar persentase spread-nya, semakin rendah likuiditas dan sebaliknya. (Wang Sutrisno, 2000).
Dalam penelitian ini, likuiditas saham diukur dengan volume perdagangan. Semakin tinggi volume perdagangan suatu saham, maka saham tersebut semakin likuid. Volume perdagangan merupakan indikator likuiditas yang relatif banyak dipergunakan. Pengertian dari volume perdagangan sendiri adalah jumlah satuan unit saham yang diperjualbelikan dalam suatu periode tertentu, biasanya harian.
membaginya dengan jumlah saham yang beredar. Pendekatan ini menghasilkan indikator yang disebut dengan trading volume activity (TVA). Pendekatan lainnya adalah dengan memilih adjusted volume, yaitu volume yang telah disesuaikan dengan penambahan dan pengurangan saham beredar. Penelitian ini menggunakan
trading volume activity (TVA)sebagai indikator likuiditas.
D. Return Saham
Tingkat pengembalian saham (return saham) adalah penghasilan yang diperoleh selama periode investasi per sejumlah dana yang diinvestasikan. Tingkat pengembalian suatu investasi merupakan persentase penghasilan total selama periode investasi dibandingkan harga beli investasi tersebut. (Bodie, 2006).
Return saham dalam konteks manajemen investasi merupakan imbalan yang diperoleh dari investasi yang merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung resiko atas investasi yang dilakukan. Pada prinsipnya return saham dapat dibedakan menjadi dua, yaitu return realisasi dan return ekspektasi.
Return realisasi (realization return) merupakan return yang telah terjadi.
Return realisasi dihitung berdasarkan data histories. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Return
Return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah terjadi, sedangkan return ekspektasi sifatnya belum terjadi.
Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat return yang tidak normal yang dapat diterima oleh investor sebagai akibat dari adanya informasi stock split dan
reverse stock split sebagai bukti bahwa stock split dan reverse stock split sebagai pembawa sinyal. Return tidak normal (abnormal return) adalah selisih return
yang lebih atau kurang dari nilai yang seharusnya. Atau dengan kata lain
abnormal return dihitung dengan selisih tingkat return sesungguhnya dengan
return ekspektasi. (Suad Husnan, 2005:269).
E. Stock Split
Kebijakan manajemen dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu kebijakan investasi, kebijakan pembiayaan, dan kebijakan deviden (Van Horne, 1995 dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005). Stock split
Menurut Baridwan (1993) dalam Ade Wirman (2002) definisi stock split
adalah sebagai berikut:
Stock split adalah suatu kebijakan yang ditempuh oleh manajemen
perusahaan dengan cara menarik kembali saham yang beredar dan
ditukar dengan saham yang nilai nominalnya lebih kecil atau menarik
kembali saham yang beredar dan ditukar dengan saham yang nilai
nominalnya lebih besar.
Menurut Hilman (1989) dalam Ade Wirman (2002) mendefinisikan stock split up adalah:
A corporation may wish to reduce the par value of its stock or to reduce
the price at which the stock is being sold where by the number of shares
outstanding are increased and the par of stated value per share is usually
reduced. The total capitalized value of the outstanding shares remains the
same and there is no change in retained earnings.
Namun demikian, Kieso mempunyai pandangan yang lebih sempit dibandingkan pandangan yang telah disampaikan oleh para ahli sebelumnya. Menurut Kieso (1989) dalam Ade Wirman (2002) stock split adalah:
A stock split is employed when the management of corporation thinks that
the market price of his stock is too high. The market price of his stock must
be sufficiently low to be within range of the majority of potential investors.
So, the lower the market price of a stock the more readily it can be
better public relations, wider ownership of the corporation stock is
desirable.
Dari semua pandangan dan pernyataan yang disampaikan oleh para ahli tentang stock split, maka dapat disimpulkan definisi stock split adalah:
1. Stock split adalah suatu kebijakan untuk memecah saham atau melakukan perubahan atas nilai nominal saham yang beredar-yang ditempuh oleh manajemen perusahaan-dalam rangka mengurangi harga pasar saham yang beredar sehingga saham perusahaan dapat dimiliki oleh banyak investor (kecil) lainnya.
2. Stock split-pada umumnya atau biasanya-berarti perubahan nilai nominal saham menjadi nilai nominal saham yang lebih kecil.
3. Stock split adalah kebijakan untuk memecah saham perusahaan yang tidak mengakibatkan adanya perubahan pada nilai total modal saham dan nilai laba ditahan perusahaan.
Tabel 2.1
Stock Split 2 untuk 1 di Chen Industries
Sebelum Sesudah Tambahan modal disetor $1.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000
Laba ditahan $7.000.000 Laba ditahan $7.000.000
Ekuitas total pemegang
saham $10.000.000
Ekuitas total pemegang
saham $10.000.000
Sumber : James C. Van Horne dan John Wachowich, Jr., 2007:290
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa stock split tidak merubah akun saham biasa, modal disetor, laba ditahan dan tentu saja ekuitas total pemegang saham. Satu-satunya perubahan dalam nilai nominal saham biasa, yang berdasarkan per lembarnya, kini setengah dari yang sebelumnya.
Stock split merupakan kebijakan yang ditempuh oleh manajemen perusahaan dalam rangka memanfaatkan psikologis pemodal sehingga upaya meningkatkan likuiditas saham dapat direalisasikan. Hal ini dikarenakan stock split semata-mata hanya penambahan jumlah saham beredar, dengan mengalikan jumlah saham yang dipegang investor dengan rasio stock split. Tindakan stock split akan menimbulkan efek fatamorgana bagi investor, yaitu investor akan merasa seolah-olah menjadi lebih makmur karena memegang saham dalam jumlah yang lebih banyak.
kemugkinan harga saham tersebut akan naik. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi bauran pemegang saham karena pemilik individual akan semakin banyak dan pemilik institusional akan menurun.
Perusahaan emiten jarang mempertahankan dividen tunai yang sama per lembarnya sebelum dan sesudah stock split. Akan tetapi perusahaan mungkin akan menaikan dividen efektif bagi para pemegang saham. Contohnya, perusahaan mungkin memecah saham biasanya 2 untuk 1 dan membuat tarif dividen tahunan sebesar $1,20 per lembar sementara sebelumnya tarif tersebut adalah $2 per lembar. Seorang pemegang saham yang memiliki 100 lembar saham sebelum
stock split akan menerima $200 dividen tunai per lembar tahun. Sesudah stock split, pemegang saham tersebut akan memiliki 200 lembar saham dan akan menerima dividen sebesar $240 per tahun. Hal inilah yang membuat pasar menginterpretasikan bahwa pengumuman stock split sebagai suatu sinyal yang baik mengenai akan adanya kenaikan deviden tunai. (Van Horne dan Wachowicz, 2002:510).
Selain itu, jika investor berkeinginan menjual beberapa lembar saham untuk mendapat penghasilan, stock split akan membuatnya lebih mudah melakukan hal tersebut. Tanpa stock split, pemegang saham juga dapat menjual beberapa lembar saham yang awalnya mereka miliki untuk mendapatkan penghasilan. Dalam situasi yang mana pun, penjualan saham mewakili penjualan pokok sekuritas (principal) dan dikenai pajak atas keuntungan modal. Mungkin saja investor tertentu tidak memandang penjualan saham tambahan yang merupakan hasil dari
keuntungan tidak rutin. Mereka dapat menjual saham tambahan dan tetap mempertahankan kepemilikan awalnya. Stock split dapat memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap para pemegang saham ini. (Van Horne dan Wachowich, 2007:292).
Stock split merupakan sinyal positif yang diberikan oleh manajer perusahaan kepada pasar mengenai kinerja dan prospek yang bagus di masa depan dari perusahaan yang melakukan aktivitas tersebut.
Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan oleh Grinblatt, et.al. (1984) dalam Ahmad Rifa’i dan Rudi Hanoko (2005) yang menemukan bahwa efek atas informasi pemecahan saham pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan dividen tunai lebih tinggi daripada perusahaan yang tercatat melakukan pembayaran dividen tunai sebelumnya, dengan return yang signifikan secara statistik sekitar 3.44%. Berdasarkan penelitian ini, Grinblatt, Masulis, dan Tiltman menginterpretasikan bahwa pengumuman pemecahan saham sebagai suatu sinyal yang baik mengenai cash flow perusahaan di masa depan.
setelah stock split menimbulkan bertambahnya biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat stocksplit.
Penjelasan bahwa stock split dapat memberikan sinyal informatif mengenai prospek perusahaan yang menguntungkan, menurut Brennan dan Copeland (1988) dalam Wang Sutrisno (2000), adalah bahwa aktivitas split memberikan sinyal yang mahal terhadap informasi manager karena biaya perdagangan tergantung pada besarnya harga saham dimana kedua variable tersebut memiliki hubungan yang negative. Apabila aktivitas split dapat meningkatkan biaya likuiditas kepada investor, maka split menunjukkan sinyal yang valid.
Hal ini didukung oleh Brennan dan Hughes (1986) dalam Wang Sutrisno (2000). Menurut mereka semakin tinggi tingkat komisi saham dengan semakin rendahnya harga saham menimbulkan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akibat split. Tingkat komisi saham yang semakin tinggi merupakan daya tarik bagi broker untuk melakukan analisis setepat mungkin agar harga saham berada pada tingkat perdagangan yang optimal serta mampu memberikan informasi yang menguntungkan bagi perusahaan dan investor.
F. Reverse Stock Split
Reverse split merupakan kebalikan dari stock split. Reverse stock split adalah salah satu aktivitas perusahaan emiten untuk menaikan harga sahamnya dan mengurangi jumlah saham yang beredar. (Martell dan Webb, 2005).
pemegang saham seperti yang diperlihatkan dalam sisi kiri di tabel 2.2. Chen Industries kemudian melakukan reverse stock split 1 untuk 4, untuk tiap empat lembar saham yang dimiliki pemegang saham akan menghasilkan satu saham baru sebagai gantinya. Total akun ekuitas pemegang saham digambarkan pada sisi kanan di Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Reverse Stock Split 1 untuk 4 di Chen Industries
Sebelum Sesudah Tambahan modal disetor $1.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000
Laba ditahan $7.000.000 Laba ditahan $7.000.000
Ekuitas total pemegang
saham $10.000.000
Ekuitas total pemegang
saham $10.000.000
Sumber : James C. Van Horne dan John Wachowich, Jr., 2007:296
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa seperti stock split, reverse stock split
juga tidak merubah akun saham biasa, modal disetor, laba ditahan dan tentu saja ekuitas total pemegang saham. Satu-satunya perubahan dalam nilai nominal saham biasa, yang berdasarkan per lembarnya, kini menjadi empat kali lipatnya. Dalam beberapa kasus, reverse stock split adalah upaya untuk tetap dapat tercatat di bursa efek besar karena harga saham mungkin dapat saja jatuh terlalu rendah hingga akan dikeluarkan dari pencatatan.
Di Amerika Serikat, reverse stock split merupakan langkah penyelamatan yang dilakukan perusahaan emiten agar bisa memenuhi persyaratan marginability
menetapkan harga jual saham minimum sebesar $1.00 pada pasar modal nasional maupun pasar Small Cap. (Terence F. Martell dan Gwendollyn P. Webb, 2005).
Sebagian investor tidak akan membeli saham dengan harga kurang dari $5.00, bahkan beberapa investor institusi menghindari saham dengan harga kurang dari $10.00. Bagi investor reverse stock split menggambarkan ketidakpercayaan diri perusahaan emiten bahwa harga sahamnya akan naik dengan sendirinya tanpa usaha apapun dari perusahaan emiten.
Pasar modal India juga memiliki peraturan harga jual saham minimum yang diperlukan untuk menghindari delisting. Secondary Market Advosory Commite (SMAC) mengeluarkan peraturan No.SMDRP/Policy/Cir-16,99 dated June 14 1999 yang menyatakan “No listed company whose market price in the previous sixs months is less than Rs.500 per share can split the value of its equity share”. (Satyajid Dhar dan Sweta Chhaochharia, 2008).
Pasar modal Indonesia, tidak terdapat harga jual saham minimum yang harus dipenuhi untuk menghindari delisting. Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Indonesia nomor Kep-308/BEJ/07.2004 mengenai delisting dan relisting memuat gambaran kondisi emiten yang akan mengalami delisting oleh bursa, yaitu emiten yang salah satunya ”mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat baik secara finansial atau secara hukum”. (PT. BEI, Peraturan BEI, 2004).
tiga alasan utama perusahaan emiten melakukan reverse stock split adalah sebagai berikut:
1. Reverse stock split akan mengurangi biaya transaksi, jumlah lembar saham yang berkurang akan menyebabkan biaya transaksi juga berkurang.
2. Reverse stock split akan memperbaiki fleksibilitas harga saham baru (new issue) ketika dibutuhkan. Perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split akan mengurangi nilai nominal sahamnya, sehingga ketika perusahaan tersebut akan menerbitkan saham baru perusahaan tersebut tidak perlu menetapkan nilai nominal dengan diskon untuk saham barunya.
3. Reverse stock split akan meningkatkan investor institusional dan internasional. Perusahaan yakin bahwa dengan melakukan penggabungan saham akan meningkatkan profil perusahaan di mata investor institusional.
Walaupun tujuan perusahaan emiten melakukan reverse stock split bukan hanya untuk misi penyelamatan agar terhindar dari delisting, persepsi pasar akan hal ini adalah bahwa perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split
adalah perusahaan emiten dengan performance yang buruk. Hal ini memiliki efek negatif pada harga saham, terutama selama hari-hari menjelang pengumuman
G. Motivasi Terkait: Stock Split dan Reverse Stock Split 1. Optimal price range hipotesis
Optimal price range merupakan rentang harga yang dirasa tepat bagi saham untuk diperdagangkan oleh investor. Disini, saham diperdagangkan secara aktif dan memberikan total market value yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan saham yang tidak di-split. Tingkat harga optimal biasanya dibagi berdasarkan industri dan karakteristik pemegang sahamnya. (Melinda Safitri, 2006).
Bagi saham yang berada pada level yang terlalu tinggi diatas rentang harga ini, sahamnya akan sulit untuk dimiliki oleh investor dengan resource terbatas, misalnya investor individual. Karakteristik kepemilikannya menjadi tidak luas dan tidak mencakup jenis investor ini.
Seringkali, sahamnya juga menjadi tidak aktif dan transaksinya kurang frekuentif sehingga pemegang saham menjadi sulit untuk mencari calon pembeli dan memperoleh capital gain. Emiten yang berada pada kondisi demikian biasanya melaksanakan stock split.
Emiten mengharapkan efek dari pelaksanaan stock split dapat memberikan kesempatan kepada investor kecil untuk memiliki atau memperdagangkan saham secara lebih frekuentif. Disini total market value saham diharapkan akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tidak dilaksanakannya stock split.
pemegang saham individu. Pemegang saham institusi tidak terhambat oleh jumlah investasi yang besar dan oleh sebab itulah tidak terpengaruh oleh pelaksanaan stock split. (Melinda Safitri, 2006).
Saham yang berada pada level yang jauh di bawah rentang harga optimal dapat juga melaksanakan reverse stock split untuk mencapai harga yang diinginkan. Pada level yang terlalu rendah, harga saham cendrung mengindikasikan rendahnya kualitas (konotasi negative terhadap saham yang diperdagangkan pada tingkat harga sangat rendah atau peny stock). Hal ini menyebabkan banyaknya investor institusi yang hanya melakukan pembelian yang dapat dijustifikasi menjauhi saham-saham demikian. (Lakonishok, et.al. 1992 dalam Melinda Safitri, 2006).
Peny stock dikatakan merupakan saham yang tidak berkualitas karena perusahaan dengan harga saham rendah seringkali diasosiasikan dengan manipulasi, penipuan, dan rendahnya kualitas. Emiten menjadi tidak mampu untuk menunjukkan potensinya karena rendahnya kepercayaan pasar. Pada saat inilah emiten menganggap perlu untuk menaikan harga sahamnya dengan melakukan reverse stock split.
2. Liqidity Hipotesis
Hipotesis ini disebutkan oleh Copeland (1979) dan dijadikan salah satu alasan pelaksanaan split yang disebutkan oleh Van Horne (2002) dalam Melinda Safitri (2006). Likuiditas menjadi penting karena emiten menginginkan sahamnya dapat diperdagangkan dengan mudah dan menghindari sahamnya menjadi saham tidur. Saham tidur dekat dengan ancaman delisted.
Hipotesis likuiditas erat kaitannya dengan keberadaan optimal price range. Pada rentang harga ini, baik stock split maupun reverse stock split
menghendaki adanya perdagangan yang lebih aktif menuju likuiditas yang lebih tinggi. Namun bukti-bukti empiris yang menunjukkan pengaruh stock split dan reverse stock split terhadap likuiditas perdagangan saham sendiri cendrung tidak konsisten dengan hipotesis.
Stock split diharapkan mampu meningkatkan likuiditas perdagangan dengan cara memperluas cakupan karakteristik investornya ke investor-investor kecil. Namun hal ini bergantung kepada proporsi kepemilikan sebelum dilaksanakannya stock split sebagaimana dibuktikan oleh Najmudin (2002) dalam Melinda Safitri (2006). Perusahaan dengan proporsi kepemilikan institusi yang rendah sebelum split mengalami kenaikan likuiditas. Lain halnya dengan perusahaan yang proporsi kepemilikan institusinya sebelum
Berdasarkan penelitian, dampak dari dilaksanakannya stock split seringkali menunjukkan bukti-bukti empiris akan menurunnya likuiditas perdagangan. Penurunan ini berkaitan dengan hubungan antara transaction cost dengan harga. Semakin rendah harga, maka transaction cost (dalam persen harga saham) akan semakin tinggi (berbanding terbalik). (Melinda Safitri, 2006).
Dilaksanakannya reverse stock split membawa saham kepada harga yang lebih tinggi. Pada rentang ini, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid.
Likuiditas juga dikatakan akan meningkat setelah reverse stock split
dengan alasan lain selain diatas. Hipotesis bahwa harga saham berbanding terbalik dengan transaction cost membuat saham yang berada pada harga yang lebih tinggi mengalami penurunan transaction cost (dalam persen harga saham) sehingga saham lebih banyak diperdagangkan.
3. Signaling hipotesis
Split dikatakan memiliki muatan informasi dimana arus informasi pada pasar tidak selalu simetris. Pihak manajemen dianggap memiliki informasi yang lebih dalam dan menyeluruh atas segala tindakan perusahaan dan investor sebagai pihak luar hanya akan menerima sebagian informasi saja. Dilaksanakannya split, baik stock split maupun reverse stock split, akan membawa sinyal-sinyal yang mempengaruhi persepsi investor dalam mengambil keputusan. Hal ini disebutkan oleh Van Horne (2002) sebagai
Stock split membawa sinyal bahwa perusahaan akan mengalami future earnings yang signifikan dimasa mendatang. Hal ini seringkali menjadi persepsi investor karena sebagian besar perusahaan yang melakukan stock split adalah perusahaan yang di tahun-tahun sebelumnya mengalami kenaikan
earnings secara terus-menerus yang secara relative berada diatas industrinya. Selain itu, apabila perusahaan telah memutuskan untuk melaksanakan stock split yang menurunkan harga saham, berarti perusahaan sendiri memiliki kepercayaan bahwa harga sahamnya akan mengalami kenaikan dimasa mendatang. (Endah Lestari, 2006).
Investor juga memiliki persepsi bahwa perusahaan akan membagikan cash dividend setelah dilaksanakannya stock split. Persepsi ini terjadi karena pada prakteknya perusahaan kadang melakukan stock split yang diikuti oleh pembagian deviden tunai. (Van Horne dan Wachowicz, 2002:510).
Disini stock split berlaku sebagai sinyal positif dari prospek masa depan sebuah perusahaan. Sinyal baik ini direspon oleh investor sehingga mempengaruhi saham secara positif sehingga terjadi kenaikan harga saham yang signifikan. Kenaikan harga (pasar) ini seringkali tidak proporsional dengan proporsi split, sehingga para pemegang saham akan memiliki total value yang lebih tinggi. Emiten yang melakukan stock split, mengharapkan sinyal positif ini tersampaikan kepada investor yang akan bertindak sesuai dengan persepsinya.
kualitas yang lebih dari harga yang ditunjukannya. Harga yang rendah dengan mudah diasosiasikan dengan rendahnya kualitas, dengan melakukan reverse stock split, emiten ingin menghindari persepsi tersebut dan menunjukkan kinerja dan prospeknya. Di luar itu, perusahaan kadang menggunakan reverse stock split sebagai alat untuk menarik perhatian pasar. (Melinda Safitri, 2006).
Namun sinyal yang tersampaikan adalah sinyal negatif berupa persepsi investor akan future earnings dan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga sahamnya di masa mendatang. Apabila perusahaan memutuskan untuk melaksanakan reverse stock split, perusahaan dianggap tidak optimis dalam menilai kinerjanya di masa mendatang. Perusahaan dianggap tidak mampu untuk menaikan harga sahamnya dengan cara menunjukan kinerja. Hasil dari persepsi ini diterapkan dalam reaksi investor yang secara empiris telah dibuktikan menyebabkan terjadinya abnormal return yang negatif, terutama disekitar hari pengumuman. (Van Horne dan Wachowicz, 2007:296).
H. Hipotesis
Berdasarkan analisis dan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Hipotesis pertama berkaitan dengan likuiditas saham. Indikator yang digunakan untuk membandingkan likuiditas sebelum dan sesudah stock split
dan reverse stock split adalah trading volume activity. Hipotesis pertama adalah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap likuiditas saham pada perusahaan sebelum dan sesudah melakukan stock split dan reverse stock split. Hipotesis ini diteliti apakah rata-rata likuiditas sama dengan nol atau tidak. Sehingga dapat dirumuskan dengan:
Ho : 2 – 1 = 0 Ha : 2 – 1 0
1 dan 2 adalah likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman stock split dan reverse stock split.
2. Hipotesis kedua adalah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap Abnormal Return sebelum dan sesudah melakukan stock split dan reverse stock split
yang dirumuskan dengan: Ho : ARij = 0
I. Penelitian Sebelumnya
Seperti yang telah dijabarkan diatas, terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari emiten dalam melakukan stock split dan reverse stock split, antara lain
optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis.
Optimal price range hipotesis menyatakan bahwa emiten melakukan stock split atau reverse stock split didorong oleh perilaku praktisi pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan melakukan stock split atau reverse stock split
dapat menjaga harga saham tetap berada pada tingkat yang optimal sehingga dapat diperdagangkan dengan aktif yang ditandai oleh adanya peningkatan likuiditas.
Likuidity hipotesis berhubungan erat dengan optimal price range. Pada rentang harga ini, baik stock split maupun reverse stock split menghendaki adanya perdagangan yang lebih aktif menuju likuiditas yang lebih tinggi.
Signaling hipotesis, menyatakan bahwa stock split memberikan sinyal yang positif karena manajer perusahaan akan memformulasikan prospek masa depan yang baik dari perusahaan kepada publik. Hal ini ditandai dengan adanya
abnormal return yang positif. Lain halnya dengan reverse stock split yang dinilai membawa sinyal negative akan adanya future earnings dan kinerja perusahaan yang buruk, sehingga terdapat abnormal return yang negative di sekitar pengumuman reverse stock split.
mempuyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap likuiditas saham ditandai dengan semakin besarnya persentase spread secara keseluruhan baik ditinjau secara individual maupun sebagai sebuah portofolio. Namun, split tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap varians saham dan abnormal return baik ditinjau secara individual maupun sebagai sebuah portfolio.
Penelitian Ade Wirman (2002) juga menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan optimal price range dan liquidity hipotesis pada stock split. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas saham di pasar modal. Namun, stock split bukan alternative yang tepat dalam meningkatkan likuiditas saham perusahaan. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa sebagian besar perusahaan yang melakukan stock split, likuiditas saham perusahaan justru menurun jika dibandingkan antara sebelum stock split.
Penelitian Julita (2002) mendukung kebenaran dari signaling hipotesis. Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat perubahan pada return saham dan laba perusahaan setelah pengumuman stock split. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
stock split tetap direspon secara positif oleh pasar. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan laba yang diproksikan dengan Earning Per Share (EPS) dan
abnormal return yang positif.
Penelitian Zidny Rahmawati (2005) mendukung adanya optimal price range
tetap membagikan deviden agar investor tidak beralih pada saham perusahaan lain yang lebih menguntungkan.
Penelitianserupa dilakukan oeh Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) yang meneliti tentang pengaruh stock split terhadap tingkat return: studi mengenai pasar bentuk setengah kuat di BEJ yang menyimpulkan bahwa pengaruh informasi stock split terhadap return saham lebih kuat terjadi pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai daripada perusahaan yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya. Hal ini ditandai dengan abnormal return positif disekitar pengumuman pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai sangat signifikan pada tingkat 1%. Sedangkan pada perusahaan yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya abnormal return
positif disekitar pengumuman signifikan pada tingkat 10%. Berarti hasil tersebut sesuai dengan signaling hipotesis yang menyatakan adanya abnormal return yang positif akibat pengumuman stock split.
Penelitian yang menyelidiki stock split dan reverse stock split secara bersama pada bursa efek Indonesia adalah penelitian Melinda Savitri dan Dwi Martani (2006). Penelitian ini menyelidiki pengaruh dari stock split dan reverse split
terhadap return saham dan volume perdagangan pada Bursa Efek Jakarta selama 2001-2005. Penelitian ini menganalisis abnormal return dan volume perdagangan selama periode pengamatan dan hubungan return saham dengan profitability,