• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimizing plantation allocation using spatially multi criteria approach based continuous method

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimizing plantation allocation using spatially multi criteria approach based continuous method"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI ALOKASI LAHAN PERKEBUNAN

MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTI KRITERIA

SPASIAL BERBASIS METODE KONTINYU

(Studi Kasus Kabupat

ANDI RAMLAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Alokasi Lahan Perkebunan Menggunakan Pendekatan Multi Kriteria Spasial Berbasis Metode Kontinyu adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2013

Andi Ramlan

(4)
(5)

ABSTRACT

ANDI RAMLAN. Optimizing Plantation Allocation Using Spatially Multi-Criteria Approach Based Continuous Method. Supervised by BABA BARUS and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

The proficient planning of land resource becomes a major issue for rural development in Indonesia. It endorses to estimate the capacity of land employing evaluation method. Land evaluation is carried out to estimate the suitability of land for a particular usage. However, conventional Boolean which is generally used for assessing land suitability ignores the continuous nature of soil landscape variation that can misclassify of a current site. The research objective is to apply fuzzy theory of land suitability evaluation for plantation commodity. By means of multi-criteria decision making (MCDM), the fuzzification conducted by weighing of numerous criteria using Analytical Hierarchy Process. Improving spatial allocation model will have influential meaning for a management of land. Land allocation in rural region requires the compromise between ecological condition, socio-economic development, and infrastructure availability. Using compromise programming (CP) and fuzzy set approach within a geographical information systems (GIS) environment, numerous decision criteria have been developed. Decision criteria consist of road accessibility, market distance, electrical energy, settlement distance, commodity preference of people, and land suitability. Suitable land allocation for plantation commodity is 28,650 hectares which consists of 2,702 hectares dry land forest, 21,937 hectares of dry land farming, 3,992 hectares of shrubs, and 18 hectares of open land.

(6)
(7)

RINGKASAN

ANDI RAMLAN. Optimasi Alokasi Lahan Perkebunan Menggunakan Pendekatan Multikriteria Spasial Berbasis Metode Kontinyu. Di bawah bimbingan BABA BARUS dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Penggunaan lahan kawasan yang didominasi oleh aktifitas ekonomi pada sektor pertanian, memerlukan perencanaan yang sesuai dengan tingkat kesesuaian ekologi dan potensinya. Jika tidak, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang merugikan manusia. Oleh karena itu, diperlukan metode penilaian lahan yang sesuai.

Salah satu teknik evaluasi yang dapat digunakan dalam penilaian lahan adalah metode fuzzy sets. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kualitas hasil analisis dapat meningkat dengan mengaplikasikan teknik fuzzy dalam memodelkan berbagai fenomena di alam. Untuk menentukan suatu jenis penggunaan lahan pertimbangan tidak hanya didasarkan pada aspek biofisik lahan, namun turut mempertimbangkan aspek lain sehingga sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, diperlukan proses pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk (multi criteria decision making/MCDM) berbasis aspek keruangan.

Metode Spatial Compromise Programming (SCP) merupakan salah satu teknik MCDM yang dapat digunakan untuk proses pengambilan keputusan keruangan. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan subyektif seminimal mungkin dan upaya menentukan pilihan mendekati kondisi ideal dari sejumlah alternatif pilihan. Dalam menentukan pilihan ideal, pengambil keputusan dapat menggunakan teknik analisis kriteria majemuk dari sejumlah alternatif pilihan, menggunakan metode proses hirarki analisis (PHA).

Penelitian bertujuan; (1) Mengkaji model evaluasi lahan untuk komoditi basis perkebunan menggunakan metode fuzzy set, (2) Mengkaji model alokasi lahan komoditi basis perkebunan berdasarkan potensi biofisik lahan, ketersediaan infrastruktur dan kondisi sosial ekonomi menggunakan metode compromise

programming, (3) Menyusun arahan dan strategi untuk mewujudkan alokasi ruang komoditi basis perkebunan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat dan berlangsung dari bulan Maret hingga Desember 2012.

Data yang digunakan terdiri atas; data primer dan sekunder. Data primer meliputi; (1) Data hasil pengamatan lapangan (ground truth) untuk validasi data karakteristik tanah dan penggunaan lahan (landuse/landcover), (2) Data hasil kuisioner, (3) Citra Alos, dan (4) Citra SRTM. Data sekunder meliputi; (1) Data karakteristik tanah (2) Data statistik, meliputi; Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka, Kabupaten Mamuju Utara dalam Angka, Data Pokok Desa (BPS), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), (3) Data tematik tentang bio-fisik wilayah dan kebijakan keruangan, antara lain; peta sistem lahan, peta status kawasan/tata guna hutan kesepakatan (TGHK), peta geologi regional, dan data iklim, (4) Data dan peta-peta hasil penelitian sebelumnya. Perangkat analisis yang digunakan adalah perangkat lunak SIG dan spreadsheet.

(8)

menggunakan metode Compromise Programming (4) Penyusunan arahan dan strategi kebijakan untuk mewujudkan alokasi ruang kawasan komoditi basis perkebunan.

Analisis LQ sektor pertanian menunjukkan bahwa sub sektor perkebunan dan sub sektor kehutanan merupakan sektor basis perekonomian di Kabupaten Mamuju Utara. Komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara adalah kelapa sawit dan kelapa dalam. Secara spasial komoditi kelapa dalam mengelompok (kompak) di bagian utara Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan komoditi kelapa sawit mengelompok di bagian tengah Kabupaten Mamuju Utara. Terdapat spesialisasi wilayah yang nyata antara kelompok komoditi kelapa dalam dan kelapa sawit pada aspek luas tanam dan jumlah produksi.

Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode fuzzy set memperlihatkan bahwa wilayah yang memiliki faktor pembatas dominan berupa lereng tidak dapat dikompensasi dengan karakteristik lahan yang lain. Oleh karena itu, dalam penyusunan model, kriteria lereng dipisahkan dengan kriteria tanah dan iklim. Pendekatan ini dapat memperbaiki kualitas hasil analisis sebab faktor lereng diaplikasikan menggunakan model kontinyu, sehingga proses generalisasi data lereng dapat dihindari. Pendekatan ini juga menunjukkan bahwa konsep faktor pembatas minimum (Hukum minimum Liebiq) yang digunakan dalam evaluasi lahan dengan logika Boolean dapat diaplikasikan dalam metode kontinyu.

Pendekatan teknik kompensasi penuh (p=1) dipilih sebagai model alokasi lahan yang sesuai. Pendekatan tersebut dipilih untuk mengkompensasikan seluruh fungsi tujuan sehingga dihasilkan areal lahan secara optimal. Kebutuhan lahan untuk komoditi basis perkebunan ditentukan berdasarkan kisaran luas lahan perkebunan aktual. Untuk menentukan alokasi lahan, dilakukan simulasi pada beberapa interval nilai indeks lahan Lp-metric. Jika alokasi lahan dilakukan berdasarkan luas lahan perkebunan aktual, maka titik cut-off ditentukan pada interval 0.01-0.46, sebab pada interval tersebut diperoleh luas lahan pengusahaan komoditi perkebunan saat ini. Jika alokasi lahan dilakukan untuk seluruh areal lahan perkebunan dan pertanian lahan kering maka titik cut-off dilakukan pada interval 0.01-1.00.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa teknik CP dapat digunakan dalam menentukan luas dan sebaran areal lahan yang dibutuhkan bagi pengembangan komoditi basis perkebunan. Namun untuk menentukan luas kebutuhan lahan yang ideal diperlukan metode analisis yang lebih sesuai dan bukan didasarkan pada asumsi. Berdasarkan asumsi kebutuhan luas lahan sebesar 43 % dari luas wilayah kabupaten maka nilai indeks yang dipilih sebagai titik cut-off adalah 0.01-1.00. Pendekatan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan lahan perkebunan dan peluang pengembangan komoditi basis perkebunan. Penentuan titik awal 0.01 dilakukan untuk memberikan peluang pada areal lahan dengan indeks lahan Lp-metric terbaik tidak hilang dalam proses pembineran data indeks lahan.

Berdasarkan analisis tumpangsusun antara alokasi lahan perkebunan

(9)

Utara. Jenis penggunaan lahan yang juga memiliki luas signifikan di dalam areal lahan Lp-metric adalah pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak dengan persentase luas berturut-turut 4.2 % dan 3.7 % dari luas Kabupaten Mamuju Utara. Jenis penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering merupakan lahan potensial untuk cadangan pengembangan komoditi basis perkebunan.

Potensi lahan di dalam areal Lp-metric yang memungkinkan dikonversi menjadi lahan komoditi basis perkebunan adalah 28 650 ha. Potensi tersebut terdiri atas 9.4 % hutan lahan kering, 77 % pertanian lahan kering, 13.9 % semak belukar, dan 0.1 % tanah terbuka. Areal lahan cadangan pengembangan komoditi basis perkebunan 53 % berada pada kawasan budidaya pertanian dan 47 % berada pada kawasan budidaya kehutanan. Kawasan budidaya kehutanan terdiri atas hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap dengan luas berturut-turut 25 %, 19 %, dan 3 % dari kawasan budidaya kehutanan. Alokasi lahan cadangan pengembangan terluas terletak di Kecamatan Dapurang, sedangkan alokasi terkecil di Kecamatan Sarjo.

Areal lahan yang berada di luar alokasi lahan komoditi basis perkebunan, jika berada pada kawasan yang berfungsi lindung dialokasikan sebagaimana pengaturan fungsi kawasannya, sedangkan kawasan budidaya pertanian dan kehutanan digunakan untuk alokasi penggunaan lahan lain sesuai kebijakan keruangan daerah atau penggunaan lahan yang tidak bertentangan dengan pengaturan fungsi status kawasannya. Untuk dapat memanfaatkan kawasan budidaya dan mengamankan kawasan lindung diperlukan sejumlah strategi dan arahan untuk mewujudkan alokasi ruang kawasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Untuk mewujudkan alokasi lahan komoditi basis perkebunan sesuai dengan rencana, diperlukan langkah dan upaya melalui instrumen kebijakan perencanaan, pengendalian, dan pengawasan penataan ruang wilayah. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan alokasi lahan komoditi basis perkebunan adalah:

1. Pemantapan kawasan lindung, berupa: pemantapan tata batas kawasan hutan lindung, pengamanan kawasan hutan melibatkan partisipatif masyarakat, dan pemanfaatan kawasan lindung untuk aktifitas ekonomi bagi masyarakat lokal 2. Penanganan kawasan lindung yang telah dibuka

3. Penanganan kawasan perlindungan setempat (mangrove)

4. Pengelolaan kawasan budidaya, berupa: pengembangan hutan kemasyarakatan (agrisilvikultur atau agrisilvopastur), pembangunan kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun).

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

OPTIMASI ALOKASI LAHAN PERKEBUNAN

MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTI KRITERIA

SPASIAL BERBASIS METODE KONTINYU

arat)

ANDI RAMLAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Judul Tesis : Optimasi Alokasi Lahan Perkebunan Menggunakan Pendekatan Multi Kriteria Spasial Berbasis Metode Kontinyu

Nama : Andi Ramlan

NRP : A156 10 00 11

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah

Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL)

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbul Jalal, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat rampung sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Pimpinan beserta seluruh sivitas akademik Institut Pertanian Bogor dan segenap pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Departemen Ilmu Tanah dan Majemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.

2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku anggota komisi pembimbing, serta Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan, bimbingan, dan arahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan finansial melalui beasiswa BPPS.

4. Pimpinan Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada kami melanjutkan pendidikan pada jenjang magister. 5. Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Barat dan Kepala Bappeda Kabupaten

Mamuju Utara atas segala bantuan yang diberikan.

6. Prof. Ir. Sumbangan Baja, Ph.D, M.Phil, Drs. Samsu Arief, M.Si dan Ir. Nurmiaty, M.Si atas kesediaannya memberikan masukan pada penelitian ini. 7. Terkhusus kepada adinda Risky Aprilianti Baharuddin, ananda Danish

Raihana dan Davina Mumtazah, ayahanda (alm) H. Andi Mattoreang, ibunda Hj. Andi Sanwani, ayahanda mertua (alm) Prof. Dr. H. Baharuddin Agie dan ibunda mertua Dra. Hj. Andi Ramlah Amir atas segenap doa, pengertian, dan motivasinya. Kepada mereka karya akademik ini kami persembahkan.

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 25 September 1974. Penulis adalah putra pertama dari tiga orang bersaudara pasangan (alm) H. Andi Mattoreang dan Hj. Andi Sanwani.

(20)
(21)

xiii

2.2 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk………..….…….… 8

2.2.1 Multi-Atribute Decision Making(MADM) ………….… 11

2.2.2 Multi-Objective Decisison Making(MODM) ….……... 15

2.3 Proses Hirarki Analisis (PHA) ………..………. 16

2.3.1 Formulasi Masalah dan Penyusunan Hirarki Keputusan ……….. 17

2.3.2 Penentuan Bobot Kepentingan dan Pengujian Konsistensi ……… 19

2.3.3 Pengambilan Keputusan Berkelompok ……….………. 23

2.4 Evaluasi Lahan ……….….. 24

2.4.1 Pendekatan Fuzzy Setdalam Evaluasi Lahan ………… 25

2.4.2 Metode Kontinyu dalam Evaluasi Lahan ………. 31

2.5 Compromise Programming(CP) ………..……..… 31

3.3 Jenis Data, Perangkat Analisis, dan Pengolahan Data ... 36

3.3.1 Jenis dan Sumber Data………..….…....….. 36

3.3.2 Perangkat Analisis ………..….… 37

3.3.3 Penyiapan dan Pengolahan Data ………. 37

3.4 Tahapan Penelitian ………... 41

3.4.1 Penentuan Sektor Basis dan Komoditi Basis ………….. 41

3.4.2 Evaluasi Lahan dengan Metode Fuzzy Set………. 42

3.4.3 Compromise Programming(CP) ……….... 47

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ………..….… 57

(22)

xiv 4.7.3 Infrastruktur Energi dan Komunikasi …………....…… 80

4.8 Potensi Tanaman Perkebunan ……….…..…… 81

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Ekonomi Wilayah ... 83

5.2 Sektor Basis Wilayah ……….…..……...……… 85

(23)

xv

5.10 Sebaran Penggunaan Lahan Aktual di Dalam Alokasi Lahan

Lp-metric dan di Luar Alokasi Lahan Lp-metric……..……... 114

5.11 Prioritas Alokasi Lahan Komoditi Basis Perkebunan dan

Potensi Pengembangan ………. 116

5.12 Arahan dan Strategi Pengembangan Mewujudkan Alokasi Ruang Kawasan Komoditi Basis Perkebunan …………..…… 119 5.12.1 Rencana Pemantapan Kawasan Lindung ……..…... 120 5.12.2 Penanganan Kawasan Hutan Lindung Telah Dibuka 121 5.12.3 Penanganan Kawasan Perlindungan Setempat

(Mangrove) ………. 124

5.12.4 Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya ………….. 124 VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 127

6.2 Saran ………..……….……….. 128

DAFTAR PUSTAKA 129

(24)
(25)

xvii 5 Indikator fungsi tujuan yang dikembangkan dalam penyusunan model... 50 6 Luas wilayah dan jumlah kelurahan/desa menurut kecamatan di

Kabupaten Mamuju Utara ... 57 7 Litologi batuan penyusun Kabupaten Mamuju Utara ... 61 8 Topografi wilayah Kabupaten Mamuju Utara ……….……... 66 9 Sistem lahan dan jenis tanah dominan di Kabupaten Mamuju Utara …... 69 10 Jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten

Mamuju Utara tahun 2011 ……… 77

11 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Mamuju Utara tahun 2011 (jiwa) ……… 77 12 Jumlah rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga menurut

kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara ... 78 13 Fasilitas perekonomian menurut kecamatan (unit) ………….…..……… 79 14 Karakteristik jalan berdasarkan jenis permukaan dan kondisi jalan di

Kabupaten Mamuju Utara (km) ………..………..…… 80 15 Luas tanam, luas panen, produksi dan produktifitas beberapa jenis

komoditi perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara tahun 2011 ……..…. 81 16 Luas panen beberapa tanaman perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara

tahun 2007-2011 ……….………... 82

17 Luas perkebunan rakyat dan swasta menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara tahun 2011 ... 82 18 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan di

Kabupaten Mamuju Utara tahun 200-2010 (persen) ... 84 19 Analisis Location Quotient (LQ) produk domestik regional bruto

(PDRB) atas dasar harga konstan Kabupaten Mamuju Utara tahun 2001–10 ... 86 20 Analisis LQ jumlah produksi beberapa komoditi perkebunan di Provinsi

Sulawesi Barat tahun 2011 ………..…….………..……….. 88

(26)

xviii

30 Simulasi titik cut-off pada berbagai nilai indeks Lp-metric ……… 109 31 Sebaran lahan Lp-metric menurut wilayah basis dan non basis

komoditi kelapa dalam (ha) ………. 113 32 Sebaran lahan Lp-metric menurut wilayah basis dan non basis

komoditi kelapa sawit (ha) …………..………... 113 33 Matriks penggunaan lahan dan status kawasan areal lahan Lp-metrik

untuk cadangan pengembangan komoditi perkebunan (ha) ….……… 116 34 Distribusi cadangan pengembangan lahan perkebunan Lp metric

menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara (ha) ….……… 119 35 Penggunaan lahan pada kawasan lindung di dalam kawasan Lp-metric . 121 36 Sebaran penggunaan lahan di dalam kawasan Lp-metric yang tidak

(27)

xix 6 Prosedur evaluasi lahan menggunakan metode fuzzy set …………..…… 42 7 Struktur hirarki evaluasi lahan ……….……….... 46 8 Struktur hirarki CP dengan pendekatan MCDM …..…………...…….. 49 9 Peta administrasi Kabupaten Mamuju Utara..……..………….….….….. 58 10 Curah hujan tahunan di Kabupaten Mamuju Utara tahun 1990-99 …….. 59 11 Curah hujan bulanan di Kabupaten Mamuju Utara …………..…....……. 59 12 Peta geologi Kabupaten Mamuju Utara ... 62 13 Peta lereng dan topografi wilayah Kabupaten Mamuju Utara ... 65 14 Peta sistem lahan dan jenis tanah Kabupaten Mamuju Utara ………... 70 15 Distribusi spasial sektor basis dan non basis komoditi kelapa dalam

menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara ………... 90 16 Distribusi spasial sektor basis dan non basis komoditi kelapa sawit

menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara ………..……... 91 17 Model kurva S derajat keanggotaan fuzzy pada beberapa indikator

lahan………..………. 94

18 Hasil fuzzifikasi pada beberapa indikator lahan……….…….. 95 19 Hasil penggabungan (nilai rata-rata) derajat keanggotaan DKG dengan

pembobotan ……..………..……….. 97

20 Sebaran indeks kesesuaian lahan komoditi basis perkebunan.. ………… 98 21 Pola spasial indeks lahan komoditi basis perkebunan menggunakan nilai

parameter p berbeda……….…….…. 102

22 Alokasi lahan Lp-metric………...……….……… 107 23 Sebaran dan luas lahan Lp-metric menurut kecamatan …….….……….. 110 24 Sebaran dan luas lahan Lp-metric menurut status kawasan. ……… 112 25 Alokasi lahan Lp-metric pada wilayah basis ekonomi komoditi kelapa

dalam dan kelapa sawit. ……….……….………….. 114

(28)
(29)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Mamuju Utara atas dasar harga konstan tahun 2000 - 2010 (Juta Rp) ……….……….. 138 2 Analisis PHA untuk bobot kepentingan kriteria evaluasi lahan ………. 139 3 Analisis PHA untuk bobot kepentingan indikator Compromise

Programming ………..…..……….… 140

4 Peta unit lahan dan lokasi pengamatan …………..……….… 142 5 Kriteria kesesuaian lahan tanaman kelapa dalam (Cocos nucifera L.) .. 143 6 Kriteria kesesuaian lahan tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis

JACK.) ………..…….……… 144

7 Kriteria evaluasi lahan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara (diadaptasi dari Djaenuddin et al. 2003) ……… 145 8 Pengelompokan kelas tekstur yang digunakan ……….………….. 147 9 Kelas kedalaman tanah ………..……...……….. 147

10 Kelas ketebalan gambut ……….……. 147

11 Tingkat bahaya erosi ……….……..…… 147

12 Kelas bahaya banjir ……… 147 13 Peta penggunaan lahan Kabupaten Mamuju Utara………. 148 14 Penggunaan lahan menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara

(ha) ……….………. 149

15 Peta status kawasan Kabupaten Mamuju Utara ……….. 150 16 Status kawasan menurut kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara (ha) . 151 17 Penggunaan lahan menurut fungsi kawasan di Kabupaten Mamuju

Utara (ha) ………..……..………... 152

18 Hasil penggabungan (nilai rata-rata) derajat keanggotaan DKG tanpa

pembobotan ……… 153

19 Sebaran indeks kesesuaian lahan komoditi basis perkebunan tanpa

pembobotan ……… 153

20 Peta potensi lahan kawasan budidaya pertanian (APL) yang dapat

(30)
(31)

1.1 Latar Belakang

UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengklasifikasi alokasi peruntukan penggunaan lahan (landuse) menjadi dua, yaitu; penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam UU tersebut, rencana alokasi penggunaan lahan di suatu wilayah menggunakan terminologi pola ruang. Pola ruang didefinisikan sebagai distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Peruntukan ruang untuk fungsi lindung merupakan alokasi ruang dalam suatu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Oleh karena itu, rencana pola ruang suatu wilayah bertujuan untuk mengatur alokasi penggunaan lahan dalam mencapai kondisi yang diharapkan.

Pola ruang wilayah pada suatu kawasan yang didominasi oleh aktifitas ekonomi pada sektor pertanian, memerlukan perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan tingkat kesesuaian dan potensinya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya hingga jangka waktu tertentu menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang merugikan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan metode penilaian alokasi lahan sesuai dengan tingkat kesesuaian dan potensi lahannya.

(32)

Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses pencocokan antara karakteristik lahan dengan tipe penggunaan lahan yang direncanakan umumnya bersifat subyektif (Braimoh et al. 2004). Misalnya metode penjumlahan atau perkalian yang membagi klasifikasi karakteristik lahan menjadi beberapa tingkatan, dimana proses penentuan batas antar kelas dilakukan tanpa kriteria yang baku (Rossiter 1996). Mengingat penentuan nilai kriteria dalam evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara subyektif (judgment) dan merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari, maka diperlukan metode yang dapat mengurangi bias dalam proses evaluasi kesesuaian lahan (Davidson et al. 1994).

Untuk mengatasi bias dalam menentukan batas nilai kriteria kelas dalam teknik evaluasi kesesuaian lahan, Bourrogh (1989) mengadopsi teori fuzzy sets

yang diperkenalkan oleh Zadeh (1965) untuk digunakan dalam proses evaluasi lahan. Menurut logika fuzzy, penentuan batas suatu kelas secara tegas sulit dilakukan, sebab batas suatu kelas kesesuaian lahan memiliki berbagai komponen dan konsep yang bersifat relatif. Dalam logika fuzzy, nilai keanggotaan suatu obyek tidak hanya terdiri atas dua nilai (sebagaimana dikenal dalam logika

Boolean), namun dapat dialokasikan pada suatu kisaran angka dari nol hingga satu (kisaran nilai tertentu). Dengan pendekatan tersebut maka metode Boolean

dianggap kurang memadai untuk melakukan penyajian model data yang memiliki faktor ketidakjelasan (vagueness) (Burrough 1989). Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bersifat probabilistik, khususnya jika suatu informasi yang berhubungan dengan suatu fenomena kurang dapat dimengerti atau jika fenomena tersebut memiliki faktor ketidakpastian dan informasi yang tidak lengkap.

Hasil penelitian dengan pendekatan fuzzy set (Burrough 1989; Mc Bratney dan Odeh 1997), menunjukkan bahwa kualitas hasil analisis dapat meningkat dengan mengaplikasikan teori fuzzy dalam memodelkan berbagai fenomena di alam (Sui 1992; Braimoh et al. 2004; Fritz et al. 2005). Hal tersebut mendorong pendekatan fuzzy sets semakin berkembang dalam berbagai aspek pengelolaan sumberdaya lahan (de Gruijter et al. 2011).

(33)

wilayah. Perencanaan peruntukan penggunaan lahan di suatu wilayah tidak lagi dilakukan berdasarkan faktor tunggal, namun merupakan proses pengambilan keputusan yang didasarkan atas berbagai pertimbangan. Dewasa ini aplikasi proses pengambilan keputusan multi-kriteria mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan semakin berkembangnya perangkat teknologi pendukungnya. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendukung pengambilan keputusan (Malczewski 2006; Arciniegas 2011) yang dapat mempertimbangkan dan mengakomodasi berbagai aspek secara spasial.

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan secara keruangan adalah metode Spatial Compromise Programming (SCP) yang diperkenalkan oleh Tkach dan Simonovic (1997). Teknik tersebut dikembangkan untuk mengatasi berbagai variabilitas spasial dengan menggabungkan metode compromise programming

(CP) dengan teknologi SIG. Teknik analisis ini digunakan untuk melakukan proses pengambilan keputusan dengan pertimbangan subyektif seminimal mungkin. Selain itu, dalam proses pengambilan keputusan diperlukan pertimbangan dan kriteria yang mendekati situasi yang ideal yang dibutuhkan.

Ide dasar dari metode CP adalah upaya untuk menentukan pilihan yang paling mendekati (closeness) kondisi ideal dari sejumlah alternatif pilihan yang tersedia. Dalam menentukan pilihan yang ideal, pengambil keputusan dapat menggunakan berbagai teknik pengambilan keputusan dalam analisis kriteria majemuk dari sejumlah alternatif pilihan. Salah satu yang pendekatan yang paling umum digunakan adalah metode proses hirarki analisis (PHA) (Saaty 1980).

(34)

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat. Wilayah ini memiliki potensi sumberdaya lahan beragam serta memiliki karakteristik wilayah heterogen, khususnya jika ditinjau dari aspek fisik lahan. Lokasi penelitian mencakup seluruh wilayah Kabupaten Mamuju Utara, namun analisis lahan difokuskan pada kawasan budidaya (pertanian dan kehutanan).

Kabupaten Mamuju Utara merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki kendala pengembangan budidaya pertanian akibat aspek fisiografi wilayah. Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas 304 467 ha, namun hanya memiliki luas areal lahan untuk kawasan budidaya pertanian (areal penggunaan lain) kurang lebih 36 % dari luas wilayahnya. Selain itu kurang lebih 53 % wilayah Kabupaten Mamuju Utara berada pada kelas lereng > 41%. Kondisi ini merupakan salah satu tantangan dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya lahan yang tersedia. Desakan kebutuhan lahan yang semakin meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, serta akibat kegiatan budidaya pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi, menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lahan yang pada gilirannya dapat mendegradasi kualitas hidup manusia.

Penelitian ini melakukan proses penilaian lahan menggunakan pendekatan kombinasi berbagai indikator, sehingga dapat menghasilkan sebaran alokasi lahan pengembangan komoditi basis perkebunan di suatu kawasan yang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah tersebut tanpa mengabaikan fungsi ekologisnya. Model fuzzy set yang menggunakan pendekatan kontinyu diharapkan dapat memetakan sebaran kualitas lahan secara lebih baik, sehingga sebaran alokasi kawasan untuk pengembangan komoditi basis perkebunan yang sesuai dengan aspek biofisik lahan, infrastruktur dan kondisi sosial dapat dihasilkan. 1.2 Perumusan Masalah

(35)

sedangkan optimasi lahan menggunakan pendekatan pengambilan keputusan kriteria majemuk (multi-criteria decision making)dengan menggunakan berbagai fungsi tujuan meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan tersebut kemudian menjadi komponen dalam proses pengalokasian lahan secara spasial.

Dalam konteks optimasi alokasi lahan secara spasial terdapat beberapa masalah sehingga penelitian ini dilaksanakan. Pertanyaan penelitian tersebut dikemukakan dalam rumusan masalah berikut:

1. Proses evaluasi lahan dengan metode Boolean yang mengadopsi pendekatan faktor pembatas minimum (Hukum Minimum Liebig) menghasilkan penentuan batas kelas kesesuaian lahan dengan tegas (crisp boundary). Akibatnya sejumlah unit lahan yang seharusnya sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu menjadi tidak sesuai dan ditolak karena nilai indikator (karakteristik) lahannya berada tepat di luar batas kelas yang ditentukan. Selain itu, dengan nilai karakteristik lahan yang bervariasi maka penggunaan nilai data yang bersifat kontinyu (berkisar dari 0 hingga 1.0) menyebabkan nilai indikator lahan yang berada di luar batas kelas kesesuaian tidak ditolak secara langsung, namun dipertimbangkan kedekatannya dengan batas nilai kelas kesesuaian lahan yang dievaluasi. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut sehingga kualitas hasil evaluasi dapat meningkat.

2. Analisis multi kriteria spasial tidak hanya digunakan untuk menentukan prioritas atau peringkat kepentingan suatu kebijakan, namun dapat memberikan gambaran secara spasial atas kebijakan tersebut. Selain itu, pendekatan ini dapat digunakan menentukan solusi optimal yang spesifik dari sejumlah pilihan yang tersedia. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian pada aspek ini adalah bagaimana mengkombinasikan proses pengambilan keputusan alokasi lahan berdasarkan kepentingan aspek biofisik lahan, sosial ekonomi, dan infrastruktur pada komoditi basis perkebunan untuk kepentingan pengembangan wilayah.

(36)

memberikan kepastian berusaha bagi masyarakat yang sesuai secara ekologis dan pranata hukum yang ada. Pertanyaan penelitian pada aspek ini adalah bagaimana menyusun dan mewujudkan alokasi lahan berdasarkan berbagai aspek kepentingan yang sesuai dengan peraturan perundangan, kebijakan nasional, dan kepentingan daerah serta masyarakat?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model alokasi lahan berdasarkan aspek biofisik lahan didukung oleh kondisi infrastruktur wilayah serta mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat untuk mengalokasikan sebaran lahan komoditi basis perkebunan menggunakan pendekatan multikriteria spasial.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengkaji model evaluasi lahan menggunakan metode fuzzy set untuk komoditi basis perkebunan.

2. Mengkaji model alokasi lahan komoditi basis perkebunan berdasarkan potensi biofisik lahan, ketersediaan infrastruktur, dan kondisi sosial ekonomi menggunakan metode compromise programming.

3. Menyusun arahan dan strategi kebijakan untuk mewujudkan alokasi ruang komoditi basis perkebunan.

1.4 Manfaat Penelitian

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Sektor Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan non basis. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal, sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Rustiadi et al. (2009) membagi sektor ekonomi suatu wilayah menjadi dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis merupakan suatu kegiatan ekonomi dimana proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis dapat menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah, adapun sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar didaerahnya sendiri dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum mampu memenuhi kebutuhan di daerah lainnya.

Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh nilai strategis setiap sektor sebagai pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis dan non basis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja homogen serta masing-masing industri menghasilkan produk/jasa yang seragam. Oleh karena itu berbagai dasar ukuran yang digunakan dalam penghitungan LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia.

(38)

petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Persamaan umum dari metode Location Quotient sebagai berikut :

ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah

 Nilai LQij = 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas setara dengan

pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.

 Jika nilai LQij < 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil

dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.

Nilai LQ selain dapat mengetahui pola pemusatan aktivitas di suatu wilayah juga dapat menduga aliran input-output dengan mengasumsikan bahwa aliran akan terjadi dari aktivitas dan wilayah dengan nilai LQ >1 ke aktivitas dan wilayah dengan nilai LQ < 1. Namun perlu diingat bahwa sebelum melakukan analisis LQ dan menginterpretasikannya, asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ini harus dipenuhi dan diperhatikan.

2.2 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk

Metode pengambilan keputusan kriteria majemuk (multi-criteria decision

(39)

terbagi menjadi dua pendekatan; (1) Pengambilan keputusan atribut majemuk (multi-attribute decion making/MADM) dan (2) Pengambilan keputusan tujuan majemuk (multi-objective decision making/MODM). Dalam penelitian ini, singkatan istilah yang digunakan tetap mengacu pada istilah aslinya.

Jika pada suatu proses pengambilan keputusan terdapat sejumlah alternatif pilihan dan proses pengambilan keputusan tersebut didasarkan atas sejumlah nilai atribut yang memiliki alternatif pilihan, maka proses tersebut dikategorikan sebagai pendekatan MADM. Dalam pendekatan MADM pengambilan keputusan didasarkan terhadap pilihan terbaik dari sejumlah alternatif pilihan yang tersedia (Kahraman 2008).

MADM merupakan salah satu cabang ilmu dalam proses pengambilan keputusan yang merupakan komponen model riset operasi yang berhubungan dengan masalah pengambilan keputusan menurut sejumlah kriteria. Pendekatan MADM memerlukan sejumlah pilihan, diantara alternatif keputusan yang dijelaskan dalam atribut-atribut keputusan yang tersedia. Dalam menyelesaikan persolan menggunakan pendekatan MADM, sejumlah alternatif keputusan yang jumlahnya terbatas telah disiapkan. Penyelesaian masalah dengan metode MADM dapat menggunakan metode pengurutan dan perangkingan.

Pendekatan MADM merupakan metode alternatif untuk mengkombinasikan matriks keputusan masalah dengan tambahan informasi dari para pengambil keputusan untuk menentukan ranking, pilihan, dan seleksi terhadap sejumlah alternatif. Selain informasi yang terdapat dalam matriks keputusan, metode tercepat dalam proses pengambilan keputusan menggunakan MADM adalah adanya informasi tambahan dari para pengambil keputusan dalam menentukan ranking, urutan, dan pilihan.

(40)

dapat saling bertentangan serta umumnya dijelaskan menggunakan fungsi kontinyu (Massam 1988 dalam Phua dan Minowa2005; Kahraman 2008).

Dalam proses pengambilan keputusan di alam nyata yang memiliki kompleksitas sistem dan aspek ketidakpastian, berbagai persoalan tidak dapat didefinisikan dan disajikan dalam batas nilai yang bersifat tegas (Bellman et al. 1970). Menurut Zadeh (1965), untuk mengatasi persoalan yang bersifat kualitatif, informasi yang tidak pasti atau struktur masalah keputusan yang buruk, dapat menggunakan pendekatan teori fuzzy set sebagai suatu perangkat pemodelan untuk sistem yang bersifat kompleks yang dapat dikontrol oleh manusia namun sulit dijelaskan secara pasti.

Logika fuzzy merupakan cabang dari ilmu matematika yang memungkinkan bagi perangkat komputer untuk melakukan pemodelan dunia nyata. Logika fuzzy

menyediakan cara yang sederhana dalam memahami persoalan yang samar-samar, ambigu, dan pengetahuan yang tidak pasti. Hal tersebut membedakan antara pendekatan fuzzy dan pendekatan logika Boolean. Dalam pendekatan menggunakan logika Boolean, setiap pernyataan hanya memiliki dua pilihan, benar atau salah yang disimbolkan dengan nilai 1 (benar) dan 0 (salah). Secara matematik, himpunan Boolean menggunakan persyaratan keanggotaan yang kaku. Sebaliknya himpunan fuzzy memiliki persyaratan keanggotaan yang lebih fleksibel sehingga memungkinkan adanya keanggotaan sebagian dalam suatu himpunan. Berbagai hal ditentukan sebagai persoalan kedekatan, dan argumen yang pasti benar dianggap sebagai faktor pembatas dari kondisi yang tidak pasti. Oleh karena itu, logika Boolean merupakan himpunan bagian dari logika fuzzy.

Dalam kehidupan sehari-hari, proses pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan sepenuhnya hanya dengan menggunakan pendekatan yang bersifat rigid dan kaku (Saaty 1980). Keterlibatan manusia dalam proses analisis keputusan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan, akan mempertimbangkan aspek subyektifitas, ketimbang hanya menggunakan ukuran peluang secara obyektif. Kondisi ini menyebabkan pengambilan keputusan menggunakan metode

(41)

2.2.1 Multi-Atribute Decision Making (MADM)

Teknik yang digunakan dalam metode MADM dibagi menjadi dua metode, yaitu; (1) metode MADM yang menggunakan teknik non kompensasi (

non-compensatory) dan (2) metode MADM yang menggunakan teknik kompensasi (compensatory). Teknik kompensasi dalam metode MADM terjadi jika seorang pengambil keputusan menganggap bahwa nilai suatu atribut dapat memberikan kompensasi terhadap nilai atribut lain yang memiliki nilai yang lebih rendah. Khususnya jika pada tahap analisis awal dilakukan, terdapat hal yang menunjukkan bahwa suatu alternatif pilihan tidak dapat mencapai standar minimum persyaratan yang dibutuhkan. Metode yang menggabungkan perpaduan

tradeoff (pertukaran) antara hasil yang tinggi dan rendah dalam analisis disebut metode kompensasi, sedangkan yang tidak melakukan proses perpaduan tersebut

disebut metode non-kompensasi.

Hwang dan Yoon (1981) dalam Kahraman (2008) menguraikan bahwa dalam pendekatan MADM terdapat dua puluh jenis metode dan teknik analisis yang dapat digunakan, yaitu; metode dominan, maximin, maximax, konjungtif, disjungtif, leksikograf, leksikograf semi-order, eliminasi, metode penilaian linier, penambahan dengan pembobotan, pembobotan hasil, kriteria investasi modal secara non-traditional, TOPSIS, pendekatan jarak, proses hirarki analisis, outranking, model kegunaan multi-atribut, proses jaringan analisis, analisis pengembangan data, dan integral fuzzy multi-atribut. Uraian masing-masing teknik analisis tersebut secara ringkas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Uraian ringkas metode dalam pendekatan MADM

Metode Uraian

(42)

Tabel 1 (Lanjutan)

Metode Uraian

2 Maximin Prisip utama pendekatan ini adalah suatu rantai akan memiliki kekuatan dengan jaringan yang paling lemah. Secara efektif, metode ini akan memberi nilai setiap alternatif yang setara dengan kekuatan dari kelemahan jaringannya, dimana jaringan tersebut merupakan atribut keputusan. Dengan demikian setiap jaringan memerlukan penyajian (dalam hubungannya dengan atribut) yang dapat diukur dalam unit yang sepadan atau dinormalisasi lebih dahulu dalam menyajikan metode ini.

3 Konjungtif (Kepuasan)

Teknik analisis ini murni merupakan metode seleksi/pemilihan. Persyaratan yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan metode ini adalah suatu kriteria harus melampaui ambang nilai performa tertentu untuk seluruh atribut. Nilai atribut (yang menjadi nilai ambang) tidak harus terukur dalam unit analisis yang sama.

4 Maximax Fokus utama metode ini adalah menentukan besaran nilai kepentingan atribut pada masing-masing alternatif yang menunjukkan hasil terbaik. Sesuai dengan analogi rantai yang digunakan pada metode maximin, maka pendekatan pada metode maximax adalah membandingkan rantai alternatif pilihan dalam menentukan hubungan terkuat (atribut). Nilai dari setiap rantai (alternatif) adalah sama dengan kekuatan yang ditunjukkan oleh hubungan terkuat atributnya. Metode ini juga memerlukan atribut yang setara melalui proses normalisasi.

5 Disjungtif (Kebalikan)

Metode ini juga murni merupakan metode seleksi. Metode ini melengkapi

metode konjuntif, menggantikan “atau” pada tempat “dan”. Oleh karena itu, untuk melewati teknik seleksi disjungtif, suatu alternatif keputusan harus melampaui ambang performa tertentu minimal satu atribut. Sama halnya dengan metode konjuntif, metode ini tidak memerlukan atribut yang harus memiliki nilai unit analisis yang sama.

6 Leksikograf Aplikasi yang paling umum digunakan pada metode ini adalah teknik pengurutan abjad huruf dalam kamus. Dengan metode ini, berbagai atribut dirangking berdasarkan urutan kepentingannya. Alternatif keputusan ditentukan dengan performa terbaik berdasarkan atribut yang paling penting, dan selanjutnya dipilih. Jika terdapat ikatan, dalam hubungannya dengan atribut tertentu, maka atribut yang paling penting berikutnya akan dipilih, dan seterusnya.

Terdapat 2 cara penting, dimana masalah MADM berbeda dari metode pengurutan abjad huruf dalam kamus; (1). Hanya terdapat sedikit alternatif dalam masalah MADM daripada jumlah kata dalam kamus (2). Jika dalam matriks keputusan terdapat nilai atribut kuatitatif, maka secara efektif akan terdapat sejumlah nilai yang tidak terbatas (lebih dari 26) dari nilai yang mungkin memiliki peluang ikatan yang lemah.

7 Leksikograf semi-order

(43)

Tabel 1 (Lanjutan)

Metode Uraian

8 Eliminasi pada aspek

Metode ini adalah bentuk formal dari model heuristik yang dikenal sebagai proses eliminasi. Sama halnya dengan metode leksikograf, proses evaluasi akan menghasilkan satu atribut setiap saat, yang dimulai dengan atribut yang dianggap paling penting. Jika terdapat atribut yang tidak memenuhi persyaratan minimum, yang diukur dengan satu atribut tertentu, maka atribut tersebut akan dieliminasi. Proses tersebut akan diulangi hingga hanya akan tersisa satu atribut, meskipun penyesuaian terhadap nilai ambang dibutuhkan pada kasus tertentu untuk memperoleh solusi yang tertentu.

9 Metode penetapan linier

Metode ini (sebagai tambahan pada data matriks keputusan) memerlukan bobot kepentingan dalam bentuk jenis data kardinal untuk setiap atribut dan rangking dari setiap alternatif yang berhubungan dengan atribut. Syarat informasi ini berada pada level menengah antara metode yang telah diuraikan sebelumnya dan metode yang diuraikan berikut, sehingga memerlukan kriteria rangking pilihan ordinal dari berbagai alternatif yang berhubungan dengan atribut. Tambahan informasi memungkinkan dilakukannya analisis kompensasi dibandingkan analisis non-kompensasi, sehingga kompensasi terhadap suatu atribut dapat dilakukan.

10 Penjumlahan bobot

Nilai dari sejumlah alternatif setara dengan jumlah bobot evaluasi kardinal (rangking pilihan), dimana bobot tersebut merupakan bobot kepentingan yang menyangkut setiap atribut. Hasil dari skor kardinal untuk setiap alternatif dapat digunakan untuk rangking, seleksi dan penentuan suatu alternatif. Metode PHA merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam teknik ini.

11 Produk bobot Metode ini sama dengan metode penjumlahan bobot. Namun demikian, sebagai pengganti dari perhitungan sub-skor yang memperkalikan skor penilaian dan kepentingan atribut, maka skor penilaian ditingkatkan levelnya menjadi kekuatan bobot kepentingan atribut. Selanjutnya ketimbang menjumlahkan hasil subskor sejumlah atribut untuk memperoleh skor total, maka skor produk diubah menjadi skor alternatif akhir.

12 Kriteria investasi modal non-tradisional

Metode ini memerlukan perbandingan berpasangan dari hasil yang diperoleh (pada alternatif yang tersedia) diantara atribut untuk alternatif tertentu. Atribut harus diukur dalam satuan moneter. Perbandingan-perbandingan tersebut lalu digabungkan untuk mengestimasi nilai moneter pada setiap hasil yang diperoleh dan nilai tersebut kemudian dijumlahkan untuk memperoleh nilai perkiraan total dari setiap alternatif. Nilai perkiraan tersebut dapat digunakan untuk memilih alternatif, merangking pilihan, atau menyeleksi pilihan.

(44)

Tabel 1 (Lanjutan)

Metode Uraian

14 Jarak dari target

Metode ini dan hasilnya dijelaskan secara langsung menggunakan grafik. Pertama, nilai target setiap atribut dipilih, yang tidak perlu disajikan dengan berbagai alternatif yang tersedia. Kemudian, alternatif pilihan dengan jarak terdekat (menggunakan persamaan Eucledian) dengan jarak target dalam atribut ruang dipilih. Dengan demikian pemboboton terhadap atribut memungkinkan dilakukan. Skor jarak dapat digunakan untuk menyeleksi, menyusun rangking, atau memilih alternatif yang lebih disukai.

15 Proses hirarki analisis (PHA)

PHA merupakan metode penjumlahan bobot dan digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan dan dilengkapi sejumlah perangkat lunak yang tersedia di pasaran. Pengambil keputusan terkadang mengalami kendala dalam menentukan bobot kepentingan data kardinal untuk sejumlah atribut secara serempak. Jika jumlah atribut meningkat, hasil terbaik akan diperoleh jika masalah keputusan disusun dalam sebuah matriks perbandingan berpasangan. PHA melakukan formalisasi proses konversi masalah pembobotan atribut menjadi matriks perbandingan berpasangan sehingga memudahkan menyelesaikan masalah dari sejumlah atribut yang saling berkompetisi. PHA meringkaskan hasil perbandingan berpasangan menjadi sebuah matriks perbandingan berpasangan. Untuk setiap pasangan atribut, pengambil keputusan menspesifikasi suatu penilaian dengan cara menentukan tingkat kepentingan suatu atribut dengan atribut yang lain.

16 Model utilitas atribut jamak

Teori utilitas merupakan pemilihan terhadap suatu solusi memuaskan sebagai upaya memaksimalkan kepuasan yang diperoleh dari sebuah proses pemilihan. Alternatif terbaik merupakan pilihan yang dapat memaksimalkan utilitas bagi struktur pilihan yang diinginkan pengambil keputusan. Model utilitas terdiri atas 2 jenis, yaitu; tipe penjumlahan, dan tipe perkalian model. Tahapan utama dalam melakukan model ini adalah (1) menentukan fungsi utilitas bagi setiap atribut, (2) menentukan bobot (factor skala), (3) menentukan tipe model utilitas yang digunakan, (4) menentukan nilai utilitas pada setiap alternatif pilihan dengan mempertimbangkan atribut tertentu khususnya pada atribut alternatif pilihan, dan (5) memilih alternative terbaik. 17 Outrangking Metode outranking (perangkingan lebih tinggi) terdiri atas ELECTRE,

PROMETHEE, dan ORESTLE. Metode ini didasarkan atas pada bagaimana membuat suatu hubungan perangkingan menggunakan perbandingan berpasangan diantara berbagai pilihan pada setiap kriteria secara terpisah. Metode ini menghubungkan antara 2 jenis pilihan, dilambangkan dengan Ai

Aj yang menjelaskan bahwa meskipun terdapat 2 pilihan i dan j tidak

saling mendominasi satu sama lain secara matematik, pengambil keputusan dapat menerima resiko menyangkut pilihan terhadap Ai yang hampir pasti

lebih baik dari Aj. Suatu alternatif didominasi, jika alternatif pilihan memiliki

(45)

Tabel 1 (Lanjutan)

Metode Uraian

18 Proses jaringan analisis

Pada berbagai praktek pengambilan keputusan, terdapat situasi dimana bobot setiap kriteria berbeda untuk setiap alternatif. PHA memiliki keterbatasan dalam memberi perlakukan terhadap kasus demikian, dimana PHA memberi nilai bobot lokal yang sama pada setiap kriteria. Untuk mengatasi masalah tersebut, Saaty TL (1996) dalam Kahraman C (2008) mengusulkan untuk menggunakan proses jaringan analisis (Analytic Network Process/ANP). ANP memungkinkan penggunaan bobot kriteria berbeda untuk berbagai alternatif pilihan.

19 Data envelopment analysis (DEA)

Metode ini merupakan teknik analisis non-parametrik untuk mengukur efisiensi pengambilan keputusan pada satu unit pengambilan keputusan seperti perusahaan atau lembaga kebijakan publik. DEA merupakan perangkat pengukuran efisiensi yang secara teknis menggunakan metode riset operasi dan secara otomatis dapat menghitung bobot yang diberikan terhadap input dan output bobot dari suatu unit yang dinilai. DEA merupakan metode multikriteria non-parametrik yang tidak menggunakan data produksi, biaya, dan fungsi keuntungan.

20 Multi-atribut integral fuzzy

Ketika pilihan kebebasan yang bersifat timbal balik antara kriteria dapat diasumsikan, dengan mempertimbangkan bahwa fungsi utilitas bersifat penambahan dan berbentuk bobot jumlah. Asumsi pilihan kebebasan satu dengan lainnya diantara kriteria jarang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat memahami fenomena interaksi di antara kriteria dalam perhitungan, diusulkan untuk mensubtitusi fungsi himpunan yang monoton pada himpunan atribut N disebut ukuran fuzzy pada vektor bobot yang digunakan dalam perhitungan jumlah terbobot. Pendekatan tersebut dianggap sebagai memasukkan ke dalam perhitungan bukan hanya tingkat kepentingan setiap kriteria namun juga kepentingan setiap bagian dari kriteria.

2.2.2 Multi-Objective Decision Making (MODM)

Dalam aplikasi MODM, fungsi-fungsi aplikasi dilaksanakan dengan melihat ukuran keberhasilan (pencapaian) dari sejumlah persyaratan yang ditentukan oleh pengambil keputusan (pencapaian hasil, kedekatan dengan titik ideal, kepuasan, dll) berdasarkan fungsi tujuan dan dilanjutkan denga proses menemukan titik kompromi yang baik. Metode yang digunakan dalam pendekatan MODM dapat dikategorikan dalam berbagai cara, misalnya menggunakan pendekatan berbentuk model (linear, non-linier, atau stokastik), pendekatan karakteristik ruang keputusan (terbatas atau tidak terbatas), atau pendekatan proses solusi (spesifikasi awal dari pilihan atau interaktif). Diantara metode MODM, terdapat pula

multi-objective linear programming (MOLP) dan varian-variannya seperti multi-objective stochastic integer linear programming, MOLP interaktif, multi-objective goal programming (MOGoP); multi-objective geometric programming (MOGeP);

(46)

programming; dan multi-objective genetic programming serta teknik compromise

programming yang digunakan dalam penelitian ini. 2.3 Proses Hirarki Analisis (PHA)

PHA merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam proses pengambilan keputusan multi kriteria (MCDM). PHA merupakan metode penilaian yang digunakan untuk memperoleh skala perbandingan berpasangan baik secara diskrit maupun kontinyu. Proses perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan penilaian langsung atau menggunakan skala yang menunjukkan hubungan kekuatan secara relatif bahkan menggunakan perasaan (Saaty 1987; Saaty 1980). Namun demikian, penilaian tersebut dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang memiliki pengalaman dan keahlian sehingga dapat diperoleh hasil yang obyektif dan realistik (Saaty 1980).

PHA merupakan metode yang dapat membantu para pengambil keputusan menghadapi persoalan yang kompleks, dimana terdapat tujuan dan kriteria keputusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Jika dibandingkan dengan metode MCDM lainnya seperti ELECTRE, SMART, PROMETHEE, UTA, dll maka metode PHA masih lebih umum digunakan (Alessio dan Ashraf 2009). Bahkan integrasi PHA dalam SIG menghasilkan kombinasi metode pendukung pengambilan keputusan dengan kemampuan penyajian dan pemetaan dalam menghasilkan peta kesesuaian penggunaan lahan (Marinoni 2004). PHA merupakan salah satu metode MCDM yang menggunakan matriks perbandingan kriteria/indikator berpasangan untuk menentukan skala kepentingan diantara sejumlah alternatif pilihan yang tersedia (Alessio dan Ashraf 2009). Untuk menggunakan metode ini diperlukan beberapa tahapan hingga diperoleh bobot kepentingan di antara berbagai komponen pilihan yang tersedia.

Saaty (2008) telah merumuskan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengaplikasikan metode PHA:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diharapkan

(47)

pada level yang lebih rendah (dimana komponen kriteria berada), hingga pada level akhir yang biasanya terdiri atas sejumlah alternatif pilihan

3. Menyusun matriks perbandingan berpasangan. Komponen keputusan yang berada pada level yang lebih tinggi digunakan untuk membandingkan komponen keputusan pada level yang lebih rendah

4. Menggunakan prioritas yang diperoleh dari matriks perbandingan berpasangan untuk membobot prioritas yang berada pada level berikutnya pada setiap komponen yang dianalisis. Lalu setiap komponen yang berada pada level yang lebih rendah dijumlahkan nilai bobotnya untuk memperoleh bobot akhir. Proses pembobotan tersebut tersebut diulang lalu hasilnya dijumlahkan hingga nilai prioritas akhir dari setiap alternatif pilihan diperoleh.

2.3.1 Formulasi Masalah dan Penyusunan Hirarki Keputusan

Menurut Saaty (1980) dalam proses penyusunan hirarki keputusan terdapat sejumlah kriteria dan indikator beserta keterkaitannya yang berada di luar kemampuan seseorang untuk membandingkannya untuk menjadi sebuah informasi yang utuh. Hal tersebut menyebabkan salah satu aspek yang paling rumit untuk dirumuskan dalam sebuah proses pengambilan keputusan adalah menentukan struktur permasalahan dari sebuah persoalan. Oleh karena itu, struktur permasalahan yang baik menentukan proses pengambilan keputusan.

PHA sebagai sebuah pendekatan MCDM menggunakan perbandingan kriteria berpasangan (matriks berpasangan) untuk menentukan skala pilihan terhadap sejumlah alternatif (Saaty 1977). Untuk mengaplikasikan hal tersebut, sejumlah persoalan yang ada harus disistematisasi menjadi sebuah struktur keputusan yang berhirarki, sehingga jika diaplikasikan pada sebuah sistem yang besar, sistem tersebut dapat dibagi menjadi sub-sistem yang lebih kecil.

(48)

Alternatif 1

Tujuan Level 1

Level 2

Level 3

Kriteria 1

Alternatif 2

Alternatif 3 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4

1. Hirarki merupakan representasi dari sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi dapat mempengaruhi komponen sistem pada level yang lebih rendah.

2. Hirarki dapat memberikan informasi yang lebih detail tentang struktur dan fungsi dari sebuah sistem pada level yang lebih rendah dan memberikan gambaran tentang komponen lainnya yang berada pada level yang lebih tinggi. Kelemahan suatu komponen pada level tertentu dapat diungkapkan pada level yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa komponen tersebut berada pada posisi yang tepat.

3. Sistem alam disusun secara hirarki yang berevolusi secara efisien dibandingkan dengan sistem yang disusun secara utuh.

4. Hirarki bersifat stabil dan fleksibel. Perubahan yang sifatnya kecil dapat memberi dampak yang kecil, sedangkan fleksibel sebab perubahan/penambahan struktur hirarki yang baik tidak akan mempengaruhi hasil pembobotan.

Gambar 1 memberikan sebuah ilustrasi tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan model hirarki.

Gambar 1 Struktur masalah dengan tiga level hirarki.

Menurut Saaty (2008) untuk membuat sebuah keputusan yang disusun dengan sejumlah hirarki prioritas diperlukan tahapan berikut:

(49)

2. Menentukan struktur hirarki keputusan, dari tingkat lebih umum (kriteria) hingga ke tingkat yang lebih detail (indikator)

3. Menyusun matriks perbandingan berpasangan atas kriteria dan indikator yang digunakan

4. Menggunakan prioritas keputusan yang dihasilkan sebagai bobot derajat kepentingan untuk setiap kriteria dan indikator

Alessio dan Ashraf (2009) menyatakan bahwa struktur masalah dalam PHA dapat dikategorikan menjadi tiga komponen; (1). Menentukan tujuan yang akan dicapai, (2). Menyusun kriteria yang akan digunakan, dan (3). Menentukan alternatif pilihan atas keputusan yang akan diambil.

2.3.2 Penentuan Bobot Kepentingan dan Pengujian Konsistensi

Untuk menentukan bobot kepentingan, PHA menentukan nilai eigenvector

dan eigenvalue (dijelaskan kemudian) dari matriks perbandingan berpasangan yang berisi pilihan kepentingan antara sejumlah komponen. Proses tersebut dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan suatu komponen dengan komponen lain menggunakan matriks perbandingan yang mengukur kepentingan relatif dari masing-masing komponen.

Matriks perbandingan berpasangan digunakan untuk menentukan vektor prioritas (eigenvector) dari suatu komponen tertentu dengan membandingkan setiap kriteria/indikator secara berpasangan sesuai dengan tujuan keputusan. Jika terdapat suatu matriks penilaian, disimbolkan A, memiliki nilai aij yang merupakan matriks perbandingan antara baris pada komponen Ai dengan kolom pada

komponen Aj maka akan diperoleh sejumlah matriks penilaian n x n yang

memenuhi persamaan berikut:

A = (aij), (i , j= 1; 2; ………. N) (2)

Jika proses tersebut dilakukan pada sejumlah n kriteria/indikator maka akan dihasilkan matriks berpasangan sejumlah kriteria/indikator tersebut. Misalnya pada Gambar 1 terdapat 4 kriteria (level 2) untuk komponen pengambilan keputusan maka akan diperoleh matriks 4 x 4 sebagai berikut:

(50)

Menurut Saaty (1986) terdapat empat aksioma yang menjadi dasar teori validitas matriks berpasangan, sehingga jika suatu komponen aij dimasukkan ke dalam

sebuah matriks A maka didefinisikan sebagai berikut:

1. Matriks perbandingan berpasangan. Jika aij = α, maka aji= 1/α, α ≠ 0

2. Homogenitas. Jika komponen pada baris i dianggap memiliki kepentingan yang sama dengan komponen pada kolom j, maka aij = 1, aji = 1, khususnya

3. Independen. Jika pilihan telah ditetapkan pada suatu kriteria tertentu, maka setiap kriteria dianggap independen dari komponen alternatif keputusan. 4. Harapan. Jika suatu struktur hirarki masalah keputusan telah diusulkan, maka

struktur tersebut dianggap telah sempurna.

Untuk menentukan skala kepentingan antar komponen, Saaty (2000) dalam

Ramanathan (2001) dan Saaty (2008) menggunakan skala penilaian untuk mentransformasikan penilaian verbal menjadi penilaian kuantitatif menggunakan nilai vektor untuk menentukan nilai dari setiap komponen aij. Skala penilaian

tersebut menggunakan nilai perbandingan dari 1 hingga 9 untuk menentukan tingkat kepentingan suatu komponen, dimana nilai 1 berarti “sama penting” hingga 9 berarti “kepentingan ekstrim” (Tabel 2).

(51)

Aw=

Tabel 2 Skala kepentingan dalam PHA

Intensitas

Pengalaman dan penilaian sendiri sedikit menentukan kepentingan suatu aktifitas terhadap aktifitas lainnya

4 Agak lebih penting (Moderate plus) 5 Cukup penting

(Strong importance)

Pengalaman dan penilaian sendiri sangat menentukan kepentingan suatu aktifitas terhadap aktifitas lainnya

6 Penting (Strong plus) 7 Sangat penting

(Very strong)

Pengalaman dan penilaian menunjukkan kesukaan yang kuat atas suatu aktifitas lebih dari aktifitas

Proses tersebut dilanjutkan dengan menghitung nilai rata-rata matriks setiap baris

i (dinotasikan dengan Ci), sehingga nilai Ci menunjukkan nilai tingkat

(52)

Eigenvector (Vektor prioritas) juga berperan penting dalam menjaga konsistensi nilai matriks berpasangan, jika hasil perhitungan konsistensi rasio (CR) tidak konsisten. Perubahan terhadap matriks perbandingan berpasangan untuk memperoleh nilai CR yang konsisten menyebabkan eigenvector menjadi tidak valid (Saaty 1980).

Selanjutnya uji konsistensi dilakukan dari bobot nilai matriks C (vektor prioritas). Prosedur pengujian rasio konsistensi dilakukan dengan tahap sebagai berikut:

1. Melakukan operasi perkalian matriks AC (vektor prioritas):

AC= [

2. Perhitungan λmax dilakukan menggunakan persamaan berikut:

λmax = ∑ (8) dimana n = matriks dan λmax merupakan nilai eigenvalue dari matriks perbandingan berpasangan.

3. Penentuan nilai indeks konsistensi (CI) dilakukan dengan persamaan berikut: CI =

(9) 4. Validasi konsistensi dari matriks perbandingan berpasangan dilakukan dengan

menentukan rasio konsistensi (CR) melalui persamaan berikut: CR =

(10) Nilai random indeks (RI) disajikan pada Tabel 12. Jika CR ≤ 0.10 maka tingkat konsistensi dapat diterima, namun jika nilai CR > 0.10 maka vektor prioritas sebagai bobot kepentingan mungkin tidak memberikan arti apa-apa (Saaty 1980). CR merupakan nilai acak probabilitas yang dihasilkan dari matriks perbandingan berpasangan(Saaty 2008).

Tabel 3 Nilai random indeks (RI)

Ukuran matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

(53)

2.3.3 Pengambilan Keputusan Berkelompok

Saat awal digunakan PHA didesain hanya untuk memperoleh pendapat dari satu orang pengambil keputusan. Namun seiring dengan perkembangan situasi yang membutuhkan kemampuan manajerial yang bersifat multi-dimensi, pendapat berbagai bidang keahlian semakin diperlukan dalam suatu proses pengambilan keputusan. Hal tersebut mendorong perkembangan penggunaan PHA dalam proses pengambilan keputusan yang dihasilkan dari pendapat sekelompok orang (Saaty 1989; Tung et al. 2012). Sejumlah penelitian yang berfokus pada penyusunan hirarki kelompok dalam pengambilan keputusan telah dilakukan dengan membandingkan komponen dalam hirarki dan proses agregasi bobot. Terdapat empat pendekatan dasar yang dapat digunakan untuk menentukan bobot kepentingan dalam suatu hirarki, yaitu: (1) konsensus, (2) pilihan atau kompromi, (3) rata-rata geometrik penilaian individu, dan (4) bobot rata-rata aritmetik (Tung et al. 2012).

Aczel dan Saaty (1983) telah menegaskan bahwa rata-rata geometrik dapat mempertahankan aspek timbal balik (reciprocal) dalam sebuah matriks perbandingan berpasangan. Dengan demikian, rata-rata geometrik dianggap konsisten dan dapat mempertahankan empat aksioma yang mendasari proses PHA seperti jika dilakukan terhadap pendapat individu (Duke dan Aull-Hyde 2002). Hal tersebut menyebabkan rata-rata geometrik merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan dalam menentukan prioritas kelompok (Tung et al. 2012).

Jika terdapat sejumlah m responden maka penilaian komposit nilai aij

merupakan rata-rata geometrik dari nilai aij yang didefinisikan dengan persamaan

berikut:

Gambar

Tabel 1  (Lanjutan)
Tabel 1  (Lanjutan)
Tabel 1  (Lanjutan)
Gambar 2  Kurva model S metode fuzzy set untuk evaluasi lahan.
+7

Referensi

Dokumen terkait