• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Lahan Compromise Programming ( Lp-metric )

DAFTAR LAMPIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5 Indeks Lahan Compromise Programming ( Lp-metric )

Tujuan akhir penelitian ini adalah dihasilkannya alokasi lahan untuk komoditi basis perkebunan berdasarkan potensi biofisik lahan dengan mempertimbangkan aspek infrastruktur dan aspek sosial ekonomi dalam konteks MCDM. Untuk menghasilkan alokasi lahan bagi komoditi basis perkebunan dibutuhkan berbagai indikator yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan. Terkait dengan hal tersebut diperlukan sejumlah fungsi tujuan sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan menggunakan kerangka MCDM. Setelah sejumlah fungsi tujuan telah teridentifikasi, diperlukan proses penentuan bobot kepentingan dari setiap fungsi tujuan tersebut. Dalam teknik MCDM (Carver 1991; Jankowski dan Richard 1994) proses pembobotan memang merupakan salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menentukan urutan prioritas kepentingan.

5.5.1 Bobot Prioritas Indikator Lahan

Hasil analisis bobot prioritas indikator (Tabel 27), menunjukkan bahwa aspek ketersediaan akses jalan (bobot 24%) merupakan aspek yang paling menentukan dalam pengalokasian lahan komoditi basis perkebunan. Aspek ini dianggap sebagai faktor utama yang menghambat pengembangan wilayah di Kabupaten Mamuju Utara, mengingat banyaknya ruas jalan yang rusak khususnya di wilayah pedesaan. Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi memiliki peranan penting dalam pengembangan aktifitas masyarakat. Bagi wilayah pedesaan jalan merupakan prasarana vital dalam memasarkan hasil pertanian. Jika aspek aksesibilitas tidak tersedia dengan baik di wilayah pedesaan, hal tersebut akan menyebabkan rendahnya harga produk pertanian akibat meningkatnya biaya transportasi. Aspek aksesibilitas juga dapat meningkatkan biaya angkut kebutuhan produksi pertanian yang akhirnya membebani biaya produksi.

Aspek ketersediaan energi (bobot 23%) menempati urutan kedua dalam prioritas untuk kepentingan pengembangan komoditi basis perkebunan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketersediaan energi (listrik) bagi masyarakat di wilayah ini merupakan salah satu persoalan mendasar yang harus diatasi. Masalah energi bagi pengembangan komoditi basis perkebunan

merupakan hal yang penting dan mendasar. Aspek pengolahan hasil perkebunan memerlukan ketersediaan energi sehingga proses pengolahan produksi pasca panen dapat dilakukan. Untuk melakukan proses pengolahan produksi komoditi perkebunan, misalnya komoditi kelapa sawit, memerlukan ketersediaan energi guna menjalankan mesin (pabrik).

Tingkat ketersediaan energi yang rendah (indeks energi rendah) di wilayah Kabupaten Mamuju Utara, menyebabkan sulitnya mengembangkan industri pengolahan pada skala kecil dan menengah. Dalam konteks pengembangan wilayah, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah akibat nilai tambah pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau bahan hasil olahan tidak dinikmati oleh masyarakat/petani melainkan dinikmati oleh kelompok pengusaha yang biasanya tidak bermukim di wilayah penghasil bahan baku.

Tabel 27 Bobot kepentingan indikator lahan untuk alokasi lahan

No Tujuan Bobot Prioritas

1 Akses jalan 0.239

2 Ketersediaan energi 0.234

3 Pemukiman 0.185

4 Jarak pasar 0.163

5 Pilihan komoditi masyarakat 0.119

6 Indeks kesesuaian lahan 0.060

Konsistensi rasio (CR) 0.032

λmax 6.199

Aspek jarak lokasi pemukiman dengan lahan perkebunan merupakan faktor ketiga yang dianggap memiliki peran penting bagi pengembangan komoditi basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Lokasi lahan perkebunan yang berada lebih dekat dengan lokasi pemukiman dapat lebih mudah dijangkau sehingga proses pengolahan lahan tersebut menjadi lebih baik. Lokasi kebun dengan jarak yang jauh dari lokasi pemukiman cederung lebih sulit dikontrol dan suplai kebutuhan sarana produksi pertanian ke lahan tersebut. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat produktifitas lahan, akibat jarak lahan yang jauh dapat menyulitkan untuk melakukan mobilisasi tenaga kerja serta menyebabkan bertambahnya biaya produksi yang ditanggung oleh petani. Kondisi ini dapat mendorong masuknya tenaga kerja dari luar wilayah akibat jarak dari pemukiman

warga ke lokasi perkebunan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya.

Aspek sosial berupa pilihan masyarakat untuk mengusahakan suatu jenis komoditi menempati urutan kelima dalam prioritas kepentingan alokasi lahan (12 %). Pilihan masyarakat untuk mengusahakan suatu komoditi ditentukan oleh aspek harga komoditi yang diharapkan dapat stabil untuk kurun waktu yang relatif lama. Selain itu, komoditi tersebut secara teknis budidaya telah dipahami oleh masyarakat. Misalnya, komoditi kelapa dalam di bagian utara Kabupaten Mamuju Utara telah diusahakan oleh masyarakat sejak lama (diperkirakan sebelum 1945) komoditi kelapa dalam telah menjadi penghasilan utama masyarakat di wilayah tersebut. Untuk komoditi kelapa sawit meskipun relatif baru diusahakan, namun dianggap memiliki jaminan harga dan pemasaran yang lebih baik dibandingkan dengan komoditi kakao sehingga menjadi pilihan saat ini menggantikan komoditi kakao yang banyak dikonversi menjadi komoditi kelapa sawit.

Aspek kesesuaian lahan menempati rangking prioritas terakhir (6%) dalam menentukan alokasi lahan perkebunan. Bobot kepentingan aspek kesesuaian lahan yang relatif rendah menunjukkan bahwa pengembangan komoditi basis perkebunan di wilayah ini, bukan hanya didasarkan pada pertimbangan kesesuaian lahan, namun pada aspek lain yang lebih menguntungkan masyarakat. Dalam konteks pengusahaan jenis komoditi sebagai sumber penghasilan (cash crop), sebagian masyarakat cenderung melakukan pengusahaan suatu komoditi tanpa memperhatikan kaidah konservasi dan keberlanjutan sumberdaya lahan.

Akibatnya meskipun secara akademik suatu komoditi kurang layak dikembangkan pada areal lahan tertentu akibat pertimbangan aspek konservasi, namun dalam prakteknya hal tersebut tidak menjadi pertimbangan bagi petani. Gambaran ini tercermin dari hasil penentuan bobot prioritas pengembangan komoditas basis perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara. Aspek kesesuaian ekologis yang memiliki bobot prioritas dengan rangking terendah menunjukkan bahwa pengusahaan suatu areal lahan bukan semata-mata ditentukan oleh aspek kesesuaian ekologisnya namun lebih ditentukan oleh aspek kemudahan dalam melakukan kegiatan budidaya komoditi tersebut.

5.5.2 Indeks Lahan Lp-metric

Untuk menentukan alokasi lahan komoditi basis perkebunan menggunakan metode CP, dilakukan perhitungan nilai Lp-metric pada berbagai nilai parameter dan indikator lahan menggunakan persamaan 22. Penggunaan persamaan Lp-metric padanilai parameter p yang berbeda dilakukan untuk menunjukkan tingkat kompensasi antara indikator. Dengan menggunakan faktor kompensasi maka nilai indeks yang dihasilkan tidak hanya mempertimbangkan aspek jarak Eucledian

antar indikator, namun turut mempertimbangkan interaksi antar indikator. Akibatnya indikator yang memiliki indeks nilai tertentu dapat dikompensasi oleh indikator lain yang bernilai lebih baik (Riveira et al. 2008). Oleh karena itu dalam pendekatan ini dihasilkan beberapa model indeks lahan komoditi basis perkebunan sesuai dengan nilai parameter p yang digunakan.

a. Kombinasi kompensasi penuh (p = 1) b. Kombinasi kompensasi parsial (p=2) c. Kombinasi non-kompensasi (p=10)

Gambar 21 Pola spasial indeks lahan komoditi basis perkebunan menggunakan nilai parameter p berbeda.

Gambar 21 memperlihatkan bahwa dengan menggunakan nilai p berbeda, sebaran indeks lahan yang dihasilkan juga berbeda. Jika menggunakan teknik kompensasi penuh (p=1), maka jarak geometris antara dua titik terjadi secara maksimum, sehingga jika terdapat satu indikator yang memiliki kekurangan dapat dikompensasi oleh indikator yang lain. Dalam konteks alokasi lahan, hal tersebut berarti areal lahan yang kurang optimal dapat menjadi lebih baik sebab kekurangannya dapat dikompensasi oleh indikator lainnya. Dalam prosesnya dapat terjadi tradeoff penuh antara satu indikator dengan indikator lainnya. Apabila proses kompensasi dilakukan setengah (p=2) maka proses kompensasi

antar indikator hanya terjadi jika terdapat kekurangan yang dapat diatasi oleh indikator lainnya. Jika proses alokasi lahan dilakukan dengan pendekatan ini, maka areal lahan yang dapat teralokasi menjadi lebih kecil. Selain itu dengan teknik kompensasi setengah nilai indeks lahan yang dihasilkan semakin tinggi, sehingga lahan yang dapat dialokasikan jumlahnya semakin terbatas.Jika proses alokasi lahan menggunakan pendekatan non-kompensasi maka dihasilkan nilai indeks lahan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan antara indikator satu dengan lainnya tidak saling berkompensasi. Akibatnya setiap lahan dapat memiliki nilai indeks yang relatif lebih besar sehingga menyebabkan alokasi lahan semakin berkurang. Selain itu, dapat mengakibatkan berkurangnya nilai suatu areal lahan akibat kurang sesuai untuk berbagai kepentingan.

Nilai indeks lahan yang diperoleh berdasarkan perbedaan nilai p menunjukkan bahwa pada areal lahan yang sama, nilai indeks lahan menggunakan teknik kompensasi penuh (p=1) lebih rendah dibandingkan dengan teknik setengah kompensasi (p=2) dan teknik non kompensasi. Hal tersebut berarti bahwa nilai indeks lahan pada teknik kompensasi penuh mengalami proses transformasi dan saling kompensasi antara indikatornya sehingga menghasilkan nilai yang lebih rendah. Dengan teknik kompensasi penuh, maka indeks lahan yang dihasilkan dapat mengakumulasi seluruh nilai indeks indikator yang terdapat pada satu areal lahan secara kumulatif dengan nilai kompensasi penuh antar indikator. Dengan pendekatan tersebut maka areal lahan yang dihasilkan pada teknik kompensasi penuh merupakan hasil kompromi antara berbagai indikator yang digunakan. Nilai indeks yang diperoleh merupakan hasil interaksi antara berbagai aspek dan kepentingan yang digunakan dalam proses pengalokasian lahan. Proses interaksi yang mengkompromikan berbagai aspek merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan metode alokasi lahan. Atas asumsi dan pendekatan tersebut maka teknik kompensasi penuh dipilih untuk digunakan dalam proses alokasi lahan perkebunan.

5.6 Status Kawasan dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara