• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Proses Hirarki Analisis (PHA)

2.4.1 Pendekatan Fuzzy Set dalam Evaluasi Lahan

Pendekatan fuzzy set merupakan salah satu model pendekatan yang umumnya digunakan dalam menyajikan suatu obyek atau fenomena yang berbentuk kontinyu, jika obyek/fenomena tersebut tidak memiliki batas kelas yang bersifat tegas. Dalam bidang evaluasi lahan, pendekatan tersebut dapat digunakan dalam menyajikan obyek yang berhubungan dengan kualitas/karakteristik lahan (Burrough 1996).

Menurut Banai (1993) dalam Baja et al. (2002) terdapat tiga hal yang membedakan antara evaluasi lahan yang dilakukan menggunakan metode Boolean

dan metode fuzzy set, yaitu:

1. Dalam teknik klasifikasi menggunakan metode Boolean batas suatu kelas ditentukan secara pasti, adapun pada metode fuzzy set batas tersebut memungkinkan ditentukan secara fleksibel.

2. Dalam metode Boolean hanya terdapat dua kemungkinan; yaitu suatu obyek termasuk ke dalam himpunan kelompok atau berada di luar himpunan kelompok (benar atau salah), sedangkan dalam metode fuzzy set jarak kedekatan suatu obyek terhadap kondisi ideal yang diinginkan turut dipertimbangkan.

3. Berbeda dengan metode fuzzy set, logika Boolean tidak mempertimbangkan sebagian keanggotaan dari suatu himpunan bagian.

Suatu obyek A yang didefinisikan menggunakan fuzzy set dapat ditulis dengan persamaan berikut:

A = {x, µA(x)}xε X (12) dimana;

X = {x}, himpunan (kumpulan) obyek (spasial) yang jumlahnya terbatas

µA(x) = derajat keanggotaan (MF) X terhadap sekumpulan obyek A Dengan demikian, kumpulan obyek fuzzy dijelaskan oleh nilai MF yang mendefiniskan derajat keanggotaan suatu obyek fuzzy secara simultan, yang terdiri atas obyek dan derajat keanggotaannya. Nilai MF dalam kumpulan obyek fuzzy

menentukan tingkat keanggotaan obyek x dalam himpunan obyek A.

Mc Bratney dan Odeh (1997) menguraikan bahwa terdapat berbagai cara untuk memperoleh derajat keanggotaan dalam metode fuzzy. Dalam bidang yang berhubungan dengan aspek lingkungan dan sumberdaya alam, terdapat dua pendekatan yang berbeda (namun saling melengkapi) yang sering digunakan untuk mengelompokkan sejumlah obyek ke dalam fungsi keanggotaan fuzzy. Pendekatan pertama adalah model hubungan kemiripan (similarity relation model/SRM) dan pendekatan kedua adalah model impor semantik (semantic import model/SIM), yang diuraikan sebagai berikut:

Pendekatan similarity relation model (SRM) atau pendekatan fuzzy c-means

(FCM), merupakan model pengamatan terhadap obyek yang secara statistik multi-variat dipisahkan secara relatif seimbang, sehingga penentuan jumlah kelas tidak dilakukan atas dasar nilai tertentu.

Pendekatan sematic import model (SIM), merupakan pendekatan dimana nilai MF ditentukan tanpa mengacu pada nilai tertentu. Dalam pendekatan SIM, penentuan nilai MF lebih mudah dilakukan sebab batas kelas MF bersumber dari variabel yang telah ditentukan (Burrough 1989). Penentuan batas kelas dilakukan berdasarkan pengalaman dan secara konvensional batas ditentukan sebelum obyek dikelompokkan berdasarkan jarak kedekatan suatu obyek dengan persyaratan suatu kelas. Kadang-kadang nilai MF dianggap sangat sederhana dan merupakan perluasan model logika Boolean, sehingga dengan alasan tersebut, pendekatan ini diaplikasikan dalam model evaluasi lahan. Jika batas suatu kelas belum ditentukan, maka pendekatan FCM dapat

dilakukan untuk menentukan batas kelas kesesuaian yang dapat digunakan dalam pendekatan SIM.

Menurut Burrough dan McDonnel (1998) dalam pendekatan SIM, jika derajat keanggotaan MF pada obyek xi merupakan representasi dari nilai MF ke-i

untuk suatu persil lahan x maka pendekatan impor semantik (SIM) yang dilakukan dalam proses komputerisasi menggunakan persamaan berikut:

[

{ } ] dan 0 ≤ (13) dimana;

MF(xi) = nilai derajat keanggotaan (MF) ke-i untuk persil lahan x

r = lebar zona transisi (nilai x pada MF = 0.5 atau nilai CP (crossover point)/titik infleksi

xi = nilai ke-i indikator lahan x

b = nilai dari indikator (atribut) lahan x pada titik ideal atau indeks standar

Persamaan 13 digunakan untuk menentukan derajat keanggotaan dari kualitas lahan yang menggunakan fungsi kurva simetrik, dimana hanya terdapat satu titik ideal (nilai b = c) yang menjadi pusat (Gambar 2: model simetrik 1). Selain itu, dapat pula digunakan kurva model simetrik 2 jika terdapat dua titik optimum dengan persamaan berikut:

MF(xi) = 1 jika (b + r1) ≤ Xi ≤ (c - r2) (14) Jika fungsi model simetrik 2 dilakukan maka perhitungan nilai keanggotaan fuzzy

algoritma akan dilakukan dua kali, masing-masing untuk nilai b dan r. Namun dalam perangkat SIG menggunakan modul Idrisi, hal tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan nilai indikator (a, b, c, dan d), sehingga proses tersebut dapat dijalankan sekaligus.

Dalam penilaian kualitas lahan juga terdapat situasi dimana hanya terdapat batas kelas yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dalam kondisi seperti ini, fungsi kurva asimetrik dapat digunakan. Fungsi kurva asimetrik kiri digunakan untuk menentukan batas kelas yang lebih rendah, sedangkan fungsi kurva asimetrik kanan digunakan untuk menentukan batas kelas yang lebih tinggi, yang dapat disusun dalam bentuk persamaan berikut:

Model asimetrik kiri; [

{

} ] jika Xi < (b + r1) (15) Model asimetrik kanan; [

( {

} )] jika Xi > (c - r2) (16) Dengan kata lain fungsi asimetrik kiri berlaku bila MFxi= 1 jika xi ≥ b; dan fungsi asimetrik kanan berlaku jika MFxi= 1 jika xi ≤ c; fungsi asimetrik kanan. Gambar 2 menyajikan kurva model S yang digunakan dalam persamaan fungsi fuzzy set.

Gambar 2 Kurva model S metode fuzzy set untuk evaluasi lahan. Keterangan:

MF = derajat keanggotaan (membership function) a = titik infleksi terendah (lower crossover point/LCP) d = titik infleksi tertinggi (upper crossover point/UCP) b, c = titik optimum

r1, r2 = rentang (spread), kisaran nilai titik infleksi dan titik optimum

Kurva simetrik (symmetric) berlaku untuk karateristik lahan yang memiliki kinerja optimum pada kisaran sedang, seperti temperatur udara, curah hujan dan pH tanah. Kurva asimetrik kiri digunakan untuk menilai karakteristik lahan yang memiliki sifat semakin besar semakin baik (the more the better/monotonically increasing) seperti kedalaman efektif, KTK, dan kejenuhan basa, sedangkan kurva asimetrik kanan berlaku untuk karakteristik lahan yang memiliki sifat semakin

kecil semakin baik (the less the better/monotonically decreasing), seperti drainase tanah, tekstur, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan permukaan, dan singkapan batuan.

Mengingat setiap indikator lahan yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap jenis penggunaan lahan, maka nilai indikator untuk aspek rentang (r1, r2), titik optimum (b dan/atau c), dan titik infleksi (a dan/atau d) akan berbeda, tergantung pada respon dan persyaratan tumbuh komoditas tersebut terhadap masing-masing karakteristik lahan (Baja et al. 2002). Untuk menentukan nilai derajat keanggotaan kriteria (penggabungan indikator) dalam proses evaluasi lahan, dihitung dari nilai rata-rata kriteria menggunakan persamaan berikut:

=

(17) dimana:

= penggabungan nilai MF kriteria lahan ke-i

= nilai indikator lahan ke-i

m = jumlah indikator di setiap kriteria/kelompok karakteristik lahan Jika pembobotan dilakukan pada sejumlah n kriteria, maka nilai gabungan individu MF karakteristik lahan tersebut akan dikombinasikan menggunakan fungsi kombinasi untuk menghasilkan derajat keanggotaan gabungan (JMF) untuk seluruh atribut X, sebagaimana disajikan dalam persamaan berikut:

(18) 0 ≤

0 ≤

λ1 + λ2 + λ3 + … λn = 1, dan 0 < λi < 1.0 dimana:

JMF (X) = derajat keanggotaan gabungan untuk kriteria lahan ke-i

= bobot faktor ke-i untuk lahan x

= gabungan nilai MF kriteria lahan ke-i

n = atribut lahan yang dipertimbangkan

Untuk menentukan nilai indeks kesesuaian lahan (IKL) dilakukan proses operasi perkalian (fungsi minimal) nilai sel raster dengan persamaan sebagai berikut:

IKLp(TPL) = JMF(Tp) x JMF(I(p)) x JMF(L(p)) (19) dimana:

IKLp(TPL) = indeks kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan tertentu (TPL) pada sel raster p

JMF(Tp) = nilai JMF tanah pada sel raster p

JMF(Ip) = nilai JMF iklim pada sel raster p

JMF(Lp) = nilai JMF lereng pada sel raster p 2.4.2 Metode Kontinyu dalam Evaluasi Lahan

Metode kontinyu (continuous method) merupakan istilah yang umum digunakan dalam proses evaluasi kesesuaian lahan (Baja 2012). Penggunaan metode kontinyu dipakai untuk membedakan dengan metode kategori yang digunakan pada model evaluasi lahan menggunakan logika Boolean. Dalam logika Boolean (metode kategori) pemberian batas antar kelas dan batas spasial (deleniasi batas unit lahan) memiliki batas yang tegas (hard boundary). Misalnya batas kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3 (kelas sesuai), dan N (kelas tidak sesuai) atau batas wilayah (unit lahan).

Metode kontinyu mendasarkan pemberian nilai pada indikator lahan dan ruang secara kontinyu, misalnya kesesuaian lahan untuk suatu lahan disajikan menggunakan interval nilai 0-1, dimana nilai 0 dianggap sangat buruk dan nilai 1 dianggap sangat baik. Secara spasial setiap areal lahan disajikan secara kontinyu, sehingga batas antar ruang/areal lahan merupakan batas yang tidak tegas (soft boundary). Metode kontinyu yang dalam evaluasi lahan menunjukkan pada nilai data yang berubah secara gradual menurut pergeseran antar sel data yang bertetangga.

Metode kontinyu dalam fuzzy set menunjukkan perbedaan batas antar ruang (spasial) yang terjadi secara berangsur-angsur. Hal tersebut membedakan metode

fuzzy set dengan metode Boolean. Dalam pendekatan logika Boolean defenisi batas ruang berlaku secara tegas sehingga menyebabkan sejumlah unit lahan yang seharusnya sesuai untuk penggunaan lahan tertentu menjadi tertolak. Akibatnya areal lahan yang masih sesuai dianggap tidak sesuai untuk penggunaan lahan tertentu. Hal ini menyebabkan kualitas analisis evaluasi lahan menggunakan teknik Boolean menjadi berkurang (Burrough et al. 1992). Dalam konteks ini pendekatan metode kontinyu memiliki peranan penting dalam proses evaluasi lahan.

2.5 Compromise Programming (CP)