• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengklasifikasi alokasi peruntukan penggunaan lahan (landuse) menjadi dua, yaitu; penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam UU tersebut, rencana alokasi penggunaan lahan di suatu wilayah menggunakan terminologi pola ruang. Pola ruang didefinisikan sebagai distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Peruntukan ruang untuk fungsi lindung merupakan alokasi ruang dalam suatu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Oleh karena itu, rencana pola ruang suatu wilayah bertujuan untuk mengatur alokasi penggunaan lahan dalam mencapai kondisi yang diharapkan.

Pola ruang wilayah pada suatu kawasan yang didominasi oleh aktifitas ekonomi pada sektor pertanian, memerlukan perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan tingkat kesesuaian dan potensinya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya hingga jangka waktu tertentu menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang merugikan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan metode penilaian alokasi lahan sesuai dengan tingkat kesesuaian dan potensi lahannya.

Untuk mencapai tujuan penggunaan lahan optimal diperlukan metode penilaian yang sesuai. Metode evaluasi lahan yang mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam proses evaluasi kesesuaian lahan (FAO 1976). Kerangka pendekatan tersebut kemudian dikembangkan oleh berbagai pakar menggunakan metode dan teknik analisis baik bersifat deterministik maupun probabilistik (Sys 1985; Burrough 1989; Van Lanen 1991; Rossiter 1996; Triantafilis et al. 2001; Yang et al. 2012).

Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses pencocokan antara karakteristik lahan dengan tipe penggunaan lahan yang direncanakan umumnya bersifat subyektif (Braimoh et al. 2004). Misalnya metode penjumlahan atau perkalian yang membagi klasifikasi karakteristik lahan menjadi beberapa tingkatan, dimana proses penentuan batas antar kelas dilakukan tanpa kriteria yang baku (Rossiter 1996). Mengingat penentuan nilai kriteria dalam evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara subyektif (judgment) dan merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari, maka diperlukan metode yang dapat mengurangi bias dalam proses evaluasi kesesuaian lahan (Davidson et al. 1994).

Untuk mengatasi bias dalam menentukan batas nilai kriteria kelas dalam teknik evaluasi kesesuaian lahan, Bourrogh (1989) mengadopsi teori fuzzy sets

yang diperkenalkan oleh Zadeh (1965) untuk digunakan dalam proses evaluasi lahan. Menurut logika fuzzy, penentuan batas suatu kelas secara tegas sulit dilakukan, sebab batas suatu kelas kesesuaian lahan memiliki berbagai komponen dan konsep yang bersifat relatif. Dalam logika fuzzy, nilai keanggotaan suatu obyek tidak hanya terdiri atas dua nilai (sebagaimana dikenal dalam logika

Boolean), namun dapat dialokasikan pada suatu kisaran angka dari nol hingga satu (kisaran nilai tertentu). Dengan pendekatan tersebut maka metode Boolean

dianggap kurang memadai untuk melakukan penyajian model data yang memiliki faktor ketidakjelasan (vagueness) (Burrough 1989). Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bersifat probabilistik, khususnya jika suatu informasi yang berhubungan dengan suatu fenomena kurang dapat dimengerti atau jika fenomena tersebut memiliki faktor ketidakpastian dan informasi yang tidak lengkap.

Hasil penelitian dengan pendekatan fuzzy set (Burrough 1989; Mc Bratney dan Odeh 1997), menunjukkan bahwa kualitas hasil analisis dapat meningkat dengan mengaplikasikan teori fuzzy dalam memodelkan berbagai fenomena di alam (Sui 1992; Braimoh et al. 2004; Fritz et al. 2005). Hal tersebut mendorong pendekatan fuzzy sets semakin berkembang dalam berbagai aspek pengelolaan sumberdaya lahan (de Gruijter et al. 2011).

Untuk menghasilkan alokasi penggunaan lahan yang baik, pertimbangan tidak hanya didasarkan atas aspek biofisik lahan, namun juga turut mempertimbangkan aspek lain yang dapat menunjang kebijakan penataan ruang

wilayah. Perencanaan peruntukan penggunaan lahan di suatu wilayah tidak lagi dilakukan berdasarkan faktor tunggal, namun merupakan proses pengambilan keputusan yang didasarkan atas berbagai pertimbangan. Dewasa ini aplikasi proses pengambilan keputusan multi-kriteria mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan semakin berkembangnya perangkat teknologi pendukungnya. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendukung pengambilan keputusan (Malczewski 2006; Arciniegas 2011) yang dapat mempertimbangkan dan mengakomodasi berbagai aspek secara spasial.

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan secara keruangan adalah metode Spatial Compromise Programming (SCP) yang diperkenalkan oleh Tkach dan Simonovic (1997). Teknik tersebut dikembangkan untuk mengatasi berbagai variabilitas spasial dengan menggabungkan metode compromise programming

(CP) dengan teknologi SIG. Teknik analisis ini digunakan untuk melakukan proses pengambilan keputusan dengan pertimbangan subyektif seminimal mungkin. Selain itu, dalam proses pengambilan keputusan diperlukan pertimbangan dan kriteria yang mendekati situasi yang ideal yang dibutuhkan.

Ide dasar dari metode CP adalah upaya untuk menentukan pilihan yang paling mendekati (closeness) kondisi ideal dari sejumlah alternatif pilihan yang tersedia. Dalam menentukan pilihan yang ideal, pengambil keputusan dapat menggunakan berbagai teknik pengambilan keputusan dalam analisis kriteria majemuk dari sejumlah alternatif pilihan. Salah satu yang pendekatan yang paling umum digunakan adalah metode proses hirarki analisis (PHA) (Saaty 1980).

Metode PHA diperkenalkan oleh Thomas L Saaty pada dekade 1970-an merupakan salah satu teknik analisis yang dapat diaplikasikan dalam membantu para pengambil keputusan mengatasi suatu persoalan yang kompleks dengan berbagai kriteria yang saling bertentangan dan bersifat subyektif (Alessio dan Ashraf 2009). Selain itu, PHA juga bersifat fleksibel dalam menyelesaikan suatu persoalan yang kompleks, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif oleh individu atau kelompok individu berdasarkan pengalaman masing-masing terhadap suatu masalah (Duke dan Aull-Hyde 2002; Bevilacqua et al. 2004).

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat. Wilayah ini memiliki potensi sumberdaya lahan beragam serta memiliki karakteristik wilayah heterogen, khususnya jika ditinjau dari aspek fisik lahan. Lokasi penelitian mencakup seluruh wilayah Kabupaten Mamuju Utara, namun analisis lahan difokuskan pada kawasan budidaya (pertanian dan kehutanan).

Kabupaten Mamuju Utara merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki kendala pengembangan budidaya pertanian akibat aspek fisiografi wilayah. Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas 304 467 ha, namun hanya memiliki luas areal lahan untuk kawasan budidaya pertanian (areal penggunaan lain) kurang lebih 36 % dari luas wilayahnya. Selain itu kurang lebih 53 % wilayah Kabupaten Mamuju Utara berada pada kelas lereng > 41%. Kondisi ini merupakan salah satu tantangan dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya lahan yang tersedia. Desakan kebutuhan lahan yang semakin meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, serta akibat kegiatan budidaya pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi, menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lahan yang pada gilirannya dapat mendegradasi kualitas hidup manusia.

Penelitian ini melakukan proses penilaian lahan menggunakan pendekatan kombinasi berbagai indikator, sehingga dapat menghasilkan sebaran alokasi lahan pengembangan komoditi basis perkebunan di suatu kawasan yang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah tersebut tanpa mengabaikan fungsi ekologisnya. Model fuzzy set yang menggunakan pendekatan kontinyu diharapkan dapat memetakan sebaran kualitas lahan secara lebih baik, sehingga sebaran alokasi kawasan untuk pengembangan komoditi basis perkebunan yang sesuai dengan aspek biofisik lahan, infrastruktur dan kondisi sosial dapat dihasilkan. 1.2 Perumusan Masalah

Proses perencanaan penggunaan lahan di suatu wilayah memerlukan berbagai pertimbangan (van Ittersum et al. 1998). Dalam konteks perencanaan penggunaan lahan untuk kebutuhan pengembangan komoditi pertanian umumnya dan komoditi perkebunan khususnya, proses tersebut dapat terdiri atas; (a). Evaluasi kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, (b). Optimasi areal penggunaan lahan, dan (c). Alokasi lahan secara spasial (Santé et al. 2008). Proses evaluasi lahan umumnya dilakukan menggunakan kerangka evaluasi lahan FAO,

sedangkan optimasi lahan menggunakan pendekatan pengambilan keputusan kriteria majemuk (multi-criteria decision making)dengan menggunakan berbagai fungsi tujuan meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan tersebut kemudian menjadi komponen dalam proses pengalokasian lahan secara spasial.

Dalam konteks optimasi alokasi lahan secara spasial terdapat beberapa masalah sehingga penelitian ini dilaksanakan. Pertanyaan penelitian tersebut dikemukakan dalam rumusan masalah berikut:

1. Proses evaluasi lahan dengan metode Boolean yang mengadopsi pendekatan faktor pembatas minimum (Hukum Minimum Liebig) menghasilkan penentuan batas kelas kesesuaian lahan dengan tegas (crisp boundary). Akibatnya sejumlah unit lahan yang seharusnya sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu menjadi tidak sesuai dan ditolak karena nilai indikator (karakteristik) lahannya berada tepat di luar batas kelas yang ditentukan. Selain itu, dengan nilai karakteristik lahan yang bervariasi maka penggunaan nilai data yang bersifat kontinyu (berkisar dari 0 hingga 1.0) menyebabkan nilai indikator lahan yang berada di luar batas kelas kesesuaian tidak ditolak secara langsung, namun dipertimbangkan kedekatannya dengan batas nilai kelas kesesuaian lahan yang dievaluasi. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut sehingga kualitas hasil evaluasi dapat meningkat.

2. Analisis multi kriteria spasial tidak hanya digunakan untuk menentukan prioritas atau peringkat kepentingan suatu kebijakan, namun dapat memberikan gambaran secara spasial atas kebijakan tersebut. Selain itu, pendekatan ini dapat digunakan menentukan solusi optimal yang spesifik dari sejumlah pilihan yang tersedia. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian pada aspek ini adalah bagaimana mengkombinasikan proses pengambilan keputusan alokasi lahan berdasarkan kepentingan aspek biofisik lahan, sosial ekonomi, dan infrastruktur pada komoditi basis perkebunan untuk kepentingan pengembangan wilayah.

3. Perencanaan alokasi lahan di daerah pedesaan memerlukan keterpaduan perencanaan secara sektoral dengan berbagai pemangku kepentingan untuk

memberikan kepastian berusaha bagi masyarakat yang sesuai secara ekologis dan pranata hukum yang ada. Pertanyaan penelitian pada aspek ini adalah bagaimana menyusun dan mewujudkan alokasi lahan berdasarkan berbagai aspek kepentingan yang sesuai dengan peraturan perundangan, kebijakan nasional, dan kepentingan daerah serta masyarakat?