• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4.2 Evaluasi Lahan dengan Metode Fuzzy Set

Proses evaluasi lahan pada penelitian ini mengadaptasi model yang dikembangkan oleh Baja et al. (2002). Data indikator lahan yang digunakan dikelompokkan menjadi tiga kriteria, yaitu: (1) Kriteria iklim, terdiri atas; curah hujan, lamanya bulan kering dan temperatur udara, (2) Kriteria lereng menggunakan data DEM (digital elevation model), dan (3) Kriteria karakteristik/kualitas tanah.

Gambar 6 Prosedur evaluasi lahan menggunakan metode fuzzy set.

Proses evaluasi lahan dengan pendekatan MCDM dilakukan dengan tahapan berikut; (1) Penyusunan kriteria evaluasi, (2) Standarisasi data, (3) Penentuan kriteria dan indikator evaluasi, (4) Penentuan bobot kriteria lahan, (5) Penentuan model dan derajat keanggotaan indikator, (6) Penggabungan indikator menggunakan fungsi kombinasi yang sesuai untuk memperoleh indeks kesesuaian lahan. Prosedur dan tahapan evaluasi lahan menggunakan metode fuzzy set

diuraikan sebagai berikut.

3.4.2.1Penyusunan Kriteria Evaluasi

Kriteria evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada kriteria evaluasi lahan Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Penentuan derajat keanggotaan (MF) indikator lahan

0 ≤ IKL ≤ 1

Penghitungan fungsi keanggotaan kriteria (JMFK)

DKG tanah Pengelompokan indikator (JMF) Tanah DKG iklim Pengelompokan indikator (JMF) Iklim DKG lereng Pengelompokan indikator (JMF) Lereng

Agroklimat Kementerian Pertanian yang disusun oleh Djaenuddin et al. (2003). Untuk menghasilkan kriteria evaluasi lahan yang mengakomodasi seluruh komoditi basis perkebunan dilakukan proses penggabungan kriteria evaluasi lahan seluruh komoditi basis. Meskipun tidak umum dilakukan dalam proses evaluasi lahan, namun pendekatan tersebut telah dilakukan pada studi penggunaan lahan DAS Cimanuk Hulu dalam menyusun kriteria evaluasi lahan komoditi perkebunan dataran rendah tidak sensitif kemasaman (tanaman kelapa dalam, jeruk, kelapa sawit, dan karet) oleh tim peneliti IPB dan Bappeda Provinsi Jawa Barat (Bappeda Jabar 1999). Menurut Mangoensoekarjo (2007) penggabungan kriteria kesesuaian lahan memungkinkan untuk dilakukan jika komoditi tersebut memiliki klasifikasi taksonomi famili yang sama.

Meskipun pendekatan tersebut memiliki kelemahan secara metodik, khususnya ditinjau dari aspek budidaya namun dilakukan dengan pertimbangan, berikut:

1. Memperluas rentang kinerja kesesuaian komoditi basis sehingga dapat mengakomodir kebutuhan alokasi lahan secara lebih umum dan bersifat spesifik (site specific).

2. Dalam konteks fuzzy set pendekatan ini dilakukan untuk membuat rentang kesesuaian indeks lahan yang dapat mengakomodasi kebutuhan alokasi lahan secara agregat wilayah. Indeks kesesuaian lahan yang diperoleh dapat sesuai dengan indikator pengembangan wilayah yang dikembangkan pada analisis selanjutnya.

3. Berdasarkan aspek pembangunan wilayah menurut sub sektor kegiatan pembangunan, pendekatan ini dapat mengakomodasi kebutuhan evaluasi lahan menurut sub sektor pembangunan wilayah pada sektor pertanian. Dengan demikian, dalam konteks alokasi lahan untuk pengembangan pola ruang wilayah diperlukan pendekatan kriteria evaluasi lahan yang bersifat lebih umum dan tidak spesifik pada komoditi tertentu. Metode ini diharapkan dapat menjadi salah satu pendekatan dalam menjawab kebutuhan penentuan pola ruang wilayah.

Namun demikian, pendekatan yang menggabungkan kriteria evaluasi lahan untuk beberapa jenis komoditi menjadi kelemahan dalam studi ini, mengingat proses

generalisasi kriteria evaluasi kesesuaian lahan menghilangkan kondisi spesifik indeks kesesuaian lahan jenis komoditi yang terdapat di wilayah penelitian.

3.4.2.2Standarisasi data

Permasalahan yang sering dijumpai dalam proses evaluasi lahan adalah data yang tersedia tidak dapat digunakan secara langsung sebagai input dalam SIG akibat perbedaan format. Sebagai contoh, dalam kriteria evaluasi lahan (Djaenuddin et al. 2003) tekstur tanah dikelompokkan ke dalam kelas halus, agak halus, sedang, kasar, dll. Jenis data tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai input ke dalam SIG.

Untuk itu, proses standarisasi data dilakukan berdasarkan jenis atribut data

fuzzy. Menurut Kumadewi dan Purnomo (2010) dalam proses fuzzifikasi data, himpunan fuzzy memiliki dua jenis atribut, yaitu; (1) Atribut numerik, yaitu suatu nilai (angka) yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel seperti 23, 12.5, dan sebagainya. (2) Atribut linguistik, yaitu penamaan suatu kelompok yang mewakili suatu keadaan atau kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa sehari-hari, seperti rendah, sedang, tinggi, halus, agak halus, cepat, terhambat, dan lain-lain.

Dengan pertimbangan tersebut, dilakukan pengelompokan atribut data linguistik (data interval) sehingga dapat dimasukkan sebagai input dalam SIG. Data dalam bentuk ordinal (atribut data linguistik) diubah menjadi data numerik dalam bentuk nomor urut. Pengelompokan data dilakukan dalam bentuk pemeringkatan data. Peringkat data yang dinyatakan dalam bentuk ordinal dibagi menjadi empat kelas sesuai dengan pembagian kelas evaluasi lahan, sehingga informasi tekstual diubah menjadi nomor urut.

3.4.2.3 Penentuan Kriteria dan Indikator Evaluasi Lahan

Penentuan kriteria evaluasi lahan menggunakan rentang kesesuaian lahan dari komoditi basis yang dihasilkan. Dengan demikian interval indikator kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan memiliki rentang yang lebih lebar. Pendekatan tersebut untuk mengakomodasi kesesuaian lahan komoditi yang dihasilkan dari analisis komoditi basis perkebunan. Dalam menentukan kriteria dan indikator evaluasi lahan, tidak seluruh kriteria menurut Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Kementerian Pertanian

digunakan karena keterbatasan data. Indikator lahan yang datanya tidak tersedia atau tidak diperlukan pada analisis tidak dimasukkan sebagai indikator evaluasi lahan. Indikator yang tidak digunakan adalah kelembaban udara, bahan kasar, alkalinitas, dan kedalaman sulfidik.

3.4.2.4 Penentuan Bobot Kriteria Lahan

Metode pembobotan yang digunakan adalah teknik perbandingan berpasangan menggunakan Proses Hirarki Analisis (PHA) (Saaty 1977). Dalam proses evaluasi lahan tidak semua parameter lahan yang digunakan memiliki peranan yang sama dalam menentukan tingkat perkembangan tanaman. Meskipun seluruh karakteristik lahan yang dipilih memiliki peranan dalam proses ekologi, namun bobot peranan masing-masing karakteristik berbeda. Dalam proses evaluasi lahan dibutuhkan identifikasi bobot kepentingan kriteria yang digunakan, khususnya jika proses tersebut menggunakan operasi matematik dalam menghasilkan indeks kesesuaian lahan (Baja et al. 2001; Braimoh et al. 2004).

Oleh karena itu, penentuan bobot kepentingan pada studi ini dilakukan pada aspek kriteria menggunakan pendekatan MCDM. Tahapan penentuan bobot kepentingan dilakukan sebagai berikut; (1) Penyusunan kerangka dan tujuan, (2) Penyusunan kriteria evaluasi, serta (3) Penyusunan hirarki keputusan (Gambar 7). Selanjutnya dilakukan penyusunan kuesioner perbandingan berpasangan dan penentuan responden yang terlibat.

Responden terdiri atas 9 peneliti, yang bekerja pada lembaga pendidikan dan penelitian. Kriteria responden adalah mereka yang mengetahui kondisi wilayah atau telah terlibat melakukan kegiatan survei/pengamatan tanah sehingga dianggap memahami karakteristik wilayah penelitian.

Pengolahan data dilakukan dengan tahapan berikut; (1) Penyusunan matriks perbandingan berpasangan dari pendapat responden menggunakan persamaan 4, (2) Penghitungan bobot prioritas masing-masing kriteria menggunakan persamaan 5 dan 6, (3) Menentukan rata-rata geometrik matriks perbandingan berpasangan menggunakan persamaan 11, dan (4) Menguji tingkat konsistensi vektor prioritas menggunakan persamaan 7-10.

Gambar 7 Struktur hirarki evaluasi lahan.

3.4.2.4 Penentuan Model dan Derajat Keanggotaan Indikator

Untuk melakukan proses evaluasi lahan menggunakan metode fuzzy set, salah satu tahapan penting yang mutlak dilaksanakan adalah menentukan derajat keanggotaan (Membership Function/MF) indikator lahan. Derajat keanggotaan indikator lahan mengacu pada salah satu model kurva S (sigmoid) pada pendekatan Semantic Import Model (SIM), yaitu; simetrik, asimetrik kanan, atau asimetrik kiri. Penentuan derajat keanggotaan (MF) indikator lahan menggunakan persamaan 13-16. Derajat keanggotaan indikator lahan diolah menggunakan modul FUZZY (decision support) pada Idrisi.

Evaluasi Lahan Lereng (persen) Lereng Iklim Curah hujan Bulan kering Temperatur Genangan KTK Kemasaman (pH) Bahan organik C-Organik Salinitas Tekstur Drainase Kedalaman tanah Tanah Batuan permukaan Indikator Kriteria Tujuan

3.4.2.5Penggabungan Indikator dan Indeks Kesesuaian Lahan

Atribut data (indikator) pada masing-masing kriteria dikombinasikan menggunakan fungsi kombinasi, yang memungkinkan adanya trade-off diantara atribut lahan menggunakan persamaan 17. Hasil pengelompokan indikator lahan pada setiap kriteria adalah derajat keanggotaan gabungan (DKG) yang merupakan nilai rata-rata indeks lahan untuk setiap kriteria. Pengelompokan antara kriteria dalam proses evaluasi lahan dilakukan untuk melihat interaksi internal dari masing-masing kriteria dalam memberikan pengaruh terhadap hasil indeks kesesuaian lahan. Dengan pendekatan ini maka nilai MF yang tinggi untuk satu indikator dapat mengkompensasi nilai MF yang rendah untuk indikator lainnya. Dalam pendekatan evaluasi lahan yang menggunakan metode konvensional (Boolean), karakteristik lahan yang memiliki nilai pembatas terendah (MF dengan nilai terendah) akan menentukan nilai karakteristik kesesuaian yang dihasilkan, tanpa mempertimbangkan adanya indikator lain yang memiliki nilai yang lebih baik dalam proses evaluasi.

Setelah proses penggabungan indikator lahan, dilanjutkan dengan proses perkalian bobot kepentingan setiap derajat keanggotaan gabungan (DKGK) lahan menggunakan persamaan 18. Indeks kesesuaian lahan diperoleh dengan melakukan proses perkalian antar kriteria (tanah, iklim dan topografi) dengan persamaan 19. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya trade-off antar kriteria yang digunakan dan mengakomodasi pendekatan faktor pembatas (Baja 2012). Karena menghasilkan nilai indeks (interval 0–1), maka perkalian antara dua indikator atau lebih akan menghasilkan nilai indeks yang lebih rendah dari nilai indikator aslinya sebagaimana diuraikan dalam Rossiter (1996). Dalam studi ini, wilayah yang memiliki kelas lereng terjal (nilai hasil perkalian indikator rendah) tidak dapat dikompensasikan dengan nilai sel unit lahan (karakteristik tanah) yang bernilai tinggi.