• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep manusia ideal dalam al-qur'an (studi profil al-Muhsin dalam perspektif tafsir ayat-ayat ihsan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep manusia ideal dalam al-qur'an (studi profil al-Muhsin dalam perspektif tafsir ayat-ayat ihsan)"

Copied!
315
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSLITERASI x

KATA PENGANTAR ix

DAFTAR ISI iix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 17

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 19

D. Kajian Pustaka 20

E. Metodologi Penelitian 30

F. Sistematika Pembahasan 44

BAB II KAJIAN MANUSIA IDEAL DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIHUMANISTIK 47

A. Makna Manusia Ideal dalam Perspektif Rogers 49

B. Makna Manusia Ideal dalam Perspektif Maslow 54

BAB III KONSEP DASAR MUḤSIN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN 77

A. Makna dan Penggunaan Term Muḥsin dalam Al-Qur`an 77

a. Makna Muḥsin 77

b. Makna Muḥsin dalam Teks Ayat 82

c. Penggunaan Term Muḥsin 89

B. Term yang berhubungan dengan Muḥsin 106

a. Al-‘Adl 106

b. Al-Muslim 109

c. Al-Mu’min 110

d. Al-Muttaqī 112

e. Al-ṣāliḥ 115

BAB IV KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN A. Karakteristik Muḥsin dalam Al-Qur`an 117

a. Hubungan Muḥsin dengan Allah 118

b. Hubungan Muḥsin dengan diri sendiri 145

c. Hubungan Muḥsin dengan sesama Manusia 156

d. Hubungan Muḥsin dengan Lingkungan Alam 197

B. Martabat Muḥsin 183

a.Martabat Muḥsin di Dunia 201

(2)

BAB V KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB MUḤSIN

A. Kedudukan Muḥsin 223

a. Muḥsin Penentu Keagamaan 224

b. Muḥsin Predikat Rasul 230

B. Tanggung Jawab Muḥsin 243

a. Tanggung Jawab Individual 243

b. Tanggung Jawab Sosial 259

BAB VI KESIMPULAN 285

(3)

Disertasi ini dipersembahkan kepada :

1. Kedua orang tua kandung penulis. Ayahanda H. Fudhel Abdul Ghafur (al-marhum) yang telah wafat sejak penulis masih berusia 10 tahun, semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima segenap amal-ibadahnya, dan ibunda Hj. Sughaerah (al-marhumah) yang telah wafat 4 tahun lalu. Ibunda setelah mengandung dan melahirkan penulis bersama-sama ayahanda mengasuh, membesarkan, dan mendidik penulis dengan ikhlas, susah payah, dan mengorbankan tenaga, fikiran, waktu serta biaya yang tidak sedikit sehingga penulis terselamatkan dari kekafiran, kemusyrikan, ketersesatan, dan menikmati hidayah dan ilmu Allah yang mengantarkan penulis seperti sekarang ini.

2. Isteri tercinta Hj. Alimnah yang dengan penuh kasih sayang, kesetiaan, dan tulus mendampingi, memotivasi, dan menyisihkan sebagian rizkinya bagi penulis untuk mengikuti serta menyelesaikan pendidikan dan penulisan disertasi ini pada Sekolah Pascasarjana Program Doktor (S. 3) Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” (UIN Syahida) Jakarta, Konsentrasi Tafsir-Hadis.

(4)

ﺔﺻﻼﺨﻟا

ﻢﺳا

ﺐﻟﺎﻄﻟا

:

سودﺮﻓ ﺖﻣﻼﺳ

ﻲﻌﻣﺎﺠﻟا ﻢﻗﺮﻟا

:

09.04.300.1.05.01.0050

ﺔﺣوﺮطﻷا عﻮﺿﻮﻣ

:

ﻟا ﻲﻓ ﻲﻟﺎﺜﻤﻟا نﺎﺴﻧﻹا مﻮﮭﻔﻣ

نآﺮﻘ

)

ﺔﺳارد

ﻦﻋ

ﺔﯿﺼﺨﺷ ﺢﻣﻼﻣ

ﻦﺴﺤﻤﻟا

ﺮﯿﺴﻔﺗ رﻮﻈﻨﻣ ﻦﻣ

تﺎﯾآ

نﺎﺴﺣﻹا

(

و

نآﺮﻘﻟا

رﻮﺼﯾ

ﺢﻣﻼﻣ

ﻲﻓ دﻮﺟﻮﻤﻟا ﻲﻟﺎﺜﻤﻟا نﺎﺴﻧﻹا ﮫﻧأ ﻰﻠﻋ ﻦﺴﺤﻤﻟا ﺔﯿﺼﺨﺷ

ﮫﻧﻷ ،ﺐﺗاﺮﻤﻟا ﻰﻠﻋأ

ﯾ نأ عﺎﻄﺘﺳا

ﻦﺴﺤ

نﺎﺴﺣﺈ

ﻰﻟﺎﻌﺗو ﮫﻧﺎﺤﺒﺳ

و

ﻊﻣ ﺔﻗﻼﻌﻟﺎﺑ ﺔﻤﺠﺴﻨﻤﻟا ةﺎﯿﺤﻟا ﻲﻓ ﺎﮭﻘﺒﻄ

ﮫﺑر

و ،ﮫﻟﻼﺟ ﻞﺟ

ﺴﻔﻧ

،

و

ﺔﯿﻤﻟﺎﻌﻟا و ﺔﯿﻋﺎﻤﺘﺟﻹا ﮫﺘﺌﯿﺑ

و ﻰﺘﺣ

ةورذ ﻰﻟإ ﻞﺻ

ﺶﯾﺎﻌﺘﻟا

ﻖﺤﻟا ةﺪھﺎﺸﻣ مﺎﻘﻣ قوﺬﺗو ﺔﯿﻨﯾﺪﻟا ﺔﺳرﺎﻤﻤﻟاو

ﺔﺌﻠﺘﻤﻤﻟا

،ﷲ ﻦﻣ ﺔﯿﺸﺨﻟا وأ ﻲﻘﯾﺰﯿﻓﺎﺘﯿﻤﻟﺎ

ﻮﻟو

ﺖﻧﺎﻛ

ﺔﻘﯿﻘﺣ ﺔﻓﺮﻌﻣ نأ هﺮﻈﻧ ﺔﮭﺟو ﻦﻣ

ﻰﻟﺎﻌﺗ

ﺖﺴﯿﻟ

رﺮﻣأ ﻦﻣ ﮫﻟ

ﺔﯾروﺮﺿ

.

ﻟا نإ

ةﺮﻄﻔ

ﺣوﺮﻟا

ﻧﺎ

ةﺪﻋﺎﺼﺘﻤﻟا ﺔﯿ

)

ﻮﻠﺳﺎﻣ مﺎھاﺮﺑأ ةرﺎﺒﻌﺑوأ

the growing tip

(

ﻰﮭ

ﻦﻜﻤ

ﺔﯿﺼﺨﺷ

أ ﻦﺴﺤﻤﻟا

ﻣ ﻰﻠﻋ

،ﻦﻣﺆﻤﻟاو ،ﻢﻠﺴﻤﻟاو ،لدﺎﻌﻟا تﺎﯿﺼﺨﺷ ﻦ

ﻲﻘﺘﻤﻟاو

ﺘﻟا ﺢﻟﺎﺼﻟاو

ﺎﮭﻠﻛ ﺖﻧﺎﻛ ﻰ

،نآﺮﻘﻟا ﻲﻓ ةرﻮﻛﺬﻣ

و

ﺖﻧﺎﻛ

ةرﻮﺻ

ﻦﺴﺤﻤﻠﻟ ﺔﯿﻟﺎﻌﻟا تﺎﻔﺼﻟاو ﺢﻣﻼﻤﻟا ﻦﻣ

.

ﺑأ ﻲھ ﻦﺴﺤﻤﻟا ةرﻮﺻ نﺈﻓ ﻚﻟﺬﻛو

ﺔﯾﺮﻈﻧ ﻎﻠ

ﺔﯾﺮﻈﻧ ﻦﻣ

مﻮﮭﻔﻣ لﻮﺣ ﻮﻠﺳﺎﻣ

self actualizer

ﻲﺘﻟا

ﺮﻤﺗ

ﻞﯿﺒﺳ ﻰﻠﻋ

peak experien

و

ﻲﻓ ﻊﻘﺗ

ﺎﻘﻤﻟا ﻰﻠﻋأ

م

ﻦﻣ

hierarchy of needs

.

ﻦﻤﺿ ﻲﻓ ﺎﻤﮭﻧأ ﻮﻟو

ﻟا

دوﺪﺤ

ﻟا

ﺔﻨﯿﻌﻤ

ﺎﻧﺎﻛ

ﻰﻓ

برﺎﻘﺗ

ﻲﻨﻌﻤﻟا

ﺮﺻﺎﻨﻌﻟﺎﺑ ﻖﻠﻌﺘﻤﻟا

ﯿﻧﺎﺴﻧﻹا

ﻂﻘﻓ ﺔ

.

نإ

زإ

د

او

ﺔﯿﺟﻮﻠﻜﯿﺴﻟاو ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﻦﯿﺑ ﺔﺳارﺪﻟا ج

ﺔﺣوﺮطﻷا هﺬھ ﻲﻓ ﺔﯿﻧﺎﺴﻧﻹا

ﻮﮭ

ﺐﯾﺮﻗو ﮫﺑﺎﺸ

ﮭﺟ ﺎﻤ

ﮫﺑ

اﺮﺒﺧ

ء

ﺲﻔﻨﻟا ﻢﻠﻋ

ﺜﻤﻛ

كﻮﺸﻧأ ﻦﯾﺪﻟا لﺎﻤﺟ ﻞ

Jamaluddin Ancok

،

نﺎﻣﺎﺘﺳﺎﺑ ﺎﻨﮭﻣﻮﺟ ﺎﻨھ

Hanna

Djumhana Bastaman

يرﺎﺼﻧأ داﺆﻓ ،

(5)

Name of Ph.D. Candidate: Slamet Firdaus

Number of Student : 09.04.300.1.05.01.0050

Title of Dissertation : The Concept ofIdeal Human Being in the Qur’an (A Study of the

Profile of Muḥsin in thePerspectives of the Interpretation of Qur’anic

Verses onIḥsān)

The Qur’an sees those who are called al-muḥsinun (sing. al-muḥsin) (“good people”) as ideal human beings and considers them to reach the highest level of morality, because they are able to imitate the goodness (iḥsān) of Allah in their lives, both in terms of their harmoniuos relation to God and that to their environments. Through their iḥsān they can reach the deep understanding of the religion and its practice. They can also taste “seeing” God (mushāhadat al-Ḥaqq), in which they fear Him at the qualified level, even though they are not obliged to know Him.

The increasing spiritual quality, or in Maslow’s words “the growing tip”, of the muḥsinmakes them exceed the quality of al-‘ādil(the just), al-muslim (the adherer of Islam, Muslim), al-mu’min(the believer), al-ṣālih (the good person), dan al-muttaqi (the fearer towards God), that are mentioned in the Qur’an. All these even constitute the honorable characters of the muḥsin. Moreover, the muḥsin is higher than what Maslow calls the “self-actualizer” who gets the “peak experience” which is placed in the highest position of the hirarchy of (human) needs. Both (i.e. the muḥsinand the “self-actualizer”) are, to some extent, similar to each other, however the similarities can only be found in the humanistic level.

The integration between the ‘ilm al-tafsir (Qur’anic exegesis) and the humanistic psychologyin this dissertation is similar to the attempts to build the Islamic psychology that are proposed by such Indonesian psycholigists as Jamaludin Ancok, Hanna Djumhana Bastaman and Fuad Anshari. Nevertheless, this research is focused more on the interpretation of Qur’anic verses that I didby using the humanistic psychology. In addition, it analyzes the psychology in the perspectives of Islam, especially the Islamic sufism. Indeed, this research is nearer to the attempt to make sense of the Qur’anic personality which is proposed by Rif’at Syauqi.However, it explores expicitly the concept of al-muḥsin as the ideal human being who reaches the highest level/charachter that is expected by the Qur’an.

(6)

ABSTRAK

Nama Penyusun : Slamet Firdaus

Nomor Induk Mahaiswa : 09.04.300.1.05.01.0050

Judul Disertasi : Konsep Manusia Ideal Dalam Al-Qur`an (Studi Profil Muḥsin Dalam Perspektif Tafsir Ayat-ayat Ihsan)

Al-Muḥsin adalah citra manusia ideal yang mampu meraih puncak penghayatan dan pengamalan keagamaan. Ia merupakan sosok pribadi yang sukses mencapai puncak dari proses pendakian spiritual yang dilakukannya secara berkesinambungan, berjenjang meningkat, serta konsisten dengan berorientasi pada kualitas dan berbasis semangat atas potensi diri yang dapat melihat Tuhan atau berkeyakinan akan keberadaan Tuhan selalu memonitornya hingga selalu merasa bersama dengan-Nya. Ketinggian mutu diri tersebut dikonfigurasikan oleh Allah dalam Al-Qur`an pada para rasul dan hamba-hamba-Nya yang melakukan ihsan secara permanen yang diaktualisasikan oleh mereka ke dalam apresiasi sejati nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang terintegrasi. Karakteristik muhsin memancarkan kedua nilai-nilai tersebut. Penyatuan keduanya dalam diri muḥsin menjadikannya layak berperan sebagai pelaku utama di berbagai bidang kehidupan untuk mengejawantahkan perannya selaku khalifah serta merupakan cermin bagi pembentukan pribadi aktual.

Pengertian muḥsin ini menjadikannya mencakup pada segenap bidang kehidupan dan meliputi keragaman sebutan yang menunjukkan kepada berbagai kualitas pribadi seseorang seperti mu`min, muslim, muttaqin, mukhliṣ, ṣābir, dan lainnya yang dapat membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi. Konsep ini melebihi konsep yang ditawarkan oleh Izutsu tentang muḥsin yang identik dengan orang yang bertakwa, orang yang melaksanakan amal saleh, dan orang yang memiliki kepatuhan mendalam kepada Tuhan dan segenap perbuatan manusia yang bersumber darinya, serta melakukan segala kegiatan yang didorong oleh semangat hilm. Demikian pula melampaui teori Maslow berupa pribadi aktual (self actualizer) yang berada pada posisi tertinggi yang dibangun di atas hierarki kebutuhan. Kendati dengan potensi spiritualnya self actualizer merasakan

pengalaman-pengalaman yang membahagiakan, menyenangkan, dan

menggembirakan dirinya, baik yang berlangsung terus menerus dan memiliki unsur kognetif yang disebutnya dengan pengalaman plato (plateau experince) maupun yang bersifat tiba-tiba, mengejutkan, musiman, dan menakjubkan, serta bersifat emosional, yang disebutnya dengan pengalaman puncak (peak experience), tetapi terbatas pada tataran humanistik yang menekankan pada spesifikasi manusiawi semata.

(7)

Al-Biqā’iy yang menyebutkan bahwa muḥsinīn yang tertuang pada surah Al-Dhariyat/51 : 16 adalah orang-orang patuh yang selalu berbuat baik dalam berkomunikasi dengan Allah dan makhluk-Nya sebagai ibdah kepada-Nya hingga seolah-olah melihat-Nya. M. Quraish Shihab di kala menafsirkan surah Al-Dhariyat/51 : 16 mengartikan muḥsin semakna dengan yang diartikan oleh Izutsu. Sedangkan teori self actualizer Maslow dalam batas-batas tertentu sudah menyentuh spiritualitas agama mengingat pengalaman puncak (peak experiance) menjadi ciri utama bagi self actualizer yang transenden seperti yang diutarakan Wilcox, sehingga Boeree menyebutnya orang yang memiliki pengalaman ini akan merasa menjadi bagain dari “yang tak terbatas” dan “yang abadi”, dan Crapps menyatakan bahwa setudi Maslow sebagai cara untuk memahami agama.

(8)

1

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai subjek kehidupan memiliki daya tarik tersendiri hingga mendorong lahirnya kajian-kajian mendalam tentang keberadaannya yang dilakukan para pakar yang menekuni berbagai bidang keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, baik yang bersifat empiris-realistis dengan pendekatan objektif maupun bersifat normatif keagamaan sebagai tanggung jawab akademik dan intelektualnya, mengingat manusia sebagai makhluk memiliki berbagai persoalan yang komplek, berkaitan dengan diri dan lingkungannya.

Pakar psikologi tampil mengkaji manusia, termasuk manusia ideal (berkualitas), dengan pandangannya yang dinilai oleh sementara kalangan sebagai entitas dari representasi keilmuan yang bersifat empiris-realistis sehingga hanya mungkin didekati dengan pendekatan objektif. Sifatnya yang objektif tersebut menjauhkannya dari disiplin ilmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian psikolog terdapat anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai penyebab mandegnya ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam perspektif sebagian agamawan merupakan ancaman bagi dogma agama.1

Kajian yang dilakukan oleh para pakar psikologi tentang manusia ideal mewujudkan berbagai sebutan yang berbeda-beda. Di antara mereka menyebutnya dengan ideal self (diri ideal) yang diterjemahkan oleh Rogers (1902-1987 M)2 sebagai diri yang seharusnya3 atau jenis

orang yang dicita-citakan4 yang dikomentari oleh Horney (1885-1952

1 Robert H. Thouless, An Introduction to the Psychology Religion, Penerjemah

Machnun Husein, Pengantar Psikologi Agama (Jakarta, Raja Grafindo, 1992), 13. Selanjutnya disebut Thouless, Pengantar.

2 Rogers memiliki nama lengkap Carl Rogers, lahir di Oak Park, Illionis, pada

8 Januari 1902 dan meninggal pada tahun 1987. Syamsu Yūsuf dan Juntika Nurihsan,

Teori Kepribadian (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), 142. Selanjutnya disebut Yūsuf, Teori Kepribadian.

3 C. George Boeree, Personality Theories, Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia (Jogjakarta, Prismasophie, 2009), 293. Selanjutnya disebut Boeree, Personality.

(9)

M)5 sebagai diri yang bukan menjadi tujuan yang positif, karena mustahil dan tidak realistis. Hal ini disebabkan karena Horney lebih menekankan pada konsep real self atau self realization.6

Maslow sebagai tokoh psikologi Humanistik7 dan Transpersonal8

memberi nama manusia ideal dengan self actualizers.9 Namun

pandangannya mengenai hal ini meletakkan faktor pengalaman diri (self

experience) menjadi dasar bagi self actualizers (orang-orang yang

mengaktualisasikan diri) dalam memandang hal yang benar dan salah, bukan wahyu agama,10 meskipun menurutnya manusia memerlukan

filsafat hidup, agama atau sistem nilai,11 dan pengalaman puncak (peak

experience) yang menjadi salah satu dari tiga teorinya ada pada inti

kedelapan, Jilid 2, Alih Bahasa oleh Nurdjannah Taufiq, Editor Agus Dharma (Jakarta, Penerbit Erlangga, t.t). Selanjutnya disebut Atkinson, Introduction.

5 Nama lengkapnya adalah Karen Horney, lahir pada 16 September 1885 dan

meninggal dunia pada tahun 1952. Boeree, Personality, 160-162

6 Boeree, Personality, 168, dan Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 2000), 171. Selanjutnya disebut Sarwono, Berkenalan.

7 Abraham Harold Maslow (1908-1970 M), Foreword, dalam Frank G. Goble, The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow (New York, N.Y, Washington Square Press, 1971), x. Edisi Bahasa Indonesia, Aliha Bahasa Drs. A. Supratiknya, berjudul Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1991). Selanjutnya disebut Goble, The Third Force.

8 Aliran psikologi Transpersonal lahir sebagai kelanjutan dari psikologi

Humanistik. Abraham Harold Maslow dan Victor Frankl (1905-1997 M) yang hadir dalam pertemuan di rumah Antony Sutich (1907-1976 M) di California guna membahas secara informal topik-topik yang pada waktu itu tidak diperhatikan dalam psikologi Humanistik dan gerakan potensi manusia. mengusulkan istilah Transpersonal bagi gerakan psikologi yang tengah mereka rintis. E. Capriles, Beyond Mind; Steps to a Metatranspersonal Psychology (Honolulu, HI, The International Journal of Transpersonal Studies, 2000), 163-164.

9 Atkinson, Introduction, Jilid 2, 401, dan Lynn Wilcox, Criticism of Islam Psychology, terjemahan Kumalahadi P, Personality Psychoterapy, Perbandingan dan Praktik Bimbingan dan Konseling Psikoterapi Kepribadian Barat dan Sufi (Jogjakarta, IrciSoD, 2006), 298. Selanjutnya disebut Wilcox, Personality.

10 Subjek-subjek yang diteliti oleh Maslow kecuali seorang yang religius

menurut pengertian ortodoks dan hanya seorang yang ateis, seluruhnya percaya akan semesta yang penuh arti serta akan kehidupan yang disebut spiritual. Hampir seluruhnya dari mereka memiliki pandangan yang jelas mengenai sesuatu yang benar dan yang salah, didasarkan pada pengalaman mereka sendiri, bukan didasarkan pada penerimaan buta atas wahyu agama. Goble, The Third Force, 31.

(10)

agama.12 Lebih jauh ia menilai bahwa banyak agama cenderung menekankan aspek-aspek jahat manusia sebagai sesuatu yang melekat, tetapi gagal menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur pun bersifat intrinsik (melekat) pula.13 Hal ini mendorong lahirnya pertanyaan; apakah

pernyataan Maslow tersebut berlaku bagi agama Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur`an? Kendati demikian, pertanyaan ini tidak menegasikan pentingnya humanistik Maslow digunakan sebagai alat untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat ihsan dalam mengkaji muḥsin

sebagai manusia ideal.

Kalangan sufi tidak ketinggalan ikut serta secara aktif mengkajinya, di antaranya ialah Ibn ‘Arabiy (w. 638 H/1240 M) penggagas al-Insān al-kāmil yang dipakainya untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan.14 Al-Jīliy

(767-826 H/1365-1422 M) menggunakan term al-Insān al-kāmil sebagai predikat bagi konsepnya tentang manusia sempurna15 yang dipahaminya

sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an (al-Ḥaqq), dalam arti ia mempunyai sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Tuhan seperti al-Ḥayy (Hidup), al-‘Alīm (Mengetahui), al-Qadīr (Kuasa), al-Murīd

(Berkehendak), al-Samī’ (Mendengar), al-Baṣīr (Melihat), dan

al-Mutakallim (Berbicara).16

12 Robert W Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan

AM. Harjana, Dialog Psikologi dan Agam (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 165. Selanjutnya disebut Crapps, Dialog. Dua teori lainnya adalah tentang motivasi dan aktualisasi diri (self actualization). Abraham Harold Maslow, Motivation and Personality (New York, Revised by Robert Froger, James Fadiman, Cynthia McReynolds, Ruth Cox, Third Edition, Longman, 1987), 125 dan 137. Edisi Bahasa Indonesia berjudul Motivasi Dan Kepribadian (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993). Selanjutnya disebut, Maslow, Motivation.

13 Goble, The Third Force, 94.

14 Apabila diperhatikan secara seksama kelihatan bahwa subtansi konsep insan

kamil, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibn ‘Arabiy, hanya konsep-konsep yang telah ada tidak menggunakan istilah insan kamil. Lihat lebih jauh, Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kâmil Ibn ‘Arabiy oleh al-Jīlī,

(Jakarta, Paramadina, 1997), 6-15. Selanjutnya disebut Ali, Manusia Citra.

15 Ali, Manusia Citra, 14.

16 ‘Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm al-Jīliy, Al-Insān Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā`il, (Mesir, Maktabah Zahrān, 1999), Juz II, 96. Selanjutnya disebut Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil. Dalam pandangannya dengan memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an tersebut al-Insān al-kāmil memiliki tiga barzakh (tingkatan), yaitu al-Bidāyah

(11)

Pakar tafsir berusaha mernafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang manusia, baik mufassir klasik seperti al-Ṭabariy yang mengartikan manusia sebagai khalifah yang tercantum pada surah Al-Baqarah/2 : 30,17 hingga menjelaskan dan menafsirkan term muḥsin yang

menjadi predikat bagi manusia baik atau berkualitas, yang tercantum dalam Al-Qur`an, di antaranya termaktub pada surah Al-Nisā`/4:125 sebagai salah satu perilaku penentu bagi seorang yang memiliki jalan hidup (beragama) paling benar dan penuh hidayah,18 maupun mufassir

mutakhir seperti Ibn ‘Āshūr yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan muḥsin pada ayat tersebut adalah sifat yang menjadi penentu bagi pemeluk Islam terbaik.19

Adapun Al-Qur`an sesuai dengan fungsinya yang diyakini umat Islam sebagai petunjuk kehidupan, selain menggunakan sebutan muḥsin

untuk menunjuk manusia yang baik dan berkualitas, juga menggunakan beberapa sebutan lain, di antaranya adalah muslim, mukmin, muttakin, mukhlis, dan saleh kesemuanya ini digunakan dalam rangka menggambarkan sosok pribadi yang berkualitas.20 Istilah-istilah tersebut

(al-asmā`) dan sifat-sifat (al-ṣifāt) Tuhan, sedangkan pada tingkat pertengahan seseorang sudah memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri menjadi pusat kelembutan kemanusiaan sebagai perwujudan dari eksistensi kasih sayang Tuhan yang telah terpatri pada dirinya sejak tingkat pertama, dan pada tingkat puncak seorang hamba telah mampu mewujudkan citra Tuhan secara utuh hingga layak disifati dengan

al-Jalāl (keagungan) wa al-Ikrām (kemuliaan) mengingat tingkat ini merupakan puncak pengalaman spiritual. Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, 98.

17 Dengan mengakomodir berbagai pendapat, di antaranya, Al-Ṭabariy

menafsirkannya sebagai pengganti Allah yang bertugas melaksanakan ketentuan-Nya dalam mengatur kehidupan makhlauk-Nya. Pengganti itu diidentifikasinya dengan Nabi Adam dan turunannya yang patuh kepada-Nya serta melaksanakan ketentuan-Nya di tengah-tengah kehidupan mereka dengan adil. Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Ṭabariy (w. 310 H), Jāmi’ Al-Bayān fī Ta`wīl Al-Qur’ān (Tafsīr Al-Ṭabariy) (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid 1, 237. Selanjutnya disebut Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān.

18 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 4, 296.

19 Ibn ‘Āshūr mendudukkan ayat tersebut sama dengan rukun agama Islam,

yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Muhammad Al-Ṭāhir Ibn ‘Āshūr (1296-1399 H/1879-1973 M), Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr (Tunis, Dār Suḥnūn, t.t), Jilid 2, Juz 5, 211. Selanjutnya disebut Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr.

20 Term-term tersebut bermakna positif dan bertalian dengan pribadi yang

(12)

Al-dijadikan sebagai predikat bagi pribadi berkualitas yang terkait erat dengan perilaku keagamaannya.21

Penggunaan term muḥsin dalam Al-Qur`an menunjukkan keberadaan posisinya yang signifikan mengingat sescara umum, setiap kosakata yang dipilih Allah swt sebagai firman-Nya memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Secara khusus term muḥsin dijadikan sebagai predikat yang merepresentasikan tingginya mutu pribadi seseorang di hadapan-Nya, yakni sebagai sosok insan yang islam, beriman, berakhlak mulia, dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Hal ini bermakna bahwa muḥsin merupakan figur yang mengamalkan secara konsisten tiga unsur agama Islam22 dengan akhlak karimah yang menjadi

aktualisasi kesadaran jiwa dalam bentuk perilaku kehidupan yang positif, mengingat akhlak merupakan cerminan jati diri seseorang yang berpangkal dalam lubuk hati.23

Al-Qur`an memerintahkan manusia agar berbuat ihsan hingga mencapai derajat sebagai seorang muḥsin, figur yang berada pada puncak pengalaman spiritual dan amal24 akibat dari kemampuan beribadah

hingga merasakan mushāhadah yang mendatangkan kecintaan Allah,

Maqāl fī al-Islām (Mesir, Dirāsah Qur`āniyyah, Dār Al-Ma’ārif, 1966), 11. Selanjutnya disebut Bint Al-Shāṭi, Al-Maqāl.

21 Nurcholish Majid menyebutkan kata iman (īmān), Islam (islām), ihsan

(ihsān), takwa (taqwā), tawakal (tawakkul), dan ikhlas (ikhlāṣ) dikenal dalam perbendaharaan kata sehari-hari dan digunakan secara meluas. Semuanya menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman kepada Allah. Kualitas-kualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi. Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta, Paramadina, 2005), 41. Selanjutnya disebut Majid, Islam Doktrin.

22 Tiga unsur agama Islam ialah Akidah, Syareat, dan Akhlak, identik dengan

iman, islam, dan ihsan yang termaktub dalam hadis Jibril yang diriwayatkan Bukhari. Ahmad ibn Ali ibn Ḥajar Al-‘Asqalāniy (773-852H), Fatḥ Bāriy Sharḥ Shaḥīḥ Al-Bukhāriy (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1997), Juz 1, 153. Selanjutnya disebut Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Al-Bāriy.

23 Majid, Islam Doktrin, 41.

24 Pernyataan ini merupakan pendapat al-Harali. Burhān Al-Dīn Abī Al-Ḥasan

Ibrāhīm bin Umar Al-Biqā’iy (885 H), Naẓm Al-Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar

(Beirut, Dār Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003), Jilid 1, 142. Selanjutnya disebut Al-Biqā’iy,

(13)

sperti termaktub pada surah Al-Baqarah/2 : 195.25 Ini menunjukkan bahwa posisi muḥsin penting sekali dalam kehidupan. Upaya maksimal untuk selalu berbuat ihsan agar menjadi seorang muḥsin sudah menjadi keharusan bagi setiap orang, terutama pemeluk agama Islam.

Demikian setrategisnya eksistensi muḥsin hingga Allah dalam ayat tersebut menggunakan nama diri-Nya yang Maha Agung (Ism

Al-A’ẓam / lafẓ Al-jalālah)26 yang disertai dengan “inna” sebagai instrumen

ta’kīd (pengukuh).27 Penggunaan pola kalimat tersebut dalam rangka

Allah memberikan penghargaan kepada muḥsin dengan mencintainya. Penghargaan itu diletakan setelah ungkapan perintah-Nya agar manusia berbuat ihsan dengan sebenar-benarnya dan konsisten, yang menjadi faktor inti untuk meraih dan menempati posisi muḥsin, demikian itulah yang dilakukan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya.28 Pola kalimat

seperti ini menunjukkan adanya penekanan pada signifikansi pesan-pesan-Nya yang terhimpun dalam ayat.

Segala hal yang diperintahkan Allah, sedangkan manusia dituntut untuk melaksanakannya dengan maksimal dan tulus diyakini membuahkan kebahagiaan, dan jika ditinggalkan mendatangkan

25‘Abd Al-Karīm bin Ḥawāzin bin ‘Abd Al-Mālik bin Ṭalḥah bin Muhammad

Abū Al-Qāsim Al-Naisābūriy Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Tahqīq Saīd Qaṭīfat (Mesir, Al-Maktabah Al-Taufīqiyyah, 1999), 148. Selanjutnya disebut Al-Qushairiy,

Laṭā`if Al-Ishārāt.

26 Disebut sebagai Al-Ism Al-A’ẓam dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat

sempurna dan nama-nama terbaik (Al-Asmā` Al-Ḥusnā) yang melekat pada-Nya. Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimashqiy (w. 774), Tafsīr Qur’ān Al-Aẓīm (Tafsīr ibn Kathīr) (Makkah Al-Mukarramah, Al-Maktabah Al-Tijāriyyah, 1987), Jilid 1, 20. Selanjutnya disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm. Sebagian ulama menyatakan bahwa sebutan Al-Ism Al-A’ẓam merupakan nama yang tidak dapat dijadikan nama bagi selain-Nya, hingga Al-Qurṭubiy menyebutkan bahwa Allah merupakan nama Terbesar yang mencakup keseluruhan nama-Nya. Dia menjadi nama bagi Wujud yang Ḥaqq, yang meliputi seluruh sifat-sifat ketuhanan. Abī Abd Allah Muhammad Al-Anṣāriy Al-Qurṭubiy (w. 671 H), Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an (Tafsīr Al-Qurṭubiy) (Kairo, Maktabah Al-Riyāḍ Al-Hadīthah, t.t), Jilid 1, 102. Selanjutnya disebut Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’.

27 Penggunaan inna pada kalimat berita (kalām al-khabar) ditujukan kepada mukhāṭab (orang yang menjadi objek berita atau audience) yang ragu terhadap isi berita, tetapi berkeinginan mengetahuinya, agar dia dikuasai kemudian menerimanya. Kalimat berita semacam ini disebut kalimat berita ṭalabiy, karena di dalamnya mengandung tuntutan terhadap mukhāṭab untuk membenarkan isinya. Ahmad Al-Hāsyimiy, Jawāhir Al-Balāghah fī Al-Ma’ānī wa Al-Bayān wa Al-Badī’ (Indonesia, Dār Ihyā` Kutub Al-‘Arabiyyah, 1960), 59. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah.

(14)

penderitaan. Terlebih perintah menjadi muḥsin dengan melaksanakan ihsan (paling tidak merasa diawasi Allah) di segala segi kehidupan secara sempurna akan mendatangkan tata kehidupan yang harmoni dan berkualitas, walaupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang beragam, karena kesadaran akan pengawasan-Nya menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin.29

Perintah dan tuntutan menjadi muḥsin bagi setiap individu merupakan sesuatu yang selayaknya diwujudkan secara kolektif sebagai manifestasi dari rasa syukur dan balas budi kepada Allah. Dengan sifat

muḥsin-Nya, Dia berbuat baik kepada manusia secara berkesinambungan.

Perbuatan baik-Nya kepada manusia yang tercatat dalam surah Al-Qaṣaṣ/28 : 77 dijadikan sebagai pertimbangan supaya mereka berbuat ihsan sampai meraih predikat muḥsin.30 Hal ini berarti manusia dituntut

untuk meneladani-Nya dalam berbuat ihsan.

29 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 1, 399.

30 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179-180. Sedangkan

Al-Ṭabariy menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa berbuat baiklah kamu di dunia dengan menginfakan harta yang telah didapatkan dari berbagai penjuru sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu hingga kekayaanmu diluaskan dan dimudahkan oleh-Nya. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 106. Demikian pula Qurṭubiy berkenaan dengan ayat ini menafsirkan bahwa Allah memerintahkan Karun agar patuh dan berbakti kepada Allah seperti Dia telah memberikan nikmat kepadanya. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 13, 314. Al-Bayḍāwiy (w. 791 H) menafsirkan ayat ini dengan mengemukakan bahwa Karun diperintah Allah untuk berbuat baik kepada sesama hamba-Nya sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya dengan memberikan nikmat yang tidak terhingga. Nāir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad Al-Shaerāziy Al-Bayḍāwiy, Tafsīr Al-Bayḍāwiy (Anwār Al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl) ( Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid 2, 200. Selanjutnya disebut Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl. Abī Ḥayyān (654 - 745 H) menyatakan bahwa penggunaan huruf kāf yang tercantum pada penggalan ayat wa ahsin kamā ahsana Allah ilaika berfungsi sebagai adāt al-tashbīh (huruf yang digunakan sebagai alat untuk menyerupakan ihsan manusia dengan ihsan Allah dalam sebagian sifatnya) dan sebagai huruf ta’līl yang berarti sebab. Dengan huruf kāf didudukan pada fungsi yang pertama menjadikan ihsan mutlak untuk diaplikasikan oleh manusia dengan menyerupai ihsan Tuhan. Sedangkan huruf kāf diposisikan sebagai fungsi yang kedua menjadikan ihsan Allah sebagai sebab dan teladan bagi keharusan manusia berbuat ihsan kepada sesamanya. Muhammad ibn Yūsuf Abū Ḥayyān Al-Andalusiy, Tafsīr Al-Baḥr Al-Muḥīṭ

(15)

Tidak dicantumkan maf’ūl bih (objek) bagi fi’il amar (kata kerja perintah berbuat ihsan)31 yang tercantum pada ayat tersebut menunjukkan

kepada keluasan sasaran dan cakupan wilayah ihsan, yakni berbuat ihsan kepada diri sendiri dan kepada keseluruhan makhluk yang diwujudkan baik dalam tutur kata, perbuatan, ilmu, maupun harta.32 Keluasan

cakupannya menyebabkan ihsan dibutuhkan di berbagai sendi kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur`an yang memuat term muḥsin dan derivasinya berjumlah 67 ayat yang tersebar pada 29 surah. Secara implisit keberadaan ayat-ayat tersebut memiliki kegunaan yang signifikan untuk dikaji dan dijadikan rujukan dalam menyingkap secara proporsional potret muḥsin dengan menggunakan metode tafsir Mauḍū’iy33 dan

melibatkan pendapat para pakar tafsir dengan pisau analisis psikologi humanistik yang anthropo-sentris,34 terutama Maslow. Kolaborasi antara

31 Tidak dicantumkan maf’ūl bih (objek) pada kata kerja transitif atau fi’il muta’addiy (kata kerja yang memerlukan maf’ūl bih) yang biasa disebut dengan kaidah

hadhf al-maf’ūl (membuang objek dalam kalimat) menjadikan kata kerja tersebut memuat pengertian yang umum dan mutlak. Apabila dicantumkan maf’ūl bih-nya, maka pengertian kata kerja tersebut menjadi terbatas hanya berkaitan dengan kata yang menjadi objeknya. Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān Al-Suyūṭiy (849-911 H), Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1996), Juz 2, 821. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Al-Itqān. Ibn ‘Āshūr menyebutnya dengan hadhf muta’alliq al-ihsān

menunjukan keumuman cakupan makna ihsan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179, serta Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 10, 318. Kaidah hadhf al-Muta’alliq dalam tinjauan ilmu Ma’ānī termasuk katagori al- Ījāz (mengumpulkan makna yang banyak dalam kata yang sedikit, tetapi jelas) yang dapat menberikan kesan di hati. Al-Hāsyimiy, Jawāhir Al-Balāghah, 222 – 226. Dengan demikian perintah berbuat ihsan tersebut meliputi kepada siapa dan apa saja.

32 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179 – 180.

33 Upaya menafsirkan Al-Qur`an dengan cara mengumpulkan berbagai ayat

yang tersebar di dalam surah-surah yang berkaitan langsung dengan satu judul yang telah ditetapkan maupun yang hanya memiliki kedekatan istilah atau kosakata dengannya. Ṣalāh ‘Abd Al-Fattāh Al-Khālidiy, Tafsīr Mauḍū’iy bayna Al-Naẓriyyah wa Al-Taṭbīq (Yordan, Dār Al-Nafā`is li Al-Naṣr wa Al-Tauzī’, 1997), 30. Selanjutnya disebut Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy.

34 Psikologi humanistik yang antropo-sentris di satu pihak menggambarkan

(16)

pemaknaan teks Al-Qur`an yang dilakukan oleh para pakar tafsir yang bersifat normatif religius35 dengan psikologi humanistik yang empiris dan

anthropo-sentris36 penting dilakukan untuk didudukkan secara

proporsional, yakni bacaan psikologi tersebut dijadikan media yang dapat melengkapi tafsir, terlebih Al-Qur`an bersifat terbuka untuk ditafsirkan. Pakar tafsir bi al-Ma`thūr37 dengan metode tafsir Taḥlīliy38 seperti

Al-Ṭabariy (224-310 H)39 dan Ibn Kathīr (700-774 H),40 dan pakar tafsir

35 Seperti tafsir bi al-Ma`tsūr, bi al-Ra`yi, dan bi al-Ishārah. Pembagian ini

didasarkan kepada sumber rujukannya.

36 Merujuk pada kata anthropos (manusia) dan sentris (pusat), maka

anthropo-sentris adalah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya, penentu semua peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Bastaman, Dari Anthropo-sentris, 83.

37 Tafsīr bi al-Ma`tsūr ialah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat

dengan hadis Nabi Saw, penafsiran ayat dengan pendapat shahabat dan penafsiran ayat dengan pendapat Tabi’in. Muhammad Husein Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn

(Beirut, Dār Al-Turāth Al-‘Arabiy, 1976), juz 1, 152. Selanjutnya disebut Al-Dhahabiy,

Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn.

38 Upaya mufasir menafsirkan ayat demi ayat yang terdapat dalam setiap surah

sesuai dengan urutan yang tercantum dalam mushhaf Usmaniy dengan analisis yang luas dan terinci dari berbagai segi dan sudut pandang seperti masalah akidah, bahasa, balagah, riwayat, qiraat, fiqih, perbedaan pendapat, munasabah, sabab turun ayat, dan lain-lain. Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy, 27.

39 Nama lengkapnya Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabariy, dilahirkan di

Ṭabrastān Iran Utara pada tahun 224 H dan wafat di Baghdad pada tahun 310 H. Sebagai tokoh yang diakui kepakarannya al-Thabariy hafal Al-Qur`an, tajam penglihatannya terhadap isi Al-Qur`an, mengetahui makna-maknanya dengan sempurna, memahami dengan akurat hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, menguasai hadis Nabi saw dan transmisi berikut keshahihan dan kelemahannya, mumpuni dalam keahliannya di bidang pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in serta para pakar hukum yang berbeda pendapat yang hidup setelah mereka. Abī Al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad bin Ibrāhīm bin Abī Bakr bin Khallikān (w. 681 H), Wafiyyāt Al-A’yān wa Abnā` Al-Zamān (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998), Jilid 4, 43-45. Selanjutnya disebut Ibn Khallikān, Wafiyyāt Al-A’yān. Dan Tāj Al-Dīn Abī Naṣr ‘Abd Al-Wahhāb bin Ali bin ‘Abd Al-Kāfiy Al-Subukiy (771 H), Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah Al-Kubrā

(Beirut, Dār Kutub ‘Ilmiyyah, 1999), Juz 2, 92-93. Selanjutnya disebut Al-Subukiy, Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah. Dan Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Juz 1, 205, serta Ṣalāh ‘Abd Al-Fattāh Al-Khālidiy, Ta’rīf Dārisīn bi Manāhij Al-Mufassirīn (Damaskus, Dār Qalam, 2006), 342-343. Selanjutnya disebut Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn. Dan Ahmad bin Muhammad Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn (Madinah Munawwarah, Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1997), 48-51. Selanjutnya disebut Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn.

40 Nama lengkapnya ‘Imād Al-Dīn Abū Al-Fidā’ Ismail bin Al-Khaṭīb abi

(17)

bi al-Ra`yi41 semacam al-Bayḍāwiy (w. 691 H),42 Ṭanṭāwi al-Jauhariy

(1287-1358 H),43 dan al-Shaukāniy (1173-1250 H)44 dijadikan rujukan

Bushrā yang terletak di negeri Syam pada tahun 700 H dan wafat di Damaskus pada tahun 774 H, kuburannya berdekatan dengan kuburan gurunya, Al-Mizziy dan Ibn Taimiyyah. Di usia tiga tahun ayahnya meninggal dunia, dan ia diasuh oleh kakaknya bernama ‘Abd Al-Wahhāb bin Abū Hafsh Umar, yang kemudian menetap bersama di Damaskus untuk menuntut ilmu kepada ulama besar yang terkemuka, di antaranya Abū Al-Ḥajjāj al-Mizziy, Ibn ‘Asākir, dan Ibn Taimiyyah. Tokoh yang disebut pertama (penyusun kitab Tahdhīb Al-Kamāl fī Asmā` al-Rijāl) mengagumi kepandaian dan kesalehan Ibn Kastīr, kemudian menikahkannya dengan seorang putrinya bernama Zaenab. Dia secara khusus menekuni kajian bidang tafsir, hadis, dan tarikh. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Jilid 1, 242, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 381-382, serta Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 260-261.

41 Tafsir bi al-Ra’yi ialah penafsiran ayat Al-Qur`an dengan ijtihad setelah

seorang mufasir benar-benar menguasai seluk beluk bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang dihajatkan seorang mufassir. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, juz 1, 255.

42 Nama lengkapnya Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn

Muhammad Al-Shaerāziy Al-Bayḍāwiy. Tahun kelahiran Al-Bayḍāwiy tidak diketahui oleh para pakar, tetapi ia dilahirkan di Baedhā`, Persi, dan wafat di daerah Tibrīz, Persi, pada tahun 685 menurut mayoritas ulama, dan pada tahun 691 menurut sebagian ulama. Sebagai seorang ilmuwan Al-Bayḍāwiy memiliki konsentrasi kajian, yakni di bidang Ushūl Al-Dīn dengan karyanya bernama Ṭawāli’ Al-Anwār, Uṣūl Al-Fiqh yang dituangkan dalam karangannya bernama Minhāj Al-Wuṣūl ilā ‘Ilm Al-Uṣūl, dan tafsir dengan hasil pikirannya yang tertulis dalam Anwār al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Jilid 1, 297, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 426.

43 Dia bernama Ṭanṭāwiy bin Jauhariy Al-Miṣriy, lahir di daerah ‘Iwadh Allah

Hijāziy pada tahun 1287 H atau 1870 M, dan wafat 1358 H atau 1940 M. Di masa hidupnya ia disibukkan dengan kajiannyas di bidang tafsir dan ilmu hadis hingga melahirkan karya tulis monumentalnya Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm. Karyanya ini dilatarbelakangi oleh gagasan besarnya tentang adanya ketakjuban terhadap alam dan keindahan makhluk. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 2, 505-506, dan Faḍl Hasan Abas, Al-Mufassirūn, Madārisuhum wa Manāhijuhum

(Yordan, Dār al-Nafā`is li Al-Naṣr wa Al-Tauzī’, 2007), 301-302. Selanjutnya disebut Abas, Al-Mufassirūn.

44 Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, lahir

(18)

penting. Selain itu pakar tafsir bi al-Ishārah45 tidak ketinggalan

dilibatkan untuk memperkaya maknanya, semisal al-Qushaeriy (376-465 H)46 dalam menafsirkan ayat-ayat yang menampung term muḥsin

mengkaitkannya dengan hadis Nabi tentang tiga unsur agama, yakni islam, iman, dan ihsan. Hadis tersebut berbentuk dialog antara Nabi dengan malaikat Jibril as. Pertanyaan malaikat Jibril tentang ihsan dijawabnya dengan mengemukakan bahwa; Ihsan ialah beribadah kepada Allah seolah-olah kamu Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kamu.47

Sudah menjadi kenyataan di kala Al-Qur`an menawarkan muḥsin

sebagai konsep insan ideal, para pakar tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat ihsan, di samping memiliki persamaan, terdapat pula perberbedaan interpretasi di antara mereka. Hal ini wajar dikarenakan term muḥsin

Hukm ‘Ilm Manṭiq. Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr – Al-Jāmi’ Bayna Fannay Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat min ‘Ilm Al-Tafsīr, (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyat, t.t), Juz 1, 3-8. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr. Dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 337-338.

45 Tafsir bi al-ishārah (ishāriy) menakwilkan ayat-ayat Al-Qur`an berbeda

dengan arti lahirnya berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak jelas bagi para pemimpin suluk, tetapi dapat ditemukan dengan maksud makna lahirnya. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 2, 352.

46 Al-Qushairiy memiliki nama lengkap ‘Abd Al-Karīm bin Ḥawāzin bin ‘Abd

Al-Mālik bin Ṭalḥah bin Muhammad Al-Naisābūriy Abū Al-Qāsim Al-Qushairiy lahir pada tahun 376 H di desa Istuwa wilayah Naisabur Khurasan Iran dan wafat pada tahun 465 H di Naisabur. Pemikirannya dipengaruhi oleh guru-gurunya yang menjadi ulama besar, di antaranya Ibn Faurak dan Abū Ishāq al-Isfirāyīniy. Pergumulan keilmuannya berakhir di pangkuan gurunya yang sufi Abī Ali Al-Daqqāq hingga ia menjadi sufi. Karya tulisnya yang terkenal, menggambarkan kesufiannya, di antaranya Risālah Al-Qushairiyyah, Shikāyat Ahl Al-Sunnah, Kitāb Al-Taisīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr, dan Laṭā`if Al-Ishārāt. Ibn Khallikān, Wafiyyāt Al-A’yān, Jilid 3, 176-178, dan Al-Subukiy,

Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah, Juz 3, 150-155, serta Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 125-127, juga Muqaddimah yang ditulis oleh Manī’ ‘Abd al-Halīm, guru besar Tafsir dan Ilmu Hadis di fakultas Ushuluddin Universitas Azhar, dalam Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, Ba.

47 Hadis riwayat Muslim memiliki redaksi yang berbeda dengan hadis yang

(19)

yang berasal dari ihsan termasuk pada al-wujūh48 yang oleh al-Zarkashiy

diartikan sebagai kosakata yang mempunyai makna ganda (lafaẓ

al-mushtarak) yang digunakan untuk makna beragam.49

Perbedaan penafsiran di antara mereka apakah memiliki porsi yang memadai untuk menggambarkan profil muḥsin sebagai konsep pribadi ideal yang memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan konsep

Self Actualizer yang ditawarkan Maslow, mengingat perbedaan pendapat

tersebut memasukan eksistensi muḥsin ke dalam ruang lingkup makna yang membutuhkan penjelasan yang teliti, sekaligus perbedaan tersebut menggambarkan perbedaan paradigma dan wawasan mereka. Meski, di satu sisi, perbedaan tersebut dapat dipahami sebagai hazanah intelektual muslim yang bermuatan rahmat dan sebagai keniscayaan yang alami. Akan tetapi, di sisi lain, manakala tidak tepat meletakkannya berakibat negatif bagi umat Islam.

Abdullah bin Abbas ra (w. 68 H),50 misalnya, mengartikan

muḥsin dengan orang yang memperindah tutur kata dan perbuatan.51 Ini

berarti muḥsin adalah pelaku ihsan yang memiliki perangai mulia, yang konsisten berupaya menciptakan suasana komunikasi yang kondusif dengan berbagai pihak, baik dalam dimensi vertikal, horisontal maupun dengan lingkungan alam sehingga terhindar dari segala hal yang mendorong dan merangsangnya melakukan aktivitas yang tidak etis.

48 Salwa Muhammad Al-‘Awwal, Al-Wujūh wa al-Naẓā`ir fī al-Qur`ān (Mesir,

Dār al-Shurūq, 1998), 208-209. Selanjutnya disebut Salwa, Al-Wujūh.

49 Badr al-Dīn Muhammad bin ‘Abd Allah Al-Zarkashiy (w. 794 H), Al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`an (Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Jilid 1, 134. Selanjutnya disebut Al-Zarkashiy, Al-Burhān.

50 Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muṭallib bin Hashim bin

Abd Manaf Al-Qurashiy Al-Hashimiy, saudara sepupu Nabi saw. Lahir di Mekkah tiga tahun sebelum Hijrah dan wafat di Ṭaif pada tahun 68 H. Julukan al-Baḥr dilekatkan kepadanya karena`banyak ilmu yang dimiliki, predikat Ḥabr al-Ummat wa Turjumān Al-Qur`an (pemimpin ummat dan penterjemah Al-Qur`an) diterimanya sehubungan keistimewaan dan kemahiranya menafsirkan dan mena`wil Al-Qur`an, dan titel orang yang paling paham makna Al-Qur`an diberikan kepadanya oleh Umar bin khaṭab. Keberadaannya seperti ini menjadikannya menempati posisi yang agung dalam berijtihad dan mengetahui arti Al-Qur`an. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz

1, 65, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 236-237.

51 Tafsirnya tersebut berkaitan dengan surah Al-Baqarah/2 : 112. Majd Al-Dīn

(20)

Samarqandiy (w. 375)52 cenderung menginterpretasikan muḥsin

dengan pelaku monotaisme yang loyalis,53 tetapi dalam kesempatan lain

ia menafsirkannya dengan orang yang mempercantik amal,54 dan

al-Suyūṭiy (849-911 H)55 menafsirkannya sejalan dengan Samarqandiy,

mengidentikkan muḥsin dengan orang-orang beriman atau bertauhid.56

Ibn Kathīr (700-774 H) menafsirkan muḥsin sebagai orang yang mengikuti keteladanan Nabi saw (representasi pengamalan ajaran agama), yang menjadi salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal seseorang,57 tetapi dalam bagian lain penafsirannya tentang muḥsin

sebagai orang yang telah mencapai tingkat ketaatan tertinggi, karena

52 Samarqandiy mempunyai nama lengkap Abī Laith Nashr bin Muhammad bin

Ibrāhīm al-Samarqandiy. Tahun kelahirannya diperkirakan antara 301-310 H, dan tahun wafatnya diperselisihkan oleh para pakar tafsir antara tahun 373, 375, 376, 383, 393, dan 396 H. Julukan Al-Fāqih dianugerahkan para ulama kepadanya sehubungan keahliannya di bidang fiqih yang mumpuni. Di antara kitab fiqih yang terkenal sebagai karyanya adalah al-Nawāzil dan Khazānat al-Fiqh. Al-Dhahabiy, Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Juz 1, 224-225, dan lihat Ali Muhammad Mu’awwadh, Adil Ahmad Abdul Maujud, dan Zakariya Abdul Majid al-Nautiy dalam Abī Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrāhīm Al-Samarqandiy, Baḥr ‘Ulūm, Tafsir Samarqandiy, Mabḥath Al-Awwal Ḥayāt Abī Laith Al-Samarqandiy (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993), Juz 1, 6-7. Selanjutnya disebut Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm.

53 Seperti penafsirannya terhadap surat Al-Māidah/5 : 85. Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 454.

54 Sebagaimana penafsirannya terhadap surah al-Baqarah/2 : 112.

Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 150.

55 Nama lengkapnya Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān bin Abī Bakr bin

Muhammad Al-Suyūṭiy Al-Shāfi’iy, lahir pada bulan Rajab 849 H dan wafat pada malam Jum’at 19 Jumādī al-Ûlā 911 H. Sebagai pecinta Ilmu Al-Suyūṭiy belajar kepada para ulama besar hingga menjadi pakar di bidang ilmu tafsir, hadis, fiqh, nahwu, ma’ani, bayan, dan badi’. Karyanya yang monumental adalah al-Durr al-Manthūr fī Al-Tafsīr Al-Ma`thūr dan al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`an. Al-Dhahabiy, Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 1, h. 251-252, dan Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān bin Abī Bakr bin Muhammad Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al-Manthūr fī Al-Tafsīr Al-Ma`thūr (Beirut Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 3, 172. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Durr Al-Manthūr.

56 Ia menyatakan bahwa muḥsinīn adalah mu’minīn, dan barang siapa tidak

beriman, maka ia termasuk mufsidīn (orang-orang yang merusak bumi). Al-Sayūthiy,

Al-Durr Al-Manthūr, Jilid 1, 4-6.

57 Tafsirnya ini berkenaan dengan surah al-Baqarah/2 : 112. Menurutnya amal

(21)

ihsan dijadikannya sebagai faktor penentu yang mengantarkan suatu amal mencapai puncak kualitas.58

Al-Bayḍāwiy (w. 691 H) menginterpretasikan muḥsin adalah pribadi yang mempercantik amal dan akhlak.59 Penafsirannya

mendeskripsikan muḥsin sebagai sosok insan yang berorientasi kepada keunggulan kepribadian serta kualitas amal dan perilaku, ini berarti berupaya dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan mewujudkan sifat-sifat mulia dalam dirinya. Bagi Ṭanṭāwi al-Jauhariy (1287-1358 H)60 ihsan dinilainya mencakup segenap aspek kehidupan, seperti ihsan

di bidang karya dan aktivitas beramal serta di bidang ketaatan dengan menambah kegiatan yang disunatkan dan menyempurnakannya dengan cara menghadirkan hati dan ikhlas.61 Penafsirannya tentang ihsan yang

inklusif meletakkan posisi muḥsin sebagai sosok yang kaya amal berkualitas yang menjadi implikasi dari kepatuhan yang ilegan kepada Allah.

Al-Harāliy menyebutkan muḥsin (bentuk ajektif partisipal) berasal dari kosakata ihsan, dan meletakkannya pada tempat tertinggi yang menjadi puncak kebajikan amal perbuatan seseorang.62 Pendapatnya

yang apresiatif mengesankan muḥsin menjadi figur yang telah mencapai puncak tertinggi dalam kebaikan beramal.

Al-Qushayriy (376-465 H) menyatakan bahwa muḥsin ialah orang yang mengetahui sesuatu yang dikerjakan dan digunakannya, sehingga berbuat ihsan dengan konsisten dalam rangka membekali diri untuk

58 Makna ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap surah al-Baqarah/2 :

195. Baginya penggandengan perintah berinfak dengan perintah berihsan suatu hal yang signifikan, karena ihsan merupakan tingkatan taat yang tertinggi. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Jilid 1, 230.

59 Potret muḥsin tersebut berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah

al-Baqarah/2 : 195. Al-Bayḍāwiy, Anwār al-Tanzīl, Jilid 1, 109.

60 Ia menilai pentingnya penafsiran dengan corak keilmuan, karena menurutnya

ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak kurang dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang sharīh (jelas) berhubungan dengan fiqih hanya mencapai 150 ayat. Ṭanṭāwiy Jauhariy, Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm Al-Mushtamil ‘alā ‘Ajā`ib badā`i’ Al-Mukawwanāt wa Gharā`ib Al-Āyāt Al-Bāhirāt (Beirut, Dār Ihyā` Al-Turāth Al-‘Ārabiyyah, 1991), Juz 1, 3. Selanjutnya disebut Jauhariy, Al-Jawāhir.

61 Pendapatnya ialah ammā al-iḥsān fahuwa ‘alā manāh shattā ka al-iḥsān fī al-ṣinā’āt wa al-a’māl wa al-iḥsān fī al-ṭā’at wa hādhā qismayn: al-awwal; al-ziyādah fīhā bi al-Nawāfil wa yadkhulu fīhi al-iḥsān li al-nās wa al-thāniy; itmāmuhā kaḥuḍūr al-qalb fī al-ṣalāt wa al-Ikhlāṣ fī al-ṣadaqāt. Jauhariy, Al-Jawāhir, Juz 8, 186.

62 Ia menyatakan ihsan merupakan al-bulūgh ilā al-ghāyat fī ḥusn al-‘amal.

(22)

menghadapi hari akhirat sebagaimana tunduk kepada Allah dengan loyalitas tinggi dalam segala hal ihwalnya sehingga kehidupan dunia tidak melalaikannya dari mushāhadah dan kehidupan akhirat tidak menyibukkannya untuk melihat Allah.63 Konsep tersebut mencerminkan

penekanannya pada upaya mengasah aspek fisik dan sepiritualnya hingga mencapai tingkat tertinggi, yaitu ketundukan yang terlihat dari lahiriyahnya dan berusaha melihat Allah dengan ketajaman sepiritualnya, dengan kata lain lahiriyahnya sarat dengan semangat mengabdi dan sujud, sedangkan sepiritualnya tajam membuka tabir dan eksis. Hal ini sejalan dengan makna ihsan.64

Toshihiko Izutsu menyamakan kata muḥsin dengan muttaqin

(orang yang bertakwa). Sedangkan artinya yang konkrit, secara eksplisit, menurut Izutsu dapat digambarkan dalam sosok pribadi yang berorientasi kepada segala bentuk aktivitas kepatuhan,65 yang dijadikan contohnya

berkenaan dengan makna tersebut ialah surah Al-Dhāriyāt/51 : 15-19.66

Dengan mengutip surah Luqmān/31 : 3-5, surah Al-Kahfi/18 : 30, dan surah Al-Ṣaffāt/37 : 105-106, Izutsu mendudukkan muḥsin hampir sama dengan orang yang melaksanakan amal saleh.67 Pemaknaan tersebut

terinspirasi oleh pandangannya yang menyebutkan bahwa secara umum

aḥsana yang ajektif partisipalnya adalah muḥsin, bermakna berbuat baik,

tetapi dengan aktual Al-Qur`an memakainya untuk dua klasifikasi

63 Penafsirannya tersebut berhubungan dengan usahanya menyingkap makna

yang termuat dalam surah al-Baqarah/2 : 112. Al-Qushairiy, Lathā`if al-Isyārāt, Jilid 1, 99.

64 Al-Qushayriy, Lathā`if al-Ishārāt, Jilid 1, 99.

65 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur`ān (Montreel,

McGill Univercity Press, 1966), 224. Selanjutnya disebut Izutsu, Ethico.

66 Sebagai perbandingan pakar tafsir seperti Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan bahwa Muḥsin adalah pribadi yang mengisi hidupnya dengan kepatuhan dan amal shaleh. Ini berarti pada surah Al-Dhāriyāt/51 : 16 Allah swt mendudukkan term muḥsinīn sebagai predikat yang sepatutnya ditempuh oleh seseorang selama hidup di dunia untuk mencapai pribadi bertakwa yang menempati surga. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1762. Lebih jauh al-Rāziy menafsirkan muḥsinīn yang termaktub pada ayat tersebut berkaitan dengan harga surga yang layak dibayar dengan ihsan yang melekat pada diri muḥsin. Dengan kata lain para ahli ihsan mendapatkan dan memiliki surga karena ihsannya. Interpretasinya tersebut merujuk kepada surah Yūnus/10 : 26. Fakhr Al-Dīn Muhammad bin Umar bin Ḥusain bin Hasan ibn Ali Tamīmiy Bakriy Rāziy Al-Shāfi’iy (544-604 H), Al-Tafsīr al-Kabīr, Mafātiḥ Al-Ghayb (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1990), Jilid 14, Juz 28, 173. Selanjutnya disebut Al-Rāziy, Tafsīr Al-Kabīr.

(23)

kebaikan, yakni kepatuhan mendalam kepada Tuhan dan segenap perbuatan manusia yang bersumber darinya, serta segala kegiatan yang didorong oleh semangat ḥilm.68

Pendapat-pendapat di atas mewakili dua versi arus pemikiran tentang muḥsin, yaitu versi yang memahami muḥsin dengan wawasan luas dan mengintegrasikannya dengan segi-segi kehidupan manusia yang kompleks (komprehensif) serta versi yang memandang muḥsin dengan paradigma yang sempit dan parsial.

Meskipun demikian kedua versi arus pemikiran tersebut memiliki titik temu pada kesamaan penekanan muḥsin sebagai pribadi yang mempunyai sifat-sifat mulia dan mengedepankan kualitas amal dalam kerangka merasakan kebersamaannya dengan Tuhan, dan keduanya meletakkan muḥsin sebagai pribadi yang merepresentasikan profil insan berkepribadian unggul atau manusia ideal. Sedangkan perbedaan antara kedua pendapat tersebut terletak pada luas atau sempitnya cakupan.

Dalam konteks inilah dipandang penting melakukan telaah mengenai muḥsin sebagai manusia ideal dalam perspektif Al-Qur`an, terutama ayat-ayat ihsan dengan metode tafsir Mauḍū’iy bercorak

‘ilmiy.69 Terlebih jika telaah tersebut disertai pisau analisis psikologi

humanistik, khususnya mengenai kajian yang bertalian dengan karakteristik muḥsin yang mengandung dimensi psikis. Hal ini dilakukan dalam rangka menjelaskan keberadaan dan karakteristik muḥsin yang kental nuansa agamisnya, bahkan sarat metafisis.70 Sedangkan Maslow

dengan konsep self actualizer-nya melibatkan dimensi spiritual, hanya terkesan mencerca para agamawan, terutama para pemimpin agama yang memajukan lembaga keagamaan mereka.71 Konsepnya ini berjalan di atas

68 Izutsu, Ethico, 224.

69 Al-Qur`an mencantumkan ayat-ayat yang menunjukkan berbagai kenyataan

ilmiah dalam berbagai bidang, kendati tidak disebutnya nama ilmu pengetahuan itu atau diuraikannya secara rinci. Berbagai jenis ilmu pengetahuan membantu penafsiran sebagian makna al-Qur`an, dan besar manfaatnya untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam kandungan ayat-ayatnya. Pengungkapan berbagai kenyataan ilmiah itu perlu keberanian untuk menggali dan menyelami maknanya yang signifikan jumlahnya. Ahmad al-Shirbāṣiy, Qiṣṣat al-Tafsīr (Mesir, Dār Al-Qalam, 1962), 123. Selanjutnya disebut al-Shirbāṣiy, Qiṣṣat.

70 Hal ini berkenaan langsung dengan konsep dasar ihsan yang memberi

peluang bagi seseorang dapat melihat Tuhan atau merasakan penyertaan-Nya.

71 Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan

(24)

teori psikologi yang menggunakan pendekatan fenomenologis72 yang

memiliki peluang yang memadai untuk disandingkan dalam membaca karakteristik muḥsin lebih jauh mengingat pendekatan ini menekankan pada pengalaman subjektif. Bagi Maslow psikologi dinilainya dapat menjangkau urusan moral dan spiritual, meskipun dalam kesimpulannya kedua hal tersebut masuk dalam wilayah alam ramai dan sebagai bagian dari ilmu alam.73

Berangkat dari pemikiran di atas masalah pokok yang akan dikaji dalam disertasi ini adalah bagaimana pencitraan Al-Qur`an, terutama ayat-ayat ihsan secara hakiki terhadap muḥsin sebagai manusia ideal yang bisa jadi melebihi term-term lainnya seperti muslim, mukmin, muttakin, mukhlis, atau salih yang kesemuanya menunjukkan pada kualitas pribadi74 agar didapatkan potretnya yang komprehensif, yang

memungkinkan karakteristiknya melibihi konsep self actualizer-nya Maslow.

B. Perumusan Masalah

Pada bagian ini dipaparkan dua hal, yaitu: a. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Masalah yang penulis teliti tergolong pada wilayah kajian tafsir Al-Qur`an dengan metode tafsir Mauḍū’iy75 (tematik) sebagai metode

tafsir yang relevan dengan masalah yang diteliti dibandingkan dengan metode-metode lainnya, seperti Taḥlīliy, Ijmāliy, dan Muqāran,76

Sedangkan coraknya ialah ‘ilmiy.

Allport (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 166. Selanjutnya disebut Crapps, Dialog Psikologi dan Agama.

72 Pendekatan fenomenologis terhadap kerpibadian mencakup sejumlah teori

yang dalam beberapa hal berbeda tetapi mempunyai penekanan yang sama pada pengalaman subyektif - pandangan pribadi seseorang tentang dunia. Atkinson,

Introduction To Psychology, Jilid 2, 399.

73 Goble, The Third Force, 21. 74 Majid, Islam Doktrin, 41.

75 Yaitu ilmu yang membahas maksud-maksud Al-Qur`an dalam satu tema

dengan cara menghimpun ayat-ayat, baik dalam konteks satu surah atau lebih. Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy, 30, dan Abas ‘Awaḍ Allah Abas, Muhāḍarāt fī Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy (Damaskus, Dār Al-Fikr, 2007), 19. Selanjutnya disebut ‘Abbās,

Muhāḍarāt.

76 Metode tafsir pada prinsipnya terbagi ke dalam dua kategori, yaitu Mauḍi’iy

(25)

Adapun masalah yang dapat diungkap dan diidentifikasi dari tema Konsep Manusia ideal dalam Islam (Studi profil muḥsin dalam perspektif Tafsir Ayat-ayat Ihsan) adalah bertalian dengan masalah pencitraan Al-Qur`an terhadap makna dan potret pribadi muḥsin sebagai insan ideal untuk disandingkan dengan self actualizer-nya Maslow. Hal ini memiliki konsekwensi logis, yaitu munculnya masalah yang berhubungan dengan makna, karakteristik, martabat, keberadaan, dan tanggung jawab muḥsin

sebagai insan ideal yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur`an, terutama tafsir ayat-ayat ihsan. Kajian tentang karakteristik mempunyai kaitan erat dengan masalah kepribadian yang secara langsung menyeret profil

muḥsin ke dalam analisis psikologi yang dapat menyokong kepada

gambaran eksistensinya mengingat kepribadian muḥsin berdimensi psikologis yang kental spiritualitas dan metafisik. Pengawinan kedua bacaan antara Al-Qur`an dan tafsirnya dengan psikologi melahirkan masalah baru pendekatan apa yang tepat dalam mempersepsikan Al-Qur`an itu sendiri mengingat ada dua arus pemikiran besar di kalangan umat Islam tentang layak atau tidaknya ilmu pengetahuan barat yang objektif disertakan dalam menafsirkannya. Sebagian dari mereka menolak secara ekstrim, dan sebagian lainnya menerima.

Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana Al-Qur`an berbicara seputar muḥsin sebagai manusia ideal dan beberapa term yang memiliki hubungan makna dengannya, seperti term ‘adl, muslim,

mu’min, muttaqin, dan ṣālih serta karakteristik, martabat, keberadaan,

dan tanggung jawab muḥsin dengan pisau analisis psikologi dan pendekatan metodelogi yang tepat.

b. Pertanyaan Penelitian

Pokok masalah yang diteliti memerlukan deskripsi yang hati-hati agar dihasilkan kejelasan konsep muḥsin yang komprehensif. Untuk itu disusun rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dasar manusia ideal dalam perspektif psikologi humanistik Maslow yang anthropo-sentris?

2. Bagaimana konsep dasar muḥsin dan hubungannya dengan term

yaitu; Pertama; Berorientasi kepada satu porsi Al-Qur`an yang penafsirannya secara berurutan ayat demi ayat dari setiap surahnya (Mauḍi’iy). Taḥlīliy, Ijmāliy, dan

(26)

‘adl, muslim, mu’min, muttaqin, dan ṣālih dalam Al-Qur`an yang dapat membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi?

3. Bagaimana karakteristik dan martabat muḥsin sebagai manusia ideal menurut Al-Qur`an dengan pisau analisis psikologi humanistik Maslow?

4. Bagaimana keberadaan dan tanggung jawab muḥsin sebagai manusia ideal dalam Al-Qur`an dengan pisau analisis psikologi humanistik Maslow?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulis dalam meneliti masalah ini berhajat kepada pemaparan dua hal yang integratif, yakni tujuan dan kegunaannya, dengan maksud supaya penelitiannya terarah dan bermanfaat.

a. Tujuan Penelitian

1. Untuk menemukan data teoritis tentang konsep dasar manusia ideal dalam perspektif humanistik Maslow yang antropo-sentris, serta konsep dasar muḥsin dan hubungannya dengan term ‘adl,

muslim, mu’min, muttaqin,dan ṣālih dalam Al-Qur`an.

2. Untuk memahami karakteristik dan martabat muḥsin sebagai manusia ideal menurut Al-Qur`an dengan pisau analisis psikologi humanistik Maslow.

3. Untuk mengemukakan dengan cermat keberadaan dan tanggung jawab muḥsin sebagai manusia ideal dalam Al-Qur`an yang dikombinasikan dengan psikologi humanistik Maslow.

b. Kegunaan Penelitian

Dari sisi aksiologis penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bertambah wawasan mengenai konsep manusia ideal dalam Al-Qur`an yang terwakili oleh profil muḥsin yang dapat dipahami lebih jauh dari karakteristik dan martabatnya, serta keberadaan dan tanggung jawabnya dalam kehidupan yang didapatkan dalam teks-teks Al-Qur`an yang penafsirannya berserakan dalam kitab-kitab tafsir yang pada umumnya menggunakan metode Taḥlīliy dengan pisau analisis psikologi humanistik.

(27)

D. Kajian Pustaka

Tentang manusia ideal telah dikaji oleh para pakar, di antaranya pakar psikologi dan tafsir. Psikologi modern memberikan julukannya dengan ideal self (diri ideal). Jung (1875-1961 M) tokoh psikologi analitis77 menamainya dengan self archetype,78 konsepnya ini telah

melibatkan aspek spiritual mengingat menurutnya archetype (dibaca arketipe) adalah tuntutan-tuntutan yang bersifat spiritual, tidak sama sekali bersifat biologis, artinya bukan seperti insting dalam teori Sigmund Freud (1856-1939 M).79 Konsep arketipenya ini hingga mendudukkan

agama dan Tuhan sebagai arketipe.80

Rogers yang menjadi salah seorang psikolog humanistik menyangkut diri ideal menyebutnya dengan evolution and growth of the self .81 Baginya orang yang dapat memadukan dengan cocok antara self

concept (konsep diri) dengan organisme atau actual experience

(pengalaman nyata) akan mengalami perkembangan kematangan, penyesuaian, dan sehat mental, hubungan positif keduanya seperti ini merupakan congruence,82 dan keberadaan orangnya disebut denganfully

functioningperson (kepribadian yang berfungsi baik).83

Horney berangkat dari konsep diri yang mendasarkan kepada citra diri, terutama ketika menawarkan cara melihat orang yang neurotis (tidak sehat mental) menyebutkan bahwa diri adalah pusat keberadaan dan potensi seseorang. Apabila mentalnya sehat, tentunya ia memiliki konsepsi yang akurat tentang siapa dirinya, dan ia bebas merealisasikan potensinya tersebut (realisasi diri), sehingga Horney lebih cenderung menggunakan sebutan self realization ketimbang ideal self (diri ideal). Horney justeru menyebut ideal self ini berkaitan dengan kedirian orang neurotik yang selalu “terpecah” antara diri yang dibenci dan diri yang ideal, kemudian Horney menyatakan bahwa diri ideal ini bukanlah tujuan yang positif.84

77 Nama lengkapnya Carl Gustav Jung, lahir di Kesswyl Swiss pada 26 Juli

1875 M. Ia mengabdikan dirinya dengan penuh kesungguhan untuk menganalisis proses kepribadian manusia yang sangat luas dan dalam. Pada 6 Juni 1961 Jung meninggal dunia di Zurich dalam usia 85 tahun. Yūsuf, Teori Kepribadian, 71.

78 Sarwono, Berkenalan, 171. 79 Boeree, Personality, 107.

80 Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, 78. 81 Sarwono, Berkenalan

Referensi

Dokumen terkait

Sebab di antara mereka adalah para Rasul, para Nabi, orang-orang yang benar ( al-Siddîqûn ), dan para Syuhada yang jumlahnya lebih sedikit dari Ashâb al-Yamîn.

Jadi Aku berkata: "Al-Qur'an dan as-Sunnah hanya sebagai pemahaman para peneliti dan drama TV saat ini tanpa naskah bahwa matahari berputar dalam lingkarannya

Terhadap ayat yang mempunyai asba>b al-nuzu>l dari riwayat s}ah}ih yang menjadi pegangan para ahli tafsir, maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih dahulu.

Keenam, skripsi yang ditulis oleh Aghis Nikmatul Qomariyah dengan judul Penafsiran Bakri Syahid Terhadap Ayat-ayat al-Qur‟an dan Kewajiban Istri dalam Tafsir al-Huda

Begitu pula para ulama ahli tafsir yang mem- berikan penjelasan keutamaan tadabur Al- Qur’an dalam menafsirkan ayat-ayat terkait tadabur Al-Qur’an di dalam kitab tafsir me-

256 Di tempat yang berbeda, Majdi juga ikut mengatakan bahwa keberadaan kajian hadis-hadis jihad pada kitab Bulǔgh al-Marǎm Min ’Adillat al-Aḥkǎm di Pesantren

al- Ma’arij (70) ayat 19-35 adalah sebagai berikut: mengerjakan shalat pada setiap waktu yang ditetapkan, menunaikan zakat dan mengeluarkan sedekah, beriman kepada adanya

Katakanlah kepada wanita-wanita mukmin: Hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasan yang tersembunyi ini, kecuali kepada suami mereka, karena sesungguhnya para suamilah