• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN

2. Beribadah Mahdhah dan meyakini Akhirat

Maksud beribadah sebagai karakter muḥsin adalah melaksanakan

‘ibādah maḥḍah (ibadah murni dan langsung kepada Allah) dengan

menegakkan salat dan menunaikan zakat. Sedangkan maksud dari yakin akan akhirat ialah perwujudan dari aqidah yang benar.576 Ketiga-tiganya

secara eksplisit tercantum pada surah Luqmān/31 : 3-4. Ayat 4 yang memuat tentang penegakkan salat, pelaksanaan zakat, dan meyakini akhirat merupakan tafsir atau penjelasan term al-muhsinīn yang trertera pada ayat 3.

Adapun termaktubnya term al-muḥsinīn pada ayat 3 menjadi petunjuk akan kesempurnaan kepribadian. Mereka adalah orang-orang

571 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 339.

572 Ibn Kathīr mengutarakan bahwa Ma’iyyah khāṣṣah seperti ini diberikan oleh

Allah kepada orang yang bertakwa dan berihsan berupa pertolongan-Nya yang khas berbeda dengan ma’iyyah ‘āmmah (penyertaan umum) yang dirasakan oleh setiap manusia berupa pendengaran, penglihatan, dan pengetahuan. Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimasyqiy. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm (Tafsīr ibn Kathīr)

(Makkah Al-Mukarramah, Al-Maktabah Al-Tijāriyyah, 1987), Juz 2, 592. Selanjutnya disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm.

573 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 134.

574 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 36.

575 Ini adalah penafsiran Zamakhshariy atas ayat tersebut. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 120.

yang ma’rifat Allah yang melaksanakan ibadah seolah-seolah melihat atau merasa diawasi-Nya, serta berbuat ihsan kepada sesama hamba yang mendekat atau menjauh, yang patuh atau yang maksiat kepada-Nya.577

Secara kualitatif keadaan batin yang sarat keyakinan seolah-olah melihat Allah di kala melaksanakan ibadah tersebut menjadi motivasi kuat untuk mencapai yang terbaik. Dorongan psikologis seperti ini dalam gagasan Maslow disebut dengan meta-motivasi.578 Bagi mereka melihat-Nya bukan bayangan mengenai sesuatu yang fiktif dan maya, melainkan perasaan yang mendalam akan adanya Yang Maha Wujud yang mengawasi dengan aktif, dinamis, dan objektif seluruh gerak lahir dan batin dalam memenuhi hak-hak-Nya yang beragam.579

Sifat-sifat muḥsin ini kendati mirip dengan sifat-sifat orang bertakwa yang tercantum pada surah Al-Baqarah/2 : 3,580 tetapi

sesungguhnya secara kualitatif terdapat makna penjenjangan. Yang disebut pertama lebih unggul dibandingkan dengan yang disebutkan terakhir mengingat seorang muḥsin merealisasikan sifat-sifatnya dijiwai ihsan hingga mencapai derajat yang tertinggi, dan seorang yang bertakwa masih berada pada proses menempuh ke derajat tersebut. Jadi dapat dinyatakan bahwa sifat-sifat yang tercantum pada permulaan surah Al-Baqarah tersebut sebagai pemula, dan yang termaktub pada awal surah Luqmān di atas merupakan puncaknya.581 Dengan demikian sifat-sifat

orang takwa telah dimiliki dan dilalui oleh seorang muḥsin. Sedangkan sifat-sifat seorang muḥsin belum dicapai sepenuhnya oleh seorang yang bertakwa, tetapi patut dilaluinya, supaya mencapai puncak kualitas amal.

Seorang muḥsin dalam beribadah seperti menegakkan salat tidak semata-mata memenuhi persyaratan lahiriah seperti menutup aurat, bersuci dari hadas dan najis, menghadap kiblat, mengetahui waktu salat, dan memilih tempat yang suci, melainkan melibatkan aspek batiniah yang berorientasi pada kualitas kedekatan dengan Tuhan.

Bagi muḥsin menutup aurat melambangkan menutup aurat batin,

577 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Iṣhārāt, Jilid 5, 128-129, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 6, 5.

578 Goble, The Third Force, 47.

579 Muhammad Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy min Al-Islām, Baḥth fī Al-Khuluq wa Al-Sulūk wa Tahdhīb Al-Nafs (Damsyiq, Dār Al-Qalam, 2005), 63. Selanjutnya disebut Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy.

580 Ibn Kathīr menyatakan bahwa terdapat kaitan antara surah Luqmān/31 : 3-4

dengan surah Al-Baqarah/2 : 2-4. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Jilid 3, 442.

yakni membersihkan hati dari kecacatan dengan cara melebur diri kepada-Nya. Bersuci dari hadas dan najis berarti mensucikan hati dari ketergantungan kepada dunia atau materi yang kasar. Melaksanakan salat pada tempat yang suci membuahkan sikap konsisten kepada hukum-hukum-Nya. Mengetahui waktu salat melahirkan prilaku proporsional dalam bertindak antara mewujudkan sifat rendah hati dan membanggakan diri. Menghadap ke arah kiblat menghasilkan mutu menghadapkan diri kepada Allah dengan menghubungkan hati kepada-Nya dalam segala keadaan.582

Dengan kata lain, seorang muḥsin melaksanakan salat pada waktunya dengan konsisten dan berkesinambungan serta menghadirkan hatinya hingga salat itu berjalan dengan sendirinya dan jelas arahnya sebagai implementasi dari kemampuannya memenuhi syarat dan etika ibadah. Demikian profil muḥsin yang agamanya melekat dan menyatu dalam kehidupannya hingga seaka-akan melihat Allah swt akibat dari kemampuannya medayagunakan Al-Qur`an sebagai petunjuk hidup dan memandangnya dengan mata hati sampai berada pada puncak kemuliaannya.583 Sikap hidup yang berorientasi kepada hakekat sesuatu

dalam bacaan psikologi Maslow merupakan esensialitas, hakiki, bersifat abstrak, dan sempurna yang masuk dalam kategori Being-velues (B-velues).584

Nabi saw memerintahkan umatnya agar berihsan dalam melaksanakan salat hingga manfaatnya dirasakan langsung oleh dirinya sendiri.585 Salat seorang muḥsin tidak hanya absah syarat dan rukunnya,

582 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 129.

583 Abū Ḥayyān berpendapat bahwa penyebutan secara khusus term muḥsinīn

pada ayat 3 adalah liannahum hum ladhīna intafa’ū bihi wa naẓarūhu bi ‘ain al-haqīqat (karena mereka memiliki kemampuan memanfaatkan Al-Qur`an dan melihatnya dengan mata hakiki). Lebih jauh Abū Ḥayyān menafsirkan pengulangan isim iṣārat

Ulā`ika” pada surah Luqmān/31 : 5 “Ulā`ika ‘alā hudan min Rabbihim wa ulā`ika hum al-mufliḥūn” merupakan “tanbīhan ‘alā ‘iẓāmi qadrihim” (menekankan bahwa muḥsin

berada pada puncak kemuliaan). Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179..

584 Goble, The Third Force, 47-48. B-Values (being Values) adalah motif

perkembangan manusia yang mengarah pada nilai-nilai kebaikan, seperti kebenaran, kesempurnaan, esensialitas, hakiki, abstrak, keadilan, kesederhanaan, sifat penuh makna, ketertiban, keindahan, dan nilai-nilai positif lainnya, yang juga diistilahkan oleh Maslow sebagai metamotivation. Robert W Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan AM. Harjana, Dialog Psikologi dan Agama (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 162-163. Selanjutnya disebut Crapps, Dialog.

585 Muḥyi Al-Dīn Yahya bin Sharaf Abī Zakariyā Al-Nawawiy Al-Damshiqiy

Al-melainkan memantul ke dalam setiap gerakan yang disertai dengan hati yang khusuk, ketenangan batin, konsenterasi penuh, dan keikhlasan kalbu dalam merasakan kehadiran-Nya.586 Nabi saw dengan titahnya berpesan

agar salat dilaksanakan dengan ihsan, khusuk, menyempurnakan ruku dan sujud, serta memperkenankan pelaksanaan salat disertai dengan sumpah,587 agar tercapai tingkat tertinggi yaitu mushāhadat al-Haq atau

ma’rifat Allah yang berarti melihat Allah (ka annnaka tarāh) atau

tercapai tingkatan yang lebih rendah, yakni khashyat Allah yang berarti takut kepada-Nya (fain lam takun tarāh fainnahu yarāk)588 yang menjadi

inti ihsan dalam diri muḥsin.

Salat bagaikan manusia, terdiri dari dua unsur utama, jasad dan ruh. Gerakan dan ucapannya bagaikan jasad, sedangkan ruhnya adalah khusuk dan ikhlas. Keduanya merupakan sesuatu yang integral. Manakala ada ruhnya salat terkesan hidup, berkualitas, dan berimplikasi positif terhadap pelakunya, baik di saat melaksanakan atau sesudahnya. Khusuk dan ikhlas merupakaan jelmaan dari ihsan, sementara ihsan bukan semata-mata sebagai pengetahuan dan amal biasa, akan tetapi ihsan adalah sebagai perilaku luhur yang memerlukan dukungan kemampuan khusus yang dapat menjadikan segala sesuatu mencapai tingkat yang sempurna baik kualitas maupun orsinilitasnya589 berupa

seolah-olah melihat Allah atau merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya, meski tidak melihat dengan mata kepala. Upaya mengintegrasikan sesuatu yang menjadi perwujudan dari sifat yang cenderung kepada kesatuan (unities) dalam pandangan Maslow merupakan karakteristik self actualizaation.590

Sebagai pelaksana salat dengan berkualitas seorang muḥsin

mengamalkannya tidak terbatas pada waktu-waktu yang telah ditentukan semata, melainkan melakukannya hingga di malam hari di antaranya salat

Turāth Al-‘Arabiy, 2000), Jilid 3, 246-247. Selanjutnya disebut Al-Nawawiy, Al-Minhāj.

586 Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 68. 587 Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 3, 247.

588 Ahmad ibn Ali ibn Ḥajar Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Bāriy Sharḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1997), juz 1, 160. Selanjutnya disebut Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Al-Bāriy.

589 Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 68

590 Abraham Harold Maslow, Motivation and Personality (New York, Revised

by Robert Froger, James Fadiman, Cynthia McReynolds, Ruth Cox, Third Edition, Longman, 1987), 149. Selnajutnya disebut Maslow, Motivation, dan Goble, The Third Force, 47.

tahajud mengingat seorang muḥsin sedikit sekali tidur di waktu malam. Ini merupakan kandungan makna surah Al-Dhāriyāt/51:17 yang mencitrakan profil muḥsin sebagai pribadi yang telah mencapai puncak keistimewaan amal karena mengagungkan dan mencintai Allah hingga melekat dalam kehidupannya, perhatiannya terhadap diri sendiri minim sekali. Hal ini dibuktikan dengan melakukan tidur di malam hari sebentar sekali, padahal waktu malam merupakan kesempatan untuk beristirahat dan memenuhi kebutuhan biologis serta mengobati kelelahan, sebagian besar waktunya justru digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seperti melaksanakan salat tahajud sampai akhir malam.591 Ayat ini

menjadi tafsir ayat sebelumnya (Al-Dhāriyāt/51:16) yang kosakata terakhirnya termaktub term muḥsinīn,592 dan term muḥsinīn tersebut

merupakan makna dari term muttaqīn (orang-orang yang bertakwa atau orang-orang yang taat) yang tercantum pada ayat 15 surah yang sama. Dengan kata lain yang dimaksud orang yang taat adalah orang-orang yang muḥsin.593

Keistimewaan pribadi muḥsin disebutkan pula oleh ayat berikutnya bahwa mereka selalu istighfār (mohon ampun kepada Allah) pada akhir malam. Istighfār berarti melaksanakan salat594 mengingat

dengan salat mereka berharap mendapatkan ampunan Allah.595 yang

dilakukan seorang muḥsin melibatkan faktor lahir dan batinnya sepanjang hidupnya sebagai usaha sungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari berbagai dosa yang melekat. Dirinya dinilai sendiri sebagai pribadi yang

591 Al-Biqā’iy menyatakan bahwa pencantuman kata pada ayat tersebut

berkenaan dengan kata yahja’ūn (tidur sebentar) menekankan ketidaktiduran mereka. Menurutnya al-Ḥujū’ berarti al-Naum al-Khafīf al-Qalīl (tidur sebentar untuk istirahat menghilangkan lelah). Adapun dicantumkannya kata al-layl (malam) untuk menekankan makna ayat bahwa yang dimaksuk al-Hujū’ adalah benar-benar tidur di malam hari. Oleh karena itu maksud ayat adalah mereka menghidupkan waktu malam dengan ibadah dan menggunakannya untuk tidur sebentar sekali. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.

592 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275, dan Al-Jauziy, Zād al-Masīr, 1348. 593 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 13, 332.

594 Muhammad Shukrī Ahmad Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk (Mesir, Dār

Al-Salām, 1999), Jilid 1, 242. Selanjutnya disebut Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk.

595 Al-Jauziy dalam menafsirklan ayat ini mengkaitkannya dengan surah Ali

‘Imrān/3:17, ia menyatakan bahwa term istighfār mempunyai dua makna, yaitu:

Pertama; Menurut Ibn Mas’ud beristighfar dengan lisan sebagaimana lazimnya dilakukan kebanyakan orang. Kedua; Menurut Al-Ḍahāk beristighfar adalah melaksanakan salat mengingat dengan salat seseorang berharap mendapatkan ampunan Allah. Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 182.

banyak berbuat kesalahan yang tidak mungkin ditanggulangi dengan

istighfār keculai bila disertai dengan baṣīrah (ketajaman mata hati) yang

dapat melihat dengan jernih kebesaran Tuhan yang tidak terhingga pada totalitas dirinya dan alam semesta.596 Sikapnya memperbanyak istighfār

pertanda besarnya rasa takut kepada Allah,597 meski ibadah yang

dilaksanakannya sudah sedemikian banyak598 dan kepatuhan kepada-Nya

sedemikian kuat599 yang disertai keikhlasan.

Kepatuhan seorang muḥsin diaktualisasikan pula dengan melaksanakan zakat yang dijiwai keikhlasan karena keikhlasan memiliki peranan yang menentukan bagi diterima atau ditolaknya zakat. Keikhlasan berimplikasi secara subtansial bagi muzakki yang memiliki kedermawanan yang terbebas dari kekikiran.600 Ikhlas dalam kaitannya

dengan mematuhi ketentuan Allah swt berarti meninggalkan riya, ikhlas bersifat konstruktif dan riya berwatak destruktif, karena; Pertama, Riya adalah sifat orang kafir. Kedua, Riya merusak pahala amal seseorang.

Ketiga, Riya dalam zakat atau sedekah melekat pada orang yang senang

menyebut-nyebut infaq yang dilakukannya dan menyakiti orang yang menerimanya.601

Seseorang yang berbuat riya ditandai dengan kesukaannya menyebut-nyebut sedekah yang dilakukannya karena mengharapkan pujian dan sanjungan sesama manusia, dan tidak menginginkan

596 Al-Biqā’iy menyebutkan bahwa kata ganti hum yang termaktub pada surah

Al-Dhāriyāt/51:18 mengisyaratkan mereka mengamalkan istighfār dengan menyertakan unsur lahir dan batin selama masa hidupnya. Sedangkan kata al-Asḥār berarti seper enam dari akhir malam hari. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.

597 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 182.

598 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 13, 333. 599 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.

600 Makna ini dirujuk kepada Al-Biqā’iy yang menyatakan bahwa perintah

berihsan karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan yang terletak setelah perintah berinfak dan larangan menghancurkan diri sendiri dengan tangan sendiri (yang diartikannya dengan kikir, karena kikir merupakan faktor yang mempercepat menuju kehancuran) seperti yang tercantum pada surah Al-Baqarah/2 : 195 bermakna umum termasuk di dalamnya adalah memperbanyak infak dan berbaik sangka kepada-Nya, sesungguhnya Allah memuliakan, mengangkat derajat, menolong, dan mencukupkan kebutuhannya sebagai perwujudan dari kecintaan-Nya. Al-Biqā’iy,

Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 368.

601 Abī Al-Faḍal Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid Mahmud Al-Baghdadiy Al-Alūsiy, Rūh Al-Ma’ānī fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm wa Al-Sab’ Al-Matsāniy (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), Jilid 2, 34-35. Selanjutnya disebut Al-Alūsiy, Rūh Al-Ma’ānī

keridhaan Allah. Sedekah yang terpuji adalah sedekah yang dilakukan seseorang disertai dengan niat yang tulus (karena Allah) dan tidak dibarengi mengungkap-ungkap pemberiannya, tidak menyakiti perasaan orang yang diberi, dan tidak mengharapkan pujian, sanjungan, dan balas budi.602

Berkaitan dengan sedekah yang disunnahkan lebih baik dilakukan dengan sirr (tersembunyi atau tidak berkehendak dinilai orang). Apabila dilakukannya dengan riya, maka pahalanya hilang dan diangggap tidak bersedekah, akan tetapi bebas dari ancaman Allah. Sedangkan sedekah wajib jika diamalkannya dengan riya, maka hilang pahalanya dan dinilai tidak bersedekah, malah justru mendapatkan ancaman-Nya.603

Pemahaman yang berpijak pada afḍaliyyah (keutamaan) tersebut tidak berarti menutup kesempatan mendapatkan nilai tambah bagi sedekah yang dilaksanakan dengan terbuka dan dilihat orang banyak, mengingat subtansinya terletak pada niat hati pelakunya disertai riya atau ikhlas. Selama pelakunya tidak bermaksud riya, maka akan memperoleh pahala, meski sedekahnya dilakukan dengan terbuka, seperti bertujuan menyiarkan agama Allah atau memberikan rangsangan kepada pihak lain agar berbuat yang serupa, atau bermaksud melakukan tindakan prefentif terhadap pihak-pihak yang berprasangka buruk, karena boleh jadi orang kaya dinilai kikir oleh banyak pihak disebabkan sedekahnya dikeluarkan tanpa dilihat mereka.604

Dilihat dari motivnya, tersembunyi atau terang-terangan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menentukan sedekah seseorang tergolong dilakukan dengan ikhlas atau riya. Pandangan yang menyatakan bahwa sedekah yang dilaksanakan dengan terang-terangan termasuk riya, dan yang dilakukan dengan tersembunyi tergolong ikhlas tidak relevan lagi. Justeru dapat dinyatakan sebaliknya bahwa sedekah yang dilakukan dengan terang-terangan patut disebut amal yang ikhlas selama

602 disebut Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 4, Juz 7, 47.

603 Ini pendapat imam Malik. Abī Abd Allah Muhammad Anṣāriy

Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an (Tafsīr Al-Qurṭubiy) (Kairo, Maktabah Al-Riyāḍ Al-Hadīthah, t.t), Jilid 3, 312. Selanjutnya disebut Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’. Nama lengkap imam Malik ialah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Anas yang masyhur diberi julukan Imam Dār al-hijarah, lahir tahun 95 H dan wafat pada 179 H. Al-Suyūṭiy, Tanwīr Al-Hawālik sharh Muwaṭṭa’ Al-Imām Malik (Beirut, Dār Al-Fikr, t.t), Juz 1, 3. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Tanwīr.

604 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan urutan turunnya Wahyu (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 627. Selanjutnya disebut Shihab, Tafsir Atas Surat-surat Pendek.

motivasinya terkait dengan Allah swt. Sedangkan sedekah yang dilakukan dengan tersembunyi layak dinyatakan sebagai amal yang riya, manakala subjeknya mempublikasikan keikhlasan dirinya. Dengan demikian ibadah kepada Allah dan amal baik kepada sesama manusia tergantung pada ketulusan atau tidaknya hati.605 Kendati demikian

pendapat yang meletakkan sedekah dengan sirr atau sembunyi-sembunyi lebih utama ketimbang terang-terangan dalam rangka ikhtiyāṭ (hati-hati) layak dihormati mengingat sifat kalbu manusia yang berubah-rubah dan mudah tergoda.606

Alhasil secara normatif riya merusak zakat atau sedekah yang dilaksanakan seseorang. Sedangkan ikhlas mengantarkannya dan orang yang melakukannya mencapai kualitas yang tinggi hingga mendapatkan penghargaan yang layak dari Allah swt berupa keridhaan-Nya. Hal ini sejalan dengan peranan dan tujuan disyareatkannya zakat atau sedekah, yakni, membersihkan orang yang melakukannya dari sifat al-bukhl atau kikir, al-ṭama’ atau rakus, dan sikap keras terhadap orang fakir, serta menambah kebaikan dan keutamaan baginya hingga memperoleh derajat yang tinggi dengan menempati posisi al-abrār atau orang-orang yang berbuat baik serta mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan

605 Ibn ‘Aṭiyyah menyebutnya adaqah dilaksanakan tulus atau riya tergantung

niat mengingat sifat riya ditentukan oleh sikap pelakunya yang menampakan

adaqahnya disertai dengan kebanggaan dan kecongkakan. Ibn ‘Aṭiyyah, Abī Muhammad ‘Abd Al-Ḥaq Al-Andalusiy, Muḥarrar Wajīz fī Tafsīr Kitāb Al-‘Azīz (Beirut, Dār Ibn Haram, 2002), 242. Selanjutnya disebut Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar.

Berkenaan dengan niat atau motivasi seseorang dalam adaqah Ibn Abī Hātim, Ibn Kathīr, dan Baydhâwiy mengutarakan bahwa surah Al-Baqarah/2 : 274 memuji orang yang berinfak di jalan Allah swt pada setiap waktu dan keadaan dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan-Nya, baik melakukannya di siang hari maupun malam hari, dengan terang-terangan atau tersembunyi. Pemahaman ini semakin relevan, apabila dihubungkan dengan sabab turunnya. Ayat ini memuji Ali bin Abi Thalib ra yang memiliki uang sebanyak empat dirham, kemudian ia menginfakkan satu dirham di malam hari, satu dirham di siang hari, satu dirham dengan tersembunyi, dan satu dirham dengan terang-terangan. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 1, 326, dan Ibn Abī Hātim, Tafsīr Al-Qur`ān, Jilid 2, 543, serta Al-Bayḍāwiy, Anwār al-Tanzīl, Jilid 1, 141.

606 Argumentasi yang dijadikan rujukan pendapatnya ialah pengungkapan “ al-layl” (malam hari) yang termaktub pada ayat di atas didahulukan dari pada al-nahār

(siang hari) dan penyebutan sirran (terahasia) lebih dahulu dibandingkan dengan alāniyatan (terbuka) menunjukkan makna afḍaliyyah (keutamaan). Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 4, Juz 7, 74.

akhirat.607

Ikhlas bukan perilaku batin yang setatis, sekali tertanam dalam diri seseorang kemudian terpateri selamanya, tetapi dinamis dan mengenal perubahan, serta mengalami pasang-surut, ikhlas membutuhkan upaya pelestarian dan peningkatan. Sebagai aktivitas batin, ikhlas merupakan nilai yang tersembunyi atau terahasia, yang tidak mudah dilihat dan dinilai orang lain. Allah swt Yang Maha Tahu sebagai Pihak Yang Maha Pertama mengetahui keadaan keikhlasan seseorang, dan diri sendiri sebagai pihak berikutnya yang dapat mengenalnya.608

Sebagai ruh, ikhlas menentukan aktivitas hidup seseorang, menjadi amal shaleh atau tidak dan menjadi layak atau tidak mendapatkan penghargaan Allah swt serta menjadi media untuk mendekatkan diri atau tidak kepada-Nya. Dengan keikhlasan ibadah seseorang menjadi hidup hingga berjalan menuju keridhaan Allah swt, dan tanpa keikhlasan ibadahnya akan sirna dan gugur dalam meraih

607 Ahmad Muṣṭafa Al-Marāghiy, Tafsīr al-Marāghiy (Beirut, Dār Ihyāi

Al-Turāth Al-‘Arabiy, t.t), Juz 11, 15-16. Selanjutnya disebut Al-Marāghiy, Tafsīr al-Marāghiy.

608 Dalam pandangan Al-Tustariy, seorang Sufi (200-283 H); Riya dapat terjadi

pada tiga tahapan aktivitas manusia, yaitu: Pertama, Riya terdapat sebelum atau sejak awal aktivitasnya, semacam sejak sebelum sedekah seseorang bermaksud melakukannya tidak karena Allah, tetapi supaya tidak dicela oleh manusia. Kedua, Riya muncul di saat sedang melakukan suatu kegiatan. Ini berarti pada mulanya riya belum ada dalam hatinya. Namun di kala sedang melakukannya terpancing oleh kehadiran seseorang, maka riya berkembang menguat dalam hatinya hingga melakukan hal-hal yang mengundang perhatian orang lain dan bergeser dari niat karena Allah. Ketiga, Riya terjadi setelah selesai beramal. Ini menunjukkan amal sejak awal sampai akhir dilaksanakan dengan ikhlas, tetapi setelah itu ada orang yang memuji dan menyanjungnya hingga hatinya berbunga-bunga. Penampilan seperti ini mengakibatkan riya, apabila pujian dan kekaguman itu dijadikan tangga untuk memperoleh sesuatu yang bersifat duniawi. Dan manakala pujian itu sekedar didengar dengan rasa sukur dan gembira tanpa menjadi media untuk meraih sesuatu yang bersifat duniawi, maka tidak termasuk riya. Shihab, Tafsir Atas Surah-surah Pendek, 626-627.

Dari aspek tujuannya riya terbagi menjadi beberapa model: Pertama; Memperindah perangai, tetapi untuk mendapatkan kebanggaan dan sanjungan. Kedua; Riya dengan berbaju pendek dan kasar supaya mendapatkan bentuk zuhud di dunia.