• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang manusia ideal telah dikaji oleh para pakar, di antaranya pakar psikologi dan tafsir. Psikologi modern memberikan julukannya dengan ideal self (diri ideal). Jung (1875-1961 M) tokoh psikologi analitis77 menamainya dengan self archetype,78 konsepnya ini telah

melibatkan aspek spiritual mengingat menurutnya archetype (dibaca arketipe) adalah tuntutan-tuntutan yang bersifat spiritual, tidak sama sekali bersifat biologis, artinya bukan seperti insting dalam teori Sigmund Freud (1856-1939 M).79 Konsep arketipenya ini hingga mendudukkan

agama dan Tuhan sebagai arketipe.80

Rogers yang menjadi salah seorang psikolog humanistik menyangkut diri ideal menyebutnya dengan evolution and growth of the self .81 Baginya orang yang dapat memadukan dengan cocok antara self

concept (konsep diri) dengan organisme atau actual experience

(pengalaman nyata) akan mengalami perkembangan kematangan, penyesuaian, dan sehat mental, hubungan positif keduanya seperti ini merupakan congruence,82 dan keberadaan orangnya disebut denganfully

functioningperson (kepribadian yang berfungsi baik).83

Horney berangkat dari konsep diri yang mendasarkan kepada citra diri, terutama ketika menawarkan cara melihat orang yang neurotis (tidak sehat mental) menyebutkan bahwa diri adalah pusat keberadaan dan potensi seseorang. Apabila mentalnya sehat, tentunya ia memiliki konsepsi yang akurat tentang siapa dirinya, dan ia bebas merealisasikan potensinya tersebut (realisasi diri), sehingga Horney lebih cenderung menggunakan sebutan self realization ketimbang ideal self (diri ideal). Horney justeru menyebut ideal self ini berkaitan dengan kedirian orang neurotik yang selalu “terpecah” antara diri yang dibenci dan diri yang ideal, kemudian Horney menyatakan bahwa diri ideal ini bukanlah tujuan yang positif.84

77 Nama lengkapnya Carl Gustav Jung, lahir di Kesswyl Swiss pada 26 Juli

1875 M. Ia mengabdikan dirinya dengan penuh kesungguhan untuk menganalisis proses kepribadian manusia yang sangat luas dan dalam. Pada 6 Juni 1961 Jung meninggal dunia di Zurich dalam usia 85 tahun. Yūsuf, Teori Kepribadian, 71.

78 Sarwono, Berkenalan, 171. 79 Boeree, Personality, 107.

80 Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, 78. 81 Sarwono, Berkenalan, 171.

82 Yūsuf, Teori Kepribadian, 144-145. 83 Wilcox, Personality, 296.

Kajian berikutnya dilakukan oleh beberapa pakar dan peneliti tentang konsep manusia ideal yang disebutnya dengan al-insān al-kāmil. Pembahasannya lebih menekankan pada perspektif tasawuf seperti disertasi Yunasril Ali yang telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insān Kāmil Ibn

‘Arabiy oleh al-Jīliy.85 Dalam karya ini dijelaskan konsep insān kāmil

Ibn ‘Arabiy dielaborasi oleh al-Jīliy. Keberadaan buku ini membantu bagi penulis untuk melakukan kajian dalam disertasi ini.

Adapun kajian tentang tafsir dengan metode mauḍū’iy yang tema kajiannya tentang manusia seperti yang dilakukan ‘Āishah ‘Abd Al-Raḥmān bintu Shāṭi` dalam buku hasil karyanya bertajuk Al-Qur`an wa

Qaḍāyā al-Insān menjelaskan konsep manusia secara umum, walaupun

di dalamnya terdapat kajian yang spesifik mengenai perbedaan makna terma al-insān, al-nās, dan al-bashar dalam Al-Qur`an yang banyak memberikan inspirasi dan andil cukup besar dalam penulisan disertasi ini. Demikian pula yang dilakukan oleh pakar tafsir Rif’at Syauqi melahirkan karya ilmiah berupa buku yang berjudul Kepribadian Qur`ani yang ditulis dengan pendekatan psikologi. Namun pembahasan tentang kepribadiannya tersebut belum terfokus pada al-muḥsin sebagai profil insan ideal yang menempati martabat tertinggi mengingat kajiannya yang bersifat umum.

Muḥsin yang menjadi salah satu materi pembicaraan dalam

Al-Qur`an yang melahirkan multi tafsir, khususnya yang tercantum pada ayat-ayat ihsan layak untuk diteliti dengan seksama melalui metode

Mauḍū’iy86 yang bercorak ‘ilmiy agar dapat dipahami sebagai profil yang

85Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insân Kâmil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî, (Jakarta: Paramadina, 1997).

86 Keberadaan tafsir Mauḍū’iy sebagai metode yang berdiri sendiri dan

memiliki ciri sendiri berbeda dengan metode lainnya menjadi istilah baru yang muncul beberapa dasawarsa terakir atau abad 14 H, dipelopori oleh para dosen juruan Tafsir pada Fakults Ushuluddin Universitas al-Azhar di bawah prakarsa Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy. Namun tidak berarti pada masa sebelumnya model penafsiran ini tidak ada sama sekali. Akan tetapi para pakar masa lalu meski menulis tema tertentu tidak dapat digolongkan ke dalam pembahasan tafsir Mauḍū’iy, karena penafsiran mereka belum berpijak pada panduan, pendekatan atau metode, dan langkah-langkah yang berlaku pada metode tafsir Mauḍū’iy, melainkan mereka melakukan penafsiran pada wilayah yang sempit dan satu segi semata dengan melibatkan ayat-ayat dan surah-surah secara berurutan sesuai dengan urutan dalam muṣhaf Al-Qur`an, sehingga cenderung pada kajian ‘Ulūm Qur`an. Di antaranya ialah Tibyān fī Aqsām Al-Qur`an karya Ibn Qayyim Al-Jauziy, Majāz Al-Al-Qur`an tulisan Abū ‘Ubaidah, Mufradāt

merepresentasikan insan ideal. Para penafsir telah membahasnya dengan metode taḥlīliy yang menyebabkan penafsirannya tersebar dalam kitab tafsir mereka. Pembahasan ini berupaya melakukan kajian profil muḥsin

sebagai manusia ideal dalam persepektif Al-Qur`an, terutama berhubungan dengan penafsiran ayat-ayat ihsan dengan metode

maudhū'iy yang bercorak ‘ilmiy dan melibatkan pisau analisis psikologi

humanistik.

Abdullah bin Abbas (w. 68 H) misalnya, yang penafsirannya dikumpulkan oleh al-Fayrūzābādiy (729-817 H)87 sebagai salah seorang

penafsir dengan metode taḥlīliy dalam karyanya bertajuk Tanwīr

Al-Miqyās fī Tafsīr Ibn ‘Abbās di antaranya menafsirkan ayat-ayat yang

termaktub di dalamnya term muḥsin. Ibn Abbas menafsirkannya dengan bervariasi. Pribadi yang mempercantik ucapan dan perbuatan

dijadikannya sebagai tafsir muḥsin. Hal ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Baqarah/2 : 11288 dan memperindah

dalam berinfak di jalan Allah berkaitan dengan penafsirannya atas surah

Al-Baqarah/2 : 195.89Sosok yang bertauhid atau beriman menjadi tafsir

muḥsin bertalian dengan penafsirannya terhadap surah Al-Baqarah/2 :

23690 dan Ali ‘Imrān/3 : 148.91 Selain itu Ibn ‘Abbās menafsirkan muḥsin

yang termaktub pada surah Al-Taubat/9 : 100 dan Al-Naḥl/16 : 90 dengan orang yang melaksanakan berbagai kewajiban dan menjauhkan

Qur`an disusun oleh Rāghib al-Ashfahāniy, Asbāb al-Nuzūl dikarang oleh Al-Sayūthiy, dan Asbāb al-Nuzūl gubahan Abū Al-Hasan Al-Wāḥidiy. Quraish Shihab,

Membumikan Al-Qur’an (Bandung, Mizan, 1997), 114. Selanjutnya disebut Quraish Shihab Membumikan. Dan Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy, 39, serta ‘Abbās,

Muhāḍarāt, 13 dan 21.

87 Nama lengkapnya adalah Majd Al-Dīn Abū Al-Thāhir Muhammad bin

Ya’qūb bin Muhammad bin Ibarahim Al-Shayrāziy Al-Fayrūzābādiy Al-Shāfi’iy, lahir pada tahun 729 H dan wafat pada tahun 817 H. Di antara karya tulisnya di bidang tafsir adalah Bashā`ir Dhawī Tamyīz fī Laṭā`if Kitāb ‘Azīz fī Tafsīr, Tafsīr Fātihah, Durr Naẓīm Murshīd ilā Maqāṣid Qur`an ‘Aẓīm, Tanwīr Al-Miqyās fī Tafsīr Ibn ‘Abbās, Al-Taisīr fī Al-Tafsīr. Selain kitab tafsir Al-Fayrūzābādi menulis Al-Qāmūs Al-Muhīth fī Al-Lughah. Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 312-313, dan Shams Al-Dīn Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Dāwūdiy (w. 945 H),

Ṭabaqāt Al-Mufassirīn (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2002), 484. Selanjutnya disebut Al-Dāwūdiy, Ṭabaqāt.

88 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 17. 89 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 30. 90 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 38. 91 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 68.

diri dari perbuatan maksiat, 92 dan menafsirkannya sebagai orang yang

ikhlas berkenaan dengan surah Al-Kahfi/18 : 30,93 serta profil orang

saleh merupakan tafsirnya terhadap term muḥsin yang tercantum pada

surah Al-Aḥzāb/33 : 29.94

Al-Ḍahhāk (w. 105 H)95 menafsirkan ayat-ayat yang tertuang di

dalamnya term muḥsin semisal surah Yūnus/10 : 26 dengan sosok yang memperindah amal,96 dan yang tercantum pada surah Yūsuf/12 : 36 dengan “pribadi yang gemar membantu dan mengutamakan kepentingan orang lain, serta berperilaku baik dalam berkomunikasi dan memperindahnya”,97 demikian pula Qatādah (W. 118 h)98

mengungkapkan penafsiran yang sama sewaktu ia menafsirkan surah Yūsuf/12 : 36.99 Selain itu al-Ḍahhāk menginterpretasikan term muḥsin

yang terdapat pada surah Yūsuf/12 : 22 dengan “figur yang bersabar”.100

92 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 230 dan 277. 93 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 297. 94 Al-Fayrūzābādiy, Tanwīr al-Miqyās, 421.

95 Nama lengkapnya adalah Al-Ḍahhāk bin Muzāhim Al-Balkhiy Al-Ḥilāliy

yang dijuluki Abū Qāsim atau Abū Muhammad Al-Khurāsāniy, lahir di daerah Balkh kira-kira pada tahun 20 H, berada dalam kandungan ibunya selama dua tahun, dan wafat di Khurāsān antara tahun 102, 105, dan 106 H. Keberadaannya sebagai perawi hadis Al-Ḍahāk mendapat pridikat Thiqqah (terpercaya). Muhammad bin Sa’ad bin Munī’ Al-Zuhriy (w. 230 H), Al-Ṭabaqāt Al-Kubrā (Beirut, Dār Ihyā` Al-Turāth Al-‘Ārabiy, 1996), Juz 6, 509-510. Selanjutnya disebut Al-Zuhriy, Al-Ṭabaqāt. Dan Ṣafiy Al-Dīn Ahmad bin ‘Abd Allah Al-Khazrajiy (w. 923), Khulāṣah Tahdhīb Tahdhīb Al-Kamāl fī Asmā` Al-Rijāl, Taḥqīq Majdiy Manshūr Thauriy (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2001), Jilid 2, 5. Selanjutnya disebut Al-Khazrajiy, Khulāṣah. Serta Shihāb Al-Dīn Abī Al-Faḍal Ahmad bin Ali bin Muhammad Ibn Hajar Al-‘Asqalāniy (w. 852),

Tahdhīb Al-Tahdhīb fī Rijāl Al-Ḥadīth, Taḥqīq ‘Ādil Ahmad ‘Abd Al-Maujūd dan Ali Muhammad Mu’awwaḍ (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004), Jilid 3, 270-271. Selanjutnya disebut Al-‘Asqalāniy, Tahdhīb Al-Tahdhīb.

96 Muhammad Shukri Ahmad Al-Zāwiyaytiy (al-Jāmi’, al-Dāris, wa

Muhaqqiq), Tafsīr Al-Ḍahhāk (Mesir, Dār Al-Salām, 1999), Jilid 1, 432. Selanjutnya disebut Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍahhāk.

97 Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍahhāk, Jilid 1, 469.

98 Qatādah memiliki nama lengkap Qatādah bin Di’āmah bin Qatādah bin ‘Azīz

Al-Sadūsiy. Ia seorang penafsir dari kalangan tābi’īn yang kuat hafalannya dan mengetahui dengan baik tentang perbedaan pendapat para ulama. Al-Dāwūdiy, Ṭabaqāt, 332-333, dan Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 1, 125-126.

99 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 994.

Hal yang sama dikemukakan oleh Ibn Abī Hātim (w. 327 H)101 di kala menafsirkan kata muḥsin yang tertera pada surah Hūd/11 : 115.102

Al-Ṭabariy (w. 310 H)103 dalam tafsirnya menyatakan bahwa

profil muḥsin adalah hamba yang taat (muṭī’). Kesimpulan tersebut didasarkan pada tafsirnya, di antaranya, terhadap surah Al-Ṣaffāt/37 : 113104, dan muḥsin diartikannya sebagai figur orang yang taat kepada

Allah dan selalu memperindah komitmennya kepada perintah-Nya yang dilekatkan kepada Nabi Ibrāhīm as di kala melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih puteranya Ismail as seperti dalam menafsirkan surah Al-Ṣaffāt/37 : 110,105 serta dimaknakannya sebagai sosok pribadi yang

taat dan selalu beramal dalam rangka mendapatkan ridha-Nya. Makna ini digunakannya ketika menafsirkan surah Al-Ṣaffāt/37 : 105.106 Selain itu

muḥsin ditafsirkannya sebagai orang taat dan sabar untuk mendapatkan

ridha-Nya berhubungan dengan sanjungan-Nya terhadap Nabi Nuh as yang menjadi makna dari surah Al-Ṣaffāt/37 : 80.107 Profil muḥsin

dipahaminya sebagai pribadi yang patuh dan tunduk dengan loyalitas tinggi dengan memperindah ibadah kepada-Nya di kala menafsirkan

101 Ibn Abī Ḥātim bernama ‘Abd Al-Rahmān bin Muhammad bin Idris bin

Mundzir bin Dāwud bin Mihrān bin Abī Ḥātim Abū Muhammad Tamīmiy Al-Ḥanẓaliy. Ia seorang tokoh yang luas ilmu pengetahuannya dan menguasai tentang perawi hadis. Lebih dari itu ia terkenal sebagai figur yang saleh dan zuhud. Karya tulisnya meliputi berbagai bidang kajian di antaranya ialah dibidang tafsir dengan kitab Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm Musnadan ‘an Rasul Allah wa al- Ṣahābah wa al-Tābi’īn, di bidang perawi hadis dengan kitab Al-Jarh wa Al-Ta’dīl, di bidang teologi dengan kitab Al-Radd ‘alā Al-Jahamiyyah, di bidang tasawuf dengan kitab Al-Zuhd, di bidang fikih dengan kitab Al-‘Ilal, di bidang sejarah tokoh dengan kitab Manāqib Al-Shāfi’iy dan Manāqib Ahmad. Al-Dāwūdiy, Ṭabaqāt, 198-199.

102 Abdurrahman bin Muhammad bin Idris Al-Rāziy ibn Abī Ḥātim, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm Musnadan ‘an Rasūl Allah saw wa Al-Ṣaḥābat wa Al-Tābi’īn (Tafsīr Ibn Abī Ḥātim) (Makkah Al-Mukarramah, Maktabah Nazar Muṣṭafā Al-Bāz, 2003), Jilid 6, 2093. Selanjutnya disebut Ibn Abī Ḥātim, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm.

103 Sebagai pakar Al-Ṭabariy menulis sejumlah kitab yang membahas berbagai

bidang kajian di antaranya adalah tafsir dengan karya monumentalnya bertajuk Jāmi’ Bayān fī Tafsīr Qur`an, di bidang sejarah berupa kitab Tārikh Umam wa Al-Mulūk, di bidang hadis dengan tulisannya berjudul Tahdhīb Al-Āthār, di bidang qirā`āt dengan karyanya bertajuk Al-Jāmi’, di bidang fikih dengan kitabnya Al-Basīṭ, dan di bidang akhlak dengan kitabnya Ādāb Al-Manāsik. Al-Dāwūdiy, Ṭabaqāt, 375-378.

104 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 518. 105 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, h. 517-518. 106 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, h. 509. 107 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, h. 497.

surah Yūnus/10 : 26.108 Term muḥsin yang termaktub pada surah Yūsuf/12 : 36 ditafsirkannya pula sebagai orang yang gemar mempercantik ujaran dan perbuatannya.109 Ia juga menafsirkan term

muḥsin yang termaktub dalam surah Al-Baqarah/2 : 195 dengan potret

insan yang proaktif mempercantik pelaksanaan kewajiban dan menghindar dari kemaksiatan, di antaranya dengan berinfak di jalan-Nya dan bersikap lemah lembut penuh kasih sayang terhadap yang lemah, terutama yang terhimpit persoalan kehidupan.110 Selain itu ia menjadikan

mutaqarrib (perapat Tuhan) dengan melaksanakan berbagai aktifitas

yang memiliki nilai tambah dan diridhai-Nya untuk menafsirkan muḥsin

yang tertera pada surah Al-Mā`idah/5 : 93,111 muwaḥḥid (pelaku

monotaisme sejati) atau orang beriman yang taat dan berdakwah di jalan-Nya bagi penafsiran term muḥsin yang terdapat pada surah Al-Mā`idah/5 : 85 dan Al-Naḥl/16 : 30,112 Orang yang sabar (ṣābir) merupakan tafsir

kata muḥsin yang tertulis pada surah Al-An’ām/6 : 84 dan Al-Qaṣaṣ/28 : 14,113 serta mujāhid yang berakhlak mulia dijadikannya sebagai tafsir surah Al-‘Ankabūt/29 : 69.114

Potret muḥsin dalam pandangan Samarqandiy (w. 375 H)115 di

antaranya sebagai ahli tauhid yang loyalis dan tulus. Pemaknaan ini bertalian dengan penafsirannya terhadap surah Al-Mā`idah/5 : 85,116

Taubah/9 : 91, Yūnus/10: 26, Hūd/11 : 115, Yūsuf/12 : 36 dan 56, Al-Naḥl/16 : 30,117 Luqmān/31 : 22, Al-Zumar/39 : 58, Al-Aḥqāf/46 : 12, dan Al-Mursalāt/77 : 44.118 Selain itu muḥsin yang tercantum pada surah

Baqarah/2 : 112, Nisā`/4 : 125, Luqmān/31 : 3, dan Al-Dhāriyāt/51: 16 ditafsirkannya sebagai pribadi yang memperindah

108 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 6, h. 549. 109 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, h. 215. 110 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, h. 212. 111 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, h. 37.

112 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, h. 9 dan Jilid 7, h. 579. 113 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 257 dan Jilid 10, 42. 114 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 161.

115 Selain mendapat gelar Fāqih, Samarqandiy dijuluki sebagai Imām

Al-Hūdā, dan karyanya yang lain di antaranya adalah Tanbīh Al-Ghāfilīn. Al-Dāwūdiy,

Ṭabaqāt, 530-531.

116 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 454.

117 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, 68, 95, 146, 161, 166, dan 234. 118 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 24, 155, 232, dan 347.

perbuatannya119 hingga selalu berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada dirinya, yang menurutnya merupakan makna surah Al-Naḥl/16 : 128120 dan terkesan menjadi insan yang ikhlas yang merupakan

tafsir dari term muḥsin yang tertera pada surah Yūsuf/12 : 22,121 dan

penyabar yang menjadi makna muḥsin pada surah Yūsuf/12 : 90.122

Sedangkan sebagai orang yang dermawan dengan berbuat ihsan dalam berinfaq disertai ketulusan dijadikannya tafsir term muḥsin yang tersurah pada surah Al-Baqarah/2 : 195.123

Al-Wāḥidiy (w. 468 H)124 memiliki kecenderungan yang sama

dengan Samarqandiy yang menafsirkan term muḥsin secara bervariasi. Al-Wāḥidiy menyatakan profil muḥsin adalah loyalis tauhid yang sejati. Kesimpulan tersebut sebagai interpretasinya terhadap surah Al-Nisā`/4 : 125, Al-Mā`idah/5 : 85, Yūnus/10 : 26, Yūsuf/12 : 56, Al-Naḥl/16 : 30,125

Al-Ḥajj/22 : 37, Luqmān/31 : 22, Al-Zumar/39 : 10,126. Selanjutnya ia

menafsirkan term muḥsin sebagai sosok yang mempercantik amal dengan mengkaji surah Yūsuf/12 : 36 dan 78 serta Al-Naḥl/16 : 128.127 Sebagai pribadi yang taat dijadikannya makna muḥsin yang tertera pada surah Ali ‘Imrān/3 : 172 dan Al-A’rāf/7 : 56,128 serta muḥsin yang termaktub pada

119 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 150 dan 391, serta Jilid 3, 18 dan

276.

120 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, 256. 121 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, 156. 122 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 175. 123 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 190.

124 Ia memiliki nama Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Mattuwwīh

Abū Al-Hasan Al-Wāḥidiy Al-Naisābūriy, tahun kelahirannya tidak diketahui. Sedangkan wafatnya di Naisaburi pada bulan Jumādī al-Ākhirah tahun 468 H. Sebagai pakar, Al-Wāḥidiy di masanya terkenal sebagai guru tafsir dan ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab). Karyanya yang terkenal di bidang tafsir adalah Al-Basīṭ Al-Wasīṭ, dan Al-Wajīz. Nama kitab tafsir yang disebut terakhir telah diperjelas (ada sharaḥ-nya) oleh Muhammad Nawawi (berasal dari Banten) dalam kitabnya bernama Marāh Labīd li Kasyf Ma’nā Qur`an Majīd. Selain itu karya tulisnya yang masyhur adalah Asbāb Al-Nuzūl, dan Kitāb Al-I’rāb fī ‘Ilm al-I’rāb merupakan hasil tulisannya di bidang ilmu nahwu. Ibn Khallikān, Wafiyyāt Al-A’yān, Jilid 3, 264-265, dan Al-Subukiy, Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah, Juz 3, 212-213, serta Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 127-128.

125 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1 : 292, 333, 495, 551, dan 605. 126 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 2 : 735, 849, dan 930.

127 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1 : 546 dan 625. 128 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1 : 243 dan 398.

surah Yūsuf/12 : 22 dan 90 ditafsirkannya dengan orang yang bersabar.129

Ibn Kathīr (w. 773 H) selain menafsirkan muḥsin dengan tipe pribadi yang memperindah amal dalam mewujudkan kepatuhannya seperti ketika menafsirkan tujuh ayat ihsan,130 di antaranya adalah surah

Yūsuf/12 : 36 dan Al-Dhāriyāt/51 : 16,131 sosok pemilik dan pengamal

iman sejati bertepatan dengan penafsirannya atas surah Al-Aḥqāf/46 : 12,132 figur loyalis yang konsisten berkaitan dengan penafsirannya

terhadap surah Al-Ṣaffāt/37 : 80 dan 105,133 profil penyabar sewaktu

menafsirkan surah Yūsuf/12 : 56,134 potret orang yang senantiasa

bersikap dan berperilaku baik kepada orang yang berbuat jahat kepada dirinya berkenaan dengan interpretasinya terhadap surah Al-‘Ankabūt/29 : 69135 dengan cara memaafkan bertalian dengan penafsirannya atas surah

Al-Mā`idah/5 : 13.136 Sepesifikasi penafsirannya, di antaranya

menafsirkan muḥsin pada surah Al-Mā`idah/5 : 85 dengan pengikut dan penyelamat kebenaran dengan tidak dibatasi oleh waktu, wilayah, dan komunitas pergaulan,137 kemudian penafsirannya tentang muḥsin atas

surah Yūsuf/12 : 78 sebagai orang yang berbuat adil dan menerima kebaikan,138 serta dalam menafsirkan surah Al-Nisā`/4 : 125

menggambarkan muḥsin merupakan pengikut dan pelaksana syareat Allah dan Nabi-Nya saw (itbā’ al-Nabiy). Tentang penafsirannya yang disebutkan terakhir, ia mendudukkannya sebagai persyaratan mutlak bagi diterimanya suatu amal dan ibadah bersanding dengan persyaratan lainnya, yakni keikhlasan.139 Satu hal yang menarik dari penafsirannya

terhadap ayat-ayat ihsan adalah ketika menafsirkan term muḥsin yang tercantum pada surah Al-Baqarah/2 : 195 merupakan pemilik ihsan,

129 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1 : 542 dan 559.

130 Kelima ayat berikutnya adalah QS. Al-Naḥl/16 : 30 dan 128, Al-Ḥajj/22 :

37, Luqmān/31 : 3, dan Al-Zumar/39 : 10. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 2, 568 dan 594, Jilid 3, 224 dan 451, dan Jilid 4, 48.

131 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 2, 474 dan Jilid 4, 234. 132 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 4, 157.

133 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 4, 12 dan 17. 134 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 2, 248. 135 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 3, 423. 136 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an Al-‘Aẓīm, Jilid 2, 34. 137 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Jilid 2, 87.

138 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Jilid 2, 487. 139 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Jilid 1, 560.

dimana ihsan disebutkannya sebagai a’lā maqāmāt al-ṭā’at (tingkat kepatuhan tertinggi).140

Jika menelaah tindakan penafsiran Izutsu tentang muḥsin terkesan ia menyamakannya dengan muttaqin (orang yang bertakwa). Sedangkan artinya yang konkrit, secara eksplisit, menurut Izutsu dapat digambarkan dalam sosok pribadi yang berorientasi kepada segala bentuk aktivitas kepatuhan,141 yang dijadikan rujukan sekaligus contohnya berkenaan dengan makna tersebut ialah surah Al-Dhāriyāt/51 : 15-19.142 Dengan

mengutip surah Luqmān/31 : 3-5, surah Kahfi/18 : 30, dan surah Al-Ṣaffāt/37 : 105-106, Izutsu mengutarakan makna lain dengan mendudukkan muḥsin hampir sama dengan orang yang melaksanakan amal saleh.143 Pemaknaan tersebut terinspirasi oleh pandangannya yang

menyebutkan bahwa secara umum aḥsana yang ajektif partisipalnya adalah muḥsin, bermakna berbuat baik, tetapi dengan aktual Al-Qur`an memakainya untuk dua klasifikasi kebaikan, yakni kepatuhan mendalam kepada Tuhan dan segenap perbuatan manusia yang bersumber darinya, serta segala kegiatan yang didorong oleh semangat ḥilm.144

Penafsiran muḥsin oleh para pakar tafsir tersebut yang terkesan berbeda-beda dan berserakan pada kitab-kitab tafsir, ditambah tindakan penafsiran Izutsu yang parsial memerlukan upaya penafsiran yang terpadu dan sistematik, hingga menjadi suatu konsep yang utuh.

Salah satu konsekuensi logisnya adalah pentingnya kerja intelektual yang memfokuskan pembahasannya pada tema muḥsin

sebagau manusia ideal. Pembahasannya dapat berlangsung simultan dan

140 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Jilid 1, 230.