• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN

1) Relasi Muḥsin dengan Sepuluh Elemen Masyarakat

Di samping seorang muḥsin memiliki hubungan yang berbasis ihsan dengan kedua orang tua, anak, dan isterinya, ia melakukan hubungan dengan lingkungan sosialnya, baik yang mempunyai relasi kekerabatan maupun tidak. Mereka terdiri dari sepuluh elemen masyarakat, yakni: Pertama, Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau dhī al-Qurbā; Kedua, Anak-anak yatim atau al-Yatāmā; Ketiga, Orang-orang miskin atau al-Masākīn; Keempat, Tetangga dekat atau al-Jār dhī al-Qurbā; Kelima, Tetangga jauh atau al-Jār al-Junub; Keenam, Teman sejawat atau al-Ṣāḥib bi al-Janbi; ketujuh, Anak jalanan dan orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan atau Ibn

Sabīl; Kedelapan, Hamba sahaya wanita atau mā malakat aymānukum;805

Kesembilan; orang yang meminta-minta atau al-Sā`ilīn; Kesepuluh; hamba-hamba sahaya pria yang diperjualbelikan atau orang-orang yang hilang kemerdekaannya akibat dari kezaliman atau al-Riqāb.806

805 Al-Zamakhshariy dalam menafsirkan surah Al-Nisā`/4 : 36 menyebutkan

tentang keharusan memuliakan dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 236. Berkaitan dengan al-ṣāhibi bi al-Janbi terdapat pakar yang mengartikannya dengan isteri, bahkan siapapun yang selalu menyertai seseorang di rumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga karena sementara orang, baik sebelum turunnya Al-Qur`an maupun sesudahnya, hingga kini memperlakukan isteri dan atau para pembantu dengan tidak wajar. Lihat Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 419.

806 Al-Zamakhshariy menjelaskan bahwa al-Sā`ilīn (orang yang minta-minta)

Surah Al-Nisā`/4 : 36 meliput kedelapan golongan dari dhī

al-Qurbā sampai dengan mā malakat aimānukum yang secara eksplisit

disertai dengan penggunaan term ihsan. Sedangkan pada surah Al-Baqarah/2 : 177 tercantum dua golongan lainnya, al-Sā`ilīn dan al-Riqāb

dengan disertai pemakaian sebutan al-birr (makna generiknya searti dengan ihsan, yairtu berbuat baik).

Sebagai muḥsin seseorang akan berbuat ihsan kepada kedua orang tuanya, kemudian secara simultan ia-pun berbuat baik kepada orang yang mempunyai hubungan kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, kawan sejawat, ibn sabīl (orang yang kesusahan di perjalanan), dan hamba sahaya. Dengan karakter seperti ini layak baginya mendapatkan persahabatan dari Allah swt.807

Berihsan kepada mereka diimplementasikan seorang muḥsin

dalam penampilan yang tidak sombong atau mukhtāl dan membanggakan diri atau fakhūr sehubungan kedua sifat negatif tersebut cenderung destruktif.808 Karakteristik muḥsin lebih mengintegrasikan kehidupannya kepada orientasi vertikal dan horizontal, serta lingkungan alam. Orientasi vertikal merupakan upaya mengabdi kepada Allah swt sebagai bagian dari semangat ketuhanan yang melekat pada dirinya. Sedangkan orientasi horizontal merupakan usaha berbuat baik kepada siapapun dengan mengedepankan kepentingan mereka sebagai perwujudan dari kematangan kemanusiaannya. Adapun orientasi kepada lingkungan alam merupakan upaya perbaikan dan pelestarian. Orientasi tersebut melekat dalam hidupnya dan diaplikasikan dengan konsisten hingga merasakan kehadiran Allah swt.

Berbuat ihsannya seorang muḥsin kepada kedua orang tua, anak, dan isteri meliputi ihsan fi’liy (berihsan dalam perbuatan) dan ihsan

qauliy (berihsan dalam ucapan). Sedangkan berbuat ihsan kepada seluruh

manusia, selain orang tua, anak, dan isteri, lebih ditekankan pada aspek ucapan seperti perintah-Nya wa qūlū li al-Nāsi ḥusnan809 (berkata yang

baik kepada manusia), dikarenakan ucapan relatif lebih mudah atau lebih

pembebasan dengan harta zakat atau sedekah. Penjelasnnya ini diutarakannya ketika menafsirkan surah Al-Baqarah/2 : 177. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 109.

807 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 23.

808 Ibn ‘Aṭiyyah secara khusus menyatakan bahwa yang tidak bebuat ihsan

kepada mereka hanya orang yang membanggakan diri (‘ujub) dan kikir (bukhl). Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434.

memungkinkan diamalkan setiap manusia.810 Namun ucapan tersebut bersumber dari keyakinan positif yang tertanam dalam hati, sehingga ucapan menyatu dengan hati. Penyatuan tersebut menjadi setandar utama dalam berbuat ihsan di tengah-tengah melakukan relasi sosial dengan sesama manusia.811 Perintah berkata yang baik tersebut menunjukkan

bahwa berihsan kepada sesama manusia dimulai dari yang mudah, tetapi memiliki nilai etika yang luhur dan menjadi basis komunikasi yang harmoni.812 Dalam melakukan relasi sosial perkataan menjadi barometer

yang mendasar. Sifat rendah hati (tawāḍu’) atau tinggi hati (mukhtāl dan

fakhūr) terukur dari ucapan.

Apabila watak mukhtāl dan fakhūr lebih dominan pada diri seseorang, berarti ia telah meletakan mereka tidak setara, bahkan cenderung merendahkan dan memperlakukan mereka dengan diskriminasi. Mereka berada di derajat yang lebih rendah dari pada dirinya dan mereka dipandang sebagai orang yang lemah. Perlakuan seperti ini merupakan bagian dari kezaliman dan ketidakadilan, mengingat sifat fakhr memuat watak takabbur atau congkak.813

Mukhtālan merupakan watak yang meliputi kesombongan,

membanggakan diri, dan memamerkan pemberian Allah swt sambil menghinakan pihak lain, seperti merasa hina jika memiliki kerabat yang miskin dan meremehkan tetangganya yang lemah. Pemilik sifat ini tidak mungkin berbuat ihsan kepada mereka, karena hawatir tertimpa kesalahan dan kecacatan yang sama. Sedangkan fakhūr menekankan pada karakter yang berlebih-lebihan dalam memuji perangai diri. Penyebutan kedua watak tersebut pada surah Al-Nisā`/4 : 36 menunjukkan sempurnanya sifat yang menghambat perbuatan ihsan dalam lingkungan sosial.814

Kata mukhtālan terambil dari akar kata yang sama dengan khayāl, oleh karena itu kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya dikendalikan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan. Biasanya orang

810 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 133.

811 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 1, 583.

812 Al-Shaukāniy menafsirkan perintah berkata baik kepada manusia dengan

semua ucapan atau perkataan yang benar atau jujur, tidak terbatas pada perketaan tertentu. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 135.

813 Selain itu Ibn ‘Aṭiyyah mengutip pendapat Abū Rajā` Al-Harawiy bahwa

tidak dijumpai keburukan perangai seseorang kecuali pada sifat mukhtāl dan fakhūr. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434.

semacam ini berjalan dengan angkuh, karena merasa memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Keangkuhannya tampak dengan nyata dalam prilaku keseharian. Kuda dinamai khail karena cara jalannya mengesankan keangkuhan. Seorang yang mukhtāl membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakekatnya tidak dimiliki, dan inilah yang ditunjuk dengan kata

fakhūra”, yakni sering kali membanggakan diri. Kedua kata “mukhtāl

dan fakhūr” mengandung makna kesombongan, tetapi yang pertama

kesombongan terlihat dari tingkah laku, dan kedua kesombongan terdengar dari perkataan.815

Watak orang yang mukhtāl dan fakhūr terlihat merugikan dalam relasi sosial dan tercermin dari sifat-sifatnya yang negatif sebagai berikut: pertama; Al-Bukhl atau kikir; Kedua; Memerintahkan orang lain berbuat kikir; Ketiga; Menyembunyikan anugerah Allah yang diterimanya; Keempat; Menginfakkan harta disertai dengan riya atau keinginan dipuji dan diketahui serta dinilai oleh orang lain sebagai orang yang dermawan, bukan semata-mata mengharapkan ridha-Nya, dan tidak dimotivasi oleh semangat tali kasih sayang terhadap sesama manusia.

Kelima; Tidak beriman kepada Allah swt dan hari akhirat.816

Sifat-sifat di atas, pada dasarnya, menurut surah Al-Nisā`/4 : 37-38 disebabkan kekafiran yang melekat kuat dan persahabatannya dengan syaitan. Sedangkan kekafiran tidak menjanjikan sesuatu kecuali kesengsaraan dan tidak ada sahabat karib yang paling buruk selain dari syaitan.

Seorang muḥsin akan berupaya menjauhkan diri dari kekafiran dan syaitan. Ia akan mendayagunakan kemampuannya untuk memperkokoh keimanan dan mengedepankan sikap kedermawanan yang tulus dengan memberikan sebagian harta yang dimilikinya. Pemberian zakat yang wajib atau sedekah yang sunnah merupakan komitmennya yang mendasar dalam memperlakukan kedelapan golongan di atas sebagai manifestasi dari perilaku ihsan yang berdimensi kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Artinya seorang muḥsin adalah orang yang meninggalkan kebahagiaan lahiriah dirinya atau menuntaskan kebutuhan orang lain yang tergantung padanya atau beribadah tidak disertai

815 Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, 419.

816 Al-Shaukāniy menafsirkan surah Al-Nisā`/4 : 37 sebagai badal dari man kāna mukhtālan fakhūran potongan ayat dari surah Al-Nisā`/4 : 36 dan surah Al-Nisā`/4 :38 sebagai aṭaf kepada surah Al-Nisā`/4 : 37 . Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 132.

kelalaian.817

Pengkaitan term kikir atau al-bukhl dan riyā` dengan mukhtāl dan

fakhūr pada ayat-ayat di atas mengisyaratkan sifat kikir dan keinginan

disanjung menjadi perwujudan watak sombong dan membanggakan diri. Watak semacam ini merupakan implikasi dari lemahnya iman hingga dikelompokkan oleh Allah swt ke dalam orang-orang yang berkawan dengan syaitan.

Harta yang dimiliki seseorang dapat menjadikan kebanggaan tersendiri dan meningkatkan prestisenya, jika tidak disyukuri dan disikapi dengan tawāḍu’ akan melahirkan sikap oragansi. Berkurangnya harta karena digunakan untuk kepentingan sosial, tetapi tidak menambah kebanggaan diri dan kehormatannya dinilai oleh seorang yang arogan sebagai suatu yang sia-sia dan merupakan kerugian material. Riya atau harapan mendapatkan sanjungan menjadi motivasi utama dalam berderma, karena akan menambah keagungan diri dan nama besarnya. Tradisi merasa rugi dan ingin disanjung tersebut bersumber dari karakter dasarnya, yakni kikir.818 Kondisi ini mempunyai korelasi langsung

dengan cercaan dan penolakan Allah swt kepada mereka karena tidak pandai memilih sesuatu yang bermanfaat dan suatu keyakinan yang salah.819

Sepuluh golongan di atas seyogyanya diperlakukan dengan baik melalui pemberian infak yang tulus dan familier. Seorang muḥsin

berihsan kepada mereka dengan menginfakkan hartanya disebabkan sifat kedermawanan dan pandangan hidupnya bahwa harta adalah milik Allah swt yang diberikan atau dititipkan kepadanya. Sebahagian harta sepatutnya diinfakkan kepada mereka. Sifat dan pandangan hidup tersebut tidak memberatkan, melainkan menjadi bagian yang melekat dalam kehidupannya. Selain itu seorang muḥsin memiliki persepsi bahwa secara langsung atau tidak penerima infak mempunyai kontribusi dalam

817 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 588-589. 818 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 257.

819 Al-Alūsiy menafsirkan surah Al-Nisā`/4 : 39 sebagai taubīkh (menilai

buruk) terhadap mereka yang memiliki sifat yang digambarkan dalam surah Al-Nisā`/4 : 37-38 karena kebodohan mereka kepada posisi yang bermanfaat dan kepada keyakinan tentang sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang selama ini diyakini mereka, dan mengajak mereka mendayagunakan berfikir untuk mendapatkan jawaban yang mengantarkan mereka mengetahui sesuatu yang menjadi hadiah jika meninggalkan kemaksiatan, serta memperingatkan mereka bahwa ajakan kepada urusan yang tidak mengandung bahaya merupakan langkah kehati-hatian. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 3, 31.

proses kepemilikan atau penitipan harta tersebut. Oleh karena itu bagi

muḥsin tidak keberatan menginfakkan harta yang dicintainya sejalan

dengan kriteria ideal yang ditetapkan Allah dalam surah Ali ‘Imrān/3 : 92.820

Ketentuan tersebut berorientasi untuk melahirkan kedermawanan yang dilandasi kasih sayang, ketulusan atau kebaikan niat, dan kesetaraan yang sempurna hingga menyamakan orang lain dengan dirinya, bahkan rela berkorban bagi keperluan orang lain yang membutuhkan. Karakteristik yang egalitarian dan ketulusan berkorban dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus.821

2). Relasi Muḥsin dengan Keluarga Korban

Muḥsin sebagai manusia biasa memiliki kemungkinan melakukan

kekeliruan atau mengerjakan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, meski ia berkarakter ijtināb kabā`ir ithmi wa fawāhish illa

al-lamam (menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali

yang dikerjakan di masa lalu atau kesalahan-kesalahan kecil). Kesalahan tersebut lebih bersifat kasuistik, yang mungkin dikerjakan seorang

muḥsin yang berat ujian dan cobaannya.822 Hal ini berhubungan dengan

sunnat Allah yang berlaku bagi setiap orang, semakin tinggi derajat seseorang, semakin berat cobaan dan godaannya. Ibarat tanaman, semakin menjulang tinggi batangnya, semakin keras diterpa angin.

Muḥsin yang berada pada tingkat kepribadian tertinggi akan selalu

berhadapan dengan ujian dan godaan berat yang datang silih berganti. Seorang muḥsin memungkinkan bagi dirinya melakukan pembunuhan sebagai dosa besar. Namun dengan kepribadiannya yang unggul akan menghadapi segala konsekwensi yang mesti ditanggung, baik hukum qisas (sanksi atau hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang dikerjakan, yaitu dibunuh) maupun ganti rugi atau diyat yang harus dibayarnya dengan cara ihsan sebagai alternatif pengganti akibat dari keluarga korban memaafkannya.823 Dengan demikian hubungannya adalah hubungan tanggungjawab dan apresiatif. Hal ini dikarenakan

820 Al-Alūsiy menafsirkan term birr yang termaktub pada ayat tersebut (surah

Ali ‘Imrān/3 :92) dengan iḥsān wa kamāl al-khayr (ihsan dan kesempurnaan suatu kebaikan). Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 213.

821 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid2, Juz 4, 6. 822Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 328.

823 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 1, Juz 2, 140-142, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 103.

muḥsin adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah swt dengan tanpa melalaikannya dan memenuhi hak-hak orang lain tanpa menunda-nunda.824

Diyat (ganti rugi) dijadikan Allah sebagai salah satu sanksi hukum sebagai pengganti qisas bagi pelaku tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan pisik (anggota badan) orang lain tanpa hak.825

Surah Al-Baqarah/2 : 178 yang menjadi rujukan qisas dan diyat turun berkenaan dengan kejadian dua kabilah Arab jahiliyah, mereka saling menuntut penggantian, seorang hamba sahaya diganti dengan seorang majikan, dan wanita diganti dengan pria.826 Turunnya ayat

tersebut merespon sikap mereka yang tidak proporsional dengan mempertimbangkan faktor keadilan. Balasan sebagai sanksi hukum dalam ayat tersebut dilaksanakan di atas prinsip sebanding dan sepadan. Orang merdeka diganti dengan orang merdeka, wanita dengan wanita, dan budak belian dengan budak belian.827

Maksud ayat tersebut, terutama, penggalannya yang berbunyi

faman ‘ufiya lahū min akhīhi shai`un fattibā’un bi al-ma’rūf wa adā`un

ilaihi bi iḥsān” ialah terpidana yang dimaafkan oleh keluarga korban

wajib membayar diyat dengan cara yang baik.828 Dengan memaafkan

terpidana, keluarga korban menerima pembayaran diyat yang pemungutannya oleh keluarga korban dilakukan dengan cara yang baik atau ma’rūf dan pemberiannya oleh terpidana dilaksanakan dengan cara ihsan.829 Pemungutan diyat tidak disertai dengan tuntutan beban

824 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 92-93. 825 QS. Al-Baqarah/2 : 178.

826 Hal ini berhubungan dengan peristiwa peperangan antara dua suku Arab

yang terjadi di masa jahiliyyah. Di antara mereka terdapat orang-orang yang terbunuh dan terluka, mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Belum sempat mereka melakukan balas dendam, mereka telah masuk Islam. Masing-masing dari mereka membanggakan diri dengan jumlah pasukan dan harta kekayaan yang dimiliki. Mereka saling bersumpah bahwa mereka tidak rela, jika hamba sahaya yang terbunuh tidak diganti dengan orang yang merdeka (majikannya) dan kaum wanita tidak diganti dengan kaum pria, kemudian turunlah ayat tersebut. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 108, dan ‘Abd Al-Rahmān bin Muhammad bin Idrīs Al-Rāziy, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm Musnadan ‘an Rasūl Allah saw wa Al-Ṣaḥābat wa Al-Tābi’īn (Tafsīr Ibn Abī Ḥātim)

(Makkah Al-Mukarramah, Maktabah Nazar Mushṭafā Al-Baz, 2003), Jilid 1, 293-294. Selanjutnya disebut Ibn Abī Ḥātim, Tafsīr Al-Qur’ān. Serta Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 29-30.

827 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 1, Juz 2, 136-137. 828 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 112.

tambahan oleh keluarga korban kepada terpidana, karena akan memberatkan terpidana, dan tuntutan beban tambahan merupakan tradisi jahiliyyah. Penyampaian jumlahnya oleh terpidana kepada keluarga korban tidak dikurangi atau ditunda-tunda,830 karena menunda

pembayaran atau mengurangi jumlahnya merupakan tindak penganiayaan. Selain itu pembayaran ganti rugi tidak disertai kebencian, ungkapan yang tidak menyenangkan, atau tidak disertai tindakan memutuskan hubungan kekeluargaan, baik dilakukan oleh pelaku pembunuhan, keluarga terbunuh, atau utusannya.831

Dengan demikian pencantuman term ihsan di sini menekankan pada nilai keadilan sehubungan watak dari sebagian manusia cenderung berbuat melampaui batas. Kata ihsan pada ayat ini menjadi rambu moralitas yang mendorong terpidana merespon keluarga terbunuh dengan sikap yang apresiatif dan tidak merugikan orang yang rela menggugurkan hak qisas yang seharusnya dijalani terpidana.832

Pembayaran diyat dengan cara yang ihsan, dapat dikatakan, sebagai respon yang setara atas pemberian maaf yang kedua-duanya diletakkan oleh Allah sebagai dispensasi yang memiliki missi saling memberi dan menerima secara sebanding, yang dilakukan dengan ketulusan hati, dengan perinsip tidak saling merugikan kedua belah pihak dan berorientasi kepada kepentingan nilai kemanusiaan serta berwatak sepiritualis, mengingat yang ditekankan pada dua hal tersebut bukan semata aspek kuantitas pembayaran, melainkan melibatkan sepenuhnya segi kualitas mental dan kepribadian. Kedua belah pihak saling menyadari sepenuh hati akan garis kehidupan seseorang berada pada ketentuan Allah (takdir) dan menjunjung tinggi nilai serta harkat manusia.833

Peristiwa terbunuh atau terlukanya anggota tubuh seseorang didudukkan secara proporsional. Di satu sisi terbunuh atau terluka sebagai musibah yang tidak dikehendaki siapa-pun, kecuali telah menjadi takdir Allah. Di sisi lain nilai manusia tetap harus dihormati dan dimuliakan. Jadi pemberian diyat dengan cara ihsan ditempatkan dalam konteks keimanan, kasih sayang, dan kemuliaan manusia.

3). Relasi Muḥsin dengan Sahabat Nabi saw

830 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 114-115.

831 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 143. 832 Ali Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr, Jilid 1, 118.

Sahabat Nabi saw baik dari kalangan muhajirin maupun anshar adalah orang-orang yang mendapatkan apresiasi khusus dari Allah dan Nabi saw sebagaimana sifat-sifat terpujinya dilukiskan dalam beberapa ayat yang telah dikutip di atas, seperti surah Ali ‘Imrān/3 : 172. Mereka ialah orang-orang muḥsin yang senantiasa memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya dengan mengorbankan segenap yang dimiliki sebagai perwujudan dari kepatuhan total mereka.834

Bagi muḥsin mereka dijadikan sebagai panutan sejati dan diikuti secara baik atau ihsan. Para tabi’in (pengikut para sahabat) telah melakukannya dengan konsisten, meski menanggung resiko yang sangat berat.835

Surah Al-Taubat/9 : 100 mencatat term ihsan yang berkenaan dengan al-ladhīna ittaba’ūhum (orang-orang yang mengikuti jejak sahabat-sahabat nabi saw). Kata ganti Hum (kata ganti jamak bagi pihak ketiga yang berarti mereka) merujuk kepada al-Sābiqūn al-Awwalūn min

al-Muhājirīn wa al-Anṣār yang menjadi permulaan ayat. Mereka adalah

sahabat-sahabat nabi saw yang lebih dahulu beriman baik mereka yang berhijrah dari Mekah ke Madinah maupun penduduk Madinah yang menolong mereka dan Nabi saw ketika berhijrah, mereka melakukan peperangan bersama nabi saw melawan orang-orang kafir, serta mereka berbaeat (melakukan janji setia membela Nabi saw dan Islam).836

Figur sahabat dijadikan pusat keteladanan setelah Nabi Muhammad saw sehubungan mereka adalah orang-orang yang konsisten memenuhi panggilan Allah swt dan rasul-Nya yang terefleksikan dalam sifat-sifat mulia dan amal saleh yang ikhlas, dan mereka adalah muḥsinīn. Mereka sebagai generasi yang dijuluki dengan golongan salaf yang memiliki kewenangan atau otoritas.837 Pencantuman term ihsan pada

834 Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 236.

835 Ibn ‘Aṭiyyah dalam menafsirkan surah Al-Taubat/9 : 100 menyebutkan

bahwa para tabi’in dan segenap umat mengikuti jejak para sahabat dengan ihsan sepen uhnya. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 878.

836 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602-603.

837 Kata salaf berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti “yang

lampau”. Biasanya kata ini dihadapkan dengan kata khalaf yang makna harfiahnya ialah “yang belakangan.” Kemudian, dalam perkembangan semantiknya kata salaf memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau memiliki otoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang memiliki otoritas. Dalam pandangan para sarjana Islam masa lampau itu otoratif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Pada masa ini Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam,

Taubat/9 : 100 Ali ‘Imrān/3 : 172 tersebut menunjukkan kepada mutu peneladanan terhadap mereka, karena secara etimologis ba yang menjadikan ihsan sebagai kata transitif berfungsi sebagai

al-mulābasah838 atau berintegrasi dalam peneladanan.

Peneladanan terhadap para sahabat dimulai dari respek atas kebaikan dan apresiatif kepada kepribadian mereka yang mengetahui dan memahami persis ajaran Islam yang didengarnya langsung dari Nabi dan melaksanakannya berdasarkan hasil penglihatan dan peneladanan terhadap praktek-praktek Nabi,839 sampai dengan mengikuti atau

meneladani minhāj840 (cara hidup) dan sifat-sifat mulia mereka, di

antaranya ialah beriman kepada Allah swt dan rasul-Nya serta berhijrah dari dār al-ḥarb (wilayah peperangan yang sarat fitnah -pen-) menuju dār

al-Islām (wilayah damai yang sarat kepatuhan atas aturan dengan

mengedepankan dan supremasi hukum menuju keadilan -pen)841 hingga

berhijrah menuju perhatian penuh terhadap jiwa dengan menanamkan