• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KONSEP DASAR MUḤSIN DALAM AL-QUR`AN

1. Penggunaan Term Muḥsin dan Derivasinya

Pembahasan bagian ini menekankan pada aspek penggunaannya yang terdiri dari kata benda dan kata kerja yang memiliki penekanan makna yang berbeda. Adapun pembahasan tersusun dalam pemaparan berikut :

1). Muḥsin, Muḥsinūn, Muḥsinīn, dan Muḥsināt

Term muḥsin dan jamaknya terulang dalam Al-Qur`an sebanyak

406 Al-Samarqandiy menafsirkan potongan ayat faaḥsana ṣuwarakum dengan aḥkama khalqakum (mempercantik ciptaankamu). Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 172.

407 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 369.

408 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 2, 1102, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1441. 409 Al-Zamakhsyariy, Al-Kashshāf, 961.

38 kali. Sebagai bentuk mufrad (singular) term muḥsin tercatat sebanyak empat kali, yaitu pada surah Al-Baqarah/2 : 112, Al-Nisā`/4 : 125, Luqmān/31 :22, dan Al-Ṣaffāt/37 :113, dan sebagai bentuk jama’ (plural)

muḥsinūn tercantum satu kali, yakni surah Al-Naḥl/16 : 128 serta

muḥsinīn termaktub satu kali pada surah Al-Dhariyāt/51 16 dan

al-muḥsinīn terulang sejumlah 32 kali yang tersebar pada 16 surah dan 32

ayat, dan berupa al-muḥsināt tertulis satu kali pada surah Al-Aḥzāb/33 : 29.

Penggunaan kosakata muḥsin berupa kata benda yang menunjukkan kepada pelaku dalam Al-Qur`an mengisyaratkan kepada predikat yang seharusnya disandang oleh setiap manusia dan melekat padanya mengingat predikat tesebut lebih menekankan aspek kualitas pribadi seseorang yang mencakup keimanan dan aktualisasi diri dalam bentuk kepatuhan yang berbasis akhlak mulia.

2). Aḥsana, Aḥsanū, dan Aḥsantum

Aḥsana sebagai derivasi muḥsin merupakan fi’il māḍi (kata kerja

yang menunjukkan masa lampau), tercantum sebanyak sembilan kali.

Fā’il-nya yang berbentuk isim ẓāhir (kata benda/nama diri), yakni Allah

swt tertulis dua kali, pada surah Al-Qaṣaṣ /28 : 77 dan Al-Ṭalāq/65 : 11.

Dan Fā’il-nya berupa isim al-ḍamīr al-ghā`ib li al-mufrad (kata ganti

tunggal pihak ketiga) disebut dalam Al-Qur`an sebanyak tujuh kali pada tujuh ayat dan tujuh surah, yaitu Al-An’ām/6 : 154, Yūsuf/12 : 23 dan 100, Kahfi/18 : 30, Sajdah/32 : 7, Mu`min/40 : 64, dan Al-Taghābun/64 : 3.

Adapun aḥsanū yang fā’il-nya berupa ḍamīr ghā`ib li

al-jam’i al-mudhakkar (kata ganti pihak ketiga bagi laki-laki yang

menunjukkan banyak) tercantum enam kali, pada enam ayat dan enam surah, yakni surah Ali ‘Imrān/3 : 172, Al-Mā`idah/5 : 93, Yūnus/10 : 26, Al-Naḥl/16 : 30, Al-Zumar/39 : 10, dan Al-Najm/53 : 31. Sedangkan

aḥsantum yang fā’il-nya berbentuk ḍamīr al-mukhāṭab li al-jam’i (kata

ganti pihak kedua yang menunjukkan banyak) diulang dua kali pada surah al-Isra/17 : 7.

Perbedaan ungkapan tersebut semata-mata terletak pada fā’il-nya yang mengisyaratkan pelakunya sebagai muḥsin, secara umum terdiri dari Allah dan manusia, baik berupa isim āhir maupun isim ḍamīr. Sedangkan fi’il-nya tidak terdapat perbedaan, terbentuk dari kosakata

aḥsana yang berkaitan dengan masa lampau. Hal ini berarti subjeknya

3). Yuḥsinūn dan Tuḥsinū

Dalam Al-Qur`an terdapat derivasi kata muḥsin berupa fi’il

muḍāri’ (kata kerja yang menunjukkan masa kini dan akan datang)

dengan fā’il-nya berbeda satu sama lain. Kata yuḥsinūn dan tuḥsinū

termaktub masing-masing satu kali. Yuḥsinūn yang fā’il-nya berupa

al-ḍamīr al-ghā`ib li al- jam’i al-mudhakkar (kata ganti pihak ketiga yang

menunjukkan banyak bagi laki-laki) terdapat satu kali dalam surah Al-Kahfi/18 : 104 dan tuḥsinū yang fā’il-nya ḍamīr al-mukhāṭab li al-jam’i

(kata ganti pihak kedua yang menunjukkan banyak) termaktub satu kali pada surah Al-Nisā`/4 : 128. Kata ganti yang menjadi subjek kedua kata tersebut menunjukkan kepada muḥsin.

Sebagai kata kerja yang terikat dengan masa kini dan akan datang yuḥsinūn dan tuḥsinū mempunyai karakter dinamis dan berubah-rubah, keberadaan ihsan sebagai amal yang bisa ada dan bisa pula tidak ada pada diri seseorang, sebagai sesuatu yang temporal, meski didalamnya tersimpan makna suatu aktivitas yang berkesinambungan, yakni jika berkehendak mencapai martabat muḥsin, maka ihsan selayaknya selalu ada dan melekat padanya.

4). Aḥsin dan Aḥsinū

Kedua kosakata ini berupa fi’il amr (kata kerja perintah) yang memiliki subjek kata ganti pihak kedua. Term aḥsin yang bersubjekkan kata ganti tunggal tertera dalam Al-Qur`an satu kali pada surah Al-Qaṣaṣ /28 : 77. Dan kata aḥsinū yang subjeknya berupa kata ganti plural tertulis satu kali pada surah Al-Baqarah/2 : 195.

Subjek keduanya mengisyaratkan kepada makna muḥsin, karena ia menjadi sasaran perintah Allah berbuat iḥsān secara konsisten agar menjadi muḥsin sesuai dengan kegunaan fi’il amr yang mengandung makna ṭalab (tuntutan untuk dikerjakan).

5). Iḥsān

Sebutan iḥsān sebagai derivasi muḥsin terulang dalam Al-Qur`an sebanyak 12 kali pada 11 ayat dan delapan surah, yakni Al-Baqarah/2 : 83, 178, dan 229, Al-Nisā`/4 : 36 dan 62, Al-An’ām/6 : 151, Al-Taubah/9 : 100, Naḥl/16 : 90, Isrā`/17 : 23, Aḥqāf/46 : 15, dan Al-Rahmān/55 : 60.

Gramatika bahasa Arab menetapkan bahwa maṣdar berfungsi sebagaimana fungsi fi’il-nya. Artinya kata iḥsān memuat subjek

Paparan di atas menggambarkan term muḥsin dan derivasinya tercantum pada ayat-ayat atau surah Makiyyah dan Madaniyyah, tetapi pada Makiyyah term tersebut terulang 46 kali pada 43 ayat dan 20 surah lebih banyak dibandingkan dengan yang tercatat pada Madaniyyah sebanyak 26 kali, tersebar pada 24 ayat dan sembilan surah.

Penggunaan muḥsin berikut derivasinya dalam ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah lebih banyak berbentuk isim, baik berupa

isim fā’il yang menunjukkan sifat ataupun maṣdar yang jadi kata dasar,

mencapai 51 kali. Dari sejumlah tersebut isim fā’il tercatat 39 kali, lebih banyak dibandingkan dengan maṣdar yang termaktub 12 kali. Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah menghendaki agar setiap orang berbuat ihsan hingga menjadi muḥsin, yaitu sosok pribadi yang memiliki ihsan dengan pasti, mengingat muḥsin merupakan sebutan bagi orang yang melekat pada dirinya aktivitas ihsan secara permanen. Muḥsin dalam segala kegiatannya tidak kosong dari ihsan, karena muḥsin dan ihsan sebagai isim mengisyaratkan kepada sesuatu yang tetap dan terus berlangsung,410 tidak terjadi secara temporer dan bersifat semu. Jadi,

muḥsin dan ihsan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.

Ihsan menjadi faktor penentu bagi seseorang yang menghendaki mencapai martabat muḥsin. Sedangkan muḥsin adalah ahlu al-iḥsān

(orang yang benar-benar berihsan) atau sifat yang melekat pada diri pelakunya. Dengan kata lain, ihsan adalah proses, dan muḥsin adalah hasilnya.

Di samping itu term ihsanpada ayat-ayat tertentu memiliki fungsi sebagai amar atau perintah, seperti lima term iḥsān yang tercantum pada QS. Al-Baqarah/2 : 83, Al-Nisā`/4 : 36, Al-An’ām/6 : 151, Al-Isrā`/17 : 23, Al-Ahqāf/46 : 15. Iḥsān berarti aḥsinū (berbuat baiklah).411 Akan

tetapi setatusnya tidak semata-mata sebagai amar, melainkan juga sebagai maṣdar yang menunjukkan kepada sesuatu yang tetap dan berkesinambungan. Dengan demikian term ihsan yang bersetatus ganda dan termaktub pada kelima ayat tersebut menunjukkan kepada “keharusan berbuat ihsan secara kontinyu”.

Dari isim fā’il yang disebut sebanyak 39 kali, sebutan al-muḥsinīn

mencapai 32 kali, kebanyakan berhubungan dengan balasan Allah swt.

410 Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān Al-Suyūṭiy (849-911 H), Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān (Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1996), Juz 1, 633. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy,

Al-Itqān.

Isyarat yang dapat ditangkap adalah figur muḥsin layak mendapatkan balasan-Nya, sehubungan ia merupakan pemilik ihsan sejati, dan ihsannya berlangsungsecara integral. Pencapaian derajat muḥsin menjadi ukuran utama untuk mendapatkan balasan-Nya. Kepermanenan ihsan dan kualitasnya menjadiunsur yang menentukan bagi perolehan balasan.

Adapun berupa fi’il terulang 21 kali. Fi’il māḍiy tercantum 17 kali, lebih banyak daripada fi’il muḍāri’ dan fi’il amar yang masing-masing termaktub dua kali. Penggunaan fi’il māḍiy terdiri dari enam kali berupa aḥsanū, dua kali berupa aḥsantum, satu kali berbentuk aḥsana

berkaitan dengan balasan, enam kali berbentuk aḥsana yang berhubungan dengan ihsan Allah swt, dan dua kali terdiri dari aḥsana

yang berhubungan dengan ihsan manusia.

Hubungan antara fi’il māḍiy-nya, baik aḥsanū atau aḥsana, dengan balasan memberi petunjuk bahwa orang-orang yang patut mendapatkan balasan Allah adalah mereka yang telah memiliki ihsan atau sudah melakukannya pada waktu yang telah lewat. Akan tetapi, sejalan dengan keterikatan fi’il dengan waktu, maka ihsan pada katagori ini bersifat temporal, fluktuatif, dan mengalami perubahan atau mengenal dinamika. Kadar kemungkinan antara ihsan dilakukan seseorang dengan konsisten atau tidak dan antara semakin meningkat pelaksanaannya atau tidak demikian besar, karena “pengungkapan fi’il bagi suatu term menunjukkan kepada munculnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan”.412 Sebutan lain adalah fi’il memiliki sifat harakah (bergerak,

mengenal perubahan, atau mengalami dinamika).413

Fi’il māḍiy dari ihsan yang dipakai oleh Allah swt berkaitan

dengan pahala-Nya mendudukkan ihsan menjadi syarat yang urgen untuk memperoleh pahala tersebut. Selain itu penggunaannya dalam rangkaian ayat, di samping tepat, juga menggambarkan keserasian redaksi dan maknanya.

Adapun ungkapan aḥsantum sebanyak dua kali dalam satu ayat (QS. Al-Isrā`/17 : 7) yang bersifat kausalitas dalam tarkīb jumlah

al-sharṭiyyah (setruktur kalimat yang terdiri antara syarat dan jawab)

menekankan kepada implikasi berbuat ihsan. Pada hakekatnya, implikasi tersebut dirasakan oleh diri sendiri. Oleh karena ungkapannya menggunakan fi’il māḍiy, maka ihsan yang telah dilakukan dan dimiliki

412 Al-Suyūṭiy, Al-Itqān, Juz 1, 199.

413 Hasan Hanafi, Al-Dīn wa Al-Thawrah fī Miṣr 1952-1981 (Kairo, Markaz

itu yang berdampak pada diri pelakunya masih bersifat sementara dan dependen. Apabila kepemilikan ihsan oleh seseorang dapat dipertahankan, maka implikasinya akan dirasakan berkesinambungan. 2. Konteks Penggunaan Term Muḥsin

Bagian ini memaparkan tema-tema yang berkaitan dengan penggunaan term muḥsin dan derivasinya dalam perspektif Makkiyyah dan Madaniyyah. Tema-tema tersebut sebagai berikut:

1). Muḥsin berkaitan dengan balasan (pahala) Allah swt

Pengkaitan term al-muḥsinīn (jamak dari term muḥsin) dengan balasan yang terulang 32 kali membuktikan apresiasi Allah swt yang tinggi kepada ahli ihsan sesuai dengan peranan Al-Qur`an dan agama Islam sebagai pemberi kabar gembira kepada pelaku kebaikan, dan fungsinya menjadi peringatan kepada mereka pelaku tindak aniaya.414

Peranannya menjadi bushrā (memberi kabar gembira) bertujuan memotivasi manusia, secara intensif, untuk memacu diri menjadi muḥsin

yang merupakan pribadi yang dapat menempatkan diri pada posisinya sebagai sosok yang selalu menyatakan diri Tuhannya adalah Allah dan konsisten dalam beramal.415 Dengan fungsinya sebagai bushrā,416

Al-Qur`an mengakui kepandaian manusia memilih sesuatu yang terbaik baginya agar terbebas dari kesedihan dan ketakutan,417 dan Al-Qur`an

memahami kecenderungan manusia menyukai penilaian, setimulasi, dan penghargaan. Al-Qur`an menuntun manusia agar menjatuhkan pilihan kepada perbuatan baik yang menguntungkan dirinya418 dan

414 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 232.

415 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 10, Juz 26, 26.

416 Maksudnya adalah memberikan kabar gembira yang sempurna, tidak

disertai sama sekali berita yang menakutkan baik di dunia maupun akhirat. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 125.

417 Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa kata bushrā yang termaktub pada penggalan

surah Al-Ahqāf/46 : 12 wa bushrā li al-muḥsinīn mengandung pengertian menafikan rasa sedih dan takut yang sering menyelimuti kehidupan manusia, dan memiliki pesan mengikat erat-erat manusia agar berpegang teguh terhadap Al-Qur`an. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 10, Juz 26, 26.

418 Al-Alūsiy menjelaskan tentang ayat takhyīr yang menjadi sebutan dari surah

Al-Ahzab/33 : 28-29 yang isi berkenaan dengan tuntutan kepada isteri-isteri Nabi saw untuk memilih antara salah satu dari dua pilihan, yaitu perhiasan duniawi atau keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta kebahagiaan akhirat sesungguhnya ayat tersebut menghendaki agar isteri-isterinya memilih pilihan yang kedua, karena pilihan pertama disertai ancaman perceraian, sedangkan pilihan yang kedua diiringi dengan janji kebahagiaan yang hakiki. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 11, 178-179.

memanfaatkan kecenderungannya untuk meraih penghargaan yang sesuai dengan fitrah.419 Hal ini dimaksudkan supaya manusia sukses mencapai

tujuan hidup yang hakiki, yaitu perkenan Allah,420 dan tidak terjebak

pada harapan semu. Di sini letaknya berita gembira itu diberikan kepada orang-orang muḥsin sebagai insan yang telah dapat memadukan unsur lahiriah dan batiniah dalam mengagungkan nama Allah secara konsisten hingga mendapatkan keridhaan-Nya.421

Pada periode Mekkah Islam menghadapi masyarakat Arab yang terpuruk pada tradisi kemusyrikan dengan menuhankan makhluk seperti berhala Lāta, ‘Uzza, dan Manāt yang diyakini menjadi anak-anak perempuan Tuhan sebagai warisan dari ajaran nenek moyang mereka.422

Mereka terjebak orientasi keduniaan yang dianggap sebagai penentu kehidupan. Kebanggaan terhadap kedudukan, kekayaan, dan kehormatan semu mewarnai praktek kehidupan sosial yang melahirkan sistem kelas di tengah-tengah tatanan kemasyarakatan. Wanita menempati kelas dua, hingga kelahiran bayi wanita tidak disukai mereka.423 Tradisi kemusyrikan dan orientasi hidup keduniaan menjadi penyebab mereka menentang ajaran keimanan kepada Allah, nabi, dan Al-Qur`an, dan menolak tuntunan peribadatan yang berbasis tauhid, serta berpaling dari panduan akhlak mulia.

Sikap hidup seperti itu dinilai Allah sebagai ilmu atau pengetahuan yang dangkal. Nabi saw diperintahkan untuk berpaling dari perilaku tersebut, meski mereka memuja dan mengagungkannya.424

419 Ibn ‘Āshūr menyebutkan bahwa agama yang dimaksudkan oleh Al-Qur`an

diridhai Allah memiliki dua sifat pokok yang dilekatkan kepada pengikutnya, yaitu bebas dari syirik dan sesuai dengan fithrah. Pendapatnya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Rum/30 : 30. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 21, 89.

420 Majid, Islam Doktrin, xvi.

421 Makna al-muḥsinīn yang termaktub pada potongan surah Al-Ḥajj/22 : 37 wa baṣṣir al-muḥsinīn adalah mereka yang mewujudkan ihsan dalam segala aktifitasnya, baik bentuk atau aknanya (lahir dan batin). Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 156.

422 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 519.

423 Al-Zamakhshariy mengatakannya mereka diliputi rasa malu dan sedih

dihadapan publik atas kelahiran bayi wanita, sehingga diri mereka dipenuhi gejolak amarah yang meluap-luap. Pernyataan ini merupakan penafsirannya terhadap surah Al-Naḥl/16 : 58. Al-Zamakhariy, Al-Kashshāf, 575.

424 Demikianlah Ibn ‘Āshūr menafsirkan surah Al-Najm/53 : 29-30. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 27, 116-118.

Demikian pula mereka dinilai Tuhan sebagai orang-orang yang

asā`ū (berbuat buruk) dengan makna ashrakū (berbuat syirik)425 yang

akan menerima balasan yang setimpal. Sedangkan yang diinginkan-Nya adalah aḥsanū atau berbuat ihsan dengan arti patuh kepada-Nya dengan sebaik mungkin426 yang dijiwai sikap waḥḥadū427 (mentauhidkan Allah),

konsekwensi logisnya adalah mendapatkan pahala yang lebih baik dibandingkan dengan cita-cita dan orientasi keduniaan mereka.428

Kepastian pahala bagi orang-orang muḥsin berupa naungan yang teduh dan berada di sekitar mata-mata air dengan menyebutkan muttaqīn

sesuai dengan isi pesan surah Al-Mursalāt/77 : 41-44 sebagai bentuk sanjungan Tuhan karena sifat ihsan yang melekat pada mereka 429

(orang-orang yang bertakwa), yakni menjaga diri dari siksa Allah dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhi maksiat430 atau orang yang

menjaga diri dari hal-hal yang dibenci-Nya untuk mendapatkan keridhaan-Nya431 menjadikan muttaqīn sebagai makna langsung

muḥsinīn, yakni orang-orang yang bertakwa dari kalangan ahli ihsan432

atau al-Muttaqīn al-Muḥsinīn (pelaku takwa yang muḥsin).433 Akan tetapi

keberadaan kata muttaqīn tersebut sebagai bandingan dari kata

mukadhdhibīn (orang-orang yang mendustakan) hari kiamat.434 Pesan

yang tertangkap dari pembandingan kedua kosakata tersebut berinplikasi kepada muḥsinīn menjadi lawan kata mukadhdhibīn. Makna ini relevan

425 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1364.

426 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 11, 525. 427 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1364.

428 Ibn ‘Āshūr lebih jauh menyebutkan bahwa balasan tersebut setimpal sesuai

dengan perbuatan yang dikerjakannya selama hidup di dunia. Namun bagi ahli ihsan akan memperoleh pahala melebihi (Al-Husnā) dari amal baik yang dikerjakannya, ini mengisyaratkan adanya penghargaan yang berlipat ganda atas berbagai kebaikan. Ungkapannya ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Najm/53 : 31. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 27, 119-121.

429 Ungkapan Al-Alūsiy tersebut berhubungan dengan penafsirannya atas surah

Al-Mursalāt/77 : 41-44. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 15, 197.

430 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 12, 329. 431 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 290.

432 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 12, Juz 29, 444. 433 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 291.

434 Al-Alūsiy menuturkan bahwa makna muttaqīn yang tercantum pada surah

Al-Mursalāt/77 : 41 adalah mereka yang bersih dari kekafiran dan sifat berdusta mengingat posisinya menjadi pembanding (muqābalah) bagi al-mukadhdhibīn yang termaktub pada ayat surah Al-Mursalāt/77 : 40. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 15, 196.

dengan risalah Nabi saw pada periode Mekkah. Ajakan kepada ketauhidan dan berakhlak mulia serta pembebasan masyarakat dari kemusyrikan pada periode ini memiliki porsi yang besar. Penafsiran seperti ini tidak berpengaruh kepada penyempitan arti muḥsinīn, tetapi justru menghubungkan secara signifikan makna muḥsinīn kepada peletakan dasar-dasar kemanusiaan yang di kala itu mengalami kenistaan.

Sebagai contoh berupa penindasan, pembunuhan atau pengusiran yang dilakukan oleh kaum musyrik Mekkah terhadap Nabi saw dan sahabat-sahabatnya seperti yang termuat pada surah Al-Mumtahanah/60 : 9 sebagai wujud penolakan mereka terhadap ketuhanan Allah swt dan kenabian Muhammad saw dengan mengukuhkan tradisi kemusyrikan setelah datangnya petunjuk dari Nabi saw yang mengemban misi ketuhanan dan kemanusiaan adalah bukti kenistaan tersebut,435 yang

termasuk ke dalam tindak pengrusakan di permukaan bumi yang bersifat destruktif dan berdampak kepada rusaknya tatanan kehidupan lingkungan fisik, sosial, dan moral, dengan melakukan tindakan yang merusak agama, badan, akal, keturunan, dan harta,436 serta jiwa.437

Larangan merusak di muka bumi yang tertera pada surah Al-A’rāf/7 : 56 berdampingan dengan perintah berdo’a yang disertai khauf

(rasa takut) dan rajā` (rasa harap)438 kemudian dihubungkan dengan

pemberian balasan kepada muḥsinīn menandakan bahwa; tidak layak dijuluki muḥsin, jika sesesorang melakukan kerusakan di muka bumi, sedangkan khauf serta rajā` memiliki peranan penting sepanjang hidup, apabila kematian telah tiba, maka rajā`-pun menghilang,439 dan keduanya

435 Hal ini merupakan isi dari penafsiran Bayḍāwiy terhadap surah

Al-Mumtahanah/60 : 9. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 2, 487.

436 Al-Biqā’iy dengan menyebutkan kelimanya sebagai kegiatan merusak di

bumi, tetapi tidak termasuk ke dalamnya melakukan kerusakan terhadap jiwa. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 3, 44.

437 Al-Rāziy menggolongkan enam hal ke dalam melakukan kerusakan di

permukaan bumi, yakni merusak jiwa, anggota badan, harta, keturunan, agama, dan akal. Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 7, Juz 14, 108.

438Khauf berarti rasa takut kepada siksa Allah, dan rajā` berarti mengharapkan

pahala-Nya agar do’a dan segala aktivitas dilaksanakan dengan ikhlas dan terbebas dari syirik. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 515. Atau Khauf diartikan dengan takut ditolaknya do’a karena mines amal dan tidak layak menuntut haq kepada-Nya, dan rajā`

diartikan dengan rasa harap diterimanya do’a sebagai karunia dan kebaikan, karena limpahan rahmat-Nya. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 3, 342.

439 Kutipan ini dikuatkan oleh Al-Qurṭubiy dengan sabda Nabi saw; yamūtunna ahadukum illā wa huwa yuhsinu al-ẓanna bi Allah (HR. Muslim). Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 7, 227, dan Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 9, 140.

merupakan ciri yang melekat bagi seorang muḥsin dalam berdo’a.440 Al-Qur`an menyebutkan kehadiran para rasul yang berbekal wahyu dan dijuluki sebagai pribadi-pribadi muḥsin merupakan salah satu faktor penentu dalam memperbaiki (iṣlāḥ) kehidupn di permukaan bumi.441 Nabi Musa as sebagai utusan Allah bagi kaumnya berbekalkan

wahyu disertai hikmah (kenabian), ilmu (pemahamannya yang luas tentang agama),442 dan kepribadian muḥsin seperti yang tercantum pada

surah Al-Qaṣaṣ/28 : 14 agar dapat menyampaikan risalah dengan bijak, berwawasan, dan keteladanan, serta tidak berkata dan melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya.443 Nabi Yūsuf as dalam menyampaikan risalah

memiliki bekal yang sama dengan Nabi Musa as, yakni hikmah dan ilmu yang menjadi anugerah Tuhan bagi dirinya sebagai pribadi muḥsin

sebagaimana tertulis pada surah Yūsuf/12 : 22.444 Demikian pula Nabi

Dawud dan Sulaeman berbekal hikmah dan ilmu seperti yang termaktub pada surah Al-Anbiyā`/21 : 79. Hal ini mengandung pesan dibolehkannya para rasul berijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan.445

Sebagai kelompok Makkiyyah ayat-ayat di atas menitikberatkan kaitan muḥsinīn dengan pahala. Tujuannya memberikan motivasi kepada manusia agar mencapai martabat tersebut. muḥsinīn merupakan citra pribadi ideal yang melekat pada diri para rasul, tokoh panutan yang bertugas melakukan perubahan perilaku umat menuju pribadi-pribadi