• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN

1. Patuh dan Tunduk

Term yang menunjuk makna patuh dan tunduk berupa kosakata

ṭā’ah668 dan istijābah669 merepresentasikan sifat mulia seorang muḥsin

yang menyatu dalam dirinya sebagai pertanda ketinggian kualitas pribadi.670

Patuh dan tunduk yang dicerminkan oleh kosakata istijābah

meliputi berbagai aspek, baik dilakukan hati atau fikiran dan yang dikerjakan lisan atau anggota badan, baik dalam kaitannya dengan segi keimanan dan amal saleh maupun menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kemaksitan disertai rasa kebersamaan dengan Allah mengingat dalam kosakata tersebut terdapat dimensi kepatuhan yang tulus, tidak disertai keterpaksaan sama sekali.671

Firman Allah surah Al-Ṣaffāt/37 : 113672 menggambarkan

klasifikasi manusia ke dalam dua golongan, yakni orang yang menganiaya diri sendiri (ẓālim li nafsih) dan orang yang berbuat baik

(muḥsin). Muḥsin merupakan anti tesis bagi ẓālim li nafsih. Ayat tersebut

mengisyaratkan bahwa pada manusia terdapat potensi yang memiliki peluang yang sama untuk menjadi muḥsin atau ẓālim li nafsih yang

668 Makna ini dicetuskan oleh Al-Jauziy ketika menafsirkan surah Al-Isrā`/17 :

7 seperti yang termaktub di atas. Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 803.

669 Al-Alūsiy menafsirkan penggalan surah Ali ‘Imrān/3 : 172 -al-ladhīna istajābū- dengan al-ladhīna aṭā’ū (mereka yang patuh). Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 336.

670 Al-Zamakhshariy menafsirkan al-ladhīna istajābū yang tertera dalam surah

Ali ‘Imrān/3 : 172 sebagai orang-orang yang semua muḥsin dan bertakwa. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 206. Demikian pula Al-Alūsiy dalam menafsirkan surah Ali ‘Imrān/3 : 172 menyatakan bahwa al-ladhīna istajābū adalah orang-orang yang

muḥsin dan bertakwa.Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 3, 336.

671 Al-Qushairiy sewaktu menafsirkan surah Ali ‘Imrān/3 : 172 lebih jauh

menjelaskan bahwa kepatuhan mereka (sahabat-sahabat Nabi saw) kepada Allah tanpa keraguan meskipun menanggung resiko yang berat, mereka justeru dalam mematuhi-Nya ditopang dengan kecondongan dan kecintaan hati, kesiapan mengorbankan jiwa, dan ketulusan menjungjung tinggi komitmen kepada ketentuan-Nya dan dalam mematuhi rasul-Nya dengan mengamalkan syareatnya. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 1, 282.

672 Al-Samarqandiy menafsirkan ayat tersebut dengan memnyatakan bahwa

keberkahan yang diterima keduanya dari Allah swt berupa peningkatan dan penambahan harta dan anak. Dari keduanya lahir keturunan yang tidak terhitung jumlahnya, di antaranya adalah keturunan yang muḥsin seperti Nabi Musa, Harun, Dawud, Sulaeman, Isa as, dan orang-orang mukmin ahli kitab. Dan di antaranya terdapat keturunan yang jelas-jelas menganiaya diri sendiri, yaitu mereka orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah swt. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 122.

terlihat sebagai dua hal yang paradok. Al-Qur`an menuntutnya supaya berihsan dalam kiprah kehidupannya, termasuk berihsan kepada diri sendiri yang menjadi bagian melekat pada setiap individu hingga menjadi

muḥsin.673 Setiap orang yang mengamalkan ketentuan Allah dari sejak

iman dan beribadah kepada-Nya hingga menjauhkan duri dari jalan layak mendapatkan predikat muḥsin.674 Dapat dinyatakan sebaliknya bahwa

orang yang melanggar ketentuan-Nya dari sejak berbuat syirik sampai dengan memasang duri di tengah jalan yang dapat mencelakakan pihak lain termasuk ke dalam ẓālim li nafsih.

Seorang muḥsin memiliki sifat mentaati sepenuh hati (istijābah) terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ragu-ragu. Sikap konsisten yang disertai dengan komitmen yang tinggi dan siap menanggung resiko yang diakibatkan sikapnya tersebut merupakan karakter yang dimiliki dan melekat pada setiap muḥsin.

Surah Ali ‘Imrān/3 : 172 yang memaparkan sifat istijābah

tersebut turun setelah perang Uhud, merupakan penghargaan Allah swt kepada sahabat-sahabat Nabi yang berjumlah 70 orang, termasuk Abu Bakar Siddiq, Umar ibn Khathab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abd Rahman ibn Auf, Abd Allah ibn Mas’ud, Hūdhaifah ibn Al-Yaman, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah dan Al-Zubair ra yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap perintah serta undangan Allah dan Nabi-Nya untuk menghadapi kaum musyrikin yang telah melukai Nabi saw dan sebagian sahabat serta membunuh sebagian lainnya.675

673 Al-Bayḍāwiy menyebutkan bahwa muḥsin adalah orang yang memperindah

amal atau berlaku ihsan kepada diri sendiri dengan beriman dan kepatuhan. Sedangkan

ẓālim li nafsih ialah orang yang merusak dirinya dengan kemaksiatan dan kekafiran. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 300, dan Abī Al-Su’ūd, Tafsīr Abī Al-Su’ūd, Jilid 5, 336. Adapun Ibn ‘Āshūr dalam menafsirkan surah Al-Ṣaffāt /37 : 113 menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan manusia tidak selamanya sejalan dengan pendahulunya yang menjadi asal-usulnya. Orang yang baik memungkinkan melahirkan generasi yang buruk, dan orang yang jahat berpeluang melahirkan generasi yang baik. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 9, Juz 23, 162. Dengan demikian kebaikan dan keburukan seseorang tidak ditentukan oleh keturunan melainkan oleh amalnya, dan ketidak baikan suatu keturunan tidak mempengaruhi kecacadan dan kelemahan seseorang. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 912.

674 Ṭanṭāwiy Jauhariy, Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm Al-Mushtamil ‘alā ‘Ajā`ib badā`i’ Al-Mukawwanāt wa Gharā`ib Al-Āyāt Al-Bāhirāt (Beirut, Dār Ihyā` Al-Turāth Al-‘Ārabiyyah, 1991), Juz 8, 187. Selanjutnya disebut Jauhariy, Al-Jawāhir.

675 Abī Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wāḥidiy Al-Naysābūriy, Asbāb Al-Nuzūl

(Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1997), 111-112. Selanjutnya disebut Al-Wāḥidiy, Asbāb Al-Nuzūl. Dan Al-Suyūṭiy,Asbāb Al-Nuzūl, 66-67.

Mereka mendapatkan dua penghargaan, yaitu predikat ahli ihsan dan ahli surga, karena mereka telah mengorbankan kepentingan pribadi dan menenggelamkan gejolak keinginan hawa nafsu, mengutamakan kehendak Allah dan Rasul di atas segala-galannya. Kesiapan dan ketaatan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya menjadi prioritas dalam kehidupan mereka.

Sebutan sebagai orang yang berbuat ihsan dan bertakwa yang diberikan kepada orang-orang beriman yang memilih taat serta memenuhi ajakan Allah dan Rasul-Nya merupakan apresiasi yang tinggi sehubungan berbuat ihsan adalah melakukan suatu amal dengan sempurna hingga melihat Allah atau merasakan kebersamaan dengan-Nya, dan bertakwa ialah perasaan takut yang mendalam untuk berbuat jahat dan bertindak lalai.676

Lebih jelas lagi, apabila pesan ayat di atas dikaitkan dengan latar belakang turunnya bahwa “Sesungguhnya Abu Sufyan dan sahabat-sahabatnya ketika meninggalkan medan perang Uhud dan setibanya di

al-Rauḥā, mereka kecewa dan berkeinginan untuk kembali lagi. Berita ini

sampai kepada Nabi saw, beliau berkehendak menghancurkan mereka dan menunjukkan kekuatan diri dan kekuatan sahabat-sahabatnya (show

of force) di hadapan mereka, kemudian beliau mengajak para sahabat

mencari Abu Sufyan, seraya bersabda “Tidak perlu seorang-pun keluar bersama kami kecuali ia yang berada bersama kami kemarin”, kemudian Nabi saw keluar bersama sahabat-sahabat hingga sampai di Ḥamrā Asad, suatu daerah yang jaraknya delapan mil dari kota Madinah, padahal mereka terluka, tetapi mereka bersemangat heroik untuk mendapatkan al-ajr (pahala), Allah swt mendatangkan rasa takut dalam hati orang-orang musyrikin hingga mereka lari.677

Pesan ayat tersebut menekankan kesiapan menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan kolektif dengan landasan semangat rasa memiliki yang kuat serta dedikasi yang konstruktif dan kreatif.

Kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan sekitar, baik yang bersekala kecil seperti kerluarga, maupun yang bersekala luas semacam bangsa dan negara menjadi bagian tanggungjawab seorang

muḥsin yang berkarakter istijābah sesuai dengan kemampuan dan bidang

keahliannya. Akan tetapi dalam kiprahnya diwarnai moralitas tinggi yang terpancar dalam akhlak mulia hingga terlihat merepresentasikan

676 Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Jilid 4, 237-238. 677 Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 66.

pribadi yang berkualitas. Sedangkan Istijābah berarti kesediaan memenuhi panggilan Allah swt dan nabi dengan ketaatan total, tidak disertai keterpaksaan. Istijābah kepada Allah ialah komitmen terhadap wujud dan ketetapan-Nya, dan istijābah kepada Nabi berarti berprilaku dengan ketentuannya secara konsisten.678

2. Tulus

Karakter seorang muḥsin adalah tulus atau ikhlas kepada Allah dan Nabi dalam beriman dan melaksanakan amal saleh sebagai makna dari ﺢﺼﻨﻟا,679 seperti diisyaratkan surah Al-Taubah/9 : 91.680

Term ﺢﺼﻨﻟا pada ayat ini berkaitan erat dengan penggalan ayat

‘alā al-muḥsinīn min sabīl yang bermakna “tidak ada alasan

menyalahkan muḥsinīn karena ikhlas mencari keridaan Allah dan rasul-Nya meski tidak mampu berjihad. Kondisi seperti ini dihargai-rasul-Nya dengan diberi pahala yang senilai dengan yang berjihad. Penafsiran ini menggunakan munāsabah atau mengkaitkan ayat ini dengan Al-Nisā`/4 : 95 (Tidaklah sama antara mukmin yang duduk atau tidak turut berperang yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka).”681

Orang mukmin yang mendapatkan dispensasi tidak berjihad adalah para manula, orang-orang sakit, dan mereka yang tidak mendapatkan sesuatu yang dinafkahkan untuk pergi berjihad. Tidak ada alasan sedikitpun untuk menyalahkan dan menghukum mereka, karena mereka adalah muḥsinīn yang dengan keikhlasannya ingin sekali berjihad. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka yang memilki prilaku tersebut (ikhlas) dan tidak berpura-pura.682

678 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 283. 679 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 516.

680 Menurut Al-Alūsiy al-Nuṣḥ secara leksikal berarti al-khulūṣ (tulus).

Berhubungan dengan surah Al-Taubah/9 : 91 Al-Alūsiy mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan nuṣḥihim yang tercantum pada ayat tersebut idhā naṣaḥū adalah mencurahkan daya kemampuan mereka dalam memanfaatkan agama Islam dan umat Islam untuk mengikat diri kepada urusan dan keluarga mereka, serta berita-berita tentang mereka yang seharusnya disampaikan kepada mereka. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī,Jilid 5, 345.

681 Muhammad Shukrī Ahmad Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk (Mesir, Dār

Al-Salām, 1999), Jilid 1, 417-418. Selanjutnya disebut Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk.

Dengan makna ikhlas, term ﺢﺼﻨﻟا yang ditautkan dengan Allah dan rasul-Nya sebagaimana penggalan ayat di atas idhā naṣaḥū li Allah

wa rasūlih dapat dipahami lebih jauh. Al-naṣḥu li Allah ialah beriman

kepada Allah swt, melaksanakan syareat dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengannya, menasehati orang lain, cinta kepada orang yang berjihad di jalan-Nya, dan memberi pandangan kepada mereka mengenai urusan jihad serta tidak memberikan bantuan sekecil apa-pun kepada musuh. Sedangkan al-naṣhu li rasūlihi adalah membenarkan kenabian dan semua hal yang dibawa Nabi Muhammad saw dengan mencintai dan menghidupkan sunnahnya secara maksimal, mengikuti orang yang mengikutinya dan waspada kepada orang yang memusuhinya. Jadi arti potongan ayat mā ‘alā al-muḥsinīn min sabīl adalah jins al-muḥsinīn

(orang-orang yang tergolong muḥsin) atau mereka yang melakukan

taubatan naṣūhā atau memohon ampun kepada Allah dan rasul-Nya

denga ikhlas. Dengan demikian ketidakikutsertaan mereka berjihad tidak berdosa dan tidak beralasan untuk dimarjinalkan.683 Dengan kata lain keikhlasan tersebut terbebas dari sifat pura-pura dan tidak memiliki rasa takut kepada sesama manusia, serta tidak berkeinginan menghalangi dan menyebarkan fitnah kepada yang berangkat berperang, malah justru memotivasinya dengan tulus.

Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan seorang buta bernama ‘Abd Allah bin Ummi Maktum yang tulus disampaikan kepada Nabi saw tentang ketidak mampuannya melaksanakan perintah jihad.684

Ketulusan hati tersebut sebagai perwujudan dari komitmennya kepada perbuatan ihsan berdampak kepada lahirnya respon Allah yang apresiatif dengan menganugerahkan gelar muḥsin dan memberi dispensasi serta ampunan dan kasih sayang-Nya. Ini berarti faktor ketulusan hati menjadi sesuatu yang fundamental bagi kehidupan seorang muḥsin.

3. Sabar

683 Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr Al-Jāmi’ bayna Fannay Al-Riwāyah wa Al-Dirāyah mīn ‘Ilm al-Tafsīr (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.t),Jilid 2, 500. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr.

684 Ayat ini diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan

ke datangan seorang buta bernama ‘Abd Allah bin Ummi Maktūm kepadanya yang bertepatan dengan Zaid ibn Tsābit tengah menulis ayat-ayat dari surah Al-Barā`ah sampai ayat yang berisikan perintah jihad, seraya ia bertanya kepadanya: “Bagaimana dengan saya yang buta ya Rasul Allah ?”, kemudian turun ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk. Jilid 1, 417-418, dan Al-Suyūṭiy,

Seorang muḥsin merupakan sosok pribadi yang berpenampilan sabar atas segala hal yang diterimanya dari Allah swt, baik yang menyenagkan atau yang menyedihkan. Sabar adalah salah satu unsur esensial yang menentukan seseorang mendapatkan predikat muḥsin.685

Penggalan ayat 148 dari surah Ali ‘Imrān wa Allah yuḥibbu

al-Muḥsinīn berkedudukan sebagai tadhyīl (kalimat yang mengiringi) yang

menunjukkan subjek pembicaraan pada ayat ini adalah setiap muḥsin

yang memperoleh kemenangan, harta rampasan, dan sanjungan di dunia sebagai penghargaan dan kecintaan Allah, serta kebahagiaan hidup yang hakiki dan kekal di akhirat.686 Apresiasi ini menjadi bukti diterimanya

doa orang-orang sabar yang terdiri dari para nabi dan sahabat-sahabat mereka.

Interpretasi ini meletakkan potongan ayat tersebut memiliki kaitan erat dengan dua ayat sebelumnya, yaitu ayat 146 yang menjelaskan kecintaan Allah swt kepada orang-orang yang bersabar, karena kekuatan mental ketika tertimpa bencana dan ketangguhan pendirian di jalan-Nya dalam menghadapi musuh. Selain itu, mereka bersikap mengorientasikan diri kepada Allah swt semata dengan memanjatkan doa agar diampuni dosa dan tindakan berlebihan mereka, serta supaya diteguhkan pendirian mereka dan mendapatkan pertolongan-Nya, seperti yang tertuang dalam ayat 147.687 Lebih jelas lagi sifat sabar

685 Al-Ṭabariy dalam menafsirkan term muḥsinīn yang tertera pada surah Ali

‘Imrān/3 : 148 orang yang mendapatkan predikat sebagai orang yang berperilaku sebagaimana orang yang memiliki perilaku dan sifat tersebut yaitu sabar dalam merealisasikan kepatuhannya kepada Allah meski nabinya terbunuh, sabar dalam berjihad melawan musuh, memohon pertolongan semata-mata kepada-Nya, dan senantiasa tunduk kepada petunjuk pemimpinnya dalam membela-Nya. Al-Ṭabariy,

Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 466.

686 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 4, 121. Tadhyīl dalam

kajian balāghah bermakna mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang memiliki kandungan makna yang meliputinya dengan tujuan mempertegas dan memperkuat maknanya. Al-Sayyid Ahmad Al-Hāshimiy, Jawāhir Balāghah fī Ma’ānī wa Al-Bayān wa Al-Badī’ (Indonesia, Maktabah Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1960), 231-232. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah.

687 Ibn ‘Āshūr melukiskan kandungan surah Ali ‘Imrān/3 : 146-147 sebagai

sifat yang layak dimiliki oleh pengikut para nabi, yaitu tidak rendah dalam kemampuan beramal dan dalam melakukan gerakan ketika berjuang, serta tidak pernah menunjukkan kelemahan fisik mereka. Apabila sebaliknya, maka mereka akan mengalami rendah semangat juang dan mudah putus asa, serta gampang menyerah dan takluk kepada musuh. Sifat tersebut disertai dengan perilaku memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan yang pernah dilakukan mereka bila mendapatkan bencana, serta berdo’a

menjadi ciri muḥsin dimuat secara eksplisit pada surah Hūd/11 : 115.688 Ayat ini merupakan satu-satunya yang mengkaitkan secara langsung term sabar dengan titel muḥsinīn dalam satu teks, meskipun term sabar dengan berbagai derivasi dan konteksnya terulang dalam Al-Qur`an sebanyak 103 kali.

Kecenderungan pesan ayat di atas berlaku umum bagi semua umat, meski perintah bersabar dalam melaksanakan kepatuhan dan menjauhi maksiat ditujukan kepada Nabi saw, karena penggalan ayat

fainna Allah lā yuḍī’u ajr al-Muḥsinīn menjadi argumen dan petunjuk

bahwa sabar termasuk bagian dari berbuat ihsan.689 Dengan demikian,

kesabaran seseorang dalam menghadapi liku-liku kehidupan, baik ketika berpegang pada aturan Allah, melaksanakan ibadah ataupun menghadapi ujian yang berat menjadikan dirinya patut menyandang sebutan

muḥsinīn.690

Kesabaran menjadi karakter bagi seorang muḥsin, dikarenakan di dalam berbuat ihsan dengan istiqamah termuat keyakinan penuh akan ketentuan Allah swt, keteguhan tekad, pengendalian mental, kesadaran akan keseimbangan hidup, dan optimisme yang proporsional.