• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN

3. Zikir dan Do’a

Hubungan muḥsin dengan Allah swt direalisasikan dengan zikir dan do’a yang menjadi karakteristiknya. Kedua aktivitas ini merupakan bentuk komunikasi dan dialog dengan-Nya yang dibangun seorang

muḥsin secara berkesinambungan hingga merasakan kehadiran-Nya.

Zikir dan do’a merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seorang yang berdo’a berarti berzikir sehubungan di kala ia berdo’a kepada Allah

609 Abī Bakar Muḥyi Al-Dīn Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad

Al-Ṭā`iy Al-Ḥātimiy Ibn ‘Arabiy (w. 638 H), Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006), Jilid 1, 306. Selanjutnya disebut Ibn ‘Arabiy, Tafsīr.

di saat itu pula ia menyebut dan mengingat-Nya. Demikian pula sewaktu orang berzikir dalam saat yang bersamaan ia-pun berdo’a, meski redaksi permohonannya secara eksplisit tidak diucapkan, tetapi secara implisit rasa memerlukan Allah agar memenuhi apa yang diinginkan dalam hati menyertainya terus menerus. Do’a menjadi bagian dari zikir, dan dalam zikir terkandung do’a.611

Dalam Al-Qur`an term zikir dengan berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 280 kali, salah satunya berupa perintah berzikir.612

Sedangkan kosakata do’a berikut derivasinya terulang sebanyak 209 kali, di antaranya perintah berdo’a.613

Pada dasarnya zikir merupakan inti sekaligus tujuan melakukan ibadah maḥḍah. Inti dan tujuan shalat adalah zikir,614 inti dan tujuan

ibadah puasa ialah zikir,615 inti ibadah haji terletak pada zikir kepada

Allah swt,616 demikian pula berqurban dijiwai ketakwaan dan bersikap

611 Kisah Nabi Yūnus as berada dalam perut ikan menjadi contoh bahwa tasbih,

tahlil, dan pengakuan atas kesalahan yang ditujukan kepada Allah swt menyebabkan dikeluarkannya dari perut ikan, meskipun ia tidak menggunakan redaksi permohonan (do’a). Demikian inti pendapat M. Quraish Shihab ketika menjelaskan surah Al-Anbiyā`/21 : 87 yang dikaitkan dengan surah Al-Ṣaffāt/37 : 143-144. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta, Lentera Hati, 2006), 175-176. Selanjutnya disebut Shihab, Wawasan.

612 Seperti surah Al-Baqarah/2 : 152. Shihab, Wawasan, 9.

613 Semisal surah Ghāfir/40 : 60. Muhammad Fu`ad Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur`an Al-Karīm (Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t), 326-330. Selanjutnya disebut Bāqi’, Al-Mu’jam.

614 Pernyataan tersebut merupakan subtansi dari penafsiran Zamkhsyariy atas

surah Ṭāhā/20:14. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 652.

615 Hal ini merupakan subtansi penafsiran Al-Rāziy atas surah Al-Baqarah/2 :

185. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 5, 80.

616 Zamakhshariy menyatakan bahwa tujuan utama dari segala sesuatu yang

berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah menyebut nama-Nya. Hal ini berhubungan dengan penafsirannya atas surah Ḥajj/22 : 28. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 694. Demikian pula Ibn Taymiyyah dengan berpegang pada hadis yang diriwayatkan Abū Dāwud dan al-Turmudziy sebagai argumentasinya menyatakan bahwa ibadah haji disebut nusuk karena merupakan ibadan dan semata-mata merendahkan diri kepada Allah dengan menyebut nama-Nya dalam bentuk perbuatan atau aktivitas seperti sa’i, tawaf, dan lontar jumrah. Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil, Juz 5, 367. Hadis Nabi saw tersebut mendudukkan thawaf, sa’i, dan lontar jumrah sebagai perwujudan berzikir kepada Allah swt. Abū Dāwud Sulaiman bin Al-Asy’ath Al-Sabahtāniy (w. 275 H), Sunan Abī Dāwud (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1996), Juz 2, 44. Dan Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Saurat Al-Turmūdziy (w. 297 H), Sunan Al-Turmūḍiy (Beirut, Dār Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 2, Bab 65, 59.

selalu mengagungkan nama-Nya atau berzikir sebagai tanda bersyukur kepada-Nya, karena daging qurban dan darah yang mengalir dinilainya tidak bermakna untuk mendapatkan keridhaan Allah kecuali dengan takwa dan zikir (syukur).617

Zikir berarti menyebut dan mengingat,618 kemudian zikir dapat

dimaksudkan dengan arti menghafal, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Menghafal lebih menekankan kepada usaha mendapatkan pengetahuan dan menyimpannya dalam hati. Sedangkan zikir upaya menghadirkan sesuatu yang telah tersimpan dalam hati. Berangkat dari pengertian ini, zikir dapat dilakukan dengan hati atau lisan, baik berkenaan dengan mengingat sesuatu yang telah terlupakan maupun berkaitan dengan kegiatan melanggengkan ingatan atau hafalan.619

Dengan demikian hakikat zikir adalah ingatan, kesadaran, dan perasaan akan keberadaan, kehadiran, dan pengawasan Allah swt. Secara aksiologis zikir memiliki peranan setrategis dalam kehidupan yang kompleks, zikir sebagai media yang dapat menutup pintu-pintu kelalaian hati dan dapat selalu terjaga di saat menuju Allah, meninggalkan zikir berarti melupakan-Nya. Hal ini berarti zikir menjadi media bagi seseorang menuju ahli ihsan atau muḥsin yang menitikberatkan kepada seolah-olah melihat-Nya atau dilihat oleh-Nya.620

Dilihat dari segi kualitasnya zikir memiliki tingkatan-tingkatan, tingkat yang rendah adalah zikir yang bercampur kelalaian, dan yang tinggi derajat dan kualitasnya ialah zikir yang berbasis keinginan dan kemampuan meniadakan segala hal selain Allah. Zikir dengan lisan, sekalipun tidak disertai hati yang sedang mengingat Allah lebih baik dari pada tidak berzikir. Kelalaian tanpa zikir lebih buruk daripada lalai yang masih disertai zikir. Zikir yang dibarengi dengan kelalaian berpeluang untuk beralih menuju zikir yang disertai dengan kesadaran, dan zikir yang penuh kesadaran berpotensi menjadi zikir yang berintegrasi dengan kehadiran hati, serta zikir yang bersamaan dengan kehadiran hati menjadi

617 Penjelasan lebih jauh dapat dilihat dalam penafsiran Al-Biqā’iy atas surah

Al-Ḥajj/22 : 37. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 155-156.

618 Abī Al-Fadhal Jamāl Al-Dīn Muhammad bin Mukram ibn Al-Manẓūr (w.

711), Lisān al-Lisān, Tahḍīb Lisān Al-‘Arab (beirut Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993), 447. Selanjutnya disebut Ibn Al-Manẓūr, Lisān, dan Mahmud Yūnus, Kamus Bahasa Arab – Indonesia (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsir Al-Qur`an, 1972), 134. Selanjutnya disebut Yūnus, Kamus.

619 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 181. 620 Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 76.

zikir yang melekat dengan kehendak untuk menegasikan selain-Nya.621 Sejalan dengan konsep tersebut zikir bukan semata-mata dengan lisan dan hati, melainkan meliputi zikir dengan perbuatan. Seorang

muḥsin dalam melaksanakan ketiga zikir tersebut dapat seolah-olah

melihat Allah atau merasakan keberadaan dan pengawasan-Nya sehubungan Dia senantiasa bersama manusia dimanapun berada, dan Dia tidak pernah berpisah, menghilang, dan meninggalkan mereka walau hanya sejenak.622

Eksistensi zikir seperti ini menjadikan zikir bukan sebagai angan-angan jiwa tentang sesuatu yang terlepas dari manusia dan komunitasnya, atau merupakan lamunan palsu yang tidak berhubungan dengan realita kehidupan. Akan tetapi zikir menyertai seluruh aspek kehidupan hingga manusia menyadari akan pengawasan Allah swt yang berintegrasi dengan segala aktivitas dan menjangkau seluruh amal.

Bagi ahli ihsan atau muḥsin zikir merupakan jalan menuju kedekatan dengan Allah swt serta melestarikan keberadaan ihsannya yang bersifat dinamis dan mengalami pasang surut. Zikir tidak dijadikannya sebagai tujuan akhir dan tertinggi, tetapi didudukkannya sebagai metode dan motivasi untuk melestarikan ihsannya hingga ia benar-benar menempati posisi muḥsin sejati yang menjadi sosok pribadi ideal, yaitu sosok yang meningkatkan semua amal dengan selalu mengingat Allah dalam setiap amal tersebut, bukan dengan meninggalkan amal karena menginginkan mengingat Allah dalam kesendirian dan kesepian, karena ihsan itu sendiri bukanlah memeperindah salah satu bagian ibadah dan meninggalkan bagian-bagian yang lain, yang bisa jadi bagian tersebut lebih penting dan lebih diprioritaskan. Ihsan adalah melaksanakan fardu ain dan fardu kifayah, serta menggarap semua urusan duinia dan akhirat secara terpadu dan

621 Ibn ‘Aṭā` Allah berpesan kepada murid-muridnya: Jangan sekali-kali kalian

meninggalkan zikir, sekalipun hatimu dalam keadaan tidak beserta Allah. Sebab sesungguhnya kelalaian hatimu tanpa zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaian hati yang masih disertai dengan zikir kepada-Nya. Semoga Dia mengangkatmu dari zikir yang dibarengi dengan kelalaian hati menuju zikir yang disertai dengan yaqẓah

(kesadaran), dan dari zikir yang penuh kesadaran kepada zikir yang berintegrasi dengan

ḥuḍūr (kehadiran hati), dan dari zikir yang bersamaan dengan kehadiran hati menjadi zikir yang melekat dalam kehendak untuk mengesampingkan selain diri-Nya. Hal ini bagi Allah bukan perkara besar (sulit). Muhammad bin Ibrāhīm Ibn ‘Ibād. Sharḥ Al-Ḥikam (Indonesia, Dār Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t), Juz 1, 40. Selanjutnya disebut Ibn ‘Ibād. Sharḥ Al-Ḥikam.

bersamaan623 Dalam kondisi seperti ini seorang muḥsin merasakan suatu pengalaman puncak, mengingat secara psikologis setiap pengalaman tentang keunggulan sejati, kesempurnaan tulen atau setiap gerak ke arah keadilan yang seadil-adilnya atau ke arah nilai-nilai yang tertinggi cenderung melahirkan suatu pengalaman puncak.624 Pengalaman puncak

itu sendiri adalah saat dalam kehidupan seseorang merasa berfungsi penuh, kuat, yakin pada dirinya, dan sepenuhnya menguasai dirinya625

Luasnya cakupan zikir menyebabkan segenap ibadah yang berdimensi vertikal dan horizontal tercakup di dalamnya, bahkan jihad di jalan Allah, di antaranya, berperang membela agama termasuk kegiatan zikir. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt adalah mereka yang mengerti tentang Allah swt dan menanamkan pengertiannya tersebut dalam kehidupan nyata serta siap mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya termasuk jiwa. Mereka bukan tandingan bagi orang-orang yang berzikir dengan lisan dan hati melainkan implementasi lain dalam bentuk amal yang berjalan bersamaan dengan keduanya. Dan mereka selalu berzikir untuk memenuhi titah dan seruan-Nya.626

Orang-orang yang berjihad tidak melupakan kegiatan berzikir, terlebih ketika peperangan sedang berkecamuk, keadaan sulit, terdesak musuh, tidak mungkin menang dalam peperangan, serta banyak para pejuang jihad yang terluka dan terbunuh.627

Surah Ali ‘Imrān/3 : 147-148 menjelaskan kecintaan dan pemberian pahala Allah swt kepada muḥsinīn merupakan penghargaan-Nya akibat dari sikap batin mereka yang dicerminkan dalam do’a atau pernyataan mereka yang termaktub pada ayat tersebut. Do’a mereka melukiskan harapan besar akan ampunan-Nya, ketabahan, keteguhan

623 Ghazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy. 79.

624 Maslow menyebutnya dengan peak experience. Maslow, Motivation, 163,

dan Goble, The Third Force, 57.

625 Goble, The Third Force, 56.

626 Kajian lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat dalam penafsiran

Al-Ṭabariy atas surah Ali ‘Imrān/3 : 148 bahwa Allah memberikan pahala kepada orang yang bersabar dalam mematuhi Allah setelah nabi-nabi mereka terbunuh, ketika berjihad melawan musuh, di saat memohon pertolongan kepada-Nya atas segala urusan mereka, dan di kala memilih program imam mereka meski harus berkorban di jalan-Nya. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 466.

627 Contoh zikir yang diutarakan oleh mereka semisal tercantum dalam surah

Ali ‘Imrān/3 : 147-148 yang dijeklaskan oleh Al-Zamakhshariy bahwa permohonan tersebut merupakan harapan mereka kepada Tuhan agar diri mereka suci, bersih, tunduk, dan mudah diterima oleh-Nya. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 198-199.

pendirian, dan keyakinan sepenuh hati memegang agama-Nya.628 Selain itu do’a mereka merupakan permohonan yang manusiawi, yang menunjukkan sifat khuḍū’ (rendah diri karena kepatuhannya), kesucian hati, dan ketergantungan kepada-Nya, sehingga mereka menyadari bahwa keadaan yang menimpa mereka berupa kekalahan perang disebabkan oleh dosa dan kesalahan sendiri serta perasaan optimis yang berlebihan.629 Oleh karena itu jihad yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat ihsan ini630 adalah jihad yang didasari ketaatan, kesabaran,

keikhlasan, dan sikap penuh harap untuk mendapatkan pertolongan Allah swt.631 Jihad seperti inilah yang layak disebut dengan ihsan.632

Do’a yang diucapkan merupakan perwujudan zikir mereka kepada Allah swt dan menjadikan hati mereka mencapai ketenangan. Secara fungsional do’a atau zikir berimplikasi kepada ketentraman hati633

Maslow menggambarkan orang-orang yang teraktualisasikan dirinya tidak tampak suasana kekalutan, kebingungan, sikap tidak konsisten, atau konflik-konflik yang umum terjadi pada rata-rata orang. Hal ini karena mereka sangat etis, memiliki setandar moral yang pasti, dan berbuat benar.634

Pesan kedua ayat di atas, pada dasarnya memotivasi umat Nabi saw agar lebih unggul semangatnya dibandingkan dengan umat terdahulu, lebih kuat pendirian, tahan uji, gemar berzikir, dan lebih menyukai segala yang terdapat di sisi Allah swt, karena keberadaannya sebagai sebaik-baik umat.635

Sebagai pemilik sifat rendah diri seorang muḥsin tidak akan berhenti memohon kepada-Nya atas berbagai hal yang dibutuhkan

628 Abī Faraj Jamāl Dīn Abd Rahmān bin Ali bin Muhammad

Al-Jauziy, Zād Al-Masīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr (Beirut, Maktabah Dār Ibn Hazm, 2002), 329. Selanjutnya disebut Al-Jauziy, Zād Al-Masīr.

629 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 183.

630 Al-Muḥsinīn yang termaktub pada surah Ali ‘Imrān/3 : 148 sebagai

kumpulan insan yang dicintai Allah menurut penafsiran Al-Samarqandiy adalah orang-orang mukmin yang berjihad. Abī Al-Laith Naṣr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrāhīm Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm - Tafsīr Al-Samarqandiy (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid 1, 306. Selanjutnya disebut Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm.

631 Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 297-298. 632 Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy. 75.

633 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 508. 634 Maslow, Motivation, 141.

dengan cara khaufan (rasa takut) atas dosa yang pernah dilakukannya dan

thama’an (rasa penuh harapan), atas rahmat-Nya.636

Surah Al-A’rāf/7 : 56 menjelaskan larangan Allah kepada manusia melakukan kerusakan di permukaan bumi dan memerintahkan mereka untuk memanjatkan do’a ke hadirat-Nya. Bumi sepatutnya dipelihara dan dimakmurkan, di antaranya, dengan berdo’a yang disertai

khaufan (rasa takut) akan siksaan akibat perbuatan yang bertentangan

dengan syareat dan sunnah-Nya, serta diiringi ṭama’an (optimis) akan ampunan, rahmat, dan kebaikan-Nya di dunia dan akhirat. Ayat ini juga menjelaskan bahwa karakter ini menjadi milik orang-orang yang berbuat ihsan yang layak mendapatkan rahmat-Nya berupa pahala yang baik. Dengan demikian berdo’a dengan khaufan dan ṭama’an merupakan ciri

muḥsin. Do’a dan permohonannya akan dikabulkan Allah swt jika

dilakukan dengan cara ihsan.637

Selain berdo’a secara umum, seorang muḥsin, secara khusus, menghadirkan permohonan maaf kepada Allah agar dosa dan kesalahannya diampuni sebagai akibat dari perbuatan maksiatnya dan supaya ditambah pahalanya.638

Term muḥsinīn pada surah Al-A’rāf/7 : 161 (Makkiyyah) sebagai orang-orang yang memperindah amal perbuatan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah, serta dengan mengutamakan kepatuhan yang berkualitas, termasuk mengharapkan ampunan-Nya, bagi mereka patut memperoleh pahala berupa ampunan dan surga yang penuh kenikmatan yang tidak terhingga.639

Surah Al-Baqarah/2 : 58 yang tergolong Madaniyyah dengan redaksi sedikit berbeda dengan surah Al-A’rāf/7 : 161 mengukuhkan pernyataan tersebut dengan mengutarakan secara jelas ciri seorang

muḥsin, yaitu menyadari kesalahan dan perbuatan dosanya, kemudian

memohon ampun kepada Allah. Sikap tersebut sejalan dengan esensi

muḥsinīn sebagai orang-orang yang tidak senang melakukan kesalahan.

636 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 547.

637 Muhammad Rashīd Riḍā (1282-1354 H), Tafsīr Al-Manār (Beirut, Dār

al-Fikr, t.t), Jilid 8, 461-462. Selanjutnya disebut Riḍā, Tafsīr Al-Manār.

638 Al-Zamakhshariy ketika menafsirkan surah Al-Baqarah/2 : 58

mengungkapkan bahwa kalimat tersebut (memohon ampun) menjadi faktor penyebab ditambahnya pahala seorang muhsin, dan bagi yang berbuat salah patut baginya mendapat ampunan dan diterima taubatnya. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 78.

639 Ali Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr (Beirut, Dār Al-Fikr, t.t), Jilid 1, 477, dan Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Juz 9, 373.

Implikasi positifnya adalah mereka ditambah perbuatan baik dan pahalanya.640 Dengan kata lain, barang siapa menjadi seorang muḥsin,

maka akan bertambah kebaikan dan pahala dunia dan akhirat. Akan tetapi barang siapa yang berperilaku sayyi`ah (buruk/jahat), maka berpeluang taubatnya diterima Allah dan mendapatkan ampunan-Nya, jika ia berkehendak memperbaiki diri.641

Berangkat dari penafsiran di atas, muḥsinīn merupakan figur pribadi-pribadi yang secara kualitatif menjadi lawan bagi banī Isrā`il

(sebagai objek ayat) yang berperilaku menentang Allah swt dan Nabi Musa as. Artinya muḥsinīn ialah orang yang patuh dan tunduk kepada ketetapan Allah dan rasul-Nya, serta berupaya menjauhkan diri dari perbuatan salah yang mengakibatkan dosa. Dapat dipahami juga bahwa

muḥsinīn merupakan orang-orang yang kebaikannya benar-benar

optimal, yakni yang memohon ampun dan berhasil diampuni dosanya. Sedangkan yang memohon ampun disertai dengan berbuat baik akan ditambah anugerah duniawi dan ukhrawinya.642