• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KONSEP DASAR MUḤSIN DALAM AL-QUR`AN

1. Secara Etimologis

Muḥsin disebut sebagai ism fā’il (partisipal ajektif) dari fi’il

thulāthiy mazīd (kata kerja tiga huruf yang mendapatkan tambahan alif)

ﻦﺴﺣأ

-ﻦﺴﳛ dengan maṣdar-nya (kata jadian) نﺎﺴﺣإ. Term ihsan memiliki arti beragam.360 Makna generiknya ialah berbuat baik, berasal dari fi’il

360 Ḥamzah Al-Nushratiy, Abd Al- Ḥafīẓ Furaghliy, dan Abd Al-Ḥamīd

Muṣṭafā, Al-Mu’jam Al-Mauḍū’iy li Ma’ānīAl-Āyāt Al-Qur`āniyyah (Mesir, Maktabat Al-Nushratiy, t.t), Jilid 5, 116. Selanjutnya disebut Al-Nushratiy dkk, Mu’jam Al-Mauḍū’iy.

thulāthiy mujarrad (kata kerja tiga huruf yang tidak mendapatkan tambahan huruf) ﺎﻨﺴﺣ– ﻦﺴﳛ– ﻦﺴﺣ yang berarti baik atau bagus.361

Kata ḥasan digunakan untuk makna luas mencakup manusia, seperti Rajulun ḥasanun (pria yang baik) wa imra`atun ḥasanatun

(wanita yang baik). Ia meliputi sesuatu (non manusia), semisal Shai`un

ḥasanun atau ḥasīnun (penggunaan kata ḥasīn pada contoh ini sama

dengan penggunaan ‘aẓīm yang berasal dari ‘aẓuma). Dan kata ḥasan

melibatkan ‘amal. Bangsa Arab menggunakannya dalam ungkapan

aḥsantu bi fulān wa asa’tu bi fulān yang berarti aḥsantu ilaih wa asa`tu

ilaih, sama dengan yuḥsinu al-shai`a yang cenderung kepada ya’maluh.

Di sini tampak identifikasi maknanya sebagai ‘amal (melakukan sesuatu) dengan baik. Selain itu, ia memuat al-Jannah (surga) atau tempat, mengingat surga disebut al-Ḥusnā sebagaimana firman Allah swt wa

ṣaddaqa bi al-Ḥusnā (QS. Al-Lail/92:6). Demikian pula firman-Nya li

al-ladhīna aḥsanū al-Ḥusnā wa Ziyādah (QS. Yūnus/10: 26). Al-Ḥusnā

ditafsirkan dengan al-Jannah. Juga kata ḥasan berhubungan dengan al-qaul (ucapan) semacam firman-Nya wa qūlū li Al-Nāsi ḥusnan, yang diintepretasikan dengan ucapan yang baik. Kata ḥasanah digunakan dalam berbagai setruktur kalimat yang menunjukkan kepada sejumlah aktivitas dan dampaknya. Jadi ihsan merupakan term yang diaplikasikan berkenaan dengan suatu amal berikut implikasinya.362

Ihsan diartikan pula dengan ikhlas yang menjadi syarat bagi keabsahan Iman dan Islam seseorang. Pernyataan beriman dan pengakuan Islam seseorang, kemudian ia beramal tidak ikhlas, maka ia tidak dapat disebut sebagai muḥsin, meskipun imannya baik. Dan ihsan dimaksudkan juga sebagai term yang menunjukkan kepada

al-Murāqabah (takut kepada Allah swt) dan taat kepada-Nya. Barang siapa

yang takut kepada Allah swt, maka ia akan memperindah amalnya.363

Selain itu muḥsin yang jamaknya muḥsinūn dan muḥsināt berasal dari aḥsana –iḥsānan mempunyai arti atā bi fi’l ḥasan ‘ala wajh

361 Mahmud Yūnus, Kamus Bahasa Arab – Indonesia (Jakarta, Penerbit

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur`an), 103. Selanjutnya disebut Yūnus, Kamus.

362 Salwa Muhammad Al-‘Awwal, Al-Wujūh wa al-Naẓā`ir fī al-Qur`ān

(Mesir, Dār al-Shurūq, 1998), 208-209. Selanjutnya disebut Salwa, Al-Wujūh.

363 Jamāl Dīn Abī Faḍal Muhammad bin Makram ibn Manẓûr

Al-Anṣāriy Al-Afrīqiy Al-Miṣriy (w. 711 H), Lisān al-‘Arab (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2005), Jilid 7, 710. Selanjutnya disebut Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab.

itqān wa al-iḥkām wa ṣana’a al-jamīla364 (Melakukan pekerjaan yang

baik dengan sebaik dan serapih mungkin, dan melakukan yang indah).

Aḥsana dapat berupa fi’il muta’addiy (kata kerja transitif) bi

ghairih (dengan unsur lain) dan dapat berupa fi’il muta’addiy bi nafsih

(dengan sendirinya). Unsur lain yang menyertainya ialah huruf jār ilā

dan bi, semisal aḥsana ilā fulān wa aḥsana bih, berarti an’ama ‘alaih wa

akramahu wa ṣana’a bihi al-jamīl (memberi nikmat kepada seseorang

dan memuliakannya serta membuat yang indah), dan berarti iḥsān fī al-fi’l, wa dhālika idhā ‘alima ‘ilman ḥasanan aw ‘amila ‘amalan

ḥasanan365 (memperindah pekerjaan, itu terjadi manakala seseorang telah

mengetahui ilmu yang baik dan telah melaksanakan amal yang baik). Adapun aḥsana sebagai fi’il muta’addi bi nafsih seperti pada

aḥsana al-fi’la bermakna atqanahu wa jawwadahu366(memperindah dan

mempercantiknya). Meskipun kata atqana dan jawwada dalam terjemahan harfiahnya “memperindah” dan “mempercantik” terkesan memiliki makna yang sama, tetapi kata yang disebutkan pertama menekankan pada mutu keindahan suatu aktivitas yang dilakukan, dan kata yang disebutkan terakhir lebih cenderung kepada segi asesorisnya.

Dari tinjauan kebahasaan tersebut, dapat dipahami bahwa muḥsin

huwa man yaf’al al-iḥsān mukhliṣan367 (orang yang melakukan ihsan

dengan ikhlas).

2. SecaraTerminologis

Pemahaman tentang muḥsin dari segi terminologi bermuara pada makna Iḥsân yang didefinisikan oleh Nabi saw “an ta’buda Allah

kaannaka tarāhu, fainlam takun tarāhu fainnahu yarāk” (HR. Bukhari

dan Muslim),368 artinya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu

melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kamu. Dengan demikian muḥsin bermakna “orang yang merasakan kehadiran Allah swt dalam setiap aktivitasnya dan melakukan introspeksi diri dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan”. Potensi

364 Majma’ Al-Lughat, Mu’jam Alfāẓ Al-Qur`ān Al-Karīm (Qāhirah,

Al-Maṭba’ah Al-Amīriyyah, 1953), Jilid 1, 86. Selanjutnya disebut Majma’ Al-Lughat,

Mu’jam.

365 Abū al-Qāsim Husen bin Muhammad bin Mufaḍḍal Rāghib

Al-Aṣfahāniy, Mu’jam Mufradāt al-Alfāẓ al-Qur`ān (Beirut, Dār al-Fikr, t.t), 118. Selanjutnya disebut Al-Aṣfahāniy, Mu’jam.

366 Majma’ Al-Lughat, Mu’jam, 1953, Jilid 1, 86. 367 Majma’ Al-Lughat, Mu’jam, 1989, Jilid 1, 294. 368 Lihat Disertasiini, catatan kaki No. 47, 24.

sepiritual ini ada pada setiap manusia mengingat pada diri manusia terdapat ḍamīr (hati nurani) yang selalu waspada dan berfungsi melindunginya dari perbuatan tercela.369 Hati nurani adalah tempat

bersemayamnya kesadaran alami manusia tentang kejahatan dan kebaikan, sesuai dengan ilham Tuhan kepada masing-masing pribadi.370

Paparan tersebut mendeskripsikan muḥsin sebagai “orang yang merasakan kehadiran dan kebersamaan dengan Allah”. Kekuatan sepiritual ini melahirkan semangat melakukan perbuatan baik dan memperindahnya secara terus menerus serta membentengi diri dari perbuatan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam dimensi hubungan vertikal dengan-Nya maupun dalam dimensi hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Seorang muḥsin tidak berkeinginan melakukan perbuatan salah dan dosa, sebagaimana dilambangkan dalam takbīrat al-iḥrām, mengucapkan Allahu Akbar di permulaan salat yang merepresentasikan dimensi hubungan vertikal, dan mengucapkan salām sebagai wujud memohon keselamatan dan kedamaian kepada Allah di akhir salat yang menjadi simbol dimensi hubungan horizontal. Ini menunjukkan keadaan khusus pada seorang

muḥsin yang seolah-seolah bertentangan dengan logika umum yang

berlaku. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini sebenarnya muḥsin

mampu menangkap subtansi kehidupan yang sebenarnya, karena ia berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang tepat, tenggelam dalam ke-Mahaagung-an Allah hingga konsisten menerima dan memihak kepada yang baik dan benar, serta menolak yang buruk dan salah.

Kemampuan dan kesempatan untuk tenggelam dalam ke-Mahaagung-an Allah memungkinkan terjadi pada diri setiap orang. Kaum sufi memanfaatkan potensi tersebut untuk mencapai posisi sebagai

al-Insān al-kāmil yang oleh Ibn ‘Arabiy371 dipakainya untuk melabeli

369 Al-Nushratiy dkk, Al-Mu’jam Al-Mauḍū’iy, Jilid 5, 116.

370 Ini adalah pernyataan Nurcholis Majid yang merujuk kepada firman Allah

surah Al-Shams/91 : 8. Selanjutnya ia menyatakan “Justeru disebut nurani (nūrāniy, bersifat cahaya) karena hati kecil merupakan modal primordial yang diperoleh dari Tuhan sejak sebelum lahir ke dunia, untuk menerangi jalan hidup karena kemampuan alaminya untuk membedakan yang baik, yang dikenal olehnya (al-ma’rūf) dari yang buruk, yang ditolak olehnya (al-munkar)”. Madjid, Islam Doktrin, xviii.

371 Nama lengkapnya adalah Abī Bakar Muhyi Al-Dīn Muhammad bin Ali bin

Muhammad bin Ahmad Al-Ṭā`iy Al-Ḥātimiy Ibn ‘Arabiy yang terkenal dengan sebutan Ibn ‘Arabiy. Ia lahir pada tahun 560 H di daerah Marsiyah, dan wafat pada tahun 638 H di Damaskus. Karya tulisnya menembus angka 150 kitab, di antaranya yang masyhur dan Monumental ialah Al-Futūḥāt Makkiyyah, Fuṣūṣ Hikam, Tafsīr Qur`an

al-konsep manusia ideal yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan (

al-tajallī),372 dan al-Jīliy373 menggunakannya sebagai predikat bagi

konsepnya tentang manusia sempurna374 yang dipahaminya sebagai

manusia yang memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an (al-Ḥaqq), dalam arti ia mempunyai sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Tuhan seperti al-Ḥayy

(Hidup), al-‘Alīm (Mengetahui), al-Qadīr (Kuasa), al-Murīd

(Berkehendak), al-Samī’ (Mendengar), al-Baṣīr (Melihat), dan

al-Mutakallim (Berbicara).375

Dengan kemampuangnnya memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an tersebut menurut al-Jīliy, al-Insān al-kāmil dapat menuju tiga barzakh

(tingkatan), yaitu al-Bidāyah (permulaan), al-Tawassuṭ (pertengahan),

dan al-Khitām (puncak). Menurutnya pada tingkat permulaan seseorang

sudah memulai pada dirinya merealisasikan nama-nama (al-asmā`) dan sifat-sifat (al-ṣifāt) Tuhan, sedangkan pada tingkat pertengahan seseorang sudah memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri menjadi pusat kelembutan kemanusiaan sebagai perwujudan dari eksistensi kasih sayang Tuhan yang telah terpatri dalam dirinya sejak tingkat pertama, dan pada tingkat puncak seorang hamba telah mampu mewujudkan citra Tuhan secara utuh hingga layak disifati dengan al-Jalāl (keagungan) dan

al-Ikrām (kemuliaan) mengingat tingkat ini merupakan puncak

pengalaman spiritual.376

Kondisi sepiritual tersebut dapat dirasakannya dalam batas-batas kudrat manusia yang memiliki potensi positif dan negarif sekaligus, sehingga Tuhan adalah Tuhan dan manusia ialah manusia. Kedua potensi

Karīm yang kondang disebut Tafsīr Ibn ‘Arabiy, Inshā` Dawā`ir, Tadbīrāt al-Ilāhiyyah fī Iṣlāḥ al-Mamlakah al-Insāniyyah, dan sebagainya. Muhammad Husein al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn (Beirut, Dār Al-Turāth Al-‘Arabiy, 1976), Jilid 2, 407-409. Selanjutnya disebut al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn.

372 Apabila diperhatikan secara seksama kelihatan bahwa subtansi konsep insan

kamil, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibn ‘Arabiy, hanya konsep-konsep yang telah ada tidak menggunakan istilah insan kamil. Lebih jauh penjelasannya dapat dibaca pada Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kâmil Ibn ‘Arabiy oleh al-Jīlī, (Jakarta, Paramadina, 1997), 6-15. Selanjutnya disebut Ali, Manusia Citra.

373 Ia memiliki nama lengkap Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm al-Jīliy (767 – 805 H)

sebagaimana tercantum pada halaman depan (cover) kitab al-Insān al-Kāmil fī Ma’rifat al-Awākhir wa al-Awā`il karya al-Jīliy (Mesir, Maktabah Zahrān, 1999). Selanjutnya disebut Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil.

374 Ali, Manusia Citra, 14.

375 Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, Juz 2, 96. 376 Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, Juz 2, 98.

yang saling bertentangan tersebut menggambarkan manusia sebagai makhluk yang paradoksal. Dalam dirinya terdapat dua karakter yang saling bertolak belakang, yakni karakter insāniy yang bermuara pada unsur ruhani (immaterial) dan karakter bashariy yang bermuara pada unsur fisikal dan material. Kedua unsur tersebut dituntut untuk dipadukan secara integral dan seimbang.377 Sebutan lainnya adalah manusia terdiri

dari dua elemen, yaitu jasad (fisik dan materi) dan ruh (immateri), artinya manusia merupakan makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. Akan tetapi hakekat disebut sebagai manusia karena perubahan ruhaniahnya, bukan jasadnya.378

Seorang muḥsin mampu memadukan keduanya sebagai akibat dari keberhasilannya memanfaatkan secara maksimal empat fitrah yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, yaitu fiṭrah rūḥāniyyah379 dan fiṭrah

majbūlah (fitrah yang sudah ada secara alami) yang bersifat cenderung

kepada agama, kedua-duanya sebagai faktor internal, serta fiṭrah

munazzalah berupa shir’ah (ajaran yang benar) yang tertuang dalam

wahyu Al-Qur`an yang diturunkan Tuhan kepada rasul-Nya dan fiṭrah

mukammilah (penyempurna), yaitu para rasul yang diutus Tuhan dengan

tugas mengingatkan manusia akan pentingnya fitrah, mengokohkan, membantu untuk memgembangkan dan menyempurnakannya, serta melindunginya dari segala hal yang akan merubahnya,380 kedua-duanya

merupakan faktor eksternal. Dengan kata lain pemaduan keempat fitrah secara integral merupakan kebutuhan yang fitri dalam rangka mencapai peringkat tertinggi sebagai insan yang teraktualisasikan dirinya atau

muḥsin.

b. Makna Muḥsin dalam Teks Ayat

Apabila sebutan muḥsin dilacak dalam Al-Qur`an, maka terdapat beberapa makna sesuai dengan rangkaian ayat. Akan tetapi makna tersebut lebih menunjukkan kepada segi karakteristik atau sifat yang

377 Abbas Mahmud al-‘Aqad, Al-Insān fī Al-Qur`an, dalam Al-A’māl al-Kāmilah (Beirut, Dār al-Kutub al-Lubnāniy, 1974), 381.

378 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Penerjemah Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel (Bandung, Mizan Media Utama (MMU, 2003), 94. Selanjutnya disebut Daud,

Filsafat.

379 QS. Al-Hijr/15 : 29

380 Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 214, dan ṭ Majid, Islam Doktrin,

saling mnelengkapi antara satu dengan lainnya, yang menggambarkan keunggulan kerpibadian muḥsin. Makna-makna tersebut, diantaranya, ialah:

1. Muḥsin bermakna orang yang menjauhkan diri dari dosa-dosa besar

Muḥsin sebagai sosok pribadi yang mengutamakan mutu diri dan

menempati posisi puncak akan berupaya secara maksimal menghindar dan menjaga diri dari berbagai dosa seperti tercantum dalam surah Al-Najm/53 : 31 dan 32.381

Sebutan al-ladhīna aḥsanū (orang-orang yang berbuat ihsan) yang termaktub pada ayat 31, artinya dijelaskan pada ayat 32. Mereka adalah ladhīna yajtanibūna kabāir ithm wa fawāḥish illā

al-lamama atau orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar seperti syirik

serta perbuatan keji semisal zina dan hal-hal yang apabila dilanggar dikenakan ḥadd382 (sangsi hukum) selain dosa yang telah dilakukan di

masa lalu (sebelum menjadi muslim) atau selain dosa kecil (

al-Lamam).383 Sifat tersebut dilekatkan kepada muḥsin didasarkan kepada

381 Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimashqiy. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm (Tafsīr ibn Kathīr) (Makkah Mukarramah, Maktabah Al-Tijāriyyah, 1987), Jilid 4, 256. Selanjutnya disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Qur’ān Al-‘Aẓīm.

382 Ḥadd dalam tinjauan bahasa berarti batas antara dua hal, sehingga tidak

tercampur. Sedangkan menurut istilah, ḥadd ialah batas (ketentuan Allah) mengenai hukuman atau sanksi hukum bagi pelanggarnya supaya tidak mengulangi. Muhammad bin Ismail Al-Kahlāniy Al-Ṣan’āniy (1059-1182 H), Subul Al-Salām, (Bandung, Penerbit Dahlan, t.t), Jilid 4, 3. Selanjutnya disebut Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām.

383 Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Ṭabariy, Jāmi’ Bayān fī Ta`wīl Al-Qur’ān (Tafsīr Al-Ṭabariy) (Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid 11, 525. Selanjutnya disebut Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān. Dalam bahasa Arab al-Lamam

digunakan untuk hal-hal yang berdekatan dengan sesuatu. Dalam redaksi ayat para pakar berbeda pendapat tentang arti al-Lamam hingga terbagi ke dalam enam pendapat.

Pertama; Zaid bin Thābit menggolongkannya ke dalam perbuatan dosa dan keji yang dilakukan manusia pada masa jahiliah, yang dapat dihapus dengan masuik Islam.

Kedua; Ibn Abbas, Hasan, dan Sadiy mengartikannya dengan perbuatan dosa yang dilakukan sekali, kemudian dihapus dengan bertaubat dan tidak diulangi. Ketiga; Ibn Mas’ud, Abū Huraerah, Al-Sha’biy, dan Masru’ menafsirkannya dengan dosa kecil, seperti menggunakan pandangan mata untuk maksiat atau mencium, selama tidak berzina. Keempat; Muhammad bin Hanafiyyah mengartikannya dengan apa yang menyusahkan manusia. Kelima; Sa’id bin Musayyab menetapkannya sebagai keburukan yang tergetar dalam hati. Keenam; Al-Ḥusen bin Al-Faḍal menyebutnya dengan pandangan mata yang bernuansa kemaksiatan dengan tidak disengaja. Pendapat pertama dan kedua didasarkan kepada pemahaman bahwa Istithnā` (pengecualian) yang termaktub pada ayat tersebut adalah Istithnā` al-Jins (pengecualian dari perbuatan dosa

penafsiran yang mendudukkan kosa kata al-ladhīna yang tertulis pada permulaan ayat 32 menjadi na’at (sifat), badal (pengganti), atau bayān

(penjelas) bagi al-ladhīna aḥsanū yang tercantum pada akhir ayat 31.384

Berdasarkan sabab nuzūl-nya, ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang musyrik yang mengungkit-ungkit kisah kehidupan masa lalu para sahabat Nabi. Mereka menyatakan bahwa orang-orang Islam dahulu (sebelum menjadi muslim) banyak berbuat dosa bersama kami. Ayat tersebut menjadi jawaban, bahwa dosa-dosa mereka yang lalu telah diampuni Allah swt.385

Pesan ayat di atas menginformasikan bahwa manusia dekat sekali dengan dosa, sehingga berpeluang besar melakukannya, dan bagi yang berbuat dosa dituntut secepatnya bertaubat dan tidak mengulanginya. Berkenaan dengan hal tersebut Abū Hurairah (w. 57 H)386, Mujāhid

(21-102 H),387 dan al-Ḥasan mengartikan al-lamam lebih pada perbuatan

dan keji yang termasuk dalam katagori Kabā`ir al-Ithm dan al-Fawāḥisy). Sedangkan keempat pendapat berikutnya dibangun di atas teori bahwa Istithnā` tersebut bukan

Istithnā` al-Jins, yang berarti bahwa kata Al-Lamam di luar cakupan term Kabā`ir al-Ithm dan Al-Fawāḥisy). Abī Al-Faraj Jamāl Al-Dīn Abd Al-Rahmān bin Ali bin Muhammad Al-Jauziy (508-597 H), Zād al-Masīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Beirut, Maktabah Dār Ibn Hazm, 2002), 1365. Selanjutnya disebut Al-Jauziy, Zād Al-Masīr.

384 Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Qadīr – Al-Jāmi’ Bayna Fannay Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat min ‘Ilm Mafātih, (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyat, t.t), Jilid 5, 139. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, dan Shihāb Dīn Abī ‘Abbās bin Yūsuf bin Muhammad bin Ibrāhīm Samīn Halabiy (w. 756 H), Tahqîq wa Ta’līq al-Shaikh Ali Muhammad Mu’awwadh, Al-Shaikh ‘Ᾱdil Ahmad Abd Al-Maujūd, Jād Makhlūf Jād, dan Zakariyyā Abd Al-Majīd Al-Nūtiy, Al-Durr Al-Maṣūn fī ‘ Ulūm Al-Kitāb Al-Maknūn (Beirut, Dār Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994), Jilid 6, 211. Selanjutnya disebut Al-Samīn, Al-Durr Al-Maṣūn.

385 Versi ini menurut Zaed bin Thābit dan Zaed bin Aslam Abī Muhammad

Al-Ḥusen bin Mas’ud Al-Farrā` Al-Baghawiy Al-Shāfi`iy (w. 516 H), Tafsīr Al-Baghawiy – Ma’ālim Al-Tanzīl (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993), Jilid 4, 230. Selanjutnya disebut Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl.

386 ‘Abd Al-Mun’im Ṣālih Al-‘Aliy Al-‘Arabiy, Difā’ ‘an Abī Hurairah

(Beirut, Dār Al-Qalam, t.t), 165. Selanjutnya disebut Ṣālih, Difā’.

387 Nama lengkapnya adalah Mujāhid bin Juber Makkiy abū Ḥijāj

Al-Makhzūmiy. Ia terkenal mufassir dari kalangan tābi’īn yang adil dan terpercaya, penafsirannya banyak dikutip oleh imam Bukhari. Para pakar menilainya sebagai sosok yang piawai dalam tafsir dan layak dijadikan sumber rujukan. Ia dilahirkan tahun 21 H pada masa pemerintahan Umar Ibn Al-Khaṭṭāb, dan wafat pada tahun 104 H. Muhammad Ḥusen Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, (Beirut, Dār Al-Turāth Al-‘Arabiy, 1976), Jilid 1, 104-105. Selanjutnya disebut Al-Dhahabiy, Tafsīr wa Al-Mufassirūn.

dosa yang direhabilitasi dengan taubat dan tidak diulangi. Makna tersebut sejalan dengan esensi makna al-lamam itu sendiri, yakni suatu dosa yang dikerjakan manusia, yang tidak diulangi dan tidak dilestarikan.388

Seorang muḥsin bersikap menjauhi dosa, karena dosa dinilainya sebagai sesuatu yang membahayakan bagi kepribadian dan masa depan, dosa selayaknya dihindari. Sikap tersebut berkaitan erat dengan upayanya membentengi diri dari segala hal yang akan mencoreng keindahan perangai dan menurunkan martabat diri yang telah menempati derajat tertinggi. Termasuk dalam pesan ayat tersebut adalah ketinggian derajat

muḥsin dapat ditempuh dengan menggunakan petunjuk Allah swt untuk

membersihkan diri dari berbagai noda kehidupan seperti syirik yang menjadi makna dari kosakata asā`ū serta mengisinya dengan sifat mulia dan amal sempurna semacam bertauhid sejati yang merupakan arti kata

aḥsanū.389

2. Muḥsin berarti orang yang melaksanakan ibadah maḥḍah dan meyakini

akhirat

Pelaksanaan ibadah maḥḍah (langsung mengabdi kepada Allah swt) seperti salat yang dimensi ritualnya lebih dominan serta zakat yang dimensi sosialnya lebih kental, dan keyakinan kepada akhirat dengan sepenuh hati merupakan karakteristik yang integral bagi seorang muḥsin. Surah Luqmān/31 : 4 yang menyebutkan orang-orang yang mendirikan salat, menunaikan zakat, dan meyakini hari akhir menafsirkan secara langsung surah Luqmān/31 : 3 yang mencatat sebutan

muḥsinīn.390 Kedua ayat ini mendeskripsikan peranan Al-Qur`an menjadi

hudan (petunjuk) dan raḥmat (kasih sayang) Allah bagi orang-orang ahli

ihsan dan melukiskan profil mereka sebagai pelaksana salat, pelaku zakat, dan meyakini adanya akhirat.391

Penentuan ketiga hal tersebut tidak berarti menegasikan ibadah

maḥḍah lainnya, semacam puasa di bulan Ramadhan serta menunaikan

ibadah haji bagi yang mampu (rukun islam), dan tidak menafikan

388 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Jilid 4, 230. 389 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 676.

390 Ibn Kathīr. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 3, 442. Model penafsiran seperti

ini termasuk pada tafsir ayat dengan ayat atau tafsir Al-Qur`ān bi Al-Qur`ān yang menjadi salah satu cara dari tafsīr bi al-ma`thūr.

391 Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad Al-Shaerāziy

Al-Bayḍāwiy, Tafsīr Al-Bayḍāwiy (Anwār Al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl) ( Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid 2, 226. Selanjutnya disebut Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl.

kepercayaan kepada Allah swt, para malaikat, para rasul, kitab-kitabNya, serta kepada qadha dan qadar (rukun iman), tetapi ketiganya justeru mengisyaratkan kepada keutamaan untuk berlaku konsisten kepada kesemuanya. Dengan dicantumkan ketiganya setelah sebutan muḥsinīn

mengindikasikan sebagai kebaikan yang paling utama, kendati seorang

muḥsin tidak hanya melaksanakan ketiganya.392 Dengan kata lain

ketiganya merupakan representasi dari keseluruhan rukun islam dan rukun iman. Pencantuman salat mewakili ibadah yang berdimensi