• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian tafsir

KARAKTERISTIK DAN MARTABAT MUḤSIN MENURUT AL-QUR`AN

1. Hubungan Muḥsin dalam Keluarga

Karakter muḥsin dan hubungannya dengan keluarga diwujudkan dalam bentuk relasi paternalian, patronase, dan emansipatoris, yaitu: Pertama; Hubungan Muḥsin dengan Kedua Orang Tua

Hubungan muḥsin dengan kedua orang tua merupakan hubungan timbal-balik yang lintas batas sebagai perwujudan dari hukum kausalitas. Namun hubungan tersebut menekankan semangat penghormatan dan penghargaan serta persahabatan lahir-batin yang mengikutsertakan aspek material dan immaterial. Hal ini sejalan dengan ketetapan Al-Qur`an atas kewajiban berbuat ihsan kepada mereka yang diimplementasikan dengan kelembutan persahabatan699 dalam memenuhi hak-hak mereka mengingat

kedua orang tua bagian dari diri seorang anak. Kedua orang tua telah mengasuh dan mendidiknya hingga berkembang menjadi dewasa dan berpengetahuan.700

Berbuat baik kepada kedua orang tua yang termaktub dalam Al-Qur`an menggunakan term ihsan dan barr (kebajikan). Term ihsan dengan idiom “bi” yang berfungsi li al-ilṣāq (kelekatan) atau di-ta’diyah -kan (ditransitif-kan) dengan partikel “ (bi)” berarti birr (berbuat baik) mencakup kepada dua unsur, yakni unsur penghormatan atau penghargaan dengan tulus serta unsur persahabatan yang direalisasikan dalam relasi lalir-batin secara total dengan memenuhi segenap kebutuhan material dan immaterial. Sedangkan jika yang dimaksudkan memberikan

699 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 264. 700 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 2, 23.

manfaat material semata, maka partikel yang digunakan ialah “li”.701 Term ihsan yang menunjuk kepada kewajiban tersebut tercantum dalam lima ayat, yaitu surah Baqarah/2 : 83, Nisā`/4 : 36, An’ām/6 : 151, Isrā`/17 : 23 dan Aḥqāf/46 : 15. Sedangkan Al-Qur`an menggunakan kata barr (kebajikan) untuk makna berbuat baik kepada orang tua pada dua ayat, yakni surah Maryam/19 : 14 dan 32. Meskipun Al-Qur`an menggunakan, terutama, kosakata ihsan (maṣdar

atau kata benda jadian, bukan berupa fi’il amar atau kata kerja perintah), tetapi, pada hakekatnya mengandung makna kata kerja perintah. Semisal yang termaktub pada surah Al-Nisā`/4 : 36,702 penggalannya wa bi

al-wālidaini iḥsānan bermakna Allah memerintahkan kalian untuk berbuat

ihsan kepada kedua orang tua atau Saya/Allah berpesan kepada kamu supaya berbuat baik kepada kedua orang tua.703

Surah Al-An’ām/6 : 151 dengan penggalannya wa bi al-wālidaini

iḥsānan dapat ditafsirkan dengan berbuat baiklah kalian dengan

sebaik-baiknya kepada kedua orang tua.704 Argumentasinya adalah penggalan ayat tersebut merupakan setruktur kalimat yang berkedudukan sebagai

aṭaf jumlah (penyambungan kalimat) kepada jumlah atau kalimat

sebelumnya an lā tushrikū. Dan kata iḥsānan diposisikan sebagai maṣdar

yang terletak pada tempat fi’il-nya. Ini berarti bahwa meng-‘aṭaf-kan jumlah amar (perintah berbuat baik kepada kedua orang tua) kepada jumlah nahyi (larangan menyekutukan Allah swt) untuk menunjukkan kesungguhan berbuat baik dan meninggalkan berbuat jahat kepada keduanya. Dengan demikian kalimat perintah tersebut meliputi larangan yang menjadi lawannya. Pola kalimat seperti ini digunakan Allah swt

701 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 5, 49. Dan Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 417.

702 Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkan ayat tersebut, terutama yang bertalian dengan

berbuat baik kepada kedua orang tua dengan wa aḥsinū bi al-wālidain iḥsānan (berbuat baiklah dengan sebaik-baiknya kepada kedua olrang tua). Abī Muhammad ‘Abd Al-Haq Ibn ‘Aṭiyyah Al-Andalusiy, Al-Muḥarrar Al-Wajīz fī Tafsīr Al-Kitāb Al-‘Azīz (Beirut, Dār Ibn Haram, 2002), 433. Selanjutnya disebut Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar.

703 Al-Ṭabariy menginterpretasikannya dengan amarakum Allah bi al-wālidain iḥsānan bi ma’nā birran bihimā wa lidhālika nashb al-iḥsān, liannahu amara minhu jalla thanā`uhu bi luzūm al-iḥsān ilā al-wālidain ‘alā wajh al-ighrā`. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 4, 80. Al-Wāḥidiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan wa uṣīkum bial-wālidaini iḥsānan. Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 381.

704 Ibn ‘Aṭiyyah mendudukkan redaksi penggalan ayat tersebut sebagai kalimat

yang terdapat di dalamnya kata kerja (fi’il) yang tersembunyi, yaitu aḥsinū bi al-wālidain iḥsānan. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 675.

sebagai metoda yang mengutamakan maksud percakapan tentang berbuat baik kepada mereka. Pada masa jahiliah banyak bangsa Arab yang tidak menghargai kedua orang tua mereka yang lemah karena telah berusia lanjut.705

Pelaksanan berbuat ihsan kepada kedua orang tua menuntut kesungguhan yang optimal dan ketulusan yang maksimal mengingat akan berdampak positif dan bermanfaat bagi diri sendiri, bukan bagi mereka. Dengan demikian berbuat ihsan kepada mereka melebihi daripada berbuat ihsan kepada diri sendiri. Apabila ihsannya diwujudkan dalam rasa cinta, maka kecintaan terhadap keduanya melebihi daripada cintanya kepada diri sendiri. Jika ihsannya direalisasikan dalam pemberian sesuatu, maka pemberian kepada mereka melebihi daripada yang semestinya diberikan.

Konsep di atas relevan dengan eksistensi ihsan yang berorientasi kepada nilai tambah dan berdimensi kualitatatif. Oleh karena itu yang dikehendaki dengan hubungan muḥsin dengan kedua orang tua ialah penghormatan dan persahabatan sebagai perwujudan dari memuliakan mereka sekaligus sebagai prilaku bersyukur dan balas budi.

Berbuat baik kepada kedua orang tua berarti pula berbuat sopan santun atau adab dengan optimal dalam ucapan dan perbuatan sejalan dengan tradisi masyarakat (‘ūrf) hingga mereka merasa senang. Selain itu berarti pula upaya memenuhi hajat hidup mereka yang ditetapkan syareat sesuai dengan kemampuan anak. Tidak termasuk berbuat ihsan kepada mereka, jika melakukan sesuatu yang menghilangkan kemerdekaan dan kebebasan anak, baik yang berhubungan dengan pribadi dan rumah tangga maupun aktivitas yang berkaitan dengan pihak lain, agama, dan negara. Manakala salah satu atau keduanya berkeinginan memaksakan kehendak atas urusan anak, maka mengikuti pendapat atau kemauan mereka dengan meninggalkan sesuatu yang dinilai sebagai kemaslahatan umum atau khusus, atau melaksanakan kegiatan yang berbahaya bagi kepentingan umum atau khusus, bukanlah termasuk berbuat ihsan kepada mereka.706

Al-Qur`an menetapkan kewajiban berbuat Ihsan kepada kedua orang tua tidak hanya berdimensi kemanusiaan, melainkan meliputi pula dimensi ketuhanan. Hal ini disebabkan dominasi keterlibatan Allah

705 Ibn ‘Āshūr mengartikannya dengan wa aḥsinū bi al-wālidaini iḥsānan. Ibn

‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 4, Juz 8, 159.

dalam menentukan kewajiban tersebut demikian besar. Keterlibatan Allah terlihat pada perintah serta larangan-Nya berikut latar belakang dan implementasinya.707 Bahkan ketergantungan kerelaan atau

kemurkaan-Nya terletak pada kerelaan atau kemurkaan kedua orang tua.708

Al-Qur`an memberlakukan ketentuan berbuat baik kepada kedua orang tua, tetapi tidak menyertakan secara ekplisit perintah keharusan mereka berbuat baik kepada anak-anak mereka. Agaknya dapat dinyataka bahwa mereka secara ṭabī’iy (naluriah) akan mengurus dan menyayangi anak-anak mereka, sehingga orang tua memelihara dan melindungi anaknya merupakan fitrah yang melekat dalam rangka memelihara generasi penerus dan melestarikan kehidupan.709 Hal ini berbeda dengan

berbuat baik yang dilakukan anak kepada mereka, lebih merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai tindakan bersyukur dan balas budi mengingat anak lebih mencurahkan perhatiannya kepada isteri dan keturunan.710 Sedangkan bersyukur dan balas budi dalam wujud berbuat

baik kepada mereka berdua tergolong ke dalam perilaku yang sukar direalisasikan, jika tidak disertai dengan perintah dan ketentuan terutama yang bersifat samawi seperti Al-Qur`an, mengingat mayoritas bangsa Arab di masa jahiliyah mendapat julukan sebagai ahl jilāfah (anak tidak menghormati kedua orang tuanya, terutama setelah mereka renta dimakan usia tua).711

Berbuat baik kepada kedua orang tua memerlukan komitmen yang kuat pada setiap anak, sebab kebanyakan anak memproyeksikan perhatian dan kebaikannya kepada orang-orang yang datang kemudian dan hidup bersama dengannya, seperti isteri, anak atau generasi penerusnya, dan kemudian dengan mudah melupakan asal usulnya (ibu dan bapak), meskipun jasa dan pengorbanan mereka lebih banyak, semisal mengandung, melahirkan, menyusui, menyuapi, melindungi, membesarkan, dan mendidiknya dengan fasilitas dan biaya yang tidak

707 Quṭub menyebutkan bahwa perintah berbuat baik kepada kedua orang

terletak setelah larangan berbuat syirik seperti yang tercantum pada surah al-An’ām/6 : 151 merupakan pengajaran Allah kepada manusia tentang hubungan kasih sayang antara orang tua dan anaknya yang terikat dengan pengetahuan mereka tentang ketuhanan yang bersifat Maha Esa. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 3, 1230.

708 HR. Tirmidziy. Al-Tirmidziy, Al-Jāmi’. Jilid 3, 62. 709 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 5, 2788.

710 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261.

terbatas.712

Berlaku ihsan kepada kedua orang tua yang secara eksplisit tercantum dalam empat ayat menunjukkan amalan setrategis sehubungan kedudukannya disandingkan dengan perintah beribadah hanya kepada Allah swt atau larangan menyekutukan-Nya. Sandingan tersebut sejalan dengan letaknya yang berurutan dalam satu rangkaian ayat.713

Pada surah Al-An’ām/6 : 151 di samping kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua disandingkan dengan larangan syirik kepada-Nya, juga diletakkan berdampingan dengan larangan membunuh anak sendiri, berbuat keji , seperti zina, dan membunuh orang lain kecuali dengan hak.

Perintah menyembah Allah dan larangan menyekutukan-Nya diletakkan terlebih dahulu sebelum perintah berbuat baik kepada kedua orang tua mengingat penyembahan mutlak semata-mata kepada Allah Yang Maha Satu, tiada sekutu bagi-Nya, yang menjadi sumber wujud bagi manusia dan segala instrumen kehidupannya. Sementara kedua orang tua merupakan perantara atau penyebab bagi kehadiran seseorang melalui cara melahirkan, memelihara, mendidiknya, dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkannya dengan maksimal dan penuh kasih sayang sesuai dengan kemampuan hingga dapat hidup mandiri.714

Kedudukan kedua orang tua dalam pandangan Allah begitu setrategis di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga Nabi saw menetapkan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa besar sebagaimana keberadaan syirik, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.715 Kemudian Nabi saw memprioritaskan berbuat baik kepada

ibu716 sehubungan faktor mengandung, melahirkan, dan menyusui yang

beresiko berat dan memayahkan merupakan bagian melekat yang perlu mendapatkan apresiasi tersendiri.

Namun demikian, apabila terjadi perbedaan keyakinan, agama atau prinsip hidup antara anak dan kedua orang tua, kemudian mereka

712 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221.

713 Seperti tercantum pada surah An’ām/6 : 151, Baqarah/2 : 83,

Al-Nisā`/4 : 36, dan Al-Isrā`/17 : 23.

714 Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Juz 5, 84, dan Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz

3, 21, serta Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 6, Juz 15, 68.

715 HR. Al-Bukhāriy. Abī Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy bi Hāshiyah Sandi (Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.t), Juz 4, 48. Selanjutnya disebut Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ.

menghendakinya agar anak menghambakan diri kepada selain Allah, maka tidak diwajibkan baginya mematuhi kehendak mereka. Akan tetapi diharuskan atasnya untuk memperlakukan mereka dengan baik. Jadi ketaatan kepada Allah lebih diperioritaskan ketimbang kepatuhan kepada mereka, tetapi dalam berkomunikasi dengan mereka diharuskan menampilkan perilaku terpuji dengan cara ihsan.717

Al-Qur`an menggunakan term ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا untuk menunjuk kedua orang tua yang dikorelasikan dengan ihsan, sebagai bentuk tathniyah (dual) dari kata ﺪﻟاﻮﻟا yang berarti bapak. Arti tersebut menunjukkan kepada orang tua kandung yang melahirkan. Kata ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا terulang dalam Al-Qur`an sebanyak tujuh kali. Kata ﻦﻳﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan (disandarkan) kepada kata yang lain termaktub sepuluh kali serta term ناﺪﻟاﻮﻟا tercantum tiga kali. Selain itu kata ةﺪﻟاﻮﻟا yang berarti ibu tersebut satu kali dalam Al-Qur`an

dan ةﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan terulang dua kali sertaتاﺪﻟاو (jamak) tersurah

satu kali.718 Akar katanya ialah ﺪﻟﻮﻣ - ةدﻻو - ﺪﻠﻳ - ﺪﻟو yang bermakna

melahirkan.719

Melahirkan dan mengandung yang dilalui dengan susah payah dan beresiko tinggi, ditambah masa menyusui hingga menyapih, keseluruhan dialami selama 30 bulan merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan setiap muḥsin wajib berbuat baik kepada kedua orang tuanya.720 Ini merupakan perwujudan dari penghargaan Allah swt

terhadap keberadaan mereka. Akan tetapi penghargaan tersebut tidak berarti meletakkan mereka melebihi kewajiban menyembah-Nya, sehubungan keberadaan mereka sebatas menjadi perantara bagi kelahiran seseorang. Sedangkan yang melahirkan sesungguhnya adalah Allah swt.

Dengan demikian, hubungan anak dengan kedua orang tua yang menekankan pada penghormatan atau pengagungan dan persahabatan

717 Al-Samarqandiy menyatakan bahwa seorang anak tidak diperkenankan

mematuhi perintah kedua orang tuanya untuk berbuat maksiat, kendati berbuat baik pada keduanya merupakan perbuatan mulia. Akan tetapi dalam bergaul bersama mereka, seorang anak dituntut untuk memperlakukan mereka dengan cara ihsan. Pernyataannya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Luqmān/31 : 15. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 22.

718 Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 931. 719 Mahmud Yūnus. Kamus, 596.

720 Kajian yang lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat pada penafsiran

selayaknya menyatu dalam diri seorang muḥsin sebagai manifestasi dari rasa syukur dan balas budi atas nikmat dari mereka yang telah diterimanya,721 walaupun terjadi perbedaan yang fundamental dan

berdampak negatif secara signifikan terhadap kehidupan bersama, semacam perbedaan aqidah. Perilaku macam ini menjadi karakter muḥsin

yang terpuji.722

Pada prinsipnya hubungan antara anak dengan kedua orang tuanya direalisasikan dalam aktivitas yang melukiskan perangai yang sopan dan santun, baik di kala kedua orang tua masih hidup atau telah meninggal dunia.723

1). Mengurus dan Memelihara Kedua Orang Tua dengan Baik Kewajiban seorang muḥsin dalam merefleksikan perilaku bersyukur, balas budi, dan berbuat ihsan kepada kedua orang tua kandung adalah mengurus dan melihara mereka. Namun, dapat dipastikan bahwa upaya mengurus dan memelihara mereka tidak akan sepadan, jika dibandingkan dengan ihsan yang telah dilakukan oleh mereka.724

Penggalan ayat ﺎَُﳘَﻼِﻛ ْ وَأ ﺎَُﳘُﺪ َﺣَأ َ ﺮ َـﺒِﻜْﻟا َكَﺪْﻨِﻋ ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َ ـﻳ ﺎﱠﻣِإ dari surah Isrā`/17 : 23 mendeskripsikan secara tersirat kewajiban tersebut. Hal ini dapat dipahami dari dua aspek, yakni setruktur kalimat sharṭiyyah (setimulus) dan pesan penggunaan kosakata al-kibara (usia tua). Kalimat sharṭiyyah

berupa ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ ﺎﱠﻣِإ, pada umumnya, mengandung pesan “kepastian” mengingat

نإ yang disertai dengan ﺎﻣ yang berfungsi sebagai taukīd atau mengukuhkan dan diiringi dengan nūn taukīd pada kata kerjanya ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ. Penggunaan kosakata َﺮَﺒِﻜْ ﻟا mengesankan bahwa pada usia tua kedua

721 Ibn ‘Āshūr menyampaikan penjelasan tentang masalah ini dengan luas

ketika menafsirkan surah Al-Isrā`/17 : 23 dan surah Al-Ahqāf/46 : 15. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15, 210 dan Jilid 10, Juz 26, 29, dan Al-Zamakhshariy,

Al-Kashshāf, 1012.

722 Al-Rāziy menafsirkan surah Luqmān/31 : 15, terutama penggalannya wa ṣāhibhumā fī al-dunyā ma’rūfan dengan menyatakan bahwa kewajiban berbuat baik sebatas bersahabat secara fisik (lahiriah) mengingat dalam kondisi demikian hak keduanya hanya secara fisik (lahiriah). Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 13, Juz 25, 270.

723 Quṭub dengan penafsirannya yang mendasar terhadap surah Al-Isrā`/17 : 23

dan 24 meletakkan redaksi keduanya sebagai penggerak semangat berbuat baik dan menyayangi dalam hati anak terhadap mereka berdua.Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221.

orang tua lebih membutuhkan kebaikan anaknya dibandingkan dengan usia sebelumnya.725 Kebaikan yang dibutuhkan mereka adalah

pemeliharaan atau pertolongan dan pengurusan atau penanggungan dari anak, yang terliput dalam kosakata َكَﺪْﻨِﻋ.726

2). Tidak Melontarkan Ucapan “uf” atau ah atau cih;

Larangan mengucapkan ْفُأ terhadap kedua orang tua tersurah pada surah Al-Isrā`/17 : 23 terutama potongannya ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻘَـﺗ َﻼَﻓ (maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”). Kata ﱟفُأ terulang dalam Al-Qur`an sebanyak tiga kali.727 Pada

mulanya ﱟفُأ berarti ﺮﺠﻀﺗ 728 (bosan , jemu, dan muak),729 dan digunakan

untuk menyatakan sesuatu yang tidak disukai,730 serta segala sesuatu

yang dinilai kotor, seperti kotoran telinga dan kotoran kuku.731 Artinya ﱟفُأ

menjadi simbol ucapan yang kasar dan buruk732 atau lambang

seringan-ringannya perkataan buruk.733

Larangannya yang terkesan sederhana, tidak berarti, missi penggalan ayat tersebut terbatas pada tidak diperkenankan ucapan buruk yang ringan. Akan tetapi memberi isyarat kepada larangan mengucapkan berbagai kata yang dapat menyinggung dan menyakitkan perasaan kedua orang tua, baik kata-kata yang ringan ataupun kata-kata yang berat karena memiliki dampak pesikologis yang negatif bagi perasaan mereka, terlebih dalam kata tersebut mengandung perasaan bosan kepada mereka, yang termasuk pada kategori tindakan yang menyakitkan sekali.734

Ucapan ﱟفُأ menandakan perkataan buruk dan melambangkan ketidakcocokan anak terhadap perbuatan kedua orang tuanya. Lebih jauh dapat dinyatakan bahwa ucapan itu menjadi pertanda kebencian dan keengganan mengurus atau memelihara mereka mengingat dalam ucapan

725 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 270. 726 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568.

727 QS. Al-Isrā`/17 : 23, QS. Al-Anbiyā`/21 : 67, dan QS Al-Ahqāf/46 : 17. 728 Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 40.

729 Yūnus, Kamus, 226.

730 Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 40. 731 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 15.

732 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 59. 733 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān, Jilid 3, 35.

tersebut memuat konotasi penghinaan dan pelecehan.735 Situasi ini bisa terjadi di saat mereka menginjak usia tua, usia di saat mereka memiliki ketergantungan yang lebih tinggi kepada anak, sehingga bagi seorang anak dalam menghadapi mereka dibutuhkan kesiapan menanggung segala resiko yang berat dan kesabaran yang tinggi.736

Seorang muḥsin akan menghindarkan diri dari mengutarakan perkataan ﱟفأ dalam menghadapi tindak-tanduk kedua orang tua yang tidak sesuai. Ia memperlakukan mereka dengan cara yang mulia, menghormati serta menyayangi dengan sabar dan bersahabat, hingga mereka merasa tersanjung, karena ia menyadari bahwa mereka telah mengurusnya dengan cara seperti itu sejak dalam kandungan. Al-Qur`an melukiskan dampak negatif yang ditimpakan kepada seseorang yang melanggar larangan tersebut pada surah Al-Aḥqāf/46 : 18 sebagai ahli neraka.737

3). Tidak Membentak;

Membentak kedua orang tua merupakan perangai tercela sehubungan adanya larangan yang terliput pada surah Al-Isrā`/17 : 23, terutama penggalannya ﺎَُﳘ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ وyang berarti ظﻼﻏﺈﺑ ﻚﺒﺠﻌﻳ ﻻ ﺎﻤﻋ ﺎﳘﺮﺟﺰﺗ ﻻو738

(dan janganlah kamu membentak mereka dengan amarah karena perbuatan mereka yang tidak menyenangkan). Larangan menggunakan kosakata ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ dalam Al-Qur`an terulang dua kali. Ayat ini pencatat pertama, dan surah Al-Dhuhā/93 : 10 merupakan pencatat dan pengulang kedua, berkenaan dengan larangan membentak peminta-minta.

Kata ini berasal dari ا ً ﺮ ْ ﻬَـﻧ - ُ ﺮ َﻬْـﻨ َ ـﻳ -ﺮ َﻬَـﻧberarti menegur atau melarang dengan kasar, dan menghadapinya dengan benci dan sikap yang buruk.739

735 Ini pendapat Ibn Anbāriy yang diakomodir oleh Al-Jauziy di kala

menafsirkan kosakata uf yang termaktub pada surah Al-Isrā`/17 : 23. Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 807.

736Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594.

737 Bayḍāwiy memberikan julukan tersebut ketika menafsirkan surah

Al-Ahqāf/46 : 18 yang dikaitkan dengan ayat 17 dari surah yang sama. Al-Bayḍāwiy,

Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 395.

738 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl,Jilid 1, 568. Dengan maksud yang senada

dengan al-Baedhawiy, Al-Samarqandiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan menyatakan لﻮﻘﻟﺎﺑ ﺎﻤﻬﻴﻠﻋ ﻆﻠﻐﺗ ﻻ (jangan memarahi mereka dengan perkataan). Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm,Jilid 2, 265.

739 Majma’ Al-Lughah mengartikannya dengan ُﻩ ُ ءﻮ ُ ﺴَ ﻳ َ و ُﻪ ُﻫَ ﺮْﻜَ ﻳ ﺎَ ِﲟ ُﻪَﻠ َ ـﺒْﻘَـﺘ ْ ﺳا َ و ٍﺔَﻈْﻠ ِﻏ ِ ﰲ َ ﺮ َ ﺟَز

Termasuk melakukan tindakan menegur dengan kasar, jika seseorang menggerakkan tangannya dengan arogan menimpa kedua orang tuanya.740 Membentak merupakan tindakan yang menyakitkan hati,

karena perbuatan tersebut menunjukkan sikap melawan atau merendahkan mereka. Sifat negatif tersebut merepresentasikan karakter merasa lebih besar dan lebih mulia, bersamaan dengan hal tersebut terdapat dalam diri seorang anak keengganan memelihara dan mengurus mereka, serta ia menganggap mereka semata-mata menyusahkannya.

Seorang muḥsin akan berkata yang baik dan berbuat yang sopan di segala keadaan dan sepanjang masa, termasuk di saat menghadapi perkataan dan perbuatan tidak baik kedua orang tuanya. Ini menjadi bagian hidupnya dalam rangka melestarikan iklim hubungan yang santun, bersahabat, dan sarat penghormatan.

4). Berkata Mulia;

Berkata mulia adalah cermin keperibadian luhur yang dimiliki seorang muḥsin. Ia konsisten untuk berbuat baik dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan kepada semua pihak, terlebih kepada kedua orang tuanya mengingat perkataan tersebut melambangkan sikap memuliakan dan menghormati.741 Berkata mulia yang diwujudkan dengan berkata indah

merupakan salah satu faktor yang dapat melahirkan hubungan persahabatan antar mereka yang sarat penghormatan sebagai manifestasi dari tatakrama yang baik.742 Hal ini merupakan pesan yang mudah

dipahami dari penggalan ayat 23 surah Al-Isrā` ﺎًْﳝِﺮَﻛ ًﻻ ْ ﻮَـﻗ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻗ َ و(dan ucapkanlah kepada mereka berdua perkataan yang mulia atau indah). Kedudukannya dalam setruktur ayat sebagai badal (pengganti) dari ْ ﻞُﻘَـﺗ ﻼَﻓ

َ ﻢُﻫ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ و ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ743

Ucapan yang mulia sebagai pantulan dari ihsan yang melekat pada diri seorang muḥsin dapat diimplementasikan ke dalam tutur kata yang lembut, ucapan yang indah, dan kalimat yang santun. Tatakrama

740 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 60. 741 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221.

742 Lebih jauh Al-Zamakhshariy melarang seorang anak memanggil nama

kedua orang tuanya, karena memanggil nama tindakan kasar dan tatakrama yang buruk. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594, danAl-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī,Jilid 8, 55.

743 Al-Alūsiy menyebutnya badal dari ta`fīf (mengucapkan is karena bosan) dan nahr (menghardik). Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 8, 55. Al-Zamakhshariy