• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi City Branding “Shining Batu” Untuk Meningkatkan Daya Saing Kota Batu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi City Branding “Shining Batu” Untuk Meningkatkan Daya Saing Kota Batu"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

BAYU CANDRA WINATA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

STRATEGI CITY BRANDING “SHINING BATU” UNTUK

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi City Branding

Shining Batu” Untuk Meningkatkan Daya Saing Kota Batu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

(3)

BAYU CANDRA WINATA. Strategi City Branding Shining Batu” Untuk Meningkatkan Daya Saing Kota Batu. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan SUGENG BUDIHARSONO.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis status pengembangan city branding shining Batu”, menganalisis faktor-faktor pengungkit yang berperan mendorong peningkatan city branding shining Batu”, dan merumuskan alternatif strategi city branding shining Batu” dalam rangka meningkatkan daya saing di Kota Batu. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur yang dipilih secara purposive. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Desember 2015 sampai dengan Februari 2016.

Penentuan responden dalam penelitian ini dipilih secara purposive yang masing-masing dianggap mewakili pihak pemerintah daerah dan dinas-dinas yang terkait, pihak yang mewakili dunia usaha, pihak yang mewakili akademisi serta pihak yang mewakili kelompok masyarakat Kota Batu. Jumlah responden yang diambil pada penelitian ini sebanyak 30 responden yang terdiri dari 10 responden pemerintah daerah dan dinas terkait, 6 responden dunia usaha, 4 responden akademisi, dan 10 responden kelompok masyarakat.

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan kuesioner, dan studi dokumen. Data yang dihasilkan diolah melalui analisis Multi-Dimensional Scaling (MDS) menggunakan pendekatan Rap-City Branding (Rapid Appraisal Techniques for City Branding) yang telah dimodifikasi dari program RALED (Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development), analisis sensitivitas, dan deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status pengembangan city branding

“Shining Batu” di Kota Batu saat ini berada pada status sangat baik, karena memiliki nilai indeks multidimensi >75. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis Rap-City Branding multidimensi di Kota Batu yang memiliki nilai indeks sebesar 82,69. Analisis multidimensi tersebut dilakukan pada aspek hexagonal city branding, yang meliputi aspek kepemimpinan, tata kelola, manusia, budaya dan warisan, ekspor, dan investasi.

(4)

menengah berada pada status sangat baik, karena memiliki nilai indeks multidimensi sebesar 95,24. Strategi pengembangan city branding ditentukan oleh peran atribut sensitif yang memberikan peningkatan nilai indeks pengembangan tersebut. Adapun strategi pengembangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai status city branding Shining Batu” adalah peningkatan pengelolaan budaya dan warisan, peningkatan pengelolaan mekanisme investasi, penguatan kepemimpinan, peningkatan kualitas dan kreativitas SDM, penguatan ekspor , dan peningkatan tata kelola. Peningkatan pengelolaan budaya dan warisan, dan peningkatan pengelolaan mekanisme investasi menjadi fokus utama dalam pengembangan city branding Shining Batu”. Hal ini disebabkan karena pertimbangan waktu, alokasi dana dan sumber daya manusia yang tersedia. Peningkatan dan penguatan city branding Shining Batu” akan berdampak pada daya saing Kota Batu. Hal tersebut dilihat dari peningkatan jumlah pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi.

(5)

Competitiveness of Batu City. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and SUGENG BUDIHARSONO.

The purposes of this research were to analyze the status of city branding development "Shining Batu", to analyze the leverage factors which influenced in improving the "Shining Batu" city branding, and to formulate some alternative strategies for "Shining Batu" city branding in improving the competitiveness of Batu City. This research was done in Batu City, Province of East Java, chosen purposively. The research was conducted for three months, from December 2015 to February 2016.

Respondent determining process in this research was conducted purposively; each considered as representative of regional government and related institution, academics, and citizens of Batu City. The amount of respondents taken on this research were 30 respondents consisted of 10 respondents from regional government and related institution, 6 entrepreneur respondents, 4 academic respondents, and 10 citizen respondents. The data was completed by doing observation, interview, questionnaire, and documents study. The data resulted was processed by Multi-Dimensional Scaling (MDS) analysis by using Rap-City Branding (Rapid Appraisal Techniques for City Branding) approach which had been modified from RALED (Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development) program, sensitivity, and descriptive analysis.

The result of this research showed that “Shining Batu” city branding development status was in a very good status because the multidimensional index value was >75. This result was showed by multidimensional Rap-City Branding index value was 82,69. The multidimensional analysis was conducted in hexagonal aspect of city branding, which comprised of leadership aspect, maintenance, human resource, culture and heritage, export, and investment.

Based on sensitivity analyses, it was resulted in 13 attributes which required to be fixed in “Shining Batu” hexagonal city branding. Those leverage attributes were regional head integrity, cross-sectorial partnership institution and related elements formed by regional head for implementing the strategies of city branding, regional government should have national media partner, the existence of institution or part of regional government which promoted the city branding, local human resources creativity, the existence of entertainment spots (such as museum, art, music, movie, etc), maintained history heritage originality, the existence of festival or local culture show (music, literature, etc.), the existence of cultural appreciation reached before, the existence of historical places revitalization (building, temples, caves, etc.), packaging and campaign of product promotion, speed of permission setting for new investments, and regional rules of easiness for investments in the form of fiscal incentive, simplifying the permission, providing lands, and labor.

(6)

improvement of human resources quality and creativity, export strengthening, and maintenance improvement. The improvement of culture and heritage, investment mechanism maintenance became the main focus on developing the “Shining Batu” city branding. This was caused by time consideration, fund and human resources allocation available. The improvement and strengthening of “Shining Batu” city branding would affect the competitiveness of Batu City. It could be seen from the increasing of income and high employment oopportunities.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

BAYU CANDRA WINATA

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : H252130095

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yusman Syaukat, M. Ec Ketua

Dr Ir Sugeng Budiharsono Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

Dr Ir Ma’mun Sarma, MS. M. Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah

subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Strategi City Branding Shining Batu” Untuk Meningkatkan Daya Saing Kota Batu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Yusman Syaukat M.Ec dan Dr Ir Sugeng Budiharsono selaku komisi pembimbing yang senantiasa membimbing dan memberikan saran serta arahan kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Di samping itu, ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri, anak-anak, bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2016

(12)

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 6

Konsep Daya Saing Daerah 6

City Branding 8

City Marketing dalam City Branding 14 City Branding dan Pengembangan Ekonomi Lokal 15 City Branding dan Daya Saing Daerah 17

RALED 18

Multidimensional Scalling 18

Penelitian Terdahulu 20

METODE PENELITIAN 21

Kerangka Pemikiran 21

Waktu dan Tempat Penelitian 23

Metode Penelitian 23

Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling 23

Metode Pengumpulan Data 24

Tahapan Penelitian 24

Pengolahan dan Analisis Data 26

GAMBARAN UMUM WILAYAH 31

Kondisi Geografis dan Administratif 31

Kependudukan dan Sumber Daya Manusia 31

Prasarana dan Sarana Daerah 32

Perekonomian 32

Potensi Sektor Pertanian 35

Potensi Sektor Pariwisata 35

Review Implementasi City Branding “ShiningBatu” 37

di Kota Batu 37

Makna City Branding “ShiningBatu” di Kota Batu 36 Review Strategi Membangun dan Promosi City Branding

(13)

Status Keberlanjutan Aspek Tata Kelola 44

Status Keberlanjutan Aspek Manusi 46

Status Keberlanjutan Aspek Budaya dan Warisan 48

Status Keberlanjutan Aspek Ekspor 51

Status Keberlanjutan Aspek Investasi 52

Status Keberlanjutan Multiaspek 55

Uji Validitas dan Uji Ketepatan MDS 56

Faktor Pengungkit 40

Skenario Strategi Pengelolaan City Branding

Shining Batu” Berkelanjutan 59

SIMPULAN DAN SARAN

66

Simpulan 66

Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 70

(14)

Negara-negara ASEAN 2014 17

2 Distribusi Responden Kajian 23

3 Rincian Pengolahan dan Analisis Data 26 4 Produk Domestik Regional Bruto Kota Batu Atas Dasar Harga

Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2014 (Juta) 34 5 Jumlah Pengunjung Daya Tarik Wisata di Kota Batu

Tahun 2010-2014 36

6 Nilai indeks multidimensi city branding di Kota Batu 56 7 Perbedaan nilai indeks status keberlanjutan city branding

analisis Rap-City Branding dengan analisis monte carlo 57 8 Nilai stress dan koefisien deteminasi analisis Rap-City Branding

dengan analisis monte carlo 57

9 Faktor pengungkit perdimensi keberlanjutan city branding

di Kota Batu 58

10 Perubahan nilai skoring atribut kunci pada skenario

Jangka Pendek-Menengah terhadap peningkatan nilai indeks dan status keberlanjutan city branding “Shining Batu” di Kota Batu 59 11 Nilai indeks status keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario jangka pendek-menengah strategi pengelolaan city branding

di Kota Batu 61

12 Indikator keberhasilan peningkatan nilai skor atribut sensitif pada skenario jangka pendek-menengah strategi pengelolaan

(15)

2 Model Heksagonal City Brand 9

8 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek kepemimpinan

city branding “shining Batu” di Kota Batu 42 9 Nilai sensitivitas atribut aspek kepemimpinan yang dinyatakan

dalam perubahan root mean square (RMS) skala

keberlanjutan 0 – 100 43

10 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek tata kelola

city branding “shining Batu” di Kota Batu 45 11 Nilai sensitivitas atribut aspek tata kelola yang dinyatakan

dalam perubahan root mean square (RMS) skala

keberlanjutan 0 – 100 46

12 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek manusia

dalam city branding “shining Batu” di Kota Batu 47 13 Nilai sensitivitas atribut aspek manusia yang dinyatakan

dalam perubahan root mean square (RMS) skala

keberlanjutan 0 – 100 48

14 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek budaya

dan warisan dalam city branding “shining Batu” di Kota Batu 49 15 Nilai sensitivitas atribut aspek budaya dan warisan yang

dinyatakan dalam perubahan root mean square (RMS)

skala keberlanjutan 0 – 100 50

16 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek ekspor

dalam city branding “shining Batu” di Kota Batu 51 17 Nilai sensitivitas atribut aspek ekspor yang dinyatakan

dalam perubahan root mean square (RMS) skala

keberlanjutan 0 – 100 52

18 Nilai indeks dan status keberlanjutan aspek investasi

dalam city branding “shining Batu” di Kota Batu 53 19 Nilai sensitivitas atribut aspek investasi yang dinyatakan

dalam perubahan root mean square (RMS) skala

keberlanjutan 0 – 100 54

20 Diagram laba-laba (web diagram) multidimensi

city branding Kota Batu 55

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Drucker (1988) menyatakan tidak ada daerah yang miskin, yang ada adalah daerah yang tidak dikelola secara baik. Pernyataan ini menemukan relevansinya saat mendiskusikan manajemen pembangunan daerah di era desentralisasi ini. Semua daerah, tanpa kecuali, memiliki potensi dan modal ekonominya masing-masing, baik berupa kekayaan alam, sumber daya manusia, lokasi strategis, serta potensi daerah yang lainnya.

Pilihan negara Indonesia menyelenggarakan pemerintahan desentralistis di era penghujung 1990-an tentu bukan sekadar mengikuti kecenderungan demokratisasi gelombang ketiga yang melanda banyak negara ketika itu. Tetapi, pilihan berotonomi merupakan upaya strategis merespon krisis, serta mempersiapkan tantangan masa depan pengelolaan bangsa Indonesia.

Pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah mencapai puncaknya pada era reformasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Sesuai dengan kebijakan pemerintah tersebut, berbagai daerah melakukan eksplorasi terhadap seluruh potensi yang dimilikinya.

Berkembangnya daerah-daerah yang ada di Indonesia menciptakan suatu kompetisi yang besar antar daerah. Perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi teknologi, komunikasi, sosial, politik, dan juga ekonomi harus mampu direspon dengan baik oleh setiap daerah dalam menajemen pembangunan daerahnya. Setiap daerah diusahakan agar mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat tersebut. Daerah yang mampu memanfaatkan perubahan yang ada, akan mampu memenuhi tuntutan pasar (konsumen) dan mengembangkan produknya (daerah). Perubahan jaman yang semakin modern, membuat merek (brand) tidak hanya dimiliki oleh suatu produk ataupun jasa, namun daerah juga memiliki mereknya sendiri.

Pada tahun 1990-an, merek tidak hanya diaplikasikan pada produk (Gardyn, 2002), tetapi juga berlaku untuk jasa, tempat, kota, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh Freire (2007) yang menjelaskan bawah saat ini bukan hanya produk dan jasa yang mengembangkan sistem brand management, banyak tempat atau lokasi yang juga menerapkan pengembangan semacam brand management.

Moilanen, dkk (2009) menyatakan bahwa saat ini fenomena branding juga digunakan untuk daerah, kota, maupun negara. Merek/citra daerah biasa disebut dengan city brand. Menurut Anholt (2006), city branding merupakan manajemen citra suatu destinasi melalui inovasi strategis serta koordinasi ekonomi, sosial, komersial, kultural, dan peraturan pemerintah.

(17)

daerah, membeli produk atau jasanya, melakukan bisnis, dan bahkan berpindah tinggal di daerah tersebut.

Moilanen,dkk (2009) mengidentifikasi ciri-ciri place branding yang sukses adalah meningkatnya bisnis dan investasi, meningkatnya kegairahan industri, meningkatnya ekspor, meningkatnya kebanggaan penduduk dengan origin-nya, dan meningkatnya daya tawar dan diplomasi di mata publik

Menurut Budiharsono (2015), city branding adalah pembentukan citra (secara internal dan eksternal) untuk daerah atau beberapa daerah berdasarkan nilai-nilai dan persepsi yang positif dan relevan. Pembentukan citra dengan fokus sektor/komoditi unggulan daerah dapat meningkatkan daya saing daerah. Daya saing daerah menjadi penting dan strategis di tengah berlangsungnya arus globalisasi di berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, dan bidang lainnya. Salah satu wujud nyata globalisasi ekonomi adalah pasar bebas. Salah satu tantangan pasar bebas di akhir tahun 2015 adalah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan integrasi ekonomi bagi negara-negara ASEAN. Pemerintah daerah harus bersaing dengan produk barang dan jasa dari negara ASEAN di dalam negeri maupun di pasar negara-negara ASEAN lainnya.

Menurut Kartajaya (2005), seiring penerapan otonomi daerah yang semakin nyata, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta meluasnya pengaruh trend globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berebut satu sama lain dalam hal perhatian (attention), pengaruh (influence), pasar (market), tujuan bisnis & investasi (business & investment destination), turis (tourist), tempat tinggal penduduk (residents), orang-orang berbakat (talents), dan pelaksanaan kegiatan (events ).

Oleh karena itu, setiap daerah membutuhkan brand yang kuat dalam menghadapi tuntutan global. Pemerintah daerah yang menyadari pentingnya nilai dari brand wilayahnya, mencoba membangun brand untuk wilayahnya, tentu yang sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target wilayah tersebut. Kita akan ingat Amazing Thailand, “Uniquely Singapura”, ”WOW bertepatan dengan perayaan Hari Kebangkitan Nasional. Sebelumnya, Kota Batu juga telah mengeluarkan sebuah tagline Kota Wisata Batu atau yang biasa disingkat menjadi KWB. Pergantian tagline dari Kota Wisata Batu (KWB) menjadi “Shining Batu” dikarenakan tagline Shining Batu” dianggap lebih memiliki makna yang kuat secara filosofis mencakup sendi–sendi kehidupan masyarakat Batu sesuai dengan logo “Shining Batusaat ini. Penerapan city branding diharapkan mampu memajukan pariwisata, meningkatkan investasi dan pendapatan daerah. Selain itu, city branding kota Batu untuk meningkatkan posisi tawar dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.

(18)

daerah-daerah yang lain. Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian, “Bagaimana

strategi city branding “shining Batu” untuk meningkatkan daya saing Kota

Batu?”.

Perumusan Masalah

Kota Batu merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Kota Batu terletak pada ketinggian rata-rata 871 m di atas permukaan laut. Kota Batu dikelilingi beberapa gunung, seperti Gunung Anjasmoro (2277 m), Gunung Arjuno (3339 m), Gunung Banyak, Gunung Kawi (2651 m), Gunung Panderman (2040 m), dan Gunung Welirang (2156 m). Sebagaimana layaknya wilayah pegunungan yang wilayahnya subur, Kota Batu juga memiliki panorama alam yang indah dan berudara sejuk, tentunya hal ini akan menarik minat masyarakat lain untuk mengunjungi dan menikmati Batu sebagai kawasan pegunungan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Kota Batu pernah dijuluki sebagai Swiss Kecil di Pulau Jawa serta kawasan wisata pegunungan yang sejuk. Selain itu, Kota Batu juga pernah dikenal sebagai Kota Agropolitan, juga kota Apel.

Kota batu sejak tahun 2013 menggunakan brand Shining Batu” sebagai city brand nya. Kebijakan penerapan brand baru Kota Batu diharapkan mampu meningkatkan perekonomian daerah. Dalam mempromosikan brand Shining Batu”, pemerintah kota merumuskan beberapa program yang mendukung Shining Batu, seperti program paket wisata dan promosi melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu, anatara lain paket wisata petik Apel, paket wisata petik sayur, paket wisata petik stroberi, paket wisata edukasi pertanian, paket wisata edukasi peternakan, paket wisata outbond, wisata alam, rafting, dan lain sebagainya. Selain paket wisata tersebut, pemerintah kota melakukan promosi Shining Batu melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan tahunan, seperti kegiatan gebyar nusantara, peserta pada Majapahit Travel Fair (MTF), Batu Travel Mart, Batu Flora Festival, Batu Night Criterium, serta melalui media website shining-batu.com, majalah-majalah, televisi lokal, dan lain-lain.

Program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Batu tersebut diharapkan mampu mengenalkan shining batu di kalangan pengunjung Kota Batu, serta meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Miladiyah (2014) menyatakan bahwa shining Batu tidak dikenal oleh pengunjung. Padahal shining Batu merupakan hal pertama yang mencerminkan jati diri Kota Batu.

(19)

Berdasarkan data tersebut, pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Kota Batu sebesar 8,20 %, lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,25 %. Pertumbuhan yang melambat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kenaikan harga BBM di pertengahan tahun.

Oleh karena itu, dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Batu tahun 2015 salah satu arahan kebijakan ekonomi yang diterapkan adalah pemantapan city branding untuk mengantarkan terwujudnya sentra pariwisata yang didukung oleh pengembangan agropolitan modern. Berdasarkan uraian di atas dan dalam rangka mendukung kebijakan pemantapan city branding Kota Batu, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana status pengembangan city branding shining Batu” di Kota Batu saat ini?

2. Faktor-faktor pengungkit apa yang dapat mendorong peningkatan city branding shining Batu”di Kota Batu?

3. Bagaimana rumusan strategi pengembangan city branding “shining Batu” untuk meningkatkan daya saing dan kinerja Kota Batu?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari kajian ini yaitu :

1. Menganalisis status pengembangan city branding shining Batu” di Kota Batu.

2. Menganalisis faktor-faktor pengungkit yang berperan mendorong peningkatan city branding “shining Batu” di Kota Batu.

3. Merumuskan alternatif strategi city brandingshining Batu” dalam rangka meningkatkan daya saing Kota Batu.

Kegunaan Penelitian

1. Untuk Pemerintah Daerah

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah Kota Batu terkait dengan pengambilan kebijakan pemantapan city branding berkelanjutan dengan mendasarkan pada keunggulan daya saing daerah.

2. Untuk Masyarakat Kota Batu

Hasil kajian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat Kota Batu dalam bersinergi bersama dengan pemerintah daerah dalam memperkenalkan dan memantapkan Kota Batu sesuai dengan city brand yang dimiliki oleh Kota Batu.

3. Untuk Swasta

(20)

4. Untuk Akademik

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Daya Saing Daerah

Di era globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dengan kondisi persaingan di segala bidang yang makin tajam, pemerintah daerah dituntut untuk mengubah paradigma orientasi lokal menjadi orientasi global. Untuk itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan daerahnya menjadi wadah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian, dengan penekanan pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan, dengan menggunakan potensi sumber daya manusia serta sumber daya alam lokal, kelembagaan dan teknologi yang dimiliki oleh daerah.

Pemerintah daerah harus melakukan pemetaan secara cermat dengan pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Memberdayakan daya saing daerah, merupakan rumusan strategi pencapaian yang dapat dilakukan. Daya saing daerah haruslah spesifik atau tidak serupa, dengan memunculkan dan memupuk core competence-nya masing-masing, agar mampu mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan di seluruh daerah di tanah air.

Daya saing daerah berdasarkan Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (UK-DTI) adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sementara itu Centre for Urban and City Studies (CURDS) mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya (Abdullah, 2002).

(22)

Gambar 1.1 Model Piiramiada Daya Saing Daerah

Standar hidup, kesejahteraan daerah manapun tergantung pada daya saing daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing daerah dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu komponen langsung dan tidak langsung. Faktor yang menjadi penting adalah faktor pembangunan dengan pengaruh jangka pendek langsung dan output ekonomi, profitabilitas, produktivitas tenaga kerja serta tingkat lapangan kerja. Namun, proses dan parameter ekonomi, lingkungan dan sosial budaya, yang disebut 'sukses penentu', secara tidak langsung, dampak jangka panjang terhadap daya saing juga harus diperhitungkan.

Tiga tingkat piramida dapat dibedakan sehubungan dengan tujuan program pembangunan daerah dan berbagai karakteristik serta faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing (gambar 1):

Kategori dasar daya saing daerah (indikator mengukur daya saing), sehingga disebut mengungkapkan daya saing. Kategori ini mengukur daya saing daerah dan termasuk pendapatan, produktivitas tenaga kerja, kesempatan kerja dan keterbukaan.

Faktor Pembangunan (indikator meningkatkan daya saing), merupakan faktor daya saing daerah dengan dampak langsung pada kategori dasar. Ini dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing daerah melalui lembaga diperiode program jangka pendek.

(23)

City Branding

City branding merupakan proses strategis untuk mengembangkan visi jangka panjang sebuah daerah atau kota yang relevan dengan sasaran publiknya. Pemasaran sebuah kota, daerah, dan negara telah menjadi sangat dinamis, kompetitif, dan penting dewasa ini. Dalam keadaan ini, para pemimpin pasar telah mencitrakan dirinya sendiri agar lebih menonjol daripada kompetitor mereka. Kota, daerah, dan negara menemukan bahwa gambaran yang baik dan implementasi penuh dari brand strategy memberikan banyak manfaat dan keuntungan. Lokasi geografis, seperti produk dan personal, juga dapat dijadikan acuan untuk membuat brand dengan menciptakan dan mengkomunikasikan identitas bagi suatu lokasi yang bersangkutan. Kota, negara bagian, dan negara masa kini telah aktif dikampanyekan melalui periklanan, direct mail, dan perangkat komunikasi lainnya (Keller, 2003).

Malaysia Trully Asia, Hongkong Asia’s World City, Uniquely Singapore,

Amazing Thailand, WOW (Wealth of Wonders) Philippines, Vietnam A Destination for the New Millenium, Macao Welcome You, Bangalore The Silicon Valley of India, Osaka Sports Paradise, Best on Earth in Perth merupakan contoh-contoh brand pada negara. Kota-kota yang ada di negara Indonesia juga menerapkan brand seperti Jogja Istimewa, Enjoy Jakarta dan Semarang The Beauty of Asia. Penggalan kata-kata tersebut di atas dimaksudkan untuk menggambarkan negara atau daerah itu sendiri. Kata–kata tersebut juga dilengkapi dengan logo–logo yang sangat menarik, tujuannya tak lain adalah untuk menarik berbagai pihak untuk datang dan menikmati apa yang disuguhkan oleh negara atau daerah yang memberikan merek untuk negara dan daerahnya.

Langkah yang dilakukan oleh negara atau daerah seperti contoh di atas adalah suatu kegiatan yang dikenal dengan city branding atau brand places. City branding merupakan strategi dari suatu kota atau daerah untuk membuat positioning yang kuat di dalam benak target pasar mereka, seperti layaknya positioning sebuah produk atau jasa, sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal secara luas di seluruh dunia.

Peningkatan arus globalisasi menuntut berbagai negara atau daerah bersaing dengan negara dan daerah lainnya dalam hal attention, influence, markets, investments, businesses, visitors, residents, talent dan events. Untuk dapat bersaing, daerah harus merubah orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan dari local orientation ke global-cosmopolit orientation. Tidak saja antar negara yang berkompetisi, akan tetapi dengan kota dan city tertentu di seluruh dunia.

Pesatnya perkembangan ini, berbagai daerah di Indonesia dihadapkan pada persaingan global dengan daerah dan kota lain di seluruh dunia yang tidak bisa ditawar-tawar. Kota Batu misalnya, tidak hanya bersaing dengan Malang, Jogja, Bandung dan Jakarta, tetapi juga dengan Kuala Lumpur, Singapura, Phuket, Macau dan kota lainnya di dunia.

(24)

Branding menurut Anholt (2007) adalah proses mendesain, merencanakan dan mengkomunikasikan nama dan idenstitas dengan tujuan membangun dan mengelola reputasi. Menurut Knox dan Bickerton (2003), branding merupakan proses deliberasi memilih dan menghubungkan atribut-atributkarena diasumsikan dapat memberi nilai tambah.

Anholt (2006), mendefinisikan city branding merupakan manajemen citra suatu destinasi melalui inovasi strategis serta koordinasi ekonomi, sosial, komersial, kultural, dan peraturan pemerintah. Anholt (2006) merumuskan enam komponen dalam city branding. Model heksagonal Anholt ditunjukkkan pada gambar 2.

Sumber: Anholt (2006) Gambar 2 Heksagonal city brand

Ritchie (1998), mendefinisikan city branding sebagai sebuah nama, simbol, logo atau tanda yang dapat mengidentifikasi dan mendiferensiasikan sebuah kota. Lebih lanjut lagi, dapat menjanjikan pengalaman tak terlupakan yang diasosiasikan dengan tempat tersebut; selain itu juga dapat berfungsi untuk menguatkan kenangan yang menyenangkan tentang pengalaman terhadap kota tersebut.

City branding bukan hanya sebuah slogan atau kampanye promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika seseorang tersebut (prospek atau customer) melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk, layanan, event, ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya.

City branding semata-mata bukanlah pekerjaan dari public sector, akan tetapi tugas dan kolaborasi dari semua pihak (stakeholders) yang terkait dengan kota tersebut, apakah itu pemerintah kota, pihak swasta, pengusaha, interest group dan masyarakat. Sebuah kota, layaknya sebuah brand, harus bersifat fungsional. Fungsionalitas berarti dapat dilihat sebagai sebuah benefit. Sebuah kota harus berfungsi sebagai tujuan untuk pencari kerja, industri, tempat tinggal, transportasi umum dan atraksi serta rekreasi.

a. Syarat city branding

Menurut Sugiarsono (2009) dalam membuat sebuah city branding, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya:

a) Attributes

(25)

(menggambarkan sebuah cerita secara pintar, menyenangkan dan mudah atau selalu diingat)

c) Differentiation

(unik dan berbeda dari kota-kota yang lain) d) Ambassadorship

(Menginsipirasi orang untuk datang dan ingin tinggal di kota tersebut)

Sebuah kota yang mempunyai kriteria ambassadorship menggambarkan kota yang baik sehingga sangat menarik bagi semua orang untuk ingin datang dan tinggal di kota tersebut. Kota yang baik harus mempunyai beberapa hal berikut:

a) Mempunyai kesempatan kerja yang menarik bagi para professional dan pencari kerja.

b) Biaya hidup harus sesuai dengan standar upah dan gaji. c) Menyediakan perumahan yang baik dan terjangkau.

d) Mempunyai sarana transportasi umum yang nyaman dan memadai.

e) Mempunyai sekolah dan perguruan tinggi yang baik serta tempat-tempat tujuan rekreasi dan atraksi budaya yang indah

f) Mempunyai iklim yang menyenangkan. b. Tujuan city branding

Alasan logis melakukan city branding menurut Handito, (dalam Sugiarsono, 2009):

a) Memperkenalkan kota/ daerah lebih dalam b) Memperbaiki citra

c) Menarik wisatawan asing dan domestik d) Menarik minat investor untuk berinvestasi e) Meningkatkan perdagangan

Selain itu, tujuan dan manfaat city branding antara lain:

1. Mengembangkan citra yang jelas dan spesifik yang mampu membedakan daerah tersebut dengan daerah yang lain, membangun hubungan dengan konsumen, dan untuk mengembangkan keunggulan bersaing jangka panjang (Hall, 2002).

2. Memperbaiki citra negatif yang sebelumnya mungkin pernah dialami suatu daerah, misalkan aksi terorisme, bencana alam, dan sebagainya (Roostika, 2012).

3. Menarik investasi dalam industri tertentu, memperbaiki infrastruktur lokal, mendapatkan pendanaan yang lebih baik untuk konservasi lingkungan, dan secara politis lebih dapat diterima pengunjung (Baker dan Cameron, 2008).

4. Meningkatkan standar hidup penduduk lokal, meningkatkan jumlah wisatawan, dan menstimulus pembangunan daerah (Buhalis, 2000)

5. Menciptakan hubungan emosi antara tempat dengan stakeholdernya (Morgan dan Pritchard, 2005)

c. Keuntungan city branding

Menurut Budiharsono (2015), city branding ini bermanfaat untuk badan promosi daerah, kelompok sasarandan masyarakat dari daerah tersebut. Secara rinci manfaat city branding tersebut sebagai berikut:

1. Manfaat bagi Badan Promosi Daerah

(26)

b) Memupuk pendekatan terpadu dan koperasi untuk membangun reputasi kota dan menciptakan iklim usaha yang makmur dalam kota .

c) Menyediakan kerangka kerja pengambilan keputusan untuk membangun sebuah identitas yang konsisten yang kuat untuk kota di pasar utama dan menghindari pesan bertentangan dan berubah dan gambar .

d) Hasil dalam pengembalian yang lebih tinggi atas investasi (ROI) dari investasi pemasaran.

e) Menangkap kekuatan dan kepribadian tempat dalam cara yang memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk menggunakan pesanyang konsisten dan menarik yang serupa.

f) Menyediakan payung pemersatu untuk menciptakan produk dan pengembangan peluang bisnis kabupaten/kota.

2. Manfaat untuk Kelompok Sasaran

a) Memberikan ketenangan pikiran dengan meningkatkan kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian dalam perencanaan mereka.

b) Menetapkan perbedaan titik nilai yang jelas dalam benak pelanggan c) Menghemat waktu dan usaha dalam memutuskan

d) Mencerminkan sesuatu yang baik kepada pelanggan yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

e) Menyentuh kebutuhan dan keinginan mereka .

f) Memberikan nilai tambah dan manfaat yang dirasakan. 3. Manfaat Bagi Masyarakat

a) Menciptakan fokus pemersatu untuk membantu semua masyarakat, dunia usaha, dan organisasi nir-laba yang bergantung pada reputasi dan citra wilayah untuk semua atau bagian dari mata pencaharian mereka. b) Menghasilkan peningkatan penghormatan dan pengakuan dikaitkan

dengan wilayah yang bersangkutan sebagai warga dan pengusaha. c) Mengoreksi hal-hal yang tidak akurat atau persepsi yang tidak

seimbang.

d) Meningkatkan pendapatan stakeholder, margin keuntungan, dan pajak. e) Meningkatkan kemampuan untuk menarik, merekrut, dan

mempertahankan orang-orang berbakat. f) Meningkatkan kebanggaan warga.

g) Memperluas ukuran "kue pembangunan" bagi stakeholder setempat untuk mendapatkan bagian yang lebih besar

d. Langkah-langkah membangun city branding

Menurut Budiharsono (2015), ada 7 tahapan dalam membangun city branding pada suatu daerah, sebagai berikut:

1. Mengkaji citra kiwari

(27)

Anholt (2006) mengusulkan bahwa citra negara/wilayah didasarkan kepada bagaimana negara/wilayah tersebut dikenal selama ini, siapa yang mengetahuinya, dan dengan cara apa diketahuinya.

2. Membentuk kelompok kerja

Proses membangun city branding merupakan kemitraan antara publik, swasta dan melibatkan seluruh stakeholder kunci, dengan pemain utama adalah pemerintah. Stakeholder lain seperti media, pendidik, atlet, budayawan diajak dalam kelompok kerja ini. Hal yang paling utama dalam proses membangun branding ini melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif. Proses membangun city branding adalah proses inklusif bukan eksklusif, tapi kelompok kerja ini harus efektif dan efisien.

3. Mengidentifikasi daya saing wilayah

Daya saing wilayah dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut:

a. Natural Endowement: sumber daya alam, lokasi wilayah, sejarah wilayah, obyek wisata, mentalitas manusianya (pekerja keras, bervisi ke depan,masyarakat yang santun dan sopan, damai, dan lain sebagainya)

b. Aquired Endowment: barang publik, kualitas infrastrukur, tingkat melek huruf, keterampilan masyarakat, penguasaan bahasa asing, hukum, kesehatan, pendidikan, perbankan, dan lain sebagainya. c. Mitigasi Resiko: posisi di tingkat internasional, risiko politik,

perjanjian internasional yang menguntungkan, sejarah kredit dan asuransi yang tersedia untuk investor dan eksportir.

d. Kondisi ekonomi: tingkat pertumbuhan ekonomi , kebijakan ekonomi, stabilitas moneter, akses terhadap kredit dan peluang pasar internasional.

4. Mengidentifikasi kelompok sasaran

Mengidentikasi kelompok sasaran dari city branding adalah salat satu hal yang penting. Anholt menyatakan bahwa mengidentifikasi kelompok sasaran harus sejajar dengan tujuan dari city branding seperti: mitra dagang, pasar ekspor, sekutu politik , mitra budaya , mahasiswa dan pelaku bisnis. Namun, penting juga diperhatikan bahwa kelompok sasaran lokal (target internal) dimasukkan dalam upaya city branding, karena mereka kemudian akan menjadi brand ambassador wilayah tersebut, misalnya dalam interaksi mereka dengan turis, investor dan pengunjung lainnya.

5. Menentukan pesan utama dan identitas daerah

Suatu bangsa/wilayah tidak bisa menjadi segalanya bagi semua orang di dunia dan dengan demikian harus mengembangkan pesan khusus yang ditargetkan pada kelompok sasaran tertentu atau disebut juga dengan pesan inti. Pesan inti harus jelas, konsisten dan kredibel juga harus sejalan dengan identitas nasional/wilayah dan harus bermuatan ajakan yang unik danberkaitan dengan keunggulan kompetitif bangsa atau wilayah tersebut. Pesan inti juga harus sejalan dengan aspirasi masyarakat setempat.

(28)

untuk dirinya sendiri, seperti Mesir dengan Piramidanya, Jepang dengan mobil kompak dan produk elektroniknya, Jawa Tengah/Yogyakarta dengan Borobudurnya.

Namun, negara dapat memiliki banyak identitas dan ini menimbulkan tantangan besar nation branding karena fakta bahwa banyak identitas dapat menciptakan kebingungan dalam kelompok sasaran, misalnya, Amerika Serikat mempromosikan identitas dari demokrasi yang stabil yang mempromosikan perdamaian dan harmoni tapi juga ingin diidentifikasi sebagai negara adidaya dalam hal kecakapan ekonomi danmiliter.

6. Mengkaji kesiapan

City branding adalah proses yang mahal dan memakan waktu dan memerlukan visi daerah yang strategis dan perencanaan jangka panjang rinci. Program city branding pada umumnya memakan waktu antara lima sampai dengan dua puluh tahun atau sampai berhasil. Hal ini juga penting bagi otoritas city branding untuk memastikan buy-in dari semua sektor ekonomi dan masyarakat umum di daerah tersebut dalam rangka untukmenggalang dukungan yang maksimal. Otoritas city branding harus memastikan bahwa sumber daya yang memadai harus disediakan untuk melaksanakan dan mengelola kampanye city branding.

7. Mengukur kemajuan

Sama seperti proses apapun, setelah mulai menerapkan program city branding, sangat penting untuk memantau proses untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana. Karena kompleksitas dan faktor-faktor lingkungan yang selalu berubah, mungkin perlu untuk mengambil tindakan korektif dalam bentuk penyesuaian program dan anggaran. Monev city branding misalnya dengan menggunakan octagonal branding untuk nation branding ataupun hexagonal branding untuk city branding.

e. Evaluasi city branding

Evaluasi city branding bisa menggunakan model hexagonal branding. Budiharsono (2015), melakukan pemodelan hexagonal branding sebagaimana disajikan pada gambar 3.

Sumber: Budiharsono (2010)

(29)

Menurut Morgan (2004) terdapat 5 tahapan untuk melakukan city branding dalam mengubah image suatu daerah, antara lain:

1. Market investigations, analysis, and strategic recomendations. Pada tahapan ini, pemasar daerah melakukan riset pemetaan potensi pasar, hal-hal apa saja yang bisa dikembangkan dan melakukan penyusunan strategi. 2. Brand identity development. Brand identity dibentuk berdasarkan visi,

misi, dan image yang ingin dibentuk pada daerah tersebut. Dari hasil riset ditentukan beberapa alternatif, lalu dipilih satu buah tagline untuk menggambarkan daerah tersebut.

3. Brand launch and intriduction: communicating the vision. Brand yang ada diperkenalkan dengan melibatkan seluruh komponen yang adamelalui media relations seperti advertising, direct marketings, personal selling, website, brocure, event organizer, film maker, destination marketing organisations, serta journalists.

4. Brand implementations.

5. Monitoring, evaluations, and review. Program yang dilaksanakan dalam monitoring apakah ada penyimpanga, kekurangan dan sebagainya. Dari hasil monitoring dilakukan evaluasi dan review guna perbaikan program berikutnya.

City Marketing dalam City Branding

Dalam konteks globalisasi, era persaingan ekonomi hari ini, khususnya kurun otonomi daerah, tidak lagi semata berada pada tataran persaingan antar Negara tetapi bergerak ke unit-unit persaiangan yang lebih kecil, yakni antar daerah. Setiap daerah bersaing dengan tetangga dan daerah-daerah lain di negeri ini, bahkan bersaing dengan daerah-daerah di manca negara lain. Strategi memenangkan persaingan tentu banyak dan kompleks. Namun, elemen mendasar yang wajib dilakukan adalah pengenalan daerah tersebut di khalayak luas, khususnya target pasar tertentu yang dituju.

Pemasaran daerah merupakan instrumen penting digunakan dalam kerjasama berbagai aktor untuk memperkuat perekonomian daerah dan daya saing global. Pendekatan ini telah menjadi instrumen penting dalam bidang pembangunan ekonomi lokal dan city (Local &City Economic Development/LRED) bagi daerah dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi yang sedang berlangsung yang juga menghasilkan persaingan yang semakin ketat antara wilayah dan masing-masing daerah. Daerah harus mengembangkan strategi pemasaran dan citra daerah dengan mengkomunikasikan keunggulan komparatif dan faktor daya tarik untuk masing-masing target pasar. Sebuah profil yang unik yang mencerminkan karakteristik dan manfaat yang berbeda diperlukan untuk membedakan suatu tempat dari tempat lain. Pemasaran kota, pada gilirannya, membantu untuk mempromosikan pengembangan umum dan ekonomi berkelanjutan, citra dan identitas daerah yang jelas dengan menggunakan berbagai instrumen dan alat-alat.

(30)

membutuhkan layanan publik yang memadai, TTI (traders, tourists, investors) baik dari dalam maupun luar daerah, talents (SDM berkualitas), developers (pengembang), organizers (event organizer) dan seluruh pihak yang memiliki kontribusi dalam membangun keunggulan bersaing daerah.

Aktivitas membangun citra daerah merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dengan pemasaran daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mampu menanamkan citra daerah secara berkelanjutan dalam benak pasar. Proses tersebut, memerlukan aktivitas pemasaran daerah yang terstruktur, sistematis, dan terencana dengan baik. Memasarkan sebuah daerah dibutuhkan konsistensi dan kerja keras. Seluruh aspek-aspek marketing daerah (visi, misi, marketing mix, diferensiasi, STP, dan value) dioptimalkan potensi pengunaannya. Sebuah daerah tidak bisa mengandalkan penerimaan APBD dari negara untuk membangun daerahnya. Diperlukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam memenuhi kebutuhan peluang bisnis. Mengukur peluang bisnis di suatu daerah di masa sekarang tidak cukup hanya mengandalkan besarnya potensi kekayaan sumber daerah alam atau tingkat pertumbuhan ekonomi (PDRB) di daerah tersebut.

City Branding dan Pengembangan Ekonomi Lokal

Dalam studi pengembangan ekonomi lokal, branding dapat digambarkan sebagai model tarik-menarik (Blakely, 2010). Dalam konteks ini, daerah dapat diasumsikan sebagai produk yang perlu dikemas dan dipromosikan dengan tepat pada target pasar atau masyarakat pengunjung. Bukti pengemasan daerah yang menarik dapat diamati di majalah dan surat kabar iklan (Blakely, 2010), website kota (Florek, 2008), dan promosi media sosial (Ketter, 2012), yang semuanya mempromosikan kebaikan satu kota dibandingkan dengan kota lainnya.

Di era pasar global yang semakin kompetitif, daerah perlu memiliki ciri khas yang membedakan daerahnya dengan daerah lain dalam rangka menarik perhatian pasar dan meningkatkan reputasi daerah serta kepercayaan publik. Mengembangkan brand yang unik dan menarik menjadi langkah utama sebuah daerah menciptakan idenstitas/jati diri kota dan mempromosikan daerahnya sendiri.

(31)

Pada era otonomi dearah masing-masing daerah seakan berlomba menawarkan daerah sebagai tempat investasi yang strategis, aman, murah, infrastruktur yang lengkap dan tidak birokratif. Menyederhanakan birokrasi dalam perijinan seperti pelayanan satu atap atau yang lebih dikenal dengan one stop service merupakan upaya daerah untuk menarik calon invetor. Jika dengan city branding berhasil menarik investor tentu akan menimbulkan dampak positif bagi perekonomian daerah tersebut seperti tesedianya lapangan kerja, adanya bagian pajak dan retribusi daerah serta turunan dari dampak positif tersebut.

Potensi wisata untuk setiap daerah tentulah tidak sama, tetapi yang menjadikan daerah menjadi obyek wisata dikarenakan daerah tersebut memiliki keunikan atau karakteristik yang khusus seperti tradisi dan budaya, kondisi alam, sistem sosial, sistem pertanian, makanan khas dan sebagainya. Jadi daerah harus bisa mengembangkan nilai dasar potensi wisata agar memiliki atraksi wisata sehingga wisatawan memiliki ketertarikan untuk mengunjunginya.

Keberhasilan menjual objek wisata suatu daerah akan memberi manfaat di antaranya dapat menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, mendorong untuk menjadikan lingkungan desa sebagai hunian yang bersih, sehat dan humanis, menumbuhkan masyarakat untuk senantiasa menghargai potensi daerah dan membangkitkan semangat berwirausaha lokal bagi masyarakat yang pada ujungnya dapat menciptakan lapangan kerja.

Terjadinya perdagangan antar daerah atau bahkan antar negara karena suatu daerah atau negara memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan produk/jasa baik menyangkut biaya, teknologi atau sumber daya. Dengan meningkatnya arus perdagangan berarti akan meningkatkan perputaran ekonomi suatu daerah. Di beberapa daerah telah dibentuk pusat-pusat perdagangan dan penjualan yang mencitrakan daerah sebagai produsen yang memiliki keunggulan komparatif. Misalnya saja di Pekalongan dibentuk Pusat Penjualan Batik. Di Bali dikenal dengan pasar seni Sukawati dan belakangan di penghujung tahun 2008 di Bantul Yogyakarta dikembangkan Pasar Seni Gabusan (PSG) sebagai pasar seni kerajinan tangan sebagai pintu perdagangan handicraft di Yogyakarta. Dengan pencitraan sebagai pusat penjualan dan perdagangan diharapkan dapat membentuk image yang kuat bagi para pedagang untuk melakukan transaksi karena disamping lebih lengkap, lebih murah juga asli.

Dari investasi, perdagangan dan pariwisata yang menjadi sasaran dalam mempromosikan potensi daerah yang telah diuraikan di atas, jika berhasil akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tantangannya bagi suatu daerah tentu saja bagaimana mengimplementasi brand yang telah dirumuskan.

City Branding dan Daya Saing Daerah

(32)

yang saling berhubungan antara berbagai stakeholders, baik pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat secara umum. Pemerintah daerah perlu meningkatkan daya saing daerahnya dalam rangka peningkatan daya saing nasional.

Proses peningkatan daya saing daerah melalui citra daerah yang baik, diharapkan mampu meningkatkan perekonomian daerah, yang pada akhirnya nanti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Pada Tabel 1 disajikan peringkat daya saing dan kemudahan berusaha di Negara-negara ASEAN 2014.

Tabel 1 Peringkat daya saing dan kemudahan berusaha di Negara-negara ASEAN 2014

No. Negara Daya Saing*) Kemudahan Berusaha**)

2013 2014 2013 2014

Sumber: *) WEF. 2014. World Competitiveness Report 2014 **) World Bank. 2014. Doing Business 2014

Sumber: dalam Budiharsono, 2015

Dari Tabel 1 tersebut, daya saing Indonesia masih tertinggal dari negara Thailand, Malaysia apalagi Singapura. Kondisi daya saing bangsa Indonesia yang belum baik dibandingkan negara ASEAN lainnya merupakan cerminan kondisi pengembangan ekonomi dan daya saing daerahnya. Oleh karena itu, setiap daerah di Indonesia perlu untuk kembali melakukan peningkatan daya saing daerahnya agar memiliki posisi tawar yang tinggi dihadapan pasar.

Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development (RALED)

(33)

Hasil analisis dengan menggunakan Program RALED ini berupa indeks dan faktor pengungkit dari masing-masing aspek pengembangan ekonomi lokal, tetapi tidak dapat menentukan status pengembangan ekonomi lokal secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan bobot dari masing-masing aspek pengembangan ekonomi lokal yang dianggap sama. Padahal dalam kenyataannya, bobot antara masing-masing aspek pengembangan ekonomi lokal tersebut tentu saja berbeda. Untuk menentukan status pengembangan ekonomi lokal secara keseluruhan dengan menentukan bobot dari masing-masing dimensi pengembangan ekonomi lokal digunakan Program Penentuan Bobot Dimensi pengembangan ekonomi lokal yang merupakan modifikasi dari Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1988) (Bappenas, 2010).

Berdasarkan klasifikasi kondisi atau status aspek pengembangan ekonomi lokal, maka kondisi aspek Tata Pemerintahan berada pada kategori baik. Secara rinci pengklasifikasian status aspek pengembangan ekonomi lokal adalah sebagai berikut:

a. Apabila nilai indeks < 50, berarti status aspek pengembangan ekonomi lokal buruk

b. Apabila nilai indeks 50 – 75, berarti status aspek pengembangan ekonom lokal baik

c. Apabila nilai indeks > 75, berarti status aspek pengembangan ekonomi lokal sangat baik (Bappenas, 2010)

Pada city branding RALED yang merupakan modifikasi dari RAPFISH kemudian dimodifikasi menjadi Rap-city branding. Rap-City Branding memodifikasi seluruh dimensi dan indikator/atributnya. Dimensi tersebut adalah aspek Kepemimpinan, Tata Kelola, Manusia, Budaya dan Warisan, Ekspor, dan Investasi.

Multidimensional Scalling

Analisis skala multidimensi “multidimensional scaling” merupakan salah satu metode “multivariate” yang dapat menangani data yang “non-metric”. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa “plotting” titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre, 1983).

Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan multidimensioanal telah banyak digunakan untuk analisis.

(34)

rasio (metrik) maka metodenya disebut metric multidimensional scaling dan jika data diukur dalam skala ordinal atau nominal (non metrik) maka metode analisisnya disebut non-metric multidimensional scaling. Metode non-metric32 multidimensional scaling pertama kali dikembangkan oleh Shepard pada tahun 1962 kemudian dilanjutkan oleh Kruskal pada tahun 1964 (Legendre dan Legendre, 1983; Johnson dan Wichern, 1988).

Metode multidimensional scaling yang dibicarakan disini adalah metode non-metric multidimensional scaling. Oleh karena itu untuk selanjutnya metode ini hanya akan disebutkan sebagai metode multidimensional scaling. Metode ini akan mencoba membuat representasi “dissimilarity” atau “jarak” antar obyek atau titik posisi dalam dimensi yang lebih kecil dengan tetap mempertahankan karakteristik jarak antar obyek tersebut seperti dalam dimensi banyak (multidimensi). Karakteristik jarak yang akan dipertahankan dalam hal ini bukan nilai nominal jarak tetapi urutan peringkat jarak. Hal ini karena jarak dari obyek yang diukur secara non-metrik tidak memenuhi persyaratan jarak yang metrik, yaitu :

1. Jika a = b, maka D (a,b) = 0; 2. Jika a ≠ b, maka D (a,b) > 0; 3. D (a,b) = D (b,a) ;

4. D (a,b) + D (b,c) ≥ D (a,c)

Jarak yang diukur secara non-metrik dari data ordinal memenuhi syarat ke-4 yang disebut sebagai “triangle inequality axion”. Selanjutnya penyimpangan karakteristik jarak setelah ordinasi dibandingkan dengan sebelum ordinasi diukur

dalam sebutan “stress” yang merupakan yang merupakan % penyimpangan dari

karakteristik awal. Makin kecil nilai stress berarti makin besar representasi jarak dapat dipertahankan pada analisis ordinasi dalam ruang yang diperkecil atau hasil analisis makin dapat dipercaya. Johnson dan Wichern (1988) memberikan kriteria bahwa stress = 10 % dianggap cukup sedang stress = 20 % dianggap kurang. Namun demikian RAPFISH menggunakan kriteria stress ≤ 25 % untuk dapat menerima hasil analisis multidimensional scaling. Nilai stress akan sangat dipengaruhi oleh dimensi akhir yang dibuat. Makin besar dimensi akhir yang dibuat makin kecil nilai stress.

Penelitian Terdahulu

(35)

baik harus merupakan ekstrak dari visi dan misi suatu daerah & dalam merumuskannya harus melibatkan seluruh stakeholders.

Situmorang (2008) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Indonesia sebagai daerah yangmemiliki berbagai keunggulan dan potensi sumber daya alam dan budaya yang melimpah merupakan starting point yang sangat baik dalam menyusun dan mengemas ulang brand destination disetiap daerah. Menurut Magnadi dan Indriani (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa city branding selain membawa kebanggan untuk kota tersebut, juga berdampak memacu kreativitas masyarakat, dan perkembangan perekonomian kota.

Berdasarkan hasil penelitian Raubo (2010) menyatakan bahwa city branding adalah pendekatan yang paling holistik untuk mencapai daya saing dan jika diterapkan secara efektif dapat menyebabkan peningkatan jumlah pelanggan yang masuk dan jumlah realisasi investasi di dalam kota. Dengan demikian, merek dapat mempengaruhi keberlanjutan dan ekonomipertumbuhan kota.

Wandari (2014) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa city branding berpengaruh signifikan terhadap city image sebesar 0,585. Semakin baik city branding Kota Batu maka akan berdampak pada meningkatnya city image Kota Batu di mata wisatawan. Selain itu, city branding berpengaruh signifikan terhadap keputusan berkunjung sebesar 0,237, artinya jika city branding Kota Batu ditingkatkan maka akan berdampak pada meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kota Batu. Sedangkan city image berpengaruh tidak signifikan terhadap keputusan berkunjung sebesar 0,070. Semakin baik image Kota Batu di mata wisatawan maka akan berdampak pada meningkatnya keputusan berkunjung meski dampaknya tidak signifikan.

(36)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Dinamika perkembangan globalisasi ekonomi saat ini memberikan sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing. Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi pasar bebas berupa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada akhir tahun 2015.

MEA akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif. Hal ini berarti, memberikan tantangan kepada setiap daerah yang ada di Indonesia.

Pemberlakuan MEA dapat pula dimaknai sebagai peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi city kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal.

Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri, sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi.

MEA seharusnya terus dikawal dengan upaya-upaya yang terencana untuk terus meningkatkan sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi nasional merupakan akumulasi dari kinerja daya saing perekonomian daerah.

Kota Batu juga merupakan salah satu daerah yang sedang berbenah dan memantapkan daya saing daerahnya. Salah satu cara yang dipandang tepat untuk meningkatkan daya saing daerah adalah dengan membangun city branding. City branding merupakan upaya pemerintah Kota Batu dalam menciptakan dan menanamkan citra daerah ke setiap benak publik. Untuk merumuskan strategi city branding yang berkelanjutan, maka diperlukan upaya menentukan status pengembangan city branding dan faktor-faktor pengungkit yang mendorong peningkatan city branding Kota Batu.

(37)
(38)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Batu, sebuah daerah yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Penentuan lokasi sampling dilakukan secara purposive, secara sengaja yang bertujuan untuk menentukan lokasi yang relevan dengan tujuan penelitian serta karena Kota Batu di pandang oleh peneliti memiliki city branding lebih dari satu dan belum efektif berjalan, sehingga tidak ada kefokusan yang hendak dipasarkan kepada publik. Penelitian akan dimulai pada bulan Desember 2015 sampai dengan Februari 2016.

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sekumpulan metode-metode yang dipilih untuk selanjutnya digunakan dalam teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan interpretasi data. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan metode deskriptif kualitatif, dimana analisis deskriptif merupakan analisis yang bertujuan untuk menyajikan gambar yang menyeluruh suatu gejala atau atau perstiwa atau kondisi pada suatu objek penelitian, dalam hal ini adalah masyarakat, yang disusun dalam bentuk naratif.

Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling

Sasaran utama penelitian adalah 1) pihak pemerintah daerah dan dinas-dinas yang terkait dengan strategi city branding di Kota Batu; 2) Dunia Usaha di Kota Batu; 3) Kalangan Akademisi/Pakar di sekitar Kota Batu; 4) Masyarakat/Tokoh di Kota Batu .

Teknik sampling dalam kajian dilakukan secara purposive yang masing-masing dianggap mewakili pihak pemerintah daerah dan dinas-dinas yang terkait, pihak yang mewakili dunia usaha, pihak yang mewakili akademisi serta pihak yang mewakili kelompok masyarakat Kota Batu. Distribusi responden secara rinci tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Distribusi Responden Kajian

No. Kelompok Jenis Responden Jumlah

1. Pemerintah Daerah

Badan Perencanaan Daerah Kota Batu

3

Badan Promosi Daerah 3

2. Private Sector (Dunia Usaha)

PHRI 3

ASITA 3

3. Akademisi Dosen (yang memiliki

pengetahuan terkait city branding) 4

(39)

Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan responden untuk mendapatkan gambaran umum hal-hal yang berhubungan dengan kajian ini, serta mendapatkan informasi faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi city branding Kota Batu. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan terlebih dahulu. Data primer didapatkan dari responden yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata daerah, Badan Perencanaan Daerah, Badan Promosi Kota Batu, Dunia Usaha, Akademisi/pakar, dan masyarakat. Data sekunder bersumber dari studi dokumentasi, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Situs Resmi Kota Batu, Laporan-laporan dari dinas, serta dari publikasi lainnya yang relevan dengan kajian.

Pengumpulan data akan dilakukan melalui beberapa teknik yaitu observasi, wawancara dan kuesioner, dan studi dokumen. Uraian teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

1. Observasi, digunakan untuk mendukung informasi tentang aspek lingkungan fisik maupun sosial, pranata sosial yang ada, pemanfaatan sumberdaya lokal, dan pengorganisasian serta berbagai aktivitas yang dilakukan oleh dinas di pemerintahan Kota Batu dalam upaya memantapkan branding Kota Batu.

2. Wawancara mendalam dan kuesioner, wawancara ini dilakukan dengan dipandu oleh pedoman wawancara untuk mengetahui ide, pendapat, perasaan, dan harapan-harapan yang dimiliki responden dengan brand Kota Batu. Kuesioner yang sudah disediakan juga digunakan untuk memahami gambaran pencapaian brand Kota Batu selama ini.

3. Studi dokumen, melakukan penelurusan terhadap perkembangan kegiatan city branding yang telah dilakukan berdasarkan dokumen yang ada. Dokumentasi yang dimaksud adalah dokumen-dokumen yang tersimpan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, juga data-data pendukung dari internet dan buku-buku.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1. Tahap pra lapangan dan persiapan instrumen penelitian

a) Kajian literatur, melakukan pendalaman literatur dan teori-teori mengenai strategi city branding dan daya saing daerah.

b) Penyusunan desain penelitian, sebagai pegangan dalam melaksanakan penelitian.

2. Tahap Pengumpulan data di lapangan

Tahapan ini dilakukan dengan cara observasi, survei/kuesioner, wawancara dan pengumpulan data sekunder lainnya.

3. Tahap pengolahan data dan analisis

(40)

b) Verifikasi data meliputi validasi data menggunakan teknik triangulasi. c) Analisis Data menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif dan

analisis deskriptif kualitatif. 4. Tahap penulisan laporan

Semua hasil penelitian yang telah dianalisis dituangkan dalam tulisan terstruktur.

(41)

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan untuk menjawab setiap masalah dari kajian yang diuraikan dengan merinci data yang diperlukan. Setelah melakukan pengumpulan data berupa pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan analisis dokumen, peneliti melakukan pengolahan dan analisis data. Rincian data meliputi tujuan analisis data, jenis data yang diperlukan, sumber data, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data. Rincian data tersebut diuraikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Rincian Pengolahan dan Analisis Data No Tujuan Data yang

diperlukan

Sumber data Teknik Metode Analisis

(42)

keberlanjutan pengembangan strategi city branding Shining Batu” di Kota Batu adalah sebagai berikut:

a) Identifikasi dan penentuan atribut enam dimensi keberlanjutan

Tahap pertama dari analisis ini adalah melakukan review dan menentukan atribut dari keenam aspek keberlanjutan city branding dengan menggunakan model hexagonal city branding. Penentuan atribut mempertimbangkan enam aspek pada hexagonal city branding dan melakukan review pada RALED yang selanjutnya dilakukan diskusi dengan pakar untuk dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan atribut dalam penelitian ini. Enam aspek tersebut adalah kepemimpinan, tata kelola, manusia, budaya dan warisan, ekspor, dan investasi.

Identifikasi dan penetuan atribut akan menghasilkan atribut-atribut yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan strategi city branding Shining Batu” di Kota Batu. Secara rinci hasil identifikasi dan penentuan atribut dari masing-masing aspek city branding dengan model hexagonal city branding disajikan pada Lampiran 2.

b) Proses ordinasi

Tahap kedua dari analisis ini adalah melakukan proses ordinasi setelah pemberian setiap atribut pada setiap aspek. Melalui analisis MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu vertikal dan horisontal). Melalui metode rotasi sumbu maka posisi titik-titik tersebut dapat diproyeksikan pada garis mendatar dimana titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0 % dan titik ekstrim “baik” diberi skor 100 %.

MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005).

Posisi keberlanjutan pengembangan strategi city branding Shining Batu” yang dikaji akan berada di antara dua titik ekstrim dan dapat dianalisis indeks keberlanjutan dengan melihat nilai persentase keberlanjutan pengembangan pada garis horisontal tersebut. Proses ordinasi keberlanjutan pengembangan strategi city branding Shining Batu” di Kota Batu ini menggunakan perangkat lunak RAPFISH (Kavanagh, 2001). Proses ordinasi selanjutnya setelah titik acuan utama horizontal adalah:

1. Membuat titik acuan utama lainnya yaitu “titik tengah” merupakan titik tengah baik dan titik tengah buruk. Dua titik tambahan ini akan menjadi acuan arah vertikal (“atas” atau “up” dan “bawah” atau

“down”) dari ordinasi;

2. Membuat titik acuan tambahan yang disebut dengan titik acuan “jangkar” (anchors) yang berguna untuk stabilizer dan menempatkan titik pada posisi yang tidak sama pada ruang multidimensi yang sama; 3. Melakukan standarisasi skor untuk setap atribut sehingga setiap atribut

Gambar

Gambar 1.1 Model Piiramiada Daya Saing Daerah
Tabel 1 Peringkat daya saing dan kemudahan berusaha
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
Tabel 2 Distribusi Responden Kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian rangkaian receiver RFID dilakukan untuk mengetahui apakah receiver RFID ID-12 yang digunakan ini dapat membaca kode dari tag/kartu yang digunakan pada

Secara keseluruhan, paket intervensi yang tertuang dalam modul peningkatan resiliensi melalui penguatan faktor protektif dan pengembangan strategi koping pada individu yang

Perlunya pemetaan materi perkuliahan Gambar Bentuk / Gambar Produk di Departemen Desain Produk Indus tri, Desain komunikasi Visual, dan Desain Interior agar

Penyebab longsoran tersebut adalah terbentuknya zona air pori positif pada lapisan kontak lanau pasiran dan breksi vulkanik yang terinisiasi dari kaki lereng berangsur-angsur

Sejalan dengan upaya menjadikan Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai bandara transit, APMS ini jelas akan mempermudah perpindahan penumpang pesawat antar Terminal,

Dari bak penampung kemudian air dialirkan ke turbin melalui pipa pesat (pestock). Pipa pesat berfungsi mengalirkan air masuk ke dalam turbin. Di dalam pipa, energi potensial air

Pada penelitian ini akan di teliti sifat fisis dan mekanis serta struktur mikro dari shaft propeller dengan bahan dasar aluminium alloy dengan penambahan

Terdapat pengaruh yang kuat dan signi- fikan antara perilaku kepemimpinan camat terhadap motivasi kerja pegawai di kantor ca- mat Cepogo Kabupaten yang ditunjukkan de- ngan