• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Resistensi Primer Pada Penderita Tb Paru Kategori I Di RSUP H. Adam Malik, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pola Resistensi Primer Pada Penderita Tb Paru Kategori I Di RSUP H. Adam Malik, Medan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

POLA RESISTENSI PRIMER

PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I

DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN

T E S I S

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Pendididkan Spesialisasi Di Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik, Medan

Oleh

HENDRA SIHOMBING

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Penelitian : POLA RESISTENSI PRIMER PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN

Nama : Hendra Sihombing

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Pulmonologi & Ilmu

Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

RS H. Adam Malik Medan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.H. Hilaluddin Sembiring, SpP(K), DTM&H Dr.H. Zainuddin Amir Sp.P(K) NIP. 1945 1007 1973021 1 002 NIP. 1954 0620 198011 1 001

Pembimbing III Pembimbing IV

Dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK

NIP. 1967 2206 199603 2 001 NIP.1969 0609 199903 2 001 Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes

Sekretaris Koordinator Penelitian Koordinator Penelitian Departemen Pulmonologi & Departemen Pulmonologi &

Ilmu Kedoteran Respirasi Ilmu Kedoteran Respirasi

Dr. Bintang YM Sinaga, Sp.P Prof.Dr.H.Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) NIP. 1972 0228 199903 2 002 NIP. 1952 1101 198003 1 005

Ketua Program Studi K e t u a

Departemen Pulmonologi & Deparetmen Pulmonologi & Ilmu Kedoteran Respirasi Ilmu Kedoteran Respirasi

Dr.Hj. Amira Permataasri Tarigan Sp.P

(3)

i T E S I S

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

1. Judul penelitian : POLA RESISTENSI PRIMER PADA PENDERITA TB PARU

KATEGORI I DI RSUP H. ADAM MALIK – MEDAN 2. Nama peneliti : Hendra Sihombing

3. NIP : 19710625 200312 1 008 4. Pangkat / Gol. : III B / Penata MudaTk I

5. Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara 6. Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Paru 7. Jangka Waktu : 3 (tiga) bulan

8. Lokasi Penelitian : Bagian Rekam Medis RSUP H. Adam Malik, Medan, Laboratorium Mikrobiologi RSUP H. Adam Malik, Medan Unit Rawat Jalan Poli Paru dan Rawat Inap Paru

9. Pembimbing I : Dr. Hilaluddin Sembiring, SpP(K), DTM&H Pembimbing II : Dr. Zainuddin Amir, SpP(K)

Pembimbing III : Dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK Pembimbing IV : Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes

(4)

P E R N Y A T A A N

POLA RESISTENSI PRIMER

PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I

DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2011

Hendra Sihombing

(5)

Telah diuji pada :

Tanggal 16 Januari 2012

Panitia Penguji Tesis

Ketua

: dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P

Sekretaris : dr. Noni Novisari Soeroso, Sp.P

Penguji

: Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K)

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K)

dr. Pandiaman Pandia, Sp.P(K)

dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P

(6)

ABSTRACT

Backgrounds : The resistance case is a problem for TB prevention and eradication program of the world. Primary resistance cases that was founded in TB patients are often used to evaluate new transmission or infection resistant strains of bacteria. Therefore, it is important to investigate how much the rate and the pattern of primary resistance.

Objective : To evaluation the proportion of primary resistance incidence in category I of pulmonary TB patients in H. Adam Malik Hospital, Medan-Indonesia.

Method : This research is a retrospective cross-sectional descriptive study. Data retrieved from medical records with a time span of October 2010 until July 2011. Subjects were patients with no history of antituberculosis drugs treatment or ever consumed less than 1 month. Subjects research conducted direct smear examination of sputum, cultur and sensitivity test before getting treatment antituberculosis drugs then collected data on demographics, chief complaint, history of use of antituberculosis drugs, and Chest X-ray radiology data.

(7)

Results : From 85 research subjects, we obtained 35 subjects (41.18%) with primary resistance. Primary mono-drug resistance as many as 18 subjects (21.18%), where the highest resistance to the drugs Streptomycin (S) of 10 subjects (11,76%). Incidence of primary poly-drug resisten by 13 subjects (15.27%), mostly on the type of combination of Streptomycin and Ethambutol (SE) of 4 subjects (4.70%). Primary MDR-TB by 4 research subjects (4.71%).

Conclusion : The primary resistance rate is high in patients with pulmonary tuberculosis category I in H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia. So, it is necessary to improve the vigilance and efforts in primary resistance management.

Keywords : Primary Mono-drug Resistance, Primary Poly-drug Resistance, Primary MDR-TB

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji, syukur dan terimakasih Penulis ucapkan ke hadirat TUHAN Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih-karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “ POLA RESISTENSI PRIMER PADA PENDERITA TB PARU KATEGORI I DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN” yang merupakan persyaratan akhir keahlian di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik, Medan.

Keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, khususnya lingkungan bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU dan RSUP H. Adam Malik-Medan. Perkenankan Saya menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K)

Ketua Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU yang dengan penuh kesabaran dan tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan senantiasa menanamkan kedisiplinan dan ketelitian, etika perilaku yang baik serta pola pikir dan bertindak ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagai mutiara kehidupan bagi Penulis di masa kini dan yang akan datang.

Dr. Noni N. Soeroso, Sp.P

Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU yang memberikan arahan dan motivasi yang tiada henti-hentinya dalam menggali dan mendapatkan ilmu pengetahuan penyakit paru serta kecepatan dalam mengerjakan tugas yang harus diselesaikan.

Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P

Ketua Program Studi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU yang banyak memberikan pengarahan dan motivasi selama Penulis menjalani pendidikan, terutama dalam mengelola pelayanan pasien rawat jalan maupun rawat inap di RS Tembakau Deli, Medan.

(9)

Dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H

Pembimbing Satu dalam tugas tesis ini yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesabaran dalam pembimbingan dan pengarahan dalam menilai pembacaan foto-foto toraks juga selama pendidikan dengan sabar membimbing dan membagikan ilmu pengetahuan penyakit paru.

Dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

Ketua TKPPDS FK USU yang senantiasa tiada jemu-jemunya berupaya menamkan disiplin ketelitian, berpikir dan berwawasan ilmiah dan sebagai pembimbing Penulis yang dengan penuh kesabaran banyak memberikan pengayoman, bimbingan, motivasi, saran dan nasehat dalam menjalani selama pendidikan serta dalam penyelesaian tesis ini.

Prof. Dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

Koordinator Penelitian di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU yang telah banyak memberikan pembimbingan dan pengarahan serta masukan dengan penuh kesabaran dalam rangka penyelesaian tesis ini dan selama pendidikan terhadap Penulis senantiasa memberikan motivasi dalam menggali Ilmu Penyakit Paru.

Prof. Dr. RS. Parhusip, Sp.P(K)

yang senantiasa motivasi dan arahan dalam memberikan wawasan baru perkembangan pendidikan pulmonologi dan kedokteran respirasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K)Onk.

yang tiada jemu-jemunya memberikan motivasi dan dorongan dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan tugas tesis dan tugas-tugas selama pendidikan di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU.

Dr. Bintang YM Sinaga, Sp.P

sebagai Sekretaris Koordinator Penelitian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, yang penuh kerelaan meluang waktu dan tenaga dalam penyelesaian tesis ini. Penulis tidak akan pernah melupakan segala arahan yang telah diberikan demi kemajuan penelitian di bidang Ilmu Penyakit Paru.

(10)

Dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK

Pembimbing bidang ilmu mikrobiologi pada tesis ini juga dosen pemberi kuliah selama stase mikrobiologi. Disela-sela kesibukan yang luar biasa tetap memberikan keluangan waktu untuk membimbing, memberi masukan bahkan nasehat yang sangat berharga.

Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes

Pembimbing statistik dalam penelitian ini. Dengan penuh kesabaran dan pengorbanan waktu dalam mengarahkan metode penelitian yang tepat dan benar dalam melaksanakan penelitian ini.

Dr. Widi Rahardjo, Sp.P(K)

yang telah membimbing Penulis dalam mendalami bidang ilmu penyakit paru terutama Sub Bidang Pleura. Banyak ilmu yang telah disampaikan dengan penuh keikhlasan, sulit dilupakan dan sangat berguna bagi Penulis di saat ini dan dikemudian hari.

Dr. Sumarli, Sp.P(K) (alm.) dan Dr. Sugito, Sp.P(K) (alm.)

Ketika masa hidup kedua almarhum masih berkesempatan berjumpa dengan Penulis, membimbing dan menyampaikan cakrawala penyakit paru dengan kesabaran.

Dr. Pandiaman S. Pandia, Sp.P(K)

Selalu siap dengan tangan terbuka menerima setiap yang datang meminta pertolongan dan memberikan arahan dan bimbingan dengan kesabaran tentang ilmu penyakit paru.

Dr. Parluhutan Siagian, Sp.P

Senantiasa memberikan pembimbingan tentang ilmu penyakit paru dengan penuh kesabaran selama pendidikan serta banyak nasehat yang sangat berharga bagi Penulis.

Dr. Fajrinur Syarani Sp.P(K)

Yang membimbing dengan penuh kesabaran tentang ilmu penyakit paru terutama bidang penatalaksanaan kasus-kasus kritis.

Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Dr. Usman Sp.P, Dr. Setia Putra Tarigan Sp.P, Dr. Ucok Martin Sp.P, Dr. Netty Y. Damanik Sp.P, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dalam pengarahan selama Penulis menjalani pendidikan dan semua pihak yang tak tersebutkan dalam ungkapan hati ini.

(11)

Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Direktur Utama RSUP H. Adam Malik-Medan, yang telah menerima saya untuk mengikuti pendidikan di Rumah Sakit ini.

2. Segenap Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara dan FK USU yang memperkenankan saya mengikuti pendidikan di Universitas ini di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi serta selalu memberikan motivasi semangat dalam menggali mencapai ilmu setinggi-tingginya.

3. Institusi-institusi terkait, Teman-teman sejawat, Para medis dan non medis, segenap kerabat dan keluarga yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini.

Akhirnya, rasa terimakasih saya kepada Widury Siburian, istri tercinta yang dengan sabar mendampingi dan membantu saya dalam menyelesaikan pendidikan ini serta kedua putri kesayangan, Leles dan Kezia. Ayahanda, TM Sihombing yang mengajar berpikir positif dan hidup ini penuh perjuangan, telah banyak mendukung moril dan matriil dalam penyelesaian pendidikan ini. Secara khusus rasa terimakasih saya kepada ibunda tercinta almarhumah Lena Gunawan, yang telah melahirkan dan membesarkan saya, senantiasa mengajarkan sopan santun dalam hidup ini. Ayahanda mertua yang saya hormati, Almarhum Kalkaden Siburian, banyak pesan hidup yang sangat penting dan berguna dalam kehidupan ini dan Ibu mertua Nurmala Butarbutar dengan doa yang tiada henti-hentinya.

Dengan ketulusan hati, Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, dan kekhilafan selama pendidikan. Penulis menyadari ilmu, ketrampilan dan pembinaan kepribadian yang telah diberikan guru-guru pendidik telah menjadi ’pegangan’ bagi Penulis dalam menangani problema penyakit paru. Semoga TUHAN melimpahkan berkat-rahmat dan hidayahNYA bagi kita sekalian. Amin.

Medan, Desember 2011 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

IDENTITAS

N a m a : dr. Hendra Sihombing Tempat / Tgl. Lahir : Jakarta, 25 Juni 1971 A g a m a : K r i s t e n

Pekerjaan / Instansi : Dokter/ Dinas Kesehatan Pemda Kabupaten Merauke, Papua N I P : 19710625.200312.1.008

A l a m a t : Jl. Bunga Melati No 28, Kemenangan Tani, Medan Tuntungan KELUARGA

I s t r i : Widury Siburian

A n a k : Katarina Leles Henwid Sihombing Hutasoit Kezia Henwid Hutasoit

PENDIDIKAN

1. SD Strada, Bina Mulia I, Cengkareng, Jakarta Barat Ijazah 1985 2. SLTP Negeri 91, Pasar Rebo, Jakarta Timur Ijazah 1988 3. SLTA Negeri 39, Cijantung, Jakarta Timur Ijazah 1991 4. FK Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Timur Ijazah 2002 5. Peserta PPDS Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran -

Universitas Sumatera Utara – Medan. Juli 2006-sekarang

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Puskesmas Sawa-Erma Asmat, Kabupaten Merauke,Papua Tahun 2002-2004 2. Puskesmas Kimaam, Kabupaten Merauke, Papua Tahun 2004-2005 3. Kepala UTD PMI Kabupaten Merauke, Papua Tahun 2005-2006

PERKUMPULAN PROFESI 1. Anggota IDI

(13)

PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI

1. Workshop “Chest X-Ray Interpretation and Case Illustration”. The 1st Medan Respiratory Care Meeting Annually MERCY, March 19th

2. Workshop “Basic of Interventional Bronchoscopy 2010”. Kolaborasi Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FKUI-FKUSU, RSUP H. Adam Malik, Medan Tanggal 23 Oktober 2010.

2010.

3. Workshop “The 1st

4. Post Graduate Course: “Management of MDR and XDR Pulmonary Tuberculosis Patiens” The 2

Chest tube Management training Annually 2010”. Kolaborasi Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FKUI-FKUSU dengan PDPI Cabang Sumut, RSUP H. Adam Malik, Medan Tanggal 04-06 November 2010.

nd

Medan Respiratory Care Meeting Annually MERCY, March 17th 2011.

TUGAS

Selama mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, telah membawakan:

1. Jurnal Ilmiah sebanyak 12 judul 2. Sari Pustaka Dasar sebanyak 1 judul 3. Sari Pustaka sebanyak 5 judul 4. Laporan Kasus sebanyak 3 judul.

TUGAS NASIONAL

Presentasi Ilmiah Poster “Case Report : Pyopneumothorax with Bronchopleural Fistulas due to Mixed Infection”. KONKER XII PDPI Anyer, 07-10 Juli 2010

JUDUL TESIS

Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik, Medan

(14)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR TESIS ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

PANITIA PENGUJI TESIS... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... xi

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii DAFTAR DIAGRAM... xix

LAMPIRAN... xx

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

(15)

1.4.2. Aspek Pelayanan Masyarakat... 7

1.4.3. Aspek Pengembangan Penelitian... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Definisi ... 8

2.2. Epidemiologi... 8

2.3. Patogenesis... 12

2.3.1. Resistensi Rifampisin... 13

2.3.2. Resistensi Isoniasid... 13

2.3.3. Resistensi Etambutol... 14

2.3.4. Resistensi Pirazinamid... 15

2.3.5. Resistensi Streptomisin... 16

2.4. Mikobakterium tuberkulosis ... 16

2.5. Diagnosis... 16

2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis... 17

2.5.2. Pemeriksaan Radiologis ... 18

2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologis... 19

2.5.3.1. Pewarnaan Sediaan Metode Ziehl-Nielsen... 19

2.5.3.2. Pembacaan Sediaan Slide BTA... 20

2.5.3.2. Kultur M. tuberculosis... 20

2.5.3.3. Uji Kepekaan M. tuberculosis ... 24

(16)

2.6. Klasifikasi Resistensi pada Tuberkulosis Paru... 26

2.7. Penatalaksanaan... 27

2.8. Strategi DOTS-plus ... 28

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN... 29

3.1. Rancangan Penelitian ... 29

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 29

3.3. Subjek Penelitian... 29

3.3.1. Populasi... 29

3.3.2. Sampel ... 29

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 30

3.4.1. Kriteria Inklusi... 30

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 30

3.5. Perkiraan Besar Sampel... 30

3.6. Variabel Penelitian ... . 31

3.7. Definisi Operasional………. 32

3.8. Bahan dan Alat……… . 36

3.9. Pelaksanaan Penelitian………. 37

3.10. Kerangka Konsep ... 39

3.11. Kerangka Operasional ... 40

3.12. Analisis Data... 40

(17)

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 41

4.1. Hasil Penelitian ... 41

4.1.1. Karakteristik Jenis Kelamin ………. 41

4.1.2. Karakteristik Berdasarkan Umur ………... 42

4.1.3. Karakteristik Tingkat Pendidikan ……… 42

4.1.4. Karakteristik Pekerjaan ………... 43

4.1.5. Karakteristik Status Perkawinan ……….……….... 44

4.1.6. Karakteristik Riwayat Konsumsi OAT……… 44

4.1.7. Karakteristik Gejala Klinis Respiratorik………... 45

4.1.8. Karakteristik Gambaran Kelainan Foto Toraks……… 45

4.1.9. Mikrobiologis Direct Smear………. 46

4.1.10. Mikrobiologis Masa Pertumbuhan Kultur BTA………... 47

4.2. Pembahasan... 50

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA... 61

LAMPIRAN ... 65

(18)

DAFTAR SINGKATAN

BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru

BTA = Bakteri Tahan Asam

DM = Diabetes Mellitus

DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy

DST = Drugs Susceptibility Test

E = Etambutol

ELISA = Enzym Linked Immunosorbent Assay H = Isoniasid (INH= Iso Niacid Hydrazide )

HIV = Human Immunodeficiency Virus

IgG = Imunoglobulin G

IUATLD = International Union Against TB and Lung Diseases KIE = Komunikasi, Informasi dan Edukasi

M. tb = Mycobacterium tuberculosis

MR = Medical Record

OAT = Obat Anti Tuberkulosis

PDPI = Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PCR = Polymerase Chain Reaction

PMO = Pengawas Menelan Obat

R = Rifampisin

RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat

S = Streptomisin

SPS = Sewaktu Pagi Sewaktu

TB = Tuberkulosis

TB-MDR = Tuberculosis - Multidrug Resistant

U = Unit

US = United State

WHO = World Health Organization

Z = Pirazinamid

ZA = Ziehl-Nielsen

(19)

DAFTAR TABEL

Table 1 Prevalensi rata-rata resistensi obat, poliresistensi dan MDR TB diantara

Tabel 2. Skala Pembacaan Hasil Kultur ... 23

TB kasus baru dari berbagai wilayah (%)……… 10

Tabel 3. Skala Pembacaan Hasil Uji Resistensi... 25

Tabel 4. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dengan DOTS-plus... 28

Tabel 4.1.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin (n=85)………... 41

Tabel 4.1.2. Distribusi Frekuensi Umur (n=85)……….... 42

Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan (n=85)……….. 43

Tabel 4.1.4. Distribusi Frekuensi Pekerjaan (n=85)………... 43

Tabel 4.1.5. Distribusi Frekunsi Status Pekawinan (n=85)………... 44

Tabel 4.1.6. Distribusi Frekuensi Riwayat Konsumsi OAT (n=85) ………... 44

Tabel 4.1.7. Karakteristik Berdasarkan Keluhan Utama Respiratorius (n=85)………. 45

Tabel 4.1.8. Karakteristik Gambaran Radiologi Foto toraks PA (n=85)………... 46

Tabel 4.1.9. Karakteristik Hasil Pemeriksaan Pewarnaan Langsung (direct BTA) (n=85) .. 47

Tabel 4.1.10. Karakteristik Masa Pertumbuhan Kultur BTA (n=85)………... 48

Tabel 4.1.11. Karakteristik Resistensi Primer (n=85)………... 49

(20)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.

Diagram 2. Alur kerja Identifikasi Rutin... 23

Alur kerja kultur... 22

Diagram 4. Kerangka Konsep ... 39

Diagram 5. Kerangka Operasional ... 40

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Komisi Etik ………. 66

Lampiran 2. Jadwal Kegiatan Penelitian ………. 67

Lampiran 3. Biaya Penelitian ……….. 68

Lampiran 4. Data Hasil Pemeriksaan Resistensi……….. 69

Lampiran 5. Data Induk ………... 72

(22)

ABSTRACT

Backgrounds : The resistance case is a problem for TB prevention and eradication program of the world. Primary resistance cases that was founded in TB patients are often used to evaluate new transmission or infection resistant strains of bacteria. Therefore, it is important to investigate how much the rate and the pattern of primary resistance.

Objective : To evaluation the proportion of primary resistance incidence in category I of pulmonary TB patients in H. Adam Malik Hospital, Medan-Indonesia.

Method : This research is a retrospective cross-sectional descriptive study. Data retrieved from medical records with a time span of October 2010 until July 2011. Subjects were patients with no history of antituberculosis drugs treatment or ever consumed less than 1 month. Subjects research conducted direct smear examination of sputum, cultur and sensitivity test before getting treatment antituberculosis drugs then collected data on demographics, chief complaint, history of use of antituberculosis drugs, and Chest X-ray radiology data.

(23)

Results : From 85 research subjects, we obtained 35 subjects (41.18%) with primary resistance. Primary mono-drug resistance as many as 18 subjects (21.18%), where the highest resistance to the drugs Streptomycin (S) of 10 subjects (11,76%). Incidence of primary poly-drug resisten by 13 subjects (15.27%), mostly on the type of combination of Streptomycin and Ethambutol (SE) of 4 subjects (4.70%). Primary MDR-TB by 4 research subjects (4.71%).

Conclusion : The primary resistance rate is high in patients with pulmonary tuberculosis category I in H. Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia. So, it is necessary to improve the vigilance and efforts in primary resistance management.

Keywords : Primary Mono-drug Resistance, Primary Poly-drug Resistance, Primary MDR-TB

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.

1

2

Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.

3

Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.

(25)

Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%.

Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada akhirnya mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus

resistensi obat TB di beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum dipandang sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB-MDR

telah meningkat oleh karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan

dalam menegakkan diagnosis suatu TB-MDR. 5,6

Pada tahun 2005 penelitian di Makasar yang dilakukan Nikmawati dan kawan-kawan mendapatkan hasil kultur sputum yang diduga tuberkulosis dari 236 sampel. Didapatkan 70 sampel (30%) terjadi pertumbuhan pada kultur, dan 166 (70%) sampel tidak terdapat pertumbuhan. Dimana hasil uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosis menunjukkan persentase TB-MDR lebih tinggi dari pada yang sensitif terhadap OAT. Presentase yang resisten terhadap INH dan Rifampisin sebanyak 40 (57,1%), resisten terhadap INH, Rifampisin dan Etambutol sebanyak 25 (35,7%), resisten terhadap INH, Rifampisin dan Streptomisin sebanyak 28 (40%) dan resisten terhadap keempat OAT (INH, Rifampisin, Etambutol dan Streptomisin) sebanyak 20 (28,6%).

7

8

(26)

Sebuah studi di Pakistan pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Javaid dan kawan-kawan mendapatkan prevalensi kasus resistensi primer pada satu atau lebih dari satu obat antituberkulosis adalah sebesar 11,3 %. Sedangkan resistensi terhadap Streptomisin (S) di peroleh sebesar 5,4 %, isoniazid (INH) 7,6 %, Rifampisin (R) 2,2%, Etambutol (E) sebesar 1,8 % dan Pirazinamid (Z) sebesar 3,3 %. Resistensi terhadap satu jenis OAT sebesar 6,8 %, terhadap dua jenis obat 1,5%, Terhadap tiga jenis OAT sebesar 1,8 %, empat macam OAT sebesar (0,9 %), dan sebesar 0,3% resistensi terjadi pada kelima OAT.

Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid 8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1 (0,2%). Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien.

11

12

Penelitian resistensi primer oleh Namaei dkkdi Iran pada tahun 2005, meneliti dari 105 isolat yang diperiksa, 93 berasal dari spesimen paru, selebihnya ekstra paru. Dijumpai BTA positif dengan pewarnaan langsung 79,6% spesimen paru dan 50% spesimen ektra paru. Setelah dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi didapatkan resistensi primer pada satu obat sebesar 29,5%, resisten primer lebih dari satu obat sebesar 2,9%, sedangkan MDR primer didapatkan sebesar 1%.

Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan TBC paru di kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi

(27)

angka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.

Penelitian TB-MDR di kota Surakarta oleh Nugroho pada tahun 2003 didapatkan prevalensi TB-MDR primer sebesar 1,6 %, sedangkan TB-MDR sekunder 4,19 %. Risiko relatif untuk terjadinya TB-MDR pada penderita DM sebesar 37,9 kali dibandingkan dengan bukan penderita DM dan ketidakpatuhan berobat sebelumnya menyebabkan risiko relatif sebesar 15,5 kali dibandingkan yang patuh.

14

Resistensi ganda merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling besar terhadap program pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka kesembuhan

15

pada pengobatan TB-MDR relatif lebih rendah, disamping itu lebih sulit, mahal dan lebih banyak efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di berbagai negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita TB-MDR tidak adekuat.16

Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000.

Aditama dan kawan-kawan melakukan penelitian analisa data dari Laboratorium Mikrobiologi RSUP Persahabatan tahun 1992, didapatkan resistensi primer Isoniasid (H) saja sebesar 2,16%, diikuti Streptomisin (S) 1,23%, Rifampisin (R) 0,50%, Etionamid (N) 0,16%, Kanamisin (K) 0,08% dan Pirazinamid (Z) 0,04% dan tidak ditemukan resistensi terhadap Etambutol (E). Resistensi terhadap dua atau lebih OAT bervariasi antara 0,08% sampai dengan 2,71%.

7

(28)

Munir mengutip hasil penelitian Aditama bahwa resistensi primer di RSUP Persahabatan pada tahun 1994 sebesar 6,86%.18 Kodrat dalam penelitiannya pada 100 orang penderita baru TB Paru di BP 4 Medan 1996-1997, mendapatkan hasil resistensi terhadap Rifampisin 85%, INH 74 %, Etambutol 13%, Pirazinamid 69%, dan Streptomisin 23%. Angka tersebut diakui peneliti terkesan lebih tinggi terhadap penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia. Sedangkan penelitian Sadarita pada tahun 2006 di RS H. Adam Malik Medan mendapatkan hasil bahwa terdapat TB-MDR Primer sebanyak 3 orang dari 15 orang pasien yang tidak memiliki riwayat pengobatan OAT.19,20

Data penelitian resistensi primer di RSUP H. Adam Malik Medan belum didapatkan dengan jumlah secara bermakna. Oleh karena itu Penulis termotivasi untuk meneliti seberapa besar angka resistensi, khususnya pada kejadian resistensi primer pada penderita TB paru kategori I yang berobat ke poli paru dan dirawat di RSUP H. Adam Malik, Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perlu diteliti mengenai resistensi primer pada penderita TB paru kategori I di RSUP H. Adam Malik, Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui proporsi kejadian resistensi primer pada penderita TB paru kategori I yang berobat di RSUP H. Adam Malik, Medan.

(29)

Mengetahui karakteristik penderita TB paru kategori I yang mengalami resistensi primer yang berobat di RSUP H. Adam Malik-Medan, diantaranya: usia, jenis kelamin, riwayat pendidikan, pekerjaan, status perkawian, riwayat mengkonsumsi OAT, data keluhan utama, radiologis dan mikrobiologis.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Aspek Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar angka kejadian resistensi primer pada penderita TB paru kategori I di RSU H. Adam Malik Medan dan menjadi bahan pertimbangan kepada RSUP H. Adam Malik-Medan sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada dokter dan tenaga kesehatan serta segenap jajaran pendidikan yang berhubungan dengan dunia kesehatan dapat lebih meningkatan kewaspadaan dan pengetahuan terhadap kasus resistensi.

1.4.2. Aspek Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para dokter agar dapat meningkatakan kewaspadaan dalam mendiagnosis dan menjalankan penatalaksanaan pengobatan pada penderita TB sehubungan dengan kejadian kasus resistensi obat antituberkulosis.

(30)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaktifkan kembali petugas kesehatan dalam melaksanakan program kunjungan rumah penderita TB paru dan melakukan KIE kepada penderita TB, PMO dan dapat menjadi bahan pertimbangan perencanaan Program Pencegahan Penyakit Menular TB pada kasus resistensi primer.

1.4.3. Aspek Pengembangan Penelitian

Seiring dengan waktu, kasus resistensi memiliki kecenderungan meningkat, oleh karena itu di perlukan berbagai penelitian bahkan temuan-temuan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya resistensi.

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sebagian besar akan menyerang organ paru disebut dengan TB paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lain disebut dengan TB ekstraparu, seperti pleura, kelenjar getah bening (mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genito urinarius, kulit, sendi, dan selaput otak.21,22

Penderita TB Paru kategori I adalah TB Paru yang tergolong dalam penderita kasus baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA negatif (-) namun dengan lesi yang luas.

Resistensi primer adalah strain Mycobacterium tuberculosis yang mengalami resisten terhadap obat antituberkulosis dimana pasien yang tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya atau telah mendapat pengobatan antituberkulosis dengan lamanya kurang dari 1 (satu) bulan.

22

2.2. Epidemiologi

5,23,24

Kasus resistensi pada penderita TB yang belum mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT yang kurang dari satu bulan disebut dengan resistensi primer (primary resistance/ resistance among new case). Pada resistensi ini individu terpajan dengan M. tuberculosis yang resisten terhadap OAT.24 Penemuan kasus resistensi pada penderita TB yang belum mempunyai riwayat mengkonsumsi obat antituberkulosis (OAT) sering digunakan untuk mengevaluasi penularan terbaru atau tertular galur kuman resisten. 6,25

Resistensi diantara kasus baru didefinisikan resistensi dari isolate M. tuberculosis pada pasien dengan kriteria berdasarkan hasil anamnese yang

(32)

menyangkal mendapatkan terapi antituberkulosis sebelumnya atau tidak dapat dibuktikan adanya riwayat OAT.

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.

5

WHO pada tahun 2001 telah mendata dan melaporkan negara-negara yang perlu mewaspadai akan marak terjadinya kasus TB-MDR, diantaranya: Afghanistan, Bangladesh, Brazil, Cambodia, China, Democratic Republic of Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Philippines, Russia, South Africa, Tanzania, Thailand, Uganda, Vietnam, dan Zimbabwe.

22

26

Diperkirakan jumlah kasus TB-MDR yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah 424.203 (95% CI, 376.019 – 620.061) atau 4,3% (95% CI, 3,8% -6,1%) dari semua kasus baru dan telah mendapat pengobatan TB sebelumnya. Dalam tahun yang sama, terdapat 181.408 (95% CI, 135,276-319,017) di perkirakan terjadi kasus TB-MDR diantara kasus TB yang telah mendapat pengobatan sebelumnya. Tiga negara China, India dan Federasi Rusia menunjukkan angka kasus TB-MDR sebesar 261.362 (95% CI, 180,779-414,749) atau 62% dari beban global diperkirakan.27

(33)

dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari Federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus baru TB-MDR dalam setiap tahunnya. M. tuberculosis yang resisten terhadap OAT akan semakin bertambah, saat ini 79% dari TB-MDR adalah “super strains” yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.28

[image:33.595.116.537.318.582.2]

Berikut ini prevalensi dari resistensi obat dan TB-MDR pada TB kasus baru berdasarkan lima wilayah di berbagai belahan dunia (dalam %).29

Table 1 Prevalensi rata-rata terjadinya resistensi obat, poliresistensi dan TB-MDR diantara TB kasus baru dari berbagai wilayah (%)29

Wilayah Monoresisten Poliresisten TB-MDR

Afrika 7.1 1.3 1.4

Amerika 9.7 2.1 1.1

Mediterania Timur 9.9 2.5 0.4

Eropa 8.4 1.1 0.9

Asia tenggara 19.8 4.0 1.3

Pasifik Barat 11.4 2.5 0.9

Rata-rata keseluruhan 10.2 1.9 1.1

Sumber: Referensi WHO 2006

(34)

penularan dari pasien TB-MDR ke orang lain/ masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain: 1). Faktor Mikrobiologik, diantaranya yaitu: Resisten yang natural, Resisten yang didapat, Amplifier effect, Virulensi kuman, Tertular galur kuman yang telah MDR; 2). Faktor Klinik, yang bergantung pada Obat, Penyelenggara Kesehatan dan pasien itu sendiri. Faktor klinik obat, diantaranya: Pengobatan TB dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 6 bulan); Obat OAT dapat menyebabkan efek samping sehingga pengobatan tidak lengkap sampai selesai; Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare; Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap (fixed dose combinations) yang mana bioavibiliti rifampisinnya telah berkurang; Regimen/ dosis obat yang tidak tepat; Harga obat yang mahal/ tidak terjangkau oleh penderita; Ketersediaan/ pengadaan obat yang tidak berkisinambungan. Sedangkan pada Penyelenggara Kesehatan, faktor penyebab terjadinya resistensi OAT, diantaranya: Keterlambatan dalam menegakkkan diagnosis; Pengobatan tidak mengikuti atau tidak adanya pedoman/ guideline; Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT (dalam hal ini Rifampisin atau INH); Tidak ada/ kurangnya pelatihan TB terhadap tenaga kesehatan; Tidak ada pemantauan pengobatan; Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan” satu jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten; Organisasi program nasional TB yang kurang baik.28,30

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya TB-MDR diantaranya: pengobatan yang tidak memadai (monoterapi, kombinasi obat yang tidak tepat, dosis

(35)

sub optimal, lama terapi relatif singkat, keterlambatan diagnosis); Komunitas (lingkungan yang buruk, sosial ekonomi yang rendah, pendidikan dan pengetahuan yang rendah); Genetika dan faktor lain kepatuhan berobat yang rendah, pertahanan tubuh yang menurun, infeksi mikobakterium lain, infeksi HIV, penghambat patologis).31

Zhang dan kawan-kawan tahun 2009 menyatakan bahwa penderita TB dengan diabetes mellitus (DM) memiliki proporsi yang lebih tinggi secara bermakna akan kejadian TB-MDR bila dibandingkan dengan penderita TB yang tidak menderita DM. Selanjutnya, proposi yang tinggi ini terdapat kontrol pengobatan diabetes yang buruk.

2.3. Patogenesis 32

(36)

2.3.1. Resistensi Rifampisin

Rifampisin adalah semisintetik derivat dari Streptomyces mediterranei, merupakan obat antituberkulosis yang paling kuat dan penting. Memiliki sifat bakterisida intraseluler dan ekstraseluler. Rifampisin sangat baik diabsobsi melalui per oral. Ekskresi melaui hati kemudian ke empedu dan mengalami resirkulasi enterohepatik. In vitro aktif terhadap gram +, gram -, bakteri enterik, mikobakterium, dan klamidia. Secara khusus menghentikan sintesis RNA dengan cara mengikat dan menghambat polymerase RNA yang tergantung DNA (RNA polymerase DNA-dependent) pada sel-sel mikobakterium yang masih sensitif.

Resistensi rifampisin yang didapat merupakan hasil dari mutasi yang spontan mengubah sub unit gen RNA polymerase (rpoB), sub unit gen β-RNA polymerase. RNA polimerase manusia tidak mengikat Rifampisin ataupun dihambatnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa 96% strain yang resisten rifampisin telah memiliki mutasi pada daerah inti gen 91-bp. Resistensi muncul segera pada pemakaian obat tunggal.

33, 34,35

2.3.2. Resistensi Isoniasid 33,35

(37)

bakteriostatik pada bakteri yang istirahat dan baktersida pada organism yang bermultiplikasi cepat, baik pada ekstraseluler dan intraseluler.31,35

Lokasi molekul dari resistensi INH telah terungkap. Sebagian besar galur yang resisten INH memiliki perubahan asam amino pada gen katalase-peroksidase (katG) atau promoter lokus dua gen yang dikenal dengan inhA. Produksi berlebih dari gen inhA menimbulkan resistensi INH tingkat rendah dan resistensi silang Etionamida. Sedangkan mutan gen katG menimbulkan resistensi INH tingkat tinggi dan sering tidak menimbulkan resistensi silang dengan Etionamida. Mutasi missense atau delesi katG juga dihubungkan dengan penurunan aktifitas katalase dan peroksidase.33,34,35

2.3.3. Resistensi Etambutol

Etambutol merupakan derivat etilendiamin yang dapat larut dalam air aktif melawan M. tuberculosis, dan stabil terhadap panas. Dalam dosis standart sebagai bakteriostatik aktif melawan M. tuberculosis. Mekanisme kerja etambutol yang utama menunjukkan penghambatan pada enzim arabinosiltransferase sebagai media polimerasi dari arabinosa menjadi arabinogalaktan di dinding sel. Etambutol diabsobsi di saluran pencernaan sebesar 70–80% dari dosis yang diberikan. Kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh secara adekuat. Etambutol pada kadar yang tinggi dapat melintasi sawar otak.

Resistensi Etambutol pada M. tuberculosis umumnya dikaitkan dengan mutasi pada gen embB yang merupakan gen yang mengkodekan untuk enzim arabinosiltransferase. Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi polimerasi arabinoglikan (komponen esensial dinding sel M. tuberculosis). Resistensi terjadi akibat mutasi yang menyebabkan ekspresi berlebih produksi dari gen emb atau gen

(38)

embB. Mutasi gen embB telah ditemukan pada 70% galur yang resisten dan melibatkan pergantian posisi (replacements ) asam amino 306 atau 406 pada 90 % kasus. Resistensi segera timbul bila obat diberika secara tunggal.

2.3.4. Resistensi Pirazinamid

33,34,35

Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, obat penting yang digunakan terapi TB jangka pendek. Sebagai bakterisida pada organisme metabolisme lambat dalam suasana lingkungan asam diantara sel fagosit dan granuloma kaseosa. Pirazinamid hanya aktif pada suasana pH yang lebih rendah dari enam (pH <6). Sedikit larut dalam air. Pirazinamid diduga oleh basil tuberkel dikonversikan menjadi produk zat yang aktif yaitu asam pirazinoat. Target dari zat ini pada fatty acid synthase gene (fasI). M. tuberculosis galur yang masih sensitif akan dihambat oleh

Pirazinamaid pada 20 μg/mL. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik melalui saluran

pencernaan, konsentrasi dalam plasma berkisar 20–60 μg/mL 1-2 jam setelah dikonsumsi dari dosis harian dewasa yang direkomendasikan 15–30 mg/kgBB (maksimum 2 g / hari). Obat didistribusikan ke seluruh tubuh dengan baik termasuk cairan otak hingga mencapai 50–100% kadar dalam serum.

Resistensi terhadap Pirazinamid dihubungkan dengan kehilangan aktiviti pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak lagi dikonversikan menjadi asam pirazinoat. Resistensi ini dihubungkan dengan terjadinya mutasi pada gen pncA yang menyandikan enzim pyrazinamidase. Resistensi Pirazinamid terjadi karena gangguan ambilan Pirazinamid atau mutasi pada gen pncA yang mengganggu konversi Pirazinamid menjadi bentuk aktifnya Asam Pirazinoat.

33,34

2.3.5. Resistensi Streptomisin

(39)

Suatu golongan aminoglikosida yang diisolasikan dari Streptomyces griseus, yang diberikan hanya melalui IV atau IM. Streptomisin menghambat sintesis protein dengan cara menimbulkan gangguan pada fungsi ribosom. Dua per tiga galur M. tuberculosis yang resisten terhadap streptomisin diidentifikasi bahwa terjadi mutasi pada satu dari dua target yaitu gen 16s rRNA (rrs) atau gen yang menyandi protein ribosom S12 (rpsL). Kedua target ini diyakini terdapat ikatan ribosom streptomisin.

2.4. Mikobakterium Tuberkulosis 33,34

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3–0,6 mm dan panjang 1–4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.

2.5. DIAGNOSIS 25

(40)

dan memulai terapi TB-MDR merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. tuberculosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat TB secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal.

Diagnosis terjadinya resisten obat anti tuberkulosis dilakukan berdasarkan uji laboratorium untuk menunjukkan isolat Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi tubuh secara in vitro sensitif atau telah resisten terhadap satu atau lebih obat-obat antituberkulosis.

16,29,36

TB-MDR adalah sesuatu bentuk resistensi obat TB dimana basil TB tidak bisa lagi dibunuh oleh sedikitnya dua buah antibiotik terbaik yang umumnya dapat menyembuhkan penyakit TB yaitu: Rifampisin (RIF) dan Isoniasid (INH) berdampak pada pengobatan yang lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama hingga 2 tahun.

2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis 30,37

(41)

pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pada pemeriksaan jasmani TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas yang mengenai struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di apeks paru daerah lobus superior dan segmen posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tergantung jumlah cairan di rongga pleura. Pada perkusi akan ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak.

25

25

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah sebagai berikut: Kasus TB

paru kronik; pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2; pasien TB yang pernah diobati

TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin; pasien TB paru yang gagal

pengobatan kategori 1; pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif

setelah sisipan dengan kategori 1; TB paru kasus kambuh; pasien TB yang kembali

setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2; suspek TB dengan

keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas

kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.

Deteksi awal TB-MDR dan memulai terapi sedini mungkin merupakan faktor penting untuk tercapainya keberhasilan terapi.

(42)

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan thorax. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah; Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; Bayangan bercak milier; Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologis 25

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

Pada penelitian ini pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan mengambil sampel dari dahak/sputum penderita TB, kemudian dilakukan pewarnaan BTA dengan Ziehl-Nielsen. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur BTA dan uji sensitifitas obat antituberkulosis.

25

2.5.3.1. Pewarnaan Sediaan Metode Ziehl-Nielsen

(43)

api spiritus; air yang mengalir berupa air ledeng atau botol pipet berisi air; dan beberapa rak cadangan.

Pewarnaan sediaan yang telah difiksasi, maksimum 12 slide, harus ada jarak diatara sediaan untuk mencegah kontaminasi. Cara Pewarnaan : Sediaan dahak yang telah difiksasi diletakkan pada rak dengan hapusan dahak menghadap ke atas, kemudian diteteskan larutan carbol fuchsin 0,3% pada hapusan dahak sampai menutupi seluruh permukaan sediaan dahak. Panaskan dengan nyala api spiritus sampai keluar uap selama 3-5 menit. Zat warna tidak boleh mendidih atau kering. Apabila mendidih atau kering maka carbol fuchsin akan terbentuk kristal (partikel kecil) yang dapat terlihat seperti kuman TB. Api spiritus disingkirkan, kemudian sediaan diamkan selama 5 menit. Lalu sediaan dibilas dengan air mengalir pelan sampai zat warna yang bebas terbuang. Sediaan diteteskan dengan asam alkohol (HCl Alcohol 3%) sampai warna merah Fuchsin hilang. Kemudian dibilas dengan air mengalir pelan. Larutan Methylen blue 0,3 % diteteskan pada sediaan sampai menutupi seluruh permukaan. Sediaan didiamkan 10 – 20 detik. Sediaan dibilas dengan air mengalir pelan. Sediaan dikeringkan diatas rak pengering di udara terbuka (jangan dibawah sinar matahari langsung.

38

2.5.3.2. Pembacaan Sediaan Slide BTA 39,40

(44)

lapang pandang, disebut + + (2+); Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut + + + (3+).

2.5.4.2. Kultur M. tuberculosis 22, 25

Kemungkinan terjadinya resistensi obat pada seorang penderita, maka pemeriksaan kultur/ biakan dan uji sensitifitas/ resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan.41

Pada identifikasi M. tuberculosis, pemeriksaan dengan media biakan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan biakan dapat mendeteksi 10 – 1000 mycobacterium/ml. media biakan terdiri dari media padat dan media cair. Media Lowenstein-Jensen adalah media padat yang menggunakan media basa telur. Media ini pertama kali dibuat oleh Lowenstein yang selanjutnya dikembangkan oleh Jensen sekitar tahun 1930-an, bahkan saat ini media ini terus dikembangkan oleh peneliti lain misalnya Ogawa, Kudoh, Gruft, Wayne dan Doubek dan lain-lain. Media Lowenstein-Jensen digunakan untuk isolasi dan pembiakan mycobacteria species. Pemeriksaan identifikasi dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen ini memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan dipakai sebagai alat diagnostik pada program penanggulangan TB.

22

Identifikasi mycobacterium dimulai dengan menilai waktu pertumbuhan, warna pigmen, morfologi koloni dan hasil pewarnaaan BTA. Langkah awal untuk identifikasi pada media padat adalah: Seleksi Koloni: Keberadaan satu atau lebih jenis koloni diamati. Penampilan kasar, halus cembung, halus menyebar, halus dengan tepi berkeriput, kasar transparan, kasar keruh dan sebagainya dideskripsikan; Pigmen paska inkubasi di tempat gelap (kuning, orange, kuning muda, kuning-orange)

(45)

diamati. Jika tak berpigmen, sebut sebagai ”buff”; Jika terdapat lebih dari satu jenis koloni, dilakukan subkultur untuk tiap jenis koloni dan diamati hal-hal tersebut diatas. Pewarnaan BTA dengan Ziehl Neelsen. Meyakinkan tidak ada pencemaran. Kecepatan pertumbuhan. Rapid grower akan tumbuh dalam 7 hari atau kurang, sedangkan slow grower akan tumbuh setelah 7 hari (tidak selalu jelas batasnya); Pencahayaan Mikobakterium yang termasuk photokromogen akan menghasilkan pigmen jika dipaparkan cahaya. Namun pigmen hanya optimal jika koloni kuman terpisah. Jika pertumbuhannya sangat padat, pigmen tak akan muncul; Dilakukan uji biokimia tertentu pada koloni murni.

Morfologi koloni M. tuberculosis pada media Loewenstein Jensen adalah sebagai berikut: kasar, kering, rapuh, tengah bertumpuk dengan tepi berjejas tipis; kadang-kadang tipis dan menyebar. Hari tumbuh 12 – 28 hari dan tidak berpigmen baik pada tempat yang terang maupun gelap (buff).

36

36

Diagram 1. Alur kerja kultur 36

Spesimen

Dekontaminasi dan Hemogenisasi

Pewarnaan BTA

Inkubasi

Inokulasi

Pembacaan & Pewarnaan BTA

(46)
[image:46.595.107.535.82.502.2]

Diagram 2. Alur kerja Identifikasi Rutin 36

Tabel 2. Skala Pembacaan Hasil Kultur

Pembacaan Pencatatan

36

> 500 koloni 4+

200 – 500 koloni 3+

100 – 200 koloni 2+

20 – 100 koloni 1+

1 – 19 koloni jumlah koloni

Tidak ada pertumbuhan negatif

Subkultur

Ada pertumbuhan pada < 4 hari Ada pertumbuhan pada < 4 hari

Rapid grower

Ada pertumbuhan dalam 28 hari Tidak Ada pertumbuhan dalam 28 hari

Gagal, ulangi subkultur Slow grower

Uji Identifikasi

Kirim ke Lab Rujukan Bukan M. tuberculosis M. tuberculosis

Uji Resistensi

Bukan TB-MDR MDR

(47)

Bila terdapat kontaminasi pada kultur, dilaporkan segera dan diulangi pembuatan kultur. Bila kultur POSITIF dan pertumbuhan dinilai sebagai M. tuberculosis, dilaporkan segera pada pihak yang berkepentingan. Pada minggu ke 4 dapat dibuat laporan sementara. Pada minggu ke 8 dibuat laporan akhir.36

2.5.3.3. Uji Kepekaan M. tuberculosis a. Interpretasi Uji Kepekaan

Seluruh media diinkubasi pada suhu 370C. Hasilnya dibaca pertama kali pada hari ke 28. Jika hasil pembacaan pada hari ke 28 tersebut adalah ”resisten” maka tidak perlu diadakan pembacaan ulang untuk obat tersebut; strain tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ”resisten”. Jika hasil pembacaan pada hari ke 28 adalah ”sensitif ” maka perlu diadakan pembacaan ulang pada hari ke 42 untuk meyakinkan hasil pembacaan hari ke 28 sehingga pembacaan hari ke 42 berfungsi sebagai kontrol.

Jumlah koloni pada permukaan media harus dihitung dengan tepat. Pada botol Mc Cartney 14 ml jumlah ini biasanya dibawah 100 koloni. Hasil ini mungkin teramati pada media tanpa obat pada pengenceran 10

36

-5

(48)
[image:48.595.144.494.210.360.2]

pilih jumlah koloni berdasarkan prioritas sebagai berikut: a). 20 – 100 koloni, jika tidak ada pilih yang ke 2. b). 5 – 19 koloni; untuk perhitungan pakai jumlah koloni tertinggi.36

Tabel 3. Skala Pembacaan Hasil Uji Resistensi 36

Pembacaan Pencatatan

> 500 koloni 4+ (konfluen)

200 – 500 koloni 3+(hampir konfluen)

100 – 200 koloni 2+

20 – 100 koloni tulis jumlah koloni 1 – 19 koloni tulis jumlah koloni Tidak ada pertumbuhan negatif

b. Perhitungan Penetapan Resistensi

Untuk menilai proporsi kuman yang resisten, angka tertinggi pada media bebas obat harus diambil, baik yang didapat pada hari ke 28 atau hari ke 42. Untuk media yang mengandung obat, pilih pengenceran yang menghasilkan jumlah koloni antara 20 -100 sebagai prioritas utama, jika tidak ada pilih pengenceran dengan jumlah koloni 5 – 19. Maka proporsi dapat dihitung sebagai berikut :

Jumlah koloni pada media yang mengandung obat

% resistensi = x 100

Jumlah koloni pada media yang bebas obat

Isolat dengan resistensi minimal 1 % akan dilaporkan sebagai ”resisten” terhadap konsentarsi obat tersebut.36

2.5.5. Pemeriksaan Khusus

(49)

Beberapa pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis TB, antara lain : Pemeriksaan BACTEC, Polymerase chain reaction (PCR), Pemeriksaan serologi antara lain: Enzym linked immunosorbent assay (ELISA), ICT, Mycodot, Uji peroksidase anti peroksidase (PAP), Uji serologi IgG TB.

2.6. Klasifikasi Resistensi pada Tuberkulosis Paru

25

Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi: 1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan; 2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah; 3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.

Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 1. Mono-resistance (kekebalan terhadap salah satu OAT); 2. Poly-Mono-resistance (kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan Rifampisin ); 3. Multidrug-resistance /MDR (kekebalan terhadap sekurang-kurangnya Isoniazid dan Rifampisin); 4. Extensive Drug-resistance/XDR (TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan Fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua, diantaranya Kapreomisin, Kanamisin, dan Amikasin). 5. Totally drug-resistance/TDR (dikenal juga dengan super XDR TB, yaitu: kuman sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama RHZES dan obat lini ke dua Amikasin, Kanamisin, Kapreomisin, Fluorokuinolon, Tionamid, PAS).

28

2.7. Penatalaksanaan

24,28

(50)

program pengendalian resistensi TB harus ditekankan pada pentingnya pencegahan transmisi galur resisten.30,42

TB-MDR terjadi bila strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap Isoniazid dan Rifampisin yang merupakan dua obat yang paling kuat dari lini pertama. Pada pengobatan MDR, petugas kesehatan harus mengubah kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat lini kedua memiliki lebih banyak efek samping, praktis pengobatan lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih besar dibandingkan terapi lini pertama. TB jenis MDR juga dapat tumbuh resisten terhadap obat lini kedua yang akan lebih menyulitkan pengobatan lagi.

Pengobatan TB-MDR memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan. Terdiri atas dua tahap: tahap awal dan tahap lanjutan. Pedoman WHO membagi pengobatan TB-MDR menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya. Klasifikasi OAT yang dipergunakan dalam pengobatan TB-MDR dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu: Kelompok Pertama: Pirazinamid dan Etambutol, paling efektif dan ditoleransi dengan baik; Kelompok Kedua: injeksi Kanamisin atau Amikasin, jika alergi diganti dengan Kapreomisin atau Viomisin, yang bersifat bakterisidal; Kelompok Ketiga: Fluoroquinolone, diantaranya: Levofloksasin, Moksifloksasin, Ofloksasin, yang bersifat bakterisidal tinggi; Kelompok Keempat: PAS, Etionamid, Protionamid dan Sikloserin, merupakan bakteriostatik lini kedua; Kelompok Kelima: Amoksisilin+Asam Klavulanat, Makrolide baru (Klaritromisin), dan Linezolid, masih belum jelas efikasinya.

43

24,44,45

2.8. Strategi DOTS-Plus

(51)

diantaranya dinyatakan sembuh. Serta tahun 2050 TB bukan lagi masalah kesehatan masyarakat global. Salah satu tujuan Rencana Global 2006-2015 mencegah/menangani kasus TB resistensi OAT (MDR-TB) dengan cara menjalankan program DOTS.

Pada penatalaksanaan TB-MDR yang diterapkan adalah strategi DOTS-plus. Huruf “S” diartikan Strategy, bukan Short–course therapy, “Plus” artinya menggunakan OAT lini kedua dengan kontrol infeksi.

3,4

Tabel 4. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dengan DOTS-plus. 28

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus 46

Komitmen administratif dan politik Komitmen administratif dan politik (pemerintah). (pemerintah) yang lebih lama. Diagnosis dengan kualitas yang baik Diagnosis yang akurat dengan menggunakan pemeriksaan sputum pemeriksaan kultur dan uji resistensi mikroskopis. obat yang terjamin.

Pengobatan yang berkesinambungan Pengobatan yang berkesinambungan terhadap lini pertama untuk pasien terhadap obat lini pertama dan kedua rawat jalan. pemberian obat lini kedua dilakukan

dibawah pengawasan yang ketat.

Pengawasan obat secara langsung. Pengawasan obat secara langsung. Pencatatan yang sistematik dan Sistem pelaporan dan perekaman data

bertanggung jawab. yang memungkinkan untuk pencatatan

(52)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif data diperoleh dari data rekam medik dan data Laboratorium Mikrobilogi RSUP H. Adam Malik, Medan. Data diambil dengan rentang waktu dari Oktober 2010 sampai dengan Juli 2011.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poli Paru, Bangsal Rawat Inap Paru, Rekam Medik, Mikrobiologi Klinik di RSUP H. Adam Malik, Medan. Jangka waktu penelitian ini selama 3 (tiga) bulan, yaitu: Oktober 2011 hingga Desember 2011.

3.3. Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat ke poli paru dan rawat inap RS H. Adam Malik, Medan.

3.3.2 Sampel

(53)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Penderita TB Paru yang mengalami pertumbuhan kultur sputum BTA. 2. Penderita TB paru yang berobat ke RS HAM yang tidak memiliki riwayat

pengobatan OAT sebelumnya.

3. Penderita TB paru yang berobat ke RS HAM yang sedang dalam pengobatan kategori I dibawah 1 (satu) bulan.

4. Penderita TB paru yang berobat ke RS HAM yang berusia lebih dari 15 tahun

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Penderita TB Paru yang tidak lengkap memiliki catatan riwayat mengkonsumsi OAT.

2. Penderita TB Paru yang memiliki riwayat mengkonsumsi OAT lebih dari 1 (satu) bulan.

3. Penderita TB kasus gagal pengobatan (failure), kasus putus berobat (default), kasus kambuh (relaps).

3.5. Perkiraan Besar Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah dihitung berdasarkan rumus : n = Zα2

d PQ

2

dimana:

Zα = nilai baku normal dari tabel  Z = 1,96

P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari (dari Pustaka) 11,3%, dalam angka desimal = 0,113

Q = 1 – P  (1 – 0,017)

(54)

desimal sebesar 0,07

n = 1,962

(0,07)

. 0,113. (1-0,113)

2

n = 3,38416. 0,113. (0,887) 0,0049

n = 79

Jumlah sampel penelitian yang diharapkan minimal sebesar 79, namun pada penelitian ini telah diperoleh sebanyak 85 sampel.

3.6 Variabel Penelitian

3.6.1 Data demografi

Pada penelitian ini dilakukan pencatatan data demografi diantaranya adalah: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan.

3.6.2 Data simptom respiratorik

Pada penelitian ini dilakukan pencatatan simptom/ gejala klinis respiratorik diantaranya: sesak napas, batuk berdahak, batuk tanpa dahak, nyeri dada, batuk darah.

3.6.3 Data Foto Toraks

Foto toraks subyek penelitian sebelum pengobatan OAT dimulai, dilakukan pengamatan, pembacaan, penilaian dan pencatatan.

3.6.4 Data Hasil Pemeriksaan Pewarnaan Langsung BTA sputum

Hasil Pemeriksaan Pewarnaan Langsung BTA sputum yang telah dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan tersebut.

3.6.5 Data Pertumbuhan M. tuberculosis.

(55)

3.6.6 Data Pola Resistensi

Pada penelitian ini sampel dilakukan pengamatan, pengelompokan dan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan uji resistensi M. tuberculosis. terhadap OAT.

3.7 Definisi Operasional 4.7.1 Data demografi

Data demografi pada penelitian ini diantaranya adalah: 1. Variabel Usia

a. Definisi: Total lama waktu hidup sampel sejak tanggal kelahiran hingga saat dilakukan pemeriksaan dalam penelitiaan ini.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Data anamnesa dan/atau rekam medik penderita atau tanda pengenal lainnya (KTP, SIM dan lain-lain) atau data yang terdapat pada rekam medik.

d. Hasil Ukur : dikelompokan menjadi usia: A. 15- 24 tahun

B. 25 – 44 tahun C. 45 – 54 tahun D. 55 – 64 tahun E. > 65 tahun 2. Variabel Jenis kelamin

a. Definisi : Gender dari sampel penelitian b. Cara Ukur : Observasi

(56)

B. Penderita Perempuan 3. Variabel Tingkat Pendidikan

a. Definisi : Jenjang pendidikan dari sampel penelitian ini. b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Data anamnesa dan/atau rekam medik sampel penelitian.

d. Hasil Ukur :

A. Tidak Sekolah B. Tamat SD C. Tamat SLTP D. Tamat SLTA E. Tamat S1 4. Variabel Jenis Pekerjaan

a. Definisi : Aktifitas mata pencarian dari sampel penelitian. b. Cara Ukur : Observasi

e. Alat Ukur : Data anamnesa dan/atau rekam medik sampel penelitian.

c. Hasil Ukur :

A. Tidak Bekerja B. Pelajar/ Mahasiswa

C. PNS / Pensiunan PNS D. Wiraswasta 5. Variabel Status Perkawinan

(57)

c. Alat Ukur : Data anamnesa dan/atau data rekam medik sampel penelitian.

d. Hasil Ukur : A. Kawin; B. Belum kawin 3.7.2 Data Simptom Respiratorik

Pada penelitian ini dilakukan pencatatan simptom/ gejala klinis respiratorik diantaranya: sesak napas, batuk, nyeri dada, batuk darah.

a. Definisi : Gejala klinik/ simptom yang dialami oleh sampel b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Data anamnesis dan/atau data rekam medik. d. Hasil Ukur : A. Sesak napas, B. Batuk,

C. Nyeri dada D. Batuk darah 3.7.3 Data Foto Toraks

a. Definisi : Gambaran radiologis yang tampak pada foto toraks b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Penilaian foto toraks Spesialis Paru dan rekam medik pembacaan Ahli Radiologi.

d. Hasil Ukur : A. Gambaran bercak mengawan (infiltrate)/ bayangan noduler;

B. Kalsifikasi

C. Gambar bercak milier D. Fibrosis;

(58)

I. Pneumotoraks J. Hidropneumotoraks

3.7.4 Data hasil pemeriksaan pewarnaan langsung BTA sputum

a. Definisi: Hasil pemeriksaan pewarnaan langsung BTA sputum dari sampel penelitian menrurut IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease), yaitu: Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative; Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Scanty; Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+); Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+); Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Data laboratorium mikrobiologi dan/atau data rekam medik.

d. Hasil Ukur : A. Negatif B. Scanty C. +1 D. +2 E. +3 3.7.5 Data pertumbuhan M. tuberculosis.

a. Definisi : Hasil pengamatan dan pencatatan terhadap kultur atau pertumbuhan M. tuberculosis.

(59)

c. Alat Ukur : D

Gambar

TABEL ...........................................................................................
Table 1  Prevalensi rata-rata terjadinya resistensi obat, poliresistensi dan TB-
Tabel 2. Skala Pembacaan Hasil Kultur 36
Tabel 3. Skala Pembacaan Hasil Uji Resistensi 36
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Laporan Realisasi Pelaksanaan APBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format yang berpedoman pada Peraturan Bupati Bireuen yang mengatur

Prosedur akuntansi penerimaan kas adalah serangkaian proses mulai pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan dengan transaksi

Maka dapat disimpulkan bahwa sistem temu kembali informasi merupakan sebuah sistem yang berguna dalam memanggil dan menempatkan dokumen dari/dalam basis data sesuai dengan

Likewise, if oneof social actor ' s name becomes the keyword of another social actor ' s name in the co-occurrence form, through the extracted social network, then

Studi pendahuluan yang dilakukan di tiga Puskesmas tersebut, pada tanggal 11-28 Februari 2014 terhadap 10 ibu yang mempunyai anak usia 0-6 bulan, didapatkan

bertindak sebagai responden wawancara, maka hal ini tidak efisien karena salah satu ciri dari salah satu variabel yang akan diteliti adalah sifat pemalu peserta didik,

Apabila pihak pcngajar dapat mcngctahui gaya pembelajaran setiap pelajamya, tcrutama pengajar yang tcrlibat sce-ura Iangsllng dengan pelajar-pelajar pekak, scdikit sebanyak

Sedangkan untuk mengetahui pendapatan yang berasal dari luar kegiatan menyadap dan pendapatan masing-masing anggota keluarga rumah tangga buruh tani penyadap karet