• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) dengan menggunakan beberapa ekstrak jeruk dari varietas yang berbeda dan flavor enhancer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) dengan menggunakan beberapa ekstrak jeruk dari varietas yang berbeda dan flavor enhancer"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

1

UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN CITARASA MINUMAN

FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING (

Orthosiphon aristatus

Bl.Miq) DENGAN MENGGUNAKAN BEBERAPA EKSTRAK

JERUK DARI VARIETAS YANG BERBEDA DAN

FLAVOR

ENHANCER

SKRIPSI

FRENDY AHMAD AFANDI

F24060710

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

IMPROVING THE ACCEPTANCE OF JAVA-TEA (

Orthosiphon aristatus

Bl.Miq)

BASED FUNCTIONAL BEVERAGE FLAVOR BY USING DIFFERENT CITRUS

EXTRACTS AND FLAVOR ENCHANCERS

Christofora Hanny Wijaya and Frendy Ahmad Afandi

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, Bogor 16002, West Java, Indonesia.

ABSTRACT

The previously formulated functional beverage had limited on the sensory

acceptance. Therefore, a research in attemping the improvement of its flavor quality

has been conducted. The objective of this study was to improve the sensory

acceptance of the java-tea based functional beverage by combining the addition of

different citrus extracts and flavor enhancers. Response variable was determined as

flavor preference (using the hedonic scaling method), antioxidant activity (DPPH

method), and the antidiabetic activity (percentage of

α

-amylase relative inhibition) of

the beverage. Furthermore, the impact of sweeteners and preservative utilization has

been observed. Six chosen beverage formulas had been choosen based on the

preferences score between “slightly like” and “like very much” (6.78-7.42 out of

9.00 in hedonic score). The antioxidant activity of the formulas ranged from 414 to

727 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Percentage of the

beverage’s

α

-amylase relative inhibition (1x concentration formula) ranged from 19

to 56%, but this results still biased. The pH value of the six beverage formulas

ranged from 3.33-3.57. The replacement of sugar with sweetener on the same

formula could reduce the level of the beverage’s preference significantly at

α

= 0.05.

Although the formula which used sweeteners had lower preference score than the

formula which used sugar, its sensory preference is still between slightly like to like

moderately (6.78-6.86 out of 9.00 of hedonic score). The usage of sodium benzoate

preservative in the beverage gave no significant effect in its preference at

α

= 0.05.

The best formula resulted of exponential comparison method was the beverage that

used sugar with no preservatives, and the addition of x extract A g, y extract B g, and

C gram flavor enhancer (P:P) in 100 ml of beverage. The hedonic score was 7.42

and its antioxidant activity was 605 ppm AEAC.

(3)

3

Frendy Ahmad Afandi. F24060710.

Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa

Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus

Bl. Miq)

dengan Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk dari Varietas yang Berbeda dan

Flavor Enhancer. Di bawah bimbingan Christofora Hanny Wijaya. 2011

RINGKASAN

Minuman fungsional berbasis kumis kucing telah diformulasikan pada

penelitian sebelumnya. Minuman ini masih memiliki mutu sensori dengan tingkat

kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 5.57 dari skala 7.00).

Penelitian lanjutan diperlukan untuk meningkatkan mutu penerimaan sensori

minuman tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan citarasa minuman

fungsional berbasis kumis kucing melalui kombinasi penambahan ekstrak jeruk yang

berbeda dan

flavor enhancer

dengan melihat pengaruhnya pada variabel respon

citarasa (metode hedonik) dan aktivitas antioksidan (metode DPPH) serta

pengaruhnya pada kemampuan antidiabetes (persentase inhibisi

α

-amilase relatif).

Penelitian dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pusat Studi

Biofarmaka IPB.

Metode penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah

penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan jenis ekstrak jeruk yang

berbeda dan

flavor enhancer

yang ditambahkan ke dalam minuman. Pembuatan

ekstrak komponen minuman dan pengukuran aktivitas antioksidan minuman formula

standar pembanding dilakukan untuk menghindari bias yang diakibatkan ingridien

penyusun minuman. Tahap kedua adalah penelitian lanjutan yang bertujuan untuk

menentukan komposisi ekstrak jeruk yang berbeda dan

flavor enhancer

yang

ditambahkan ke dalam minuman berdasarkan rancangan percobaan hasil keluaran

Design Expert

7.0 ®. Perlakuan lain yang dilakukan adalah jenis pemanis dan

penambahan pengawet. Pengujian formula dilakukan dengan uji organoleptik dengan

metode hedonik. Enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan

selanjutnya diukur aktivitas antioksidan (metode DPPH), aktivitas antidiabetes

(metode inhibisi

α

-amilase), dan nilai pH.

Penilaian sensori secara individu memperoleh formula minuman yang

ditambahkan ekstrak jeruk x, jeruk y, dan

flavor enhancer

dengan jumlah total

sebanyak 3 gram dalam 100 ml memiliki karakteristik citarasa minuman yang relatif

lebih baik dibandingkan dengan formula minuman sebelumnya. Hasil uji

organoleptik (hedonik) mendapatkan 6 formula untuk diuji lebih lanjut.

(4)

4

Penggantian gula dengan pemanis pada formula yang sama dapat menurunkan

tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf

α

= 0.05. Penggunaan pengawet

natrium benzoat pada formula yang sama tidak mempengaruhi tingkat penerimaan

minuman secara nyata pada taraf

α

= 0.05. Formula yang menggunakan pemanis

meskipun memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan

formula yang menggunakan gula, namun masih memiliki mutu sensori dengan

tingkat kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 6.78-6.86 dari

skala 9.00).

(5)

5

UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN CITARASA MINUMAN

FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING (

Orthosiphon aristatus

Bl.Miq)

DENGAN MENGGUNAKAN BEBERAPA EKSTRAK JERUK DARI VARIETAS

YANG BERBEDA DAN

FLAVOR ENHANCER

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

FRENDY AHMAD AFANDI

F24060710

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

6

Judul Skripsi

: Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional

Berbasis Kumis Kucing (

Orthosiphon aristatus

BI.Miq) dengan

Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk dari Varietas yang Berbeda

dan

Flavor Enhancer

Nama

: Frendy Ahmad Afandi

NIM

: F24060710

Menyetujui,

Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr.)

NIP 19600422 198303.2.003

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP 19680505 199203.2.002

(7)

7

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Upaya

Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis Kumis

Kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) dengan Menggunakan Beberapa Ekstrak

Jeruk dari Varietas yang Berbeda dan

Flavor Enhancer

adalah hasil karya saya

sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam

bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Yang membuat pernyataan

(8)

8

Hak cipta milik Frendy Ahmad Afandi, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

9

BIODATA PENULIS

Frendy Ahmad Afandi. Lahir di Lampung, 6 Juni 1989 dari ayah Eko Priyono dan Ibu Anggraiwati, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 3 Pulung Kencana Lampung pada tahun 1994-2000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tumijajar Lampung pada tahun 2000-2003, dan SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2003-2006.

Penulis lolos seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) yang ketika itu menerapkan sistem pendidikan Mayor-Minor, sehingga selama satu tahun penulis belum memiliki jurusan. Baru setelah satu tahun manjadi mahasiswa IPB, melalui seleksi internal IPB penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam Majelis Ta’lim Al Furqon, suatu wadah kajian islam bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari Islam lebih dalam. Penulis pernah menjadi asisten praktikum evaluasi sensori dan asisten praktikum teknologi pengolahan pangan.Selama kuliah,penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2009. Penulis juga pernah membantu kepanitiaan Short Course and International Conference Nutraceutical and Functional Food di Bali tahun 2010.

(10)

10

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk yang Berbeda dan Flavor Enhancer dilaksanakan di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pusat Studi Biofarmaka IPB sejak bulan Februari sampai Oktober 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, dan adikku atas segala kasih sayang, doa, dan nasehat, serta bantuan secara moril dan materil yang diberikan kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini

2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, perhatian, dan masukan serta kesabarannya membimbing penulis selama kuliah hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini

3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. dan Dr. Waysima, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan berarti demi perbaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman dan semua keluarga besar Pusat Studi Biofarmaka (Bu Nunu, Mas Zaim, Mbak Ina, Bu Susi, Mas Endi, dll.) atas kerjasama dan bantuan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

5. Teknisi laboratorium ITP (Pak sobirin, Pak Wahid, Pak Rojak, Bu Sri, Bu Antin, Bu Rubiah, Mbak Ari dll.), terimakasih atas bantuan dan saran yang telah diberikan.

6. Para panelis yang telah banyak membantu penulis dalam mendapatkan data hasil penelitian.

7. Teman-teman sebimbingan (Idham,Kandi,dll), teman-teman ITP 43, teman-teman sekosan dan seperjuangan di Forum Kajian Islam Ilmiah MT Al-Furqon yang telah banyak memberikan semangat kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan.

Bogor, Januari 2011

(11)

11

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...

x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I.

PENDAHULUAN ...

1

II.

TINJAUAN PUSTAKA ...

3

2.1.

CITARASA...

3

2.2.

EVALUASI SENSORI ...

4

2.3.

UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK) ...

5

2.4.

PANGAN FUNGSIONAL ...

7

2.5.

MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING ... 12

2.5.1.

Kumis Kucing (

Orthosiphon aristatus

BI. Miq) ... 13

2.5.2.

Kayu Secang (

Caesalpinia sappan

L.) ... 13

2.5.3.

Jahe (

Zingiber officinale

Roscoe) ... 14

2.5.4.

Jeruk Purut (

Citrus hystrix

DC.) ... 15

2.5.5.

Jeruk Nipis (

Citrus aurantifolia

Swingle) ... 16

2.5.6.

Temulawak (

Curcuma xanthorriza

Roxb.) ... 17

2.5.7.

Flavor Enhancer

... 18

2.5.8.

Pemanis... 20

2.5.9.

Pengawet... 23

2.6.

MIXTURE EXPERIMENT (ME)/MIXTURE DESIGN (MD) ... 23

III.

METODE PENELITIAN ... 25

3.1.

BAHAN DAN ALAT ... 25

3.2.

METODE PENELITIAN... 25

3.2.1.

Penelitian Pendahuluan ... 26

3.2.2.

Penelitian Lanjutan ... 26

3.2.3.

Analisis ... 28

3.2.3.1.

Nilai pH (AOAC 1995) ... 28

(12)

12

3.2.3.3.

Aktivitas Antidiabetes Metode Inhibisi

α

-amilase... 29

3.2.3.4.

Uji Hedonik ... 29

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1.

PENELITIAN PENDAHULUAN ... 31

4.1.1. Pembuatan Ekstrak Komponen Minuman dan Pengukuran

Aktivitas Antioksidan Minuman Standar ... 31

4.1.2. Penentuan Jenis Perlakuan Berdasarkan Mutu Organoleptik ... 34

4.2.

PENELITIAN LANJUTAN ... 39

4.2.1. Pemilihan Formula Minuman yang Memiliki Citarasa Paling

Disukai dari Masing-masing Perlakuan ... 39

4.2.2. Nilai pH Formula Minuman Terpilih ... 45

4.2.3. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dan Inhibisi

α

-amilase

Formula Minuman Terpilih ... 46

4.2.4. Pemilihan Perlakuan Terbaik ... 49

V.

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1.

KESIMPULAN ... 51

5.2.

SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(13)

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Skala pada uji hedonik ...

7

Tabel 2. Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 gram berat dapat dimakan .. 17

Tabel 3. Spesifikasi

Flavor Enhancer

GMP dan IMP ... 20

Tabel 4. Jumlah larutan pada analisis inhibisi

α

-amilase ... 29

Tabel 5. Perlakuan pada percobaan pendahuluan untuk menentukan perlakuan

yang relatif dapat meningkatkan penerimaan citarasa minuman fung-

sional berbasis kumis kucing ... 35

Tabel 6. Kisaran konsentrasi masing-masing variabel uji ... 39

Tabel 7. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon

citarasa (perlakuan minuman dengan menggunakan gula dan Na-ben-

zoat serta

flavor enhancer

1 (P: P) per 100 ml minuman) ... 40

Tabel 8. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon

citarasa (perlakuan minuman dengan menggunakan gula dan Na-ben-

zoat serta

flavor enhancer

2

per 100 ml minuman) ... 41

Tabel 9. Sifat-sifat sensori beberapa pemanis berintensitas tinggi dibandingkan

dengan sukrosa dan batas penggunaannya ... 42

Tabel 10. Perlakuan kombinasi gula, pengawet, dan non-pengawet ... 42

Tabel 11. Perlakuan kombinasi pemanis, pengawet (natrium benzoat), dan non

pengawet ... 43

Tabel 12. Penilaian kepentingan karakteristik minuman fungsional berbasis ku-

(14)

14

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian ... 27

Gambar 2. Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH ... 28

Gambar 3. Grafik aktivitas antioksidan minuman standar yang dilakukan pada

penelitian pendahuluan ... 32

Gambar 4. Perbandingan aktivitas antioksidan jenis dan asal komponen tung-

gal ekstrak kumis kucing dalam minuman ... 33

Gambar 5. Hasil analisis ANOVA enam formula minuman yang paling disu-

kai dari masing-masing perlakuan gula, pemanis, pengawet, dan

non pengawet yang memiliki nilai kesukaan lebih atau sama

dengan 6.60 ... 44

Gambar 6. pH minuman formula terpilih ... 45

Gambar 7. Grafik aktivitas antioksidan dari enam formula minuman terpilih .... 47

Gambar 8. Grafik persentase inhibisi

α

-amilase relatif formula minuman ter-

(15)

15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Acuan formulasi dan proses pembuatan ... 56

Lampiran 2. Diagram alir pembuatan ekstrak jeruk ... 57

Lampiran 3. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air daun kumis kucing ... 58

Lampiran 4. Diagram alir proses pembuatan ekstrak jahe ... 59

Lampiran 5. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air secang ... 60

Lampiran 6. Diagram alir proses pembuatan ekstrak temulawak ... 61

Lampiran 7. Diagram alir proses pembuatan larutan stok gula pasir ... 62

Lampiran 8. Diagram alir proses pembuatan larutan stok CMC 1 % ... 63

Lampiran 9. Diagram alir pembuatan larutan stok pengawet (Natrium benzoate,

Kalium Sorbat) 5000 ppm ... 64

Lampiran 10. Diagram alir pembuatan minuman fungsional berbasis kumis

kucing (per 100 ml minuman) ... 65

Lampiran 11. Form uji hedonik ... 66

Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai kesukaan enam formula

minuman yang paling disukai dari masing-masing kelompok

perlakuan yang memiliki nilai kesukaan

6.60 ... 67

Lampiran 13. Kurva standar asam askorbat dan persamaan regresinya ... 69

Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan minu-

man kumis kucing berbunga putih dan ungu dari BALITRO

dan PSB ... 70

Lampiran 15. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 28 model minuman

(gula+na-benzoat) ... 72

Lampiran 16. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 20 model minuman

(pemanis & pengawet, dari 3 formula terbaik uji hedonik gula+

na-benzoat) ... 73

Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai pH enam formula minuman

yang paling disukai dari masing-masing perlakuan ... 74

Lampiran 18. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan enam

formula minuman yang paling disukai dari masing-masing per-

lakuan ... 76

(16)

16

Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antidiabetes

minuman formula terpilih, minuman standar, dan larutan gula

konsentrasi 1x ... 80

Lampiran 21. Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan dengan

(17)

17

I. PENDAHULUAN

Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman yang potensial dan menarik untuk dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan tanaman kumis kucing telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat yang memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh, dapat menyembuhkan penyakit, dan biasa tumbuh liar di pekarangan (Septiatin 2008). Minuman fungsional yang berupa ramuan jamu tradisional telah dikenal dan diakui secara luas oleh masyarakat Indonesia. Ramuan jamu ini biasanya terbuat dari tanaman obat dan rempah-rempah yang telah dikenal khasiatnya bagi kesehatan. Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus B1. Miq) merupakan tanaman obat tradisional yang memiliki banyak khasiat. Khasiat tanaman kumis kucing menurut Septiatin (2008) di antaranya adalah dapat mengobati infeksi ginjal, infeksi kandung kemih, kencing batu, encok, peluruh air seni, menghilangkan panas, lembab, dan mengobati radang atau bengkak. Melcher dan Subroto (2006) menyatakan bahwa pengobatan herbal memiliki khasiat yang banyak dan tidak menimbulkan efek samping.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan formula optimal minuman fungsional berbasis kumis kucing memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.78 ppm Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Activity (AEAC), tidak berbeda nyata (pada taraf signifikansi 5%) dibandingkan dengan aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal dari kumis kucing (650.11 ppm AEAC) (Herold 2007). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan panelis terhadap minuman tersebut adalah rasa pahit yang terdapat pada ekstrak rebusan daun kumis kucing.

Tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih produk pangan, yaitu kesehatan, kepraktisan, dan kesukaan. Faktor yang ketiga merupakan faktor yang membedakan antara produk pangan dan obat. Produk pangan fungsional dengan citarasa yang baik dapat memberikan manfaat kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya. Oleh karena itu, citarasa produk pangan fungsional perlu diperbaiki agar produk pangan tersebut dapat diterima dengan baik oleh konsumen.

Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan skor kesukaan panelis (30 panelis tidak terlatih) terhadap citarasa produk minuman fungsional berbasis kumis kucing hanya mencapai skala hedonik antara netral dan suka (skor hedonik 3.32 dari skala 5.00). Upaya perbaikan citarasa minuman selanjutnya dilakukan oleh Kordial (2009) dengan menggunakan ekstrak berbagai varietas jeruk. Jeruk yang digunakan adalah jeruk lemon (Citrus medica var. Lemon), jeruk purut (Citrus hystrix

D.C), jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle.), dan jeruk limau (Citrus amblycarpa). Hasil yang diperoleh adalah formula minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk y memiliki skor kesukaan tertinggi. Skor kesukaan panelis (30 panelis tidak terlatih) terhadap rasa minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk y mencapai skala hedonik antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Minuman tersebut setelah disimpan 12 minggu memiliki skor kesukaan rasa dengan skala hedonik yang berkisar antara agak suka dan suka, namun panelis sudah dapat mendeteksi adanya perbedaan citarasa antara minuman ini dengan minuman yang masih segar.

Penilaian sensori secara individu terhadap minuman tersebut mengindikasikan masih adanya

after taste jahe. Oleh karena itu, upaya peningkatan penerimaan citarasa terhadap formula minuman tersebut masih perlu dilakukan. Pengukuran terhadap aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan nilai pH selanjutnya dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap minuman.

(18)

18

memiliki potensi dan status sebagai pangan fungsional perlu memperhatikan aspek penerimaan konsumen sehingga minuman tersebut disukai oleh konsumen.

Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman yang dilakukan dalam penelitian ini di antaranya dengan menggunakan ekstrak jeruk x dan jeruk y. Hal tersebut dilakukan dengan harapan dapat memberikan sensasi sensori yang eksotis khas Indonesia. Ekstrak jeruk sudah sangat populer digunakan pada produk-produk minuman (Colombo et al. 2002), sehingga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan citarasa minuman ketika digunakan dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing.

Hipotesis dari penelitian ini adalah peningkatan penerimaan citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan

flavor enhancer dalam jumlah P g dalam 100 ml minuman. Upaya peningkatan penerimaan citarasa yang dilakukan terhadap minuman fungsional berbasis kumis kucing akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan nilai pH minuman. Pengaruh tersebut dapat berupa penaikan ataupun penurunan nilai aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan nilai pH minuman. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan jenis dan jumlah dari ekstak jeruk yang diberikan ke dalam minuman. Ekstrak jeruk yang sebelumnya digunakan adalah ekstrak jeruk y sebanyak V g dalam 100 ml minuman kemudian diubah menjadi kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor enhancer dengan jumlah total P g dalam 100 ml minuman. Variasi perlakuan terhadap jenis pemanis dan pengawet yang digunakan juga dilakukan dalam penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini adalah citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing dapat diperbaiki dengan kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor enhancer dengan jumlah total P g dalam 100 ml minuman dan juga pengendalian variasi pada pemanis dan pengawet. Skor kesukaan terhadap 6 formula minuman terpilih berdasarkan rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert

7.0 dari masing-masing perlakuan berkisar antara 6.78-7.42 dari skala 9. Penggantian gula dengan pemanis pada formula yang sama dapat menurunkan tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Penggunaan pengawet natrium benzoat pada formula yang sama tidak mempengaruhi tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Formula terbaik yang dihasilkan berdasarkan metode perbandingan eksponensial adalah minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, ekstrak jeruk x sejumlah A g, ekstrak jeruk y sejumlah B g, & flavor enhancer (P:P) sejumlah C g dalam 100 ml minuman yang memiliki skor hedonik sebesar 7.42 dan aktivitas antioksidan 605 ppm AEAC. Formula yang menggunakan pemanis memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan formula yang menggunakan gula, namun masih memiliki mutu sensori dengan tingkat kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 6.78-6.86 dari skala 9.00).

(19)

19

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CITARASA

Citarasa suatu produk pangan sangat menentukan terhadap penerimaan produk tersebut oleh konsumen. Produk pangan higienis yang diklaim dapat memberikan manfaat kesehatan dan kepraktisan akan sulit diterima oleh konsumen jika secara organoleptik produk tersebut kurang disukai atau bahkan tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010). Oleh karena itu, peningkatan penerimaan citarasa perlu diperhatikan dalam pengembangan produk pangan khas Indonesia khususnya jamu. Hal tersebut dilakukan agar jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional (Sampoerno dan Fardiaz 2001).

Menurut Lindsay (1996), citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh berbagai indera (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran) pada waktu mengonsumsi makanan. Citarasa (flavor) meliputi aroma, rasa, dan faktor stimulasi kimia (Meilgaard 1999). Citarasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut (Winarno 2008). Aroma merupakan persepsi olfactory yang disebabkan oleh senyawa volatil yang dilepaskan dari suatu produk di dalam mulut melalui saraf posterior. Rasa merupakan persepsi

gustatory (asin, manis, asam, dan pahit) yang disebabkan oleh senyawa yang larut di dalam mulut. Faktor stimulasi kimia merupakan rangsangan akhir saraf di dalam membran halus dari buccal dan

nasal cavity (pedas/astringen, panas rempah, dingin, menyengat, flavor logam, dan rasa gurih) (Meilgaard 1999).

Flavor pada pangan dapat dipelajari dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada pangan yang menghasilkan rasa dan bau serta interaksi yang terjadi antara komponen-komponen tersebut dengan alat indra kita. Senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa, yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu : asam, asin, manis, dan pahit. Komponen non volatil tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media bagi komponen volatil dan membantu menahan penguapan komponen volatil (Winarno 2002a).

Klasifikasi flavor berdasarkan legal status menurut Burdock (1991) adalah:

a. natural merupakan senyawa-senyawa yang diekstrak dari bahan-bahan yang terdapat di alam. Contohnya: vanillin, orange oil, dan celery oil.

b. natural identical merupakan senyawa-senyawa yang dapat diekstrak atau terdapat di alam,tetapi dalam prosesnya dibuat secara kimia. Contohnya: etil asetat dan lakton. Umumnya flavor yang dibuat dari bahan ini lebih murah dibandingkan dengan natural. Suatu bahan disebut natural identical jika merupakan produk sintetis kimiawi dan sedikitnya berjumlah 99 %.

c. artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dibuat melalui proses sintetis tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya: ethyl vanillin (strukturnya hampir sama dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami).

(20)

20

2.2. EVALUASI SENSORI

Instrumen atau alat dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk tertentu, namun tidak semua hasil ciptaan manusia dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengukur kualitas suatu produk (misalnya mutu sensori bahan pangan). Indera manusia telah diciptakan oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh sebab itu, penggunaan subjek manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori bahan pangan menjadi sangat penting.

Evaluasi sensori adalah disiplin ilmu yang membutuhkan standardisasi dan pengendalian yang tepat pada setiap tahap, mulai dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data, dan interpretasi hasil, sehingga dibutuhkan pencatatan dan dokumentasi yang cermat. Metode pengujian sensori melibatkan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang yang menilai dan memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam menilai kualitas sensori. Penggunaan panelis diharapkan dapat menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh indra manusia (Setyaningsih et al. 2010).

Evaluasi sensori menyediakan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu produk. Hasil evaluasi sensori terhadap produk pangan menjadi landasan penting dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan sifat sensori yang dimiliki suatu produk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi sensori, yaitu: jenis panelis yang digunakan, metode analisis yang digunakan, kasus yang dihadapi, tujuan pengujian, pertanyaan yang sesuai, pengurangan adanya bias, dan informasi yang ingin diperoleh dari pengujian tersebut (Carpenter et al. 2000).

Evaluasi sensori ada yang bersifat objektif dan subjektif. Analisis objektif digunakan untuk menilai kualitas suatu produk meliputi uji pembedaan dan uji deskripsi, sedangkan analisis subjektif digunakan untuk mengetahui kesukaan atau penerimaan konsumen. Uji pembedaan bertujuan mengetahui perbedaan di antara dua atau lebih contoh. Uji deskripsi bertujuan mendeskripsikan dan mengukur perbedaan yang ada atau yang ditemukan di antara suatu produk. Uji kesukaan atau penerimaan bertujuan mengidentifikasi tingkat kesukaan dan penerimaan suatu produk. Uji sensori secara umum terdiri atas tiga jenis yaitu uji pembedaan (difference or discrimination test), uji deskripsi, dan uji afektif (preference and acceptability test)(Meilgaard 1999).

Evaluasi sensori dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan mutu suatu produk pangan. Informasi tersebut diantaranya adalah spesifikasi produk pangan, deteksi bau dan flavorasing dalam bahan pangan, reformulasi produk, pemetaan produk (product mapping), dan penerimaan produk. Uji sensori memiliki beberapa tujuan, yaitu menemukan karakteristik sensori untuk memenuhi fitness for use , mengetahui kesukaan konsumen, mengetahui preferensi konsumen, mengetahui kepekaan konsumen, inspeksi visual, perancangan produk, dan kesesuaian dengan standar sensori (Muhandiri dan Kadarisman 2008).

Evaluasi sensori dapat bersifat subjektif jika jumlah panelis yang terlalu sedikit dan penilaian yang menimbulkan praanggapan terlebih dahulu terhadap suatu produk yang sedang diuji. Oleh sebab itu, teknik evaluasi sensori yang lebih formal, terstruktur, dan dengan metode yang baku perlu dikembangkan agar meminimalkan subjektivitas yang dilakukan panelis dalam menilai suatu bahan pangan (Meigaard et al. 1999).

(21)

21

2.3. UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK)

Uji afeksi adalah uji yang digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat sensori. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau ditolak), kesukaan (tingkat suka atau tidak suka), dan pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap produk (Meilgaard 1999). Preferensi atau pilihan pada uji afeksi tidak sama dengan penerimaan, bisa jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, akan tetapi kedua contoh tidak dapat diterima.

Metode yang digunakan dalam penyajian contoh pada uji afeksi ada tiga. yaitu: monadic,

sequential monadic, dan penyajian berpasangan (paired presentation). Pemyajian monadic adalah penyajian semua contoh dalam satu waktu. Penyajian sequential monadic adalah penyajian contoh dalam beberapa rangkaian untuk diujikan pada waktu yang sama. Penyajian berpasangan adalah penyajian sebanyak dua buah atau satu pasang pada satu waktu yang sama (Lawless dan Heymann 1999).

Tujuan utama uji afeksi adalah untuk mengetahui respon individu berupa penerimaan ataupun kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah ada, produk yang baru, ataupun karakteristik khusus dari produk yang diuji (Meilgaard 1999).

Uji afeksi menurut Setyaningsih et al. (2010) dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Uji afeksi kualitatif digunakan untuk mengukur respon subjektif dari sebuah contoh oleh konsumen sesuai karakteristik sensori produk melalui sebuah wawancara atau diskusi kelompok. Moderator atau pewawancara pada uji kualitatif akan berinteraksi secara langsung dengan konsumen (panelis), sehingga moderator atau pewawancara harus mengetahui cara atau metode investigasi, teknik untuk tampil netral, cara meringkas serta melaporkan secara jelas, dan memiliki keahlian menjaga kelompok diskusi agar tetap dinamis. Metode kualitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut: a. situasi untuk mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen yang tidak dapat diekspresikan

(contoh: Alasan seseorang membeli susu berkalsium tinggi padahal menu sehari-hari sudah cukup memenuhi kebutuhan kalsium). Metode ini berguna untuk mengidetifikasi kecenderungan atau tren perilaku konsumen dan produk yang digunakan.

b. situasi untuk memperkirakan respon awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk. Uji kualitatif memungkinkan konsumen untuk berdiskusi secara terbuka mengenai konsep atau prototipe produk ketika pembuat produk ingin mengetahui penerimaan konsumen terhadap konsepnya. Hasil yang diperoleh dapat membantu peneliti untuk memahami reaksi awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk, sehingga dimungkinkan untuk langsung dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada titik ini.

c. situasi untuk mengajarkan konsumen untuk mendeskripsikan atribut sensori baik itu konsep, prototipe, ataupun produk komersial. Konsumen mendiskusikan atribut produk secara terbuka menggunakan bahasa mereka sendiri pada uji kualitatif.

d. situasi untuk mengajarkan mengenai perilaku konsumen berkenaan dengan produk. Pembuat produk dapat mengetahui keputusan penggunaan produk oleh konsumen dan respon konsumen terhadap cara pemakaian produk.

Uji afeksi kuantitatif berguna untuk mengetahui respon konsumen dalam sebuah kelompok besar (50 sampai beberapa ratus orang) dengan pertanyaan mengenai penerimaan, kesukaan, atribut sensori, dan lain-lain (Carpenter et al. 2000). Metode afeksi kuantitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut:

(22)

22

b. situasi untuk mengetahui panerimaan atau kesukaan panelis terhadap karakteristik sensori produk seperti aroma, flavor, tekstur, penampilan, dan lain-lain. Karakter produk dipelajari agar diperoleh informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penerimaan atau kesukaan konsumen secara keseluruhan.

c. situasi untuk mengukur respon konsumen terhadap atribut sensori tertentu yang spesifik dari produk dengan menggunakan skala intensitas atau hedonik, sehingga menghasilkan data yang dapat menghubungkan antara rating hedonik dan analisis deskripsi.

Uji afeksi kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tugas utamanya, yaitu: uji kesukaan dan uji penerimaan. Tugas utama pada uji kesukaan adalah memilih. Pertanyaan yang mendasari pada uji kesukaan menghasilkan jawaban produk yang dipilih dan produk yang lebih disukai di antara produk yang ada. Tugas utama pada uji penerimaan adalah me-rating. Pertanyaan yang mendasari pada uji penerimaan menghasilkan jawaban seberapa besar kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap produk. Pertanyaan lain juga dapat ditanyakan pada uji penerimaan untuk mengetahui alasan konsumen menyukai atau menerima suatu produk (Meilgaard 1999).

Uji afeksi terdiri atas uji penerimaan (acceptance test) dan uji kesukaan (preference test). Uji penerimaan berhubungan dengan penilaian seseorang tentang suatu sifat atau kualitas suatu produk yang menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut. Panelis pada uji penerimaan mengemukakan tanggapan pribadi mengenai kesukaan terhadap sifat sensori atau kualitas yang dinilai dari suatu produk. Produk kerupuk yang gurih dan renyah dapat dijadikan contoh sebagai sifat-sifat yang disukai. Sebaliknya, produk daging yang hambar, terlalu asin, dan liat merupakan contoh dari sifat-sifat yang tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010).

Uji penerimaan bersifat lebih subjektif daripada uji pembedaan. Oleh karena itu, beberapa panelis yang memiliki kecenderungan ekstrim (sangat suka atau sangat tidak suka terhadap suatu produk) tidak dapat digunakan pada uji penerimaan. Uji penerimaan dapat dilakukan menggunakan panelis yang tidak terlatih. Contoh pembanding atau contoh baku tidak digunakan pada uji penerimaan. Panelis tidak boleh mengingat atau membandingkan dengan contoh yang diuji sebelumnya pada uji penerimaan. Tanggapan harus diberikan segera dan secara spontan, bahkan tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali meskipun kemudian timbul keraguan. Tanggapan kesukaan yang dihasilkan bersifat sangat pribadi, sehingga kesan seseorang tidak dapat digunakan sebagai petunjuk tentang penerimaan dari suatu produk (Lawless dan Heymann 1999).

Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui penerimaan suatu produk atau suatu sifat sensorik tertentu oleh konsumen. Oleh karena itu, tanggapan kesukaan harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Salah satu jenis uji penerimaan adalah uji kesukaan.

Uji kesukaan atau hedonik dilakukan untuk memilih satu produk di antara produk lain secara langsung. Uji kesukaan meminta panelis untuk harus memilih satu pilihan tingkat kesukaan. Penentuan seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk dapat diketahui dengan menggunakan uji kesukaan. Produk dibandingkan dengan produk lain yang lebih baik atau lebih disukai pada uji kesukaan. Pembandingan produk juga dapat dilakukan dengan produk yang sudah ada sebelumnya. Skala hedonik kemudian digunakan untuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala hedonik suka dapat meliputi: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan agak suka. Sebaliknya skala hedonik tidak suka dapat meliputi suka dan agak suka. Penilaian netral (bukan suka tetapi juga bukan tidak suka) juga terdapat pada skala hedonik (Carpenter et al. 2000). Skala pada uji hedonik dapat dilihat pada Tabel 1.

(23)

23

yang paling baik. Skor tertinggi menunjukkan bahwa produk tersebut lebih disukai dibandingkan dengan skor yang lebih rendah. Penggunaan skala 1-9 dapat menggambarkan secara lebih detil nilai kesukaan dari panelis pada uji hedonik (Lawless dan Heymann 1999).

Tabel 1. Skala pada uji hedonik

Skala 1-9 Skala 1-7

1 = Amat sangat tidak suka 2 = Sangat tidak suka 3 = Tidak suka 4 = Agak tidaksuka 5 = Biasa saja 6 = Agak suka 7 = Suka 8 = Sangat suka 9 = Amat sangat suka

1 = Sangat tidak suka 2 = Tidak ska 3 = Agak tidak suka 4 = Biasa saja 5 = Agak suka 6 = Suka 7 = Sangat suka

Penggunaan skala hedonik dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara sampel yang diuji, sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik komoditas yang sejenis atau produk yang sedang dalam tahap pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir. Data yang diperoleh dari hasil uji hedonik biasanya dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of variance) dan jika ada perbedaan digunakan uji lanjut seperti Duncan. Perlakuan terbaik dapat ditentukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) (Setyaningsih et al. 2010).

2.4. PANGAN FUNGSIONAL

Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan yang menarik, tetapi juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu, istilah pangan fungsional mulai dikenal oleh masyarakat.

(24)

24

Food and Nutrition Board di USA mengusulkan definisi pangan fungsional sebagai suatu produk pangan atau ingridien yang memberikan keuntungan kesehatan melebihi kandungan nutrisi tradisionalnya.

Pangan fungsional menurut konsensus pada The First International Conference on East West Perspective on Functional Food (1996) adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi konvensional yang terkandung di dalamnya. Pangan fungsional masih menjadi tren dalam perkembangan pangan dunia saat ini (Wijaya 2007). Pangan fungsional di dunia barat dipandang sebagai suatu revolusi, dicerminkan dengan perkembangan pangan fungsional yang sangat cepat dalam dunia industri pangan mereka saat ini. Pangan fungsional di dunia timur telah menjadi bagian dari kultur selama baerabad-abad. Komponen yang biasanya ditambahkan oleh produsen pangan fungsional di Amerika Serikat adalah vitamin, produsen pangan fungsional di Asia lebih suka menambahkan ekstrak tumbuhan alami, sedangkan masyarakat Eropa lebih fokus kepada bakteri asam laktat (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).

Definisi pangan fungsional menurut BPOM (2005) adalah pangan yang secara alamiah atau yang telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional adalah produk olahan pangan yang selain membawa komponen gizi, juga mengandung senyawa aktif yang berdampak positif pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu, penampilan fisik atau pada kondisi spiritual (state of mind) seseorang (Tejasari 2003). Meskipun demikian, pangan fungsional bukan berupa obat melainkan berupa makanan atau minuman. Pangan fungsional adalah jenis pangan atau produk pangan yang memiliki ciri-ciri fungsional sehingga berperan dalam perlindungan atau pencegahan, pengobatan terhadap penyakit, peningkatan kinerja fungsi tubuh optimal (seperti produksi kerja, belajar, fungsi intelek, dan reproduksi), dan memperlambat proses penuaan (Karyadi 2000). Hal tersebut sejalan dengan definisi pangan fungsional menurut Goldberg (1994) dan Hasler (1995), yaitu produk olahan pangan yang berfungsi dalam pencegahan atau penyembuhan penyakit untuk mencapai kesehatan tubuh optimal.

Pengertian pangan fungsional menurut Winarno dan Kartawidjajaputra (2007) adalah makanan kesehatan yang berfungsi memelihara kesehatan dan mungkin mencegah penyakit (preventif) bukan menyembuhkan (kuratif). Oleh sebab itu, pangan fungsional tidak perlu melewati pengujian ketat sebelum dipasarkan dan juga tidak diawasi secara ketat oleh pemerintah. Pangan fungsional yang berupa minuman hendaknya memperhatikan aspek sensori rasa, bau, dan warna sehingga dapat disukai oleh konsumen. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan, namun hanya boleh memuat pernyataan minuman ini diperkaya dengan atau mengandung suatu zat yang bermanfaat bagi kesehatan, harus jelas sasaran golongan konsumen penggunanya, dan tidak memuat peringatan yang terkait dengan kesehatan.

Pangan fungsional atau Foods for Spesified Health Use (FOSHU) menurut Departemen Kesehatan Jepang adalah pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan, dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah, serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan. Konsep pangan fungsional dikembangkan dengan tujuan khusus untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan pengurangan risiko terhadap penyakit.

Beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat internasional mengenai pangan fungsional,

(25)

25

1. nutraceutical adalah suatu istilah yang popular di AS, merupakan kombinasi nutrisional dan

pharmaceutical untuk mengelompokkan klasifikasi baru bagi pangan hasil pengolahan tertentu. Nutraceutical di beberapa negara lain dipandang sebagai pangan dalam bentuk kapsul, powder atau pil, namun nutraceutical di AS dipandang sebagai senyawa atau suatu komposisi yang berbentuk sebagai makanan yang memiliki fungsi fisiologis yang mampu memperbaiki kesehatan termasuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Jadi, nutraceutical dapat berbentuk pangan, suplemen pengolahan medical food, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara konsep pangan fungsional dan nutraceutical.

2. novel food adalah suatu produk pangan yang sebelumnya tidak dikonsumsisecara luas dan umum.

Novel food di negara Uni Eropa adalah pangan yang berasal dari ganggang atau algae, mikroba, dan jamur (fungi). Jadi, pangan fungsional tidak harus berarti novel food, misalnya puree blueberry dan sari prune dimasukkan ke dalam pangan fungsional tetapi bukan novel food. 3. designer foods adalah pangan yang secara alami mengandung fitokimia atau pangan yang

diperkaya dengan fitokimia, yang tidak mewakili senyawa gizi atau senyawa bioaktif. Designer foods dapat membantu menurunkan risiko penyakit kanker.

4. synbiotics adalah produk yang mengandung baik probiotik maupun prebiotik. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik menghasilkan suatu pengaruh yang sinergis yang dapat memperbaiki kesuburan pertumbuhan bakteri baik dalam flora usus.

5. medical foods termasuk kategori pangan khusus yang diberikan kepada pasien berdasarkan dignosa. Medical foods diberikan kepada pasien yang memerlukan zat gizi khusus yang tidak dapat dipenuhi oleh menu regular sehari-hari dan merupakan bagian dari pengobatan.

6. natural remedies dikelompokkan sebagai obat yang komponen aktifnya berasal dari alam. Produk tersebut harus diolah seminimal mungkin dan biasanya berasal dari sayuran, binatang ternak, atau kultur bakteri. Produk tersebut harus memiliki bukti ilmiah dan telah digunakan secara tradisional tetapi mungkin belum digunakan pada manusia.

Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan tidak hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh (Goldberg 1994). Pangan fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu karakteristik sensori, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi di samping mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Fungsi fisiologis yang diberikan oleh rnakanan fungsional diantaranya adalah mengatur daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, mencegah penuaan, dan mencegah penyakit yang berkaitan dengan makanan. Meskipun demikian, pangan fungsional bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Sampoerno dan Fardiaz 2001). Pangan fungsional secara sekilas hampir mirip dengan obat, karena mempunyai efek menyehatkan tubuh, tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Obat hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu saja (tidak dapat dikonsumsi setiap hari), sedangkan pangan fungsional dapat dikonsumsi setiap hari.

Suatu pangan dapat dikatakan sebagai pangan fungsional jika memenuhi syarat-syarat berikut (Ichikawa 1994):

1. pangan tersebut dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan;

2. pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan dan pemenuhan gizi yang berdasarkan data ilmiah;

3. jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi; 4. pangan tersebut aman dalam diet yang seimbang;

5. pangan tersebut memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas, serta sifat kuantitatif dan kualitatifnya di dalam bahan pangan dapat ditentukan;

(26)

26

7. pangan tersebut dikonsumsi dengan cara yang wajar;

8. pangan tersebut tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk; 9. pangan tersebut berasal dari bahan-bahan alami.

Pangan fungsional juga hendaknya memberikan fungsi tertentu ketika dicerna dan memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, misalnya: memperkuat pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, memulihkan kondisi tubuh setelah sakit, memperlambat proses penuaan, dan lain-lain.

Sifat fungsional pangan ditimbulkan oleh adanya zat aktif pangan yang termasuk zat gizi, maupun zat non gizi dan memiliki karakteristik tergantung pada kelompok senyawanya (Tejasari 2003). Zat aktif pada pangan yang berasal dari tumbuhan disebut senyawa fitokimia. Senyawa fitokimia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui memiliki fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, protease inhibitor, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam teh hijau, sayuran, kacang-kacangan, tanaman rempah, dan obat (Tejasari 2003 dan Winarti & Nurdjanah 2005). Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional jika karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.

Pangan fungsional dirancang sebagai pangan yang secara efektif mampu mereduksi jumlah penyakit-penyakit yang erat kaitannya dengan gaya hidup baru. Sifat fungsional fitokimia yang menjadi andalan pangan fungsional dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007):

1. antioksidan berfungsi memodifikasi kerusakan oksidatif sehingga dapat menjadi pertahanan tubuh terhadap stress oksidatif;

2. antimutagen dan antikarsinogen berfungsi mencegah timbulnya kanker; 3. antimikroba dan antivirus berfungsi mencegah timbulnya penyakit infeksi;

4. peningkatan fungsi saluran pencernaan misalnya serat pangan, probiotics, prebiotics; 5. immunomodulator berfungsi menstimulir fungsi imunitas tubuh;

6. anti inflammantory agents berfungsi mencegah timbulnya radang;

7. cerebroactive atau neuroregulator berfungsi memperbaiki kondisi psikologis dan fungsi susunan syaraf;

8. antihypertensive berfungsi mencegah tekanan darah tinggi;

9. hypocholesteromic agents berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam plasma darah; 10. dimiished allergenicity berfungsi menghilangkan alergenitas;

11. antidiabetogenic berfungsi mencegah timbulnya diabetes; 12. prevention of osteoporosis berfungsi mencegah osteoporosis.

Penelitian di bidang pangan yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penelitian tentang pangan fungsional. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian tentang aktivitas dari suatu bahan atau ingridien, pencarian komponen bioaktif (aktivitas antioksidan merupakan topik yang banyak diminati), teknologi untuk penyertaan komponen aktif dalam produk pangan (agar diperoleh dosis yang efektif), rekayasa bahan baku (sebagai upaya pengkayaan kandungan nutrisi dan komponen bioaktif pada tanaman), dan pengembangan pangan fungsional dengan fungsinya terhadap performa dan “mood” (Wijaya 2007).

(27)

27

menguntungkan pemerintah karena dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk menurunkan kesehatan rakyatnya. Pangan fungsional memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada industri pangan untuk secara inovatif memformulasi produk tersebut dengan memperhatikan penampilan produk, citarasa, dan klaim kesehatan yang dibuktikan secara ilmiah (Muchtadi dan Wijaya 1996).

Tren pengembangan produk pangan fungsional menurut Wijaya (2007) di antaranya adalah produk-produk konfeksioneri, produk-produk susu, produk siap saji, snack, minuman energi, minuman oksigen, minuman yang diperkaya dengan serat, minuman rasa buah, dan minuman berbasis herbal. Pengembangan produk pangan tersebut memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah penelitian yang terpadu dan komunikasi yang efektif kepada konsumen. Produk-produk tersebut tidak akan memberikan keunggulan dan keuntungan bagi kesehatan jika tidak secara efektif terkomunikasikan kepada konsumen. Informasi menjadi sangat penting agar hasil-hasil penelitian ilmiah pangan fungsional dapat dipahami dengan jelas, seimbang, tidak salah persepsi, dan mencegah isu yang menyesatkan.

Pangan fungsional memberikan peluang manfaat di satu sisi dan peluang mengelabui di sisi lain (Wijaya dan Astawan 2001). Rambu-rambu yang jelas untuk mengatur klaim atas khasiat produk pangan diperlukan agar dapat mengatasi hal tersebut. Jepang telah meregulasi secara spesifik untuk mengatur proses penyetujuan suatu produk sebagai pangan fungsional (Hasler 1998). Regulasi pangan Eropa tentang peraturan pelabelan pangan (79/112/EEC) secara spesifik melarang pencantuman atribut yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, perlakuan pada penyakit manusia atau referensi apapun yang terkait. Uni Eropa di sisi lain mengembangkan dan menetapkan pendekatan ilmiah pada pembuktian yang menunjang produk pangan fungsional menjadi dua tipe klaim, yaitu: tipe A (klaim “enhanced function “) dan tipe B (klaim”reduction of disease risk “). Amerika Serikat telah memperbolehkan klaim”reduction of disease risk “ pada produk-produk pangan tertentu sejak tahun 1993. Klaim kesehatan tersebut berada di bawah penanganan FDA (Food and Drug Administration) dengan didasarkan pada totalitas publisitas bukti-bukti ilmiah yang tersedia dan adanya persetujuan nyata di antara para ahli yang berkompeten terhadap klaim dari produk yang dipasarkan. Klaim pada label yang digunakan pada pangan fungsional dapat berupa klaim struktur & fungsi dan klaim mengurangi risiko penyakit. Codex Alimentarius pada tahun 1999 mengajukan dua tipe klaim kesehatan yang serupa dengan di Uni Eropa, yaitu tipeA dan B pada rancangan rekomendasi untuk klaim kesehatan. Cina dan Filipina memperbolehkan klaim kesehatan pada produk pangan selama ditunjang dengan bukti-bukti yang cukup. Negara lainnya (termasuk Singapura dan Malaysia) saat ini belum membolehkan klaim kesehatan dari suatunproduk pangan. Meskipun demikian, pemasaran nutraceutical dan pangan fungsional secara umum belum terregulasi dengan baik (Baghchi et al. 2004).

Wijaya (2007) mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap pangan fungsional di antaranya adalah usia, tingkat pendidikan, manfaat kesehatan, rasa, kebutuhan, budaya, dan keunggulan yang diklaim berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah. Hal yang perlu diperhatikan agar pangan fungsional dapat diterima oleh konsuman adalah citarasa. Citarasa yang kurang baik tetap tidak bisa diterima meskipun pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan.

(28)

28

Jamu telah dikenal oleh nenek moyang kita secara empiris sebagai minuman yang berkhasiat untuk kesehatan, kebugaran, dan identik dengan obat yang mujarab seperti: wedang (Jawa: minuman) jahe, wedang secang, sekoteng, serbat, beras kencur, bandrek memiliki khasiat mencegah masuk angin, demam, dan menghangatkan badan. Hasil penelitian terakhir menunjukkan ekstrak jahe segar dapat menekan proliferasi sel kanker leukemia. Selain itu juga, bir pletok yang terbuat dari bermacam-macam rimpang dan rempah alami berkhasiat meningkatkan stamina.

Masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap kemujaraban penyembuhan jamu, namun tidak banyak bukti ilmiah yang dapat mendukungnya. Masyarakat Indonesia diperkirakan sekitar 70-80% mengonsumsi segelas jamu setiap hari. Empat fungsi dasar yang terdapat dalam jamu, yaitu: menyembuhkan penyakit, mencegah terjadinya serangan penyakit dan mempertahankan kondisi kesehatan tubuh dengan cara meningkatkan sirkulasi darah & metabolisme tubuh, menyembuhkan sakit kepala dan sakit sejenisnya dengan cara mengurangi infeksi dan membantu proses pencernaan, dan mengoreksi terjadinya malfungsi organ tubuh (Winarno dan Agustinah 2007).

Pangan tradisional banyak yang memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional tetapi informasinya masih terbatas, sehingga diperlukan adanya kajian khusus dan inventori pangan khas nusantara yang tergolong sebagai pangan fungsional. Selain itu juga, pemberian informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar terhadap pangan fungsional (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).

Ketentuan pokok mengenai pangan fungsional yang terbaru telah dikeluarkan oleh BPPOM RI no. HK 00.05.52.0685, sedangkan mengenai klaim pangan fungsional diatur dalam lampirannya. Pangan fungsional tidak harus berupa produk yang diolah secara modern dan mahal, tetapi juga dapat berupa produk yang diolah secara sederhana, bahkan bisa disiapkan sendiri di rumah. Jadi, pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya peran pangan dalam menjaga kesehatan dan kebugaran yang disertai dengan data-data ilmiah yang ada merupakan dasar untuk mengetahui pangan fungsional.

2.5. MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING

Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman hasil formulasi dari beberapa ekstrak cair rempah dan herbal yang didasarkan pada aktivitas antioksidan, mutu citarasa, dan warna. Ingridien minuman yang paling dominan terdapat dalam minuman ini adalah ekstrak kumis kucing. Ekstrak rempah yang dominan setelah ekstrak kumis kucing secara berturut-turut adalah ekstrak kayu secang, jahe gajah, dan jeruk purut. Ekstrak temulawak merupakan ingridien dalam minuman yang ditambahkan dalam jumlah sedikit. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam minuman ini adalah sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC (karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium sorbat atau natrium benzoat sebagai pengawet (Wijaya 2007 dan Kordial 2009).

Penelitian minuman fungsional berbasis kumis kucing diawali dengan formulasi minuman yang dilakukan Herold (2007). Penelitian tersebut menghasilkan formula optimal dengan aktivitas antioksidan sebesar 621.78 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Activity), skor kesukaan panelis terhadap citarasa minuman berkisar antara netral dan suka (skala hedonik 3.32 dari skala 5.00), dan daya simpan 9 hari pada suhu ruang.

(29)

29

selama 3 bulan. Minuman pada minggu ke-0 memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.7 ppm AEAC dan pada minggu ke-12 sebesar 359 ppm AEAC. Skor kesukaan terhadap citarasa minuman berkisar antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Karakteristik lain dari minuman fungsional berbasis kumis kucing ini adalah nilai pH 3.82, TPT 160 Brix, derajat warna L=

± 25, a= 1.1, b= 5.5, 0

Hue= 81.

Pengujian aktivitas anti-hiperglikemik minuman secara in vitro (inhibisi enzim α-glukosidase

dan α-amilase) dan ex vivo (peningkatan penyerapan glukosa oleh sel diagrafma mencit) selanjutnya

dilakukan oleh Diana (2010). Minuman ini mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml. Minuman ini juga dapat meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 g glukosa/g sel. Minuman fungsional berbasis kumis kucing lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa (menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi) dibandingkan dengan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase (mencegah peningkatan kadar glukosa darah).

2.5.1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq)

Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) termasuk ke dalam divisi

Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Dicotyledoneae, keluarga Lamiaceae, genus

Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Mahendra (2005) menjelaskan bahwa daun kumis kucing mengandung komponen-komponen bioaktif seperti senyawa sinensetin, flavon- flavon, 2 flavonol glikosida, zat samak, saponin, garam kalium, asarn-asarn organik, tanin, dan minyak atsiri. Tejasari (2003) menyebutkan bahwa zat aktif yang terdapat pada ekstrak daun kumis kucing meliputi: flavonoid, triterpene, dan alkaloid. Ekstrak daun kumis kucing dapat meningkatkan fungsi imun, stimulasi sel T, makrofag, antimutagenik, anti inflamasi, peluruh urin (diuretik), dan penghancur batu kemih.

2.5.2. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)

Kayu secang banyak digunakan untuk memberi warna merah pada minuman. Pewarna alami dapat memberikan fungsi tambahan sebagai perisa, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya. Pewarna alami umumnya rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi, sehingga sebaiknya disimpan pada 4-8 oC untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen (Wijaya dan Mulyono 2009).

Ekstrak kayu secang secara empiris dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, penawar racun, sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent

(Winarti dan Nurdjanah 2005). Kayu secang juga berkhasiat mengobati demam berdarah dan katarak mata.

(30)

30

Brazilin memiliki aktivitas sebagai antioksidatif, antibakteri, dan bakteriostatik. Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Oleh karena itu, brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia dan pelindung terhadap radikal bebas pada sel (Winarti dan Nurdjanah 2005).

2.5.3. Jahe (Zingiber officinale Roscoe)

Jahe (Zingiber officinaIe Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba tahunan dengan daun berpasang-pasangan dua-dua berbentuk pedang, rirnpang seperti tanduk, dan beraroma. Jahe secara taksonomi termasuk dalam divisi: Spermathophyta, kelas: Angiospermae, subkelas:

Monocotyledoneae, ordo: Musales, famili: Zingiberaceae (Tejasari 2003).

Hasil penelitian para ahli menunjukkan jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai obat (Ahmad 2008). Tejasari (2003) menyatakan bahwa jahe mengandung zat aktif senyawa fenol. Sifat fungsional yang dimiliki jahe adalah antioksidatif (menurunkan radikal bebas limfosit, kadar malonaldehid), imunostimulasi sel B dan sel T, meningkatkan aktivitas sitolitik sel NK manusia, antimikroba, antiinflamatori, dan antitusif.

Jahe mengandung beberapa komponen bioaktif diantaranya adalah gingerols, shogaols, diarylheptanoids, dan terpenoids (Kikuzaki 2000). Komponen bioaktif jahe diketahui memiliki aktivitas antioksidan, aktivitas antimikroba, aktivitas antihepatotoxic, menghambat pembentukan prostaglandin, gastroprotective, analgesic, antipyretic, dan antitumor promoting activity.

Jahe digunakan sebagai penegas rasa dan aroma pada proses pembuatan bahan makanan karena mengandung flavanoida, polifenol, dan minyak atsiri (Saparinto dan Hidayanti 2006). Senyawa-senyawa tersebut membuat aroma jahe kuat, dengan rasa pedas menyegarkan. Jahe juga bermanfaat untuk obat masuk angin, mual, dan encok serta pengusir hawa dingin.

Jahe dapat dikelompokkan berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpangnya menjadi tiga jenis, yaitu jahe putih besar/gajah (Zingiber officinale var. Roscoe), jahe putih kecil/emprit (Zingiber officinalevar. Amarum), dan jahe merah/sunti (Zingiber officinale var. Rubrum). Rimpang jahe dapat digunakan sebagai obat batuk, mengatasi influenza, demam, menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan(sakit perut).

Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan aktivitas antioksidan dari ketiga jenis jahe yang diukur dengan metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH. Jahe merah memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara ketiga jenis jahe lainnya. Aktivitas antioksidan jahe merah yaitu sebesar 890.11 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan jahe merah (890.11 ppm AEAC) dan jahe gajah (858.44 ppm AEAC) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan ekstrak jahe emprit (806.78 ppm AEAC), sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %.

Hasanah et al. (2004) menyatakan bahwa jahe gajah memiliki karakter citarasa (rasa pedas dan aroma jahe) yang kurang tajam dibandingkan jahe emprit dan jahe merah. Hal tersebut dikarenakan kandungan minyak atsiri jahe gajah, yaitu sebesar 0.82 – 1.68 persen dari bobot kering. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2.58 – 3.72 persen dari bobot kering. Kandungan minyak atsiri jahe emprit, yaitu sebesar 1.5 – 3.3 persen dari bobot kering (Ahmad 2008).

(31)

31

Obat fitofarmaka yang menggunakan bahan baku jahe baru satu macam yaitu zinax. Obat tersebut merupakan penemuan ahli biokimia Denmark, Dr. Morten Weidner (1991) dengan nama HMP 33 (Hydroxy-methoxy-Phenyl-Compound). HMP 33 merupakan hasil isolasi ekstrak jahe dari unsur gingerol yang telah dihilangkan shogaolnya. HMP 33 ini digunakan sebagai bahan aktif utama zinax yang berkhasiat mengatasi keluhan rasa sakit pada tulang, otot, dan sendi. Setiap kapsul mengandung 255 mg ekstrak HMP 33 yang setara dengan 6600 mg ekstrak bubuk jahe (Anonim 1997).

2.5.4. Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.)

Klasifikasi jeruk purut menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Dialypetales

Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus hystrix D.C (jeruk purut)

Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa tanaman jeruk purut berawakan pohon, tingginya mencapai 12 m, memiliki batang bengkok-bengkok dan duri-duri pendek tetapi kaku. Daunnya berbentuk bundar-telur-lebar sampai lonjong-bundar-telur, berukuran (3-15) cm x (2-6) cm, bunganya kecil-kecil, harum, dan berwarna putih. Buahnya bertipe buah buni, berbentuk bulat telur sampai menjorong, berdiameter 5-7 cm, berwarna hijau sampai kuning, sangat tidak rata dan tak beraturan, memiliki 10-12 segmen. Buahnya kecil, biasanya tidak pernah berdiameter lebih dari 2 cm, membulat dengan tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar, kulit buah tebal. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji atau dengan pencangkokan ( Anonim 2010b).

Hariana (2008) menyatakan bahwa jeruk purut memiliki rasa agak asin (asam), kelat, dan bersifat simultan serta penyegar. Beberapa bahan kimia yang terdapat pada jeruk purut diantaranya daun mengandung minyak atsiri 1-1,5 %, steroid triterpenoid, dan tannin 1.8 %. Kulit buah mengandung saponin, tannin 1 %,steroid triterpenoid, dan minyak atsiri dengan kandungan sitrat 2-2.5 %. Minyak essensial dari jeruk purut dapat digunakan untuk aroma terapi, nutraceutical, dan pemeliharaan kesehatan tubuh (Azlim et al. 2010).

Efek farmakologis jeruk purut diantaranya adalah anti-spasmodik dan anti-septik. Jeruk purut berkhasiat mengobati penyakit influenza. Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa ekstrak jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan penyedap dan dapat diolah menjadi minuman. Jeruk purut merupakan salah satu kerabat dekat jeruk nipis dari famili Rutaceae (Rukmana 2000).

Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwama hijau tetapi ketika masak buahnya akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya benwarna hijau kekuningan, rasanya sangat masarn dan kadang pahit. Kulit buahnya dapat diparut dan dicampur air untuk bahan pencuci rambut, dapat digunakan dalam masakan, dan pembuatan kue serta manisan.

Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang duri antara 0,2-1 cm. Letak daun berpencar dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul,

Gambar

Tabel 2.  Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 g berat dapat dimakan
Tabel 3. Spesifikasi Flavor Enhancer GMP dan IMP  (Anonim 2010c)
Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian
Gambar 3. Grafik aktivitas antioksidan minuman standar yang dilakukan pada penelitian pendahuluan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Frekuensi Pemberiau Air dan Pemupukan Kalium terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kumis Kucing (Orthosiplzon aris- tatus Miq). @i bawah bimbingan Didy Sopandie

Baik periode pertama maupun periode kedua menunjukan tanaman kumis kucing yang mendapat perlakuan pemupukan N, P, dan K memiliki jumlah cabang yang lebih banyak dibandingkan tanaman

Erythrina (2005) menyebutkan bahwa pemupukan nitrogen pada tanaman kumis kucing dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi, serta pemberian pupuk nitrogen yang

PENGARUH KONSENTRASI EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (Ortosiphon aristatus Miq) TERHADAP JUMLAH LALAT BUAH (Drosophila melanogaster) YANG HINGGAP PADA BUAH PEPAYAA.

Tanaman kumis kucing pada jarak tanam 30 cm x 30 cm dengan dosis pupuk kandang ayam 15 t ha-1 memiliki tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan jumlah cabang lebih tinggi dari

Untuk mengetahui uji daya hambat ekstrak etanol daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada infeksi saluran kemih.. 1.4.2

Dari analisis data tersebut diperoleh hasil Fhitung lebih besar dari Ftabel yaitu sebesar 38,744>2,87, yang artinya perlakuan pemberian ekstrak daun kumis kucing

SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan tanaman kumis kucing baik tinggi tanaman, luas daun, bobot kering daun, batang, dan