KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM
WARIS ADAT PADA MASYARAKAT ACEH
(Studi Kabupaten Aceh Barat)
TESIS
Oleh
RAHMAT JHOWANDA
087011012/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan pada
Oleh
RAHMAT JHOWANDA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
WARIS ADAT PADA MASYARAKAT ACEH
(Studi Kabupaten Aceh Barat)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
087011012/MKn
Judul Tesis : KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM
Nama Mahasiswa :
Menyetujui
Kom ing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MH, PhD)
WARIS ADAT PADA MASYARAKAT ACEH (STUDI KABUPATEN ACEH BARAT)
Rahmat Jhowanda
Nomor Pokok : 087011012
n
Program Studi : Kenotariata
isi Pembimb
Ketua
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji pada
ENGUJI TESIS
. Hasballah Thaib, MH, PhD
n
S, CN Tanggal : 11 Januari 2010
PANITIA P
Ketua : Prof. H. M
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MK
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M
ABSTRAK
Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status (kedudukan) anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Namun
gkat, Waris adat
menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah/nasab/keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, maka tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya. Lain halnya dengan adat istiadat di Indonesia, masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Tidak semua anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, dan ada pula beberapa daerah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung, dengan demikian berhak atas harta orang tua angkatnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga bahan-bahan perpustakaan, juga informan yang terdiri dari 1 (Satu) orang Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, 1 (Satu) orang Panitera Penganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, 1 (Satu) orang ulama, 1 (Satu) orang Tokoh Adat dan 1 (Satu) orang anak angkat. Penetuan sample ditentukan secara purposif. Alat pengumpulan data primer adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif baik deduktif maupun induktif dan tetap mengacu pada yuridis empiris
Dari hasil penelitian, kedudukan anak angkat dalam hukum waris masyarakat adat di Aceh Barat, sama seperti dalam hukum Islam. Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Selain berhak untuk dipenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari dan memperoleh pendidikan yang layak, anak angkat juga berhak memperoleh hibah sebanyak 1/3 bagian dari harta orang tua angkatnya. Motif yang paling menonjol adalah karena rasa belas kasihan, Karena tidak mempunyai anak, dan sebagai tanggungan dalam daftar gaji. Diharapkan peran Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan segenap jajarannya untuk dapat lebih mensosialisasikan lagi keberadaan wasiat wajibah yang terdapat dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam guna memberikan pemahaman betapa pentingnya melindungi kepentingan anak angkat dalam hal kewarisan, yang masih dirasakan awam dalam masyarakat. Untuk kepentingan hukum, kepastian melalui pencatatan dan identitas anak angkat mutlak diperlukan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan anak angkat itu sendiri di masa yang akan datang. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga yang menerbitkan ketetapan pengangkatan anak harus berdasarkan pada data yang akurat dan identitas yang pasti.
ABSTRACT
One of the legal consequenc ption is related to status (position) of the adopted child as a heir of the adopting. However, in Islamic law, theadopted
re vailing statutory rulesand also the library meterials, cludi
on has no
eywords : Law of Child Adoption, Status of Adopted Child, Custom Heirs. es of child-ado
child cannot be accepted to be basic and reason of having a bequest, because of thefundamental principle of Islamic bequest Law is fraternal kinship. In other words, that the occurrence of adoption according to Islamic bequest Law has no legal effect on the status of the adopted child, namely, if he/she is not own-child, he/ she has no receive bequest of his/her adopting parents. On the contrarily, wit the traditional custom of Indonesia, each has typical characteristics. No all of the adopted children to have bequest of their adopting parents and some regions considered to adopted child to be own one, and hence, he/she reserve a right to receive the bequest of his/her parents in law.
The present study is a descriptive analytic survey using a juridical empiric method to analyze the p
in ng the informants involving one vice chief of Meulaboh Syar’iah Court of Law, 1 (one) religious figure, 1 (one) traditional figure and 1 (one) adopted child. The sampling was taken purposively. The collection instruments of primery data included questionnaire and interview. Where as the secondary data was collected by a library study. The data analysis was conducted by using qualitative approaches either deductive or inductive and remained to refers to the juridical empiric one.
Based on the findings the status or position of the adopted child in the law of bequest in Western Aceh was similar to that of Islamic Law. The adopti
legal effect on the fraternal kinship, custodial relationship and bequest relationship with the adopting parents. The child remained to be heir of his/her own parents and the child remained to use his/her ownfather’s name.In spite of reserving a right to have daily need satisfaction and receive a proper study, the adopted child also reserves a right of property of his/her parents. The most outstanding motif is due to the sense of compassion as a consequence of having no a child and as adependent of enroll. It is expected that the role of Religious Court/Syar’iyah Court of Law to make in coordination with the related institutions and all the staff to more sociallize the presence of wajibah last testament as stipulated in the article 209 of Islamic Legal Compilation to give an apprecciation of how the importance of protecting the need of the adopted child in heirs thet still considered to be lay in society. For necessary of law, the certainty through registry and identity of the adopted child is a mandatory. It is relatedto the presence of the adopted child in future. The Religious Court / Syar’iyah Court of law as an institution of issuing the decree of adoption should be based on the accurate data end certain identity.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S T yang telah memberikan Rahmat dan
penuhi untuk
enyel
h
umatera
Prof. Dr. Runrung, SH, MHum selaku Deka Fakultas Hukum
in, SH, M.S, CN, sebagai ketua program
studi Magister Kenotariatan, untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan padaFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. W
Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus di
m esaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam
Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh ( Studi Kabupaten Aceh Barat )”
Dalam penyelesaian tesis ini dengan segala kerendahan hati, perkenankanla
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H,Sp.A (K) Universitas S
Utara, selaku Rektor Universitas Sumatra Utara, atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan kepada peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra
Utara.
2. Bapak
Universitas Sumatra Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku pembimbing pertama, yang
telah memberikan perhatian dengan penuh ketelitian, mendorong serta membekali
penulis dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.
di.
n studi dan pada
emberikan dukungan moril
5. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, Mhum, selaku pembimbing kedua, yang telah
memberikan perhatian dengan penuh ketelitian, memberikan inspirasi penulisan
dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian stu
6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku pembimbing ketiga, yang telah
memberikan perhatian dengan penuh semangat dan ketelitian, serta membekali
penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.
7. Ibu Dr, T, Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.HUM, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah membimbing dan membina Penulis dalam penyelesaia
kesempatan ini dipercayakan menjadi Dosen Penguji.
8. Terimakasih yang tak terhingga kepada Ibunda Marnawati dan Ayahanda
Darianus Ibnu Hajar, SPd yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan
dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan dalam m
dan finasialnya kepada Ananda, serta doa restunya sehingga Ananda dapat
melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S-2) Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Adik-Adikku Satria Firmana, SE dan Ade Marvira Putri, untuk doa dan
Strata Dua (S-2) Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
10.Semua teman-teman di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Khususnya kelas Reguler Khusus angkatan 2008
Medan, Januari 2010
Penulis
Rahmat Jhowanda
yang selalu memberikan semangat, inspirasi dan mengingatkan dikala peneliti
lupa dalam rangka menyelesaikan Studi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : RAHMAT JHOWANDA
Tempat Tanggal Lahir : Meulaboh, 07 Januari 1983
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Darianus Ibnu Hajar, Spd
Nama Ibu : Marnawati
III. PEKERJAAN
Ayah : Pegawai Negeri Sipil
Ibu : Guru Sekolah Dasar
IV. PENDIDIKAN
1. SD : SD Negeri 2 Meulaboh
2. SMP : SMP Negeri 1 Meulaboh
3. SMU : SMU Negeri 1 Meulaboh
DAFTAR ISI
Halaman
B. Perumusan Masalah………. 8
ASTRAK ……….... i
ABSTRACT ……… ii
KATA PENGANTAR ………. iii
RIWAYAT HIDUP ……… vi
DAFTAR ISI ………... vii
DAFTAR ISTILAH ……….. ix
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang ……… 1
C. Tujuan Penelitian ……… 8
D. Manfaat Penelitian ………. 9
E. Keaslian Penelitian ……… 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi……… . 10
1. Kerangka Teori………... 10
2. Konsepsi ……… 26
G. Metode Penelitian ……….. 27
1. Spesifikasi Penelitian ………. 27
2. Metode Pendekatan ……… 28
3. Sumber Data………..……… 28
4. Populasi dan Sampel. ……… 29
5. Teknik Pengumpulan Data………. 30
7. Lokasi Penelitian………. 31
8. Analisis Data………... 31
BAB II
A. Prosedur Pengangkatan Anak di Aceh ……….………….. 33
BAB III H U
ORANG TUA KANDUNG PADA MASYARAKAT
ak…………. 77
Masyarakat Aceh Terhadap Pengangkatan
AB IV HA
WARIS ADAT PADA MASYARAKAT ACEH
DI KABUPATEN ACEH BARAT ……… 98
n Aceh
BAB V
. Kesimpulan ……….. 114
DAFT
ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT ACEH………… 33
B. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Hukum Nasional
Indonesia ……… 47
UBUNGAN H KUM ANTARA ANAK ANGKAT DAN
ACEHDIKABUPATENACEHBARAT………… ………... 77
A. Pandangan Ulama Terhadap Pengangkatan An
B. Hukum Adat
Anak ………. 88
B K MEWARIS ANAK ANGKAT DALAM HUKUM
A. Hak yang Diperoleh Anak Angkat Di Kabupate
Barat……… 98
B. Kewarisan Anak Angkat Dalam Kompilasi Hukum
Islam ………. 102
KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 114
A
B. Saran ……….. 115
DAFTAR ISTILAH
Aneuk Geutung, Aneuk Seubot, Aneuk Ubat : Sebutan masyarakat adat Aceh
untuk anak angkat
Aneuk Keu Ayeum Mata : Anak sebagai hiasan mata dan
penghibur orang tua
Aqli : Pendekatan dengan
mengunakan akal
Baitul Maal : Kas Perbendaharaan Negara
Clan : Keturunan / Hubungan keluarga
Dayah : Sebutan Pesantren pada
Masyarakat Aceh
Gampong : Kampung / Desa
Hak Raheung : Hak berupa uang karena
Mendengar dan
mempersaksikan acara
pembahagian warisan dalam
suatu keluarga
Imum Mukim : Pimpinan adat yang
Membawahi Beberapa Desa
dan berkedudukan langsung
Imum Meunasah :
untuk
ma
Keuchik/Geuchik :
Naqli :
salam
Nash : ur’an yang bermakna
Peraturan Daerah
ri Seorang yang dipilih oleh
masyarakat desa
melaksanakan fungsi
memimpin kegiatan aga
Kepala Desa
Pendekatan dengan cara
tradisional
Nasab : Hubungan darah / Garis
keturunan
Mahkamah Syar’iyah : Pengadilan Agama di Nanggroe
Aceh Darus
Mahram : Terlarang / Diharamkan untuk
dinikahi
Meunasah : Mushalla atau Surau
Ayat Al Q
aturan
Qanun : Peraturan yang setingkat
dengan
Silapeh Ghafan : Pemberian bagian harta da
Ayah angkat untuk Anak
angkat berupa hibah pada
Tuha Peut : 4
bagai
Teungku :
Sebutan Tokoh adat yang berjumlah
orang, berfungsi se
penasehat dan pengontrol
kepemimpinan Desa
Orang yang mengerti ilmu
Agama dan biasanya
ABSTRAK
Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status (kedudukan) anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Namun
gkat, Waris adat
menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah/nasab/keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, maka tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya. Lain halnya dengan adat istiadat di Indonesia, masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Tidak semua anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, dan ada pula beberapa daerah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung, dengan demikian berhak atas harta orang tua angkatnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga bahan-bahan perpustakaan, juga informan yang terdiri dari 1 (Satu) orang Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, 1 (Satu) orang Panitera Penganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, 1 (Satu) orang ulama, 1 (Satu) orang Tokoh Adat dan 1 (Satu) orang anak angkat. Penetuan sample ditentukan secara purposif. Alat pengumpulan data primer adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif baik deduktif maupun induktif dan tetap mengacu pada yuridis empiris
Dari hasil penelitian, kedudukan anak angkat dalam hukum waris masyarakat adat di Aceh Barat, sama seperti dalam hukum Islam. Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Selain berhak untuk dipenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari dan memperoleh pendidikan yang layak, anak angkat juga berhak memperoleh hibah sebanyak 1/3 bagian dari harta orang tua angkatnya. Motif yang paling menonjol adalah karena rasa belas kasihan, Karena tidak mempunyai anak, dan sebagai tanggungan dalam daftar gaji. Diharapkan peran Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan segenap jajarannya untuk dapat lebih mensosialisasikan lagi keberadaan wasiat wajibah yang terdapat dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam guna memberikan pemahaman betapa pentingnya melindungi kepentingan anak angkat dalam hal kewarisan, yang masih dirasakan awam dalam masyarakat. Untuk kepentingan hukum, kepastian melalui pencatatan dan identitas anak angkat mutlak diperlukan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan anak angkat itu sendiri di masa yang akan datang. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga yang menerbitkan ketetapan pengangkatan anak harus berdasarkan pada data yang akurat dan identitas yang pasti.
ABSTRACT
One of the legal consequenc ption is related to status (position) of the adopted child as a heir of the adopting. However, in Islamic law, theadopted
re vailing statutory rulesand also the library meterials, cludi
on has no
eywords : Law of Child Adoption, Status of Adopted Child, Custom Heirs. es of child-ado
child cannot be accepted to be basic and reason of having a bequest, because of thefundamental principle of Islamic bequest Law is fraternal kinship. In other words, that the occurrence of adoption according to Islamic bequest Law has no legal effect on the status of the adopted child, namely, if he/she is not own-child, he/ she has no receive bequest of his/her adopting parents. On the contrarily, wit the traditional custom of Indonesia, each has typical characteristics. No all of the adopted children to have bequest of their adopting parents and some regions considered to adopted child to be own one, and hence, he/she reserve a right to receive the bequest of his/her parents in law.
The present study is a descriptive analytic survey using a juridical empiric method to analyze the p
in ng the informants involving one vice chief of Meulaboh Syar’iah Court of Law, 1 (one) religious figure, 1 (one) traditional figure and 1 (one) adopted child. The sampling was taken purposively. The collection instruments of primery data included questionnaire and interview. Where as the secondary data was collected by a library study. The data analysis was conducted by using qualitative approaches either deductive or inductive and remained to refers to the juridical empiric one.
Based on the findings the status or position of the adopted child in the law of bequest in Western Aceh was similar to that of Islamic Law. The adopti
legal effect on the fraternal kinship, custodial relationship and bequest relationship with the adopting parents. The child remained to be heir of his/her own parents and the child remained to use his/her ownfather’s name.In spite of reserving a right to have daily need satisfaction and receive a proper study, the adopted child also reserves a right of property of his/her parents. The most outstanding motif is due to the sense of compassion as a consequence of having no a child and as adependent of enroll. It is expected that the role of Religious Court/Syar’iyah Court of Law to make in coordination with the related institutions and all the staff to more sociallize the presence of wajibah last testament as stipulated in the article 209 of Islamic Legal Compilation to give an apprecciation of how the importance of protecting the need of the adopted child in heirs thet still considered to be lay in society. For necessary of law, the certainty through registry and identity of the adopted child is a mandatory. It is relatedto the presence of the adopted child in future. The Religious Court / Syar’iyah Court of law as an institution of issuing the decree of adoption should be based on the accurate data end certain identity.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu perkawinan adalah
, akan tetapi tidak semua perkawinan itu dapat memperoleh
ketu
tkan keturunan yang diharapkan dan harus di didik
dengan
kum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi, membantu
dan m
memperoleh keturunan
runan, kadangkala dalam suatu perkawinan yang telah berlangsung cukup lama
sekali tidak memperoleh keturunan. Bilamana hal seperti ini terjadi, secara psikologi
keluarga tersebut akan merasa hampa dengan kata lain kebahagian rumah tangga yang
bersangkutan terasa belum cukup.
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga
yang kekal, berhasil dan mendapa
baik.1
Pengangkatan anak tidak terlepas dari pengaruh hukum adat. Dalam
masyarakat hu
emberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam tradisi
masyarakat adat, pengangkatan anak yang dilakukan melalui suatu prosesi adat.
Prosesi pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar
1
M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993) Hal. 12, Tujuan perkawinan dalam Islam secara luas adalah : 1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar
2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan 3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah 4. Menduduki fungsi sosial
seseorang yang dijadikan anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai anak angkat, dan sebaliknya orang tua angkatnya pun mengetahui hak dan
kewajiban sebagai orang tua angkat.
Dikalangan masyarakat adat terdapat berbagai alasan seseorang atau pasangan
suami isteri melakukan pengangkatan anak. Pada daerah-daerah yang mengikut garis
keturun
r kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua
at, tidak membawa konsekuensi bahwa
ng tua kandungnya, dan tidak
berpind
an patrilinial pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki
dengan tujuan utama penerus keturunan. Sedangkan pada daerah-daerah yang
mengikuti garis keturunan parental antara lain Jawa dan Sulawesi, pegangkatan anak
(laki-laki atau perempuan), pada umumnya dilakukan pada keponakannnya sendiri
berdasarkan tujuan:
1. Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang
diangkat.
2. Untuk menolong anak yang diangkat atas dasar belas kasihan
3. Atas dasa
angkat akan dikaruniai anak sendiri.
4. Untuk membantu pekerjaan orang tua angkat.2
Pengangkatan anak dalam hukum ad
anak angkat akan putus hubungan hukum dengan ora
ah hubungan hukum dengan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak akan
terputus hubungan dengan clan asalnya kecuali ada upacara perpindahan clan atau
2
perpindahan marga. Upacara perpindahan clan sangat mahal dan rumit, oleh sebab itu
sangat jarang terjadi dalam masyarakat adat. Akibat dari perpindahan clan, hubungan
hukum dalam kewarisan dapat berubah dan menyebabkan anak angkat tidak lagi
mewarisi harta dari orang tua kandungnya, demikian pula sebaliknya. Anak angkat
akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkat dan juga sebaliknya.
Tradisi mengangkat anak tersebut, hingga saat ini masih merupakan hal yang
hidup dalam masyarakat termasuk dikalangan masyarakat Aceh, khususnya pada
masyar
akat Aceh Barat. Pada penelitian yang dilakukan di Kota Meulaboh, Pasca
Bencana alam tsunami jumlah pengangkatan anak tersebut mengalami peningkatan.
Pengangkatan anak dalam tradisi masyarakat Aceh, berbeda dengan
tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat adat pada umumnya. Tradisi
pengangkatan anak dalam masyarakat Aceh, lebih dominan mendapat pengaruh dari
syari'at Islam, bila dibandingkan dengan pengaruh dari hukum adat. Hukum adat bagi
masyarakat Aceh bersumber pada Syari'at Islam.3 Adat4 yang bertentangan dengan
Syari'at Islam adalah bukanlah adat Aceh.5 Oleh karenanya, bagi masyarakat Aceh, Syari'at Islam merupakan standar norma yang mengatur seluruh prilaku kehidupan
termasuk pengangkatan anak. Masyarakat Aceh, melakukan pengangkatan anak
3
Ada istilah dalam masyarakat Aceh, “Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” ; artinya Hukum
h (Jakarta : Pustaka Kautsar, 1998), Hal. 143 “Adat Kebiasan itu menjadi
idah, Syariah dan Akhlak,
(Makass
dengan adat seperti zat dengan sifat. Tidak dapat dipisahkan. Kalau bertentangan dengan syariat Islam berarti bertentangan juga dengan adat. Lihat dalam Kata Pengantar Othman Ishak,
Hubungan antara Undang-undang Islam dengan Undang-undang Adat, (Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2003), Hal. xv 4
Nasroen Haroen, Ushul Fiq
hukum”, tidak dapat dibantah terjadi perubahan, karena terjadi perubahan zaman dan tempat”, ketetapan melalui ‘uruf (kebiasaan) sama dengan ketetapan melalui nash”.
5
dalam rangka mewujudkan prinsip ta'awun atau tolong menolong antara sesama
muslim. Hal ini terbukti dengan penggunaan istilah dalam bahasa Aceh dengan
sebutan "aneuk geutung" yang mendekati makna kasih sayang, belas kasihan.
Salah satu akibat dari konflik dan tsunami adalah banyaknya anak-anak yang
terpisah dari keluarga intinya, seperti orang tua dan saudara kandung si anak. Hal ini
terjadi
bahwa
tradisi pengangkatan anak sebenarnya dan telah dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan baik karena ditinggal orang tuanya yang meninggal dunia, maupun karena
hilang semasa konflik atau tsunami. Menurut catatan jaringan penelusuran dan
penyatuan keluarga (FTR Network)6 sejak tsunami telah terdaftar 2.500 anak yang
terpisah dari atau tak terdampingi oleh keluarga inti. Sebagian besar dari anak-anak
itu diidentifikasi secara langsung di kamp dan barak, dimana para pengungsi
direlokasi, atau di komunitas tempat mereka ditampung seperti pesantren dan panti
asuhan. Beberapa anak diregistrasi di panti asuhan dan Dayah di Aceh, dan sebagian
kecil lainnya di luar Aceh. Sebagai catatan, sejauh ini belum ada komitmen bersama
antar berbagai organisasi untuk melakukan registrasi dan penelusuran anak yang
sistematis baik di institusi maupun dalam komunitas Aceh dan luar Aceh.
Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang
sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan,
6
FTR, Family Tracing and Reunification (Jaringan Penelusuran dan Penyatuan kembali Keluarga) adalah sebuah jaringan perlindungan anak di Banda Aceh sejak tsunami 26 Desember 2004. Team yang tergabung dalam Jaringan FTR ini adalah Unicef, Child Fund, Save the Children, Lost Children Operation, Muhammadiyah, Kementrian Perempuan, dan Dinas Sosial.
http//web.acehinstitute.org/files.php?file=Riset Praktik Perlindungan Anak, Tanggal 28 November
bangsa
dengan at- tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.
Imam Al-Qurthubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulu
menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy,
kandung). Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang
turunnya ayat tersebut.
Pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal perpindahan, dalam
arti tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dan berlaku
Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal
7
llah SAW sendiri pemah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi masyarakat Arab memanggilnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, didepan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW, juga
putri Aminah binti Abdul Muththalib, bibi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena Nabi SAW, telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.8
Setelah Nabi. Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat Al-
Ahzab (33) ayat 4-5,9 yang salah satu intinya, melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak
10
7
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Hal. 53
uran, 1984), Surat Al-ahzab ayat 4 dan 5, yang artinya : Ayat 4 :
an dia tidak menjadikan anak-anak
mereka, maka 8
Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : P.T. Iktiar Baru van Hoeve, 1996), Hal. 29
9
Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, (Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Q
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar sebagai ibumu, d
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataaanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
Ayat 5 : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapa-bapak mereka ; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengamun lagi maha penyayang.
10
H. Ahmad Kamil dan HM fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak
larangan kawin, serta tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia
melangsungkan perkawinan setelah wanita dewasa, maka walinya tetap ayah
kandun
n tanggung jawab dari seorang muslim yang memiliki
kemam
gnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum
lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya.
Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah
angkatnya berlaku larangan kawin serta kedua belah pihak saling mewarisi. Jika ia
akan melangsungkan perkawinan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya
adalah ayah angkatnya tersebut, bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait
dengan status hukum anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal
perkawinan.11 Selanjutnya dalam tulisan ini difokuskan pada status hukum anak angkat dalam hal kewarisan.
Pengangkatan anak didasarkan pada pertimbangan bahwa seorang muslim
berkewajiban untuk menolong, memberikan perlindungan kepada orang lain. Anak
yatim, anak fakir miskin, anak terlantar, anak yang tidak mampu secara ekonomi
perlu mendapat perhatian da
puan. Tanggung jawab mulia ini diimplementasikan melalui pengangkatan
anak. Seseorang yang melakukan pengangkatan anak ditujukan untuk memberikan
perlindungan, kasih sayang, perlindungan kesehatan, pendidikan, dan berbagai
kebutuhan psikis lainnya yang dibutuhkan oleh seorang anak. Kebutuhan-kebutuhan
ini menjadi tanggung jawab bagi orang tua angkatnya. Pengangkatan anak merupakan
11
salah satu perbuatan baik. Agama Islam menyuruh umat untuk berlomba-lomba
dalam kebajikan.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh pengangkatan anak juga dilakukan
berdasarkan pertimbangan lain berupa upaya `pemancingan' untuk mendapatkan
keturunan. Umumnya pengangkatan anak dilakukan oleh keluarga yang tidak
memiliki keturunan. Keberadaan anak angkat diharapkan akan mempercepat hadirnya
keturun
iri
dalam h
an dalam suatu keluarga. Anak angkat benar-benar diharapkan keberadaannya
dalam kehidupan orang tua angkatnya, bukan sekedar basa basi. Orang tua angkat
berusaha sekuat tenaga untuk memberi pelayanan perlindungan terhadap anak angkat
sama dengan orang tua kandung memberi perlindungan kepada anak kandungnya.
Keberadaan anak angkat dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat,
akan terbangun hubungan emosional, hubungan psikis dan berbagai hubungan
kemanusiaan lainnya, sebagaimana hubungan yang terjalin antara anak dengan orang
tua kandung. Hubungan-hubungan ini sudah sewajarnya mendapat posisi tersend
ukum pengangkatan anak, seperti memperoleh sesuatu berupa harta atau `hak'
dari orang tua angkatnya atau sebaliknya. Kewajaran seperti ini tidak dalam arti harus
mengorbankan hak-hak orang lain yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Orang
tua angkat tidak serta merta menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Anak
angkat menduduki posisi pada tempat anak angkat, begitu juga anak kandung tidak
dapat bergeser pada posisi anak angkat. Oleh sebab itu tidak ada alasan tentang
kekhawatiran akan terjadi kekeliruan, anak angkat akan menduduki posisi anak
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dilakukan pengkajian
Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi
Kabupaten Aceh Barat)
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh?
an hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya
mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Untuk mengetahui cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh?
ui Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dan orang
ui hak mewaris dari anak angkat menurut Hukum Waris 2. Bagaimana hubung
pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?
3. Bagaimana hak
masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?
2. Untuk mengetah
tua kandungnya pada masyarakat Aceh, di Kabupaten Aceh Barat?
3. Untuk Mengetah
D. Manfaat penelitian
1. penulisan ini diharapakan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
ntuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang hak anak angkat
ari orang tua angkat terhadap Hukum Waris Adat Aceh
dapat bermanfaat bagi penyelesaian masalah kewarisan
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian dengan judul Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum
Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat) belum pernah
sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli.
Adapun
adi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan
nak angkat atas harta peninggalan orang tua u
d
2. Secara praktis
terhadap anak angkat
dilakukan oleh peneliti
beberapa penelitian yang menyangkut anak angkat dan kewarisan yang
pernah dilakukan adalah :
Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam, oleh Tresna
Hariadi, NIM 027011065, tahun 2004, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan.
Permasalahan yang diteliti adalah:
1. Apakah yang menj
dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat?
2. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan
dalam menentukan hak a
3. Bagaimanakah ukuran keadilan yang diterapkan Pengadilan Agama Medan
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
njukkan ketidak benarannya.13 Kerangka teori
mikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
kasus
jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan
untuk menentukan bagian anak angkat?
12
pada fakta-fakta yang dapat menu
adalah kerangka pe
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoretis14 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu
abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun
meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Dengan demikian dalam bahasan judul tesis ini, teori yang digunakan sebagai
alat atau pisau analisis adalah teori mashlahat. Secara etimologi kata mashlahat,
12 J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE
UI, 1996), hal. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27.
13
Ibid , hal. 16 14
dari keburukan atau kerusakan. Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang
berarti mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan
kesena
ballah,17 mashlahat yang dimaksud adalah ke-maslahat-an yang menjad
kehidupan mereka didunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang
dapat m
ngan dalam kehidupan manusia serta terhidar dari hal-hal yang dapat merusak
kehidupan umum15
Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah,16 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mashlahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan
yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan
hukum syara'.
Menurut Has
i tujuan syara', bukan ke-maslahat-an yang semata-mata berdasarkan
keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat
hukum tidak lain adalah untuk merealisir ke-maslahat-an bagi manusia dari segala
segi dan aspek
embawa kepada kerusakan.
Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
15
H.M.Hasballah Thaib, 2002, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,
Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: 2002).
16
Nasroen Haroen, 1997, Ushul Fiqh, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, hal. 126. 17
sampai
n lawan dari kata mafsadat (kerusakan). Secara majas, kata ini
juga d
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang
mengan
g
bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini berkepentingan,
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di
dalam masyarakat.18
Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah.19 Dalam
Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim
dari kata manfa 'at da
apat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata manfaat
sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan atau
mempertahankannya.20
Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat ialah menarik manfaat atau
menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan
(maqashid) syara', yakni
dung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua
yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat.21 Menurut Radbruch dalam Chainur Arrasyid yang dimaksud dengan nilai
kegunaan ialah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat/berguna bagi
masyarakat.22 Pada dasarnya suatu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yan
18
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
to, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Surabaya; Penerbit Terang S
Nazhariyah Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: Al-
Mutanab
, Hal. 23
yid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 18. 1988), hal. 134 –135.
19
Bambang Marhijan urabaya, 1999), hal. 236. 20
Husein Hamid Hassan,
bi, 1981), hal. 4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian
Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara , Disertasi, (Medan: PPs-USU,
2008, hal. 23. 21
Ibid 22
karena
l ada nilai-nilai yang
lebih ti
masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
Dengan adanya sengketa keseimbangan tatanan di dalam masyarakat itu terganggu,
dan keseimbangan yang terganggu harus dipulihkan kembali.23
Hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-
undang tapi tidak kurang pentingnya supaya putusan-putusan tersebut dapat
dipertanggung-jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum
yang sedang hidup dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosia
nggi dan nilai-nilai yang lebih rendah, dan yang lebih rendah harus tumbuh
menjadi yang lebih tinggi.24 Jadi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat25 Dengan demikian hukum ditujukan untuk tercapainya sebesar-besar manfaat, keuntungan/kebahagiaan bagi masyarakat.26
Hukum adalah pernyataan kesucian dan moralitas yang tinggi, baik dalam peraturan
maupun dalam pelaksanaannya sebagaimana diajarkan dalam agama dan adat rakyat
kita.27 Menurut Mochtar Kusumaatmaadja, dalam Khuzaifah Dimiyati tidak perlu ada
pertentangan antara maksud untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui
perundang-undangan dan menyalurkan nilai-nilai atau aspirasi yang hidup dalam
masyarakat28
23
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1990), hal. 120.
it, hal 24.
Yogyakarta, 1996), hal. 90. 24
Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idialisme Filosofi dan Problema Keadilan, (Susunan II), (Jakarta: Rajawali Pers,
25
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 16.
26
Sudarsono, Op.Cit, hal. 102. 27
Jamaluddin, Op. C 28
Sebagai satu lembaga hukum, maka kepentingan masyarakat akan Iebih
terjamin, karena misi hukum mempertahankan kedamaian di antara manusia dan
sekaligus melindungi kepentingannya. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Prof.
Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn, bahwa:
kepentingan yang bertentangan di antaranya karena hukum hanya dapat mencapai
artinya peraturan pada norma terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
menjadi bagiannya".
tan anak, yang oleh hukum telah diberikan hak
bagi m
struksi Presiden Republik
Indone
sebaga tata perundang-undangan.
"Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan-tujuan (mengatur pergaulan) hidup secara damai, jika ia menuju peraturan yang adil,
yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang
29
Berbicara masalah pengangka
asyarakat untuk melakukan pengangkatan anak, namun yang paling penting
dengan terjadinya pengangkatan anak tersebut harus dapat memberikan manfaatnya
baik bagi orang tua angkat itu maupun bagi si anak angkat.
Kompilasi Hukum Islam hadir dalam hukum Indonesia melalui Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama Nomor
154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan In
sia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Terpilihnya Inpres
menunjukkan fenomena tata hukum yang dilematis pada satu segi, pengalaman
implementasi program legislatif nasional memperlihatkan Inpres berkemampuan
mandiri untuk berlaku efektif di samping instrumen hukum lainnya, karena memiliki
daya atur dalam hukum positif nasional dan pada segi lain Inpres tidak terlihat
i salah satu instrumen dalam
29
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menginstruksikan kepada Menteri Agama
Republik Indonesia supaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah terkait maupun masyarakat yang
memerlukannya.
Atmadja berpendapat bahwa Inpres sebagai perintah, petunjuk dan atau
pedoma
residen ini bersifat teknis operasional untuk melaksanakan sesuatu
hal ya
bangan praktek ketimbang
teknis p
penggunaan instrumen hukum berupa Inpres yang tidak termasuk dalam
hukum tertulis.Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis, sumber
n bukanlah peraturan perundang-undangan akan tetapi sama halnya dengan
surat edaran, surat perintah, nota yang memberikan kewenangan badan/pejabat tata
usaha negara untuk pelaksanaan pemerintah sehari-hari.30
Instruksi P
ng bersifat mendesak untuk ditangani secepatnya.31 Lembaga ini muncul dalam. praktek pemerintah wewenang kepala negara untuk mengintruksikan sesuatu
dalam rangka implementasi program legislatif dan/atau eksekutif. Dipilihnya
instrumen Inpres lebih banyak merupakan putusan pertim
erundangan.32
Di lihat dari tata hukum Nasional, KHI dihadapkan dua pandangan yaitu:
Pertama, sebagai hukum yang tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh
rangkaian tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber
30
Atmadja Gede, "Hukum Dalam Teori Dan Praktek", Kumpulan Karangan Majalah Ilmiah, (FH Udayana, 1994), hal 111
ess, 1994), hal 61-62. 31
Daman Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 78.
32
yang ditujukan KHI berisi Law dan Rule yang pada gilirannya terangkat
33
menjadi Law dengan potensi Political Power.
Fungsi KHI merupakan pedoman dalam rumusan Inpres yang dipertegas oleh
Keputusan Menteri Agama dengan kalimat sedapat mungkin menerapkan KHI
terseb
Inpre
ketim si yang tegas. Hal ini tidak
meng
inan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentan
berikut: anak angkat dalam 34
ut. Status KHI bersifat persuasif rekomendatif dan bukan imperatif. Dari sinilah
s dan keputusan Menteri lebih menekankan perintah mensosialisasikan KHI
bang mewajibkan penerapannya dengan sank
urangi efektifitas KHI karena dalam tataran eksekutorial materi KHI ini
dilakukan oleh kantor urusan agama, dan dalam tahapan penyelesaian yudisial
dilaksanakan oleh pengadilan agama.
KHI merupakan suatu tonggak penting bagi lebih berperannya Hukum Islam di
Indonesia. Posisi hukum Islam menjadi lebih tegas dengan adanya beberapa produk
undang-undang dan kebijakan hukum pemerintahan orde baru pada beberapa
dasawarsa terakhir. Setiap pengamat hukum bisa menyebutkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkaw
g peradilan agama yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang peradilan agama dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
perwakafan tanah milik, sebagai contoh penting terjadi pergeseran beberapa bagian
hukum Islam yang universal kearah hukum positif tertulis dari suatu negara.
Pengertian Anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sebagai
bahasa Arab disebut "tabanny" perhatian dan kasih
33
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa
memberi status anak kandung.35
Iman Sudiyat mendefinisikan "pengangkatan anak dengan suatu perbuatan
memungut seorang anak dari luar kerabat ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
ikatan s
hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk
kelangs
"menga
osial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologisnya."36
Hilman Hadi Kusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyatakan:
"Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut
ungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga."37 Menurut Ali Afandi: "pengangkatan anak adalah pengangkatan oleh seorang
dengan maksud untuk menganggap anak itu sebagai anak sendiri." 38
Djaja S Meliala menyatakan: "pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukurn untuk memberi status hukum tertentu pada seorang anak status mana
sebelumnya tidak dimiliki anak itu."39
Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak atau adopsi berarti
ngkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau secara umum berarti
34
H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, op. cit., ha1.100 35
Mahmud Syaltut, al-Fatawa, Darul Qalam, hal. 321-322.
arata: Liberty, 1981), hal. 117. g: Alumni, 1977), hal. 6.
karta : Gajah M
36
Iman Sudiyat, Hukum Adat dan Sketsa Azas, (Yogyak 37
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandun 38
Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Yogya ada), hal. 57
39
mengan
Pasal 171 huruf (h) dinyatakan: "Anak angkat
adalah
ka dapat dipahami
bahwa
ak angkat tersebut di atas Abdullah Syah
manyat
2. Ada bapak yang bukan bapak sendiri.
gkat seorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya
hubungan yang seolah- olah didasarkan faktor hubungan darah."40 Dalam Kompilasi Hukum Islam
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan."41Dari pengertian anak angkat baik
secara etimologi maupun terminologi yang dipaparkan di atas ma
pengertian anak angkat secara umum adalah anak yang sebenarnya bukan anak
sendiri, tetapi karena sesuatu maksud, maka anak angkat tersebut diangkat menjadi
bagian dari keluarga sendiri untuk selanjutnya diberikan hak-hak pemeliharaan yang
layak kepadanya seperti seorang anak.
Selanjutnya istilah anak angkat yang lebih tepat untuk kultur Indonesia yang
mayoritas pemeluk Islam adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Sejalan dengan pengertian an
akan bahwa unsur-unsur pengangkatan anak itu adalah:
1. Ada anak yang bukan anak sendiri.
40
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Penerbit Alumni Bandung, 1980, hal. 52 41
3. Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk melakukan pengangkatan
anak (untuk bertindak sebagai anak angkat dan bapak angkat).
4.
um Islam mesti dapat
an.43
sedih melihat anak itu, sebab pendidikannya tidak terurus, keperluan sehari-k punya sama sekali atau miskin. Orang tua yang hendak mengangkat anak itu mengetahui
renakan orang tuanya tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya yang menyebabkan anak tersebut
tetapi jika anak yang diangkat tersebut seorang perempuan bila hendak etap diserahkan kepada orang tua kandungnya, tidak kepada bapak angkatnya, bapak angkatnya hanya boleh ebut yang bukan atas nama ahli waris, akan tetapi berbentuk wasiat wajibah dengan ketentuan tidak boleh lebih dari Status nasab kedua belah pihak tidak berubah.42
Khusus untuk pengertian yang diberikan kompilasi huk
dibuktikan dengan adanya putusan Pengadil
Selanjutnya, alasan pengangkatan anak yaitu :
a. Seorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa
harinya juga tidak terpenuhi dikarenakan orang tuanya tida
dengan jelas bahwa anak itu terlantar, dika
terlunta lunta. Dalam hal seperti ini dapat diakui sebagai anak angkat akan
dikawinkannya yang menjadi walinya t
memberikan hartanya kepada anak ters
sepertiga hartanya. Seorang mengambil anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak angkat dan anak angkat tersebut dianggapnya sebagai anak kandungnya begitu juga dengan nasabnya dihilangkannya dan beralih kepada nasab bapak angkatnya.44
b. Alasan yang kedua bertentangan dengan ajaran Islam, karena tradisi seperti ini terjadi pada zaman jahiliyah yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, hal ini dilarang dan tidak diakui oleh ajaran Islam.
Di dalam hukum adat secara umum dilakukan oleh keluarga Indonesia untuk
mengangkat seorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukkan ke
dalam lingkungan keluarga mereka, didukung oleh berbagai sistem hukum adat yang
42
H.Abdullah Syah, dkk, Laporan Penelitian Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Adat Terhadap Anak Angkat Pada Suku Melayu Kecamatan Tanjung Pura Langkat, (Medan: Balai Penelitia
isah Pada Masalah-masalsah Kontemporer Hukum
Islam, (J Persada, 1995), hal. 118-119
n IAIN Sumatera Utara, 1995), hal.46-47. 43
Ibid, hal. 46-47 44
bersifat umum dengan karakteristik yang sama di antara kelompok masyarakat
berbeda-beda.
Pengangkatan anak pada masyarakat hukum adat dapat dilakukan dengan
cara;45
artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan
hukum masyarakat.
rjadi. Pengangkatan
Menuru
1. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula
dan dimasukkan ke dalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu
pembayaran benda-benda magis, uang, dan/atau pakaian.
2. Terang
bantuan para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat ke dalam tata
Dalam hukum adat tidak dijumpai beda umur, karena diketahui dalam hukum
adat penyelesaian masalah tergantung pada kasus yang dihadapi. Ketika ada kasus
pada saat itu pula ada inisiatif untuk menyelesaikan kasus yang te
anak dalam hukum adat dipastikan ada kepentingan yang ingin ditegakkan. Oleh
sebab itu dalam hukum adat tidak mungkin ada persoalan hukum yang merugikan
masyarakat.
t Soepomo,46 hukum adat Indonesia mempunyai corak sebagai berikut:
1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang
erat, dan rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat
45
Iman Sudiyat, Hukum Adat-sketsa adat, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 102
Hal. 98 46
2. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup
alam Indonesia
adat
hukum
ng kelihatan).
i hukum bahwa si anak tersebut, baik
an masyarakat lainnya. Maka di hukum adat
anak a
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit; artinya hukum
sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup
yang konkrit
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan
dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat
dilihat (tanda ya
Dengan pertimbangan-pertimbangan moral sebagai alasan utama dalam
pengangkatan anak, misalnya untuk menolong anak yatim, suatu keluarga dapat
mengangkat seorang anak dengan konsekwens
laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh hak yang sama di hadapan hukum
sebagaimana anak kandung. Walaupun aplikasi anak angkat ini secara terperinci
berbeda antara satu masyarakat deng
ngkat secara otomatis dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat, hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandung terputus, dan
posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak kandung.47
Pengangkatan anak dalam hal ini tidak memerlukan adanya putusan hakim,
cukup disaksikan oleh ketua adat atau masyarakat setempat. Dari gambaran di atas,
dapatlah dilihat betapa sederhananya bentuk dan prosedur pengangkatan ini cukup
47
dengan lisan saja, tanpa diperlukan bukti tertulis. Suroyo Wongjodiputro
mengemukakan bahwa :
Di dalam hukum adat dikenal pengangkatan anak. Cara memperoleh atau
mengangkat anak adalah dengan : Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan
dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat.
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau
sejumlah uang kepada keluarga anak semula.
a hanya dikenal adopsi anak laki-laki
dengan
adalah di Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diatur dan tidak mengenal
lembaga pengangkatan anak, namun karena kebutuhan di lingkungan masyarakat
Tionghoa, yang terhadapnya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adopsi
atau pengangkatan anak diatur secara tersendiri dalam Staatsblad 1917 Nomor. 129.
Di lingkungan golongan penduduk Tiongho
motif untuk mendapatkan keturunan laki-laki. sebab rnenurut kepercayaan
yang hidup di lingkungan masyarakat Tionghoa, hanya anak laki-laki saja yang
berwenang memakai nama keluarga dengan maksud melanjutkan marganya, serta
melakukan upacara penghormatan kepada leluhurnya, karena perkembangan
masyarakat Staatsblad 1917 Nomor. 129 tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat khususnya golongan Tionghoa. Golongan tersebut telah
meninggalkan adat istiadat di negara asalnya dan banyak mengikuti nilai-nilai yang
1945 yang tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Anak
wanita mempunyai derajat dan martabat yang sama dengan anak laki-laki.
Menurut Stb. 1917 Nomor 129 tentang Adopsi, bahwa akibat hukum dari
perbuatan adopsi sebagai berikut :
a. Sesuai dengan Pasal 11 bahwa anak adopsi secara hukum mempunyai nama
keturunan dan orang yang mengadopsi.48
b. Sesuai Pasal 12 ayat (1) bahwa anak adopsi dijadikan sebagai anak yang
ditahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya, anak adopsi,
t J.Satrio berkomentar, konsekwensi lebih lanjut
dudukan sebagai anak sah, dengan
ukumnya sebagai berikut ;
1.
menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi.49 Terhadap Pasal 12 tersebu
adalah bahwa karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi,
maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berke
konsekwensinya lebih lanjut.50
Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan
adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, maka akibat h
Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maka akibat
hukumnya tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, meliputi :
48
Pasal 11 berbunyi : “….bahwa dengan yang diadopsi, jika mempunyai keturunan lain daripada yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya memperoleh keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti daripada nama keturunan orang yang diadopsinya itu.”
49
Bunyi pasal 12 ayat (1) yang menyatakan : bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang anak laki-laki, maka dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka.
50
a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara
dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298
g
n.
l ini hanya didasari atas motif
dekakan lalu diangkat
menjad
dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pemeliharaan anak dianjurkan oleh Islam terutama memelihara anak yatim,
. Oleh karena itu perlu diperhatikan larangan Islam KUHPerdata) dan sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai
ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan
orang tua belum dicabut (Pasal 299 KUH Perdata).
b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yan
belum dewasa maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal
307 KUH Perdata).
c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak dalam umur
berapa pun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan
ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidika
Pengangkatan anak merupakan sikap kerelaan dan ketulusan hati seseorang
untuk mengambil alih tanggung jawab pemeliharaan anak. Pada dasarnya Islam tidak
mengatur cara-cara pengangkatan anak, ha
pengangkatan anak yang mengacu kepada fungsi sosial.
Rasulullah SAW pernah mempunyai anak angkat yang bernama Zaid bin
Haritsah dalam status budak, setelah itu anak tersebut dimer
i anak angkatnya. Sebagai orang tua angkat, beliau memelihara, mengasuh dan
mendidiknya dengan penuh kasih sayang serta memperhatikan kesejahteraannya
seperti memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung, menyamakan
pembagian harta warisan anak angkat dengan anak kandung dan menjadikan anak
angkat
aku itu dapat diukur dengan norma dan ukuran
yang p
ebut sudah ada sejak zaman nabi
Muham
ami syari'at Islam.
Pemah
sebagai budak yang tidak bermartabat.
Syari'ah Islam merupakan syari'ah yang universal, Al-Qur'an sebagai pokok
yang fundamental dalam syari'at Islam berisi ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal
Ini mencakup kesegenap bentuk tingkah laku manusia yang akan muncul dimasa
yang akan datang. Semua tingkah l
edomannya terdapat dalam AI-Qur'an. Dengan demikian garis hukum apapun
yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut Al-Qur 'an.
Ada tiga cara pendekatan untuk memahami Islam atau syari'at Islam, yakni
dengan pendekatan naqli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan
kasyfi atau mistik. Ketiga pendekatan ters
mad SAW, dan terus digunakan oleh ulama-ulama selanjutnya. Ketiga
pendekatan tersebut, salah satu diantaranya sangat berkembang dan berpengaruh, dan
pada masa yang lain menjadi berkurang, silih berganti secara pasang surut.51
Memperhatikan pernyataan di atas, suatu saat orang memahami syari 'at Islam
dengan mengutamakan naqli dari pada aqli dan sebaliknya, oleh karena itu
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dalam memah
aman itu dapat berbeda antara lain karena nash syari 'at bersifat umum, dan
Hasballah Thaib, Memahami islam Secara rasional, (Medan : Program Pasca Sarjana USU, 1998), hal. 4
nash syari 'at itu mempunyai beberapa makna sehingga ada alternatif makna yang
terkandung dalam nash.
Memperhatikan pendapat Hasballah Thaib, maka nampak jelas pola pikir atau
paradigma yang menimbulkan atau terjadinya perbedaan mazhab dalam memahami
syari'at Islam, tidak terkecuali memahami nash yang berkenaan dengan
permasaalahan terhadap anak angkat.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebaga
itu untuk menjawab permasalahan dalam
i harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional
diperol
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
i usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.52 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.53 Oleh karena penelitian in
eh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Selanjutnya sebagai pendefinisian konsepsi dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari
biaya pendidikan dan sebagainnya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
52
Sutan remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10
53
Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan fidusia : Suatu Tinjauan Putusan
b. Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
ukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
, Di daerah
rbeda antara
mpunyai kemiripan dengan
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu
penelitian yang akan memaparkan dan mengkaji bagaimana peraturan
perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan Kedudukan Anak Angkat Dalam
Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat, bagaimana
cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh, bagaimana hubungan hukum berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
c. H
bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan kepada ahli
waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
d. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka
Nanggroe Aceh Darussalam ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk
Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. kedelapan subetnis
tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang sangat be
satu dengan yang lain. Misalnya sub etnis Aneuk Jamee, menurut sejarahnya
merupakan pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau)
sehingga budaya sub etnis Aneuk Jamee me
antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di
t, serta bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam
huk
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat
yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban
dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam masyarakat
yang berhubungan dengan Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada
Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
3. Sumber Data.
Data Penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder, yaitu :
a. Data Primer
Data Primer yaitu data pokok yang diperoleh dari nara sumber yang dianggap
berkompeten untuk memberikan pendapat yang berhubungan dengan permasalahan
ini. Untuk mendukung data primer diperlukan informasi dari anggota masyarakat
engangkatan anak pada Kabupaten Aceh Barat, yang sampelnya
r diperoleh dengan studi kepustakaan dengan mempelajari:
1) Bahan hukum primer yaitu berupa Al-Qur'an dan Al-Hadist. Kabupaten Aceh Bara
um waris adat pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
yang melakukan p
berasal dari 4 (empat) Kelurahan
b. Data Sekunder