• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami Kedelai Edamame (Glycine max varietas edamame) pada Fase Vegetatif dan Generatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami Kedelai Edamame (Glycine max varietas edamame) pada Fase Vegetatif dan Generatif"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN POPULASI HAMA DAN MUSUH ALAMI

KEDELAI EDAMAME (

Glycine max

VARIETAS EDAMAME)

PADA FASE VEGETATIF DAN GENERATIF

IBNU RAKHMAT RIDHAYAT

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

IBNU RAKHMAT RIDHAYAT. Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami Kedelai Edamame (Glycine max varietas edamame) pada Fase Vegetatif dan Generatif. Dibimbing oleh I Wayan Winasa.

Kedelai (Glycine max L. (Merril)) merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki kandungan gizi tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol. Salah satu varietas kedelai yang biasa di panen muda adalah edamame. Edamame merupakan jenis kedelai sayuran yang berasal dari China dan masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1988 di Megamendung, Bogor Jawa Barat. Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam meningkatkan produksi kedelai termasuk edamame adalah hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkermbangan jenis-jenis hama dan musuh alami pada pertanaman edamame.

Penelitian ini dilakukan pada lahan pertanaman edamame yang terletak di Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas lahan yang digunakan 300 m2 yang dibagi menjadi 4 petak. Dari setiap petak diambil 5 bedengan dengan jumlah tanaman contoh 5 tanaman per bedengan yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 24 HST sampai 66 HST.

Selama pengamatan ditemukan sembilan jenis hama pada pertanaman edamame yaitu Aphis glycines, Bemisia tabaci, Lamprosema indicata,

Chrysodeixis chalcites, Empoasca spp., Nezara viridula, Piezodorus hybneri,

(3)

PERKEMBANGAN POPULASI HAMA DAN MUSUH ALAMI

KEDELAI EDAMAME (

Glycine max

VARIETAS EDAMAME)

PADA FASE VEGETATIF DAN GENERATIF

IBNU RAKHMAT RIDHAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul skripsi : Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami Kedelai Edamame (Glycine max varietas edamame) pada Fase Vegetatif dan Generatif

Nama Mahasiswa : Ibnu Rakhmat Ridhayat

NRP : A34061914

Disetujui Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi NIP. 19611210 198703 1 003

Diketahui

Ketua Departemen Protesi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP. 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

IBNU RAKHMAT RIDHAYAT, lahir pada tanggal 17 September 1988 di Jakarta dari pasangan suami istri Bapak Panuju dan Ibu Werdiningsih yang beralamat di Jl. Al-Badriyah Raya I blok A3 No 23 RT 05 RW 010 Kecamatan Jatiasih, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah menengah umum (SMU) di SMA Negeri 6 Bekasi dan lulus pada tahun 2006. Sejak tahun 2006 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian.

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Perkembangan dan Kelimpahan Populasi Hama pada Kedelai Edamame ini merupakan tugas akhir program sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui jenis-jenis hama dan musuh alami dan perkembangan kelimpahannya pada pertanaman edamame (Glycine max varietas edmame). Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari hingga April 2010 di desa Sukaresmi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Penelitian dilanjutkan dengan identifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah mebimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pak Wawan yang telah membantu penulis dalam penyediaan lahan untuk pengamatan, juga kepada Pak Acu yang mengizinkan penulis untuk memakai lahan miliknya untuk diamati. Serta kepada seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu Asyiyah, Redi, Faishol, Gangga, Yoyok, seluruh anggota Full House, seluruh anggota Entomology Club, mahasiswa angkatan 43 dan 45, M. Karami, Arif Marwanto serta keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Bogor, Maret 2012

(7)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Glycine max varietas edamame ... 4

Hama Kedelai Edamame ... 5

Hama Fase Vegetatif ... 6

Hama Fase Generatif ... 8

Musuh Alami Hama Kedelai ... 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Tempat dan Waktu ... 12

Metode ... 12

Lahan Pengamatan ... 12

Pengamatan Hama ... 13

Pengamatan Musuh Alami ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Keragaman Hama pada Pertanaman Edamame ... 14

Hama Edamame pada Fase Vegetatif dan Generatif ... 14

Hama Edamame pada Fase Generatif ………. 17

Kelimpahan Musuh Alami pada Pertanaman Kedelai Edamame ... 19

Pengaruh Coccinellidae terhadap A. glycines ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

Kesimpulan ... 24

Saran ... 24

(8)

DAFTAR TABEL

No halaman 1 Kerapatan jenis hama dan kerapatan populasinya pada pertanaman

(9)

DAFTAR GAMBAR

No halaman 1 Perkembangan populasi hama yang menyerang edamame mulai

fase vegetatif ... 17 2 Populasi Aphis glycines pada pertanaman edamame ... 17 3 Perkembangan populasi hama edamame pada fase generatif... 18 4 Perkembangan intensitas serangan E. zincknella pada edamame. 19 5 Perkembangan populasi predator pada pertanaman kedelai

edamame ... 22 6 Gambar 6 Populasi A. glycines dan Coccinellidae pada

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai edamame (Glycine max (L) Merril) adalah kedelai yang memiliki polong cukup besar, rasa manis dan biasanya dipanen lebih awal pada saat polongnya masih hijau. Edamame yang berkualitas ditentukan oleh rasa, polong yang berwarna hijau tua, perkembangan polong maksimal dan seragam serta tanpa infeksi atau serangan OPT (Chiba 1991). Dibandingkan kedelai biasa (kedelai biji) edamame memiliki rasa lebih manis karena kandungan sukrosanya yang lebih tinggi dibandingkan kedelai biji (Tsou & Hong 1991). Kedelai edamame biasa dikonsumsi sebagai makanan ringan atau sayuran sehingga sering disebut

vegetable soybean. Di Jepang, edamame dikonsumsi sebagai pembangkit selera dan disuguhkan bersama dengan bir (Nakano 1991). Edamame kaya akan protein, vitamin A, C, dan E, dan mineral seperti kalsium dan zat besi (Masuda 1991). Kedelai ini berasal dari China dan mulai dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1988 khususnya di daerah Megamendung, Bogor, Jawa Barat (Noertjahyo 2002 dalam Meidyawati 2006). Kedelai yang ditanam di daerah Megamendung untuk memenuhi kebutuhan restauran dan hotel di Jakarta. Namun belum ada data pasti berapa kebutuhan edamame untuk pasar Jakarta dan sekitarnya. Kebutuhan edamame di Jepang pada tahun 2010 sebesar 100.000 ton, dari jumlah tersebut sekitar 70.000 ton dipasok dari China, Taiwan, dan Thailand (Maxi & Winuranto 2011).

Pertumbuhan kedelai edamame (vegetable soybean) sama dengan pertumbuhan kedelai biji (grain soybean). Berdasarkan kerentanannya terhadap serangan hama maka fase pertumbuhan kedelai dapat dibagi menjadi tiga. Fase bibit umur 4 HST (hari setelah tanam) sampai 21 HST, fase vegetatif pada umur 21 HST sampai 35 HST dan generatif umur 36 HST ke atas merupakan fase mulai terbentuk bunga dan polong sampai panen (Tengkano & Soehardjan 1985).

(11)

keempat hal diatas, kendala langsung yang dialami petani adalah serangan hama dan penyakit. Okada et al. (1988) melaporkan bahwa terdapat 111 jenis hama kedelai di Indonesia, 61 predator, 41 parasitoid dan 3 kelompok penyakit kedelai. Sedangkan hama yang ditemukan menyerang edamame adalah Ophiomyia phaseoli Tryon., Melanagromyza sp., Empoasca sp., Phaedonia inclusa Stal.,

Spodoptera litura Fabricius., Chrysodeixis chalcites Esper., Lamprosema indicata

Fabricius., Helicoverpa armigera Huebner., Etiella zinckenella Treitschke.,

Nezara viridula Linnaeus., Piezodorus hybneri Gmelin., Riptortus linearis L.,

Aphis glycines Matsumura. dan Bemicia tabaci Gennadius (Meidyawati 2006). Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani adalah pengendalian secara kimia menggunakan insektisida, namun penggunaanya masih belum sesuai dengan kaidah-kaidah pengendalian yang bijaksana, seperti frekuensi yang terlalu tinggi, dosis insektisida yang kurang optimal, atau penggunaan volume semprot yang kurang dari semestinya (Tengkano et al 1992) sehingga menyebabkan pengendalian kurang berhasil. Selain itu, pengendalian menggunakan insektisida secara berlebihan terbukti dapat berdampak buruk terhadap keberadaan musuh alami (Tengkano et al. 1992; Dadang & Prijono 2008). Padahal keberadaan musuh alami pada areal pertanaman juga berperan penting untuk mengendalikan populasi hama. Penggunaan musuh alami merupakan salah satu cara pengendalian hama yang ramah lingkungan. Penggunaan musuh alami memiliki keuntungan dibandingkan cara pengendalian lain karena banyak dari musuh alami bersifat spesifik terhadap mangsa/inang tertentu. Beberapa predator yang ditemukan pada pertanaman kedelai adalah Paederus fuscipes Curt., Menochilus sexmaculatus

Fabricius, Coelophora inaequalis Fabricius, Anaxipha longipennis Serville (Taulu 2001), Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.), Atypena adelinae Barr. & Lit., dan Chlaenius circumstatus Brulle (Winasa 2001). Meidyawati (2006) melaporkan beberapa jenis musuh alami yang ditemukan pada tajuk edamame seperti Coccinellidae, Oxyopes sp., Pardosa sp., dan Andrallus sp.

(12)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kelimpahan hama utama dan musuh alami kedelai edamame (Glycine max varietas edamame) pada fase vegetatif dan generatif.

Manfaat

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Glycine max Varietas Edamame

Asal-usul Tanaman

Edamame merupakan salah satu varietas dari kedelai, dan kedelai merupakan anggota dari famili Fabaceae. Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari China dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Kemudian masuk ke Indonesia sejak abad ke-16 awalnya di pulau Jawa dan kemudian menyebar ke Bali, Nusa Tenggara dan pulau-pulau lainnya. Pada awalnya kedelai dikenal dengan nama botani Glycine soja dan Soja max, namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama ilmiah yang disepakati adalah Glycine max (Irwan 2006).

Budidaya Kedelai Edamame

Seperti halnya tanaman kedelai biji, pertumbuhan edamame sangat bergantung kepada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi. Faktor-faktor eksternal tersebut adalah tanah dan iklim. Tanaman kedelai pada umumnya dapat tumbuh maksimal jika ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir atau liat berpasir (Irwan 2006) dan dengan keasaman (pH) tanah antara 5.8 sampai 7.0 (Nazaruddin 1993). Edamame sendiri merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan, menurut Nazaruddin (1993) edamame dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki iklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 100 sampai 400 mm/bulan.

(14)

mulsa jerami dapat meningkakan kelimpahan total dari predator penghuni tanah seperti laba-laba serigala, laba-laba kate dan semut (Winasa 2001).

Penanaman dan Jarak Tanam. Penanaman dilakukan dengan membuat lubang sedalam 1 sampai 1.5 cm menggunakan tugal, setiap lubang tanam diletakkan 1 atau 2 biji (Nazaruddin 1993). Kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah halus atau abu jerami. Jarak tanam yang dianjurkan sebesar 20 x 20 cm atau 25 x 25 cm (Irwan 2006).

Pemeliharaan Tanaman. Pemupukan dilakukan 2 kali, pemupukan pertama dilakukan saat tanaman berumur 0 HST hingga 7 HST menggunakan Urea sebanyak 50 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan TSP 100 kg/ha sedangkan pada lahan yang memiliki tipologi masam menggunakan Urea sebanyak 50 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan TSP 100 kg/ha hal yang sama diberikan kepada tanah bergambut (BPPP 1997). Pupuk kandang digunakan bersamaan dengan persiapan lahan dan bedengan, pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang sapi atau ayam. Pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 21 HST sampai 28 HST menggunakan pupuk Urea dengan dosis 25 hingga 50 kg/ha (Nazaruddin 1993). Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 20 HST sampai 30 HST, dan penyiangan kedua dilakukan setelah tanaman berhenti berbunga. Penyiangan dilakukan dengan membersihkan gulma dengan menggunakan tangan atau kored (Irwan 2006).

Panen dan Pasca Panen. Kedelai edamame dapat dipanen pada umur 63 HST sampai 68 HST untuk polong segar dan 90 HST untuk polong tua (BPPP 2005), namun menurut Nazaruddin (1993), edamame dapat dipanen sejak tanaman berumur 45 HST. Polong segar yang didapatkan bisa langsung dijual dalam kemasan dan untuk polong tua dapat dijadikan benih. Untuk memperoleh benih, polong tua disortir kemudian dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 10 sampai 15 % (Irwan 2006).

Hama Kedelai Edamame

(15)

adalah Ophiomyia phaseoli Tryon., Melanagromyza sp., Empoasca sp.,

Phaedonia inclusa Stal., Spodoptera litura Fabricius., Chrysodeixis chalcites

Esper., Lamprosema indicata Fabricius., Helicoverpa armigera Huebner., Etiella zinckenella Treitschke., Nezara viridula Linnaeus., Piezodorus hybneri Gmelin.,

Riptortus linearis L., Aphis glycines Matsumura, dan Bemicia tabaci Gennadius.

Hama Fase Vegetatif

Hama penting yang menyerang tanaman pada fase vegetatif adalah P. inclusa (Coleoptera: Chrysomelidae), B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae), S. litura (Lepidoptera: Noctuidae), C. chalcites (Lepidoptera: Noctuidae) dan L. indicata (Lepidoptera: Pyralidae).

Bemisia tabaci Gennadius. Serangga ini termasuk famili Aleyrodidae dan ordo Hemiptera. Bersifat sebagai vektor dalam menyebarkan beberapa virus tanaman. Telur berwarna kuning terang, bertangkai dan umumnya diletakkan pada bagian bawah permukaan daun. Nimfa dan pupa berwarna keputih-putihan dan berukuran 0.7 mm. Serangga dewasa berwarna kuning dengan sayap berwarna putih, berukuran 1-1.5 mm, dan hidup selama 6 hari. Serangga betina dapat meletakkan telur hingga 30 telur per ekor. Satu siklus hidup dari serangga ini memerlukan waktu hingga 2-3 minggu (Kalshoven 1981). Imago lebih menyukai daun yang telah terinfeksi oleh virus sebagai tempat untuk meletakkan telur daripada daun yang masih sehat (Tengkano 1985).

Phaedonia inclusa Stal. Serangga ini termasuk famili Chrysomelidae dan ordo Coleoptera. Memiliki kepala berwarna coklat kemerahan dan pronotum berwarna hitam kebiruan dan memiliki tepi elitra berwarna coklat kekuningan. Menjadi hama penting pada tanaman kedelai di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tengkano 1985). Namun Meidyawati (2006) melaporkan bahwa serangga ini juga menjadi hama penting pada kedelai edamame di Cisarua Bogor, Jawa Barat.

(16)

Aphis glycines Matsumura. Serangga ini termasuk famili Aphididae dan ordo Hemiptera. Beberapa spesies dari famili ini juga menyerang kedelai seperti

Aphis gossypii. Yang membedakan adalah adanya sklerotisasi pada koksa dan trokanter dari A. gossypii, sedangkan pada A. glycines tidak ditemukan (Ragsdale

et al 2004).

Selain menyebabkan kerusakan langsung, serangga ini juga berperan dalam menyebarkan penyakit, terutama penyakit virus yang sangat spesifik (Bawden 1964). Menurut Burrows (2005), kejadian penyakit SMV meningkat hingga 80% setelah adanya perpindahan A. glycines ke tanaman. Serangga ini bereproduksi secara aseksual dengan partenogenesis, namun pada negara-negara beriklim sub-tropis serangga ini diketahui memiliki fase seksual. Pada akhir musim gugur serangga ini akan menghasilkan telur dan telur akan bertahan selama musim dingin kemudian menetas pada musim semi. Selanjutnya A. glycines akan berkembang biak secara partenogenesis (Ragsdale et al. 2004).

Spodoptera litura Fabricius. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Larva memiliki dua ciri khas yaitu bulan sabit hitam pada ruas abdomen ke-4 dan ke-10 dan dikelilingi oleh garis kuning pada bagian lateral dan dorsalnya. Mereka menyukai tempat yang lembab dan biasanya ditemui bersembunyi di dalam tanah pada siang hari lalu menyerang tanaman pada malam hari. Larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Telur diletakkan dalam kelompok dan ditutupi oleh sutera. Ulat menetas setelah 3-5 hari dan pada awalnya hidup secara gregarious. Beberapa hari kemudian, tergantung ketersediaan makanan mereka menyebar menggunakan benang dibantu oleh angin dan agens pembawa lain. Mereka mencapai instar akhir dalam waktu dua minggu dengan panjang mencapai 50 mm. Larva instar akhir sangat rakus. Pupa terjadi di tanah dalam kepompong yang terbuat dari tanah. Ngengat memiliki rentang hidup yang pendek dan dapat meletakkan telur dalam 2-6 hari dan menghasilkan beberapa kelompok telur. S. litura dapat menghasilkan telur sebanyak ± 2000-3000 butir (Kalshoven 1981).

(17)

12 tanaman (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1992). Parasitoid telur

Telenomus spodopterae yang dilepaskan belum berhasil mengendalikan serangan

S. litura pada pertanaman (Kalshoven 1981). Penggunaan Metarrhizium anisopliae juga diketahui dapat mengendalikan serangan dari S. litura (Prayogo et al. 2005).

Chrysodeixis chalcites Esper. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Diketahui dapat menyerang tanaman kentang dan kedelai di Jawa, ulatnya sangat rakus dan kadang muncul dalam jumlah banyak pada kedelai di Jawa (Kalshoven 1981). Telur serangga ini berbentuk bulat dan diletakkan satu persatu pada malam hari. Telur yang berumur satu hari berwarna putih kekuning-kuningan, setelah dua hari berwarna kuning dan berbintik hitam. Larva mempunyai tiga pasang tungkai palsu. Lama stadium larva 23 hari dan terdiri dari lima instar. Larva akan berpupa di daun ditutupi oleh kokon, lama stadium pupa adalah 6-11 hari. Imago jantan berukuran lebih besar dari betina, dan lama hidupnya berkisar antara 5-12 hari (Harnoto 1986).

Lamprosema indicata Fabricius. Serangga ini termasuk famili Pyralidae dan ordo Lepidoptera. Larva makan dengan cara melipat dan menggulung daun kemudian makan di dalamnya. Spesies ini tersebar di seluruh Indonesia dan dapat ditemui juga di India, Burma dan Filipina. Daun di jalin menjadi satu kemudian dimakan dari dalam dan menyisakan tulang daun saja (Kalshoven 1981). Larva berbentuk bulat panjang bila dilihat dari atas dan dari samping (Pranyoto 1980). Panjang larva instar akhir mencapai 16-18 mm. Stadium larva berlangsung selama 12-20 hari. Pupa dibentuk dalam gulungan daun dan stadium pupa berlangsung antara 6-7 hari (Pranyoto 1980; Pudjianto 1981).

Imago dari serangga ini merupakan ngengat yang berukuran ramping, berwarna kuning krem sampai coklat muda dengan tungkai yang relatif panjang (Pranyoto 1980). Imago meletakkan telur pada permukaan bawah daun dan mampu menghasilkan telur antara 277-424 butir (Pudjianto 1981).

Hama Fase Generatif

(18)

(Hemiptera: Pentatomidae), E. zinckenella dan E. hobsoni (Lepidoptera: Pyralidae), L. indicata (Lepidoptera: Pyralidae), H. armigera (Lepidoptera: Noctuidae) dan C. chalcites (Lepidoptera: Noctuidae).

Nezara viridula Linnaeus. Serangga ini termasuk famili Pentatomidae dan ordo Hemiptera. Kepik ini bersifat polifag. Berwarna hijau dan berukuran sekitar 16 mm. Telur diletakkan berkelompok di bagian bawah permukaan daun sebanyak 10 sampai 90 butir telur per kelompok. Nimfanya berwarna terang. Perkembangan dari nimfa menjadi imago memerlukan waktu 4 sampai 8 minggu dan waktu yang diperlukan untuk mennyelesaikan satu siklus hidup berkisar antara 60 sampai 80 hari. Serangga betina mampu menghasilkan telur hingga 1100 butir (Kalshoven 1981).

Riptortus linearis Linnaeus. Serangga ini termasuk famili Alydidae dan ordo Hemiptera. Hama ini menyerang polong muda dan tua sehingga polong dan biji menjadi kempis, polong gugur, biji keriput, hitam membusuk, berbercak hitam dan berlubang. Serangan hama penghisap polong pada biji menyebabkan daya tumbuh biji berkurang (Tengkano et al. 1992). Imago dari serangga ini memiliki warna coklat dengan garis kuning pada bagian lateral. Telur berwarna coklat tua, berbentuk silindris, dan diletakkan pada bagian bawah daun sebanyak 3-5 telur per kelompok telur. Nimfa terdiri dari lima instar yang berlangsung selama 19 hari, sedangkan imagonya hidup selama 25 hari (Kalshoven 1981).

Ambang ekonomi dari R. linearis dihitung berdasarkan populasi dari nimfa per 12 tanaman. Pengendalian perlu dilakukan jika populasi dari nimfa instar 1 mencapai ≥ 58 ekor atau nimfa instar 2 ≥ 32 ekor atau nimfa instar 3 ≥ 17 ekor per 12 tanaman (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1992). Penggunaan

Verticilium lecanii isolat Probolinggo efektif dalam mengendalikan R. linearis

dan hasilnya sebanding dengan penggunaan insektisida berbahan aktif deltametrin. Lebih lanjut diketahui bahwa penggunaan V. lecanii terhadap telur R. linearis terbukti lebih efektif dalam mengendalikan hama (Prayogo 2004).

(19)

merah muda dan meninggalkan polong untuk berpupa di dalam tanah. Imago mudah dikenali karena adanya garis tipis berwarna kuning pada bagian tepi depan sayap depan (Kalshoven 1981).

Helicoverpa armigera Huebner. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Jenis ini sangat polifag dan lebih suka masuk ke dalam buah dan makan di dalamnya. Larva yang baru menetas memiliki bintik-bintik gelap kecil dan kepalanya berwarna gelap. Kemudian larva yang lebih tua memiliki warna dan pola yang beragam. Tubuh ditumbuhi oleh seta. Saat larva siap berpupa mereka akan menjatuhkan diri ke tanah dan berpupa di tanah. Imago memakan nektar dan meletakkan telur satu per satu di permukaan atas tanaman (Kalshoven 1981).

Musuh Alami Hama Kedelai

Syrphidae. Serangga ini termasuk ke dalam ordo Diptera. Larva dari subfamili Syrphinae memiliki peran penting sebagai predator dari hama-hama penting seperti kutu daun, kutu tempurung, trips dan beberapa larva lepidoptera (Oesterbroek 1998). Lalat ini memiliki bercak kuning di atas tubuh yang berwarna hitam dan memiliki rambut-rambut yang tebal sehingga terlihat seperti lebah. Mereka mampu terbang dengan cepat dan diam di udara (Duke 2006). Imago betina meletakkan telur pada tanaman yang terserang kutu daun, larva yang menetas berwarna putih keabu-abuan berukuran besar dan agak pipih (Kalshoven 1981). Oesterbroek (1998) melaporkan bahwa terdapat 393 spesies dari Syrphidae yang telah diketahui. Beberapa spesies yang dikenal luas sebagai predator adalah

Dideopsis (=Asarcina) aegrota (F.), Ischiodon scutellaris (F.), Episyrphus balteatus (Deg.) dan Eumerus flavicinctus de Meij. (Kalshoven 1981).

(20)

seperti pollen, (4) memakan daun. Larva dari jenis ini memiliki warna yang mencolok (pada predator kutu) atau tertutupi oleh lilin (pada beberapa predator kutu tempurung), atau dengan duri yang bercabang (pada musuh alami Diaspididae dan Epilachna spp.). Stadium larva berlangsung dalam 4 instar dan hanya satu spesies Coccinellidae pemakan kutu tempurung saja yang stadium larvanya berlangsung dalam 3 instar (Dixon 2000). Imagonya memakan makanan yang sama dengan larvanya. Perkawinan terjadi segera setelah imago keluar dari pupa. Produksi telur sangat bergantung pada ketersediaan makanan. Beberapa spesies yang telah diketahui berperan sebagai predator adalah Scymnus apisciflavus (Mots.), Cryptolaemus montrouzieri Muls., Rodolia cardinalis Muls.,

Menochilus sexmaculatus (F.) dan Coccinella transversalis F. (Kalshoven 1981). Kemampuan setiap jenis Coccinellidae dalam memangsa kutu daun berbeda-beda, seperti pada Coccinella septempunctata mampu memangsa rata-rata 77.00 kutu daun per hari, Chilomenes sexmaculata mampu memangsa rata-rata 61.10 kutu daun per hari, dan Leis dimidiata mampu memangsa rata-rata 87.30 kutu daun per hari (Adlakha & Sharma 1976 dalam Sudartha 1989).

Paederus fuscipes Curtis. Serangga ini merupakan anggota dari famili Staphylinidae dan ordo Coleoptera. Larva yang baru menetas berukuran 1.5 mm. Tubuhnya ramping, memiliki 10 ruas abdomen dan dua ruas terakhirnya berwarna gelap serta ujungnya meruncing. Kepala berukuran besar dan memiliki warna yang lebih gelap dari warna tubuhnya serta meiliki antena yang beruas tiga. Pada ujung abdomen terdapat seta dan sersi. Pada larva instar-2 tubuhnya berwarna keputih-putihan dengan kutikula yang tipis dan ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan larva instar sebelumnya. Larva instar-2 makan dengan sangat rakus. Larva instar-3 memiliki ukuran tubuh lebih besar dan warna tubuh yang lebih terang, namun secara keseluruhan bentuk tubuhnya sama dengan larva instar-2. Menjelang masa prapupa, larva instar-3 tidak banyak bergerak. Stadium larva berlangsung dalam 11-15 hari. P. fuscipes berpupa di dalam tanah. Stadium pupa berlangsung selama 3-4 hari (Suastika 2005).

P. fuscipes mampu memangsa telur dan larva H. armigera, E. zinckenella

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada pertanaman kedelai edamame di Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mulai bulan Januari sampai April 2010. Penelitian dilanjutkan dengan identifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode

Lahan Pengamatan

(22)

Pengamatan Hama

Dari masing-masing petak pertanaman edamame diamati 5 bedengan dan dari setiap bedengan diamati 5 tanaman contoh yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 24 HST sampai 66 HST dengan selang waktu 7 hari. Pengamatan populasi A. glycines dilakukan dengan menghitung populasi nimfa dan imago pada seluruh bagian tanaman khususnya di bagian pucuk. Hal yang sama dilakukan untuk B. tabaci dan Empoasca sp. Sedangkan untuk C. chalcites dan L. indicata, selain dilakukan penghitungan populasi larva juga dihitung intensitas serangannya. Intensitas serangan diamati berdasarkan gejala serangan yang muncul. Intenitas serangan penggerek polong E. zinckenella diamati dengan menghitung gejala serangannya.

Intensitas serangan hama dihitung menggunakan rumus berikut:

Hama penghisap polong seperti N. viridula, P. hybneri, dan R. liearis

diamati dengan cara menghitung populasi nimfa dan imago yang terdapat pada tanaman contoh.

Pengamatan Musuh Alami

Pengamatan musuh alami menggunakan tanaman contoh yang sama dengan pengamatan hama. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 24 HST sampai 66 HST dengan selang waktu 7 hari. Kelimpahan populasi Coccinelidae dihitung berdasarkan jumlah, larva, pupa dan imago yang ditemukan pada tanaman contoh. Untuk kelimpahan populasi Syrphidae dilakukan dengan menghitung populasi larva yang ditemukan pada tajuk tanaman. Sedangkan untuk populasi laba-laba, kumbang Carabidae dan P. fuscipes dilakukan dengan menghitung populasinya pada seluruh bagian tanaman contoh.

Identifikasi musuh alami yang ditemukan dilakukan dengan mencocokkan spesimen yang didapat dengan koleksi standar yang ada di Museum Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.

Jumlah daun/polong terserang Jumlah daun/polong yang diamati

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Hama pada Pertanaman Edamame

Hama-hama yang ditemukan menyerang pertanaman kedelai edamame pada fase vegetatif umur 24 sampai 31 HST ada empat jenis, yaitu A. glycines,

Empoasca sp., L. indicata dan B. tabaci. Pada umur 38 HST (fase generatif awal) jumlah spesies hama yang ditemukan masih tetap sama. Jumlah spesies hama meningkat menjadi delapan spesies setelah tanaman berumur 45 HST atau setelah mulai membentuk polong Hama-hama yang ditemukan selain hama yang telah ada sebelumnya adalah C. chalcites, N. viridula, R. linearis dan E. zinckenella (Tabel 1 dan 2). Setelah tanaman berumur 52 HST jumlah spesies hama yang menyerang edamame meningkat menjadi sembilan spesies dengan adanya P. hybneri. Selanjutnya jumlah spesies hama yang menyerang Edamame tetap sampai tanaman berumur 66 HST atau menjelang panen. Untuk hama L. indicata dan C. chalcites selain populasi larva juga dihitung intensitas serangannya. Serangan hama penggulung daun L. indicata mulai ditemukan pada umur tanaman 24 HST, sedangkan serangan ulat jengkal C. chalcites dan penggerek polong E. zinckenella mulai ditemukan pada umur tanaman 45 HST (Tabel 2).

Hama Edamame pada Fase Vegetatif dan Generatif

(24)

pada umur tanaman 24 HST telah mencapai rataan 0.99 ± 3.18% (Tabel 1). Pengamatan selanjutnya gejala serangan selalu ditemukan sampai tanaman berumur 66 HST. Larva L. indicata yang ditemukan pada umur tanaman 66 HST sangat rendah dengan rataan 0.05 ± 0.22 ekor/tanaman sedangkan intensitas serangannya 2.08 ± 3.52%.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hama edamame yang dominan pada fase vegetatif sampai generatif adalah A. glycines, kerapatan populasi hama ini mencapai puncak pada umur 52 HST dengan rataan 230.28 ± 101.94 ekor/tanaman. Setelah itu populasinya berangsur turun dan pada saat tanaman berumur 66 HST rataan populasinya mencapai 66.72 ± 39.06 ekor/tanaman. Penurunan populasi ini kemungkinan disebabkan adanya perpindahan kutudaun ke tanaman edamame lain yang lebih muda. Menurut Dixon (1998), populasi kutudaun yang bersayap akan meningkat saat populasi pada suatu tanaman terlalu padat dan adanya pengaruh kondisi tanaman. Dalam hal ini populasi A. glycines

(25)

Tabel 1 Keragaman jenis hama dan kerapatan populasinya pada pertanaman edamame 

Jenis hama Kerapatan populasi hama pada umur tanaman (HST

a )

24 31 38 45 52 59 66

A. glycines 11.38 ± 18.99 38.78 ± 56.45 113.09 ± 87.2 142.48 ± 85.88 230.28 ± 101.94 151.95 ± 75.65 66.72 ± 39.06

Empoasca sp. 0.73 ± 1,59 1.20 ± 1.62 1.02 ± 1.62 0.81 ± 1.64 1.12 ± 1.65 0.62 ± 1.19 0.69 ± 1.21

C. chalcites 0 0 0 0.3 ± 0.57 0.32 ± 0.57 0.34 ± 0.61 0.34 ± 0.61

L. indicata 0.10 ± 0.39 0.47 ± 0.89 0.37 ± 0.66 0.24 ± 0.65 0.14 ± 0.40 0.17 ± 0.40 0.05 ± 0.22

B. tabaci 0.96 ± 1.71 0.54 ± 1.4 0.78 ± 1.45 1.06 ± 1.85 2.18 ± 2.76 0.78 ± 1.46 0.41 ± 0.90

N .viridula 0 0 0 0.80 ± 0.37 0.13 ± 0.44 0.31 ± 0.93 0.24 ± 0.96

P. hybneri 0 0 0 0 0.03 ± 0.17 0.11 ± 0.51 0.06 ± 0.31

R. linearis 0 0 0 0.02 ± 0.14 0.03 ± 0.17 0.05 ± 0.22 0.01 ± 0.10

a

HST=Hari Setelah Tanam

 

Tabel 2 Intensitas serangan hama pada pertanaman edamame

Jenis hama Intensitas serangan (%) pada umur tanaman (HST

a )

24 31 38 45 52 59 66

C. chalcites 0 0 0 1.95 ± 3.82 3.12 ± 4.38 3.62 ± 4.70 3.73 ± 4.84

L. indicata 0.99 ± 3.18 2.08 ± 4.09  1.84 ± 3.53 1.73 ±3.35 1.82 ± 3.41 1.94 ± 3.26 2.08 ± 3.52

E. zincknella 0 0 0 0.21 ± 1.12 0.34 ± 1.47 0.73 ± 2.26 1.34 ± 3.26

a

HST=Hari Setelah Tanam

 

16

(26)

 

Gambar 1 Perkembangan populasi hama yang menyerang edamame mulai fase vegetatif

Gambar 2 Populasi A. glycines pada pertanaman edamame

Hama Edamame pada Fase Generatif

Pada edamame fase generatif, hama yang muncul adalah N. viridula, P. hybneri, R. linearis dan E. zinckenella. Untuk E. zinckenella yang dihitung adalah intensitas serangannya. Ketiga hama tersebut baru muncul setelah tanaman berumur 45 HST, dimana tanaman sudah membentuk polong, kecuali P. hybneri

0 0.5 1 1.5 2 2.5

24 31 38 45 52 59 66

Bemisia tabaci Lamprosema indicata  (populasi) Chrysodeixis chalcites  (populasi) Empoasca sp. Umur tanaman (HST) Kerapatan populasi hama 0 50 100 150 200 250

24 31 38 45 52 59 66

Kerapatan   populasi   A.   glycines Umur tanaman (HST) Aphis glycines Aplikasi insektisida pada  umur 25 dan 55 HST  Aplikasi insektisida pada  umur 25 dan 55 HST

Bemisia tabaci 

Lamprosema indicata

(populasi) 

Chrysodeixis chalcites

(populasi) 

Empoascai sp. 

(27)

pada umur tanaman 52 HST. Hama yang populasinya paling tinggi adalah N. viridula yaitu 0.31 ekor/tanaman pada 59 HST, berikutnya adalah P. hybneri

sebesar 0.11 ekor/tanaman dan R. linearis sebesar 0.05 ekor/tanaman. Keduanya juga mencapai puncak populasi pada umur 59 HST (Gambar 3). Dari gambar 3 juga dapat dilihat bahwa aplikasi insektisida tidak mampu menurunkan populasi ketiga hama tersebut. Hal ini kemungkinan terjadi karena aplikasi insektisida yang tidak tepat sehingga hama dapat terhindar dari paparan insektisida dengan berlindung di bawah kanopi daun (Tengkano et al 1992), atau telah terjadi resistensi dari hama akibat penggunaan insektisida secara terus menerus (Dadang & Prijono 2008).

Gambar 3 Perkembangan populasi hama edamame pada fase generatif

Sedangkan penggerek polong E. zinckenella gejala serangannya mulai dapat dilihat pada umur tanaman 45 HST dengan intensitas serangan sebesar 0.21%, dan mencapai puncak pada umur tanaman 66 HST dengan rataan 1.34% (Gambar 4). Hal ini terjadi karena pada saat tanaman berumur 45 HST polong sudah mulai terbentuk namun belum maksimal, dan pada saat tanaman berumur 66 HST polong sudah terbentuk secara maksimal sehingga sangat mendukung perkembangan dari E. zinckenella. Imago dewasa meletakkan telur di bagian kelopak bunga atau pada pangkal polong, setelah menetas larva akan langsung masuk ke dalam polong dan makan biji (BPPP 2006).

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35

24 31 38 45 52 59 66

Kerapatan   populasi   hama Umur tanaman (dalam HST) Nezara vridula Piezodorus hybneri Riptortus linearis Aplikasi insektisida pada  umur 25 dan 55 HST

Nezara viridula 

Piezodorus hybneri

(28)

Gambar 4 Perkembangan intensitas serangan E. zinckenella pada edamame

Kelimpahan Musuh Alami pada Pertanaman Kedelai Edamame

Musuh alami yang ditemukan pada pertanaman kedelai edamame adalah Syrphidae, Coccinellidae, laba-laba, Carabidae dan Paederus fuscipes. Dari kelima jenis musuh alami tersebut, yang merupakan musuh alami A. glycines

adalah Syrphidae, Coccinellidae dan Paederus fuscipes (Tabel 3).

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

24 31 37 45 52 59 66

Intensitas

 

serangan

Umur tanaman (HST)

(29)

Tabel 3 Kerapatan musuh alami pada pertanaman edamame

Jenis/kelompok predator

Kerapatan populasi musuh alami pada umur tanaman (HSTa)

24 31 38 45 52 59 66

Syrphidae 0 0 0.02 ± 0,14 0.04 ±0.24 0.26 ± 0.68 0.24 ± 0.61 0.05 ± 0.22

Coccinellidae 0.18 ± 0.59 0.56 ± 1.46 0.38 ± 1.01 0.72 ± 1.61 0.39 ± 0.80 0.24 ± 0.62 0.13 ± 0.46

Laba-laba 0.08 ± 0.27 0.15 ± 0.39 0.11 ± 0.31 0.13 ± 0.34 0.09 ± 0.29 0.15 ± 0.36 0.09 ± 0.29

Carabidae 0 0 0 0.01 ± 0.10 0.01 ± 0.10 0.03 ± 0.33 0.01 ± 0.10

P. fuscipes 0 0 0.02 ± 0.14 0.02 ± 0.14 0.07 ± 0.29 0.08 ± 0.31 0.02 ± 0.14

a

HST=Hari Setelah Tanam

20

(30)

Predator yang ditemukan sejak tanaman berumur 24 sampai 66 HST adalah Coccinellidae dan laba-laba. Populasi Coccinellidae tertinggi terjadi pada umur tanaman 45 HST sebesar 0.72 ekor/tanaman. Spesies Coccinellidae yang ditemukan adalah Menochilus sexmaculatus F. dan Coccinella transversalis F. Untuk laba-laba, populasi tertinggi terjadi pada saat tanaman berumur 31 HST dan 59 HST sebesar 0.15 ekor/tanaman. Sedangkan Syrphidae mulai ditemukan pada umur tanaman 38 HST, demikian pula P. fuscipes. Populasi Syrphidae mencapai puncak pada saat tanaman berumur 52 HST sebesar 0.26 ekor/tanaman dan P. fuscipes pada saat tanaman berumur 59 HST sebesar 0.08 ekor/tanaman. Carabidae ditemukan pada saat tanaman berumur 45 HST dan mencapai puncak pada umur tanaman 59 HST sebesar 0.03 ekor/tanaman (Gambar 5). Setelah aplikasi insektisida pada umur tanaman 55 HST populasi Coccinellidae dan Syrphidae sebagai predator dari A. glycines mengalami penurunan. Sedangkan keberadaan ketiga predator lainnya mengalami peningkatan. Menurut Purwanta dan Rauf (2000), penggunaan insektisida berbahan aktif deltametrin dapat menurunkan populasi dari predator, sedangkan insektisida berbahan aktif profenofos dapat menurunkan populasi dari parasitoid. Selain itu imago P. fuscipes sangat aktif berpindah sehingga dapat terhindar dari paparan insektisida.

(31)
[image:31.595.162.531.107.315.2]

Gambar 5 Perkembangan populasi predator pada pertanaman kedelai edamame

Pengaruh Coccinellidae terhadap A. glycines

Dari pengamatan ditemukan 3 jenis predator dari A. glycines yaitu larva Syrphidae, Coccinellidae (larva dan imago) dan Paederus fuscipes (Tabel 4). Namun populasi musuh alami yang paling tinggi adalah Coccinellidae (Gambar 5). Salah satu spesies dari Coccinelidae yang ditemukan adalah Menochilus sexmaculatus (Fabricius). Spesies ini dinilai cukup potensial dalam mengendalikan A. glycines (Arifin et al 1997). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan Coccinellidae tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan populasi A. glycines (Gambar 6). Hal ini diduga karena populasi Coccinellidae yang terlalu rendah sehingga tidak mampu menekan populasi A. glycines.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

24 31 38 45 52 59 66

Kerapatan

 

populasi

 

musuh

 

alami

Umur tanaman (dalam HST)

Syrphidae

Coccinellidae

Laba‐laba

Carabidae

Paederus fuscipes Aplikasi insektisida pada  umur 25 dan 55 HST

(32)
[image:32.842.95.505.126.323.2]

Gambar 6 Populasi A. glycines dan Coccinellidae pada pertanaman edamame

Tabel 4 Perkembangan kerapatan populasi A. glycines dan Coccinellidae 

Jenis Arthropoda

Kerapatan populasi pada umur tanaman (HSTa)

24 31 38 45 52 59 66

A. glycines 11.38 ± 18.99 38.78 ± 56.45 113.09 ± 87.12 142.48 ± 85.88 230.28 ± 101.94 151.95 ± 72.53 66.72 ± 35.21

Coccinelidae 0.18 ± 0.59 0.56 ± 1.46 0.38 ± 1.01 0.72 ± 1.61 0.39 ± 0.80 0.24 ± 0.62 0.13 ± 0.46

0 50 100 150 200 250

24 31 38 45 52 59 66

Aphis glycines

Coccinelidae

Aphis glycines

Coccinellidae

Aplikasi insektisida pada umur  25 dan 55 HST

23

[image:32.842.85.716.432.492.2]
(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hama yang ditemukan pada tanaman edamame fase vegetatif dan generatif adalah A. glycines, Empoasca sp., L. indicata dan B. tabaci. Sedangkan pada fase generatif ditemukan C. chalcites, N. viridula, R. linearis, E. zinckenella dan P. hybneri. Hama yang dominan ditemukan pada fase generatif adalah N. viridula.

Populasi hama paling tinggi pada kedua fase pertumbuhan edamame adalah A. glycines dan populasinya mencapai puncak pada umur tanaman 52 HST dengan rataan 230.28ekor/tanaman.

Musuh alami yang ditemukan pada pertanaman edamame adalah Syrphidae, Coccinellidae, laba-laba, Carabidae dan Paederus fuscipes. Dari kelima musuh alami tersebut yang merupakan musuh alami A. glycines adalah Syrphidae, Coccinellidae dan P. fuscipes. Keberadaan Coccinellidae pada pertanaman edamame tidak mampu menekan populasi A. glycines.

Saran

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin M, Iqbal A, Suryawan IBG, Djuwarso T, Tengkano W. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai, pp. 1383-1393. Dalam M. Syam et al. (Eds.). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Buku 5: Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau dan Kacang Tunggak.

[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1997. Budidaya Kedelai di Lahan Pasang Surut. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Hama, Penyakit dan Masalah Hara pada Tanaman Kedelai. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Atman. 2006. Budidaya Kedelai di Lahan Sawah. Jurnal Ilmiah Tambua. 5:288-296.

Bawden FC. 1964. Plant Virus and Virus Disease. The Ronald Press Company. New York. 361p.

Borror DJ, Triplehorn CA, Jhonson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Partosoedijono S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari An Introduction to the Studies of Insects.

Chiba Y. 1991. Postharvest processing, marketing and quality degradation of vegetable soybean in Japan. Dalam S. Shanmugasundaram (ed.) Proceeding of vegetable soybean: research needs for production and quality improvement, hal. 108-112. Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center.

Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Duke CV. 2006. All about hoverflies.

http://www.microscopy-uk.org.uk/mag/artmay07/cd-hoverflies.html [14 September 2010]

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Dominasi dan tingkat serangan hama kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

Dixon AFG. 2000. Insect predator-prey dynamics ladybird beetle & biological control. Cambridge University Press. New York. 257p.

Dixon AFG. 1998. Aphid Ecology,2nd ed. New York : Chapman & Hall.

Harnoto. 1986. Biologi dan pengendalian Chrysodeixis chalcites Esper. Buletin Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 5:37-41

Hilman YA, Kasno, Saleh N. 2004. Kacang-kacangan dan umbi-umbian: Kontribusi terhadap ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya.

(35)

Kalshoven LGE 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari De Plagen van the Culturgewassen in Indonesia.

Masuda R. 1991. Quality requirement and improvement of vegetable. Dalam S. Shanmugasundaram (ed.) Proceeding of vegetable soybean: research needs for production and quality improvement, hal. 92-102. Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center.

Maxi I, Winuranto A. 2011. Kedelai Jumbo di Pasar Jepang.

http://theangel.wordpress.com/2009/05/15/kedele-edamame-indonesia-menggiurkan/ [15 Maret 2011]

Meidyawati. 2006. Hama utama dan musuh alami pada tanaman kedelai edamame (Glycine max varietas Edamame), di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nakano H. 1991. Vegetable soybean area, production, demand, supply, domestic and foreign trade in Japan. Dalam S. Shanmugasundaram (ed.) Proceeding of vegetable soybean: research needs for production and quality improvement, hal. 8-16. Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center.

Nazaruddin. 1993. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Oesterbroek P. 1998. The Families of Diptera of the Malay Archipelago. Leiden: Brill. 227p.

Okada T, Tengkano W, Djuwarso T. 1988. An outline on soybean pest in Indonesia in faunistics aspect. Seminar Balittan Bogor, 6 Desember, 1988. 37 hlm.

Pranyoto S. 1980. Biologi hama penggulung daun, Lamprosema indicata F. (Lepidoptera: Pyralidae) pada kedelai. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Laporan masalah khusus. 53h.

Prayogo Y. 2004. Keefektifan lima jenis entomopatogen terhadap hama penghisap polong Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorel (Araneida: Oxyopidae). [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Departemen Hama dan Penyakit Tanaman. Institut Pertanian Bogor.

Prayogo Y., Wedanimbi T. & Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen Metarrhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak

Spodoptera litura pada kedelai.

Pudjianto. 1981. Pengaruh beberapa tanaman kacang-kacangan terhadap keperidian Lamprosema indicata F. (Lepidoptera: Pyralidae). Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Laporan masalah khusus. 36h.

Purwanta F, Rauf A. 2000. Pengaruh samping aplikasi insektisida tehadap predator dan parasitoid pada pertanaman kedelai di Cianjur. Bogor: Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(2): 35-43.

(36)

Suastika IBK. 2005. Kumbang jelajah Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae): pengaruh jenis mangsa terhadap perkembangan dan reproduksi, serta kajian pemangsaan pada ulat grayak [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sudartha M. 1989. Pemencaran predator Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) dan kemampuan predator tersebut menekan populasi kutuloncat lamtoro Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Taulu, LA. 2001. Kompleks Artropoda penghuni tajuk kedelai dan peranannya dengan perhatian utama pada Paederus Fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tengkano W, Iman M, dan Tohir AM. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai, p. 117-139.

Dalam: Marwoto et al. (Eds.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. 183 p.

Tengkano W, Soehardjan M. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam Somaatmadja S, Ismunadji M, Soemarno, Syam M (ed.), Kedelai. Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan. Tsou SCS dan Hong TL. 1991. Research on vegetable soybean quality in

Taiwan. Dalam S. Shanmugasundaram (ed.) Proceeding of vegetable soybean: research needs for production and quality improvement, hal. 103-107. Taiwan: Asian Vegetable Research and Development Center.

Wijayanti. 2005. Perkembangan larva Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae) pada dua jenis mangsa. [skripsi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(37)

ABSTRAK

IBNU RAKHMAT RIDHAYAT. Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami Kedelai Edamame (Glycine max varietas edamame) pada Fase Vegetatif dan Generatif. Dibimbing oleh I Wayan Winasa.

Kedelai (Glycine max L. (Merril)) merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki kandungan gizi tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol. Salah satu varietas kedelai yang biasa di panen muda adalah edamame. Edamame merupakan jenis kedelai sayuran yang berasal dari China dan masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 1988 di Megamendung, Bogor Jawa Barat. Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam meningkatkan produksi kedelai termasuk edamame adalah hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkermbangan jenis-jenis hama dan musuh alami pada pertanaman edamame.

Penelitian ini dilakukan pada lahan pertanaman edamame yang terletak di Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas lahan yang digunakan 300 m2 yang dibagi menjadi 4 petak. Dari setiap petak diambil 5 bedengan dengan jumlah tanaman contoh 5 tanaman per bedengan yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 24 HST sampai 66 HST.

Selama pengamatan ditemukan sembilan jenis hama pada pertanaman edamame yaitu Aphis glycines, Bemisia tabaci, Lamprosema indicata,

Chrysodeixis chalcites, Empoasca spp., Nezara viridula, Piezodorus hybneri,

(38)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai edamame (Glycine max (L) Merril) adalah kedelai yang memiliki polong cukup besar, rasa manis dan biasanya dipanen lebih awal pada saat polongnya masih hijau. Edamame yang berkualitas ditentukan oleh rasa, polong yang berwarna hijau tua, perkembangan polong maksimal dan seragam serta tanpa infeksi atau serangan OPT (Chiba 1991). Dibandingkan kedelai biasa (kedelai biji) edamame memiliki rasa lebih manis karena kandungan sukrosanya yang lebih tinggi dibandingkan kedelai biji (Tsou & Hong 1991). Kedelai edamame biasa dikonsumsi sebagai makanan ringan atau sayuran sehingga sering disebut

vegetable soybean. Di Jepang, edamame dikonsumsi sebagai pembangkit selera dan disuguhkan bersama dengan bir (Nakano 1991). Edamame kaya akan protein, vitamin A, C, dan E, dan mineral seperti kalsium dan zat besi (Masuda 1991). Kedelai ini berasal dari China dan mulai dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1988 khususnya di daerah Megamendung, Bogor, Jawa Barat (Noertjahyo 2002 dalam Meidyawati 2006). Kedelai yang ditanam di daerah Megamendung untuk memenuhi kebutuhan restauran dan hotel di Jakarta. Namun belum ada data pasti berapa kebutuhan edamame untuk pasar Jakarta dan sekitarnya. Kebutuhan edamame di Jepang pada tahun 2010 sebesar 100.000 ton, dari jumlah tersebut sekitar 70.000 ton dipasok dari China, Taiwan, dan Thailand (Maxi & Winuranto 2011).

Pertumbuhan kedelai edamame (vegetable soybean) sama dengan pertumbuhan kedelai biji (grain soybean). Berdasarkan kerentanannya terhadap serangan hama maka fase pertumbuhan kedelai dapat dibagi menjadi tiga. Fase bibit umur 4 HST (hari setelah tanam) sampai 21 HST, fase vegetatif pada umur 21 HST sampai 35 HST dan generatif umur 36 HST ke atas merupakan fase mulai terbentuk bunga dan polong sampai panen (Tengkano & Soehardjan 1985).

(39)

keempat hal diatas, kendala langsung yang dialami petani adalah serangan hama dan penyakit. Okada et al. (1988) melaporkan bahwa terdapat 111 jenis hama kedelai di Indonesia, 61 predator, 41 parasitoid dan 3 kelompok penyakit kedelai. Sedangkan hama yang ditemukan menyerang edamame adalah Ophiomyia phaseoli Tryon., Melanagromyza sp., Empoasca sp., Phaedonia inclusa Stal.,

Spodoptera litura Fabricius., Chrysodeixis chalcites Esper., Lamprosema indicata

Fabricius., Helicoverpa armigera Huebner., Etiella zinckenella Treitschke.,

Nezara viridula Linnaeus., Piezodorus hybneri Gmelin., Riptortus linearis L.,

Aphis glycines Matsumura. dan Bemicia tabaci Gennadius (Meidyawati 2006). Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani adalah pengendalian secara kimia menggunakan insektisida, namun penggunaanya masih belum sesuai dengan kaidah-kaidah pengendalian yang bijaksana, seperti frekuensi yang terlalu tinggi, dosis insektisida yang kurang optimal, atau penggunaan volume semprot yang kurang dari semestinya (Tengkano et al 1992) sehingga menyebabkan pengendalian kurang berhasil. Selain itu, pengendalian menggunakan insektisida secara berlebihan terbukti dapat berdampak buruk terhadap keberadaan musuh alami (Tengkano et al. 1992; Dadang & Prijono 2008). Padahal keberadaan musuh alami pada areal pertanaman juga berperan penting untuk mengendalikan populasi hama. Penggunaan musuh alami merupakan salah satu cara pengendalian hama yang ramah lingkungan. Penggunaan musuh alami memiliki keuntungan dibandingkan cara pengendalian lain karena banyak dari musuh alami bersifat spesifik terhadap mangsa/inang tertentu. Beberapa predator yang ditemukan pada pertanaman kedelai adalah Paederus fuscipes Curt., Menochilus sexmaculatus

Fabricius, Coelophora inaequalis Fabricius, Anaxipha longipennis Serville (Taulu 2001), Pardosa pseudoannulata (Boes. & Str.), Atypena adelinae Barr. & Lit., dan Chlaenius circumstatus Brulle (Winasa 2001). Meidyawati (2006) melaporkan beberapa jenis musuh alami yang ditemukan pada tajuk edamame seperti Coccinellidae, Oxyopes sp., Pardosa sp., dan Andrallus sp.

(40)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kelimpahan hama utama dan musuh alami kedelai edamame (Glycine max varietas edamame) pada fase vegetatif dan generatif.

Manfaat

(41)

TINJAUAN PUSTAKA

Glycine max Varietas Edamame

Asal-usul Tanaman

Edamame merupakan salah satu varietas dari kedelai, dan kedelai merupakan anggota dari famili Fabaceae. Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari China dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Kemudian masuk ke Indonesia sejak abad ke-16 awalnya di pulau Jawa dan kemudian menyebar ke Bali, Nusa Tenggara dan pulau-pulau lainnya. Pada awalnya kedelai dikenal dengan nama botani Glycine soja dan Soja max, namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama ilmiah yang disepakati adalah Glycine max (Irwan 2006).

Budidaya Kedelai Edamame

Seperti halnya tanaman kedelai biji, pertumbuhan edamame sangat bergantung kepada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi. Faktor-faktor eksternal tersebut adalah tanah dan iklim. Tanaman kedelai pada umumnya dapat tumbuh maksimal jika ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir atau liat berpasir (Irwan 2006) dan dengan keasaman (pH) tanah antara 5.8 sampai 7.0 (Nazaruddin 1993). Edamame sendiri merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan, menurut Nazaruddin (1993) edamame dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki iklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 100 sampai 400 mm/bulan.

(42)

mulsa jerami dapat meningkakan kelimpahan total dari predator penghuni tanah seperti laba-laba serigala, laba-laba kate dan semut (Winasa 2001).

Penanaman dan Jarak Tanam. Penanaman dilakukan dengan membuat lubang sedalam 1 sampai 1.5 cm menggunakan tugal, setiap lubang tanam diletakkan 1 atau 2 biji (Nazaruddin 1993). Kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah halus atau abu jerami. Jarak tanam yang dianjurkan sebesar 20 x 20 cm atau 25 x 25 cm (Irwan 2006).

Pemeliharaan Tanaman. Pemupukan dilakukan 2 kali, pemupukan pertama dilakukan saat tanaman berumur 0 HST hingga 7 HST menggunakan Urea sebanyak 50 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan TSP 100 kg/ha sedangkan pada lahan yang memiliki tipologi masam menggunakan Urea sebanyak 50 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan TSP 100 kg/ha hal yang sama diberikan kepada tanah bergambut (BPPP 1997). Pupuk kandang digunakan bersamaan dengan persiapan lahan dan bedengan, pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang sapi atau ayam. Pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 21 HST sampai 28 HST menggunakan pupuk Urea dengan dosis 25 hingga 50 kg/ha (Nazaruddin 1993). Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 20 HST sampai 30 HST, dan penyiangan kedua dilakukan setelah tanaman berhenti berbunga. Penyiangan dilakukan dengan membersihkan gulma dengan menggunakan tangan atau kored (Irwan 2006).

Panen dan Pasca Panen. Kedelai edamame dapat dipanen pada umur 63 HST sampai 68 HST untuk polong segar dan 90 HST untuk polong tua (BPPP 2005), namun menurut Nazaruddin (1993), edamame dapat dipanen sejak tanaman berumur 45 HST. Polong segar yang didapatkan bisa langsung dijual dalam kemasan dan untuk polong tua dapat dijadikan benih. Untuk memperoleh benih, polong tua disortir kemudian dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 10 sampai 15 % (Irwan 2006).

Hama Kedelai Edamame

(43)

adalah Ophiomyia phaseoli Tryon., Melanagromyza sp., Empoasca sp.,

Phaedonia inclusa Stal., Spodoptera litura Fabricius., Chrysodeixis chalcites

Esper., Lamprosema indicata Fabricius., Helicoverpa armigera Huebner., Etiella zinckenella Treitschke., Nezara viridula Linnaeus., Piezodorus hybneri Gmelin.,

Riptortus linearis L., Aphis glycines Matsumura, dan Bemicia tabaci Gennadius.

Hama Fase Vegetatif

Hama penting yang menyerang tanaman pada fase vegetatif adalah P. inclusa (Coleoptera: Chrysomelidae), B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae), S. litura (Lepidoptera: Noctuidae), C. chalcites (Lepidoptera: Noctuidae) dan L. indicata (Lepidoptera: Pyralidae).

Bemisia tabaci Gennadius. Serangga ini termasuk famili Aleyrodidae dan ordo Hemiptera. Bersifat sebagai vektor dalam menyebarkan beberapa virus tanaman. Telur berwarna kuning terang, bertangkai dan umumnya diletakkan pada bagian bawah permukaan daun. Nimfa dan pupa berwarna keputih-putihan dan berukuran 0.7 mm. Serangga dewasa berwarna kuning dengan sayap berwarna putih, berukuran 1-1.5 mm, dan hidup selama 6 hari. Serangga betina dapat meletakkan telur hingga 30 telur per ekor. Satu siklus hidup dari serangga ini memerlukan waktu hingga 2-3 minggu (Kalshoven 1981). Imago lebih menyukai daun yang telah terinfeksi oleh virus sebagai tempat untuk meletakkan telur daripada daun yang masih sehat (Tengkano 1985).

Phaedonia inclusa Stal. Serangga ini termasuk famili Chrysomelidae dan ordo Coleoptera. Memiliki kepala berwarna coklat kemerahan dan pronotum berwarna hitam kebiruan dan memiliki tepi elitra berwarna coklat kekuningan. Menjadi hama penting pada tanaman kedelai di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tengkano 1985). Namun Meidyawati (2006) melaporkan bahwa serangga ini juga menjadi hama penting pada kedelai edamame di Cisarua Bogor, Jawa Barat.

(44)

Aphis glycines Matsumura. Serangga ini termasuk famili Aphididae dan ordo Hemiptera. Beberapa spesies dari famili ini juga menyerang kedelai seperti

Aphis gossypii. Yang membedakan adalah adanya sklerotisasi pada koksa dan trokanter dari A. gossypii, sedangkan pada A. glycines tidak ditemukan (Ragsdale

et al 2004).

Selain menyebabkan kerusakan langsung, serangga ini juga berperan dalam menyebarkan penyakit, terutama penyakit virus yang sangat spesifik (Bawden 1964). Menurut Burrows (2005), kejadian penyakit SMV meningkat hingga 80% setelah adanya perpindahan A. glycines ke tanaman. Serangga ini bereproduksi secara aseksual dengan partenogenesis, namun pada negara-negara beriklim sub-tropis serangga ini diketahui memiliki fase seksual. Pada akhir musim gugur serangga ini akan menghasilkan telur dan telur akan bertahan selama musim dingin kemudian menetas pada musim semi. Selanjutnya A. glycines akan berkembang biak secara partenogenesis (Ragsdale et al. 2004).

Spodoptera litura Fabricius. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Larva memiliki dua ciri khas yaitu bulan sabit hitam pada ruas abdomen ke-4 dan ke-10 dan dikelilingi oleh garis kuning pada bagian lateral dan dorsalnya. Mereka menyukai tempat yang lembab dan biasanya ditemui bersembunyi di dalam tanah pada siang hari lalu menyerang tanaman pada malam hari. Larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Telur diletakkan dalam kelompok dan ditutupi oleh sutera. Ulat menetas setelah 3-5 hari dan pada awalnya hidup secara gregarious. Beberapa hari kemudian, tergantung ketersediaan makanan mereka menyebar menggunakan benang dibantu oleh angin dan agens pembawa lain. Mereka mencapai instar akhir dalam waktu dua minggu dengan panjang mencapai 50 mm. Larva instar akhir sangat rakus. Pupa terjadi di tanah dalam kepompong yang terbuat dari tanah. Ngengat memiliki rentang hidup yang pendek dan dapat meletakkan telur dalam 2-6 hari dan menghasilkan beberapa kelompok telur. S. litura dapat menghasilkan telur sebanyak ± 2000-3000 butir (Kalshoven 1981).

(45)

12 tanaman (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1992). Parasitoid telur

Telenomus spodopterae yang dilepaskan belum berhasil mengendalikan serangan

S. litura pada pertanaman (Kalshoven 1981). Penggunaan Metarrhizium anisopliae juga diketahui dapat mengendalikan serangan dari S. litura (Prayogo et al. 2005).

Chrysodeixis chalcites Esper. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Diketahui dapat menyerang tanaman kentang dan kedelai di Jawa, ulatnya sangat rakus dan kadang muncul dalam jumlah banyak pada kedelai di Jawa (Kalshoven 1981). Telur serangga ini berbentuk bulat dan diletakkan satu persatu pada malam hari. Telur yang berumur satu hari berwarna putih kekuning-kuningan, setelah dua hari berwarna kuning dan berbintik hitam. Larva mempunyai tiga pasang tungkai palsu. Lama stadium larva 23 hari dan terdiri dari lima instar. Larva akan berpupa di daun ditutupi oleh kokon, lama stadium pupa adalah 6-11 hari. Imago jantan berukuran lebih besar dari betina, dan lama hidupnya berkisar antara 5-12 hari (Harnoto 1986).

Lamprosema indicata Fabricius. Serangga ini termasuk famili Pyralidae dan ordo Lepidoptera. Larva makan dengan cara melipat dan menggulung daun kemudian makan di dalamnya. Spesies ini tersebar di seluruh Indonesia dan dapat ditemui juga di India, Burma dan Filipina. Daun di jalin menjadi satu kemudian dimakan dari dalam dan menyisakan tulang daun saja (Kalshoven 1981). Larva berbentuk bulat panjang bila dilihat dari atas dan dari samping (Pranyoto 1980). Panjang larva instar akhir mencapai 16-18 mm. Stadium larva berlangsung selama 12-20 hari. Pupa dibentuk dalam gulungan daun dan stadium pupa berlangsung antara 6-7 hari (Pranyoto 1980; Pudjianto 1981).

Imago dari serangga ini merupakan ngengat yang berukuran ramping, berwarna kuning krem sampai coklat muda dengan tungkai yang relatif panjang (Pranyoto 1980). Imago meletakkan telur pada permukaan bawah daun dan mampu menghasilkan telur antara 277-424 butir (Pudjianto 1981).

Hama Fase Generatif

(46)

(Hemiptera: Pentatomidae), E. zinckenella dan E. hobsoni (Lepidoptera: Pyralidae), L. indicata (Lepidoptera: Pyralidae), H. armigera (Lepidoptera: Noctuidae) dan C. chalcites (Lepidoptera: Noctuidae).

Nezara viridula Linnaeus. Serangga ini termasuk famili Pentatomidae dan ordo Hemiptera. Kepik ini bersifat polifag. Berwarna hijau dan berukuran sekitar 16 mm. Telur diletakkan berkelompok di bagian bawah permukaan daun sebanyak 10 sampai 90 butir telur per kelompok. Nimfanya berwarna terang. Perkembangan dari nimfa menjadi imago memerlukan waktu 4 sampai 8 minggu dan waktu yang diperlukan untuk mennyelesaikan satu siklus hidup berkisar antara 60 sampai 80 hari. Serangga betina mampu menghasilkan telur hingga 1100 butir (Kalshoven 1981).

Riptortus linearis Linnaeus. Serangga ini termasuk famili Alydidae dan ordo Hemiptera. Hama ini menyerang polong muda dan tua sehingga polong dan biji menjadi kempis, polong gugur, biji keriput, hitam membusuk, berbercak hitam dan berlubang. Serangan hama penghisap polong pada biji menyebabkan daya tumbuh biji berkurang (Tengkano et al. 1992). Imago dari serangga ini memiliki warna coklat dengan garis kuning pada bagian lateral. Telur berwarna coklat tua, berbentuk silindris, dan diletakkan pada bagian bawah daun sebanyak 3-5 telur per kelompok telur. Nimfa terdiri dari lima instar yang berlangsung selama 19 hari, sedangkan imagonya hidup selama 25 hari (Kalshoven 1981).

Ambang ekonomi dari R. linearis dihitung berdasarkan populasi dari nimfa per 12 tanaman. Pengendalian perlu dilakukan jika populasi dari nimfa instar 1 mencapai ≥ 58 ekor atau nimfa instar 2 ≥ 32 ekor atau nimfa instar 3 ≥ 17 ekor per 12 tanaman (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1992). Penggunaan

Verticilium lecanii isolat Probolinggo efektif dalam mengendalikan R. linearis

dan hasilnya sebanding dengan penggunaan insektisida berbahan aktif deltametrin. Lebih lanjut diketahui bahwa penggunaan V. lecanii terhadap telur R. linearis terbukti lebih efektif dalam mengendalikan hama (Prayogo 2004).

(47)

merah muda dan meninggalkan polong untuk berpupa di dalam tanah. Imago mudah dikenali karena adanya garis tipis berwarna kuning pada bagian tepi depan sayap depan (Kalshoven 1981).

Helicoverpa armigera Huebner. Serangga ini termasuk famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Jenis ini sangat polifag dan lebih suka masuk ke dalam buah dan makan di dalamnya. Larva yang baru menetas memiliki bintik-bintik gelap kecil dan kepalanya berwarna gelap. Kemudian larva yang lebih tua memiliki warna dan pola yang beragam. Tubuh ditumbuhi oleh seta. Saat larva siap berpupa mereka akan menjatuhkan diri ke tanah dan berpupa di tanah. Imago memakan nektar dan meletakkan telur satu per satu di permukaan atas tanaman (Kalshoven 1981).

Musuh Alami Hama Kedelai

Syrphidae. Serangga ini termasuk ke dalam ordo Diptera. Larva dari subfamili Syrphinae memiliki peran penting sebagai predator dari hama-hama penting seperti kutu daun, kutu tempurung, trips dan beberapa larva lepidoptera (Oesterbroek 1998). Lalat ini memiliki bercak kuning di atas tubuh yang berwarna hitam dan memiliki rambut-rambut yang tebal sehingga terlihat seperti lebah. Mereka mampu terbang dengan cepat dan diam di udara (Duke 2006). Imago betina meletakkan telur pada tanaman yang terserang kutu daun, larva yang menetas berwarna putih keabu-abuan berukuran besar dan agak pipih (Kalshoven 1981). Oesterbroek (1998) melaporkan bahwa terdapat 393 spesies dari Syrphidae yang telah diketahui. Beberapa spesies yang dikenal luas sebagai predator adalah

Dideopsis (=Asarcina) aegrota (F.), Ischiodon scutellaris (F.), Episyrphus balteatus (Deg.) dan Eumerus flavicinctus de Meij. (Kalshoven 1981).

(48)

seperti pollen, (4) memakan daun. Larva dari jenis ini memiliki warna yang mencolok (pada predator kutu) atau tertutupi oleh lilin (pada beberapa predator kutu tempurung), atau dengan duri yang bercabang (pada musuh alami Diaspididae dan Epilachna spp.). Stadium larva berlangsung dalam 4 instar dan hanya satu spesies Coccinellidae pemakan kutu tempurung saja yang stadium larvanya berlangsung dalam 3 instar (Dixon 2000). Imagonya memakan makanan yang sama dengan larvanya. Perkawinan terjadi segera setelah imago keluar dari pupa. Produksi telur sangat bergantung pada ketersediaan makanan. Beberapa spesies yang telah diketahui berperan sebagai predator adalah Scymnus apisciflavus (Mots.), Cryptolaemus montrouzieri Muls., Rodolia cardinalis Muls.,

Menochilus sexmaculatus (F.) dan Coccinella transversalis F. (Kalshoven 1981). Kemampuan setiap jenis Coccinellidae dalam memangsa kutu daun berbeda-beda, seperti pada Coccinella septempunctata mampu memangsa rata-rata 77.00 kutu daun per hari, Chilomenes sexmaculata mampu memangsa rata-rata 61.10 kutu daun per hari, dan Leis dimidiata mampu memangsa rata-rata 87.30 kutu daun per hari (Adlakha & Sharma 1976 dalam Sudartha 1989).

Paederus fuscipes Curtis. Serangga ini merupakan anggota dari famili Staphylinidae dan ordo Coleoptera. Larva yang baru menetas berukuran 1.5 mm. Tubuhnya ramping, memiliki 10 ruas abdomen dan dua ruas terakhirnya berwarna gelap serta ujungnya meruncing. Kepala berukuran besar dan memiliki warna yang lebih gelap dari warna tubuhnya serta meiliki antena yang beruas tiga. Pada ujung abdomen terdapat seta dan sersi. Pada larva instar-2 tubuhnya berwarna keputih-putihan dengan kutikula yang tipis dan ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan larva instar sebelumnya. Larva instar-2 makan dengan sangat rakus. Larva instar-3 memiliki ukuran tubuh lebih besar dan warna tubuh yang lebih terang, namun secara keseluruhan bentuk tubuhnya sama dengan larva instar-2. Menjelang masa prapupa, larva instar-3 tidak banyak bergerak. Stadium larva berlangsung dalam 11-15 hari. P. fuscipes berpupa di dalam tanah. Stadium pupa berlangsung selama 3-4 hari (Suastika 2005).

P. fuscipes mampu memangsa telur dan larva H. armigera, E. zinckenella

(49)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada pertanaman kedelai edamame di Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mulai bulan Januari sampai April 2010. Penelitian dilanjutkan dengan identifikasi di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode

Lahan Pengamatan

(50)

Pengamatan Hama

Dari masing-masing petak pertanaman edamame diamati 5 bedengan dan dari setiap bedengan diamati 5 tanaman contoh yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 24 HST sampai 66 HST dengan selang waktu 7 hari. Pengamatan populasi A. glycines dilakukan dengan menghitung populasi nimfa dan imago pada seluruh bagian tanaman khususnya di bagian pucuk. Hal yang sama dilakukan untuk B. tabaci dan Empoasca sp. Sedangkan untuk C. chalcites dan L. indicata, selain dilakukan penghitungan populasi larva juga dihitung intensitas serangannya. Intensitas serangan diamati berdasarkan gejala serangan yang muncul. Intenitas serangan penggerek polong E. zinckenella diamati dengan menghitung gejala serangannya.

Intensitas serangan hama dihitung menggunakan rumus berikut:

Hama penghisap polong seperti N. viridula, P. hybneri, dan R. liearis

diamati dengan cara menghitung populasi nimfa dan imago yang terdapat pada tanaman contoh.

Pengamatan Musuh Alami

Pengamatan musuh alami menggunakan tanaman contoh yang sama dengan pengamatan hama. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumu

Gambar

Tabel 1 Keragaman jenis hama dan kerapatan populasinya pada pertanaman edamame
Gambar 1 Perkembangan populasi hama yang menyerang edamame mulai
Gambar 3  Perkembangan populasi hama edamame pada fase generatif
Gambar 4  Perkembangan intensitas serangan E. zinckenella pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Populasi Hama dan Musuh Alami pada Pertanaman Padi Varietas Ciherang Yang Dikelola Secara PHT Versus Konvensional (Non- PHT). Fakultas Pertanian, Universitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan hama dan musuh alami, keragaman artropoda permukaan tanah dan pengaruh aplikasi insektisida pada tanaman

Kitosan larut asam yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan kedelai selama awal fase generatif, tetapi memberikan pengaruh yang

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangga yang tertangkap pada fase vegetatif tanaman kedelai sebanyak 11 ordo yang terdiri atas 27 famili dengan jumlah populasi sebesar

indicata merupakan hama penting yang merusak daun pertanaman kedelai pada umur 31 sampai 50 HST, kerusakan daun pada fase ini menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangga yang tertangkap pada fase vegetatif tanaman kedelai sebanyak 11 ordo yang terdiri atas 27 famili dengan jumlah populasi sebesar

Denah percobaan dengan rancangan split plot pengaruh perlakuan waktu aplikasi dan konsentrasi pupuk silika terhadap kehadiran hama dan musuh alami pada kedelai

Hama lain yang ditemukan selama fase vegetatif sampai generatif adalah penggerek batang (Ostrinia furnacalis Guenee), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera