• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar Di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar Di Kota Bogor"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

KHUSNUL KHOTIMAH. The Model Of Effort Overcome The Street Food Safety Problems For Elementary Students In Bogor. Under the guidance of EVY DAMAYANTHI and EDDY S MUDJAJANTO.

The objective of this study was to develop model of effort to overcome the street food safety problems for elementary students in Bogor. This study was consisted by two phases. First one was done at 10 elementary schools in Bogor to observed condition and kind of street food for elementary students which risk unsafely and to determined intervention which would be done in second phase. First phased was designed as cross sectional study. Location was decided by purposive sampling. Second phase research was conducted at SDN “D” which was chosen in first phase. Nutrition counseling was conducted as intervention.

Measuring food vendors’ PSP (knowledge, attitude, and practice) of nutrition and

food safety was done in pre and post intervention. Data analysis was done by using Microsoft Excel 2007 and program SPSS. Variables’ relation was analyzed using Pearson correlation test and paired t-test. Food vendors at SDN “D” were mostly men (88.9%) in the range of age 18-40 years. They were mostly elementary degree (44.7%) and poor (55.6%). They had been working as food vendor for 1-5 years and > 1 year (44.4%). Knowledge, attitude, and practice of mostly food vendors in post intervention were better than in pre intervention. Pearson correlation test showed that knowledge of food safety and attitude of it had significantly correlated (p<0.05), but there were no significant correlation between knowledge of nutrition and attitude of it (p>0,05); knowledge of nutrition and food safety with food safety practice (p>0.05); and attitude of nutrition and food safety with food safety practice (p>0.05).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan dan minuman (Saparinto & Diana 2006). Pangan dan gizi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik dalam meningkatkan status gizi.

Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah generasi penerus. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada anak tidak selalu dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006).

Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah. Mengonsumsi makanan jajanan yang tidak aman dan tidak sehat dapat menyebabkan anak terkena penyakit dan dapat menurunkan status gizi anak (Haryanto 2002). Menurut penelitian Februhartanty & Iswarawanti (2004) di Bogor, bahwa makanan yang dikonsumsi oleh pelajar waktu sekolah menyumbang asupan gizi sebanyak 36% energi, 29% protein dan 52% zat besi.

(3)

terjadi 28 kejadian luar biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan (16%), dimana terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi sebesar 28.5% sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok yang paling sering (67%) mengalami keracunan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) (BPOMRI 2008).

Penelitian yang dilakukan di Bogor oleh Februhartanty & Iswarawanti (2004) menemukan Salmonella Paratypi A di 25%-50% sampel minuman yang dijual di pedagang kaki lima. Banyak kasus dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam jajanan sekolah banyak mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan anak-anak. Selain cemaran mikrobiologis, cemaran kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah penggunaan bahan tambahan illegal seperti boraks (pengempal yang mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet yang digunakan untuk mayat), rhodamin B (pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik, yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia, serta mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku pada anak sekolah meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita autis. Pengaruh jangka pendek penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ini menimbulkan gejala-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau bahkan kesulitan buang air besar (Judarwanto 2006).

(4)

Ketidaktahuan tentang bahan makanan dapat menyebabkan pemilihan makanan yang salah dan rendahnya pengetahuan gizi akan menyebabkan sikap masa bodoh terhadap makanan tertentu. Menurut Khomsan (2002) untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal pengetahuan gizi. Memiliki pengetahuan gizi tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan makannya. Mereka mungkin mengerti tentang protein, karbohidrat, vitamin, dan zat gizi lainnya yang diperlukan untuk keseimbangan diit. Tetapi mereka tidak pernah mengaplikasikan pengetahuan gizi di dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat pentingnya peranan pangan jajanan yang sehat dan aman bagi anak-anak sekolah serta banyaknya masalah yang terjadi akibat makanan jajanan, maka perlu dicari model upaya mengatasi masalah keamanan pangan Sekolah Dasar di Kota Bogor.

Perumusan Masalah

Makanan jajanan anak sekolah dasar merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan anak sekolah dasar, namun banyak terdapat permasalahan mengenai praktek keamanan PJAS yang meliputi kurangnya higiene dan sanitasi dari penjaja PJAS maupun penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Rendahnya kualitas pangan jajanan mungkin berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan dari penjaja PJAS mengenai keamanan pangan. Berdasarkan kondisi ini, perlu dianalisis risiko ketidakamananan PJAS sehingga dapat dikembangkan sebagai model upaya mengatasi masalah keamanan pangan jajanan anak Sekolah Dasar di Kota Bogor.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan model upaya mengatasi masalah keamanan pangan jajanan anak Sekolah Dasar di Kota Bogor.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis risiko ketidakamanan pada penelitian pendahuluan

2. Merumuskan model untuk mengatasi masalah keamanan pangan PJAS di Kota Bogor.

(5)

Kegunaan Penelitian

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Sekolah Dasar

Sekolah merupakan institusi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengolahan sekolah yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sedangkan Departemen Pendidikan hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Lingkungan sekolah memiliki peran penting dalam pendidikan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk perilaku anak sekolah (Notoatmodjo 2003).

Anak sekolah dasar disebut juga masa akhir anak-anak (Late Childhood) yaitu yang berumur antara 6-12 tahun. Pertumbuhan dan perkembangannya lebih stabil dibandingkan pada masa bayi atau remaja. Pada usia sekolah ini pertumbuhan dan perkembangan tetap terjadi tetapi laju pertumbuhan fisiknya lebih lambat. Kemampuan motorik semakin membaik, perkembangan kognitif dan kemampuan sosialnya makin matang dan pada masa ini diakhiri dengan masa pubertas baik laki-laki maupun perempuan (Faridi 2002).

Anak usia sekolah dasar mempunyai sifat yang berubah-ubah terhadap makanan. Pada usia ini mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah sehingga lebih mudah menjumpai aneka bentuk dan jenis makanan jajanan, baik yang dijual disekitar sekolah, lingkungan bermain, atau pemberian teman. Mereka selalu ingin mencoba makanan yang baru dikenalnya. Secara umum nafsu makannya tidak mengalami masalah. Kondisi yang demikian membutuhkan perhatian khusus agar makanan yang mereka konsumsi adalah makanan yang sehat dan bergizi (Pertiwi 1998).

Anak sekolah perlu diajar memilih dan menikmati bermacam-macam bahan pangan secara baik dan memberi pengertian adanya hubungan antara pangan dengan pertumbuhan badan serta kesehatan. Dengan demikian setelah menguasai pengetahuan tersebut, anak sekolah akan senantiasa menjaga kesehatan dan status gizinya, memiliki kebiasaan pangan yang baik, bersikap positif terhadap pangan-pangan yang bergizi, mempunyai keterampilan gizi serta mampu berperan sebagai agen perubah terhadap kebiasaan makan keluarganya.

(7)

anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasi untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion & Wirakusumah 1991).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat.

Penjaja PJAS mempunyai risiko ketidakamanan yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga kantin yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah dan guru belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal & Damayanti 2006).

Menurut Depkes RI (2001), penjaja makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain:

a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya;

b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya); c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian; d. Memakai celemek dan tutup kepala;

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

Disamping itu, penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan dilarang antara lain:

a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan;

b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya);

(8)

Pangan Jajanan

Pangan jajanan menurut WHO (1996) didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Makanan yang sehat, aman dan bergizi adalah makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan seorang anak untuk dapat hidup sehat dan produktif. Makanan tersebut harus bersih, tidak kadaluarsa dan tidak mengandung bahan kimia maupun mikroba berbahaya bagi kesehatan. Selain masalah gizi, keamanan pangan juga merupakan masalah yang tidak kalah penting bagi anak-anak sekolah. Makanan yang tidak bersih dan tidak aman dapat menimbulkan keracunan dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan penyakit.

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa makanan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya makanan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), minuman, dan buah-buahan segar. Makanan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Pangan jajanan menurut Nuraida et al (2009) dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Makanan sepinggan merupakan kelompok makanan utama yang dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di kantin, seperti gado-gado, nasi uduk, siomay, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain.

b. Makanan camilan adalah makanan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan, terdiri dari : (1) makanan camilan basah yaitu pisang goreng, lumpia, lemper, risoles dan lain-lain; (2) makanan camilan kering yaitu produk ekstruksi (brondong), kripik, biskuit, kue kering dan lain-lain.

c. Minuman, kelompok minuman yang biasanya dijual dikantin: (1) air putih, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri; (2) minuman ringan, dalam kemasan misalnya teh, minuman sari buah, minuman berkarbonisasi dan lain-lain, atau yang disiapkan sendiri oleh kantin misalnya es sirup dan teh; dan (3) minuman campur, seperti es buah, es campur, es cendol, es doger dan lain-lain.

(9)

hari, buah-buahan dapat dijual dalam bentuk : (1) utuh, misalnya pisang, jambu, jeruk dan lain-lain; (2) kupas dan potong, misalnya papaya, nenas, melon, mangga dan lain-lain.

Fardiaz (1997) menyatakan makanan jajanan mempunyai risiko terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini karena pada umumnya makanan jajanan dipersiapkan dengan cara kurang higiene dan masih banyak menggunakan bahan-bahan yang tidak boleh digunakan dalam makanan atau melebihi batas yang diizinkan. WHO (1996) menyatakan makanan jajanan dapat mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat karena: (1) kurangnya fasilitas infrastruktur dan jasa pelayanan lain seperti penyediaan air bersih; (2) sulit mengawasi para pedagang makanan jajanan karena jenisnya beraneka ragam dan bersifat sementara; (3) tidak cukup sumberdaya untuk pengawasan dan analisis laboratorium; (4) kurangnya pengetahuan fakta yang sebenarnya tentang keadaan mikrobiologi atau data epidemiologi yang tepat tentang makanan jajanan; (5) kurangnya pengetahuan para pedagang tentang penanganan keamanan pangan; dan (6) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya makanan jajanan.

Pengetahuan, Sikap dan Praktek Keamanan Pangan Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2008).

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding tidak disadari dengan pengetahuan (Notoatmodjo 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan diantaranya, yaitu :

1. Tahu (know)

(10)

ke dalam tingkat ini. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu objek serta dapat menginterpretasikannya dengan benar. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menjelaskan, menyebutkan contoh, meramalkan, menyimpulkan, dan sebagainya.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi merupakan kemampuan seseorang untuk menerapkan materi yang pernah dipelajarinya, seperti penggunaan rumus, metode, dan prinsip.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan suatu materi ke dalam komponen-komponen secara berkaitan dan terstruktur. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja seperti menambahkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis mengarah kepada kemampuan seseorang dalam membentuk formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Tingkat pengetahuan ini dapat diukur melalui kata kerja, seperti menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan seseorang melakukan penilaian terhadap suatu objek yang didasari dengan kriteria-kriteria tertentu.

(11)

Sikap Gizi dan Keamanan Pangan

Sikap adalah perasaan, keyakinan dan kecendrungan untuk bertindak/ berperilaku terhadap orang lain, kelompok lain, suatu pemikiran, ataupun suatu objek tertentu. Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sikap sangat menentukan bagaimana perilaku (behavior) manusia terhadap sesamanya dalam lingkungan kehidupan manusia. Sikap juga sangat mempengaruhi tanggapan manusia terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi, baik yang berhubungan dengan intervensi pemerintah, maupun yang berkaitan dengan tata kehidupan manusia di dalam lingkungan tempat tinggalnya (Taryoto 1991).

Sikap gizi dan keamanan pangan merupakan perasaan, keyakinan, dan kecendrungan untuk bertindak dalam pengolahan pangan jajanan yang memperhatikan kandungan gizi, serta keamanan pangan agar menghasilkan pangan jajanan yang aman. Faktor lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku adalah kebiasaan (habits), norma sosial (social norms), dan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan diambil. Kebiasaan menunjuk pada tindakan yang secara otomatis dilakukan seseorang pada suatu keadaan tertentu, tanpa atau dengan dasar pemikiran yang sangat terbatas. Norma sosial menunjuk pada adanya harapan-harapan mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, yang secara umum maupun secara khusus ada pada kelompok dimana seseorang itu berada. Apabila norma sosial lebih kuat pengaruhnya, maka individu akan bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh norma sosial daripada menurut pada kehendak sikapnya. Sedangkan pandangan mengenai akibat atau konsekuensi dari perilaku yang akan menunjuk pada adanya sanksi atau penghargaan atau sikap perilaku yang dilakukan (Taryoto 1991).

Praktek Keamanan Pangan

Pangan aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologis/mikrobiolois, kimia dan fisik. Bahaya keamanan pangan terdiri dari (BPOM 2006):

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E.Coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin.

(12)

(BTP) yang tidak digunakan semestinya, pestisida, bahan kimia pembersih, racun/toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan kaca, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan dan berat badan.

Higiene dan Sanitasi

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan dan sebagainya. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewaspadai sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI 2001).

Penggunaan peralatan juga belum memenuhi syarat kesehatan. Kebanyakan penjual makanan jajanan mempunyai peralatan terbatas untuk berbagai pemakaian dan belum menggunakan sabun untuk mencuci peralatan yang kotor. Karena peralatan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu dan kayu, maka cenderung menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Piring, gelas, sendok sering dilap dengan kain yang basah dan kotor karena keterbatasan jumlahnya. Lalat dan debu yang berasal dari sampah yang dibiarkan berceceran di lantai waktu persiapan, pengolahan, maupun di lokasi berjualan semakin memperparah keadaan (Fardiaz dan Fardiaz 1994).

(13)

yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu mikroba indikator sanitasi. Sedangkan S.aureus merupakan bakteri yang biasa menghuni hidung, mulut, tenggorokan, maupun kulit. Keberadaan E.coli pada pangan dapat menunjukkan praktek sanitasi lingkungan yang buruk sedangkan adanya S. aureus mengidentifikasi praktek higiene yang kurang (Andarwulan, Madanijah, & Zulaikhah 2009).

Penanganan dan Penyimpanan Pangan

Bahan pangan memerlukan tempat penyimpanan khusus yang dibedakan menjadi dua yaitu tempat penyimpanan bahan makanan kering dan bahan makanan segar. Tempat penyimpanan bahan makanan kering harus selalu bersih, tertata dengan baik, tidak dijangkau oleh serangga dan tikus, sirkulasi udara harus baik, diberi penerangan yang cukup, jarak rak terbawah dengan lantai 10 cm. Sedangkan untuk tempat penyimpanan bahan makanan segar disimpan di dalam ruang pendingin, refrigerator ataupun freezer dengan suhu tertentu dan suhu harus selalu diawasi (Subandriyo 1994).

Menggunakan air yang tidak berwarna dan tidak berbau. Air harus bebas mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseorang. Memilih bahan baku yang aman yaitu pangan harus segar dan utuh, jangan menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya. Mencuci sayuran dan buah-buahan sebelum disajikan atau digunakan serta membuang bagian yang busuk atau memar (Nuraida et al 2009).

Sarana dan Fasilitas

Praktek keamanan PJAS salah satu diantaranya adalah sarana dan fasilitas. Berdasarkan Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 pada pasal 12 menyatakan bahwa pangan jajanan yang dijajakan harus memiliki konstruksi sarana yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi pangan dari pencemaran. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain: mudah dibersihkan dan tersedia tempat air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), serta tempat sampah.

(14)

untuk kebutuhan pencucian dan pembersihan; (4) Tersedia alat cuci/pembersih yang terawat baik seperti sapu lidi, sapu ijuk, selang air, kain lap, sikat, kain pel, dan bahan pembersih sepeti sabun/detergen dan bahan sanitasi. Perlengkapan kerja karyawan kantin/penjaja PJAS harus disediakan antara lain baju kerja, tutup kepala, dan celemek berwarna terang, serta lap bersih. Jika tidak memungkinkan menggunakan tutup kepala, rambut harus tertata rapi dengan dipotong pendek dan diikat (Nuraida et al 2009).

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen makanan atau mempengaruhi sifat khas makanan (Depkes RI 2001).

Penggunaan BTP dilakukan bila betul-betul diperlukan dalam pengolahan makanan dan tidak dibenarkan untuk tujuan menyembunyikan dari cara pengolahan yang tidak baik atau mengelabui konsumen, misalnya menutupi mutu bahan baku yang kurang baik. Pengaturan dan pengawasan BTP dimaksudkan agar hanya bahan yang diizinkan saja yang digunakan pada pengolahan makanan, dimana bahan tersebut betul-betul diperlukan untuk pengolahan makanan yang bersangkutan, mutunya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan jumlahnya sesuai dengan cara produksi yang baik dan tidak melebihi batas maksimum yang diizinkan (Depkes RI 2001).

Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam makanan jajanan: 1. Pewarna

Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik.

2. Pemanis

(15)

yang ditujukan pada penderita diabetes mellitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami.

3. Pengawet

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam dan pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno 1997). Umumnya, dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi.

4. Penyedap rasa

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/1988 dan diperbaiki menjadi No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu penyedap alami terdiri dari bumbu alami, herbal, dan daun, misalnya esensial dan turunannya, oleoresin, isolate penyedap, penyedap dari sari buah, ekstra tanaman dan hewan. Sedangkan penyedap sintesis merupakan komponen atau zat yang dibuat menyerupai penyedap alami (Cahyadi 2008).

Dampak penggunaan BTP selama ini kurang dipahami oleh para produsen maupun konsumen. Dampak dari kesalahan dosis maupun kesalahan pemilihan jenis bahan tambahan memang tidak langsung dirasakan. Dampak ini baru terasa beberapa waktu kemudian, setelah terjadi akumulasi dalam tubuh. Oleh karena itu, memberi peringatan kepada masyarakat tentang risiko dan manfaat BTP merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan (Saparinto & Diana 2006).

(16)

Pada tahun 2005, Badan POM RI melakukan pengujian terhadap 861 makanan jajanan anak sekolah di 195 sekolah dasar di 18 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar, dan Padang. Hasil uji menunjukkan bahwa 39.9% (344 makanan jajanan) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Misalnya, es sirup atau buah (48.2%) dan minuman ringan (62.5%) yang banyak dikonsumsi anak-anak mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lain yang tidak memenuhi syarat adalah saus atau sambal (61.5%) serta kerupuk (56.3%). Dari total makanan jajanan tersebut, 10.5% mengandung pewarna yang dilarang, yaitu rhodamin B, methanil yellow, dan amaranth (Rachmawati 2005).

(17)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pangan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Namun, apabila penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar maka pangan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan keamanannya. Pangan tersebut jika dikonsumsi manusia dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan seseorang. Keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS) dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel yang menyebabkan risiko ketidakamanan, yaitu karakteristik penjaja, lingkungan dan pangan.

Karakteristik penjaja merupakan variabel yang membedakan antara masing-masing penjaja. Penjaja PJAS berperan penting dalam penyediaan makanan jajanan yang sehat dan bergizi serta terjamin keamanannya. Pengetahuan dan sikap penjaja PJAS sangat mempengaruhi tindakannya dalam melakukan pengolahan. Pengetahuan tentang suatu hal yang positif akan menyebabkan orang tersebut mempunyai sifat yang positif, kemudian mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan diwujudkan dalam suatu praktek. Dengan pengetahuan maka penjaja lebih mengetahui bagaimana praktek yang sebaiknya dilakukan dalam keamanan PJAS. Oleh karena itu, pengetahuan, sikap dan praktek penjaja mengenai gizi dan keamanan pangan sangat menentukan keamanan pangan jajanan yang dijual.

Karakteristik lingkungan sekolah yang meliputi sarana dan fasilitas serta kondisi kantin yang terdapat di sekitar sekolah akan menggambarkan keamanan pangan jajanan. Lingkungan yang kotor dan berdebu akan mempengaruhi kebersihan dari makanan sehingga makanan yang dijual tidak terjamin akan keamanannya. Sedangkan risiko ketidakamanan dari pangan didasarkan pada jenis pangan dan register pangan jajanan yang dijual.

(18)

Keterangan :

variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran model upaya mengatasi keamanan pangan Pengetahuan, sikap dan praktek penjaja

akan gizi dan keamanan pangan

Karakteristik Lingkungan

 Sarana dan fasilitas

 Kondisi kantin Karakteristik Penjaja PJAS

 Umur

 Jenis kelamin

 Pendapatan

 Pendidikan

 Sarana penjualan

Peraturan sekolah dan peraturan Diknas mengenai PJAS

Keamanan Pangan Jajanan

Peningkatan pengetahuan gizi dan keamanan pangan PJAS

Intervensi Penyuluhan dan Pendampingan Gizi

Pangan:

 Jenis pangan

 Register pangan

(19)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Desain penelitian pendahuluan adalah cross sectional study menggunakan sebagian data dari program Ipteks bagi Wilayah (IbW) dengan

judul “Pemberdayaan Masyarakat melalui Peningkatan Kapasitas Sekolah Dasar

Menuju Perilaku Gizi Seimbang di Kota Bogor” (Dwiriani, Damayanthi, Kustiyah, dan Briawan 2011). Penelitian dilakukan di 10 sekolah dasar di Kota Bogor yaitu empat Sekolah Dasar Negeri (SDN), empat Sekolah Dasar Swasta (SDS), dan dua Madrasah Ibtidaiyah (MI). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan: (1) seluruh SD tersebut merupakan SD yang berada di Kota Bogor, (2) SD tersebut telah mewakili SD yang berada di Kota Bogor dengan adanya SDN favorit, SDS favorit dan MI. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk melihat kondisi dan keragaan PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan dan untuk menetapkan intervensi yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan.

Penelitian lanjutan menggunakan desain pra experimental study dengan one group pretest-posttest design yaitu desain penelitian ini tidak memiliki kelompok kontrol (pembanding) (Riyanto 2011). Dilakukan pada sekolah dasar terpilih pada penelitian pendahuluan berdasarkan analisis risiko ketidakamanan pangan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2011.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh dalam penelitian pendahuluan adalah penjaja PJAS (kantin dan luar sekolah) di sepuluh sekolah dasar di Kota Bogor yang berjumlah 81 orang, sedangkan pada penelitian lanjutan contoh adalah penjaja PJAS di sekolah terpilih (SDN D) yang berjumlah sembilan orang. Penjaja PJAS adalah penjaja di lingkungan sekolah yang berjualan sepanjang hari yang lokasinya tetap di suatu tempat baik di kantin sekolah maupun lingkungan luar sekolah.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(20)

penjualan. Profil PJAS meliputi jenis pangan dan register pangan jajanan yang dijual. Data mengenai lingkungan penjaja PJAS dilihat berdasarkan observasi langsung. Pengetahuan, sikap dan praktek mengenai gizi dan keamanan pangan dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum intervensi (pretest) dan setelah intervensi (posttest). Sedangkan jenis data sekunder diperoleh dari sekolah meliputi profil umum sekolah dan fasilitas yang tersedia. Secara rinci, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Cara Pengumpulan

Data Primer

- Lama berusaha (jam/hari dan tahun) - Pendapatan 3 Lingkungan penjaja PJAS Observasi langsung 4 Pengetahuan dan sikap terhadap gizi dan

keamanan pangan

Wawancara menggunakan kuesioner

(pretest dan posttest)

5 Praktek keamanan pangan Wawancara menggunakan kuesioner

(pretest dan posttest)

Data Sekunder

(21)

penggunaan minyak goreng. Setelah penyuluhan gizi, dilakukan pendampingan selama dua minggu dengan pendekatan secara personal kepada penjaja PJAS. Materi pendampingan berupa kebersihan pakaian, alat dan tempat penjaja dalam menjual makanan, menghindari merokok dekat dengan makanan, menutup makanan agar terhindar dari debu dan lalat. Tahap akhir adalah melakukan wawancara kembali menggunakan kuesioner untuk melihat perubahan pengetahuan, sikap dan keamanan pangan penjaja setelah intervensi (posttest).

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan statistika dengan menggunakan program Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for windows. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry, cleaning dan analisis.

Data karakteristik penjaja PJAS seperti jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Umur dikelompokkan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa menengah (41-65 tahun) dan dewasa akhir (>65 tahun) berdasarkan Papalia & Olds (1986). Tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi tidak sekolah (TS), tidak tamat SD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Data pekerjaan dikategorikan sebagai pekerjaan utama dan sampingan. Data pendapatan didasarkan pada BPS (2008) dengan pendapatan perkapita kurang dari Rp 176.216,00 termasuk pada kategori miskin, sedangkan lebih dari Rp 176.216,00 termasuk pada kategori tidak miskin.

(22)

praktek keamanan pangan dikategorikan menjadi baik, sedang, dan kurang sebagai berikut (Khomsan 2000):

 Skor < 60% : Kurang

 Skor 60-80% : Sedang

 Skor >80% : Baik

Pengkategorian beberapa variabel disajikan secara rinci pada Tabel 2. Tabel 2 Pengkategorian beberapa variabel penelitian

No Variabel Kategori Skala

 Perempuan Ordinal Persentase

- Pendidikan  TS (0 tahun)

 Sampingan Ordinal Persentase

- Tempat berjualan  Di dalam sekolah

 Di luar sekolah Ordinal Persentase

- Pelatihan/Training terkait gizi

 Pernah

 Tidak pernah Ordinal Persentase

(23)

dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan (pretest dan posttest). Sedangkan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan, sikap gizi dan keamanan pangan, serta praktek keamanan pangan antara pretest dan posttest maka dilakukan uji beda Paired t-test.

Definisi Operasional

Model keamanan pangan adalah suatu cara atau langkah untuk mengatasi masalah keamanan pangan PJAS.

Risiko ketidakamanan adalah faktor-faktor yang menyebabkan pangan jajanan yang dijual tidak aman untuk dikonsumsi didasarkan pada penjaja PJAS, pangan yang dijual dan lingkungan tempat berjualan.

PJAS (Pangan Jajanan Anak Sekolah) adalah makanan dan minuman yang diolah di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap yang dijual di sekitar lingkungan sekolah.

Penjaja PJAS adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung mengelola kantin dan berhubungan langsung dengan makanan dan peralatan makanan mulai dari persiapan bahan pangan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian.

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan yaitu bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti kempal, pemucat dan penetral.

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan diri.

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan yang meliputi menyediakan air bersih, tempat sampah dan lain sebagainya.

Sarana dan fasilitas adalah sarana yang dimiliki oleh penjaja PJAS yang digunakan untuk persiapan, pengolahan dan penyajian pangan. Pengetahuan Gizi adalah pengetahuan tentan peran makanan dan zat gizi,

serta sumber-sumber zat gizi pada makanan.

Pengetahuan keamanan pangan adalah pengetahuan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan jika makanan terkena cemaran dan hal-hal yang harus dilakukan untuk melindungi makanan agar aman.

(24)

Sikap Keamanan Pangan adalah perasaan, keyakinan dan kecenderungan untuk bertindak/berperilaku dalam proses pengolahan PJAS yang sesuai dengan aturan berlaku sehingga menghasilkan PJAS yang aman.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada sepuluh sekolah dasar, yaitu empat SDN, empat SDS, dan dua MI di Kota Bogor. Dari kesepuluh sekolah dasar ini, tiga sekolah dasar tidak memilki penjaja dalam lingkungan sekolah (kantin). Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk melihat kondisi dan keragaan PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan dan untuk menetapkan intervensi yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan. Gambaran umum mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki pada sepuluh sekolah dasar dapat dilihat pada Lampiran 1.

Karakteristik Penjaja PJAS Jenis Kelamin

Penjaja PJAS berjenis kelamin laki-laki sebesar 70.4% sedangkan perempuan 29.6%. Penjaja PJAS laki-laki paling banyak di SDS B (10.0%) dan MI B (10.0%), sedangkan penjaja PJAS perempuan paling banyak di SDS C (5.0%). Sebaran penjaja PJAS menurut jenis kelamin secara rinci tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis kelamin

Sekolah

(26)

awal yang memiliki produktivitas tinggi. Usia penjaja PJAS yang lebih tinggi kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik daripada penjaja PJAS dengan usia muda karena pengalaman dalam memperoleh akses informasi tentang gizi dan keamanan pangan lebih banyak, baik dari televisi, radio, majalah/koran, petugas kesehatan maupun media lainnya, namun juga memiliki kemungkinan kekurangan informasi tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang terbaru sehingga mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan emosional. Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua sekolah memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa awal, kecuali SDN C yang memiliki usia penjaja PJAS pada usia dewasa menengah lebih banyak (6.0%).

Tabel 4 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan usia

Sekolah

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pendidikan penjaja PJAS merupakan faktor penting dan pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi (Contento 2007). Informasi tersebut dapat mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh seseorang (WHO 2000).

(27)

waktu luang membantu orang tua dalam mengisi waktu liburan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pendidikan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Lampiran 2.

Pekerjaan

Kegiatan berjualan yang dilakukan penjaja PJAS merupakan pekerjaan utama dengan persentase sebanyak 92.6%. Hanya 7.4% yang merupakan pekerjaan sampingan yang ditunjukkan pada SDS C. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang selama menunggu anak sekolah di SDS C dan membantu penghasilan keluarga. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan pada tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pekerjaan

Sekolah

Pekerjaan

Utama Sampingan Total

n % n % n %

SDN A 9 10 0 0 9 11.1

SDN B 9 10 0 0 9 11.1

SDN C 9 9 1 1 10 12.3

SDN D 9 10 0 0 9 11.1

SDS A 4 10 0 0 4 4.9

SDS B 8 10 0 0 8 9.9

SDS C 4 5 4 5 8 9.9

SDS D 6 10 0 0 6 7.4

MI A 9 9 1 1 10 12.3

MI B 8 10 0 0 8 9.9

Total 75 92.6 6 7.4 81 100.0

Tempat Berjualan

(28)

Tabel 6 Sebaran penjaja PJAS bedasaran tempat berjualan

Sekolah

Tempat Berjualan

Total Di dalam sekolah Di luar sekolah

n % n % n % pelatihan/training terkait gizi. Hanya 7.4% yang pernah mengikuti pelatihan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi tiap sekolah secara rinci tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pelatihan/training terkait gizi

Sekolah

Pelatihan

Pernah Tidak pernah Total

(29)

Lama Berusaha Penjaja PJAS

Semakin lamanya berusaha sebagai penjaja PJAS, diharapkan pengetahuan, pengalaman, dan informasi tentang jajanan sehat yang diperoleh lebih baik, dan dengan pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang baik akan membentuk perilaku yang baik. Pengetahuan, pengalaman, dan sumber informasi merupakan dasar untuk terjadinya perubahan perilaku (Notoatmodjo 2003). Lama berusaha penjaja PJAS dilakukan dalam dua kategori, lama waktu berusaha dalam satu hari (jam) dan lama berusaha (tahun). Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam dan tahun) secara rinci tersaji pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam/hari)

(30)

Tabel 9 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berjualan (tahun)

Sekolah

Lama Berjualan (Tahun)

Total <1 tahun 1-5 Tahun 5-10 Tahun >10 Tahun

n % n % n % n % n %

SDN A 1 1.1 4 4.4 2 2.2 2 2.2 9 11.1

SDN B 4 4.4 3 3.3 1 1.1 1 1.1 9 11.1

SDN C 2 2.0 4 4.0 1 1.0 3 3.0 10 12.3

SDN D 0 0.0 6 6.7 1 1.1 2 2.2 9 11.1

SDS A 1 2.5 3 7.5 0 0.0 0 0.0 4 4.9

SDS B 1 1.3 5 6.3 1 1.3 1 1.3 8 9.9

SDS C 0 0.0 5 6.3 1 1.3 2 2.5 8 9.9

SDS D 1 1.7 1 1.7 3 5.0 1 1.7 6 7.4

MI A 0 0.0 3 3.0 3 3.0 4 4.0 10 12.3

MI B 0 0.0 4 5.0 1 1.3 3 3.8 8 9.9

Total 10 12.3 38 46.9 14 17.3 19 23.5 81 100 Sarana Penjualan

Proyek Makanan Jajanan IPB (1993), usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang berpangkal (Stationary units), pedagang berpangkal di perkampungan (Residential units), dan berdagang keliling (Ambulatory units). Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah usai mereka berdagang keliling.

(31)

Tabel 10 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan

Sekolah

Sarana Penjualan

Toko/Warung Gerobak Bakul/Pikulan Meja Total

n % n % n % n %

SDN A 2 2.2 7 7.8 0 0.0 0 0 9 11.1

SDN B 5 5.6 3 3.3 1 1.1 0 0 9 11.1

SDN C 3 3.0 5 5.0 0 0.0 2 2 10 12.3

SDN D 1 1.1 6 6.7 2 2.2 0 0 9 11.1

SDS A 2 5.0 2 5.0 0 0.0 0 0 4 4.9

SDS B 1 1.3 3 3.8 4 5.0 0 0 8 9.9

SDS C 5 6.3 2 2.5 1 1.3 0 0 8 9.9

SDS D 1 1.7 2 3.3 3 5.0 0 0 6 7.4

MI A 0 0.0 4 4.0 4 4.0 2 2 10 12.3

MI B 1 1.3 7 8.8 0 0.0 0 0 8 9.9

Total 21 25.9 41 50.6 15 18.5 4 5 81 100 Profil PJAS

Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan dan jenis register. Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Makanan sepinggan, misalnya nasi goreng, nasi soto, mie baso, mie ayam, gado-gado, siomay, batagor, dan sejenisnya.

2. Makanan camilan, seperti tahu goreng, cilok, martabak mini, martabak telur, keripik, dan sejenisnya

3. Minuman, seperti es campur, es teh, es sirup, es mambo, dan sejenisnya 4. Buah-buahan, seperti papaya potong, melon potong, semangka, nenas dan

sejenisnya. Kantin Sekolah

(32)

Tabel 11 Sebaran profil PJAS di kantin menurut jenis pangan dengan jumlah camilan paling banyak dibandingkan sekolah lainnya. Hal ini karena kantin menyediakan berbagai macam jenis chiki dan wafer yang memang paling banyak dibeli oleh anak-anak ketika istirahat, dan banyaknya jenis camilan yang disediakan di kantin ini baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk makanan siap saji. Hasil pengumpulan data terhadap PJAS, tidak ada satu sekolah pun yang menjual pangan jajanan olahan sayur, padahal sayur-sayuran sangat penting untuk dikonsumsi dan membiasakan anak-anak untuk mengonsumsi sayur sejak dini.

Dengan diberlakukannya UU No.8 Tahun 1999 yang memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label. Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai produk yang bersangkutan. Informasi pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen.

(33)

Tidak ditemui PJAS dengan kelompok ML. Jenis PJAS kelompok MD paling banyak ditemui karena kantin lebih banyak menyediakan PJAS dalam bentuk chiki dan wafer.

Gambar 2 Profil register PJAS di kantin Lingkungan Luar Sekolah

Hasil pengumpulan data PJAS yang dijual di lingkungan luar sekolah dikelompokkan sebagai makanan sepingan, makanan camilan, minuman dan buah. Dari sejumlah 138 jenis pangan jajanan yang dijual dari keseluruhan sekolah, jumlah makanan camilan paling banyak dibanding tiga kelompok lainnya, yaitu sebesar 54.4%, selanjutnya kelompok minuman yaitu 25.4%. Jenis jajanan dalam bentuk buah memiliki nilai yang paling rendah (1.4%) dan hanya SDN C saja yang menjual jenis jajanan buah dalam bentuk rujak dan buah potong. Sebaran profil PJAS di luar lingkungan sekolah menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran profil PJAS di luar sekolah menurut jenis pangan

(34)

Jenis pangan jajanan camilan yang banyak dijual di luar sekolah adalah jenis sosis goreng, telur gulung, bakso tusuk dan sejenisnya yang penyajiannya menggunakan saos sambal. Dari kelompok minuman, jenis minuman ringan kemasan banyak dijual. Beberapa contoh minuman adalah sari buah, teh serta sehinga perlu mendapat perhatian mulai dari proses pengolahan sampai penyajian.

Gambar 3Sebaran PJAS berdasarkan register di penjaja luar sekolah Praktek penggunaan BTP pada PJAS

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan secara alami bukan merupakan bagian dari bahan makanan, tetapi terdapat dalam bahan makanan tersebut (BPOM 2003). Praktek pengunaan BTP disajikan pada Gambar 4.

(35)

Penjaja PJAS yang menggunakan BTP di kantin sebanyak 7.4% dan 39.5% untuk yang di luar sekolah. Sebagian besar penjaja PJAS mengaku dengan menggunakan BTP makanan/minuman lebih enak rasanya, serta penampilan lebih menarik dengan harga BTP yang relatif murah dan mudah diperoleh. Dengan penampilan menarik dan rasa yang enak, maka jajanan lebih disukai anak-anak sekolah, dan penjaja PJAS mendapatkan untung yang lebih banyak.

SDS C menetapkan peraturan bagi pedagang yang berjualan di kantin, yaitu tidak mengizinkan untuk menggunakan BTP baik jenis pemanis, pewarna maupun penyedap rasa. Selain itu jenis makanan yang dijual selalu diperiksa setiap minggunya oleh pengurus yayasan SDS C.

Berbagai jenis BTP yang dikenal, penyedap rasa merupakan BTP yang paling sering digunakan. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis BTP yang digunakan Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46.9% penjaja PJAS (kantin dan luar sekolah) yang menggunakan BTP, dan sebanyak 90% penjaja PJAS yang menggunakan jenis BTP penyedap rasa dan penguat rasa. Banyaknya penjaja PJAS menggunakan jenis BTP ini kemungkinan karena penyedap rasa dikenal luas di Indonesia. Penyedap rasa menandung senyawa yang disebut monosodium glutamate (MSG). Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88, penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh berlebihan penggunaannya (BPOM 2003).

Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular di kalangan anak-anak sekolah. Kebiasaan jajan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan. Banyak faktor yang menyebabkan kesukaan jajan menjadi kebiasaan yang universal. Kegemaran anak-anak akan hal yang manis, gurih dan asam sering dimanfaatkan oleh para penjual untuk menarik anak-anak. Kadangkala produk

5% 5%

90%

(36)

yang ditawarkan bukan menyehatkan malah berbahaya bagi tubuh, karena kurang mengandung zat gizi.

Penjaja PJAS sebanyak 5% menambahkan pemanis dan pewarna makanan pada makanan/minuman yang mereka jual. Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti gula karena mempunyai kelebihan rasa yang lebih manis daripada gula alami, dan mengandung kalori jauh lebih rendah, serta harganya lebih murah. Penggunaan pewarna makanan dilakukan agar makanan yang dijual menarik. Sejumlah faktor maupun alasan menjadi penyebab penggunaan BTP, seperti ketidaktahuan akan bahaya jenis BTP yang dipakai, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih menarik dan awet, serta kurangnya akses informasi gizi dan keamanan pangan.

Sarana Lingkungan Pedagang

Sarana lingkungan yang diamati yaitu tersedia tempat sampah tempat cuci tangan dan air bersih. Higiene dan sanitasi makanan dipengaruhi pula oleh ketersediaan sarana lingkungan yang memadai. Dengan tersedianya sarana lingkungan akan menunjang terlaksananya praktik higiene dan sanitasi makanan yang baik. Secara keseluruhan hanya SDS A dan C yang memiliki sarana yang lengkap. Sedangkan SDN D, MI A dan B tidak memiliki sarana lingkungan yang mendukung sama sekali. Sebaran berdasarkan sarana lingkungan pedagang pada tiap sekolah disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana lingkungan pedagang

(37)

Analisis Risiko Ketidakamanan Pangan

Risiko ketidakamanan pangan dianalisis berdasarkan tiga risiko ketidakamanan yang mempengaruhi yaitu risiko ketidakamanan penjaja mengenai praktek higiene penjaja PJAS, risiko ketidakamanan pangan dan risiko ketidakamanan lingkungan mengenai lokasi penjualan. Sebaran risiko ketidakamanan pangan PJAS pada masing-masing sekolah disajikan pada Lampiran 3.

Penjaja merupakan pihak yang paling menentukan tingkat keamanan makanan yang dijual. Praktek higiene dari penjaja PJAS masih rendah dibuktikan dengan masih banyaknya penjaja menjual makanan secara terbuka, merokok dekat makanan jajanan, dan tidak adanya air bersih. Makanan yang dijual terbuka memungkinkan terkena debu dari lingkungan sekitar. Asap rokok banyak mengandung Penjaja PJAS yang berisiko terhadap ketidakamanan pangan terdapat di SDN B, C & D; SDS A, B & D; dan MI A & B.

Risiko ketidakamanan pada pangan yang diamati dalam penelitian ini yaitu mengenai pewarna pada saus makanan, penguat rasa/flavour, es balok yang digunakan penjaja, dan penggunaan minyak goreng. Risiko ketidakamanan pada pangan tidak dilakukan terhadap kandungan boraks dan formalin berdasarkan hasil BPOM (2010) dengan ditemukannya dari 2.984 sampel yang diuji, 45% diantaranya tidak memenuhi syarat karena mengandung BTP yang dilarang seperti boraks, formalin, rhodamin B, methanol yellow atau BTP yang diperbolehkan seperti benzoat, sakarin, dan siklamat namun penggunaannya melebihi batas. Hal ini didasarkan pada jenis jajanan yang paling banyak dijual dan disukai anak-anak dari semua sekolah dasar adalah makanan camilan siap saji seperti telur gulung dan sosis goreng yang menggunakan saos sebagai pelengkap makanannya.

(38)

diperuntukkan untuk makanan. Penggunaan pewarna yang aman pada pangan telah diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/85, sedangkan peraturan Menteri kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, termasuk methanil yellow yang berwarna kuning dan rhodamin B yang berwarna merah. Karena kedua pewarna ini dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya terlihat secara tidak langsung setelah mengonsumsinya sehingga penggunaan pewarna ini dilarang walaupun dalam jumlah sedikit. Kenyataan di lapang masih banyak produsen pangan, terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan (BPOM 2003).

Penggunaan penguat rasa/flavour dan es balok juga dijadikan sebagai risiko ketidakamanan pada pangan. Hal ini karena penggunaan penguat rasa yang berlebihan tidak baik bagi kesehatan dan es balok dibuat dari air mentah. Penggunaan minyak goreng di SDN D dan MI A sangat mengindikasikan pangan yang dijual kurang aman karena penggunaan minyak goreng sampai berwarna hitam bahkan aroma yang ditimbulkan dari makanan yang digoreng sangat tidak enak. Minyak goreng yang digunakan berkali-kali (>4 kali) akan mengalami oksidasi dan menyebabkan iritasi saluran pencernaan, selain itu minyak goreng akan mengalami ketengikan yang akan merusak tekstur dan cita rasa dari makanan yang digoreng.

Risiko ketidakamanan pada lingkungan masih banyaknya pedagang yang menjual PJAS dekat dengan jalan raya tanpa menutup jajanan tersebut (SDN C* dan D; SDS B*, C* dan D*; MI A dan B). Bahkan di SDS B* keadaan tanah berdebu dan banyak ayam berkeliaran. Asap kendaraan mengandung timbal jika mengenai jajanan yang tidak ditutup maka memungkinkan timbal yang berasal dari asap kendaraan tersebut akan menempel pada makanan jajanan.

(39)

penelitian lanjutan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan upaya alternatif yang dapat dilakukan, efektivitas sikap dalam upaya untuk mengatasi masalah keamanan pangan yang dapat dilakukan di SDN D adalah penyuluhan gizi dan pendampingan untuk meningkatkan PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) akan gizi dan keamanan pangan termasuk penggunaan BTP.

Penelitian Lanjutan

Penelitian dilakukan pada SDN D berdasarkan hasil pada penelitian pendahuluan. Secara keseluruhan penjaja PJAS di SDN D berada di luar sekolah karena di SDN D tidak memiliki kantin. Intervensi yang dilakukan yaitu melalui penyuluhan gizi dan pendampingan. Khomsan (2002) menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal mengenai pengetahuan gizi.

Karakteristik Penjaja PJAS

Penjaja dalam penelitian ini berjumlah sembilan orang. Pengkategorian karakteristik penjaja sama seperti pada penelitian pendahuluan yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, dan lama berusaha. Sebaran karakteristik penjaja PJAS di SDN D tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran karakteristik penjaja PJAS SDN D Karakteristik Penjaja PJAS SDN D

(40)

akan lebih baik, selain itu pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Pendapatan perkapita penjaja PJAS berkisar antara Rp 60.000,00->Rp 1.000.000,00 dengan rata-rata Rp 180.000,00. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat pendapatan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat pendapatan

Pendapatan perkapita berdasarkan BPS (2008) dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, miskin (<Rp 176.216,00) dan tidak miskin (>Rp 176.216,00). Sebagian besar (55.6%) penjaja PJAS tergolong miskin dengan pendapatan <Rp 176.216,00 dan 44.4% penjaja PJAS yang tergolong tidak miskin. Hal ini diduga karena sebagian besar penjaja PJAS menjual satu jenis pangan jajanan dengan harga yang murah sehingga pendapatan yang diperolehpun tidak terlalu besar. Sarana Penjualan

Penjaja makanan di SDN D sebagian besar merupakan pedagang keliling yaitu sebesar 66.7% karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam sekolah habis mereka berdagang keliling. Hanya 33.3% penjaja PJAS sebagai pedagang tetap. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7Sebaran penjaja PJAS berdasarkan tempat berjualan

Tempat berjualan penjaja PJAS adalah berpindah tempat/keliling sehingga sarana penjualan yang digunakan penjaja PJAS sebagian besar adalah gerobak sebesar 77.8%. sebanyak 11.1% penjaja PJAS yang berjualan dengan

(41)

menggunakan sarana penjualan bakul dan toko/warung. Sebaran penjaja PJAS berdasarkana sarana penjualan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sarana penjualan Pengetahuan, Sikap dan Praktek terhadap Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan gizi dan keamanan pangan

Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebaran penjaja berdasar pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jawaban yang benar mengenai

pengetahuan gizi dan keamanan pangan

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Pretest Posttest

Pengetahuan Gizi n % n %

mengolah/menyajikan makanan 6 66.7 6 66.7

4. Cara merebus air yang paling baik dan aman 1 11.1 2 22.2

(42)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman penjaja PJAS tentang gizi dan keamanan pangan. Hasil pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS menunjukkan peningkatan dari pretest ke posttest. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jawaban yang benar terkait pengetahuan gizi, sebanyak 88.9% penjaja PJAS dapat menjawab dengan benar mengenai makanan jajanan sumber karbohidrat baik hasil pretest maupun posttest. Pertanyaan yang mengenai zat gizi pendukung pertumbuhan yang nilainya masih rendah (33.3%), padahal ini penting diketahui oleh penjaja dalam menyediakan pangan jajanan yang dibutuhkan anak sekolah. Sehingga perlu teknik penyuluhan lain agar dapat dipahami penjaja.

Pengetahuan akan keamanan pangan, secara keseluruhan penjaja PJAS menjawab dengan benar (100%) akibat makanan jajanan yang tidak ditutup dengan rapi. Penjaja PJAS telah memahami tindakan yang dilakukan akibat makanan jajanan yang tidak ditutup rapi, hal ini kemungkinan dikarenakan berdasarkan pengalaman, dan sumber informasi yang diperoleh. Contoh pertanyaan mengenai cara merebus air yang paling baik dan aman yang masih kurang mampu dijawab oleh sebagian penjaja PJAS yaitu sebesar 22.2%. Dari 10 pertanyaan yang diajukan, sebagian besar penjaja PJAS dapat menjawab pertanyaan mengenai keamanan pangan cukup baik. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan kategori pengetahuan gizi dan

keamanan pangan

Kategori Pengetahuan Pretes Posttest

(43)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS mengalami peningkatan dari sebelum penyuluhan (pretest) dan setelah penyuluhan (posttest). Pengetahuan gizi pada saat pretest tergolong pada kategori sedang 66.7%, hanya 11.1% yang tergolong kategori baik. Tetapi setelah penyuluhan (posttest) terjadi peningkatan dalam kategori baik sebesar 22.2%. Begitupun pengetahuan keamanan pangan, saat pretest sebanyak 77.8% tergolong sedang tetapi pada saat posttest hanya 55.6% yang tergolong sedang dan 33.3% tergolong baik. Tingkat pengetahuan keamanan pangan penjaja PJAS lebih baik dibandingkan pengetahuan gizi. Rendahnya pengetahuan gizi penjaja PJAS ditunjukkan masih banyaknya penjaja PJAS yang kurang mampu menjawab pertanyaan mengenai zat gizi pendukung pertumbuhan, pengertian makanan jajanan dan manfaat kalsium bagi tubuh pada Tabel 16. Sedangkan pengetahuan keamanan pangan, ditunjunjukkan masih rendahnya penjaja PJAS tidak menjawab benar cara merebus air yang baik dan aman serta akibat penggunaan BTP yang tidak dianjurkan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya akses informasi penjaja PJAS tentang keamanan pangan.

Pengetahuan penjaja PJAS akan gizi dan keamanan pangan tergolong pada kategori sedang. Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi, pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo 2003). Hasil uji paired samples t-test menunjukkan bahwa nilai sebelum dan setelah intervensi berbeda nyata dengan p=0.033 (p<0.05). Pemberian penyuluhan dan pendampingan kepada penjaja diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan skor pada saat sebelum dan setelahnya. Sikap Gizi dan Keamanan Pangan

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan dan belum menunjukkan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predoposisi tindakan dari suatu perilaku (Notoatmodjo 2003). Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap setuju terhadap sikap gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 17.

(44)

menunjang aktivitas. Baik hasil pretest dan posttest, penjaja PJAS setuju 100% bahwa makanan sehat mengandung cukup zat gizi dan bersih. Akan tetapi terjadi penurunan hasil dari pretest ke posttest pada pertanyaan mengenai kandungan vitamin dan mineral pada jus buah kemasan sama dengan jus asli.

Tabel 17 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap setuju tentang gizi dan keamanan pangan

Sikap gizi dan keamanan pangan Pretest Posttest

Gizi n % n %

1. Tubuh membutuhkan beragam zat gizi 8 88.9 8 88.9 2. Bubur ayam, lontong sayur dan nasi uduk

sumber vitamin 1 11.1 1 11.1

3. Jajanan sumber zat gizi 4 44.4 4 44.4

4. Makanan sehat mengandung cukup zat gizi

dan bersih 9 100.0 9 100.0 9. Kebiasaan makanan camilan sambil

menonton TV baik untuk kesehatan 5 55.6 6 66.7 10.Kandungan vitamin dan mineral pada jus

buah kemasan sama dengan pada jus asli 7 77.8 6 66.7 Keamanan Pangan

1. Memakai penutup kepala menghindari

makanan dari cemaran 5 55.6 6 66.7

2. Kebersihan tempat jualan penting untuk

keamanan pangan 9 100.0 9 100.0

3. Membungkus makanan dengan kertas

koran/plastik bekas baik 6 66.7 6 66.7

4. Tangan yang belum dicuci menyebabkan

cemaran 7 77.8 7 77.8

5. Makanan dalam kondisi terbuka hal yang

biasa saya lakukan 5 55.6 6 66.7

6. Menghindari penggunaan pemanis yang

berlebihan 7 77.8 7 77.8

7. Bersin dan berbicara ke arah makanan pada

saat mengolah 3 33.3 3 33.3

10.Penggunaan air cucian berulang tidak

menimbulkan cemaran 7 77.8 7 77.8

(45)

Masih banyaknya penjaja PJAS yang membiasakan kondisi jajanan terbuka sebesar 66.7%, hal ini dilakukan dengan alasan jika makanan ditutup pendapatan akan berkurang karena anak-anak tidak dapat melihat makanan jajanan secara langsung. Tabel 18 dapat dilihat sebaran penjaja PJAS berdasarkan tingkat sikap penjaja PJAS terhadap gizi dan keamanan pangan.

Tabel 18 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan sikap gizi dan keamanan pangan

Kategori Sikap Pretest Posttest

Sikap Gizi n % n %

Komponen kognitif sikap menggambarkan pengetahuan seseorang tentang suatu objek. Komponen afektif sikap menggambarkan perasaan dan emosi seseorang terhadap suatu objek, sedangkan komponen konatif sikap menggambarkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap juga memiliki dimensi positif, netral, dan negatif. Tabel 18 menunjukkan terjadi peningkatan sikap gizi penjaja PJAS dari pretest ke posttest. Awalnya sikap gizi penjaja PJAS tergolong pada kategori kurang, setelah diberikan penyuluhan mengalami perubahan menjadi kategori sedang sebesar 55.6% dan baik sebesar 11.1%.

(46)

atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap.

Sikap keamanan pangan penjaja PJAS mengalami peningkatan dari hasil pretest ke posttest. Sikap keamanan pangan penjaja PJAS saat pretest tergolong pada kategori sedang 77.8% dan mengalami peningkatan saat posttest menjadi kategori baik sebanyak 22.2% dan kategori sedang sebesar 66.7%. Masih adanya ketegori kurang pada sikap keamanan pangan ditunjukkan masih banyaknya penjaja PJAS yang berbicara ke arah makanan pada saat mengolah/menyediakan jajanan. Secara keseluruhan, sikap gizi dan keamanan pangan penjaja PJAS setelah penyuluhan tergolong pada kategori sedang 66.7% dan baik 11.1%. Penjaja PJAS yang baik kecenderungan memiliki sikap sangat setuju terhadap pernyataan positif dan memiliki sikap tidak setuju terhadap pertanyaan negatif, sedangkan penjaja PJAS yang cukup hanya mencapai taraf setuju terhadap beberapa pernyataan positif, dan mencapai taraf tidak setuju terhadap beberapa pertanyaan negatif. Hasil uji paired t-test menunjukkan bahwa skor sikap gizi dan keamanan pangan meningkat secara nyata antara pretest dan posttest dengan nilai p=0.032 (p<0.05).

Praktek Keamanan Pangan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Berdasarkan jenis PJAS, tidak adanya penjaja PJAS yang menyediakan buah-buahan pada jualannya. Masih rendahnya praktek gizi dalam penyediaan PJAS untuk kelompok buah-buahan diduga karena kurangnya pengetahuan gizi penjaja PJAS akan manfaat buah, khususnya manfaat gizi.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran model upaya mengatasi keamanan pangan Pengetahuan, sikap dan praktek penjaja
Tabel 3 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan jenis kelamin
Tabel 8 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berusaha (jam/hari)
Tabel 9 Sebaran penjaja PJAS berdasarkan lama berjualan (tahun)
+7

Referensi

Dokumen terkait

DANIEL 8:9 Maka dari salah satu tanduk itu muncul suatu tanduk kecil, yang menjadi sangat besar ke arah selatan, ke arah timur dan ke arah Tanah Permai.. Pdt Gerry

Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan mengenai “Perkawinan Madureso” yang terjadi di Desa Trimulyo Kecamatan Guntur Kabupaten Demak

The increment in revenue portion contributed by the property and investment division is a takeaways factor for hedging risk looming from new construction

Ibu Treesia Sujana, MN selaku Wali studi selama ± 1 tahun, Kemudian Ibu Natalia Ratna Yulianti, S.Kep, Ns, MAN selaku Wali studi selama ±2 tahun yang sudah

Receptionist menyerahkan pendaftaran pasien ke bagian Rekam Medis untuk dicarikan berkas Status Pasien Rawat Jalan sesuai dengan Nomor Rekam Medik dan

Setelah berhasil merilis mini album pertama Senja Dalam Prosa akan merilis album yang berjudul FANA. Album ini yang memberi nama FANA adalah mantan vokalis Senja Dala

Teman janda Crusoe menyimpan uangnya dengan aman, dan setelah pergi ke Lisbon, Crusoe mendengar dari kapten orang Portugis bahwa perkebunannya di Brazil telah mendapatkan

Bank sangat kompleksitas dalam melakukan kegiatan perbankan,salah satunya transaksi dalam kegiatan tabungan yang meliputi yaitu buka rekening,setoran,penarikan,informasi