Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Benny
Tempat / Tanggal Lahir : Kotapinang / 05 mei 1994
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Lingk. Kampung Pulo, Kotapinang
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Negeri 112224 Kotapinang (2000-2006)
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kotapinang (2006-2009)
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Plus Matauli Pandan (2009-2012)
Lampiran 2
FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN PENELITIAN
Saya yang bernama Benny adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan
Dokter Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang “Identifikasi Dermatofita Pada Sisir Tukang Pangkas di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru”. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penelitian ini saya akan melakukan pemeriksaan laboratorium pada
sisir yang saudara gunakan dalam bekerja, untuk keperluan tersebut saya
mengharapkan partisipasi saudara untuk menjadi partisipan dalam penelitian.
Dengan menjadi partisipan penelitian, saya mengharapkan saudara dapat
menyerahkan sisir yang saudara gunakan untuk menjadi bahan penelitian.
Hak saudara sebagai partisipan:
1. Mendapat pengganti sisir yang sesuai dengan sampel penelitian.
2. Identitas pribadi dan semua informasi yang saudara berikan akan
dirahasiakan dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini
3. Alamat maupun lokasi tempat saudara akan dijaga kerahasiaannya.
4. Mendapat souvenir sebagai bentuk terima kasih.
Atas perhatian dan kesediaan saudara menjadi partisipan dalam penelitian
ini saya ucapkan terima kasih.
Medan, _______ 2015
Peneliti
Lampiran 3
SURAT PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan bahwa:
1. Saya telah mendapat penjelasan segala sesuatu mengenai penelitian Identifikasi
Dermatofita dan Pada Sisir Tukang Pangkas di Kelurahan Padang Bulan
Kecamatan Medan Baru.
2. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan dari siapapun bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan
kondisi:
a. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dan
hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmiah.
b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk keluar/tidak
berpartisipasi lagi dalam penelitian ini tanpa harus menyampaikan alasan
apapun.
Medan, _______ 2015
Peneliti Partisipan
Lampiran 4
Jumlah pelanggan perhari : _____-_____ orang
2. Karakteristik Sisir
Lama penggunaan sisir (sampel) :
Sisir terakhir dibersihkan : _____/_____/_____
Jadwal membersihkan sisir : per_______ pelanggan
per_______ minggu/bulan
Cara sisir dibersihkan : _____________________________________
Jadwal ganti sisir : per_______ pelanggan
per_______ minggu/bulan
3. Hasil KOH :
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13
Gambar Makroskopis
Lampiran 14
Gambar Mikroskopis
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, M.S., 2001. „Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia’, dalam: Budimulja, Unandar et al (eds).Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk
Dokter danMahasiswa Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Budimulja, Unandar, 2011. „Mikosis‟, dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi Ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Cao, C. et al, 2011. Common Reservoirs for Penicillium marneffei Infection in Humans and Rodents, China. Emerging Infectious Deseases.
CDC, 2016..Available from:
http://www.cdc.gov/fungal/diseases/aspergillosis/causes.html [Accesed 8
January 2016]
Clavaud, C. et al, 2013. Dandruff Is Associated with Disequilibrium in the
Proportion of the Major Bacterial and Fungal Populations Colonizing the
Scalp. PLOS ONE.
Dahlan, M. Sopiyudin, 2013. Besar Sampel dan Cara Cara Pengambilan Sampel
dalam Penelitian Kedokteran dan kesehatan.Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika.
David, D.L., Edward, A., Zaruwa M.Z., & Addass, P.A., 2010. Barbing Saloon
Associated Fungal Desease Infection in Mubi, Adamawa State-Nigeria.
World Journal of Medical Sciences. pp.17-21.
Emele, Felix E., Oyeka, Christie A., & Ubajaka, Chika F. 2015. Ringworm Infection in Nigeria: Investigating the Role of Barbers in Disease Transmission. International Journal of Public Health Research. pp. 67-71.
Faidah, Hani Saleh, 2013. Dermatophytosis in Makkah Region: Current Status.
Frey, D., Oldfield, & R.J., Bridger, R.C., 1985. A Colour Atlas of Phatogenic
Fungi. Holland: Smeets-Weert.
Graham-Brown, Robin & Burns, Tony, 2005. Lecture Notes Dermatologi. Edisi
Ke-8. Jakarta: Erlangga.
Havlickova, B., Czaika, Viktor A., & Friedrich, M., 2008. Epidemiological
Trends in Skin Mycoses Worldwide. Blackwell Publishing Ltd. pp.2-15.
Hermawan, Danny A. & Widyanto, 2000. Mengenal Penyakit Jamur Kulit yang
Sering Ditemukan di Indonesia. Meditek, 8 (23), 46-59.
Hidayati, A.N., Suyoso, S., Hinda, D., & Sandra, E., 2009. Mikosis Superfisialis
di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Tahun 2003-2005. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. pp.1-8.
Kindo, A.J., Sophia S.K.C., Kalyani, J., & Anandan, S., 2004. Identification of
malassezia species. Indian J Med Microbiol. pp. 179-181.
Kumala, Widyasari, 2006. Mikologi Dasar Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti.
Kurniati, Cita Rosita S.P., 2008. Etopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. pp. 243-250.
Nenoff, P., Krüger, C., Ginter-Hanselmayer, G., & Tietz, H.J., 2014. Mycology -
an update. Part 1: Dermatomycoses: causative agents, epidemiology and
pathogenesis. J Dtsch Dermatol Ges. pp. 188-209.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka
Cipta.
Poluri, L.V., Indugula, J.P, Kondapaneni, S.L., 2015. Clinicomycological Study of
Pires, C.A.A., Lobato, A.M., Carneiro, F.R.O., Santos da Cruz, N.F.,Oliveira de
Sousa, P., & Mendes, A.M.D., 2014. Clinical, Epidemiological, and
Therapeutic Profile of Dermatophytosis.An Bras Dermatol. pp. 259-64.
Rafiei, A., Amirrajab, N., 2010. Fungal Contamination of Indoor Public Swimming
Pools,Ahwaz, South-west of Iran. Iranian J Publ Health. pp. 124-129.
Riani, Eva, 2014. Hubungan antara Karakteristik Demografi, Gaya Hidup dan
Perilaku Pasien Puskesmas di Jakarta Selatan dengan Dermatofitosis.
Ejournal Kedokteran Indonesia. pp. 353-357.
Rudramurthy, S.M., Honnavar, P., Dogra S., Yegneswaran P.P., Handa, S, &
Chakrabarti, A., 2014. Association of Malassezia species with dandruff.
Indian J Med Res. pp. 431-437.
Siregar, R.S., 2004. Penyakit Jamur Kulit.Edisi2. Jakarta: EGC.
Visagie C.M. et al, 2014. Identification and nomenclature of the genus
Penicillium. Studies In Mycology.
Winn, Washington C. et al, 2006. Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. 6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Wolff, Klaus, Goldsmith, Lowell A., Katz, Stephen I., Gilchrest, Barbara A.,
KOH
Kultur BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Kerangka konsep.
3.2. Defenisi Opersional 3.2.1. Dermatofita
Dermatofita adalah golongan jamur yang memiliki sifat keratinofilik dan
keratolitik dan dapat menyebabkan dermatomikosis superfisialis.
Cara ukur : Pemeriksaan mikologi.
Alat ukur : Pemeriksaan KOH dan kultur jamur.
Kategori : Ditemukan spora atau hifa pada pemeriksaan KOH, dan
ditemukan spesies jamur pada kultur spesimen.
Skala pengukuran : Nominal.
3.2.2. Tukang pangkas
Tukang pangkas adalah orang yang bekerja memotong rambut dan bekerja
pada tempat pangkas rambut pria dan anak-anak di Kel. Padang Bulan, Kec.
Medan Baru.
Cara ukur : Wawancara.
Alat ukur : Lembar karakteristik sampel.
Kategori : Tukang pangkas yang bekerja saat itu.
Skala pengukuran : Nominal.
Spesies Dermatofita
3.2.3. Sisir tukang pangkas
Sisir tukang pangkas adalah sisir yang digunakan oleh tukang pangkas pria
dan anak-anak yang masih digunakan.
Cara ukur : Wawancara.
Alat ukur : Lembar karakteristik sampel.
Kategori : Karakteristik sisir.
Skala pengukuran : Nominal.
3.2.4. Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan KOH adalah pemeriksaan dengan meneteskan larutan KOH
diatas bahan yang diambil dari sisir yang ditaruh diatas gelas objek kemudian
sediaan ditutup dengan kaca penutup. Kemudian sediaan diperiksa dengan
menggunakan mikroskop.
Cara ukur : Pemeriksaan KOH.
Alat ukur : Larutan KOH.
Kategori : Ditemukan spora atau hifa (KOH positif).
Skala pengukuran : Nominal.
3.2.5. Kultur jamur
Kultur jamur adalah pembiakan menanam bahan klinis pada media buatan
yang terdiri dari medium Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang ditambahkan
antibiotik.
Cara ukur : Pemeriksaan kultur.
Alat ukur : Media buatan SDA.
Kategori : Ditemukan spesies jamur (kultur positif).
BAB IV
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan
rancangan potong lintang (cross sectional).
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Lokasi penelitian
Lokasi pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan di tempat
pangkas pria yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru,
Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pemeriksaan dengan KOH dan kultur
terhadap kerokan sisir dilakukan di laboratorium Mikrobiologi FK USU.
Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Padang Bulan adalah sebagai
berikut :
1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Polonia.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Titi Rante.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Padang Bulan Selayang I.
4. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Merdeka.
4.2.2. Waktu penelitian
Dilakukan pada bulan Juli 2015 sampai dengan Desember 2015
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi adalah peralatan kerja tukang pangkas pada tukang pangkas pria
yang berada di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Medan.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah sisir tukang pangkas pada tukang pangkas pria yang berada
di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Medan yang memenuhi
Kriteria inklusi dan eksklusi sampel penelitian ini adalah:
1. Kriteria Inklusi
a. Sisir tukang pangkas yang berlokasi di Kel. Padang Bulan, Kec.
Medan Baru, Medan.
b. Sisir yang telah digunakan dan masih digunakan oleh tukang pangkas.
2. Kriteria Eksklusi
a. Tukang pangkas yang tidak bersedia menandatangani lembar
persetujuan.
4.4. Teknik Pengumpulan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Dengan
mengambil semua sampel penelitian.
4.5. Bahan dan Cara Kerja
Pada penelitian ini sisir diambil dari tempat pangkas yang berlokasi di
Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.
4.5.1. Pengambilan bahan
1. Tukang pangkas diberi penjelasan tentang manfaat dan tujuan penelitian.
2. Meminta persetujuan dan menandatangani lembar persetujuan.
3. Mewawancara tukang pangkas.
4. Mengambil sampel penelitian (sisir).
5. Memberi label dan segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
pemeriksaan.
4.5.2. Pemeriksaan laboratorium
Setelah sampai di laboratorium Mikrobiologi FK USU dilakukan
pemeriksaan KOH dan dikultur pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA).
Cara pemeriksaan KOH adalah :
2. Tetesi KOH 10-20 % .
3. Tutup dengan cover glass.
4. Diamkan 15-20 menit.
5. Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x.
Cara kultur jamur adalah:
1. Sediaan diletakkan diatas permukaan media Sabouraud Dextrose Agar
2. Biarkan dalam suhu kamar selama 1-3 minggu sambil dilihat
pertumbuhannya.
3. Melakukan identifikasi spesies jamur dengan membuat sedian basah
dengan Lactophenol Cotton Blue sebagai mounting fluid dengan metode
cellophane tape mount dari hasil kultur.
4. Lihat sedian basah dibawah mokroskop.
Cara membuat sediaan basah:
1. Teteskan Lactophenol Cotton Blue sebanyak satu tetes diatas object glass.
2. Ambil sebagian kecil bagian jamur dari hasil kultur dengan menggunakan
selotip.
3. Tempelkan selotip tersebut diatas tetesan Lactophenol Cotton Blue.
4. Bersihkan object glass dengan dari sisa cairan Lactophenol Cotton Blue
dengan kertas tisu tanpa menekan sediaan.
4.6. Pengolahan dan Analisa Data 4.6.1. Pengolahan data
Data primer dari hasil wawancara, dan data hasil pemeriksaan
laboratorium ditabulasi kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
4.6.2. Analisa data
Analisa data untuk melihat distribusi, frekuensi, dan proposi dari setiap
4.7. Ethical Clearance
Ethical clearance diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan dilakukan di Kelurahan Padan Bulan, Kecamatan
Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pemeriksaan laboraturium
berupa kultur jamur dengan agar sabaroud dextrosa dilakukan di Laboraturium
Mikrobiologi FK USU.
5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel penelitian
Sampel dari penelitian ini adalah sisir tukang pangkas pada tukang
pangkas pria yang berada di Kelurahan Padang Bulan. Tempat pangkas pria yang
berlokasi di Kelurahan Padang Bulan berjumlah 10 tempat.
5.1.3. Distribusi sampel berdasarkan tempat pangkas
Dari 10 tempat pangkas yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan
sebanyak 8 tempat pangkas dimasukkan dalam penelitian dan 2 tempat pangkas
dikeluarkan dari penelitian karena tidak bersedia menandatangani lembar
persetujuan (informed consent). Dalam penelitian ini diperoleh 30 sampel yang
berasal dari 14 tukang pangkas.
Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan tempat pangkas
Dari tabel 5.1. dapat diketahui bahwa jumlah sampel terbesar berasal dari
tempat pangkas A yaitu 7 sisir (23,3%).
5.1.4. Distribusi sampel berdasarkan lama penggunaan Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan lama penggunaan.
Lama sisir telah digunakan (bulan) n %
Dari tabel 5.2. diketahui bahwa dari 30 sisir tukang pangkas, proporsi lama
penggunaan sisir terbesar adalah 3 bulan (36,7 %).
5.1.5. Distribusi jumlah pelanggan sehari
Tabel 5.3. Distribusi tukang pangkas berdasarkan jumlah pelanggan dalam satu hari.
Dari tabel 5.3. dapat diketahui proporsi terbesar jumlah pelanggan dalam
5.1.6. Distribusi riwayat sisir dibersihkan
Tabel 5.4. Distribusi sisir berdasarkan riwayat dibersihkan.
Riwayat sisir dibersihkan n %
Pernah 10 33,3
Tidak Pernah 20 66,7
Total 30 100,0
Dari tabel 5.4. dapat diketahui bahwa dari 30 sisir tukang pangkas yang
diambil jadi sampel penelitian, jumlah sisir yang tidak pernah dibersihkan
memiliki proporsi terbesar yaitu 20 (66,7 %) dan jumlah sisir yang pernah
dibersihkan memiliki proporsi 10 (33,3 %).
5.1.7. Distribusi cara membersihkan sisir
Tabel 5.5. Distribusi tukang pangkas berdasarkan cara membersihkan sisir
Cara membersihkan sisir n %
Cuci dengan air 9 64,3
Cuci dengan bahan pembersih/air panas 0 0,00
Tidak pernah membersihkan 5 35,7
Total 14 100,0
Tabel 5.5. dapat diketahui bahwa 64,3% (9) tukang pangkas hanya
menggunakan air untuk membersihkan sisir dan 35,7% (5) tidak pernah
membersihkan sisir yang digunakan.
5.1.8. Distribusi jadwal penggantian sisir
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa seluruh tukang pangkas tidak
memiliki jadwal yang regular untuk mengganti sisir yang digunakan baik
5.1.9. Distribusi hasil pemeriksaan KOH
Tabel 5.6. Distribusi hasil pemeriksaan KOH 10%
Spora (+) % Spora (-) %
Hifa (+) 25 83,3 % 0 0
Hifa (-) 5 16,7 % 0 0
Pada pemeriksaan langsung dengan menggunakan larutan KOH 10% yang
dilakukan pada kerokan dari sisir tukang pangkas didapatkan hasil seluruh sisir
positif (+) spora/hifa.
5.1.10. Distribusi hasil kultur
Tabel 5.7. Distribusi hasil kultur berdasarkan lama penggunaan sisir Lama Sisir Digunakan
sisir dengan lama penggunaan 3 bulan yaitu sebanyak 8 sisir.
Dari tabel 5.8. diketahui bahwa hasil 9 sisir yang pernah dibersihkan tidak
ditemukan jamur golongan dermatofita, 6 dari 21 sisir yang belum pernah
dibersihkan ditemukan jamur golongan dermatofita.
Tabel 5.9. Distribusi hasil kultur berdasarkan golongan
Golongan n %
Tidak Tumbuh Koloni 3 10,0
Dermatofita 6 20,0
Jamur Lain 21 70,0
Total 30 100,0
Dari tabel 5.9. dapat diketahui bahwa 90% (27) kultur sampel didapatkan
koloni jamur. 70% (21) dari hasil kultur adalah jamur yang tidak termasuk
golongan dermatofita, 20% (6) tergolong dermatofita, dan 10% (3) dari hasil
kultur tidak didapatkan pertumbuhan koloni jamur.
Tabel 5.10. Distribusi hasil kultur berdasarkan spesies
Spesies Jamur Golongan n %
Tidak Tumbuh Koloni - 3 10,0
Tidak Teridentifikasi Jamur Lain 1 3,3
Aspergillus fumingatus Jamur Lain 1 3,3
Aspergillus niger Jamur Lain 7 23,3
Aspergillus flavus Jamur Lain 2 6,7
Fonsecae spp. Jamur Lain 1 3,3
Penicillium spp. Jamur Lain 8 26,7
Paecylomyces spp. Jamur Lain 1 3,3
Trichophyton mentagrophytes Dermatofita 2 6,7
Trichophyton rubrum Dermatofita 2 6,7
Trichophyton schoenleinii Dermatofita 1 3,3
Trichophyton violaceum Dermatofita 1 3,3
Dari tabel 5.10. diketahui bahwa, spesies jamur hasil kultur jamur dari sisir
tukang pangkas didapatkan Penicillium spp. memiliki proporsi terbesar yaitu
26,7% (8), sedangkan jamur dari golongan dermatofita memiliki proporsi 20% (6)
yang terdiri dari 6,7% (2) Trichophyton mentagrophytes, 6,7% (2) Trichophyton
rubrum, 3,3% (1) Trichophyton schoenleinii dan 3,3% (1) Trichophyton
violaceum.
5.2. Pembahasan
Dari hasil penelitian didapatkan 36,7% (11) sisir telah digunakan selama 3
bulan dan 26,7% (8) telah digunakan lebih dari enam bulan dimana, 28,6% tempat
pangkas memiliki pelanggan 20-25 orang dalam sehari. Dalam penelitian ini juga
didapatkan 66,7% (20) sisir yang digunakan tidak pernah dibersihkan. Jika dilihat
dari cara tukang pangkas membersihkan sisir yang digunakan, 64,7% (9) tukang
pangkas hanya menggunakan air dan 35,7% (5) tukang pangkas tidak pernah
membersihkan sisir yang digunakan. Dari hasil penelitain juga ditemukan bahwa
seluruh tukang pangkas tidak memiliki jadwal yang regular untuk mengganti sisir.
Penularan dermatofitosis dapat terjadi di rumah melalui peralatan yang
dipakai bersama maupun dari sumber lain seperti fasilitas umum dan fasilitas
olahraga (Nenoff, 2014). Pada sebuah penelitian di Jakarta Selatan mendapatkan
bahwa dermatofitosis memiliki hubungan dengan demografi, gaya hidup dan
prilaku seorang pasien (Riani, 2014).
Dari hasil kultur pada media Sabaroud Dextrosa Agar (SDA) didapatkan
koloni jamur yang diidentifikasi sebagai dermatofita sebesar 20% (6), 70% (21)
dari golongan jamur yang tidak menyebabkan dermatomiko sis superfisialis, dan
10% (3) tidak ditemukan koloni jamur.
Bila dilihat proporsi spesies dari seluruh sampel, dari golongan
dermatofita didapatkan Trichophyton mentagrophytes sebesar 6,7% (2),
Trichophyton rubrum sebesar 6,7% (2), Trichophyton schoenleinii sebesar 3,3%
(1) dan Trichophyton violaceum sebesar 3,3% (1), dan proporsi dari spesies lain
(7), Aspergillus flavus 6,7% (2), Candida albicans 3,3% (1), Fansecae spp. 3,3%
(1), Penicillium spp.26,6% (8) dan Phaccylomyces spp. 3,3% (1).
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan David et al, (2010) menemukan
Microsporum audouinii dan Candida albican pada peralatan tukang pangkas di
Nigeria. Semua spesies jamur dari golongan dermatofita dapat menyebabkan tinea
kapitis kecuali Trichophyton concentricum (Wolff et al, 2008).
Trichophyton rubrum dilaporkan merupakan jenis dermatofita yang paling
sering menyebabkan gejala klinis di India diikuti Trichophyton mentagrophytes,
sedangkan Trichophyton violaceum adalah spesies yang paling sering
menyebabkan tinea kapitis diikuti Trichophyton rubrum, Trichophyton tonsurans,
dan Trichophyton schoenleinii (Poluri et al, 2015)
Tine kapitis tipe Black dot yang sebabkan Trichophyton violaceum
memiliki sifat yang mudah ditularkan dan Trichophyton violaceum adalah salah
satu dermatofita yang dapat bertahan hidup pada suhu 370C (Havlickova, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian ini, dengan ditemukannya spesies dermatofita
sebesar 20% (6), dapat sisimpulkan bahwa peralatan tukang pangkas dapat
menjadi sumper penularan infeksi dermatofitosis.
David et al, 2010 melalui penelitiannya juga menyatakan peralatan tukang
pangkas dapat menjadi media yang baik dalam penularan dermatomikosis pada
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian identifikasi dermatofita pada sisir tukang
tangkas di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ditemukan jamur penyebab mikosis superfisialis dari golongan
dermatofita pada sisir tukang pangkas yang berlokasi di Kelurahan Padang
Bulan Kecamatan Medan Baru sebesar 20% (6 sisir).
2. Ditemukan 4 spesies dermatofita pada sisir tukang pangkas yang berlokasi
di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Spesies dermatofita
yang ditemukan adalah Trichophyton mentagrophytes 6,7%, Trichophyton
rubrum 6,7%, Trichophyton schoenleinii 3,3% dan Trichophyton
violaceum 3,3%.
3. Seluruh tukang pangkas tidak memiliki jadwal yang regular untuk
mengganti sisir yang digunakan.
4. Sebanyak 64,3% tukang pangkas mencuci sisir dengan menggunakan air
dan 35,7% tukang pangkas tidak pernah memcuci sisir.
6.2. Saran
Dari hasil penelitian yang telah didapat peneliti memberi saran kepada:
1. Tukang pangkas
Bagi tukang pangkas disarankan untuk selalu menjaga kebersihan
peralatan tukang pangkas yang digunakan, agar peralatan yang digunakan
tidak menjadi sumber infeksi terhadap mesyarakat yang menjadi pengguna
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatomikosis
Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit (Budimulja, 2011). Faktor-faktor yang memegang peranan untuk
terjadinya dermatomikosis adalah iklim yang panas, higiene yang kurang, adanya
sumber penularan disekitarnya, penggunaan antibiotik, steroid dan sitostatika
yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya (Adiguna,
2001).
2.2. Dermatomikosis Superfisialis
Dermatomikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang menyerang
lapisan luar kulit, kuku, dan rambut. Dermatomikosis superfisialis dibagi dalam
dua bentuk, yaitu dermatofitosis dan nondermatofitosis. Perbedaan keduanya
terletak pada infeksi di kulit. Golongan dermatofitosis menyerang atau
menimbulkan kelainan di dalam epidermis, mulai dari stratum korneum sampai
stratum basalis, sedangkan golongan nondermatofitosis hanya pada bagian
superfisialis dari epidermis. Hal ini disebabkan dermatofita mempunyai afinitas
terhadap keratin yang terdapat pada epidermis, rambut, dan kuku sehingga
infeksinya lebih dalam (Siregar, 2005).
Dalam Wolff et al (2008), berdasarkan habitat dan cara penularannya
dermatomikosis superfisialis dibagi atas:
1. Geofilik, terutama hidup di tanah sebagai habitatnya dan secara sporadis
menginfeksi manusia. Infeksi biasanya melalui kontak dengan tanah dan
menyebar melalui spora yang dapat hidup selama bertahun-tahun di mantel
dan alat kosmetik. Mikroorganisme patogen tersering adalah
Microsporium gypseum
2. Zoofilik, spesies ini biasanya ditemukan pada hewan dan ditularkan
melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalu bulu hewan yang
atau tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan, misalnya
Microsporum canis.
3. Antropofilik, terutama menyerang manusia sebagai hospesnya. penularan
dapat terjadi melalui kontak langsung dengan manusia maupun tidak
langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik,
dengan atau tanpa reaksi peradangan.
2.3. Dermatofitosis 2.3.1. Defenisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan jamur golongan dermatofita (Budimulja, 2011).
2.3.2. Etiologi
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga
genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat
keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat
faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan
penyebab penyakit. Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita,
masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Trichophyton (Budimulja, 2011).
1. Epidermophyton (Wolff et al, 2008; Winn 2006; Frey et al, 1985)
Genus Epidermophyton memiliki karakteristik berdinding halus, memproduksi 2-4 sel makrokonidia. Tidak menghasilkan mikrokonidia.
a. Epidermophyton floccosum
Gambar 2.1. Makroskopis Epidermophyton floccosum
Gambar 2.2. Mikroskopis Epidermophyton floccosum
2. Microsporum (Wolff et al, 2008; Winn, 2006; Frey et al, 1985)
Genus Microsporum memproduksi banyak makrokonidia yang mempunyai
karakteristik multisepta, berdinding tebal, dinding sel echinulate atau
verrucose yang tebal dengan ukuran 7-20 x 30-160 m dan sedikit atau tidak ada mikrokonidia yang berbentuk seperti tetesan air atau elips, terikat
langsung ke sisi hipa dengan ukuran 2.5-3.5 x 4-7 m.
a. Microsporum audouinii
Makroskopis : Bentuk koloni datar dan berwarna putih keabuan pada permukaan dan kecoklatan pada bagian dasar.
Mikroskopis : Dapat dijumpai terminal klamidokonidia dan hifa berbentuk seperti sisir.
Gambar 2.3. Makroskopis Microsporum audouinii
Gambar 2.4. Mikroskopis Microsporum audouinii
b. Microsporum canis
Mikroskopis: Terdapat beberapa mikrokonidia dan banyak makrokonidia berdinding tebal dan bergerigi dengan knob pada ujungnya.
Gambar 2.5. Makroskopis Microsporum canis
Gambar 2.6. Mikroskopis Microsporum canis
c. Microsporum gypseum
Makroskopis: Koloni berbentuk granuler dengan pigmen coklat kekuningan. Mikroskopis: Ditemukan beberapa mikrokonidia dan sejumlah makrokonidia berdinding tipis tanpa knob.
Gambar 2.7. Makroskopis Microsporum gypseum
Gambar 2.8. Mikroskopis Microsporum gypseum 3. Trichophyton (Wolff et al, 2008; Wi nn, 2006; Frey et al, 1985)
Genus Trichophyton memproduksi banyak mikrokonidia dengan
karakteristik berbentuk piriform sampai clavate dengan ukuran 2-3 x 2-4
mm dan sedikit atau tidak ada makrokonidia yang memiliki karakteristik
berdinding tipis dan halus, berbentuk clavate sampai fusiform dengan
ukuran 4-8 x 8-50 mm in size.
a. Trichophyton mentagrophytes
Mikroskopis: Dijumpai banyak mikrokonidia bulat yang bergerombol, jarang yang berbentuk cerutu, terkadang dijumpai hifa spiral.
Gambar 2.9. Makroskopis Microsporum mentagrophytes
Gambar 2.10. Mikroskopis Microsporum mentagrophytes
b. Trichophyton rubrum
Makroskopis: Koloni berwarna putih bertumpuk di tengah dan maroon
pada tepinya, berwarna maroon pada bagian dasar.
Mikroskopis: Beberapa mikrokonida berbentuk seperti tetesan air, dan
makrokonidia berbentuk pensil jarang di jumpai
Gambar 2.11. Makroskopis Trichophyton rubrum
Gambar 2.12. Mikroskopis Trichophyton rubrum
c. Trichophyton schoenleinii
Makroskopis: Koloni berupa tumpukan tidak beraturan dengan warna
putih kekuningan hingga coklat.
Mikroskopis: Dijumpai hifa dengan knob berbentuk tanduk rusa, dan
Gambar 2.13. Makroskopis Trichophyton schoenleinii
Gambar 2.14. Mikroskopis Trichophyton schoenleinii
d. Trichophyton tonsurans
Makroskopis: bentuk dan warna koloni bervariasi. Dapat berbentuk seperti
tepung sampai beludru. Dapat berwarna putih, krem, kuning,coklat atau
maroon. Warna dasar biasanya merah.
Mikroskopis: Banyak mikrokonidia beraneka bentuk dan kadang
makrokonidia berbentuk cerutu.
Gambar 2.15. Makroskopis Trichophyton tonsurans
Gambar 2.16. Mikroskopis Trichophyton tonsurans
d. Trichophyton verrucosum
Makroskopis: Koloni kecil dan bertumpuk, kadang datar, warna putih
hingga abu kekuningan.
Gambar 2.17. Makroskopis Trichophyton verrucosum
Gambar 2.18. Mikroskopis Trichophyton verrucosum
e. Trichophyton violaceum
Makroskopis: Seperti lilin dan bertumpuk, warna merah violet. Dengan
warna dasar violet.
Mikroskopis: hifa irreguler dengan klamikonidia di antaranya. Pada SDA
tidak ada mikro atau makrokonidia.
Gambar 2.19. Makroskopis
Manifestasi klinis dipengaruhi berbagai faktor antara lain spesies jamur,
jumlah inokulum, bagian organ yang terkena infeksi dan status kekebalan
sipenderita. Gejala klasik dari dermatofitosis adalah “ringworm” kelainan berupa
lingkaran yang disertai reaksi inflamasi dan sisik halus di tepi lesi (Kumala,
2009).
Berdasarkan pada bagian tubuh yang diserang dermatofitosis dibagi atas:
1. Tinea pedis (Athlete‟s foot, ringworm of the foot, kutu air)
Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela
jari dan telapak kaki yang umumnya bersifat kronis. Jamur utama
mentagrophytes, (Havlickova, 2008). Bentuk-bentuk tinea pedis adalah (
Budimulja, 2011):
a. Bentuk interdigitalis yaitu adanya gambaran fisura yang dikelilingi sisik
halus dan tipis di antara jari IV dan V yang dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga kesela jari yang lain.
b. Bentuk moccasin foot memiliki gambaran kulit yang menebal dan bersisik
pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki, eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
c. Bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Isi
vesikel berupa cairan jernih yang kental, yang setelah pecah,
meninggalkan sisik berbentuk lingkaran . Kelainan ini dapat mulai pada
daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki.
2. Tinea manum
Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Semua bentuk
yang dilihat dikaki dapat terjadi pula pada tangan (Budimulja, 2011).
Mikroorganisme penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum,
Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton tosurans, Epidermophyton
floccosum (Wolff et al, 2008).
3. Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail)
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang sering disebabkan oleh
jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum (Havlickova, 2008). Gejala klinis dari penyakit
ini adalah adanya lesi mengenai satu kuku atau lebih pada jari tangan atau
kaki. Permukaan kuku tidak rata, berwarna kekuningan, tebal dan rapuh.
Kelainan dimulai dari bagian distal. Penyembuhan memerlukan waktu
yang lama (Budimulja, 2011).
4. Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of
the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah
Epidermophyton floccosum Trichophyton mentagrophytes, dan
Trichophyton rubrum (Havlickova, 2008).
Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah,
atau bagian tubuh yang lain. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada
daerah tengahnya. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya
akibat garukan (Budimulja, 2011).
5. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap,
herpes sircine trichophytique)
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak
berambut (glabrous skin ) yang sering disebabkan oleh Microsporum spp
dan Trichophyton spp (Havlickova, 2008).
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa
lesi kulit yang menjadi satu (Budimulja, 2011).
6. Tinea kapitis (ringworm of the scalp) (Wolff et al, 2008)
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
sering disebabkan oleh spesies dermatofita dari genus Microsporum dan
genus Trichophyton kecuali T. concentricum. Tinea kapitis sering
ditemukan pada anak berusia tiga sampai dua belas tahun Gejala klinis dari
tinea kapitis bergantung pada etiologinya.
a. Tipe Inflamasi
Inflamasi pada tinea kapitis merupakan hasil dari reaksi hipersensitifitas
terhadap infeksi. Batas spektrum inflamasi mulai dari folikulitis berpustul
sampai kerion. Lesi tersebut biasanya terasa gatal dan mungkin disertai
nyeri, limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi tambahan pada
b. Noninflamasi
Rambut di daerah yang terinfeksi berubah warna menjadi abu-abu dan
kurang bercahaya serta patah di level yg hanya sedikit di atas kulit kepala.
Kerontokan rambut yang nyata jarang terjadi. Hiperkeratin yang melingkar
dan area botak yang bersisik yang disebabkan patahnya rambut merupakan
tanda yang mudah dikenali. Lesi biasanya terjadi di daerah oksiput.
c. Tipe “Black dot”
Kerontokan rambut bisa terjadi dan bisa juga tidak terjadi. Jika terjadi
kerontokan, kumpulan bintik hitam akan terlihat di kulit kepala yang
botak.
d. Tipe Favus
Tipe ini ditandai dengan krusta kuning yang tebal sampai folikel-folikel
rambut yang mengarahkan terjadinya kebotakan berparut.
Tabel 2.1. Dermatofita penyebab tinea kapitis.
Inflamasi Noninflamasi Black dot Favus
M. audouinii
Sumber: Wolff et al, 2008
2.4. Nondermatofitosis 2.4.1. Defenisi
Nondermatofitosis adalah mikosis superfisial yang disebabkan jamur yang
tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat mencerna keratin kulit, biasanya
2.4.2. Etiologi
1. Malasasezia furfur (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni berwarna krem-kekuningan, halus atau kasar, bekilau
atau kusam
Mikroskopis: Ditemukan fragmen hifa bercabang dengan berbagai ukuran.
Gambar 2.21. Makroskopis Malasasezia furfur
Gambar 2.22. Mikroskopis Malasasezia furfur
2. Piedra hortai (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni berwarna coklat atau hitam dengan bagian tengah yang lebih tinggi dan datar pada bagian tepi. Dengan tekstur lembut.
Mikroskopis: Ditemukan hifa bersepta dan bercabang dengan dinding tebal, bersamaan dengan sejumlah pembesaran sel seperti klamidokonia diantara sel.
Gambar 2.23. Makroskopis
Piedra hortai
Gambar 2.24 . Mikroskopis
Piedra hortai
3. Clasdoporium werneckii (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni awalnya basah, berlumpur, seperti ragi, dan berwarna
hitam kemudian menjadi olive-black dan ditutupi oleh miselium hitam
Mikroskopis: Koloni muda menunjukan spora yang bervariasi dari warna,
berbentuk oval atau elips, satu atau dua sel spora bersepta.
Gambar 2.25. Makroskopis Clasdoporium werneckii
Gambar 2.26. Mikroskopis Clasdoporium werneckii
4. Trichosporon beigelii (Frey, 1985)
Makroskopis: Koloni tumbuh dengan cepat, seperti ragi, dan berwarna kuning
pucat. Semakin lama permukaan menjadi keriput, bagian tenagh menumpuk,
dan warna menjadi kuning gelap.
Mikroskopis: Ditemukan hifa hialin bersepta yang dapat berfragmentasi
menjadi oval, atau persegi panjang, artrospore berukuran 3-9 m x 2-4 m. Blastospora terdapat pada satu atau lebih bagian pada artrospora.
Gambar 2.27. Makroskopis Trichosporon beigelii
2.4.3. Gambaran klinis 1. Pitiriasis versikolor
Pitiriasis versikolor berhubungan dengan pertumbuhan yang
berlebihan dari flora normal Pityrosporum orbiculare yang identik dengan
Malasasezia furfur (Havlickova, 2008).
2. Pitirosporum folikulitis
Pitirosporum folikulitis adalah penyakit kronis pada folikel
polisebasea yang disebabkan oleh spesies Pityrosporum yang identik
dengan Malasasezia furfur (Budimulja, 2011).
3. Piedra
Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, ditandai dengan benjolan
(nodus) sepanjang rambut, dan disebabkan oleh Piedra hortai (black
piedra) atau Trichosporon beigelii (white piedra) (Budimulja, 2011).
4. Tine nigra palmaris
Tinea nigra memiliki tanda khas berupa makula tidak berskuama
berwarna coklat sampai hitam. Bagian yang paling sering terkena adalah
palmar, tetapi dapat juga mengenai plantar dan permukaan kulit lainnya.
Penyebab penyakit ini adalah Cladosporium wemeckii dan Cladosporium
mansonii. Gejala klinis berupa kelainan kulit telapak tangan berupa
bercak-bercak tengguli hitam dan sekali-sekali bersisik. Penderita
umumnya berusia di bawah 19 tahun dan penyakitnya berlangsung kronik
(Budimulja, 2011).
5. Ketombe (Dandruff)
Ketombe adalah kelainan yang ditandai dengan sisik berwarna
putih sampai kekuningan pada kulit kepala. Malassezia spesies adalah
spesies jamur yang diduga berperan sebagai agen penyebab terjadinya
ketombe. Kondisi stres, kelelahan, cuaca ekstrim, produksi minyak pada
kulit yang berlebihan, penggunaan sampo, dan gangguan neurologi
6. Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi jamur kronik atau subakut pada liang
telinga luar dan lubang telinga luar, yang ditandai dengan inflamasi
eksudatif dan gatal. Penyebab utamanya adalah jamur-jamur kontaminan,
misalnya Aspergilus, Penisilium, dan Mukor (Budimulja, 2011).
2.5. Jamur Kontaminan 2.5.1. Aspergillus sp.
Aspergillus sp. sangat umum dijumpai di dalam maupun di luar ruangan,
sehingga kebanyakan orang menghirup spora jamur setiap hari. Menghirup spora
Aspergillus sp. tidak berbahaya pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
sehat. Namun, bagi orang yang sistem kekebalannya melemah, menghirup spora
Aspergillus sp. dapat menyebabkan infeksi di paru-paru atau sinusitis. Ada sekitar
180 spesies Aspergillus, tetapi yang diketahui dapat menyebabkan infeksi pada
manusia kurang dari 40 spesies. Aspergillus fumigatus adalah spesies yang paling
sering menginfeksi manusia (CDC, 2016).
2.5.2. Penicillium
Penicillium adalah salah satu jamur yang dapat dijumpai diberagam habitat
seperti tanah, udara, lingkungan dalam ruangan dan berbagai produk makanan
(Visagie et al. 2014). Penicillium marneffei adalah satu-satunya spesies dari genus
Penicillium yang dapat menginfeksi manusia, dan sering menjadi infeksi penyerta
pasa pasien HIV (Cao et al, 2011).
2.6. Penegakan Diagnosis
Selain dari gejala-gejala khas setiap jamur, diagnosis suatu penyakit jamur
harus dibantu pemeriksaan laboratorium, yaitu:
2.6.1. Pemeriksaan langsung
Untuk melihat apakah ada infeksi jamur perlu dibuat preparat langsung
dari kerokan kulit, rambut, atau kuku. Sediaan dituangi larutan KOH 10-40%
dengan maksud melarutkan keratin kulit atau kuku sehingga akan tinggal
sampai menguap, dilihat di bawah mikroskop, dimulai dengan pembesaran 10 kali
(Siregar, 2005).
Adanya elemen jamur tampak berupa benang-benang bersifat kontur
ganda. Selain itu, tampak juga bintik spora berupa bola kecil sebesar 1-3
mikrometer (Siregar, 2005).
Bahan-bahan yang diperlukan untuk diperiksa didapat dari (Siregar, 2005):
1. Kulit
Bahan diambil dan dipilih dari bagian lesi yang aktif, yaitu daerah
pinggir. Terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% lalu dikerok
dengan skalpel sehingga memperoleh skuama yang cukup. Letakan di atas
gelas objek, lalu dituangi dengan KOH 10%.
2. Rambut
Rambut yang dipilih adalah rambut yang terputus-putus atau
rambut yang warnanya tak mengilat lagi, tuangi KOH 20%, lihat adanya
infeksi endotrik atau ektotrik.
3. Kuku
Bahan yang diambil adalah masa detritus dari bawah kuku yang
sudah rusak atau dari bahan kukunya sendiri, selanjutnya dituangi dengan
KOH 20-40% dan dilihat di bawah mikroskop, dicari hifa atau spora.
Dengan preparat langsung ini, sebenarnya diagnosis suatu
dermatomikosis sudah dapat ditegakkan. Penentuan etiologi spesies
diperlukan untuk keperluan penentuan prognosis, kemajuan terapi dan
epidemiologis (Siregar, 2005).
2.6.2. Pembiakan atau kultur
Pembiakan dilakukan dalam media agar saboroud pada suhu kamar
(25-30ºC), kemudian dalam satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada perubahan atau
pertumbuhan jamur. Faktor pH juga berperan untuk pertumbuhan jamur, pH yang
optimal sekitar 5,6. Sedangkan bakteri tidak dapat tumbuh pada pembenihan agar
saboroud. Untuk mencegah tumbuhnya jamur kontaminan/saprofit dapat
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah (Siregar, 2005):
1. Bentuk koloni
a. Koloni ragi
Makroskopis tampak bundar, lunak, atau lembek dengan
permukaan halus atau rata n mengkilat, tidak berpigmen, warna
kekuningan, seperti koloni bakteri. Bila diperiksa secara mikroskopis
hanya didapati sel-sel ragi yang berupa sel yang bulat dan tampak
seolah-olah mempunyai dua dinding dan kadang-ada tunas (satu tunas besar
dengan tunas bola yang kecil yang disebut "BUDDING"), misalnya pada
kandida.
b. Koloni menyerupai ragi
Secara makroskopis tampak lembek, permukaan halus, mengkilat,
dan warnanya putih kekuningan. Secara mikroskopis tampak sebagai sel
tunggal dan kadang-kadang tampak miselium semu (sel-sel panjang, tetapi
tidak khas dan tidak bersekat). Juga ada sel yang berbentuk bulat dan
kadang-kadang ada yang bertunas.
c. Koloni filamen
Secara makroskopis tampak seperti kapas berupa benang halus,
permukaan dan pinggir tidak rata, dan menonjol di atas permukaan media.
Mikroskopis tampak sebagai hifa sejati, yaitu benang-benang yang bersifat
kontur ganda, berinti dan mempunyai sekat, misalnya: trichophyton,
microsporum dan epidermopiton. Kadang-kadang tampak bentuk
campuran, yaitu pembiakan pada temperatur 37ºC dapat menghasilkan
koloni ragi, tetapi pada temperatur kamar akan menghasilkan koloni
filamen, misalnya sporotrikosis.
2. Bentuk hifa
Bentuk hifa ini dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Menurut fungsinya hifa dibagi menjadi hifa vegetatif yaitu hifa yang
berfungsi untuk perkembangan dan mengambil makanan dan hifa
reproduktif yaitu hifa dikhususkan untuk membentuk atau memperbanyak
b. Menurut jenisnya hifa bibagi menjadi hifa berseptum dan hifa tidak
berseptum (sunositik).
3. Bentuk spora
Bentuk spora dapat dibagi menjadi:
a. Spora seksual yaitu spora yang dibentuk dalam suatu organ khusus yang
sebelumnya terjadi penggabungan dari dua hifa
b. Spora aseksual yaitu spora yang langsung dibentuk oleh hifa tanpa melalui
penggabungan dari hifa-hifa reproduktif.
2.6.3. Reaksi imunologis (alergi)
Dengan menyuntikkan secara intrakutan semacam antigen yang dibuat dari
koloni jamur, reaksi (+) berarti infeksi oleh jamur (+), misalnya (Siregar, 2005):
1. Reaksi trikofitin yaitu menyuntikkan anntigen yang dibuat dari pembiakan
trikofitosis. Kalau (+) berarti ada infeksi trikofiton.
2. Reaksi histoplasmin yaitu menyuntikkan antigen yang dibuat dari
pembiakan histoplasma. Kalau (+) berarti infeksi oleh histoplasma (+).
3. Reaksi sporotrikin yaitu menyuntikkan antigen yang dibuat dari koloni
Sporotricium schenkii. Kalau (+) berarti infeksi oleh spesies sporotikum.
2.6.4. Biopsi atau pemeriksaan histopatologi
Khusus dilakukan untuk pemeriksaan penyakit jamur golongan mikosis
dalam. Dengan pewarnaan khusus dari suatu jaringan biopsi, dapat dicari elemen
jamur dalam jaringan tersebut. Pewarnaan khusus seperti pewarnaan gram, He,
dan pas dapat mewarnai elemen jamur dalam jaringan sehingga tampak lebih
jelas. Selain itu, pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk melihat reaksi
jaringan akibat infeksi jamur (Siregar, 2005).
2.6.5. Pemeriksaan dengan sinar Wood
Sinar wood adalah sinar ultraviolet yang setelah melewati suatu "saringan
wood", sinar yang tadinya polikromatis menjadi monokromatis dengan panjang
Bila sinar ini diarahkan ke kulit atau rambut yang mengalami infeksi oleh
jamur-jamur tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat, dengan
memberi warna yang kehijauan atau flouresensi. Apabila pemeriksaan dengan
cara ini memberi flouresensi, pemeriksaan sinar wood disebut positif, dan apabila
tidak ada flouresensi disebut negatif. Jamur-jamur yang memberikan flouresensi
adalah Microsporum lanosum, Microsporum audouinii, M. canis, dan Malassezia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Dermatofita dan nondermatofita adalah golongan jamur yang
menyebabkan mikosis superfisialis. Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur
yang terutama mengenai lapisan keratin kulit, rambut, dan kuku (Kumala, 2006).
Dermatofita mempunyai sifat keratinofilik dan keratolitik, sehingga
menyebabkan kelainan pada jaringan yang mengandung keratin, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku. Infeksi oleh dermatofita dinamakan
dermatofitosis. Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing
2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Epidermophyton (Budimulja, 2011).
Nondermatofita biasanya menyerang kulit yang paling luar. Hal ini
disebabkan karena jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat
mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar
(Boel, 2003). Spesies jamur yang termasuk nondermatofita yang menginfeksi
manusia adalah Malasezia furfur, Clasdoporium werneckii, Piedra hortae dan
Trichosporon beigelii (Budimulja, 2011).
Prevalensi mikosis superfisialis di dunia masih belum pasti, namun
diperkirakan mengenai 20-25% populasi dunia (Havlickova, 2008). Di Indonesia
angka yang tepat berapa sesungguhnya insidensi mikosis superfisialis belum ada.
Data insidensi dermatomikosis tahun 1996, 1997 dan 1998 di berbagai rumah
sakit pendidikan dokter di Indonesia menunjukkan angka persentase terhadap
seluruh kasus dermatosis yang bervariasi mulai dari 2,93 (Semarang) yang
terendah hingga 27,6 (Padang) yang tertinggi (Riani, 2014).
Kasus baru mikosis superfisialis menempati urutan ke-3 setelah dermatitis
dan akne dalam daftar 10 penyakit terbanyak di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003-2005 dengan kelompok
Gambaran klinis dari mikosis superfisialis pada kulit kepala dan rambut
bergantung pada etiologinya. Infeksi dermatofita dapat menyebabkan tinea kapitis
sedangkan infeksi nondermatofita dapat menyebabkan piedra dan ketombe
(Nenoff, 2014).
Seseorang dapat tertular jamur melalui kontak langsung dengan manusia
dan hewan yang terinfeksi atau membawa jamur patogen, maupun secara tidak
langsung melalui tanaman, kayu yang di hinggapi jamur, barang-barang atau
pakaian, debu, atau air (Nenoff, 2014).
Hasil penelitian pada kolam berenang umum di Iran menunjukan 54,47%
sampel penelitian positif terkontaminasi jamur (Rafiei & Amirrajab, 2010) dan
pada peralatan tukang pangkas di Mubi, Adamawa State-Nigeria ditemukan
adanya Microsporum audouinii dan Candida albicans (David et al, 2010),
mengindikasikan bahwa fasilitas dan sarana umum dapat menjadi sumber
penularan jamur.
Berdasarkan masalah yang telah disebutkan diatas, maka peneliti ingin
melakukan penelitian apakah pada sisir yang digunakan oleh tukang pangkas
terdapat pertumbuhan dermatofita.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah pada sisir yang digunakan tukang pangkas yang berlokasi di
Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru terdapat dermatofita?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengidentifikasi spesies dermatofita yang terdapat pada sisir yang
digunakan tukang pangkas yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan
Medan Baru.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui jumlah spesies dermatofita yang dapat ditemukan
pada sisir yang digunakan tukang pangkas.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara tukang pangkas membersihkan
peralatan kerjanya (khusus sisir).
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Manfaat keilmuan
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang dermatofita yang dapat
tumbuh pada sisir tukang pangkas.
2. Manfaat bagi masyarakat
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ada
atau tidaknya dermatofita yang terdapat pada sisir yang digunakan
tukang pangkas.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menberikan informasi tentang
pentingnya menjaga kebersihan peralatan yang digunakan dalam
bekerja khususnya sisir kepada tukang pangkas.
3. Manfaat bagi peneliti
menyebabkan mikosis superfisialis. Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang terutama mengenai lapisan keratin kulit, rambut, dan kuku . Sisir tukang pangkas dapat menjadi media yang baik dalam penularan dermatomikosis pada masyarakat awam.
Tujuan : Mengidentifikasi spesies dermatofita yang terdapat pada sisir yang digunakan tukang pangkas yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.
Metode : Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang. Penelitian ini mendeskripsikan spesies dermatofita pada 30 sisir tukang pangkas dari 8 tempat pangkas pria di Kelurahan Padang Bulan (total sampling).
Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa 5 tukang pangkas (35,7%) tidak pernah membersihkan sisir yang digunakan dan 9 tukang pangkas (64,3%) menggunakan air untuk membersihkan sisir yang digunakan. Seluruh tukang pangkas (100%) tidak memiliki jadwal yang teratur untuk mengganti sisir yang digunakan. Pada pemeriksaan langsung KOH pada kerokan sisir didapatkan hasil positif (+) spora/hifa pada seluruh sisir. Pada pemeriksaan kultur jamur dengan media Sabaroud dextrose agar (SDA) ditemukan 70% jamur dari golongan yang bukan merupakan penyebab dermatomikosis superfisialis, 20% jamur golongan dermatofita, dan 10% tidak ditemukan koloni jamur.
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sisir tukang pangkas terdapat 6,7% Trichophyton mentagrophytes, 6,7% Trichophyton rubrum, 3,3% Trichophyton schoenleinii, dan 3,3% Trichophyton violaceum.
infected the keratin layer of the skin, hair, and nails. The barber’s comb can be a good medium in the transmission of Dermatomycosis to the people.
Objective : To identify the species of dermatophyte that found on a comb that used by barbers in Padang Bulan, Medan Baru.
Methods : This study is a descriptive observational approach cross-sectional design. This study describes the species of dermatophyte on 30 combs of barber from 8 barbershop for men in Padang Bulan (total sampling).
Results : This study shows that 5 barbers ( 35.7 % ) never clean the combs and 9 barbers ( 64.3 % ) used water to clean the combs that they used. All of barbershop (100%) did not have a regular schedule for replacing the combs that they used. On direct examination of KOH in scraping comb, it was obtained positive (+) spores/ hyphae on all of comb. On examination of fungal culture with Sabaroud dextrose agar (SDA) medium, found 70% fungi of the group is not the agent of superficial dermatomycosis, 20% fungi is the group of dermatophytes and 10% was not found the colonies of fungi.
Conclusion : This study shows that the comb of barber cantained 6,7% Trichophyton mentagrophytes, 6,7% Trichophyton rubrum, 3,3% Trichophyton schoenleinii, and 3,3% Trichophyton violaceum.
DI KELURAHAN PADANG BULAN
KECAMATAN MEDAN BARU
Oleh: BENNY 120100250
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KECAMATAN MEDAN BARU
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran
Oleh: BENNY 120100250
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menyebabkan mikosis superfisialis. Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang terutama mengenai lapisan keratin kulit, rambut, dan kuku . Sisir tukang pangkas dapat menjadi media yang baik dalam penularan dermatomikosis pada masyarakat awam.
Tujuan : Mengidentifikasi spesies dermatofita yang terdapat pada sisir yang digunakan tukang pangkas yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.
Metode : Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang. Penelitian ini mendeskripsikan spesies dermatofita pada 30 sisir tukang pangkas dari 8 tempat pangkas pria di Kelurahan Padang Bulan (total sampling).
Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa 5 tukang pangkas (35,7%) tidak pernah membersihkan sisir yang digunakan dan 9 tukang pangkas (64,3%) menggunakan air untuk membersihkan sisir yang digunakan. Seluruh tukang pangkas (100%) tidak memiliki jadwal yang teratur untuk mengganti sisir yang digunakan. Pada pemeriksaan langsung KOH pada kerokan sisir didapatkan hasil positif (+) spora/hifa pada seluruh sisir. Pada pemeriksaan kultur jamur dengan media Sabaroud dextrose agar (SDA) ditemukan 70% jamur dari golongan yang bukan merupakan penyebab dermatomikosis superfisialis, 20% jamur golongan dermatofita, dan 10% tidak ditemukan koloni jamur.
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sisir tukang pangkas terdapat 6,7% Trichophyton mentagrophytes, 6,7% Trichophyton rubrum, 3,3% Trichophyton schoenleinii, dan 3,3% Trichophyton violaceum.
infected the keratin layer of the skin, hair, and nails. The barber’s comb can be a good medium in the transmission of Dermatomycosis to the people.
Objective : To identify the species of dermatophyte that found on a comb that used by barbers in Padang Bulan, Medan Baru.
Methods : This study is a descriptive observational approach cross-sectional design. This study describes the species of dermatophyte on 30 combs of barber from 8 barbershop for men in Padang Bulan (total sampling).
Results : This study shows that 5 barbers ( 35.7 % ) never clean the combs and 9 barbers ( 64.3 % ) used water to clean the combs that they used. All of barbershop (100%) did not have a regular schedule for replacing the combs that they used. On direct examination of KOH in scraping comb, it was obtained positive (+) spores/ hyphae on all of comb. On examination of fungal culture with Sabaroud dextrose agar (SDA) medium, found 70% fungi of the group is not the agent of superficial dermatomycosis, 20% fungi is the group of dermatophytes and 10% was not found the colonies of fungi.
Conclusion : This study shows that the comb of barber cantained 6,7% Trichophyton mentagrophytes, 6,7% Trichophyton rubrum, 3,3% Trichophyton schoenleinii, and 3,3% Trichophyton violaceum.
penelitian karya tulis ilmiah dengan judul “ Identifikasi Dermatofita pada Sisir
Tukang Pangkas di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru”. Laporan
hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan
pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini penulis banyak menemukan
kesulitan. Namun, berkat bantuan dari banyak pihak penulis dapat menyelesaikan
penelitian karya tulis ilmiah. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan setingi-tinginya kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH selaku dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp. Pd, Sp.JP (K), selaku komisi etik
penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Sumatera Utara yang
telah memberikan izin penelitian
3. Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk memberikan
bimbingan dan masukan-masukan dalam proses penulisan proposal
penelitian karya tulis ilmiah ini. Juga kepada dr. Tetty Aman Nasution,
M. Med.Sc dan dr. Ilhamd, Sp. Pd. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.
4. Ibu Raffidah, S. Si yang membantu penulis melaksanakan penelitian di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
5. Pemilik tempat pangkas dan tukang pangkas yang bersedia menjadi
dalam menyelesaikan penelitian ini.
7. Sahabat-sahabat penulis, Desti Laura Sinaga, Herlita Purba, Landong
Sihombing, Orlando F.M. Sinaga, Rio H. Siahaan, dan Rizki I. Damanik
yang telah memberikan dukungan, motivasi dan bantuan kepada penulis.
8. Teman-teman kelompok bimbingan penelitian penulis, Ayu Sri Astuti
Sihotang dan Yashotahai A/P Rajendran yang telah memberikan saran,
kritikan dan motivasi selama penelitian. Juga teman-teman stambuk 2012
lainnya yang telah meberikan bantuan kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan langsung maupun tidak
langsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan penelitian karya tulis ilmiah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis
ilmiah ini di kemudian hari.
Medan, 2015
LEMBAR PENGESAHAN ... i
2.2. Dermatomikosis Superfisialis ... 4
2.3. Dermatofitosis ... 5
2.3.1. Defenisi ... 5
2.3.2. Etiologi ... 5
2.3.3. Gambaran klinis ... 10
2.4. Nondermatofitosis ... 13
2.4.1. Defenisi ... 13
2.4.2. Etiologi ... 14
2.4.3. Gambaran klinis ... 16
2.6.1. Pemeriksaan langsung ... 17
2.6.2. Pembiakan atau kultur ... 18
2.6.3. Reaksi imunologis (alergi) ... 20
2.6.4. Biopsi atau pemeriksaan histopatologi ... 20
2.6.5. Pemeriksaan dengan sinar Wood ... 20
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 22
3.1. Kerangka Konsep ... 22
3.2. Defenisi Operasional ... 22
3.2.1. Dermatofita ... 22
3.2.2. Tukang pangkas ... 22
3.2.3. Sisir tukang pangkas ... 23
3.2.4. Pemeriksaan KOH ... 23
3.2.5. Kultur jamur ... 23
BAB IV METODE PENELITIAN ... 24
4.1. Jenis Penelitian ... 24
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24
4.2.1. Waktu penelitian ... 24
4.2.2. Tempat penelitian ... 24
4.3. Populasi dan Sampel ... 24
4.3.1. Populasi ... 24
4.3.2. Sampel ... 24
4.4. Teknik Pengumpulan Sampel ... 25
4.5. Bahan dan Cara Kerja ... 25
4.5.1. Pengambilan bahan ... 25
4.5.2. Pemeriksaan laboratorium ... 25
4.6. Pengolahan dan Analisa Data ... 26
4.6.1. Pengolahan data ...26
5.1.2. Deskripsi karakteristik sampel penelitian ... 28
5.1.3. Distribusi sampel berdasarkan tempat pangkas ... 28
5.1.4. Distribusi sampel berdasarkan lama penggunaan ... 29
5.1.5. Distribusi jumlah pelanggan sehari ... 29
5.1.6. Distribusi riwayat sisir dibersihkan ... 30
5.1.7. Distribusi cara membersihkan sisir ...30
5.1.8. Distribusi jadwal penggantian sisir ... 30
5.1.9. Distribusi hasil pemeriksaan KOH ... 31
5.1.10. Distribusi hasil kultur ... 31
5.2. Pembahasan ... 33
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 35
6.1. Kesimpulan ... 35
6.2. Saran ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 36
DAFTAR SINGKATAN
KOH : Kalium Hidroksida
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Dermatofita Penyebab Tine Kapitis ... 13
Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan tempat pangkas ... 28
Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan lama penggunaan ... 29
Tabel 5.3. Distribusi tukang pangkas berdasarkan jumlah
pelanggan dalam satu hari ... 29
Tabel 5.4 Distribusi sisir berdasarkan riwayat dibersihkan ... 30
Tabel 5.5 Distribusi tukang pangkas berdasarkan cara
membersihkan sisir ... 30
Tabel 5.6 Distribusi hasil pemeriksaan KOH 10% ... 31
Tabel 5.7. Distribusi hasil kultur berdasarkan lama penggunaan sisir . 31
Tabel 5.8. Distribusi hasil kultur berdasarkan riwayat sisir
dibersihkan ... 31
Tabel 5.9. Distribusi hasil kultur berdasarkan golongan ... 32