Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Yusuf NIM : 1112048000013
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iv
RAKYAT RI DALAM PENYELESAIAN DAN OPTIMALISASI PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PRIORITAS TAHUN 2015-2016. PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 72 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kewenangan Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyelesaian Program Legislasi Nasional Prioritas 2015-2016. Peran Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan dewan tercantum dan diamanatkan oleh Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR dan DPD.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan dewan masih kurang dalam menyelesaikan amanat pembentukan dan pengesahan Undang-Undang secara optimal.
Kata Kunci : DPR, Anggota DPR, Badan Legislasi Nasional, Kewenangan Badan Legislasi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014.
v
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta
alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “KEWENANGAN BADAN LEGISLASI SEBAGAI ALAT
KELENGKAPAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI DALAM
PENYELESAIAN DAN OPTIMALISASI PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PRIORITAS TAHUN 2015-2016” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir
hayat.
Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada
kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm. Dr. H. Achmad Sjatari, MBA dan Umi Hj.
Nurhayati Sjatari yang telah sepunuh hati mendukung penulis tanpa henti hingga detik
ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik
secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
vi
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan
sabar kepada penulis selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Terimakasih tak terhingga untuk bapak Abu Thamrin,
segala kebaikan dan ketulusan hati bapak tak akan pernah penulis lupakan
seumur hidup.
4. Kakak dan Adik tercinta Nur Azizah, Ali Hussein, Asri Latifah dan Muchtar
Prawira yang telah memberikan dukungan dan semangatnya serta yang telah
menemani penulis sejak kecil hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Sahabat-sahabat penulis di Ilmu Hukum UIN Jakarta angkatan 2012, saudara
Renaldi Hendryan, Muchtar Ramadhan, Khairul Atma, Muhammad Ansyori,
Ade Kurniawan, Farid, Nur Fadillah, Lidya Handayani, Sigit Ganda Prabowo,
Feby Adelia Paramita, F.Sentiana Amarella, Baghdady Zanzazi, Dimas
Anggri, Milzam El Karami, Choir Hasibuan, Benny, Qoshy Soraya, Nur
Jannah, Alif Zaenal, M. Arik Rizki dan seluruh teman-teman Ilmu Hukum
vii
Martunis, Zul, Intanzi, Alysa, Zahra, Aniza, Alfian, Raines, Adit, Putra, Fikri,
Aunur, Rifda, Harlie dan seluruh teman-teman.
7. Geng Buaya yang begitu luar biasa yang sudah memberikan warna lebih
terhadap penulis, saudara Khaidir Musa, Rhomi Prayoga, Bella O, Uli
Almatin, Nasrullah Acul, Kandiaz Ahmad, Agung Laksono. Terimakasih.
8. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan
keberkahan dari Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 29 September 2016 Penulis
1
Indonesia adalah negara demokrasi yang diterapkan dalam sistem
katatanegaraanya. Salah satu ciri pilar negara demokrasi adalah kedaulatan
rakyat sebagai pemegang arah masa depan bangsa. Hal tersebutlah yang
memicu lahirnya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (untuk selanjutnya ditulis UUD 1945) yang membawa
perubahan signifikan di bidang sosial, politik dan hukum di Indonesia.
Perubahan ini berimplikasi pada perkembangan pelaksanaan
demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan adanya pemilihan umum
langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum
langsung untuk memilih anggota Legislatif atau yang paling terbaru adalah
memilih calon Independent dalam pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.1 Hal inilah yang dipandang lebih demokratis dibandingkan
pada masa sebelumnya yang cenderung kaku dan diskriminatif.
Negara Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk terbesar
keempat di dunia. Komposisi penduduknya sangat beragam, baik dari suku
bangsa, etnisitas, panutan agama, maupun dari segi-segi lainya. Wilayahnya
pun sangat luas, terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil, yang sebagian besar
terpencil dari kehidupan dan pusat kota. Kompleksitas dan keragaman itu
sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam
masyarakat, sehingga tidak dapat dihindari keharusan berkembangnya sistem
multi partai dalam sistem demokrasi yang hendak dibangun.2 Dari banyaknya
bentuk keberagaman tersebut maka diyakini bahwa negara diharuskan
memiliki lembaga perwakilan rakyat yang dapat menampung segala jenis
aspirasi dan masukan dari seluruh masyarakat di Indonesia.
Perubahan di dalam masyarakat Indonesia berkembang sikap untuk
mendirikan lembaga perwakilan yang berakar kepada kesejahteraan
masyarakat Indonesia, berwenanang merumuskan kebijaksanaan untuk
seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan sebagai lembaga yang memainkan
mekanisme utama politik di Indonesia. Berdasarkan keinginan tersebut maka
dibentuklah lembaga parlemen yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) sebagai lembaga perwakilan di Indonesia.
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling
pokok adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga
perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali.3
2Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, cet.Ke-1), h. 61.
Dikarenakan fungsi representatif merupakan bagian dari ujung tombak
masyarakat Indonesia dalam penyaluran aspirasi dan masukan untuk
perkembangan negara Indonesia yang lebih progresif.
Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat, keberadaaan lembaga
perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Sulit untuk dibayangkan
terwujudnya suatu Pemerintahan yang menjujung tinggi demokrasi tanpa
kehadiran institusi tersebut. Karena melalui lembaga inilah kepentingan rakyat
tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai
dengan kepentingan rakyat.
Menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan, lembaga ini berfungsi
dalam tiga wilayah, yaitu wilayah legislasi atau wilayah pembuatan peraturan
perundang-undangan, wilayah penyusunan anggaran serta wilayah
pengawasan terhadap jalanya roda Pemerintahan.4 Dalam UUD 1945 setelah
perubahan, pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia dapat kita
lihat pada pasal 1 ayat (2) dimana MPR RI terdiri dari DPR RI dan DPD RI.
Berdasarkan paparan di atas maka sudah jelas bahwa lembaga
perwakilan di Indonesia yang terdiri dari MPR RI, DPR RI RI dan DPD RI
memiliki kewenanganya masing-masing. Namun yang akan menjadi poin
penting dalam penulisan ini adalah lembaga perwakilan rakyat yang menjadi
representatif masyarakat Indonesia dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan yang sesuai dalam UUD NRI tahun 1945
yaitu DPR RI.
Rumusan pasal 20A ayat (1) dalam UUD NRI tahun 1945
menegaskan bahwa tiga fungsi DPR RI sebagaimana lazim tercantum dalam
teori hukum tata negara dan praktik di negara-negara lain. Dengan adanya
ketentuan ini maka fungsi-fungsi lembaga perwakilan oleh DPR RI semakin
kuat kerena fungsi tersebut telah ditulis dalam konstitusi negara Indonesia.
Tiga fungsi DPR RI tersebut ditulis berurutan namun tidak berarti
fungsi yang disebut terdahulu lebih penting atau prioritas dibanding fungsi
lainya. Hanya saja pandangan umum sering menganggap fungsi legislasi lebih
utama dan lebih banyak memberi perhatian dan sorotan terhadap pelaksanaan
fungsi ini. Padahal dalam perkembangan terkini lembaga-lembaga perwakilan
(parlemen) di berbagai belahan dunia, fungsi legislasi tidak lagi menjadi “primadona” dan lebih utama dibanding dengan fungsi lainya. Saat ini fungsi
pengawasan lebih utama dibandingkan dengan fungsi legislasi. Fungsi
pengawasan pun sering dilaksanakan oleh lembaga perwakilan dikarenakan
lebih mudah dijalankan dibandingkan fungsi legislasi yang menuntut banyak
persyaratan.5
Secara umum, dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi DPR RI
meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Diantara
ketiga fungsi itu, biasanya yang paling menarik perhatian untuk menarik
politisi untuk diperbincangkan adalah tugas sebagai prakarsa pembuatan
Undang-Undang. Namun, jika ditelaah secara kritis, tugas pokok yang utama
yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan Undang-Undang, dapat dikatakan
telah mengalami kemunduran serius dalam perkembangan akhir-akhir ini.6
Pelaksanaan fungsi legislasi di DPR RI dianggap lebih sulit karena
beberapa penyebab, pertama, Pemahaman dan pengetahuan para anggota
DPR RI terhadap masalah atau materi suatu Rancangan Undang-Undang
biasanya bersifat umum dan tidak detail. Hanya sebagian anggota DPR RI
yang dianggap dapat memahami isi Rancangan Undang-Undang. Hal ini tidak
mengherankan karena latar anggota DPR RI yang beragam. Kedua, DPR RI
tidak didukung tenaga ahli dalam jumlah yang cukup. Ketiga, anggaran
penyusunan Rancangan Undang-Undang yang terbatas. Keempat, proses
pembahasan dan pengambilan putusan terhadap sebuah Rancangan
Undang-Undang di DPR RI lebih rumit dan lebih lama. Hal ini terjadi karena DPR RI
bersifat kolegial dan di isi demikian banyak anggota dan berbagai fraksi yang
beragam paham dan sikap politiknya serta kepentingan. Untuk memperoleh
sikap dan pandangan antar fraksi sudah tentu membutuhkan waktu yang
sangat tidak cepat dikarenakan harus melalui proses negosiasi mencari
kompromi serta lobi-lobi yang rumit dan lama.7
Berdasarkan kewenanganya DPR RI harus memiliki alat kelengkapan
dewan dengan tujuan masing-masing agar dapat mempermudah setiap kinerja
dan keberlangsungan proses legislasi, proses anggaran bahkan hingga proses
pengawasan. Dalam hal ini dirasa maka DPR RI sangat diperlukan untuk
membentuk alat kelengkapan dewan yang fokus secara khusus untuk
menangani proses legislasi.
Terbentuklah Badan Legislasi Nasional (Baleg) yang merupakan
salah satu alat kelengkapan DPR yang memegang peranan penting dalam
membuat satu Undang-Undang. Sebab Baleg lah yang menyusun Rancangan
program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas
Rancangan Undang-Undang beserta alasannya untuk satu masa keanggotaan
dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR RI dengan
mempertimbangkan masukan dari DPD RI. Selain itu, Baleg juga
mengkoordinasikan penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan
Pemerintah, dan menyiapkan Rancangan Undang-Undang usul DPR
berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan.8
7
Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945 (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, cet.Ke-1), h. 63.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian hukum dengan judul “KEWENANGAN BADAN LEGISLASI
NASIONAL SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT RI DALAM PENYELESAIAN DAN OPTIMALISASI PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PRIORITAS TAHUN 2014-2015”
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat dipetik beberapa
persoalan yang berkaitan dengan peran dan fungsi kelembagaan negara di
bidang legislatif yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) dalam menyelesaikan dan mengoptimalisasikan program
kerja khususnya dibidang legislatif yakni program legislasi nasional.
Dari latar belakang berfikir tersebut ternyata terdapat berbagai masalah
yang muncul yaitu :
1. Tugas DPR RI dalam menjalankan fungsi legislatif yakni pembuatan
produk hukum yakni Undang-Undang dinilai telah mengalami
kemunduran yang sangat serius.
2. Fungsi legislatif tidaklah menjadi primadona dan prioritas DPR RI dalam
menjalankan fungsinya. Namun fungsi pengawasanlah justru yang
3. Pemahaman anggota DPR RI terhadap setiap Rancangan Undang-Undang
yang bersifat umum dan tidak detail. Bahkan hanya sedikit anggota DPR
RI yang memahami begitu mendalam setiap Rancangan Undang-Undang
yang akan disahkan.
4. Proses pembahasan dan pengambilan putusan terhadap sebuah Rancangan
Undang-Undang di DPR RI lebih rumit dan lebih lama. Hal ini terjadi
karena DPR RI bersifat kolegial dan di isi demikian banyak anggota dan
berbagai fraksi yang beragam paham dan sikap politiknya serta
kepentingan. Untuk memperoleh sikap dan pandangan antar fraksi sudah
tentu membutuhkan waktu yang sangat tidak cepat dikarenakan harus
melalui proses negosiasi mencari kompromi serta lobi-lobi yang rumit
dan lama.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya permasalah yang peneliti singgung
dalam indentifikasi masalah di atas, maka dalam pembuatan masalah ini
peneliti membatasi pada pembahasan mengenai peran DPR RI di bidang
legislatif khususnya dalam penyelesaian dan optimalisasi program
legislasi nasional prioritas tahun 2015-2016.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat
a. Apa saja faktor yang mempengaruhi optimalisasi Badan Legislasi
Nasional sebagai alat kelengkapan dewan dalam penyelesaian
program legislasi nasional prioritas tahun 2015-2016 ?
b. Bagaimana upaya pembenahan instrumen manejemen Badan
Legislasi Nasional sebagai alat kelengkapan dewan dalam
penyelesaian program legislasi nasional prioritas ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Badan
Legislasi Nasional sebagai alat kelengkapan dewan dalam
penyelesaian dan optimalisasi program legislasi nasional prioritas
tahun 2015-2016.
b. Untuk dapat mengetahui upaya pembenahan instrumen manejemen
badan Legislasi Nasional sebagai alat kelengkapan dewan dalam
penyelesaian program legislasi nasional prioritas tahun
2015-2016..
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan
a. Secara Akademis
Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu
hukum tata negara. Agar penelitian ini dapat menjadi bahan
pendukung terhadap seluruh kalangan akademisi mahasiswa,
dosen atau bahkan kalangan anggota dewan agar lebih termotivasi
dalam menyelesaikan setiap Rancangan Undang-Undang
yang pro terhadap masyarakat.
b. Secara Praktis
Memberikan informasi bagi seluruh stakeholder atau para
pmangku kebijakan sekaligus seluruh akademisi secara luas
mengenai peran Dewan Perwakilan Rakat Republik Indonesia
dalam penyelesaian dan optimalisasi program legislasi nasional
(PROLEGNAS).
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah di lakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun
penelitian-penelitian lainya yang pernah membahas kewenangan DPR RI yaitu.
1) Skripsi dengan judul “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam
Legislasi Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis
Putusan MK 93/PUU/-X/203” oleh Fikri Abdullah, NIM
10904800048, Jurusan Program Studi Ilmu Hukum Tata Negara,
Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi menjawab tentang kewenangan
lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam
menajalankan kewenangan otonomi daerah setelah adanya Putusan MK
93/PUU/-X/203, sedangkan skripsi yang saya tulis menjelaskan tentang
kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Skripsi dengan judul ” Kewenagan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah
Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR,DPR,DPD,dan DPRD ” Oleh Sri Andriyani, NIM 1111048000014,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitaas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. skripsi ini menjelaskan tentang
kewenangan Dewan Perakilan Daerah Republik Indonesia dalam
menjalankanya fungsinya setelah adanya perubahan Undang-Undang
yang mengatur terkait MPR RI, DPR RI, DPD RI dan DPRD..
Berdasarkan skripsi yang saya tulis hanya menjelaskan fungsi legislasi di
dalam lingkungan DPR RI.
3) Buku dengan judul “Pasang Surut Kinerja Legislasi” Penertbit Raja
Grafindo, Tahun 2011. Oleh Ahmad Yani,S.H., MH. Menjelaskan terkait
dengan pasang surut kinerja legislasi DPR RI. Buku ini juga menjelaskan
dengan detail terkait pencapaian setiap RUU yang telah disahkan oleh
DPR RI setiap tahunya. Perbedaan dalam skripsi adalah pada fokus tahun
4) Jurnal dengan judul “ Fungsi Legislasi DPR RI” Oleh Norisman
Tumuhu. Menjelaskan tentang kedudukan dan kewenangan DPR RI
dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif. Berdasarkan
skripsi yang saya tulis menjelaskan secara detail tentang proses
penyelesaian dan optimalisasi Program Legislasi Nasional Prioritas.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.9
Penelitiam hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan pula pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.10
9Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali, 2009, cet.Ke-11), h. 14.
1. Tipe penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan
penngadilan.11 Serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga
yang menyangkut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan
bahan hukum utama yang belum pernah di olah oleh orang lain.
1) UUD 1945 pasca amandemen.
2) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indoneia (DPD-RI) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPRD).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua duplikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokomen-dokumen resmi. Publikasi hukum
meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum, skripsi, dan
komentar-komentar para ahli dan pakar hukum tata negara.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut terhadap bahan-bahan hukum primer dan
sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kamus
Hukum, majalah, koran, blog dan lainya.
2. Prosedur Pengumpulan Data
Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder atau bahkan bahan hukum tersier di uraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara
deduksi yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum ke suatu permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih
kongkrit.12
3. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
G. Kerangka Teori dan Konsep
Dalam Pembahasan ini, disampaikan suatu rangkaian definisi secara
analisis dengan memberikan kejelasan secara terang mengenai konsep yang
dipergunakan dalam pembahasan sebagai berikut :
1. Negara adalah suatu masyarakat yang diorganisasikan secara politik
karena negara merupakan suatu komunitas yang dibentuk oleh suatu
tatanan yang bersifat memaksa dan tatanan pemaksa ini adalah hukum13
2. Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga perwakilan rakyat yang
seluruh anggotanya dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk
mewakili segala aspirasi dan pendapat. Dewan Perwakilan Rakyat juga
memiliki tiga kewenangan utama yakni dalam pembentukan dan
perumusan perundang-undangan, melakukan pengwawasan terhadap
Presiden dan lembaga-lembaga negara serta melakukan fungsi
penganggaran angaran belanja nasional.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga tinggi negara yang
seluruh anggotanya adalah penggabungan dari DPR-RI dan DPD-RI yang
memiliki kewenangan untuk merevisi UUD 1945, memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden dan melantik Presiden dan Wakil Presiden
republic Indonesia.
4. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan yang dijalankan oleh Presiden dan
Wakil Presiden dalam memerintah suatu organisasi negara.
5. Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan yang dijalankan oleh lembaga
legislatif di Indonesia dalam hal ini khususnya adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Yang memiliki tugas pengawasan,
pengganggaran dan perundang-undangan.
6. Kekuasaan Yudikatif merupakan merupakan keuasaan yang dijalankan
oleh lembaga tinggi negara yang amanatkan dalam UUD 1945 untuk
mengawal serta melindungi hukum di Indonesia.
7. Program Legislasi Nasional adalah suatu Rancangan Undang-Undang
yang di himpun menjadi satu dan akan menjadi bahasan dalam masa kerja
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Program Legislasi Nasional Prioritas adalah suatu Rancangan
Undang-Undang yang di himpun menjadi satu dan akan di prioritaskan dalam
setiap tahun masa bakti anggota dewan perwakilan rakyat Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan
yang benar, tersistematis dan teratur, maka skripsi ini disusun dengan
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab sebagai berikut :
(Review)studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab dua ini akan menjelaskan tentang pengertian legislasi, teori perwakilan, lalu teori organisasi negara yang didalamnya terdapat
deskripsi mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis
Permusyawaran rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
BAB III : Bab tiga akan menjelaskan lebih dalam lagi mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, tujuan program legislasi nasional, penyusunan
program legislasi nasional berdasarkan dasar hukum pembentukan
program legislasi nasional dan proses penyusunanya, Badan
Legislasi Nasional sebagai alat kelengkapan dewan perwakilan
rakyat, peran Badan Legislasi Nasional dalam penyusunan
program legsilasi nasional.
BAB IV : Bab empat akan menjelaskan tentang Pencapaian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam meyelesaikan dan
optimalisasi program legislasi nasional prioritas. Analisis data
pencapaian DPR RI dalam menyelesaiakan program legislasi
nasional prioritas. Factor- factor yang mempengaruhi hasil
peningkatan peran dewan perwakilan rakyat dalam penyelesaian
dan optimalisasi program legislas nasional prioritas.
19
Kata “legislasi” berasal dari bahasa inggris “legislation” yang berarti
perundang-undangan dan pembuatan Undang-Undang. Sementara itu kata
“legislation” berasal dari kata kerja “to legislate” yang berarti mengatur atau
membuat Undang-Undang.1
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata
legislasi memiliki makna suatu proses pembuatan aturan
perundang-undangan.
Selama ini ada kerancuan peristilahan antara legislasi dan legislatif,
sebagaimana dipaparkan oleh Attamimi, istilah yang popular dan lazim digunakanan adalah kata sifat “legislatif”, seperti kekuasaan legislatif yang
menunjuk pada trias politika dari Monstesquieu, di samping kekuasaan
eksekutif dan kekuasaaan yudikatif. Bila akhirnya kata legislasi diterima,
kata-kata eksekutif dan yudikatif akan berubah menjadi eksekusi dan yudikasi
yang arti dan pengertianya menjadi lain sama sekali. Kata legislasi belum
terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia, serta tidak terdapat dalam
bahasa Belanda yang di bidang hukum dan perundang-undangan sering
menjadi sumber kata-kata Indonesia yang berakhiran “si”, seperti polisi, grasi
1
atau delegasi. Memang dalam bahasa Inggris terdapat kata “legislation”, yang
dalam bahasa Indonesia terjemahanya adalah “perundang-undangan”, dan
dalam bahasa Belanda disebut “wetgeving”2
Legislasi juga merupakan proses pembentukan hukum tertulis
dengan/melalui negara. Rousseau, sebagaimana dikutip john Bell dan Sophie
Boyron, mendefinisikan:
“Legislation is an expression of the general will, such that a free
people is only bound by the laws which they have made for them
selves”3
Sebagai sebuah fungsi untuk membentuk Undang-Undang, legislasi
merupakan sebuah proses (legislation as a process). Oleh karena itu,
Woodrow Wilson dalam bukunya “Congressional Government” mengatakan
bahwa legislation is an aggregate, not a simple production. Berhubungan
dengan hal tersebut, Jeremy Bentham dan John Austin mengatakan bahwa
legislasi sebagai “any form of law-making”. Dengan demikian, bentuk
peraturan yang ditetapkan oleh oleh lembaga legislatif untuk maksud
mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enected law”, “statue”,
2Uli Sintong Siahaan dan Siti Nur Solehah, Peran Politik DPR-RI Pada Era Reformasi (Jakarta: Sekretaris Jenderal DPR RI, 2001, cet.Ke-1), h.33
atau Undang-Undang dalam arti luas. Dalam pengertian itu, fungsi legislasi
merupakan fungsi dalam pembentukan Undang-Undang.4
Menurut Burkhardt Krems, Ilmu Pengatuhuan Perundang-undangan
(Gesetzgebungswossenschaft) merupakan ilmu yang interdisipliner yang
berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu :
1. Teori perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) yang berorientasi
pada mencari penjelasan dan kejernihan makna atau pengertian yang
bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) yang berorientasi pada
melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan dan bersifat normatif. Ilmu perundang-perundang-undangan ini dibagi
kembali menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Proses perundang-undangan (Gesetzebungsverfahren)
b. Metode perundang-undangan (Gesetzgebungsmelhode)
c. Teknik perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik)
Teori legislasi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana sistem
legislasi yang baik. Dengan pemaparan mengenai legislasi ini diharapkan
dapat memperlihatkan bahwa menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan
Pemerintahan yang baik (Good Governance) di semua bidang kekuasaan
4Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
negara, termasuk di bidang legislasi. Untuk mewujudkan Pemerintahan yang
baik di bidang legislasi maka mekanisme pembentukan peraturan
perundang-undangan juga harus mengacu pada atau memperhatikan prinsip-prinsip good
governance yang paling relevan untuk diterapkan adalah partisipasi,
transparasi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, akuntabilitas,
efesiensi dan efektifitas serta profesionalisme 5
B.Teori Perwakilan
Alfred de Grazia dalam tulisanya mengenai perwakilan politik bahwa
perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan
terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai
macam tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan
terwakil.6 Dalam hal melaksanakan kewenangan ini, rakyat yakin bahwa
segeala kehendak dan segala kepentinganya akan diperhatikan didalam
pelaksanaan kekuasaan negara. Cara melaksanakan kekuasaan negara ialah
senantiasan mengingat kehendak dan keinginan rakyat. Jadi, setiap tindakan
dalam melaksanakaan kehendak negara tidak bertentangan dengan kehendak
dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin berusahan memen uhi
segela keinginan rakyat.7
5
Maria farida, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukanya (Yogyakarta: Kanisius, 2002, cet.Ke-5), h.2.
6Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, cet.Ke-1, 1985), h 1.
7
Teori perwakilan yang dikemukakan oleh Goerge Jillinek adalah
teori mandat.8 Dalam teori mandat, si wakil dianggap duduk di lembaga
perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris.
Ajaran ini muncul di Prancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rosseau
dan diperkuat oleh Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori
mandat inipun menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir
teori mandat ini disebut sebagai :
1. Mandat Imperatif
Menurut ajaran teori ini si wakil bertindak dan bertugas di lembaga
perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya.
Si wakil tidak boleh bertindak diluar instruksi tersebut dan apabila ada
hal-hal yang tidak terdapat dalam instruksi-instruksi tersebut, maka si wakil
harus mendapat instruksi baru yang diwakilinya baru dapat
melaksanakanya.
2. Mandat Bebas
Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancils dan Black Stone
Inggris. Ajaran ini mengajarkan bahwa si wakil dapat bertindak tanpa
tergantung dengan instruksi yang diwakilinya. Menurut ajaran ini si wakil
adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran
hukum masyarakat yang di wakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak
atas nama yang diwakilinya atau atas nama masyarakat.
3. Mandat Representatif
Dalam teori ini si wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga
perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan menberikan mandat
pada lembaga perwakilan (Parlemen), sehingga si wakil sebagai
individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya apalagi pertanggung
jawabanya. Lembaga perwakilan (Parlemen) inilah yang akan bertanggung
jawab terhadap rakyat.
Menurut John Stuart Mill, yaitu satu-satunya Pemerintahan yang
sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan suatu kondisi sosial adalah yang
didalamnya seluruh warga dapat berpartisipasi; yang setiap pertisipasinya
berguna, bahkan dalam fungsi public yang terkecil; yang dimanapun
partisipasinya itu seharusnya besar yang diberikan tingkat perbaikan umum
masyarakat; dan pada akhirnya yang tak lebih diharapkan adalah
pengakuan seluruh warga negara untuk berbagi kekuasaan dalam
memerintah negara. Namun dalam sebuah masyarakat yang melebihi kota
kecil, ketika semua tidak dapat berpartisipasi secara pribadi dalam segala
tampaknya tipe ideal untuk suatu Pemerintahan yang sempurna haruslah
berupa perwakilan.9
C. Teori Organisasi Negara
Pembahasan tentang organisasi dan kelembagaan negara, hal pokok
dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan
atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Kuncinya pada apa dan
siapa yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai
pemegang kedaulatan (sovereignty) dalam suatu negara. Sehubungan dengan
konsep tertinggi dan konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan
kenegaraan, dikenal adanya lima ajaran atau teori yang biasa diperdebatkan
dalam sejarah, yaitu kedaulatan tuhan (Sovereignty of God), Kedaulatan Raja
(Sovereignty of the King), Kedaulatan Hukum (Sovereignty of Law),
Kedaulatan Rakyat (Poeple’s Sovereignty) dan ajaran kedaulatan negara
(State’s Sovereignty).10
Menurut John A. Jacobson, bahwa secara umum, struktur organisasi
lembaga perwakilan rakyat terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan
rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar
(bicameral).11 Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sesuai dengan apa
9Efriza, Ilmu Politi (Bandung: Alfabeta, 2013, cet.Ke-3), h.112.
10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet.Ke-2) h.135
yang telah termaktub dalam UUD 1945 pra amandemen dinyatakan bahwa
negara Indonesia menganut sistem unicameral dengan menempatkan MPR RI
sebagai supremasi yang memegang penuh kedaulatan rakyat. Akibat dari itu
timbul ketimpangan ketatanegaraan terutama antar lembaga negara, dimana
akibat dari superioritas tersebut MPR RI dapat memberikan justifikasi pada
semua lembaga negara tanpa terkecuali, sehingga eksistensi kekuasaan
lembaga (Legislatif, Eksekutif dan Yudukatif) menjadi semu.
Dalam sidang umum MPR tahun 2001 berhasil mengamandemen
UUD 1945 dengan mengembalikan sistem ketatanegaraan khususnya pada
kelembagaan negara pada proporsinya, yaitu mengembalikan eksistensi
lembaga legislatif ke sistem bicameral. Amandemen ini tidak lagi
menempatkan MPR RI sebagai supremasi tetapi sebagai lembaga tinggi
negara yang keanggotaanya meliputi DPR RI dan DPD RI. Pertimbangan
logis Indonesia mengadopsi sistem bicameral dengan membentuk kamar
kedua setelah DPR RI, yaitu DPD adalah untuk mewadahi keterwakilan yang
berbeda, yaitu pusat dan daerah.12
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Seperti dinyatakan terdahulu, para pendiri negara (the founding father)
menempatkan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara yang membawahi
beberapa lembaga tinggi negara. Namun setelah adanya amandemen UUD
12
1945 MPR RI tidak lagi berkedudukan seabagai lembaga tertinggi negara
dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga
tertinggi negara merupakan upaya logis untuk keluar dari perangkap desain
ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and
belancec di antara lembaga-lembaga negara.
Perubahan terhadap kedudukan MPR RI secara otomatis berpengaruh
terhadap tugas dan wewenang dalam kaitanya dengan kedudukan Presiden.
Jika kedudukan Presiden merupakan wewenang penuh MPR RI, dalam arti
pengangkatan dan pemberhentian. Maka dengan dipilihnya langsung
Presiden oleh rakyat, kewenangan ini tidak lagi dimiliki oleh MPR RI.
Secara jelas pasal 3 UUD 1945 menetapkan tugas majelis yaitu :
a. Mengubah dan menetapkan UUD 1945 (Ayat 1)
b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Ayat 2)
c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD 1945 (Ayat 3)13
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) ialah lembaga
pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, atau sebagai lembaga
legislatif. Fungsi DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 20A Ayat (1), adalah
13
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.14 Pada
hakikatnya tiga fungsi utama DPR RI memiliki hubungan yang erat dan
ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi lainnya, misalnya ketika
DPR RI menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama
dengan Presiden, maka DPR RI harus mengadakan pengawasan terhadap
pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif yakni
Presiden.15
Berdasarkan pasal 2A Ayat (1) menyatakan, DPR RI merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara,
yang memiliki fungsi antara lain :
a. Fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk Undang-Undang yang
dibahas oleh Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
b. Fungsi anggaran, yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama Presiden
dengan memperhatikan pertimbangan DPD RI.
14A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kompas, 2009, cet.Ke-1) h.310.
c. Fungsi pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan UUD 1945, udnang-undang, dan peraturan
pelaksananya.16
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang itu, DPR RI sebagai
lembaga perwakilan rakyat dibekali berbagai hak. Pertama, hak meminta
keterangan kepada Presiden. Kedua, hak penyelidikan. Ketiga. Hak atas
melakukan perubahan atas Rancangan Undang-Undang. Keempat, hak
mengajukan peryataan pendapat. Kelima, hak untuk mengajukan seseorang
untuk megisi jabatan lembaga tinggi negara jika ditentukan oleh
Undang-Undang. Keenam, hak mengajukan Rancangan Undang-Undang-Undang. Selain itu,
anggota DPR RI secara perseorangan dibekali hak mengajukan
pertanyaan, hak protokoler dan hak keuangan dan administratif.
3. Dewan Perwakilan Daerah
DPD RI dibentuk untuk lebih mengembangkan sistem birokrasi di
Indonesia dan untuk menampung aspirasi di daerah agar mempunyai
wadah untuk mencurahkan harapan daerah dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. posisi seperti masyarakat tidak menyerahkan kekuasaan keapda
penguasa secara langsung dan tidak diserahkan kepada siapa saja secara
seporadis, akan tetapi kekuasaan itu diserahkan kepada orang-orang yang
dianggap berkompeten.
16
Kehadiran DPD RI pada era reformasi paling tidak memberikan angin
segar dalam memperjuangkan aspirasi kedaerahan karena memperoleh
perhatian besar dari publik, masalah yang menyangkut ketidakpuasan
daerah mendapat media yang luas untuk diperbincangkan dan dibahas
secara terbuka sehingga menjadi wacana public. Pemahaman tersebut
membuka jalan kepada daerah-daerah untuk lebih bebas dan mandiri dalam
mengatur serta memprakarsai daerah masing-masing. Dalam menjalankan
kewenanaganya, DPD RI memiliki fungsi yang hampir sama dengan DPR
RI yakni diantaranya adalah fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan
fungsi legislasi.17
31
A.Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
1. Landasan Yuridis Dewan Perwakilan Rakyat
Dasar yuridis keberadaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPRD dan DPD dan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang didalam
pelaksanaanya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan
rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan
daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap
dan serta memperjuangkan aspirasi rakyat. salah satu hal penting dalam amandemen
UUD 1945 adalah penataan kembali sistem perwakilan.1
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa di
Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan
susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya
Undang-Undang No 22 Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang No 27 Tahun 2009
Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada
Undang-Undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak
membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan
Walaupun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak
lepas dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk
legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Produk legislasi yang berupa Undang-Undang terkesan tidak serius dirancang dan
dibahas, sebaliknya berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik.2 Oleh
karenanya seiring perkembangan dinamika hukum ketatanegaraan dan dinamika
politik yang terjadi di DPR RI maka dibentuklah Undang-Undang terbaru yang dapat
mengakomodasi dan mengawal proses fungsi DPR RI yaitu Undang-Undang No. 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD.
2. Struktur Organisasi dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
Secara garis besar DPR RI memiliki tiga tugas dan kewenangan pokok. Pertama,
kewenangan legislatif membentuk Undang-Undang dan menetapkan Anggaran
Pendapatan Belanja Nasional bersama Presiden. Kedua, kewenangan pengawasan
terhadap pelaksanaan Undang-Undang, Anggaran Pendapatan Belanja Nasional dan
kebijakan Pemerintah. Ketiga, adalah kewenangan anggaran terhadap Anggaran
Pendapatan Belanja Nasional.3
2Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. h. 5.
wenang, rakyat kemudian memilih perwakilanya untuk duduk dalam Pemerintahan.
DPR RI juga dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden jika Presiden melanggar
haluan negara yang telah ditetapkan UUD 1945.4
Gambar 1. Struktur Organisasi DPR RI
4Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012 cet.Ke-5), h.38.
Ketua DPR RI
Wakil Ketua DPR RI (I)
Wakil Ketua DPR RI (III) Wakil Ketua DPR RI (II)
Wakil Ketua DPR RI (IV)
Komisi I, II dan III
(Kordinator Bidan Politik dan Kemanan)
Badan Kerjasama antar Parlemen dan Badan
Legislasi Nasional
Komisi VII, IX dan X
(Kordinator Bidan Kesejahteraan Rakyat)
Mahkamah Kehormatan Dewan
Komisi IV, V, VI dan VII
(Kordinator Bidang Industri dan Pembangunan)
Komisi IX
(Kordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan)
kekuasaan legislatif menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi legislasi dalam
sistem Pemerintahan Presidensial. Dalam pandangan Paul Christhoper Manuel dan
Anne M. Camissa, salah satu karakter mendasar dari sistem presedensial adalah
pemisahan kekuasaan legislatif kekuasaan eksekutif. Dengan pemisahan itu, dalam
sistem presedensial, badan legislate menentukan agendanya sendiri, membahas dan
menyerujui Rancangan Undang-Undang pun sendiri pula. Biasanya, badan legislatif
mengusulkan dan memformulasikan dan dapat bekerjsama dengan eksekutif dalam
merumuskan legislasi , terutama pada saat partai politik yang sama berkuasa di keudua
cabang Pemerintahan itu.5
DPR RI hasil pemilu tahun 1999 adalah DPR yang terpilih dalam iklim politik
yang relative demokratis sejak berakhirnya era orde baru pada tahun 1998. Dengan
demikian, DPR RI sekarang memiliki kesempatan lebih besar untuk menjalankan
fungsi-fungsinya secara optimal.6 Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada
19 Oktober 1999, dalam sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober
1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam membentuk
Undang-Undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak
mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan DPR RI memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang (Pasal 20 UUD 1945). Perubahan pasal ini memindahkan
5 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, cet.Ke-3), h. 82.
a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
b. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama.
c. Jika Rancangan Undang-Undang tersebut tidak mendapat persetujuan bersama,
Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu.
d. Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
menjadi Undang-Undang.
e. Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah di setujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
tersebut disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut sah dan wajib
diundangkan.
B.Tujuan Program Legislasi Nasional
Program Legislasi Nasional merupakan salah satu bagian dari pembangunan
hukum nasional dan instrument perencanaan pembentukan Undang-Undang yang disusun
secara terencana, terpadu dan sistematis. Secara operasioanl Program Legislasi Nasional
memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang disusun berdasarkan metode dan
parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional dan
merupakan sarana mencapai tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia yang
tercantum dalam pembukaan UUD 19458
Program Legislasi Nasional, DPR RI dan Pemerintah masing-masing menyusun Program
Legislasi Nasional. Berdasarkan pasal 21 Undang-Undang Nomer 12 tahun 2011,
penyusunan Program Legislasi Nasioanal di lingkungan DPR RI di kordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR RI yang khusus menangani bidang legislasi (Badan Legislasi Nasional
DPR RI). Sedangkan penyusunan Program Legislasi Nasioanal di lingkungan Pemerintah
di kordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
peraturan dan perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM). Kordinasi penyusunan
Program Legislasi Nasional antara DPR RI dan Pemerintah dilaksanakan oleh DPR
melalui Badan Legislasi Nasional DPR RI.9
Program Legislasi Nasional dewasa ini juga merupakan salah satu instrumen
penting dalam kerangka pembangunan hukum, Khususnya dakam konteks pembentukan
materi hukum. Program Legislasi Nasioanal merupakan instrumen perancanaan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun bersama DPR RI dan
Pemerintah. Melalui Program Legislasi Nasional diharapkan upaya pembentukan materi
hukum dapat berjalaran lebih terarah, terpadu, dan sistematis.
Pasca perubahan UUD NRI Tahun 1945, Program Legislasi Nasional semakin
diperkuat dan dipertegas keberadaanya, terutama sejak keluarnya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara
tegas dinyatakan dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa
perancanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi
menengah) dan Rancangan Undang-Undang yang akan disusun dalam jangka waktu
tahunan (jangka pendek).
Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum
melalui pembentukan peraturan perundang-undangan akan dapat meproyeksikan
kebutuhan hukum atau Undang-Undang baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan
menetapkan visi dan misi, arah kebijakan, serta indikator secara rasional, sehingga
program legislasi nasional tidak sekedar daftar judul Rancangan Undang-Undang,
melainkan mengandung kegiatan dalam kurun waktu lima tahun atau tahun anggaran
yang memiliki nilai strategis yang akan direalisasikan sebagai bentuk dari pembagunan
nasional. Menentukan ukuran dan argumentasi setiap Rancangan Undang-Undang dalam
menyusun Program Legislasi Nasional kurun waktu lima tahun dan Program Legislasi
Nasional Prioritas Rancangan Undang-Undang untuk satu tahun memiliki tingkat
kesulitan karena memiliki nilai dimensi yang luas. Kesulitan tidak hanya sekedar
membentur Program Legislasi Nasioanal, akan tetapi juga pasca program legislasi, yaitu
agar bagaimana agar setiap Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam Program
Legislasi Nasional dapat diselesaikan.
Penyusunan Program Legislasi Nasional dilakukan bersama oleh DPR RI dan
Pemerintah, dengan DPR RI sebagai kordinatornya. Pada tahap awal awal penyusunan
Program Legislasi Nasional dilakukan secara pararel baik di Pemerintah maupun di DPR
RI. Penyusunan di lingkungan Pemerintah dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Badan Legislasi Nasional (Baleg). Hasil penyusunan dilingkungan Pemerintah dan DPR
RI kemudian dibahas bersama untuk disepakati, dan selanjutnya akan dituangkan dalam
keputusan DPR RI sebagai dokumen resmi Program Legislasi Nasional.10
C.Penyusunan Program Legislasi Nasional
Program Legislasi Nasional sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan bagian
integral dari pembangunan hukum nasional. Program Legislasi Nasional merupakan
instrumen perencanaan pembentukan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara terencana, terpadu dan sistematis sesuai dengan program pembangunan
nasional dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang memuat skala prioritas Program
Legislasi Nasional jangka panjang, menenengah (5 Tahun) dan Program Legislasi
Nasional Tahunan. Dengan adanya Program Legislasi Nasional, diharapkan pembentukan
Undang-Undang yang baik berasal dari DPR RI, Presiden, maupun DPD RI dapat
dilaksanakan secara terencana, sistematis, terarah, terpadu dan meyeluruh.
Pembentukan Undang-Undang yang melalui Program Legislasi Nasional
diharapkan dapat mewujudkan konsistensi Undang-Undang, serta meniadakan
pertentangan antar Undang-Undang (vertical maupun horizontal) yang bermuara pada
terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna, dan demokratis. Selain itu, dapat
mempercepat proses penggantian meteri hukum yang merupakan peninggalan masa
colonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
10
hukum secara mendasar, Program Legislasi Nasioanal dari aspek isi atau materi hukum
(legal substance) memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk secara
selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari
rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaaan UUD 1945,
yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi, dan keadilan sosial.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Program
Legislasi Nasional diharapkan dapat mengharahkan pembangunan hukum, mewujudkan
konsistensi peraturan perundang-undangan , serta meniadakan pertentangan antara
peraturan perundang-undangan yang ada (vertical maupun horizontal) yang bermuara
pada terciptanya hukum nasional yang adil. Dalam praktik, proses pembentukan
peraturan perundang-undangan memberikan arah dan menunjukan jalan bagi terwujudnya
cita-cita kehidupan bangsa melalui aturan hukum yang dibentuknya harus memperhatikan
tiga hal, yaitu :11
1. masa lalu yang terkait dengan penyusuaian hukum warisan colonial dengan hukum
nasioanal.
2. Masa kini yang berkaitan dengan kondisi objektif da n kebutuhan hukum saat ini; dan
3. Masa yang akan datang sesuai tujuan negara yang dicita-citakan dan perkembangan
lingkungan strategis.
11 Ahmad Yani, Pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah dan
tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan peraturan
perundang-undangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan
pokok materi yang hendak diatur serta kaitanya dengan Undang-Undang lainya. Oleh
karena itu, penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkordinasi, terarah
dan terpadu yang disusun bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Pembentukan Undang-Undang melalui fungsi legislasi DPR RI merupakan bagian
dari pembangunan hukum, khususnya pembangunan materi hukum. manfaat dari
Program Legislasi Nasioanal bagi pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI adalah menjamin
agar pembangunan materi hukum dilaksanakan secara terarah, meyuluruh dan terpadu.
Oleh karena itu, penyusunan Program Legislasi Nasional didasarkan pada visi dan misi
pembangunan hukum nasional menjiwai meteri hukum yang akan dibentuk. Dengan
demikian, Program Legislasi Nasional tidak hanya sekedar daftar keinginan saja,
malainkan daftar yang dilandasi kebutuhan serta visi pembangunan hukum nasional.12
1. Dasar Hukum Pembentukan Program Legislasi Nasional
Dasar Penyusunan Program Legislasi nasional telah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang antara lain meliputi :
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Pasal 16 menyebutkan, bahwa perencanaan
Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional
c. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Penglolaan Program Legislasi Nasional. Peraturan Presiden ini merupakan
turunan atau ketentuan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Peraturan Presiden
tersebut dijelaskan bahwa penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan
DPR RI dikondisikan oleh alat kelengkapan dewan yakni Badan Legislasi
Nasional (Baleg), sedangkan dilingkungan Pemerintah di kordininasikan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
d. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor
01/DPR RI/2009 tentang Tata Tertib yang menegaskan salah satu tugas Badan
Legislasi Nasional adalah menyusun Program Legislasi Nasional.
2. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan DPR RI
Badan Legislasi Nasional dalam mongkordinasikan penyusunan Program
Legislasi Nasional dapat meminta atau memperoleh bahan dan atau masukan dari
masyarakat, komisi, fraksi, dan atau DPD RI. Secara lebih lengkap penyusnan
Program Legislasi Nasional di lingkungan DPR RI dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut.
a. Badan Legislasi Nasional dalam membentuk Program Legislasi Nasional di
lingkungan DPR RI meminta usulan daftar RUU yang akan di usulkan dari fraksi,
komisi, atau DPD RI paling lambat 1 (satu) masa masa sidang sebelum dilakukan
Legislasi Nasional.
c. Usulan dari fraksi atau komisi disampaikan oleh pimpinan fraksi atau pimpinan
komisi kepada pimpinan Badan Legislasi Nasional (Baleg)
d. Usulan dari DPD RI disampaikan oleh pimpinan DPD RI kepada pimpinan DPR
RI dan oleh pimpinan DPR disampaikan kepada Badan Legislasi Nasional.
e. Apabila dipandang perlu, dalam penyusunan Program Legislasi Nasional, Badan
Legislasi Nasional dapat mengundang pimpinan fraksi, komisi, pimpinan alat
kelengkapan DPD RI yang khusus menangani bidang legislasi, dan atau
masyarakat.
f. Usulan dari masyarakat diusulkan kepada pimpinan Badan Legislasi Nasional.
g. Masukan disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Badan Legislasi Nasional
dengan menyebutkan daftar judul Rancangan Undang-Undang disertai dengan
alasan yang memuat urgensi atau tuijuan penyusunan, sasaran yang ingin di
wujudkan, objek yang akan diatur dan jangkuan serta arah pengaturan.
h. Usul Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh fraksi, komisi, DPD RI dan
masyarakat di inventarisasi oleh sekretariat Badan Legislasi Nasional, selanjutnya
dibahas dan ditetapkan oleh Badan Legilasi untuk menjadi bahan kordinasi
dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan.
i. Daftar usulan Rancangan Undang-Undang dari fraksi, komisi, DPD RI dan
Berikut digambarkan skema alur penyusunan Program Legislasi Nasional di
[image:51.612.72.541.113.348.2]lingkungan DPR RI.
Gambar 2. Skema Alur Penyusunan Prolegnas di Lingkungan DPR RI
D. Badan Legislasi Nasional sebagai Alat Kelengkapan DPR RI
Badan Legislasi Nasional (Baleg) Pertama kali dibentuk pada tahun 1999
berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR yang ditetapkan oleh DPR RI pada tanggal 23
September 1999. Badan Legislasi Nasional DPR RI mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan Rancangan
Undang-Undang, baik yang datang dari Pemerintah maupun usul inisiatif DPR RI,
untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPR RI dan setiap tahun sidang.
2. Membantu menyiapkan Rancangan Undang-Undang usul inisiatif DPR RI.
3. Mengikuti perkembangan dan megawasi pelaksanaan Undang-Undang dan peraturan
perundang-undangan lainya berkordinasi dengan komisi-komisi.
13 Ahmad Yani, Pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), cet.Ke-1, h.36.
Masyarakat Komisi Fraksi
Badan Legislasi
DPD RI
Konsep Program Legislasi Nasional DPR RI di kordinasikan oleh Badan Legislasi
Satu Masa Sidang Pimpinan
keanggotaan DPR RI.14
E. Peran Badan Legislasi Nasional dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional
Penyusunan Program Legislasi Nasional merupakan salah satu tugas dari dari
Badan Legislasi Nasional DPR RI. Tugas tersebut dirumuskan dalam pasal 42 ayat (1)
haruf a peraturan Peraturan Tata Tertib DPR RI dengan kalimat sebagai berikut :
“Menyusun Program Legislasi Nasional yang memuat daftar urutan Rancangan
Undang-Undang untuk satu masa keanggotaan dan prioritas untuk setiap tahun anggaran, yang
selanjutnya akan dilaporkan oleh rapat paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan
DPR RI”. Penyusunan program serta urutan prioritas tersebut dilaksanakan melalui
beberapa tahap, yaitu :
1. Menginvetarisasi masukan dari anggota Fraksi, Komisi, DPD dan masyarakat untuk
ditetapkan menjadi keputusan Badan Legislasi Nasional.
2. Keputusan seabagaimana dimaksud pada angka (1) merupakan bahan konsultasi
dengan Pemerintah.
3. Hasil konsultasi dengan Pemerintah dilaporkan kepada rapat paripurna untuk
ditetapkan.
Penyusunan program dan urutan prioritas disertai pula dengan evaluasi. Oleh
karena itu, Badan Legislasi Nasional diberikan wewenang pula untuk melakukan evaluasi
terhadap program dan urutan prioritas Rancangan Undang-Undang. Adapun tahapan
14 Sekretaris Jenderal DPR RI, Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia (Jakarta: Sekretatis
1. Tahapan Penyusunan dan Pengajuan
Pasal 21 UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPR RI berhak mengajukan
usul Rancangan Undang-Undang. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR RI.
Selanjutnya pasal 22D ayat (1) UUD 1945 DPD RI dapat mengajukan kepada DPR
RI Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan serta pemekaran suatu daerah, pembentukan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi daerah serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, Rancangan
Undang-Undang dapat berasal dari DPR RI, Presiden dan DPD RI. Berdasarkan pasal 16 UU
No 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan
Undang-Undang yang diajukan disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.
Namun hanya DPR RI dan Presiden yang berhak mengajukan RUU diluar Program
Legislasi Nasional.15
2. Pembahasan
Pembahsan Rancangan Undang-Undang di DPR RI dilakukan oleh Komisi,
Badan Legislasi Nasional atau Panitia Khusus melalui dua tingkat Pembicaraaan
Tingkat I dilakukan dalam rapat Komisi atau rapat Badan Legislasi Nasional atau
rapat Panitia Khusus bersama Pemerintah. Pembicaraan Tingkat I meliputi :
15Uli Sintong Siahaan dan Siti Nur Solehah, Peran Politik DPR-RI Pada Era Reformasi (Jakarta: Sekretaris
Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah untuk Rancangan Undang-Undang
tertentu; Atau
Pandangan dan pendapat Pemerintah terhadap Rancangan undang-udnang dan DPR
RI atau pandangan dan pendapat Pemerintah dan DPD RI terhadap
Rancangan-Undang-Undang tertentu.
b. Tanggapan Pemerintah atas pandangan Fraksi-fraksi atau tanggapan Pemerintah
atas pandangan dan pendapat Fraksi-fraksi dan DPD RI untuk Rancangan
Undang-Undang tertentu.
c. Pembahasan Rancangan Undang-Undang berdasarkan daftar inventarisasi masalah.
(pembahahasan lebih mendetail, pasal demi pasal bahkan menyangkut tata bahasa)
Dalam pembicaraan tingkat I ini DPR RI dapat mengadakan rapat internal dalam
rapat dengar pendapat dengan masyarakat untuk mencari masukan atau menangkap
aspirasi dari masyarakat pada tingkat ini, kegiatan RPDU atau kepanjangan dari Rapat
Dengar Pendapat Umum dalam rangka menangkap aspirasi masyarakat menjadi faktor
penting dalam kinerja DPR RI. Lalu pada Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam
Rapat Paripurna. Pembicaraan Tingkat II meliputi :
a. Penyampaian laporan hasil Pembicaraan Tingkat II.
b. Pendapat akhir Fraksi-fraksi dan pendapat akhir Pemerintah.
c. Pengambilan keputusan.16
3. Proses Pengesahan dan Pengundangan
16Uli Sintong Siahaan dan Siti Nur Solehah, Peran Politik DPR-RI Pada Era Reformasi (Jakarta: Sekretaris
dalam jangka waktu 15 hari kerja, Ranc