• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Potency and Nutrition Content of Rice Bran Cookies.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Potency and Nutrition Content of Rice Bran Cookies."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL

DALAM PEMBUATAN COOKIES

Oleh :

A’immatul Fauziyah I14062863

         

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

A’IMMATUL FAUZIYAH. Analysis of Potency and Nutrition Content of Rice Bran Cookies. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI and SRI ANNA

MARLIYATI

(3)

RINGKASAN

A’IMMATUL FAUZIYAH. Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan SRI ANNA MARLIYATI

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies. Tujuan khususnya adalah : 1) mengetahui ketersediaan bekatul sebagai pangan sumber energi, 2) menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional, 3) mengetahui kandungan kimia formula cookies terpilih, 4) melakukan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul.

Desain penelitian yang digunakan adalah experimental study. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Pangan, Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, serta di Laboratorium Pilot Plan, SEAFAST CENTER, Bogor. Adapun waktu pelaksanaan penelitian pada bulan September - November 2010.

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan dan alat dalam pembuatan tepung bekatul, analisis kandungan gizi tepung bekatul dan uji organoleptik. Selain itu, juga dilakukan penelusuran data terkait ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap satu faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti yaitu pengaruh konsentrasi substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional terhadap sifat kimia cookies. Ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies juga dilakukan untuk mengetahui harga jual cookies bekatul konvensional dan fungsional.

Data hasil analisis sifat kimia cookies bekatul pada dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika hasil sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil pengujian organoleptik tepung bekatul dianalisis menggunakan sidik ragam. Data Hasil analisis kompisisi kimia dianalisis dengan menggunakan sidik ragan dan uji lanjut Duncan.

Produksi padi dan bekatul di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan bekatul lebih dari 1 juta ton per tahun. Produksi bekatul menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi limbah dari hasil penggilingan padi karena masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai makanan. Peluang pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas.

Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan

dengan metode krim (creaming method), yaitu semua bahan tidak dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih dahulu kemudian bahan yang lain.

Uji organoleptik cookies bekatul dilakukan melalui uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) terhadap 30 panelis semi terlatih untuk warna, aroma, rasa dan tekstur dari cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan lima tingkat substitusi tepung bekatul, yaitu 25% (F1), 30% (F2), 35% (F3), 40% (F4) dan 45% (F3), serta kontrol atau substitusi 0% (F0).

(4)

(α>0,05) terhadap mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap warna, aroma dan rasa cookies tetapi tidak berpengaruh nyata untuk tekstur.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi bekatul konvensional terhadap cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan t warna dan tekstur tetapi berpengaruh nyata untuk tingkat kesukaan terhadap aroma, rasa dan keseluruhan. Formula cookies bekatul konvensional terpilih adalah cookies F3. Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna, rasa dan keseluruhan cookies tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan pada aroma dan tekstur.

Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional terpilih adalah 3,21% bb, 3,12% bk, 7,56% bk, 29,84% bk, 56,26% bk, 10,10% bk dan 33,19% bb. Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul fungsional terpilih adalah 2,94% bb, 3,01% bk, 7666% bk, 29,09% bk, 58,31% bk, 10,85% bk dan 32,64% bb. Kandungan energi per 100 gram cookies bekatul konvensional dan fungsional terpilih masing masing adalah 519 Kal dan 518 Kal.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis tepung yang digunakan dalam pembuatan cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar air dan protein, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar abu, lemak, karbohidrat, serat pangan serta kapasitas antioksidan cookies. Cookies

bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional memenuhi kriteria sebagai pangan tinggi atau kaya serat.

Analisis pembuatan biaya yang digunakan menggunakan skala industri kecil yang didasarkan atas jumlah pegawai yang berjumlah 15 orang. Harga

cookies bekatul fungsional lebih mahal Rp. (58.837,00 /kg) dari pada cookies

kontrol (Rp 47.519,02/kg) dan cookies bekatul konvensional (Rp 54.851,40/kg) karena harga bahan baku tepung bekatul fungsional yang lebih mahal dari pada tepung terigu dan tepung bekatul konvensional. Harga serat per gram cookies

(5)

ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL

DALAM PEMBUATAN COOKIES

Oleh :

A’immatul Fauziyah I14062863

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul :Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan

Cookies.

Nama : A’immatul Fauziyah

NIM : I14062863

Disetujui,

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus:

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si NIP. 19600205 198903 2 002 Dosen Pembimbing I

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ahmad dan Ibu Siti Muyasaroh. Penulis dilahirkan di Rembang, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Oktober 1988. Pendidikan penulis dimulai dari SDN Pamotan 7 di Rembang pada tahun 1994 sampai tahun 2000, dilanjutkan di SLTPN 1 Pamotan Rembang sampai tahun 2003, pada tahun 2003-2006 penulis melanjutkan di SMAN 1 Rembang.

Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur USMI dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, penulis aktif di organisasi seperti staf divisi Klub Kulinari dan Organoleptik Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007/2008, anggota Klub Kulinari dalam Divisi Keprofesian HIMAGIZI periode 2008/2009 dan sekretaris II Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB). Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan HIMAGIZI, BEM FEMA dan Departemen Gizi Masyarakat baik tingkat perguruan tinggi maupun nasional.

Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Profesi di desa Sukajadi, kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Selain itu, penulis pernah mengikuti Internship Dietetic (ID) di RS Karya Bhakti Bogor dengan topik “Studi Kasus Bedah Batu Ginjal (Nefrolitiotomi), Diabetes Mellitus Komplikasi Gagal Jantung Kongestif dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas komplikasi Diare. Penulis juga pernah mengajar kursus mata pelajaran Kimia kelas XI di SMA Dwi Warna, Parung, Bogor pada tahun 2010. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah, yaitu Ilmu Gizi Dasar periode 2009/2010 dan 2010/2011 (koordinator) dan mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi. Beasiswa yang pernah penulis dapatkan adalah beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2007 sampai 2010.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies”. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah, Ibu dan adik-adikku (Nuriyana A dan Nala KH) yang sudah mendoakan dan menyemangati penulis selama ini.

2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritikan, semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skrispi dan dosen pemandu seminar.

4. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama kegiatan belajar mengajar.

5. Bapak Mashudi selaku teknisi yang dengan sabar membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

6. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M. Si yang telah memperbolehkan menggunakan ide penelitian tentang penggunaan tepung bekatul konvensional dan fungsional dalam pembuatan cookies

7. Teman-teman “Koplag” (Eva, Tika, Irni, Yulaika, Risti, Dudung, Fitri, Reti, Mbak Ganesh, Dhita, Desy) atas semangat, saran, dan bantuannya.

8. Teman-teman “Wisma Seroja” (Ari, Wulan, Aci, Icha, Mbak Yesi, Dana) atas semangat, doa dan bantuannya.

9. Seluruh teman-teman GM angkatan 43, 41,42, 44 dan 45 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Maret 2011

(9)

v   

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Kegunaan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Bekatul (Rice Bran) ... 3

Diversifikasi Pangan ... 9

Cookies ... 10

Pangan Fungsional... 14

Antioksidan ... 15

Analisis Biaya Pembuatan ... 16

METODE …. ………. 22

Desain, Waktu, dan Tempat ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Tahapan ... 24

Rancangan Percobaan ... 27

Pengolahan dan Analisis Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat ... 32

Pembuatan Cookies Bekatul ... 29

Karakteristik Organoleptik Cookies Bekatul ... 33

Kandungan Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional ………..… 43

Analisis Biaya Pembuatan Cookies ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

Kesimpulan ... 56

Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(10)

vi   

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi Kimia Bekatul menurut Berbagai Penelitian ... 4

2 Komposisi Asam Amino Bekatul, tepung Terigu dan Beras (g/16gN) ... 6

3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992 ... 10

4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional ... 25

5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional ... ….. 29

6 Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia ... 30

7 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional ... 34

8 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional ... 37

9 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Konvensional ... 39

10 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional ... 41

11 Kandungan Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies per 100 gram ... 43

12 Kadar Komponen Serat Pangan Cookies ... 47

13 Ringkasan Analisis Biaya Pembuatan Cookies ... 51

(11)

vii   

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penampang Membujur Biji Gabah ... 3

2 Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 24

(12)

viii   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional dan Fungsional ... 62

2 Formulir Uji Organoleptik Cookies Bekatul ... 63

3 Prosedur Analisis Sifat Kimia ... 65

4 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Uji Organoleptik ... 70

5 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Proksimat ... 74

(13)

1  

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek informasi. Kemudahan dalam mengakses informasi tentang kesehatan berdampak pada kesadaran tentang pentingnya kesehatan juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang sering beredar di masyarakat adalah informasi tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan tersebut dapat berupa pangan kaya serat, pangan kaya antioksidan, pangan rendah kolesterol serta pangan dengan indeks glikemik yang rendah. Salah satu bahan pangan yang kaya serat adalah bekatul.

Bekatul (rice bran) merupakan salah satu hasil samping dari proses pengolahan padi menjadi beras. Pemanfaatan bekatul adalah bentuk re-use

(penggunaan kembali) hasil samping pengolahan padi. Pemanfaatan bekatul dapat berupa penggunaan kembali sebagai pangan fungsional alternatif disamping sebagai pakan ternak. Pemanfaatan sebagai pangan fungsional alternatif merupakan salah satu bentuk upaya diversifikasi pangan. Bekatul merupakan campuran lapisan pericarp dan aleuron yang terlepas selama proses penggilingan padi. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Produksi gabah kering giling (GKG) pada tahun 2009 sebesar 64,40 juta ton, maka dapat dihitung produksi bekatul tahun 2009 adalah sebesar 8,70 juta ton. Pemanfaatan bekatul terbatas sebagai pakan ternak dengan nilai ekonomis yang rendah. Pemanfaatan bekatul masih belum optimal jika dibandingkan dengan produksinya tersebut.

Bekatul mempunyai kandungan gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Luh 1991). Bekatul juga mengandung senyawa fitokimia khususnya antioksidan sehingga bekatul berpotensi menjadi pangan sumber antioksidan.

Gamma-oryzanol berfungsi sebagai antioksidan tubuh. Senyawa lainnya, yaitu senyawa fenolik tricin dan tokoferol dapat berfungsi sebagai penghambat kanker.

(14)

2  

makanan berupa cookies sebagai makanan kesehatan dipilih karena praktis (mudah dibawa), mempunyai daya simpan yang lama dan sering dikonsumsi oleh masyarakat.

Penggunaan bekatul sebagai bahan substitusi dalam pembuatan cookies

merupakan salah satu upaya peningkatan nilai ekonomi bekatul yang merupakan hasil samping hasil pertanian. Penggunaan bekatul dalam pembuatan cookies

akan meningkatkan kadar dietary fiber yang bermanfaat untuk kesehatan. Penelitian ini difokuskan pada upaya pemanfaatan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies sehingga akan mengurangi penggunaan tepung terigu dan meningkatkan kadar kandungan gizi cookies. Ketergantungan terhadap terigu diharapkan dapat dikurangi. Bekatul yang digunakan adalah bekatul fungsional dan bekatul konvensional.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi dan gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis potensi ketersediaan dan ekonomi bekatul sebagai bahan pangan alternatif sumber karbohidrat

2. Menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional

3. Menganalisis kandungan zat gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan

cookies

4. Menganalisis biaya pembuatan cookies

Kegunaan

(15)

3  

TINJAUAN PUSTAKA

Bekatul

Karakteristik bekatul

Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan padi. Menurut FAO dalam Houston (1972), bekatul adalah hasil samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan selaput inti biji padi. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan aleurone. Proses penggilingan padi menjadi beras menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi adalah 8-12%. Menurut catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan pertanian Bogor dalam Nursalim dan Razali (2007), kegiatan penyosohan beras dapat mengikis 7,5% dari bobot beras awal berupa bekatul yang memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan beras. Bekatul merupakan dedak yang paling halus dengan komponen utamanya dalah endosperm. Penampang bujur biji gabah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Penampang membujur biji gabah

(16)

4  

bersih penampakan beras, tapi semakin miskin zat gizi. Pada penyosohan beras dihasilkan dua jenis hasil samping, yaitu dedak dan bekatul.

Komposisi Kimia dan Kegunaan Bekatul

Bekatul mengandung air, protein, lemak, abu, serat kasar dan selulosa. Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses penggilingan, kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi, ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap kerusakan dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston 1972). Kisaran kandungan zat gizi makro dan mikro serta komponen kimia lainnya pada bekatul disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia bekatul menurut beberapa penelitian

Komponen Juliano & Bechtel (1985) Luh (1991)

Protein (%) 11.3-14.9 12.0-15.6

Lemak (%) 15.0-19.7 15.0-19.7

Serat kasar (%) 7.0-11.4 7.0-11.4

Karbohidrat (%) 34.1-52.3 34.1-52.3

Abu (%) 6.6-9.9 6.6-9.9

Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.

(17)

5  

Bekatul adalah sumber vitamin B kompleks dan tokoferol, tetapi rendah vitamin A dan vitamin C. Sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Vitamin B kompleks dan vitamin E (tokoferol) banyak ditemukan di dalam bekatul (220-320 ppm), sedangkan vitamin A (0.9-1.6 ppm) dan vitamin C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber 1980).

Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol dan tokotrienol (220-320 ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0.9-1.6 ppm), vitamin B (tiamin, 22-31 ppm) (Helal 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (Kahlon et al. 1994).

Bakatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek hipokolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah kemampuan serat menyerap lipid pada jalur saluran pencernaan dan peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al. 1994). Selain itu, bekatul mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim

angiotensin I-converting enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah 2004).

Bekatul juga mengandung zat anti-gizi dan enzim yang sangat merugikan. Zat anti-gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan keberadaan enzim menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti-gizi di dalam bekatul meliputi fitin, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti-gizi tersebut mempunyai aktivitas yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Fitin yang terdapat pada lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2.3-2.6%, sedangkan fitinnya sebesar 1.8%. Tripsin inhibitor berupa protein albumin yang larut dalam air, tetapi tidak menghambat kimotripsin, pepsin dan papain. Hemaglutinin adalah zat yang mampu mengaglutinisasi sel-sel darah merah tipe A, B, AB, dan O (Juliano 1985).

(18)

6  

disebabkan karena hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji dan melintang pada gabah serta ketengikan oksidatif. Enzim lipase dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Jika enzim lipase tidak diinaktifkan maka asam lemak bebas akan meningkat satu persen setiap jam pada suhu kamar (Luh 1980). Enzim lipoksigenase mengoksidasi asam lemak bebas menjadi peroksida kemudian menjadi keton dan aldehid. Ketengikan akan mempengaruhi penerimaan bekatul sebagai bahan makanan.

Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston 1972). Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap sehingga mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution 1979). Komposisi asam amino esensial bekatul lebih baik dibandingkan tepung terigu. Komposisi asam amino esensial bekatul disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi Asam Amino Bekatul, Tepung Terigu dan Beras (g/16 g N)

No Asam

amino Bekatul (Juliano 1985)

Tepung Terigu

Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%. Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh enzim pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat

transit time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain itu serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah.

(19)

7  

pangan menurut efeknya terhadap peningkatan kada gula darah. Pangan dengan indeks glikemik yang tinggi cepat menaikkan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Serat dalam bentuk utuh bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan sehingga indeks glikemik cenderung rendah. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat. Dengan demikian respon glukosa darah juga lambat.

Bekatul mempunyai beberapa manfaat bagi kesehatan. Penelitian pada binatang dan manusia, bekatul dan fraksi bekatul menunjukkan potensi efek penurunan level kolesterol. Beberapa senyawa yang mempunyai aktivitas menurunkan kadar koleseterol antara lain orizanol, hemiselulosa, fraksi serat, protein dan komponen lemak tidak jenuh ganda dan tunggal (Saunder dalam Malekian F et.al 2000).

Pemanfaatan Bekatul

Penggunaan bekatul sangat bervariasi, mulai dari bahan bakar sampai bahan makanan, termasuk pupuk, pharmaceutical, sabun dan makanan. Minyak bekatul kasar dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam olet dan asam stearat dan sabun (Salvador B dan Carmen BB 1980). Pemanfaatan bekatul antara lain sebagai bahan bakar, makanan, pupuk, obat-obatan, sabun dan pakan (Barber S dan Barber CB 1980). Selain itu, bekatul juga dapat digunakan untuk minyak salad, bahan baku kosmetik dan suplemen kesehatan (Nursalim dan Razali 2007).

Pangan

(20)

8  

Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 sebesar 45% terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memiliki penerimaan yang baik sedangkan substitusi pada risoles, nagasari dan cucur masing-masing sebesar 55% juga dapat diterima dengan baik (Damayanthi 2002). Substitusi sebesar 15% pada tepung terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan metode straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat makanan (hemiselulosa, selulosa dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. Dalam Damayanthi 2002). Bekatul juga dapat dikonsumsi dalam bentuk minuman bekatul. Minuman bekatul tersebut terdiri atas campuran bekatul 14 gram dan air sebanyak 220 ml (Damayanthi 2002).

Penemuan lembaga Eykman Jakarta, dedak padi dapat diekstrak menjadi sumber vitamin B. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negri baru pada pengekstrakan dedak untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya dalam Damayanthi 2002). Minyak murni yang diekstraksi dari bekatul dapat digunakan untuk memasak. Bekatul juga dapat dikonsumsi secara langsung sebagai minuman dan campuran sup (Nursalim dan Razali 2007). Bekatul juga digunakan sebagai sumber vitamin B15 yang dapat dikonsumsi dalam bentuk kapsul.

Pakan

Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak. Penggunaan bekatul sebagai pakan dapat dikombinasikan dengan pakan lain. Bekatul mempunyai berbagai kelemahan sebagai pakan. Kelemahan tersebut antara lain kandungan serat yang tinggi, kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, proporsi Kalsium dan Fosfor berbeda dari yang disarankan sebagai pakan, kandungan gizi yang bervariasi antar jenis bekatul dan tingkat kestabilan yang rendah (Barber S dan Barber CB 1980).

Industri lainnya

(21)

9  

Diversifikasi Pangan

Undang-undang No. 7 tahun 1996 yang diatur pelaksanaanya di dalam peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Dalam kaitannya dengan diversifikasi pangan, dianjurkan untuk menggali potensi tanaman lokal yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Selain itu, juga dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi pangan yang dikonsumsi golongan miskin dengan tetap memperhatikan kandungan gizi (Soekartawi 1993 dalam Antara 2001). Salah satu potensi yang dapat digali adalah bekatul. Bekatul mempunyai nilai ekonomi yang rendah tetapi memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan komponen bioaktif oryzanol sehingga para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan pangan dari bekatul yang memiliki palatabilitas tinggi (Damardjati dalam Damayanthi 2002).

Penganekaragaman konsumsi pangan sampai saat ini belum mencapai kondisi yang optimal, yang dicirikan oleh skor pola pangan harapan (PPH) yang belum sesuai harapan (75,7 pada tahun 2009), dan belum optimalnya peran pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan. Peraturan presiden No. 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi dan pengendalian percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Padi termasuk sumber daya lokal dengan hasil samping salah satunya adalah bekatul. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional alternatif pengganti berbagai jenis tepung termasuk tepung terigu.

(22)

10  

ketergantungan terhadap beras dan impor pangan dengan meningkatkan konsumsi pangan baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan olahannya. Diversifikasi pangan dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan dari sektor peraatan, mesin dan kredit penting pada saat tarnsformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan lebih efisien (Suryana 2005).

Menururt Andyana (2005) diversifikasi pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keragaman pola konsumsi pangan dimana terdapat keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan simbang serta keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis zat gizi, sumber protein dari hewan, ikan maupun nabati dan bersifat spesifik lokal. Menurut Suharjo (1998) menyebutkan bahwa diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang slaing berkaitan, yaitu diversifikasi produksi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan dan diversifikasi konsumsi pangan.

Diversifikasi produksi pangan adalah usaha penganekaragaman usatatani, baik secara vertikal maupun horizontal. Diversifikasi secara horizontal adalah imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah. Diversifikasi secara vertikal adalah pengembangan produksi setelah panen termasuk kegiatan pengolahan hasil dan hasil samping pertanan yang merupakan inti industrialisasi pertanian (Antara 2001). Diversifikasi konsumsi pangan (derivasi diversifikasi vertikal) mempunyai peranan penting dalam mengurangi beban sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas pangan. Diversifikasi vertikal mempunyai keuntungan tersedianya keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai bahan pangan tersebut serta merubah selera konsumen. Menurut Effendi yang diacu dalam Antara (2001), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam diversifikasi konsumsi pangan adalah penyempurnaan teknologi pangan dapat meghasilkan pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan dari pangan yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makan sehari-hari (superior) khususnya kalangan menengah ke atas.

Cookies

(23)

11  

bertekstur padat (BSN 1992). Menurut Departemen Perindustrian (1990) Biskuit didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Biskuit merupakan produk makanan kering yang mudah dibawa karena volume beratnya kecil dan umur simpannya relatif lama (Whiteley 1971).

Biskuit dibuat dengan bahan dasar tepung (Vail et al 1978). Proses pemanggangan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Kadang-kadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya konvensional relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Menurut Vail et al (1978) mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Syarat mutu cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992

Komponen Syarat Mutu

Keadaan (bau, rasa, warna, dan tekstur)

Karbohidrat (%bb) Minimum 1,5

Kalori (kal/100 g) Maksimum 70

Kadar cemaran logam berbahaya Minimum 400

Cemaran mikroba Negatif

TPC (koloni/g) Maksimum 104

Coliform (APM/g) Maksimum 20

E.coli (APM/g) <3

Kapang (koloni/g) Maksimum 102

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)

Bahan Baku Cookies

Thelen dalam Matz (1978) membagi mengelompokkan bahan pembuatan

(24)

12  

susu, putih telur, dan air. Bahan yang termasuk dalam kategori bahan pelembut yaitu gula, lemak, leavening agent, dan kuning telur. Bahan pelembut berfugsi untuk melembutkan adonan.

Tepung

Tepung berperan dalam membentuk struktur cookies (Matz 1978).

Tepung yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu (Sunaryo 1985). Tepung terigu dengan kandungan protein 8-10% (tepung terigu lunak) tepat digunakan untuk pembuatan cookies. Semakin tinggi kadar protein tepung yang digunakan, maka semain banyak shortening dan gula yang diperlukan untuk mendapatkan tekstur yang diterima. Karbohidrat pada tepung berperan dalam meningkatkan cita rasa, mengikat air, dan membentuk tekstur (Parker 2003).

Lemak

Fungsi lemak dalam pembuatan cookies adaah memperbaiki struktur fisik seperti memperngaruhi volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, dan memberi flavor (Matz 1978). Lemak yang digunakan dalam pembuatan cookies

dapat berupa margarin (lemak nabati) dan mentega (lemak hewani). Lemak nabati lebih banyak digunakan karena dapat memberikan tekstur yang lembut dan halus. Lemak nabati juga memberikan penampakan yang baik.

Kuning Telur

Kuning telur mengandung lesitin yang berperan sebagai emulsifier dalam pembuatan cookies. Emulsifier adalah bahan aktif yang mempengaruhi pembentukan dan stabilisasi emulsi. Lesitin dalam pembuatan cookies berperan mempengaruhi konsistensi cookies. Lesitin juga membuat adonan menjadi tidak lengket ketika dicampurkan. Lesitin mempercepat disperse lemak dan komponen cairan didalam adonan cookies.Selain didalam kuning telur, lesitin juga terdapat didalam kedelai. Produk yang menggunakan coklat memerlukan lesitin lebih banyak (Matz 1978).

Gula

(25)

13  

akan menjadi lengket, menempel pada cetakan dan membuat warna coklat. Selain itu, cookies akan menjadi lebih keras dan terlalu manis.

Garam

Garam berfungsi untuk membangkitkan cita rasa bahan yang lain didalam adonan cookies. Sebagian besar formula biscuit termasuk cookies menggunakan garam dengan persentase 1% atau kurang. Penggunaan garam juga disarankan 3% dari berat lemak (Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan sebenarnya tergantung jenis tepung yang dipakai dan kompleksitas bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies. Garam digunakan lebih banyak pada adonan yang menggunakan tepung dengan kadar protein yang rendah karena diperlukan untuk memperkuat protein dalam tepung.

Bahan Pengembang (Leavening Agent)

Bahan pengebang yang umum dipakai dalam pembuatan cookies adalah

baking powder. Bahan pengembang menghasilkan gas karbondioksida yang menyebakan adonan mengembang. Baking powder berasal dari campuran Natrium bikarbonat dengan asam tartarat atau garam fosfat. Pembentukan gas karbondioksida dipengaruhi oleh PH (Matz 1978). PH adonan biasanya adalah berkisar antara 5 sampai 6 sehingga optimum untuk pembentukan gas karbondioksida. Jika PH adonan basa maka pembentukan gas akan berkurang sehingga biasanya juga ditambahkan asam bersama dengan pengembang. Susu

Susu digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan meningkatkan nilai gizi cokies. Penggunaan susu yang disarankan adalah 5% dari tepung (Matz 1978). Komponen protein dalam susu mengikat air dan membuat adonan lebih kaku dan lengket. Penggunaan susu dalambentuk bubuk lebih menguntungkan daripada susu cair.

Proses Pembuatan Cookies

Pembuatan cookies dikelompokkan menjadi dua berdasarkan metode dasar pencampuran adonan, yaitu metode krim (creaming method) dan metode

all in. Pembuatan cookies dengan metode krim dilakukan dengan mencampurkan lemak dan gula terlebih dahulu kemudian ditambahkan pewarna dan essens. Setelah adonan tercampur kemudian ditambahkan susu dan yang terakhir adalah bahan kimia untuk aerasi (Whiteley 1971). Pembuatan cookies dengan metode

(26)

14  

tepung terigu. Adonan dicampur sampai mengembang (Whiteley 1971). Setelah

adonan mengembang kemudian cookies dicetak dengan cetakan dan

dipanggang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 2200C selama 12-15 menit (Sultan 1983).

Pangan Fungsional

Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Menurut Drummond (2007) dan DeBruyne (2008), pangan fungsional adalah pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan karena kontribusi zat gizi yang dikandungnya. Makanan utuh, makanan fortifikasi, dan makanan yang dimodifikasi termasuk ke dalam pangan fungsional.

Pangan fungsional (functional food) mempunyai kaitan yang erat dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gaya hidup sehat. Pangan fungsional atau Food for Specified Health Use (FOSHU), didefinisikan sebagai makanan yang berdasarkan pengetahuan (bukti riset ilmiah) tentang hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan yang diharapkan mempunyai manfaat kesehatan tertentu. Karena sebagai makanan, maka pangan fungsional harus memiliki karakteristik sebagai makanan (sensori, warna, tekstur, citarasa, dan mempunyai zat gizi) (Ardiansyah 2004).

Departemen Kesehatan Jepang mendefinisikan pangan fungsional sebagai Foods for Spesified Health Use (FOSHU), yaitu pangan yang diharapkan mempunyai pengaruh khusus terhadap kesehatan karena adanya suatu komponen di dalam pangan serta jenis pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan (Arai et al 2001). Ichikawa (1994) dalam Diana (2010) menyatakan suatu pangan dikatakan sebagai pangan fungsional jika dapat memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan 2. Manfaatnya bagi kesehatan dan pemenuhan gizi harus berdasarkan data

ilmiah

3. Jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi

4. Aman dalam diet yang seimbang

(27)

15  

6. Tidak mengurangi nilai gizi pangan 7. Dikonsumsi dengan cara yang wajar

8. Tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk 9. Berasal dari bahan-bahan alami

Antioksidan

Antioksidan adalah komponen dengan berat molekul kecil yang dapat menghambat atau menekan terjadinya proses oksidasi pada bahan yang mudah teroksidasi. Pokorny et al. (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan sumbernya, antioksidan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari sintesa menggunakan reaksi kimia. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi selama proses pengolahan atau berasal antioksidan yang diisolasi dari sumber alami lain dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.

Fungsi antioksidan dalam makanan yang mengandung lemak adalah meminimalkan ketengikan, menghambat pembentukan produk hasil oksidasi yang beracun, dan menjaga mutu gizi makanan serta meningkatkan shelf life

makanan yang mengandung lemak (Jadhav et al. 1996). Pangan yang

mengandung lemak tidak jenuh rentan terhadap proses autooksidasi yang diinisiasi oleh radikal bebas. Lama periode autooksidasi sensitif terhadap keberadaan antioksidan dna komponen prooksidan.

Menurut Jadhav et al. (1996), proses autooksidasi lemak yang

disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan senyawa radikal yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1). Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal bebas. Pembentukan radikal R* (reaksi 1.1) biasanya diperantarai oleh komponen logam, radiasi cahaya dan panas. Hidroperoksida lemak yang jumlahnya kecil juga membentuk antioksidan (reaksi 1.2 dan 1.3). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Inisiasi : RH R* + H* (1.1)

: ROOH RO* + HO* (1.2)

: 2ROOH RO* + ROO* + H2O (1.3)

(28)

16  

: ROO* + RH ROOH + R* (2.2)

Terminasi : ROO* + ROO* ROOR +O2 (3.1)

: R* + ROO* ROOR (3.2)

: R* + R* R R (3.3)

Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi inisiasi terbentuk menjadi radikal bebas bentuk yang lain pada tahap propagasi. Radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2.1). ROO* yang terbentuk menginisiasi reaksi berantai dengan molekul lain sehingga terbentuk hidroperoksida dan radikal bebas dari lemak. Reaksi yang terjadi berulang kali dapat menyebabkan akumulasi radikal bebas dan akan terus berlangsung sampai asam lemak tidak jenuh habis. Jika asam lemak jenuh habis, maka radikal bebas akan saling berikatan sehingga membentuk senyawa non radikal yang stabil dan reaksi rantai berakhir. Reaksi ini adalah reaksi terminasi dari reaksi oksidasi berantai. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi dengan membentuk kompleks radikal bebas. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida, keton dan alkohol.

Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH ( 2,2-dyphenyl-1-picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yag stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi seyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α, α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula (Benabadji et al. 2004)

Analisis Biaya Pembuatan

(29)

17  

harga jual suatu produk pangan perlu memperhatikan total harga seluruh komponen bahan yang dipakai untuk membuat produk pangan, biaya produksi selama memproses bahan, kebijakan food cost yang ditentukan oleh manajemen sebagai faktor pembagi dalam perhitungan cost dan harga pokok penjualan serta harus meperhatikan nilai tertentu yang mungkin harus ditambahkan pada harga pokok penjualan, misalnya pajak (government tax).

Biaya Produksi

Biaya adalah pengorbanan yang rasional yang seharusnya dapat diduga lebih dahulu dan tidak dapat dihindarkan yang dapat dihitung dengan nilai uang dan yang berhubungan dengan produksi barang dan jasa (Sriyadi 1995). Biaya produksi adalah seluruh faktor produksi yang dikorbankan selama produksi berlangsung. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikorbankan untuk menghasilkan produk sehingga produk tersebut sampai di pasar atau sampai di konsumen. Dengan demikian, iaya penyimpanan, biaya iklan, pajak juga termasuk dalam biaya produksi (Ahman 2004)

Nicholson (1990) menyatakan Biaya ekonomi adalah pembayaran yang diperlukan untuk mempertahankan masukan itu dalam penggunaannya saat ini. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Biaya produksi produk pangan timbul karena pemakaian energi seperti listrik, gas, steam, tenaga, da lainnya (Bartono 2005). Biaya produksi ini adalah total biaya (total cost) yang dikeluarkan untuk memproduksi produk pangan. Biaya total adalah hasil penjumlahan antara biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel

(variable cost).

Menurut Sriyadi (1995), biaya dapat dibedakan menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya yang langsung dapat dihitung atau dapat langsung dibebankan pada produk (barang atau jasa). Sedangkan biaya tak langsung adalah biaya yang pembebanannya pada produk harus lebih dahulu melalui perhitungan sehingga ada beberapa cara pembebanan biaya tak langsung. Dalam hubungannya dengan produk, biaya langsung ini disebut dengan biaya produksi langsung, sedangkan biaya tak langsung disebut dengan biaya produksi tidak langsung atau biaya overhead pabrik.

Menurut Haryanto (2002), biaya produksi dalam suatu perusahaan dapat dikategorikan menjadi:

(30)

18  

Biaya tetap merupakan biaya yang dalam kurun waktu tertentu jumlahnya tetap. Biaya ini tidak tergantung jumlah output yang dihasilkan. Contoh biaya tetap adalah biaya gaji pegawai tetap, manajer, sewa tanah, penyusutan mesin, bunga pinjaman bank. Biaya tetap ini dibedakan menjadi dua macam yaitu : a. Biaya tetap total (total fixed cost), merupakan jumlah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah tetap dalam jangka waktu tertentu.

b. Biaya tetap rata-rata (average fixed cost), merupakan biaya tetap yang dibebankan pada setiap satuan output yang dihasilkan.

2. Biaya Variabel (Variabel Cost)

Biaya variabel adalah biaya pengeluaran yang jumlahnya tidak tetap atau berubah sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Dalam hal ini, semakin banyak jumlah produk yang dihasilkan, semakin besar pula biaya variabelnya. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, bahan pembantu, bahan bakar, dan upah tenaga kerja langsung. Biaya variabel ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Biaya variabel total (total variabel cost), merupakan seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama masa produksi output dalam jumlah tertentu.

b. Biaya variabel rata-rata (average variabel cost), merupakan biaya variabel yang dikeluarkan untuk setiap unit output.

3. Biaya Total (Total Cost)

Biaya total merupakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi semua output, baik barang maupun jasa. Biaya ini dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya tetap total dengan biaya variabel total.

4. Biaya Rata-rata (Average Cost)

Biaya rata-rata merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk setiap unit output.

5. Biaya Marginal (Marginal Cost)

Biaya marginal merupakan kenaikan dari biaya total yang diakibatkan oleh diproduksinya tambahan satu unit output.

Klasifikasi Industri

(31)

19  

perkembangan industri di dalam suatu negara, maka semakin banyak macam dan jumlah industrinya serta sifat kegiatan dan usahanya semakin kompleks.

Pengklasifikasian industri dapat didasarkan pada criteria tertentu, yaitu bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga menentukan keanekaragaman industri. Semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beraneka ragam jenis industrinya. Klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing adalah sebagai berikut.

Klasifikasi Industri Berdasarkan Bahan Baku

Industri membutuhkan bahan baku sesuai produk yang akan dihasilkan. Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Contoh industri ini adalah industri hasil pertanian, industri hasil perikanan dan industri hasil kehutanan.

2. Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil dari industri lain. Contoh industri nonekstraktif adalah industri kain dan industri pemintalan.

3. Industri fasilitatif atau industri tersier, yaitu industri yang kegiatannya adalah menjual jasa layanan untuk kepentingan pihak lain. Contoh industri tersier adalah industri perbankan, industri perdagangan, industri angkutan dan pariwisata.

Klasifikasi Industri Berdasarkan Tenaga Kerja

Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Industri Rumah Tangga. Industri rumah tangga adalah industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Industri ini juga mempunyai modal yang terbatas. Tenaga kerja biasanya berasal dai keluarga pemilik atau pengelola industri. Contoh industri rumah tangga antara lain industri temped an tahu, industri makanan ringan dan industri kerajinan.

(32)

20  

mempunyai hubungan saudara dengan pemilik industri. Contoh industri ini adalah industri genteng, industri batubara dan industri pengolahan rotan. 3. Industri sedang. Industri sedang memiliki tenaga kerja sekitar 20 sampai 99

orang. Industri sedang menggunakan modal yang cukup besar. Tenaga kerja yang digunakan memilki keterampilan tertentu dan pimpinan perusahaan memiliki kemampuan manajerial tertentu, contohnya adalah industri konveksi, industri border dan industri keramik.

4. Industri besar. Industri besra meiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Industri besar memiliki modal yang besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham. Tenaga kerja harus memiliki keahlian khusus dan pemimpin perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan, contohnya industri tekstil, industri mobil dan industri pesawat terbang.

Klasifikasi Industri Berdasarkan Proses Produksi

Berdasarkan proses produksi, industri dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Industri hulu. Industri hulu adalah industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri hulu menyediakan bahan baku untuk industri lain, misalnya industri kau lapis, industri pemintalan dan industri baja.

2. Industri hilir. Industri hilir mengolah barang setengah jadi menjadi barang atau bahan yang dapat langsung dipakai atau dimanfaatkan oleh onsumen, misalnya industri pesawat terbang, industri otomotif dan industri konveksi. Klasifikasi Industri Berdasarkan Modal yang Digunakan

Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Industri dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Industri ini memperoleh modal dari pengusaha atau pemerintah nasional (dalam negeri), misalnya industri kerajinan, industri pariwisata dan industri makanan. 2. Industri dengan penanaman modal asing (PMA). Industri ini memperoleh

modal dari penanaman modal asing, misalnya industri komunkasi, industri perminyakan dan industri pertambangan.

(33)

21  

Klasifikasi Industri Berdasarkan Subjek Pengelola

Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu:

1. Industri Rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat, misalnya industri kerajinan dan industri makanan tradisional.

(34)

22  

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelusuran data ketersediaan bekatul, data harga bahan pembuatan cookies bekatul, data harga cookies dan data harga alat pembuatan cookies dilakukan di perpustakaan IPB, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional adalah bekatul. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan tepung bekatul fungsional adalah tepung bekatul konvensional, aquadest dan asam askorbat. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu, margarin, mentega, tepung bekatul konvensional, tepung bekatul fungsional,

leavening agent, susu skim, bubuk coklat, kayu manis, gula halus, kuning telur dan bubuk vanili. Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah cookies

dengan campuran bekatul sesuai dengan formula yang ditetapkan.

(35)

23  

Alat

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional adalah autoklaf, oven, discmill dan ayakan 60 mesh. Peralatan yang diperlukan untuk pembuatan tepung bekatul fungsional adalah autoklaf, oven, discmill,

ayakan 60 mesh dan tray oven. Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan

cookies adalah mixer, oven, cetakan, sendok dan loyang. Peralatan yang digunakan untuk uji kadar air antara lain botol cawan aluminium, desikator, oven dan neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram.

Peralatan yang digunakan untuk uji kadar abu antara lain cawan porselen, tanur, pemanas listrik, neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, desikator, sudip, dan pipet tetes. Peralatan yang digunakan untuk uji kadar protein adalah neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, labu destruksi, tabung destilasi, pipet Mohr 10 mL, alat destruksi, erlenmeyer 250 mL, Kjeltec, buret shelbach 50 mL, labu semprot, sudip, pipet tetes, gelas ukur 100 mL, batu didih, labu ukur 250 mL, corong, dan pipet volumetrik 25 mL.

Peralatan yang digunakan untuk analisis lemak antara lain neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, desikator, pinggan lemak,

soxhlet, timbel ekstraksi, oven, kapas bebas lemak, kertas saring, corong, erlenmeyer 250 mL, gelas ukur 50 mL, batu didih, pemanas listrik, kaca arloji besar, pengaduk, labu semprot dan sudip. Peralatan yang digunakan untuk uji kapasitas antioksidan adalah spektrofotometer, pipet mikro, rotavorator, dan

(36)

24  

Tahapan

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian 1. Analisis Ketersediaan Bekatul Sebagai Sumber Karbohidrat

Analisis ketersediaan bekatul dilakukan dengan cara penelusuran data produksi padi dan kemudian dikonversi menjadi data produksi bekatul. Data yang dibutuhkan adalah data produksi padi dan data penggunaan bekatul. Data penggunaan bekatul tidak tersedia sehingga ketersediaan bekatul diasumsikan dari produksi gabah kering giling (GKG) dengan faktor konversi 13,51%

Formulasi cookies tepung bekatul konvensional

Formulasi cookies tepung bekatul fungsional

(37)

25  

(Damardjati 1988). Produksi energi dari bekatul dihitung dengan mengkonversi energi yang dihasilkan dari karbohidrat, lemak dan protein bekatul. Metode pembuatan tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional disajikan pada Lampiran 1.

2. Penentuan Formula Cookies Bekatul

Penentuan formula cookies bekatul dilakukan setelah semua bahan baku yang diperlukan untuk membuat cookies bekatul tersedia lengkap. Penetapan formula cookies bekatul dari bekatul konvensional dan bekatul fungsinal dilakukan secara trial and error, yaitu mencari perbandingan komposisi tepung terigu dan tepung bekatul yang tepat, sehingga diperoleh perbandingan yang paling disukai oleh panelis (konsumen). Penambahan tepung bekatul ke dalam formula cookies juga disesuaikan dengan kebutuhan serat pada orang dewasa, yaitu 20-30 gram per hari (Almatsier 2004). Formula cookies dengan lima tingkat substitusi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional

Bahan

(38)

26  

memberikan aftertaste pahit yang berlebihan. Cookies yang dihasilkan juga menjadi lebih keras dan sukar dibentuk. Oleh karena itu, digunakan lima tingkat substitusi cookies bekatul yaitu 25%, 30%, 35%, 40% dan 45%.

Proses pembuatan cookies bekatul terdiri dari beberapa tahap, yaitu penimbangan bahan, pencampuran bahan (mixing), pencetakan adonan,

pemanggangan dengan oven, pendinginan (cooling) dan pengemasan (packing).

Pencampuran bahan dilakukan dengan mixer. Pemanggangan dilakukan pada suhu 1600C selama 15 menit. Adapun skema proses pembuatan cookies bekatul dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies bekatul (Modifikasi Saputra 2008) 3. Uji Organoleptik Cookies Bekatul

Formula Cookies bekatul yang telah dibuat kemudian diuji organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) kepada 30 orang panelis yang agak terlatih (semi terlatih). Uji mutu hedonik tidak dapat menggunakan panelis konsumen karena bukan merupakan uji preferensi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian panelis terhadap produk cookies

margarin, mentega, gula halus, kuning telur

tepung bekatul, tepung terigu dicampur dengan mixer

soda kue, susu skim, bubuk coklat, bubuk

kayu manis

dicampur dengan mixer

dipanggang 1600C, 15 menit dicetak

didinginkan

(39)

27  

bekatul yang dihasilkan. Uji mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan pada cookies bekatul. Kedua uji ini dilakukan menggunakan skala garis 1-9. Formulir uji organoleptik yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji hedonik digunakan untuk menentukan formula (produk) terpilih berdasarkan nilai rata-rata dan persentase penerimaan dari masing masing komponen rasa, warna, aroma, dan tekstur. Hasil formula terpilih akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, yaitu analisis zat gizi dan analisis ekonomi cookies formula terpilih.

4. Analisis Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul

Formula cookies bekatul yang terpilih dari substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional dianalisis secara kimia. Sifat kimia yang dianalisis meliputi kadar air dengan metode oven, kadar abu dengan metode pengabuan kering, kadar lemak dengan metode soxhlet, serat pangan dengan metode enzimatis, kadar protein metode mikrokjedahl dan analisis aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3.

5. Analisis Biaya Pembuatan Cookies

Analisis biaya pembuatan cookies dilakukan untuk menentukan harga jual

cookies formula terpilih. Analisis ini dilakukan untuk skala industri kecil. Analisis biaya pembuatan membutuhkan data harga bahan baku pembuatan cookies,

harga kemasan, upah tenaga kerja dan harga alat untuk pembuatan cookies

beserta kapasitas alat tersebut.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu substitusi tepung bekatul, baik tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional. Terdapat dua jenis cookies, yaitu cookies tepung bekatul konvensional dan

cookies bekatul fungsional yang dianalisis secara terpisah. Peubah respon yang diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa dari cookies bekatul. Secara sistematis, bentuk umum dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut:

Yij = μ + τi + εij

Yij :peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j

(40)

28  

τi :pengaruh tingkat substitusi tepung terigu dengan masing-masing tepung bekatul konvensional atau fungsional pada taraf ke-i

εij :galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i :banyak taraf tingkat substitusi tepung bekatul terhadap tepung terigu (i=0%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%)

j :banyak ulangan (j=1, 2..)

Pengolahan dan Analisis Data

Kandungan energi cookies ditentukan dengan cara menjumlahkan [(kadar karbohidrat (g) x 4 + (kadar protein (g) x 4) + (kadar lemak (g) x 9)]. Hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan tingkat kesukaan panelis terhadap formula cookies. Analisis pengaruh masing-masing jenis formula terhadap mutu hedonik dan tingkat kesukaan panelis terhadap

(41)

29  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat

Produksi padi di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berarti produksi bekatul juga mengalami peningkatan. Produksi padi pada tahun 2004 mencapai 54.088.468 ton atau menghasilkan bekatul sebesar 7.307.352 ton. Produksi ini terus mengalami penigkatan di tahun berikutnya. Hasil produksi padi dan bekatul dari tahun 2006-2009 serta angka pertumbuhannya disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional

Tahun Produksi Padi

(ton)

2005 54.151.097 7.315.813 0,11

2006 54.454.937 7.356.862 0,56

2007 57.157.435 7.721.970 4,96

2008 60.325.925 8.150.032 5,54

2009 64.398.890 8.700.290 6,75

Sumber: Departemen Pertanian (2010)

Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi bekatul cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup signifikan dimulai pada tahun 2007 dibandingkan pada tahun 2006 dan tahun 2005. Angka pertumbuhan produksi bekatul pada tahun 2007 adalah sebesar 4,96%. Angka tersebut meningkat pada tahun 2008 (5,54%) dan meningkat lagi pada tahun 2009 (6,75%). Potensi pemanfaatan bekatul masih sangat besar karena produksi bekatul cukup tinggi di Indonesia. Angka produksi bekatul juga cenderung meningkat setiap tahun sehingga peluang pemanfaatan bekatul juga sangat besar. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih sangat terbatas padahal bekatul bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung komponen fitokimia tokoferol (vitamin E) yang penting untuk menjaga kesehatan manusia serta bersifat antioksidan sehingga dapat melindungi dari kerusakan oksidatif.

(42)

30  

menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi hasil samping dari penggilingan padi. Masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai makanan tetapi menggunakannya sebagai bahan pakan ternak. Perkiraan produksi bekatul di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2010

No Nama Propinsi Produksi Padi

(ton)

Darussalam 1.627.545,00 219.881,00 368.042,00

2 Sumatera Utara 3.586.861,00 484.585,00 811.109,00

3 Sumatera Barat 2.192.288,00 296.178,00 495.749,00

4 Riau 545.541,00 73.703,00 123.366,00

5 Jambi 658.271,00 88.932,00 148.856,00

6 Sumatera Selatan 3.249.334,00 438.985,00 734.783,00

7 Bengkulu 512.212,00 69.200,00 115.829,00

8 Lampung 2.701.699,00 365.000,00 610.945,00

9 Bangka Belitung 25.534,00 3.450,00 5.775,00

10 Kepulauan Riau 1.009,00 136,00 228,00

11 DKI Jakarta 11.760,00 159,00 266,00

12 Jawa Barat 11.650.160,00 1.573.937,00 2.634.491,00

13 Jawa Tengah 10.079.212,00 1.361.702,00 2.279.248,00

14 DI Yogyakarta 830.545,00 112.207,00 187.815,00

15 Jawa Timur 11.375.779,00 1.536.868,00 2.572.444,00

16 Banten 2.048.152,00 276.705,00 463.155,00

17 Bali 846.896,00 114.416,00 191.512,00

18 Nusa Tenggara Barat 1.779.187,00 240.368,00 402.333,00

19 Nusa Tenggara Timur 540.771,00 73.058,00 122.286,00

20 Kalimantan Barat 1.358.292,00 183.505,00 307.155,00

21 Kalimantan Tengah 644.781,00 87.110,00 145.807,00

22 Kalimantan Selatan 1.944.888,00 262.754,00 439.804,00

23 Kalimantan Timur 580.654,00 78.446,00 131.305,00

24 Sulawesi Utara 589.238,00 79.606,00 133.246,00

25 Sulawesi Tengah 986.126,00 133.226,00 222.997,00

26 Sulawesi Selatan 4.273.767,00 577.386,00 966.442,00

27 Sulawesi Tenggara 455.200,00 615,00 1.029,00

28 Gorontalo 255.215,00 34.480,00 57.713,00

29 Sulawesi Barat 364.670,00 4.927,00 8.247,00

30 Maluku 78.761,00 10.641,00 17.811,00

31 Papua 102.861,00 13.897,00 23.261,00

32 Maluku Utara 47.593,00 6.430,00 10.763,00

33 Papua Barat 35.868,00 4.846,00 8.111,00

Total 65.980.670,00 8.807.339,00 14.741.923,00

Sumber: Departemen Pertanian (2010)

(43)

31  

paling besar daripada propinsi lainnya di pulau Kalimantan. Pemanfaatan bekatul masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan pakan untuk hewan ternak. Bekatul sebagai bahan pakan ternak, harganya masih relatif murah, yaitu Rp. 1500,00 per kg. Data penggunaan bekatul belum tersedia karena bekatul merupakan produk sisa atau hasil samping dalam produksi beras. Secara umum penggunaan bekatul adalah sebagai bahan pakan ternak. Salah satu penggunaan bekatul sebagai bahan pangan yang diketahui adalah penggunaan bekatul sebagai bahan pangan fungsional berupa tepung bekatul yang bermanfaat untuk kesehatan dengan pusat produksi di Bandung, Jawa Barat.

Produksi bekatul yang besar juga menggambarkan potensi bekatul yang besar juga untuk dimanfaatkan selain sebagai pakan. Peluang pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan asumsi masyarakat yang masih menganggap bekatul sebagai bahan pakan ternak. Pengetahuan masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan masih terbatas. Dengan demikian pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan juga sebaiknya diiringi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan melalui berbagai media sehingga lebih efektif. Data penggunaan bekatul sebagai bahan pangan fungsional juga masih sangat terbatas.

Bekatul apabila dimanfaatkan sebagai bahan pangan juga dapat memberikan sumbangan energi yang cukup besar. Sumbangan energi dari bekatul untuk seluruh propinsi di Indonesia dapat mencapai 14.741.923,00 juta Kal. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.556.363 (BPS 2010). Sumbangan energi dari bekatul per kapita untuk tahun 2010 adalah 62.056,00 Kal/kapita/tahun. Kandungan energi beras giling dan tepung terigu masing-masing adalah 360 Kal/100gram dan 365 Kal/100gram (DKBM 2004). Sumbangan energi dari bekatul per tahun dapat menggantikan 40.950,00 ton beras per tahun atau 40.405,27 ton tepung terigu per tahun. Angka tersebut menggambarkan potensi bekatul yang cukup besar sebagai bahan pangan sumber karbohidrat pengganti beras atau tepung terigu.

(44)

32  

kontribusi makanan selingan diperoleh dari cookies bekatul konvensional atau

cookies bekatul fungsional. Sumbangan energi tepung bekatul baik tepung bekatul konvensional maupun tepung bekatul fungsional yang diperoleh dari

cookies per hari jika diaplikasikan ke dalam konsep pola pangan harapan (PPH), maka dapat menyumbang energi sebesar 3,20% untuk tepung bekatul konvensional atau 3,04% untuk tepung bekatul fungsional terhadap skor PPH ideal. Hal ini didasarkan pada asumsi, skor PPH untuk golongan serealia idealnya adalah 50 atau setara dengan energi 1000Kal/hari.

Pembuatan Cookies Bekatul

Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan

dengan metode krim (creaming method).Pada metode krim, semua bahan tidak dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih dahulu kemudian bahan yang lain. Adonan yang dibentuk dengan metode krim lebih lembut daripada menggunakan metode all-in. Metode all-in mempunyai

keunggulan lebih mudah dan cepat dilakukan daripada metode krim.

Pemanggangan cookies dilakukan pada suhu 1600C selama 15 menit dengan indikator cookies sudah harum dan keras.

Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu. Tepung bekatul yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu adalah tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional 60 mesh. Ukuran ini lebih besar daripada ukuran tepung terigu, yaitu 100 mesh sehingga tepung bekatul tidak dapat tercampur dengan rata karena ukuran partikel yang berbeda. Tingkat subtstitusi yang digunakan dalam pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional ada 5 taraf, yaitu 25%(F1), 30%(F2), 35%(F3), 40%(F4) dan 45%(F5). Penentuan tingkat substitusi ini dilakukan dengan trial and error. Substitusi tepung terigu yang melebihi 45% menyebabkan rasa cookies menjadi sangat pahit dan teksturnya pecah dan keras.

(45)

33  

Tahapan pertama pembuatan cookies bekatul adalah pencampuran bahan penyusunnya. Lemak (margarin dan mentega) dan gula dicampur lebih dahulu dengan menggunakan mixer kemudian ditambahkan susu skim, soda kue, coklat bubuk, vanili. Setelah tercampur rata maka dapat ditambahkan tepung terigu dan tepung bekatul yang sebelumnya dicampur lebih dahulu. Adonan siap untuk dicetak kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan dengan ketebalan yang seragam (0,50 cm). Ketebalan yang berbeda membuat

cookies menjadi tidak seragam sehingga tidak matang secara bersamaan atau merata. Pada saat pencetakan, semakin tinggi tingkat substitusi tepung bekatul, maka adonan akan semakin keras dan sukar dicetak. Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang tinggi pada tepung bekatul sehingga membuat adonan menjadi lebih mudah pecah.

Tahap selanjutnya adalah tahap pemanggangan dengan menggunakan oven. Suhu yang digunakan adalah 1600C selama 15 menit. Setelah matang,

cookies diangkat dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, cookies

dikemas agar tidak terjadi reaksi dengan oksigen luar. Selain waktu juga digunakan parameter lain untuk menentukan kematangan cookies, yaitu kekerasan cookies dan aroma. Penambahan cookies bekatul berpengaruh terhadap waktu pemanggangan. Cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional memiliki waktu pemanggangan yang lebih lama dibandingkan

cookies kontrol dan cookies bekatul fungsional. Hal ini disebabkan karena kadar air cookies bekatul konvensional jauh lebih tinggi (9,97%) dibandingkan tepung bekatul fungsional (2,34%) dan tepung terigu (1,9%).

Gambar

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian
Tabel 4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Jumlah (gram)
Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies bekatul (Modifikasi Saputra 2008)
Tabel 5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari gabungan perlakuan tersebut, produk diuji secara organoleptik (uji hedonik) oleh 30 panelis untuk mengetahui ting-kat kesukaan terhadap atribut rasa, warna,

Daya terima adalah tingkat kesukaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, dan tekstur cookies yang dibuat dengan penambahan tepung biji nangka dan kubis merah

Hasil uji organoleptik warna, aroma, rasa dan tekstur jelly mentimun yang dilakukan oleh panelis berdasarkan tingkat kesukaan menunjukkan pengaruh yang tidak

Parameter yang diamati pada rancangan percobaan ini adalah uji organoleptik hedonik (uji kesukaan) yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan;

Jenis pengujian yang dilakukan dalam uji organoleptik selai dari kulit buah naga merah ini adalah metode hedonik atau uji kesukaan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur

Mie irut mokaf yang telah dihasilkan, kemudian dilakukan uji kesukaan menggunakan 25 panelis semi terlatih dan dianalisis secara deskriptif meliputi warna, rasa, aroma dan

Parameter yang diamati melalui uji kadar protein, lemak, pH dan uji organoleptik terhadap 10 orang panelis meliputi rasa, aroma,warna tekstur dan kesukaan

Daya Terima Hasil uji daya terima menggunakan uji kesukaan hedonik cookies bebas gluten dan kasein dengan pengayaan tepung daun kelor untuk anak autisme berdasarkan aspek warna, aroma,